BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah Mycobacterium
leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat1. Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta yakni kustha berarti kumpulan gejala-gejala
kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama
yang menemukan kuman. Pada tahun 1873, D Gerhard Armauer Henrik Hansendari Norwegia
adalah orang pertama yang mengidentifikasi kuman yang menyebabkan penyakit kusta dibawah
mikroskop2. Penemuan Mycobacterium leprae membuktikan bahwa kusta disebabkan oleh
kuman dan dengan demikian tidak turun menurun dari kutukan atau dosa. Penyakit kusta
merupakan tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas
dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar2.
Indonesia berada di nomor tiga di dunia dengan penderita kusta terbanyak setelah India dan
Brasil (WHO,Weekly Epidemiological Report, 2016) dengan penderita kusta baru pada tahun
2017 mencapai 15.910 penderita kusta (angka penemuan kusta baru 6,07 per 100.000
penduduk)3,4. Distribusi penderita kusta di Indonesia dari tahun 2011-2017 angka prevalensi dan
penemuan penderita baru kusta cenderung statis tiap tahunnya 4. Pada tahun 2011-2013 kasus
lepra yang terjadi di indonesia tersebar pada 14 provinsi yang termasuk dalam beban kusta
tertinggi, sedangkan 19 provinsi lainnya termasuk dalam beban kusta rendah. Hampir seluruh
provinsi di bagian timur Indonesia merupakan beban kusta tinggi2.
Reaksi kusta merupakan suatu episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, yang
dibagi dua tipe berdasarkan reaksi imunologiknya, yaitu reaksi tipe 1 atau disebut juga reaksi
reversal dan tipe 2 yang disebut reaksi ENL(eritema Nodosum Leprosum) 4. Reaksi kusta
menyebabkan terjadinya kerusakan akut fungsi saraf. Kerusakan saraf akibat reaksi kusta bila
terjadi kurang dari 6 bulan dan diobati dengan cepat dan tepat maka tidak akan terjadi kerusakan
saraf yang permanen. Pada disabilitas permanen yang dapat dilakukan hanya upaya mencegah
pertambahan disabilitas dan rehabilitasi medis4.
2
Penanganan dan pengobatan yang tepat sangat diperlukan untuk penyakit kusta agar tidak
terjadi progresifitas penyakit kusta yang dapat menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf,
anggota gerak dan mata2. Referat ini membahas tentang tatalaksana reaksi kusta tipe 2.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Morbus Hansen
2.1.1. Definisi
Kusta adalah penyakit infeksius dan menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
Leprae, basil intraseluler obligat. M. Leprae dapat mempengaruhi terutama kulit, saraf dan
selaput lendir, sehingga juga dapat mempengaruhi mata, hidung, sendi, kelenjar getah bening,
organ dalam dan sumsum tulang, terutama pada pasien kusta multibasiler. Kusta dapat menular
dari orang ke orang melalui kontak dengan pasien yang memiliki indeks basiler kuman yang
tinggi dan belum diobati5.
Penularan kusta terjadi melalui kontak yang dekat dan berkepanjangan antara individu
yang rentan dan pasien yang terinfeksi basil melalui inhalasi basil yang terkandung dalam sekresi
hidung atau tetesan Flugge. Rute utama penularan adalah mukosa hidung. Lebih jarang,
penularan dapat terjadi oleh erosi kulit. Rute penularan lainnya, seperti darah, penularan vertikal,
ASI, dan gigitan serangga, kemungkinan juga dapat menularkan6.
2.1.2. Epidemiologi
Penyakit MH merupakan penyakit yang tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis
dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 30-
50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita4. Penyebaran penyakit MH dari
suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya penyakit MH ke Pulau-pulau
Melanesia, termasuk Indonesia1.
Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil. Di Indonesia
penderita MH terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata.
Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi
MH, namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita
baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita MH baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi
terbanyak melaporkan penderita MH baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi
Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per 100.000 penduduk. 2,7 2 Pada tahun 2010,
4
tercatat 17.012 kasus baru di Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk
sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru MH di Indonesia dengan angka
prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk4.
2.1.3. Etiologi
Penyebab kusta yaitu M. leprae, diidentifikasi oleh dokter Norwegia Gerhard Armauer
Hansen pada tahun 1873. Oleh karena itu, itu juga disebut basil Hansen. Klasifikasi ilmiah M.
leprae yaitu dari kelas Schizomycetes, urutan Actinomycetales, keluarga Mycobacteriaceae, dan
genus Mycobacterium. M. leprae adalah batang lurus atau sedikit melengkung, dengan ujung
membulat, berukuran 1,5-8 mikron dengan diameter 0,2-0,5 mikron6. M. leprae menginfeksi
terutama makrofag dan sel Schwann. Reproduksi terjadi oleh pembelahan biner dan tumbuh
lambat (sekitar 12-14 hari) di alas kaki tikus. Suhu yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan
proliferasi adalah antara 27 ºC dan 30 ºC. Ini menjelaskan insiden yang lebih tinggi di area
permukaan, seperti kulit, saraf perifer, testis, dan saluran udara bagian atas, dan keterlibatan
visceral yang lebih rendah. M. leprae tetap bertahan selama 9 hari di lingkungan6.
M.leprae hidup berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat
tahan asam (BTA) atau Gram positif, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan
terhadap dekolorasi oleh asam atau alcohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil
“tahan asam”3.
2.1.4. Patofisiologi
Mycobacterium leprae dapat menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan
penderita yang berlangsung lama, erat dan berulang-ulang. Syarat penularan ini adalah harus ada
lesi baik mikroskopis maupun makroskopis serta kontak kulit yang tidak utuh. M.leprae
menyebar melalui pernafasan, droplet dan kontak kulit dengan kulit. Bakteri kusta ini mengalami
proses perkembangbiakan dalam waktu 2-3 minggu, pertahanan bakteri ini dalam tubuh manusia
mampu bertahan 9 hari diluar tubuh manusia kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21
hari dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun bahkan juga dapat memakan waktu
lebih dari 5 tahun. Setelah 5 tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai
5
muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh
hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya 2,3.
M. leprae merupakan bakteri obligat intraseluler, maka respon imun yang berperan penting
dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi adalah respon imun seluler 8. Respon imun seluler
merupakan hasil dari aktivasi makrofag dengan meningkatkan kemampuannya dalam menekan
multiplikasi atau menghancurkan bakteri. Respon imun humoral terhadap M. leprae merupakan
aktivitas sel limfosit B yang berada dalam jaringan limfosit dan aliran darah. Rangsangan dari
komponen antigen basil tersebut akan mengubah sel limfosit B menjadi sel plasma yang akan
menghasilkan antibodi yang akan membantu proses opsonisasi. Namun pada penyakit ini, fungsi
respon imun humoral ini tidak efektif, bahkan dapat menyebabkan timbulnya beberapa reaksi
kusta karena diproduksi secara berlebihan yang tampak pada MH lepromatosa9.
Gambar 1. Kusta Tuberkuloid: depigmentasi halus dengan tepi eritematosa di tepi atas11
7
Pada klasifikasi ini penyakit MH dibagi atas Indeterminate (I), Tuberculoid (T),
Borderline-Dimorphous (B), Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling
sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan
histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy Association di Madrid tahun
19531,2.
Pada klasifikasi ini penyakit MH adalah suatu spektrum klinis mulai dari daya kekebalan
tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap
M.leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI) seseorang akan
menentukan apakah dia akan menderita MH apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae
dan tipe MH yang akan dideritanya pada spektrum penyakit MH. Sistem klasifikasi ini banyak
digunakan pada penelitian penyakit MH, karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi
kuman dengan respon imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik. Kelima tipe
MH menurut Ridley-Jopling adalah tipe Lepromatous (LL), tipe Borderline Lepromatous (BL),
tipe Mid-Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe Tuberculoid (T) 1,2.
Tabel 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi / tipe penyakit MH menurut WHO
(1995) 1.
diputar 90 derajat sambil mengerok dan dasar sampai didapat bubur jaringan. Bahan tersebut
kemudian dibuat sediaan apus1.
Tabel 2. Indeks Bakteri1
Indeks Bakteri
0 0 BTA dalam 100 LP, hitung 100 LP
1+ 1-10 BTA dalam 100 LP, hitung 100 LP
2+ 1-10 BTA dalam 10 LP, hitung 100 LP
3+ 1-10 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 LP
4+ 10-100 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 LP
5+ 100-1000 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 LP
6+ >1000 BTA atau 5 champs ditentukan dalam rat-rata 1 LP,
hitung 25 LP
Pemeriksaan serologis kusta di dasarkan atas terbentuknya antibody pada tubuh seseorang
yang terinfeksi M. leprae. Jenis antibodi yang terbentuk bermacam-macam, karena terdapat
berbagai jenis antigen, misalnya antigen golongan lipopolisakarida yang berasal dari kapsel
kuman, antigen protein yang berasal dari inti sel dan lain-lain. Antibodi yang bersifat spesifik
dan non spesifik. Antibodi yang bersifat spesifik untuk M leprae antara lain antibodi anti
phenolic glycolipid-I (PGL-I) dan antibodi anti protein IRD 35kD. Sedangkan antibodi yang non
spesifik antara lain antibodi anti lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis15.
11
Pemeriksaan serologis kusta kini banyak dilakukan karena cukup banyak manfaatmya,
khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah endemik. Selain itu pemeriksaan ini
dapat membantu diagnosis kusta pada keadaan yang meragukan, karena tanda-tanda klinik dan
bakteriologik tidak jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta,
maka bila ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta, maka bila ditemukan antibodi dalam
titer yang cukup tinggi pada seseorang, patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh
M.leprae pada kusta subklinik seseorang tampak sehat tanpa adanya penyakit kusta, namun di
dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta dalam kadar serologi yang
cukup tinggi15.
2.1.8. Penatalaksanaan
Rekomendasi WHO yaitu pemberian rejimen 3 obat yaitu rifampisin, dapson dan
clofazimine untuk semua penderita kusta, dengan durasi pengobatan 6 bulan untuk kusta PB dan
12 bulan untuk Kusta MB. Ini mewakili perubahan dari pengobatan standar saat ini untuk kusta
PB, yang merupakan rifampisin dan dapson selama 6 bulan, karena beberapa bukti
menunjukkan lebih baik hasil klinis dengan rejimen 3 obat selama 3 bulan dan rejimen 2 obat,
selama 6 bulan. Potensi keuntungan menggunakan tiga obat yang sama untuk kusta PB dan MB
adalah penyederhanaan pengobatan (yaitu paket blister yang sama dapat digunakan untuk
mengobati kedua jenis kusta) dan mengurangi dampak kesalahan klasifikasi kusta MB sebagai
kusta PB, karena semua pasien akan menerima rejimen 3 obat16.
Untuk kusta MB, pengobatan standar saat ini adalah rejimen 3 obat untuk 12 bulan. Bukti
tentang potensi manfaat dan bahaya rejimen 3 obat yang lebih pendek (6 bulan) terbatas dan
tidak meyakinkan, dengan potensi peningkatan risiko kambuh. Oleh karena itu, GDG
12
(Guidelines Development Group) menentukan bahwa tidak ada cukup bukti hasil yang setara
untuk mendukung rekomendasi untuk mempersingkat durasi pengobatan untuk kusta MB. Untuk
kusta yang resisten terhadap rifampisin, pedoman WHO merekomendasikan pengobatan dengan
setidaknya dua obat lini kedua clarithromycin, minocycline atau quinolone (ofloxacin,
levofloxacinatau moxifloxacin) plus clofazimine setiap hari untuk 6 bulan, diikuti oleh
clofazimine plus salah satu dari obat ini selama 18 bulan tambahan. Ketika resistensi ofloxacin
juga ada, fluoroquinolone tidak boleh digunakan sebagai bagian pengobatan lini kedua16.
Regimen pilihan dalam kasus tersebut harus terdiri dari 6 bulan clarithromycin,
minocycline dan clofazimine diikuti oleh clarithromycin atau minocycline plus clofazimine
selama 18 bulan tambahan. Resistensi telah dilaporkan dari beberapa negara, meskipun jumlah
pasien adalah kecil. Bukti tentang potensi manfaat dan bahaya rejimen alternatif untuk resisten
terhadap obat kusta tidak tersedia. Oleh karena itu, rekomendasi untuk rejimen lini kedua
didasarkan pada pendapat ahli dan aktivitas obat alternatif yang diketahui, termasuk
kemungkinan resistensi silang16.
Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT yang dilaksanakan di Indonesia sesuai
rekomendasi WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang
paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS (diaminodifenil sulfon),karena DDS adalah obat
antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita
yang ada di Negara berkembang dengan social ekonomi rendah 1. Cara Pemberian MDT yaitu
sebagai berikut1:
a. Kusta tipe multibasilar (BB,BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif) adalah1 :
- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan
- DDS 100 mg setiap hari
- Klofazimin 300mg setiap bulan, dalam pengawasan,diteruskan 50 mg sehari atau
100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.
b. Kusta tipe pausibasiler (I, TT, BT dengan BTA negative) adalah1 :
- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan
- DDS 100 mg setiap hari
13
c. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid atau membunuh kuman kusta, 99% kuman kusta
mati dalam satu kali pemberian.efek samping yang mungkin terjadi setelah ppemberian
rifampisin yaitu kerusakan hati, gangguan fungsi hati, air seni warna merah dan
munculnya gejala influenza.
d. Vitamin
- Sulfas ferros, untuk penderita yang anemia berat
- Vitamin A, untuk penderita dengan kulit berisik (iktiosis)
2.1.9. Komplikasi
Komplikasi dari penyakit MH antara lain kerusakan saraf tepi, deformitas, dan kecacatan.
Di bawah ini merupakan tabel klasifikasi cacat menurut WHO Expert Commite on Leprosy
(1977).
Tabel 3. Klasifikasi cacat menurut WHO Expert Commite on Leprosy18.
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas,
tidak ada kerusakan atau deformitas
yang terlihat.
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa
kerusakan atau deformitas yang
terlihat.
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada kelainan/kerusakan pada
mata (termasuk visus).
14
2.1.11. Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain dengan jalan
operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tapi fungsinya dan
secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain adalah secara kekaryaan, yaitu dengan memberi
lapangan pekerjaan tang sesuai dnegan cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat
meningkatkan rasa percaya diri. Selain itu terapi psikologis juga penting untuk dilakukan1,2.
2.1.12. Prognosis
Prognosis penyakit ini secara umum membaik dengan terapi. Rekurensi bisa terjadi,
terutama pada orang dengan imunitas rendah dan tidak patuh dengan terapi19.
2.2. Reaksi Kusta
2.2.1. Klasifikasi
Reaksi kusta merupakan suatu periode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, yang
dibagi dua tipe berdasarkan reaksi imunologiknya, yaitu reaksi tipe 1 atau disebut juga reaksi
reversal atau reaksi upgrading dan tipe 2 yang disebut sebagai reaksi ENL (Eritema Nodusum
Leprosum)4. ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti
makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbul ENL1.
15
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa,lesi makula menjadi
infiltrate,lesi infiltrat makin infiltrative dan lesi lama menjadi bertambah luas. Tidak perlu
seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan
karena sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosterid, sebab tanpa gejala neuritis akut
pemberian kortikosteroid adalah fakultatif 1. Selain timbul gejala seperti diatas, gejala di kulit
juga dapat berupa kemerahan, bengkak, nyeri dan panas. Gejala di saraf manifestasi yang terjadi
berupa nyeri atau gangguan fungsi saraf. Kadang-kadang dapat terjadi gangguan keadaan umum
pasien seperti demam, dan lain-lain. Reaksi kusta tipe 1 yang mempunyai gejala pada saraf dapat
menimbulkan kecacatan seperti paralisis dan deformitas bila tidak ditangani secara tepat20.
16
Gambar 4. Reaksi kusta reversal dan terdapat pembesaran saraf aurikularis posterior11
2.2.1.2. Reaksi Kusta Tipe II atau ENL (Eritema Nodusum Leprosum)
Reaksi ENL merupakan penyakit yang diperantarai imun kompleks, yang merupakan
contoh hipersensitivitas tipe III (menurut klasifikasi Coombs dan Gell) atau fenomena Arthur.
Menurut penelitian retrospektif pada tahun 2009-2011 di rumah sakit Dr. Soetomo, tercatat 638
pasien kusta baru, 82% adalah pasien kusta tipe MB dan 26,7% dari presentase pasien baru tipe
multibasiler terjadi reaksi tipe 2 (ENL) 22. Reaksi kusta tipe ENL dapat terjadi sebelum
dimulainya antimikroba,biasanya dalambeberapa tahun pertama pemberian antimikroba yang
efektif. Reaksi tipe II ini umumnya diyakini sebagai konsekuensi dari mekanisme imun humoral
dan dianggap terkait dengan kompleks imun, disertai dengan tingkat konsentrasi sirkulasi TNFα
yang tinggi. Kompleks ini dihasilkan dari reaksi antigen-antibodi yang melibatkan aktivasi
system komplemen 12 dan menyerupai fenomena arthus yang melibatkan vaskulitis sistemik dan
panniculitis, yang dapat mengakibatkan berbagai manifestasi lesi kulit23. Reaksi tipe II ditandai
dengan munculnya papulonodul lunak,eritematosa, sering disertai dengan gejala sistemik, seperti
demam, malaise, pembesaran kelenjar getah bening, anoreksia, penurunan berat badan,
arthralgia, dan edema24. Pada reaksi tipe 2 berat, lesi ENL menjadi lesi vesikuler atau bula dan
18
pecah disebut sebagai eritema nekrotikans. Lesi ini dapat juga menyerang mata (iridosiklitis),
testis (orkitis), uveitis, ginjal (glomerulonefritis), sendi (arthtritis), limfadenopati dan neuritis23,24.
Keadaan umum Umumnya baik, demam ringan Ringan hingga berat disertai
(subfebris) atau tanpa demam kelemahan umum dan demam
tinggi
Peradangan di Bercak kulit lama menjadi lebih Timbulnodul kemerahan, lunak dan
kulit meradang nyeri tekan. Biasanya pada lengan
(merah),bengkak,berkilat, hangat. dan tungkai.nodus dapat pecah
Kadang-kadang hanya pada (ulserasi).
sebagian lesi.dapat timbul bercak
baru.
Neuritis Sering terjadi, berupa nyeri tekan Dapat terjadi.
saraf dan atau gangguan fungsi
saraf. Silent Neuritis (-)
Radang mata Dapat terjadi kusta tipe PB Hanya pada kusta tipe MB
maupun MB
Edema (+) (-)
ekstremitas
Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada mata, kelenjar getah
organ lain bening, sendi,ginjal,testis, dll.
Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut, yaitu adanya12:
1. Lagoftalmos baru terjadi dalam 3 bulan terakhir
2. Nyeri raba saraf tepi
3. Kekuatan otot yang berkurang dalam 6 bulan terakhir
4. Makula pecah atau nodul pecah
5. Makula aktif (meradang), dilatasi lokasi saraf tepi
6. Gangguan pada organ lain
2.2.4. Penatalaksanaan Pada Reaksi Kusta
a. Non Medikamentosa12
1. Istirahat dan imobilisasi
2. Perbaikan gizi dan keadaan umum
3. Mengobati penyakit penyerta dan menghilangkan faktor pencetus
20
b. Medikamentosa
Penanganan reaksi kusta12
Prinsip pengobatan reaksi ringan :
1. Berobat jalan, istirahat di rumah
2. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
3. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
Prinsip pengobatan reaksi berat:
1. Imoblisasi lokal organ tubuh yang terkena neuritis/istirahat di rumah
2. pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
3. menghindari/ menghilangkan faktor pencetus
4. memberikan obat anti reaksi: prednison,lamprene,talidomid (bila tersedia)
5. bila ada indikasi rawat inap pasien dikirimke rumah sakit
6. reaksi tipe 2 berat dan berulang diberikan prednison dan klofazimin
Catatan : MDT hanya diberikan pada reaksi yang timbul sebelum dan selama pengobatan.
Bila telah RFT, MDT tidak diberikan lagi.
Pengobatan untuk reaksi tipe 1 dan 2 :
Prinsip tatalaksana reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut12 :
MDT harus segera dimulai (bila pasien belum mendapat terapi kusta) atau tetap
dilanjutkan (bila pasien sedang dalam terapi kusta)
Terapi reaksi tipe 1 sesuai dengan tingkat keparahan :
- Reaksi ringan ditandai dengan inflamasi pada beberapa lesi lama (EEL)
- Reaksi berat ditandai dengan adanya satu atau lebih tanda-tanda berikut :
o Terdapat EEL danjuga bisa terdapat lesi baru
o Nyeri saraf, nyeri tekan, parastesia atau berkurangnya fungsi saraf
o Demam,rasa tidak nyaman, nyeri sendi
o Edema pada tangan dan atau kaki
o Lesi ulserasi dikulit
o Reaksi menetap lebih dari6 minggu
21
- Terapi spesifik : bertujuan untuk menekan respon hipersensitivitas tipe lambat (delayed
type hypersensitivity) terhadap antigen M. leprae dengan memberikan terapi anti
inflamasi.
Tatalaksana RR dengan berbagai tingkat keparahan dan berbagai pilihan terapi
adalah sebagai berikut12:
o Terapi reaksi reversal ringan : reaksi reversal ringan dapat diterapi dengan aspirin atau
parasetamol selama beberapa minggu
o Terapi reaksi reversal berat dan neuritis akut : kortikosteroid (prednisolon) masih
merupakan terapi utama dan terapi pilihan pada RR.
Tabel 6. Regimen standar pemberian oral prednison untuk reaksi tipe 1 WHO berat12
Reaksi tipe 2 berat terdiri atas reaksi tipe 2 pertama ENL berat dan reaksi tipe 2 episode
ulangan atau ENL kronik12:
pasien dengan ENL berulang kronis, karena terapi jangka panjang prednisolone menyebabkan
ketergantungan pada terapi kortikosteroid dan menimbulkan efek samping, thalidomide menjadi
pilihan obat terapi pada reaksi tipe II. Hati-hati penggunaan thalidomide pada kehamilan karena
bersifat teratogenik. Clofazimin dianjurkan pada pengobatan reaksi kusta berulang kronis. Durasi
terapi klofazimin tidak boleh melebihi 12 bulan26.
Pengobatan lini kedua12 :
- Reaksi tipe 1 : beberapa obat dipakai untuk RR,antara lain azatioprin, siklosporin,
metotreksat
- Reaksi tipe2 : beberapaterapi alternative yang pernah dilaporkan adalah pentoksifilin,
siklosporin, mofetil mikofenola, metotreksat.
25
BAB III
PENUTUP
3.1. SIMPULAN
Berdasarkan penulisan referat ini, dapat disimpulkan bahwa MH adalah penyakit kronis
yang disebabkan oleh M. leprae. Penyakit ini terutama menyerang kulit dan saraf, dan jika tidak
diobati dapat menyebabkan kerusakan permanen. Reaksi kusta merupakan suatu periode akut
pada perjalanan penyakit yang kronis, yang dibagi dua tipe berdasarkan reaksi imunologiknya,
yaitu reaksi tipe 1 atau disebut juga reaksi reversal atau reaksi upgrading dan tipe 2 yang disebut
sebagai reaksi ENL (Eritema Nodusum Leprosum)4.
Reaksi kusta tipe II atau ENL diperantarai oleh imun kompleks yang merupakan contoh
hipersensitivitas tipe III23,24. Faktor risiko terjadinya reaksi kusta tipe 2 yaitu terjadi pada usia
muda, dipengaruhi stress fisik dan mental, adanya infeksi penyerta seperti streptococcus, virus,
parasite intestinal, filarial, malaria, dan kebanyak dapat terjadi pada kehamilan trimester 3.
Pengobatan pada reaksi kusta tipe 2 yang berdasarkan jenisnya yaitu reaksi tipe 2 episode
pertama ENL berat dan reaksi kusta tipe 2 episode ulangan atau ENL kronik. Pilihanpertama
yang digunakan yaitu prednisolone dan klofazimin, serta pilihan kedua yaitu talidomid.
Kortikosteroid dan thalidomide adalah terapi andalan dalam mengendalikan reaksi tipe II dengan
orkitis, iridosiklitis dengan glaucoma dan neuritis yang menyebabkan disfungsi saraf. Hati-hati
penggunaan thalidomide pada kehamilan karena bersifat teratogenik. Clofazimin dianjurkan pada
pengobatan reaksi kusta berulang kronis. Durasi terapi klofazimin tidak boleh melebihi 12
bulan26.
3.2. SARAN
Harapan penulis, referat ini dapat dijadikan acuan jika menemui kasus Reaksi Morbus Tipe
II atau Erythematous Nodul Lepromatosa (ENL). Disarankan untuk melakukan penelitian dan
review lebih lanjut mengenai follow up reaksi kusta tipe II.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Wisnu IM, Dalili ESS, Menaldi SL. Kusta. In : Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi,
editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta : Badan Penerbit FKUI;
2016. P 87-102.
2. Kemenkes RI. Infodatin (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI) Kusta.
Jakarta ; Kemenkes. Di download https://www.kemkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/infodatin/infodatin_kusta.pdf [tanggal 08 juli 2020; pukul
12:45wib]. 2015.
3. Kemenkes RI. Infodatin (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI) Kusta.
Jakarta ; Kemenkes. Di download https://www.kemkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/infodatin/infoDatin-kusta-2018.pdf [tanggal 08 juli 2020; pukul
12: 45wib]. 2018.
4. Mentri Kesehatan. Peraturan Mentri Kesehatan No 11 tahun 2019 tentang Penanggulangan
Kusta. Di download
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No__11_Th_2019_ttg_Penanggul
angan_Kusta.pdf [tanggal 08 juli 2020; pukul 12:58 wib]. 2019.
5. Cruz R.C.D.S., Samira B.S., Maria L.F.P, Gerson O.P., Sinesio T.. Leprosy : Current
situation, clinical and laboratory aspects, treatment history and perspective of the uniform
multidrug therapy for all patients. Anais Brasileiros De Dermatologia. Didownload
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5786388/ [tanggal 11 juli 2020,pukul
16:58 wib]. 2019.
8. Verdy, Arief B., Agnes S.S., Lepra Tipe Neural Murni. SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin FKUGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia. Vol.27/ No.1/ April 2015.
2015.
9. Jin et al., Importance of the immune response to Mycobacterium leprae in the skin.
Departement of Cosmetics Engineering, Konkuk University. Biomedical Dermatology.
2018.
10. Rahman E.A., Evaluasi Kadar Interleukin-12 dan Interleukin-4 pada Penderita Kusta Tipe
Multibasiler 12 Bulan Setelah Terapi Kombinasi Rifampisi Ofloksasin Minosiklin.
Program Pendidikan Dokter Spesialis Program Studi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Universitas Hasanuddin Makassar. Ujian Akhir. 2018.
11. Weller R., John H., John S., Mark D., Clinical Dermatology, Fourth Edition.
Edinburgh,UK. Departement of Dermatology University of Edinburgh. 2008.
12. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia.
Jakarta; PERDOSKI; 2017.
13. Utami A.R., Dwi I.A.,Muhammad S.H., Kasus Morbus Hansen Tipe Lepromatosa dengan
Neuritis Akut dan Cacat Derajat Dua. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. Volume 9, Nomor 3, Oktober 2019. 2019.
14. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2012.
15. Mudatsir, Imunodiagnostik Penyakit Kusta. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Volume 6
Nomor 3 Desember 2006. Di download
https://www.researchgate.net/publication/331429385_Imunodiagnostik_Penyakit_Kusta_
Mudatsir/link/5c78a1c2299bf1268d2dc3c9/download tanggal 12 juli 2020 pukul 17:35
wib. 2006.
16. WHO, Guidelines for the Diagnosis,Treatment and Prevention of Leprosy. Di download
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/274127/9789290226383-eng.pdf?ua=1
tanggal 11 juli 2020, pukul 6:19 wib. 2008.
28
17. Prawoto, Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya Reaksi Kusta.
Magister Epidemiologi Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.Tesis
2018.
18. WHO. Guideline for the Diagnosis, Treatment and Prevention of Leprosy. New Delhi:
World Health Organization, Regional Office for South-East Asia; 2017.
19. Andini F., Efrida W., Morbus Hansen Tipe Multibasiler dengan Reaksi Kusta Tipe 1 dan
Kecacatan Tingkat 2. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Jurnal Medula
Unila.Volume 6, Nomor 1, Desember 2016. 2016.
20. Pratamasari M.A., MuhammadY.L., Studi Retrospektif :Reaksi Kusta Tipe II. Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSU Dr.Soetomo
Surabaya . Berakala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol.27,No. 2, agustus 2015. 2015.
21. Nery J.A.D.C, Fred B.F., et al. Understanding the type 1 reactional state for early
diagnosis and treatment : a way to avoid disability inleprosy di download
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3798356/ tanggal 11 juli 2020,pukul
15:46 wib. 2013.
22. Pratiwi F.D., Indropo A., Kelainan Sistemik dan Laboratoris pada Pasien Kusta dengan
Reaksi Tipe 2 (Erythema Nodusum Leprosum). Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga RSU Dr.Soetomo Surabaya . Berakala Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Vol.30,No.1, April 2018. 2018.
23. Balagon Ma.V.F., Robert H.G., RodolfoM.A., RolandV.C., Reactions Following
Completion of 1and 2 Year Multidrug Therapy (MDT). The American Journal of Tropical
Medicine And Hygiene. didownload
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2929063/ [tanggal 11 juli 2020, pukul
15:00]. 2010.