Anda di halaman 1dari 29

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah Mycobacterium
leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat1. Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta yakni kustha berarti kumpulan gejala-gejala
kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama
yang menemukan kuman. Pada tahun 1873, D Gerhard Armauer Henrik Hansendari Norwegia
adalah orang pertama yang mengidentifikasi kuman yang menyebabkan penyakit kusta dibawah
mikroskop2. Penemuan Mycobacterium leprae membuktikan bahwa kusta disebabkan oleh
kuman dan dengan demikian tidak turun menurun dari kutukan atau dosa. Penyakit kusta
merupakan tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas
dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar2.

Indonesia berada di nomor tiga di dunia dengan penderita kusta terbanyak setelah India dan
Brasil (WHO,Weekly Epidemiological Report, 2016) dengan penderita kusta baru pada tahun
2017 mencapai 15.910 penderita kusta (angka penemuan kusta baru 6,07 per 100.000
penduduk)3,4. Distribusi penderita kusta di Indonesia dari tahun 2011-2017 angka prevalensi dan
penemuan penderita baru kusta cenderung statis tiap tahunnya 4. Pada tahun 2011-2013 kasus
lepra yang terjadi di indonesia tersebar pada 14 provinsi yang termasuk dalam beban kusta
tertinggi, sedangkan 19 provinsi lainnya termasuk dalam beban kusta rendah. Hampir seluruh
provinsi di bagian timur Indonesia merupakan beban kusta tinggi2.

Reaksi kusta merupakan suatu episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, yang
dibagi dua tipe berdasarkan reaksi imunologiknya, yaitu reaksi tipe 1 atau disebut juga reaksi
reversal dan tipe 2 yang disebut reaksi ENL(eritema Nodosum Leprosum) 4. Reaksi kusta
menyebabkan terjadinya kerusakan akut fungsi saraf. Kerusakan saraf akibat reaksi kusta bila
terjadi kurang dari 6 bulan dan diobati dengan cepat dan tepat maka tidak akan terjadi kerusakan
saraf yang permanen. Pada disabilitas permanen yang dapat dilakukan hanya upaya mencegah
pertambahan disabilitas dan rehabilitasi medis4.
2

Penanganan dan pengobatan yang tepat sangat diperlukan untuk penyakit kusta agar tidak
terjadi progresifitas penyakit kusta yang dapat menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf,
anggota gerak dan mata2. Referat ini membahas tentang tatalaksana reaksi kusta tipe 2.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Morbus Hansen
2.1.1. Definisi
Kusta adalah penyakit infeksius dan menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
Leprae, basil intraseluler obligat. M. Leprae dapat mempengaruhi terutama kulit, saraf dan
selaput lendir, sehingga juga dapat mempengaruhi mata, hidung, sendi, kelenjar getah bening,
organ dalam dan sumsum tulang, terutama pada pasien kusta multibasiler. Kusta dapat menular
dari orang ke orang melalui kontak dengan pasien yang memiliki indeks basiler kuman yang
tinggi dan belum diobati5.

Penularan kusta terjadi melalui kontak yang dekat dan berkepanjangan antara individu
yang rentan dan pasien yang terinfeksi basil melalui inhalasi basil yang terkandung dalam sekresi
hidung atau tetesan Flugge. Rute utama penularan adalah mukosa hidung. Lebih jarang,
penularan dapat terjadi oleh erosi kulit. Rute penularan lainnya, seperti darah, penularan vertikal,
ASI, dan gigitan serangga, kemungkinan juga dapat menularkan6.

2.1.2. Epidemiologi

Penyakit MH merupakan penyakit yang tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis
dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 30-
50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita4. Penyebaran penyakit MH dari
suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya penyakit MH ke Pulau-pulau
Melanesia, termasuk Indonesia1.

Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil. Di Indonesia
penderita MH terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata.
Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi
MH, namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita
baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita MH baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi
terbanyak melaporkan penderita MH baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi
Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per 100.000 penduduk. 2,7 2 Pada tahun 2010,
4

tercatat 17.012 kasus baru di Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk
sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru MH di Indonesia dengan angka
prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk4.

2.1.3. Etiologi

Penyebab kusta yaitu M. leprae, diidentifikasi oleh dokter Norwegia Gerhard Armauer
Hansen pada tahun 1873. Oleh karena itu, itu juga disebut basil Hansen. Klasifikasi ilmiah M.
leprae yaitu dari kelas Schizomycetes, urutan Actinomycetales, keluarga Mycobacteriaceae, dan
genus Mycobacterium. M. leprae adalah batang lurus atau sedikit melengkung, dengan ujung
membulat, berukuran 1,5-8 mikron dengan diameter 0,2-0,5 mikron6. M. leprae menginfeksi
terutama makrofag dan sel Schwann. Reproduksi terjadi oleh pembelahan biner dan tumbuh
lambat (sekitar 12-14 hari) di alas kaki tikus. Suhu yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan
proliferasi adalah antara 27 ºC dan 30 ºC. Ini menjelaskan insiden yang lebih tinggi di area
permukaan, seperti kulit, saraf perifer, testis, dan saluran udara bagian atas, dan keterlibatan
visceral yang lebih rendah. M. leprae tetap bertahan selama 9 hari di lingkungan6.

M.leprae hidup berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat
tahan asam (BTA) atau Gram positif, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan
terhadap dekolorasi oleh asam atau alcohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil
“tahan asam”3.

2.1.4. Patofisiologi

Mycobacterium leprae dapat menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan
penderita yang berlangsung lama, erat dan berulang-ulang. Syarat penularan ini adalah harus ada
lesi baik mikroskopis maupun makroskopis serta kontak kulit yang tidak utuh. M.leprae
menyebar melalui pernafasan, droplet dan kontak kulit dengan kulit. Bakteri kusta ini mengalami
proses perkembangbiakan dalam waktu 2-3 minggu, pertahanan bakteri ini dalam tubuh manusia
mampu bertahan 9 hari diluar tubuh manusia kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21
hari dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun bahkan juga dapat memakan waktu
lebih dari 5 tahun. Setelah 5 tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai
5

muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh
hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya 2,3.

Penyebaran secara hematogen merupakan mekanisme penyebaran basil pada pasien


lepromatosa, M. leprae dapat ditemukan pada preparat buffy-coat selama penyebaran infeksi
secara hematogen, walaupun biasanya tidak disertai dengan demam atau gejala sistemik lainnya.
Meskipun M. leprae lebih menyukai suhu yang lebih dingin, M. leprae dapat menginfeksi dan
bertahan untuk setidaknya beberapa waktu dalam jaringan yang dalam. M. leprae, oleh karena
itu, kadang-kadang ditemui dalam biopsi kelenjar getah bening, hati, atau sumsum tulang7.

M. leprae merupakan bakteri obligat intraseluler, maka respon imun yang berperan penting
dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi adalah respon imun seluler 8. Respon imun seluler
merupakan hasil dari aktivasi makrofag dengan meningkatkan kemampuannya dalam menekan
multiplikasi atau menghancurkan bakteri. Respon imun humoral terhadap M. leprae merupakan
aktivitas sel limfosit B yang berada dalam jaringan limfosit dan aliran darah. Rangsangan dari
komponen antigen basil tersebut akan mengubah sel limfosit B menjadi sel plasma yang akan
menghasilkan antibodi yang akan membantu proses opsonisasi. Namun pada penyakit ini, fungsi
respon imun humoral ini tidak efektif, bahkan dapat menyebabkan timbulnya beberapa reaksi
kusta karena diproduksi secara berlebihan yang tampak pada MH lepromatosa9.

2.1.5. Manifestasi Klinis


Bercak pucat atau kemerahan pada kulit, mati rasa atau kesemutan pada tangan atau kaki,
kelemahan tangan, kaki atau kelopak mata, saraf yang nyeri atau lunak, pembengkakan atau
benjolan di wajah atau telinga, luka tanpa rasa sakit14. Kusta didefinisikan pada setiap pasien
yang menunjukkan 3 tanda manifestasi berikut dikenal dengan tanda cardinal sign5, 10:
1) Hilangnya sensasi yang pasti pada kulit yang pucat (hipopigmentasi) atau kemerahan;
2) Saraf tepi yang menebal atau membesar, dengan hilangnya sensasi dan atau kelemahan
otot yang disuplai oleh saraf itu;
Mengenai saraf perifer perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, ada atau tidaknya
nyeri spontan dan atau nyeri tekan. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu
diperiksa yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N.ulnaris, N.medianus, N.poplitea
lateralis, dan N. tibialis posterior1.
6

3) Keberadaan basil tahan asam dalam apusan slit-skin.


Pemeriksaan bakteriologi merupakan prosedur skrining penting untuk
semua pasien yang dicurigai menderita kusta setelah pemeriksaan klinis.
Pemeriksaan bakteriologis dapat membantu dalam diagnosis kusta,
klasifikasi kusta, pengawasan respon pengobatan pada pasien dengan
hasil hapusan kulit positif, dan untuk mengeksklusi diagnosis kusta.
Hapusan kulit diambil dari lesi yang dicurigai, khususnya dari tepi lesi yang
paling aktif dan pada kusta lepromatosa diambil dari tempat dengan
kemungkinan BTA paling banyak, yaitu lobus telinga, dahi, dagu,
ekstensor lengan, dorsal jari, bokong dan ekstensor lutut10.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit ditemukan
satu tanda cardinal. Jika diagnosis tidak dapat ditegakkan selama
pemeriksaan awal, pasien dapat diminta kembali 3 bulan atau lebih awal.
Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat
mengatakan tersangka kusta dan penderita perlu diamati dan diperiksa
ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau
disingkirkan10.

Gambar 1. Kusta Tuberkuloid: depigmentasi halus dengan tepi eritematosa di tepi atas11
7

Gambar 2. Facies leonina pada kusta tipe lepromatosa11


2.1.5.1. Lesi Kulit
Bercak kulit yang disertai hilangnya sensasi
Hilangnya sensasi pada makula atau plak merupakan tanda diagnostik kusta. Hilangnya
sensasi kulit sering kali bersifat parsial terhadap rasa sentuhan ringan (anastesi), terhadap nyeri
(analgesia) atau terhadap perbedaan temperature (panas dan dingin)10.
2.1.5.2. Kelainan Saraf Tepi
Pembesaran saraf tepi
Pada daerah endemik kusta, penemuan pembesaran saraf perifer merupakan bagian penting
untuk penegakan diagnosis. Semua saraf perifer dapat membesar pada kusta. Dua saraf yang
paling sering terkena yaitu saraf ulnaris dan saraf popliteal lateral (juga disebut saraf peroneus).
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena,
yaitu10 :
- Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
- Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
- Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema
8

2.1.6. Klasifikasi Tipe MH


2.1.6.1. Klasifikasi Madrid

Pada klasifikasi ini penyakit MH dibagi atas Indeterminate (I), Tuberculoid (T),
Borderline-Dimorphous (B), Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling
sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan
histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy Association di Madrid tahun
19531,2.

2.1.6.2. Klasifikasi Ridley-Jopling

Pada klasifikasi ini penyakit MH adalah suatu spektrum klinis mulai dari daya kekebalan
tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap
M.leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI) seseorang akan
menentukan apakah dia akan menderita MH apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae
dan tipe MH yang akan dideritanya pada spektrum penyakit MH. Sistem klasifikasi ini banyak
digunakan pada penelitian penyakit MH, karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi
kuman dengan respon imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik. Kelima tipe
MH menurut Ridley-Jopling adalah tipe Lepromatous (LL), tipe Borderline Lepromatous (BL),
tipe Mid-Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe Tuberculoid (T) 1,2.

2.1.6.3. Klasifikasi menurut WHO

Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di


lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita MH hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe
Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB). Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia
menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita MH. Dasar dari
klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi 1,2,4.
9

Tabel 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi / tipe penyakit MH menurut WHO
(1995) 1.

Tanda utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)


Lesi kulit (makula datar, - 1-5 lesi - >5 lesi
papul yang meninggi, - Hipopigmentasi/
nodus) eritema - Distribusi lebih
- Distribusi tidak simetris
simetris - Hilangnya sensasi
- Hilangnya sensasi kurang jelas
yang jelas
Penebalan saraf tepi yang Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
disertai dengan gangguan
fungsi

Pemeriksaan bakteriologi Tidak dijumpai basil Dijumpai basil tahan


tahan asam (BTA asam (BTA positif)
negatif)
Klasifikasi ini bertujuan untuk : pertama, menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan
komplikasi. Kedua, perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang
menularkan dan memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai target utama pengobatan.
Ketiga, untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat 1,2,12
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang
2.1.7.1. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakterioskopik, sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit dan kerokan
mukosahidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap BTA. Pengambilan kerokan idealnya
dilakukan pada4-10 tempat, yaitu pada kedua cuping telinga bagian bawah dan pada 2-4lesi yang
paling eritematosa dan infiltrative. Tempat pengambilan sampel harus dicatat karena untuk
membandingkan dengan jumlah basil pada tempat yang sama setelah penanganan. Hasil
interpretasi uji bakterioskopik disajikan dalambentuk IB (indeks bakteri) dan IM ( indeks
morfologi). Indeks bakteri dihitung dengan melihat kepadatan BTA pada pemeriksaan sediaan
dalamtiap rentang lapang pandang dengan rentang skala 0- 6+ (Ridley)13.
Cara pengambilan sediaan adalah sebagai berikut : Bagian yang diambil lebih dulu
dilakukan tindakan asepsis. Kemudian bagian tersebut dijepit diantara jari kedua dengan ibu jari
tangan sehingga tampak jaringan kulit menjadi pucat agar kemungkinan perdarahan sedikit.
Dengan skalpel steril dibuat syaatan 0,5 cm panjang sampai mencapai dermis, kemudian skalpel
10

diputar 90 derajat sambil mengerok dan dasar sampai didapat bubur jaringan. Bahan tersebut
kemudian dibuat sediaan apus1.
Tabel 2. Indeks Bakteri1
Indeks Bakteri
0 0 BTA dalam 100 LP, hitung 100 LP
1+ 1-10 BTA dalam 100 LP, hitung 100 LP
2+ 1-10 BTA dalam 10 LP, hitung 100 LP
3+ 1-10 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 LP
4+ 10-100 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 LP
5+ 100-1000 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 LP
6+ >1000 BTA atau 5 champs ditentukan dalam rat-rata 1 LP,
hitung 25 LP

2.1.7.2. Pemeriksaan Histopatologis


Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil irisan lesi kulit atau saraf, lalu dilakukan
pewarnaan hematoksilin-eosin (H&E) atau Faraco-Fite untuk mencari BTA. Fragmen lesi kulit
yang diambil adalah bagian yang paling aktif (merah, terdapat infiltrat dan/atau pembesaran).
Karakteristik histopatologis ditentukan berdasarkan kriteria dari Ridley dan Jopling. Walaupun
pemeriksaan histopatologis ini spesifisitasnya tinggi, tetapi sulit membedakan kasus relaps
dengan kasus reaksi pada pasien MH pausibasilar (PB) atau membedakan MH dari penyakit
granulomatosa lainnya seperti sarkoidosis, tuberkulosis, dan penyakit granulomatosa yang
noninfeksi14.

2.1.7.3. Pemeriksaan Serologis

Pemeriksaan serologis kusta di dasarkan atas terbentuknya antibody pada tubuh seseorang
yang terinfeksi M. leprae. Jenis antibodi yang terbentuk bermacam-macam, karena terdapat
berbagai jenis antigen, misalnya antigen golongan lipopolisakarida yang berasal dari kapsel
kuman, antigen protein yang berasal dari inti sel dan lain-lain. Antibodi yang bersifat spesifik
dan non spesifik. Antibodi yang bersifat spesifik untuk M leprae antara lain antibodi anti
phenolic glycolipid-I (PGL-I) dan antibodi anti protein IRD 35kD. Sedangkan antibodi yang non
spesifik antara lain antibodi anti lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis15.
11

Pemeriksaan serologis kusta kini banyak dilakukan karena cukup banyak manfaatmya,
khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah endemik. Selain itu pemeriksaan ini
dapat membantu diagnosis kusta pada keadaan yang meragukan, karena tanda-tanda klinik dan
bakteriologik tidak jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta,
maka bila ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta, maka bila ditemukan antibodi dalam
titer yang cukup tinggi pada seseorang, patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh
M.leprae pada kusta subklinik seseorang tampak sehat tanpa adanya penyakit kusta, namun di
dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta dalam kadar serologi yang
cukup tinggi15.

Macam-macam pemeriksaan serologic kusta ialah1:

- Uji MLPA (Mycobacterium LepraeParticle Aglutination)

- Uji ELISA( Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

- ML dipstick test ( Mycobacterium Leprae Dipstick)

- ML flow test (Mycobacterium Leprae Flow test)

2.1.8. Penatalaksanaan
Rekomendasi WHO yaitu pemberian rejimen 3 obat yaitu rifampisin, dapson dan
clofazimine untuk semua penderita kusta, dengan durasi pengobatan 6 bulan untuk kusta PB dan
12 bulan untuk Kusta MB. Ini mewakili perubahan dari pengobatan standar saat ini untuk kusta
PB, yang merupakan rifampisin dan dapson selama 6 bulan, karena beberapa bukti
menunjukkan lebih baik hasil klinis dengan rejimen 3 obat selama 3 bulan dan rejimen 2 obat,
selama 6 bulan. Potensi keuntungan menggunakan tiga obat yang sama untuk kusta PB dan MB
adalah penyederhanaan pengobatan (yaitu paket blister yang sama dapat digunakan untuk
mengobati kedua jenis kusta) dan mengurangi dampak kesalahan klasifikasi kusta MB sebagai
kusta PB, karena semua pasien akan menerima rejimen 3 obat16.

Untuk kusta MB, pengobatan standar saat ini adalah rejimen 3 obat untuk 12 bulan. Bukti
tentang potensi manfaat dan bahaya rejimen 3 obat yang lebih pendek (6 bulan) terbatas dan
tidak meyakinkan, dengan potensi peningkatan risiko kambuh. Oleh karena itu, GDG
12

(Guidelines Development Group) menentukan bahwa tidak ada cukup bukti hasil yang setara
untuk mendukung rekomendasi untuk mempersingkat durasi pengobatan untuk kusta MB. Untuk
kusta yang resisten terhadap rifampisin, pedoman WHO merekomendasikan pengobatan dengan
setidaknya dua obat lini kedua clarithromycin, minocycline atau quinolone (ofloxacin,
levofloxacinatau moxifloxacin) plus clofazimine setiap hari untuk 6 bulan, diikuti oleh
clofazimine plus salah satu dari obat ini selama 18 bulan tambahan. Ketika resistensi ofloxacin
juga ada, fluoroquinolone tidak boleh digunakan sebagai bagian pengobatan lini kedua16.

Regimen pilihan dalam kasus tersebut harus terdiri dari 6 bulan clarithromycin,
minocycline dan clofazimine diikuti oleh clarithromycin atau minocycline plus clofazimine
selama 18 bulan tambahan. Resistensi telah dilaporkan dari beberapa negara, meskipun jumlah
pasien adalah kecil. Bukti tentang potensi manfaat dan bahaya rejimen alternatif untuk resisten
terhadap obat kusta tidak tersedia. Oleh karena itu, rekomendasi untuk rejimen lini kedua
didasarkan pada pendapat ahli dan aktivitas obat alternatif yang diketahui, termasuk
kemungkinan resistensi silang16.

Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT yang dilaksanakan di Indonesia sesuai
rekomendasi WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang
paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS (diaminodifenil sulfon),karena DDS adalah obat
antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita
yang ada di Negara berkembang dengan social ekonomi rendah 1. Cara Pemberian MDT yaitu
sebagai berikut1:

a. Kusta tipe multibasilar (BB,BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif) adalah1 :
- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan
- DDS 100 mg setiap hari
- Klofazimin 300mg setiap bulan, dalam pengawasan,diteruskan 50 mg sehari atau
100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.
b. Kusta tipe pausibasiler (I, TT, BT dengan BTA negative) adalah1 :
- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan
- DDS 100 mg setiap hari
13

Obat yang dipakai dalam pengobatan penyakit kusta adalah17 :


a. DDS (Diamino Diphenil Sulfon/ Dapson)
Dapson bersifat bakteriostatik atau menghambat pertumbuhan kuman kusta.
Dapson mempunyai efek samping berupa alergi (manifestasi kulit), anemia
hemolitik,ganguan saluran pencernaan (mual,muntah,tidaknafsumakan(,gangguan
persarafan (neuropati perifer, vertigo, sakit kepala, matakabur).
b. Clofazimin
Clofazimin bersifat bakteriostatik dengan efek samping yaitu perubahan warna
kulit menjadi ungu sampai kehitaman, gangguan pencernaan berupa mual, muntah, diare
dan nyeri lambung

c. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid atau membunuh kuman kusta, 99% kuman kusta
mati dalam satu kali pemberian.efek samping yang mungkin terjadi setelah ppemberian
rifampisin yaitu kerusakan hati, gangguan fungsi hati, air seni warna merah dan
munculnya gejala influenza.
d. Vitamin
- Sulfas ferros, untuk penderita yang anemia berat
- Vitamin A, untuk penderita dengan kulit berisik (iktiosis)
2.1.9. Komplikasi
Komplikasi dari penyakit MH antara lain kerusakan saraf tepi, deformitas, dan kecacatan.
Di bawah ini merupakan tabel klasifikasi cacat menurut WHO Expert Commite on Leprosy
(1977).
Tabel 3. Klasifikasi cacat menurut WHO Expert Commite on Leprosy18.
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas,
tidak ada kerusakan atau deformitas
yang terlihat.
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa
kerusakan atau deformitas yang
terlihat.
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada kelainan/kerusakan pada
mata (termasuk visus).
14

Tingkat 1 Ada kelainan/kerusakan mata, tetapi


tidak terlihat, visus sedikit berkurang.
Tingkat 2 Ada kelainan mata yang terlihat dan
atau visus sangat terganggu.
2.1.10 Pencegahan Cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah dengan diagnosis dini MH,
pengobatan dengan MDT yang tepat dan cepat, mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang
disertai gangguan saraf dan memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin.
Selain itu bila telah terdapat gangguan sensibilitas, sebaiknya penderita diberikan saran untuk
memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja
dengan benda yang tajam atau panas dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Upaya
yang bisa dilakukan adalah dengan mengajarkan perawatan kulit sehari-hari, misalnya
memeriksa ada tidaknya memar, ulkus atau luka. Kemudian tangan dan kaki direndam, disikat
dan di minyaki agar tidak kering dan pecah1,2.

2.1.11. Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain dengan jalan
operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tapi fungsinya dan
secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain adalah secara kekaryaan, yaitu dengan memberi
lapangan pekerjaan tang sesuai dnegan cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat
meningkatkan rasa percaya diri. Selain itu terapi psikologis juga penting untuk dilakukan1,2.

2.1.12. Prognosis
Prognosis penyakit ini secara umum membaik dengan terapi. Rekurensi bisa terjadi,
terutama pada orang dengan imunitas rendah dan tidak patuh dengan terapi19.
2.2. Reaksi Kusta
2.2.1. Klasifikasi
Reaksi kusta merupakan suatu periode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, yang
dibagi dua tipe berdasarkan reaksi imunologiknya, yaitu reaksi tipe 1 atau disebut juga reaksi
reversal atau reaksi upgrading dan tipe 2 yang disebut sebagai reaksi ENL (Eritema Nodusum
Leprosum)4. ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti
makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbul ENL1.
15

2.2.1.1 Reaksi Kusta Tipe 1 atau Reaksi Reversal


Reaksi tipe 1 disebabkan oleh peningkatan respon imun seluler berupa reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen M.leprae di saraf kulit. Antigen produk basil yang
telah mati akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan imunitas seluler yang cepat. Pada
dasarnya reaksi ini terjadi akibat perubahan keseimbangan antara cell mediated immunity (CMI)
dan basil. Hasil akhir reaksi ini dapat berupa upgrading/reversal, jika terjadi peningkatan respon
CMI terhadap antigen M. leprae dan mengarah ke bentuk klinis tuberkuloid, ataupun
downgrading jika terjadi penurunan respon CMI terhadap antigen M. leprae dan menuju bentuk
klinis lepromatosa. Imunitas yang tidak stabil menyebabkan pasien kusta tipe sub polar
(BT,BB,BL) sering mengalami reaksi kusta tipe 1 yang berulang, terutama tipe BB karena
jumlah basil dan tingkat CMI relative seimbang sehingga sangat mudah mengalami perubahan
respon imun20.

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa,lesi makula menjadi
infiltrate,lesi infiltrat makin infiltrative dan lesi lama menjadi bertambah luas. Tidak perlu
seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan
karena sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosterid, sebab tanpa gejala neuritis akut
pemberian kortikosteroid adalah fakultatif 1. Selain timbul gejala seperti diatas, gejala di kulit
juga dapat berupa kemerahan, bengkak, nyeri dan panas. Gejala di saraf manifestasi yang terjadi
berupa nyeri atau gangguan fungsi saraf. Kadang-kadang dapat terjadi gangguan keadaan umum
pasien seperti demam, dan lain-lain. Reaksi kusta tipe 1 yang mempunyai gejala pada saraf dapat
menimbulkan kecacatan seperti paralisis dan deformitas bila tidak ditangani secara tepat20.
16

Gambar 3. Lesi pada reaksi tipe 1 atau reversal21


Gambaran Lesi pada reaksi tipe 1 atau reversal : A) Plak eritematosa, infiltrasi, edematosa
dengan berbagai ukuran, dengan tepi yang jelas, terletak di lengan kanan. Beberapa lesi
menunjukkan pengelupasan sentral. B) Plak eritematosa dengan berbagai ukuran, dengan tepi
infiltrasi, menyisakan daerah tengah, terletak di trunkus anterior. C) Papula kecil dan plak yang
muncul tiba-tiba. Lesi eritematosa, menyusup, dengan permukaan mengkilap, di lengan kanan.
D) Plak eritematosa besar dengan penampilan edematosa, tepi tidak teratur dan terdefinisi
dengan baik, memperlihatkan papula kecil dan plak satelit, yang terletak di permukaan anterior
anggota atas. E) Plak eritematosa dengan infiltrasi, tepi yang jelas, terletak di wajah. Pasien juga
mengalami edema labial dan hidung. F) Pasien yang sama, menunjukkan regresi lesi setelah
penggunaan prednison12.
17

Gambar 4. Reaksi kusta reversal dan terdapat pembesaran saraf aurikularis posterior11
2.2.1.2. Reaksi Kusta Tipe II atau ENL (Eritema Nodusum Leprosum)
Reaksi ENL merupakan penyakit yang diperantarai imun kompleks, yang merupakan
contoh hipersensitivitas tipe III (menurut klasifikasi Coombs dan Gell) atau fenomena Arthur.
Menurut penelitian retrospektif pada tahun 2009-2011 di rumah sakit Dr. Soetomo, tercatat 638
pasien kusta baru, 82% adalah pasien kusta tipe MB dan 26,7% dari presentase pasien baru tipe
multibasiler terjadi reaksi tipe 2 (ENL) 22. Reaksi kusta tipe ENL dapat terjadi sebelum
dimulainya antimikroba,biasanya dalambeberapa tahun pertama pemberian antimikroba yang
efektif. Reaksi tipe II ini umumnya diyakini sebagai konsekuensi dari mekanisme imun humoral
dan dianggap terkait dengan kompleks imun, disertai dengan tingkat konsentrasi sirkulasi TNFα
yang tinggi. Kompleks ini dihasilkan dari reaksi antigen-antibodi yang melibatkan aktivasi
system komplemen 12 dan menyerupai fenomena arthus yang melibatkan vaskulitis sistemik dan
panniculitis, yang dapat mengakibatkan berbagai manifestasi lesi kulit23. Reaksi tipe II ditandai
dengan munculnya papulonodul lunak,eritematosa, sering disertai dengan gejala sistemik, seperti
demam, malaise, pembesaran kelenjar getah bening, anoreksia, penurunan berat badan,
arthralgia, dan edema24. Pada reaksi tipe 2 berat, lesi ENL menjadi lesi vesikuler atau bula dan
18

pecah disebut sebagai eritema nekrotikans. Lesi ini dapat juga menyerang mata (iridosiklitis),
testis (orkitis), uveitis, ginjal (glomerulonefritis), sendi (arthtritis), limfadenopati dan neuritis23,24.

Gambar 5.Lesi pada ENL10 Gambar 6. Dactylitis dan Nodul10


2.2.2. Faktor Risiko Reaksi Tipe 1 dan 2
Tabel 4. Faktor Risiko Reaksi Tipe 1 dan 212

2.2.3. Kriteria Diagnostik Reaksi Kusta Tipe 1 dan 2


Tabel 5. Kriteria Diagnostik Reaksi Kusta Tipe 1 dan 212,24.
Gejala/tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2
Tipe kusta Dapat terjadi pada kusta tipe PB Hanya pada kusta tipe MB
maupun MB
Waktu timbulnya Biasanya dalam 6 bulan pertama Biasanya setelah mendapatkan
pengobatan pengobatan yang lama,umumnya
lebih dari 6 bulan
19

Keadaan umum Umumnya baik, demam ringan Ringan hingga berat disertai
(subfebris) atau tanpa demam kelemahan umum dan demam
tinggi
Peradangan di Bercak kulit lama menjadi lebih Timbulnodul kemerahan, lunak dan
kulit meradang nyeri tekan. Biasanya pada lengan
(merah),bengkak,berkilat, hangat. dan tungkai.nodus dapat pecah
Kadang-kadang hanya pada (ulserasi).
sebagian lesi.dapat timbul bercak
baru.
Neuritis Sering terjadi, berupa nyeri tekan Dapat terjadi.
saraf dan atau gangguan fungsi
saraf. Silent Neuritis (-)
Radang mata Dapat terjadi kusta tipe PB Hanya pada kusta tipe MB
maupun MB
Edema (+) (-)
ekstremitas
Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada mata, kelenjar getah
organ lain bening, sendi,ginjal,testis, dll.

Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut, yaitu adanya12:
1. Lagoftalmos baru terjadi dalam 3 bulan terakhir
2. Nyeri raba saraf tepi
3. Kekuatan otot yang berkurang dalam 6 bulan terakhir
4. Makula pecah atau nodul pecah
5. Makula aktif (meradang), dilatasi lokasi saraf tepi
6. Gangguan pada organ lain
2.2.4. Penatalaksanaan Pada Reaksi Kusta
a. Non Medikamentosa12
1. Istirahat dan imobilisasi
2. Perbaikan gizi dan keadaan umum
3. Mengobati penyakit penyerta dan menghilangkan faktor pencetus
20

b. Medikamentosa

Penanganan reaksi kusta12
Prinsip pengobatan reaksi ringan :
1. Berobat jalan, istirahat di rumah
2. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
3. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
Prinsip pengobatan reaksi berat:
1. Imoblisasi lokal organ tubuh yang terkena neuritis/istirahat di rumah
2. pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
3. menghindari/ menghilangkan faktor pencetus
4. memberikan obat anti reaksi: prednison,lamprene,talidomid (bila tersedia)
5. bila ada indikasi rawat inap pasien dikirimke rumah sakit
6. reaksi tipe 2 berat dan berulang diberikan prednison dan klofazimin
Catatan : MDT hanya diberikan pada reaksi yang timbul sebelum dan selama pengobatan.
Bila telah RFT, MDT tidak diberikan lagi.

Pengobatan untuk reaksi tipe 1 dan 2 :
Prinsip tatalaksana reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut12 :
 MDT harus segera dimulai (bila pasien belum mendapat terapi kusta) atau tetap
dilanjutkan (bila pasien sedang dalam terapi kusta)
 Terapi reaksi tipe 1 sesuai dengan tingkat keparahan :
- Reaksi ringan ditandai dengan inflamasi pada beberapa lesi lama (EEL)
- Reaksi berat ditandai dengan adanya satu atau lebih tanda-tanda berikut :
o Terdapat EEL danjuga bisa terdapat lesi baru
o Nyeri saraf, nyeri tekan, parastesia atau berkurangnya fungsi saraf
o Demam,rasa tidak nyaman, nyeri sendi
o Edema pada tangan dan atau kaki
o Lesi ulserasi dikulit
o Reaksi menetap lebih dari6 minggu
21

- Terapi spesifik : bertujuan untuk menekan respon hipersensitivitas tipe lambat (delayed
type hypersensitivity) terhadap antigen M. leprae dengan memberikan terapi anti
inflamasi.
 Tatalaksana RR dengan berbagai tingkat keparahan dan berbagai pilihan terapi
adalah sebagai berikut12:
o Terapi reaksi reversal ringan : reaksi reversal ringan dapat diterapi dengan aspirin atau
parasetamol selama beberapa minggu
o Terapi reaksi reversal berat dan neuritis akut : kortikosteroid (prednisolon) masih
merupakan terapi utama dan terapi pilihan pada RR.
Tabel 6. Regimen standar pemberian oral prednison untuk reaksi tipe 1 WHO berat12

Dosis per-hari Minggu pemberian


40 mg/hari (1x8tab) Minggu 1 dan 2
30 mg/hari(1x6 tab) Minggu 3 dan 4
20 mg/hari(1x4 tab) Minggu 5dan 6
15 mg/hari(1x3 tab) Minggu 7 dan 8
10 mg/hari (1x2 tab) Minggu 9 dan 10
5 mg/hari (1x1tab) Minggu 11 dan 12
Diminum pagi hari sesudah makan. Bila diperlukan dapat digunakan kortikosteroid jenis
lain dengan dosis yang setara dan penurunan dosis secara bertahap juga12.
Tatalaksana reaksi tipe 2 sesuai dengan berbagai tingkat keparahan penyakit maka pilihan
pengobatan untuk reaksi tipe 2 adalah sebagai berikut12:
 Terapi reaksi tipe 2 ringan : dapat diberikan terapi obat analgetik dan obat antiinflamasi,
misalnya aspirin dan OAINS lainnya. Aspirin diberikan dengan antiinflamasi,misalnya
aspirin dan OAINS lainnya.Aspirin diberikan dengan dosis 600mg setiap 6 jam setelah
makan
 Terapi reaksi tipe 2 sedang; pemberian antimalaria (klorokuin), antimonial (stibophen)
dan kolkisin
 Terapi reaksi tipe 2 berat: pasien dengan ENL berat (demam tinggi, lesi ENL luas
denganpustular /nekrotik, neuritis,gangguan fungsi saraf, iridosiklitis,orkitis,atau nyeri
tlang hebat danlain lain) harus dirawat inap untuk diobservasi dan ditatalaksana lebih
lanjut.
22

Reaksi tipe 2 berat terdiri atas reaksi tipe 2 pertama ENL berat dan reaksi tipe 2 episode
ulangan atau ENL kronik12:

1. Terapi reaksi tipe 2 episode pertama ENL berat :


 Pilihan pertama :Prednison
Pemberian Prednisolon jangka pendek,tetapi dengan dosisi awal tinggi 40-60 mg sampai
ada perbaikan klinis, kemudian taper 5-10 mg setiap minggu selama 6-8 minggu atau lebih.
Dosis rumatan 5-10 mg diperlukan selama beberapa minggu untuk mencegah rekurensi ENL.
 Pilihan kedua : kombinasi prednisolone dan klofazimin.
Dosis prednisolo (dosis seperti di atas)danklofazimin diberikan dengan dosis sebagai
berikut:
- 300 mg/ hari selama 1 bulan
- 200mg/hari selama 3-6 bulan
- 100mg/ hari selama gejala masih ada
Penggunaan klofazimin dengan dosis tinggi dan periode yang cukup lama dapat
mengurangi dosis atau bahkan menghentikan pemberian steroid. Selain itu dapat mencegah atau
mengurangi rekurensi reaksi.Sebaiknya pemberian klofazimin tidak melebihi 12 bulan.
 Pilihan ketiga : talidomid
Talidomid diberikan sebagai pilihan terakhir, dengan dosis awal 400 mg atau 4x100 mg
selama 3-7 hari atau sampai reaksi terkontrol, diikuti penurunan dosis dalam 3-4 minggu atau
diturunkan perlahan-lahan. Jika rekurensi terjadi, maka diberikan talidomid dosis sebagai berikut
:
- 100 mg pagi hari + 200 mg malam hari selama 4 minggu
- 1 x 200 mg malam hari selama 4 minggu
- 1 x 100 mg malam hari selama 4 minggu
- 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari, malam hari,selama 8-12 minggu.
2. Terapi reaksi tipe 2 episode ulangan atau ENL kronik :
 Pilihan pertama : prednisolone +klofazimin
Kombinasi prednisolone danklofazimin lebih dianjurkan. Dosis klofazimin adalah sebagai
berikut :
- 300 mg selama 3 bulan, kemudian dilanjutkan,
23

- 200 mg selama 3 bulan,kemudian dilanjutkan,


- 100 mg selama gejala dan tanda masih ada
Dosis prednisolone 30 mg/hari selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan :
- 25 mg/hari selama 2 minggu
- 20 mg/hari selama 2 minggu
- 15 mg/hari selama 2 minggu
- 10 mg/hari selama 2 minggu
- 5 mg/hari selama 2 minggu, kemudian dihentikan.
 Pilihan kedua : talidomid
Dosis talidomid :
- 2 x 200 mg selama 3-7 hari, kemudian dilanjutkan
- 100 mg pagi hari + 200 mg malam hari selama 4 minggu
- 200 mg malam hari selama 4 minggu
- 100 mg malam hari selama 4 minggu
- 100 mg setiap malam atau selang sehari, malam hari selama 8-12 minggu atau lebih.
Bila terjadi relaps atau perburukan reaksi, dosis dinaikkan segera hingga 200 mg,
kemudian secara perlahan diturunkan menjadi 100 mg selang sehari atau 50 mg/hari selama
beberapa bulan. Terapi ENL dengan talidomid sebagai pengganti steroid (bagi pasien yang sudah
mendapat terapi steroid). Mengganti steroid dengan talidomid lebih sulit dibandingkan terapi
talidomid sejak awal. Steroid harus diturunkan secara bertahap. Indikasimengganti steroid
dengan klofazimin adalah sebagai berikut :
- Pasien ketergantungan terhadap steroid
- ENL rekuren yang tidak dapat ditatalaksana dengan steroid
- Sebagai steroid sparing pada ENL kronik pada pasien DM, TB atau hipertensi
- Amyloidosis fase awal, bila disertai albuminuria ringan persisten.
Kortikosteroid dan thalidomide adalah terapi andalan dalam mengendalikan reaksi tipe II
dengan orkitis, iridosiklitis dengan glaucoma dan neuritis yang menyebabkan disfungsi saraf.
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dengan pegurangan dosis cepat dalam 2-3 minggu
dianggap sebagai reaksi tipe 2 episodik.Jika terapi pemeliharaan harus dihindari terutama pada
24

pasien dengan ENL berulang kronis, karena terapi jangka panjang prednisolone menyebabkan
ketergantungan pada terapi kortikosteroid dan menimbulkan efek samping, thalidomide menjadi
pilihan obat terapi pada reaksi tipe II. Hati-hati penggunaan thalidomide pada kehamilan karena
bersifat teratogenik. Clofazimin dianjurkan pada pengobatan reaksi kusta berulang kronis. Durasi
terapi klofazimin tidak boleh melebihi 12 bulan26.
Pengobatan lini kedua12 :
- Reaksi tipe 1 : beberapa obat dipakai untuk RR,antara lain azatioprin, siklosporin,
metotreksat
- Reaksi tipe2 : beberapaterapi alternative yang pernah dilaporkan adalah pentoksifilin,
siklosporin, mofetil mikofenola, metotreksat.
25

BAB III
PENUTUP

3.1. SIMPULAN
Berdasarkan penulisan referat ini, dapat disimpulkan bahwa MH adalah penyakit kronis
yang disebabkan oleh M. leprae. Penyakit ini terutama menyerang kulit dan saraf, dan jika tidak
diobati dapat menyebabkan kerusakan permanen. Reaksi kusta merupakan suatu periode akut
pada perjalanan penyakit yang kronis, yang dibagi dua tipe berdasarkan reaksi imunologiknya,
yaitu reaksi tipe 1 atau disebut juga reaksi reversal atau reaksi upgrading dan tipe 2 yang disebut
sebagai reaksi ENL (Eritema Nodusum Leprosum)4.

Reaksi kusta tipe II atau ENL diperantarai oleh imun kompleks yang merupakan contoh
hipersensitivitas tipe III23,24. Faktor risiko terjadinya reaksi kusta tipe 2 yaitu terjadi pada usia
muda, dipengaruhi stress fisik dan mental, adanya infeksi penyerta seperti streptococcus, virus,
parasite intestinal, filarial, malaria, dan kebanyak dapat terjadi pada kehamilan trimester 3.
Pengobatan pada reaksi kusta tipe 2 yang berdasarkan jenisnya yaitu reaksi tipe 2 episode
pertama ENL berat dan reaksi kusta tipe 2 episode ulangan atau ENL kronik. Pilihanpertama
yang digunakan yaitu prednisolone dan klofazimin, serta pilihan kedua yaitu talidomid.
Kortikosteroid dan thalidomide adalah terapi andalan dalam mengendalikan reaksi tipe II dengan
orkitis, iridosiklitis dengan glaucoma dan neuritis yang menyebabkan disfungsi saraf. Hati-hati
penggunaan thalidomide pada kehamilan karena bersifat teratogenik. Clofazimin dianjurkan pada
pengobatan reaksi kusta berulang kronis. Durasi terapi klofazimin tidak boleh melebihi 12
bulan26.

3.2. SARAN
Harapan penulis, referat ini dapat dijadikan acuan jika menemui kasus Reaksi Morbus Tipe
II atau Erythematous Nodul Lepromatosa (ENL). Disarankan untuk melakukan penelitian dan
review lebih lanjut mengenai follow up reaksi kusta tipe II.
26

DAFTAR PUSTAKA

1. Wisnu IM, Dalili ESS, Menaldi SL. Kusta. In : Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi,
editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta : Badan Penerbit FKUI;
2016. P 87-102.
2. Kemenkes RI. Infodatin (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI) Kusta.
Jakarta ; Kemenkes. Di download https://www.kemkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/infodatin/infodatin_kusta.pdf [tanggal 08 juli 2020; pukul
12:45wib]. 2015.
3. Kemenkes RI. Infodatin (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI) Kusta.
Jakarta ; Kemenkes. Di download https://www.kemkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/infodatin/infoDatin-kusta-2018.pdf [tanggal 08 juli 2020; pukul
12: 45wib]. 2018.
4. Mentri Kesehatan. Peraturan Mentri Kesehatan No 11 tahun 2019 tentang Penanggulangan
Kusta. Di download
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No__11_Th_2019_ttg_Penanggul
angan_Kusta.pdf [tanggal 08 juli 2020; pukul 12:58 wib]. 2019.
5. Cruz R.C.D.S., Samira B.S., Maria L.F.P, Gerson O.P., Sinesio T.. Leprosy : Current
situation, clinical and laboratory aspects, treatment history and perspective of the uniform
multidrug therapy for all patients. Anais Brasileiros De Dermatologia. Didownload
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5786388/ [tanggal 11 juli 2020,pukul
16:58 wib]. 2019.

6. Lastoria J.C., Marlida A.M.M.D.A.. Leprosy: review of the epidemiological,clinical, and


etiopathogenic aspects-Part 1. Anais Brasileiros De Dermatologia. Di download
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4008049/ [tanggal 11juli 2020, pukul
17:18 Wib]. 2014.

7. Scollard D.M., Pathogenesis and Pathology of Leprosy. The International Textbook of


Leprosy. Didownload https://www.internationaltextbookofleprosy.org/sites/default/files/
ITL_2_4%20FINAL_0.pdf [tanggal 12 Juli 2020, pukul 16:16 Wib]. 2020.
27

8. Verdy, Arief B., Agnes S.S., Lepra Tipe Neural Murni. SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin FKUGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia. Vol.27/ No.1/ April 2015.
2015.
9. Jin et al., Importance of the immune response to Mycobacterium leprae in the skin.
Departement of Cosmetics Engineering, Konkuk University. Biomedical Dermatology.
2018.

10. Rahman E.A., Evaluasi Kadar Interleukin-12 dan Interleukin-4 pada Penderita Kusta Tipe
Multibasiler 12 Bulan Setelah Terapi Kombinasi Rifampisi Ofloksasin Minosiklin.
Program Pendidikan Dokter Spesialis Program Studi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Universitas Hasanuddin Makassar. Ujian Akhir. 2018.
11. Weller R., John H., John S., Mark D., Clinical Dermatology, Fourth Edition.
Edinburgh,UK. Departement of Dermatology University of Edinburgh. 2008.

12. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia.
Jakarta; PERDOSKI; 2017.

13. Utami A.R., Dwi I.A.,Muhammad S.H., Kasus Morbus Hansen Tipe Lepromatosa dengan
Neuritis Akut dan Cacat Derajat Dua. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. Volume 9, Nomor 3, Oktober 2019. 2019.

14. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2012.
15. Mudatsir, Imunodiagnostik Penyakit Kusta. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Volume 6
Nomor 3 Desember 2006. Di download
https://www.researchgate.net/publication/331429385_Imunodiagnostik_Penyakit_Kusta_
Mudatsir/link/5c78a1c2299bf1268d2dc3c9/download tanggal 12 juli 2020 pukul 17:35
wib. 2006.
16. WHO, Guidelines for the Diagnosis,Treatment and Prevention of Leprosy. Di download
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/274127/9789290226383-eng.pdf?ua=1
tanggal 11 juli 2020, pukul 6:19 wib. 2008.
28

17. Prawoto, Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya Reaksi Kusta.
Magister Epidemiologi Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.Tesis
2018.

18. WHO. Guideline for the Diagnosis, Treatment and Prevention of Leprosy. New Delhi:
World Health Organization, Regional Office for South-East Asia; 2017.

19. Andini F., Efrida W., Morbus Hansen Tipe Multibasiler dengan Reaksi Kusta Tipe 1 dan
Kecacatan Tingkat 2. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Jurnal Medula
Unila.Volume 6, Nomor 1, Desember 2016. 2016.

20. Pratamasari M.A., MuhammadY.L., Studi Retrospektif :Reaksi Kusta Tipe II. Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSU Dr.Soetomo
Surabaya . Berakala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol.27,No. 2, agustus 2015. 2015.

21. Nery J.A.D.C, Fred B.F., et al. Understanding the type 1 reactional state for early
diagnosis and treatment : a way to avoid disability inleprosy di download
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3798356/ tanggal 11 juli 2020,pukul
15:46 wib. 2013.
22. Pratiwi F.D., Indropo A., Kelainan Sistemik dan Laboratoris pada Pasien Kusta dengan
Reaksi Tipe 2 (Erythema Nodusum Leprosum). Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga RSU Dr.Soetomo Surabaya . Berakala Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Vol.30,No.1, April 2018. 2018.
23. Balagon Ma.V.F., Robert H.G., RodolfoM.A., RolandV.C., Reactions Following
Completion of 1and 2 Year Multidrug Therapy (MDT). The American Journal of Tropical
Medicine And Hygiene. didownload
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2929063/ [tanggal 11 juli 2020, pukul
15:00]. 2010.

24. Bhat R.M., Chaitra P., Leprosy : An Overview of Pathophysiology. Departement of


Dermatology, Father Muller Medical College, Karnataka, Manglore, India. Review
Article Hindawi,Volume 2012. 2012.
29

25. Kahawita,I.P.,& Lockwood,D.N.J., Towards understanding the pathology of erythema


nodosum leprosum. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene;
102 (4), 329-337. Didownload
https://www.researchgate.net/publication/5537948_Towards_understanding_the_pathology
_of_erythema_nodosum_leprosy [tanggal 11 juli 2020,pukul 14:34 wib]. 2008.
26. Bilik,L., Demir B., & Cicek,D., Leprosy Reactions. Hansen’s Desease- the Forgotten and
Neglected Disease. Di download https://www.intechopen.com/books/hansen-s-disease-
the-forgotten-and-neglected-disease/leprosy-reactions [tanggal 11juli 2020, pukul
16:24wib]. 2019.

Anda mungkin juga menyukai