BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan dari penyusunan referat ini adalah :
1 Mengetahui definisi spondilitis Morbus Hansen?
2 Mengetahui epidemiologi Morbus Hansen?
3 Mengetahui etiologi Morbus Hansen?
4 Mengetahui bentuk-bentuk dan gejala morbus hansen?
5 Mengetahui penularan penyakit morbus hansen ?
6 Mengetahui patofisiologi morbus Hansen ?
7 Mengetahui manifestasi klinis morbus hansen?
8 Mengetahui pemeriksaan morbus hansen?
9 Mengetahui penatalaksanaan morbus hansen?
1.4 Manfaat
Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang morbus hansen dan
penatalaksanaannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Penyakit Kusta
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala
kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini
disebut Morbus Hansen.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada
saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa
diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada
kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta
tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada
2
penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh
manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu
inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan
infeksi sewaktu masa kanak-kanak. Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain,
kulit mengalami bercak putih, merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada
anggota badan atau bagian raut muka, dan mati rasa karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya
memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang menderita
luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka ditekan dengan jari tidak terasa
sakit.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan
kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang
buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria
2,5
memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Kusta tipe Pausi Bacillary atau disebut juga kusta kering adalah bilamana ada bercak
keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa, permukaan bercak kering dan kasar serta
tidak berkeringat, tidak tumbuh rambut/bulu, bercak pada kulit antara 1-5 tempat. Ada kerusakan
saraf tepi pada satu tempat, hasil pemeriksaan bakteriologis negatif (-), Tipe kusta ini tidak
menular.Sedangkan Kusta tipe Multi Bacillary atau disebut juga kusta basah adalah bilamana bercak
putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan, terjadi penebalan dan
pembengkakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat, kerusakan banyak saraf tepi dan
1
hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+). Tipe seperti ini sangat mudah menular.
2.3 Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk pleomorf lurus, batang
panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk
batang gram positif dan bersifat tahan asam, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan
terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil
tahan asam, tidak bergerak dan tidak berspora, dan dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran
bentuk kelompok, termasuk masa irreguler besar yang disebut globi. Micobakterium ini termasuk
kuman aerob. Kuman Mycobacterium leprae menular kepada manusia melalui kontak langsung
dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari
dengan masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda seseorang menderita
penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian
4,6
anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Menurut Marwali Harahap
(2000), Mycobacterium lepraemempunyai 5 sifat, yakni : 1. Mycobacterium leprae merupakan parasit
intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media buatan. 2. Sifat tahan
asam Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh piridin. 3.Mycobacterium leprae merupakan satu-
satunya mikrobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin). 4. Mycobacterium
lepraeadalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan bertumbuh dalam saraf
5
perifer. . Ekstrak terlarut dan preparatMycobacterium leprae mengandung komponen antigenik yang
stabil dengan aktivitas imunologis yang khas yaitu uji kulit positif pada penderita tuberkuloid dan
7.9,10
negatif pada penderita lepromatous.
PB MB
1. Lesi kulit (makula 1-5 lesi > 5 lesi
yang datar, papulyang Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih
meninggi,infiltrat, Distribusi tidak simetris simetris
plak eritem, nodus)
2. kerusakan
saraf(menyebabkan
hilangnya Hilangnya sensasi yang Hilangnya
senasasi/kelemahan jelas sensasi kurang
otot yang dipersarafi Hanya satu cabang saraf jelas
oleh saraf yang Banyak cabang
terkena) saraf
Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang yang akan menentukan,
apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksiMycobacterium leprae dan tipe kusta yang
akan dideritanya dalam spektrum penyakit kusta.
Mid-
Lepromatosa Borderline
Karakteristik borderline
(LL) lepromatosa (BL)
(BB)
Plak, lesi
Lesi berbntuk
Makula, plak,
Tipe kubah, lesi
Makula, infiltrat papul
punched-out
difus, papul, nodus
Beberapa,
Jumlah kulit sehat (+)
Banyak, distribusi Banyak, tapi kulit
luas, praktis tidak sehat masih ada
ada kulit sehat
asimetris
Distribusi
simetris Cenderung
Kering, skuama simetris
sedikit
Permukaan berkilap,
Halus dan berkilap
beberapa lesi
Halus dan berkilap
kering
Sensibilitas
Todak terganggu
berkurang
Sedikit berkurang
BTA
Pada lesi kulit
Banyak (globi)
Pada agak banyak
Banyak (globi) Banyak
hembusan tidak ada
Biasanya tidak ada
hidung
Negative
Tes lepromin biasanya
Negatif
negatif, dapat
juga ()
Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan tingkat kekebalan
selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah
klasifikasi menurut Ridley dan Joplingyang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok
berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini
juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan.Adapun klasifikasinya adalah sebagai
berikut :
1. Tipe tuberkoloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa
makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau
cemntral healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak
adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat terhadap kuman
kusta.
2. Tipe borderline tubercoloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai
lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe
tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang
menebal.
3. Tipe mid borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta.
Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula
infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe
BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya.
Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4. Tipe borderline lepromatosa
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan
cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun
masih kecil, papul dannodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa
nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir
dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak
sepertipunched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipipigmentasi,
berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi.
5. Tipe lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebiheritematosa, berkilap, berbatas
tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni
di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang dibadan mengenai bagian badan yang
dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut
tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan
cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dankeratis. Lebih lanjut lagi
dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang
selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking dan
glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi
lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami
degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan jopling,
tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe indeterminate (I). lesi biasanya
berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di
bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi
atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila dengan pemeriksaan
histopatologik.
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe
dari penyakit tersebut yaitu: Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia, Pada
bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan
banyak, Adanya pelebaransyaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta
peroneu, Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. Adanya bintil-bintil
kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit, Alis rambut rontok, Muka berbenjol-benjol dan
tegang yang disebut facies leomina (muka singa).
Gambar 1. Jenis Kusta Tipe Paucibacilary
Jenis Multibacillary
4) Faktor Umur
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini meningkat sesuai
umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga
meningkat sesuai dengan umur dengan puncak umur 30 sampai 50 tahun dan kemudian secara
11
perlahan-lahan menurun.
5) Faktor Jenis Kelamin
Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita, kecuali di Afrika
dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Faktor fisiologis seperti pubertas, monopause,
11
Kehamilan, infeksi dan malnutrisi akan mengakibatkan perubahan klinis penyakit kusta.
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari hasil penelitian menunjukkan
gambar sebagai berikut dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh
sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh
10
pengobatan. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacteriumleprae menderita kusta.
2.5.1 Masa inkubasi
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa
peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa
minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan
selama 30 tahun Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah
terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Dengan rata-rata
adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa.
Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3 tahun; meskipun, lebih dari
50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5
3
bulan. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
2.5.2 Reservoir
Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan sebagai
reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang Armadillo liar diketahui secara alamiah dapat menderita
penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan yang dilakukan dengan binatang ini. Diduga
secara alamiah dapat terjadi penularan dari Armadilo kepada manusia. Penularan kusta secara
1.6
alamiah ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione.
2.6 Patogenesis
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan
pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa tersering ialah melalui kulit yang lecet pada
bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. PengaruhMycobacterium
leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup Mycobacterium
leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman
7.9
yang avirulen dannontoksis.
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada
sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwan di jaringan saraf.
Bila kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan
2.3.4
makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang
11
kemudian dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag
sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan
berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel
datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera di atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan
5,7
masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya.
Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhanMycobacterium lepare, disamping itu
sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi,
bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalm sel Schwan, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi.
11
Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.
BAB III
KESIMPULAN
1. Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkanoleh bakteri Mycobacterium
leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran
pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani,
kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan
mata.
2. Manefestasi klinis berupa Tanda-tanda pada kulit, Bercak/kelainan kulit yang merah/putih dibagian
tubuh, Kulit mengkilat, Bercak yang tidak gatal, Adanya bagian-bagian yang tidak berkeringat atau
tidak berambut, Lepuh tidak nyeri, Tanda-tanda pada syaraf, Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan
nyeri pada anggota badan, Gangguan gerak anggota badan/bagian muka, Adanya cacat (deformitas),
Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.
3. Penatalaksanaan morbus Hansen meliputi pengobatan dengan obat obatan farmakologi dan
rehabiltasi medic. Rehabilitasi medic meliputi pelatihan untuk mencegah kerusakan saraf, sehingga
terhindar pula dari gangguan sensorik, paralisis, dan kontraktur.
DAFTAR PUSTAKA