Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai lepra, kusta adalah penyakit infeksi
kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, pertama kali menyerang saraf tepi,
setelah itu menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf
pusat. Mycobacterium Leprae ditemukan pertama kali oleh akmuer Hasen di norwegia
dan memiliki sifat 1). Basil tahan asam dan tahan alkohol, 2). Obligat intraseluler, 3).
Dapat diisolasi dan diinokulasi, tetapi tidak dapat dibiakkan, 4). Membelah diri antara
12-21 hari, 5). Masa inkubasi rata-rata 3-5 tahun (Asing, 2010). Lepra merupakan
penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi,
dan deformitas (Djuanda, 2005).

Diperkirakan penderita didunia ± 10.596.000 dan di Indonesia ± 121.473 orang


(data tahun 1992). Insiden dapat terjadi pada semua umur, tapi jarang ditemukan pada
bayi, laki-laki lebih banyak dibanding wanita. Penularan Mycobacterium
Leprae belum diketahui dengan jelas, tetapi diduga menular melalui saluran
pernapasan (droplet infection), kontak langsung erat dan berlangsung lama. Faktor-
faktor yang mempengaruhi penularan penyakit morbus hansen adalah umur, jenis
kelamin, ras, genetik, iklim, lingkungan/sosial ekonomi (Asing, 2010).

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar
diseluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Morbus Hansen ?
2. Bagaimanakah etiologi dan cara penularan dari Morbus Hansen?
3. Bagaimanakah patofisiologi dari Morbus Hansen?
4. Apa saja manifestasi klinis dari Morbus Hansen?
5. Bagaimana komplikasi dari Morbus Hansen?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari Morbus Hansen?
7. Bagaimana cara penatalaksanaan dari Morbus Hansen?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Morbus Hansen
2. Untuk mengetahui etiologi dan cara penularan dari Morbus Hansen
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari Morbus Hansen
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Morbus Hansen
5. Untuk mengetahui komplikasi dari Morbus Hansen
6. Untnuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari Morbus Hansen
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Morbus Hansen
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan oleh


Mikrobakterium leprae yang obligat intra seluler yang menyerang syaraf perifer,
kulit, mukosa traktus respiratorik bagian Atas kemudian menyerang organ-organ
kecuali susunan syaraf pusat. Penyakit yang menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)

Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai lepra, kusta adalah penyakit
infeksi kronisyg disebabkan oleh Mycobacterium Leprae, pertama kali
menyerang saraf tepi, setelah itumenyerang kulit dan organ-organ tubuh lain
kecuali susunan saraf pusat. (Djuanda, 2005).

Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan oleh


Mikrobakterium leprae yang obligat intra seluler yang menyerang syaraf perifer,
kulit, mukosa traktus respiratorik bagian atas kemudian menyerang organ-organ
lain kecuali susunan saraf pusat.(Mansjoer Arif, 2000) Kusta adalah penykit
menular pada umunya mempengaruhi kulit dan saraf perifer,tetapi mempunyai
cakupan manifestasi klinis yang luas (COC, 2003).

B. Etiologi

Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh


G.A.Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, secara morfologik berbentuk
pleomorf lurus batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran
0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan
tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok,
termasuk massa ireguler besar yang disebut sebagai globi ( Depkes , 2007).

Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel
saraf (Schwan Cell) dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu pembelahan sangat
lama , yaitu 2-3 minggu, diluar tubuh manusia (dalam kondisis tropis) kuman
kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977, dalam
Leprosy Medicine in the Tropics Edited by Robert C. Hasting,1985).
Pertumbuhan optimal kuman kusta adalah pada suhu 27º30º C ( Depkes, 2005).

M.leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar
dibuktikan dapat bertahan hidup 46 hari , ada lima sifat khas :

a. M. Leprae merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat


dibiakkan di media buatan.

b. Sifat tahan asam M. Leprae dapat diektraksi oleh piridin.

c. M.leprae merupakan satu- satunya mikobakterium yang mengoksidasi


D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin).

d. M.leprae adalah satu-satunya spesies micobakterium yang menginvasi


dan bertumbuh dalam saraf perifer.

e. Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen antigenic


yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif
pada penderita tuberculoid dan negatif pada penderita lepromatous
(Marwali Harahap, 2000).

C. Cara Penularan

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiler (MB)
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti
belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit
kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan (inhalasi) dan kulit (kontak
langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel
rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu. Tempat
implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang intim dan
lama dengan penderita. Yang jelas seorang penderita yang sudah minum obat
tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain. Timbulnya penyakit kusta
bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa
faktor antara lain :

a. Faktor Sumber Penularan

Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB inipun


tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.

b. Faktor Kuman Kusta

Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1 - 9 hari


tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh
(solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.

c. Faktor Daya Tahan Tubuh

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %), dari hasil
penelitian menunjukkan gambaran sebagai berikut : dari 100 orang yang
terpapar : 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat
dan 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh
pengobatan.

Penularan kusta juga dapat terjadi secara tidak langsung, yaitu melalui
lingkungan. Hal ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa adanya
penurunan prevalensi kusta ternyata tidak diikuti dengan penurunan insidensi
dan masih tetap adanya penderita baru yang ditemukan walaupun kasus aktif
sebagai sumber infeksi telah diobati. Mycobacterium leprae mampu hidup
diluar tubuh manusia dan keluar terutama dari sekret nasal. Mycobacterium
leprae ditemukan pada tanah disekitar lingkungan rumah penderita, dan hal
ini dibuktikan dengan salah satu penelitian menggunakan telapak kaki mencit
sebagai media kultur, juga dapat dibuktikan bahwa M.leprae mampu hidup
beberapa waktu di lingkungan. Mycobacterium leprae juga dapat ditemukan
pada debu rumah penderita, air untuk mandi dan mencuci yang dapat menjadi
sumber infeksi, akan tetapi hal ini masih memerlukan penelitian lanjut.
D. Patofisiologi

Mekanisme penularan penyakit Morbus Hansen diawali dari kuman

Mycobacterium Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam


sel serta mempunyai sifat tahan asam (BTA). Kuman Morbus Hansen ini
pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit,
mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot,
tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat.

Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis


telah dikemukakan

seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti
bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita
kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan.

Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen diakibatkan M.Leprae


yangm emiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2
yang akan berikatandengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu
akan mengaktifkan MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II
setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akanmengaktifkan Th1 dan Th2
dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal
memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindungi di
dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang makrofag
bekerja terus-menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF (Growht Factor)
yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenal bagian self atau
nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti
dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann
merupakan APC non professional. Akibatnya akan mengalami gangguan
fungsi saraf tepi seperti sensorik, motorik dan otonom.

Serangan terhadap fungsi sensorik akan menyebabkan terjadinya luka


pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati rasa (anestasi). Kerusakan
fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau lumpuhnya otot kaki atau
tangan, jari-jari tangan atau kaki menjadi bengkok. Rusaknya fungsi otonom
berakibat terjadinya gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras,
dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si penderita cacat
seumur hidup.

Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa
hipopigmentasi (semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan
kulit) dan nodul (benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang
terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat
mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Penyakit ini dapat menimbulkan
ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena
infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Penderita lepra
lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat
menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.

Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan pada otot mata


mengakibatkan kurang atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan
mudah kemasukan kotoran dan benda-benda asing yang dapat menimbulkan
kebutaan. Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang
dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan
kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama –
sama akan menyebabkan kebutaan
PATHWAY
E. Manifestasi Klinis

Berdasarkan gambaran klinik bekteriologi, histopatologi, dan imonologik

menjadi 5 kelompok yaitu:

1) Tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT)


Lesi berupa makula hipopigmentasi dengan permukaan kering dan
kadang dengan skuama di atasnya. Lesi mengenai kulit/saraf, bisa satu atau
beberapa. Dapat berupa macula/plakat, berbatas jelas, dibagian tengah
didapatkan lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan, permukaan lesi
dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, gejalanya dapat disertai penebalan
saraf perifer, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal. Jumlah biasanya yang
satu denga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas,
pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjarkeringat. BTA (-) dan
uji lepramin (+) kuat. Infiltrasi Tuberkoloid (+), tidak adanya kuman
merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil
kusta.
2) Tipe Borderline tuberkuloid (BT)
Lesi berupa macula anestesi/plak, sering disertai lesi satelit
dipinggirnyadengan permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan se
nsibilitas (+), tetapi gambaran hipopigmentasi dan gangguan saraf tidak
seberat tipe tuberkuloid dan biasanya asimetrik, jika terletak didekat saraf
perifer menebal.
3) Tipe Borderline-Borderline (BB).
Merupakan tipe II yang paling tidak stabil, dan jarang dijumpai, lesi
dapat berbentuk macula infiltrat, permukaannya dapat mengkilat, batas kuran
g jelas, jumlah melebihi tipe BT dan cenderung simetrik, bentuk, ukuran dan
distribusinya bervariasi. Bisa didapat lesi punched out yaitu hipopigmentasi
yang oral pada bagian tengah, merupakan cirri khas tipe ini.
4) Tipe Borderline Lepromatous (BL).
Lesi dimulai dengan macula, awalnya sedikit dan dengan cepat
menyebarkeseluruhan badan, macula lebih jelas dan lebih bervariasi
bentuknya. Walaumasih kecil papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi
yang hampir simetrik. Tanda-tanda khas seperti kerusakan saraf berupa
hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya kerinngat, dan gugurnya
rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe Lepromatous (LL).
Lesi berupa infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi,
bilateraltapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit atau tidak ada, BTA (+)
banyak, uji Lepromin (-).
5) Tipe Lepromatous-Lepromatous (LL).
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem,
mengkilap, terbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan
antidrosis pada stadium dini, distribusi lesi khas, mengenai dahi, pelipis,
dagu, cuping telinga, di badan mengenai bagian belakang yang dingin,
lengan, punggung tangan
dan permukaan ekstentor tungkai bawah, pada stadium lanjut tampak penebal
an kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar
dan cekung, dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Dapat pula terjadi
deforhitas hidung, dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis dan
atropi testis.
Sedangkan manifestasi klinis penggolongan kusta yaitu:
1) Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa
bercak keputihan sebesar uang
logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi
,punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering,
perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi.
Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada,
sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih
jelas. Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan
timbul lebihawal dari pada bentuk basah.
Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak
ditemukan adanyakuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang
paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang
daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi.
2) Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman
dapat ditemukan baik diselaput lendir hidung, kulit maupun organ
tubuh lain. Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk
kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah
dalam menghadapi kuman kusta. Kelainan kulit bisa berupa bercak
kemerahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun
sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap
dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merahsebesar
biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga.Sering
disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan
kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan
hidung. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut
dari perjalanan penyakit. Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka
singa” (facies leonina).

F. Komplikasi
1. Reaksi Kusta Tipe 1
Disebabkan reaksi hipersensitivitas seluler (tipe 4). Antigen berasal
dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T disertai
perubahan sistem imunitas ya cepat.
2. Reaksi Kusta Tipe 2 (Eritema Nodosum Leprosum)
Merupakan reaksi humoral yaitu reaksi hipersensitivitas tipe 3.
Antigen dari basil yang telah mati membentuk kompleks imun dengan
antibodi dan mengaktifkan komplemen.
Pada kasus kusta, mungkin mengakibatkan:
a. Kerusakan yang sering timbul pada tangan.
b. Trauma dan infeksi kronik skunder dapat menyebabkan hilangnya
jari-jemari atauekstremitas bagian distal.
c. Sering menyebabkan kebutaan.
d. Hilangnya hidung pada kasus LL.
e. Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik
akibat kerusakanfungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu
terjadi reaksi kusta
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Memiliki lesi yang paling aktif yaitu : yang paling erythematous dan
paling infiltratif.Secara topografik yang paling baik adalah muka dan telinga.
Denngan menggunakanVaccinosteil dibuat goresan sampai didermis, diputar
90 derajat dan dicongkelkan,dari bahan tadi dibuat sediaan apus dan diwarnai
Zeihlnielsen. Pada pemeriksaan akantampak batang-batang merah yang utuh,
terputus-putus atau granuler.
2. Test Mitsuda
Berupa penyuntikan lepromin secara intrakutan pada lengan, yang
hasilnya dapatdibaca setelah 3 – 4 minggu kemudian bila timbul infiltrat di
tempat penyuntikan berarti lepromim test positif.
3. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.
IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil
pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai
berikut:
a. bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
b. bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
c. bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
d. bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
e. bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
f. bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
g. bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

H. Penatalaksanaan
Obat-obatan yang digunakan dalam World Health Organization Multy drug
Therapy (WHO-MDT) adalah kombinasi rifampisin, klofazimin dan dapson
untuk penderita lepra tipe MB serta rifampisin dan dapson untuk penderita lepra
tipe PB. Rifampisin ini adalah obat antilepra yang paling penting dan termasuk
dalam perawatan kedua jenis lepra. Pengobatan lepra dengan hanya satu obat
antilepra akan selalu menghasilkan mengembangan resistensi obat, pengobatan
dengan dapson atau obat antilepra lain yang digunakan sebagai monoterapi
dianggap tidak etis.
Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati
resistensi, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata
rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan efek
terapeutik obat, efek samping obat, ketersediaan obat, harga obat, dan
kemungkinan penerapannya.
Prosedur pemberian MDT adalah sebagai berikut:
1) MDT untuk lepra tipe MB
Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600 mg setiap
bulan, klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan dapsone
100 mg setiap hari. Sedangkan pada anak-anak, diberikan selama 12 bulan
dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan, klofamizin 150 mg setiap
bulan dan 50 mg setiap hari, serta dapsone 50 mg setiap hari.
2) MDT untuk lepra tipe PB
Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 600
mg setiap bulan dan dapsone 100 mg setiap bulan. Pada anak-anak diberikan
selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan dan
dapsone 50 mg setiap bulan. Sedangkan pada anak-anak dengan usia
dibawah 10 tahun, diberikan kombinasi rifampisin 10 mg/kg berat badan
setiap bulan, klofamizin 1 mg/kg berat badan diberikan pada pergantian hari,
tergantung dosis, dan dapsone 2 mg/kg berat badan setiap hari.
Untuk pengobatan timbulnya reaksi lepra adalah sebagai berikut:
1) Pengobatan reaksi reversal (tipe 1)
Pengobatan tambahan diberikan apabila disertai neuritis akut, obat
pilihan pertama adalahkorikosteroid. Biasanya diberikan prednison 40
mg/hari kemudian diturunkan perlahan. Pengobatan harus secepatnya dan
dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf
secara menndadak. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus
diistirahatkan. Apabila diperlukan dapat diberikan analgetik dan sedativa.
2) Pengobatan reaksi ENL (tipe 2)
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain
prednison dengan dosis yang disesuaikan berat ringannya reaksi, biasanya
diberikan dengan dosis 15-30 mg/hari. Dosis diturunkan secara bertahap
sampai berhenti sama sekali sesuai perbaikan reaksi. Apabila diperlukan
dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedativa. Ada kemungkinan
timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL akan timbul apabila
obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu sehingga
penderita harus mendapatkan kortikosteroid secara terus-menerus.
Penderita lepra dengan diagnosis terlambat dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita
dengan reaksi lepra terutama reaksi reversal lesi kulit multipel dan dengan
saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas
dan berkurangnya kekuatan otot. Keluhan yang timbul berupa nyeri saraf
atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang
kehilangan sensibilitasnya, serta adanya kesulitan melakukan aktivitas
sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang benda kecil atau
kesulitan berjalan.
Pencegahan kecacatan yang terbaik atau prevention of disability (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini lepra, pemberian pengobatan
MDT yang cepat dan tepat, mengenali gejala dan tanda reaksi lepra yang
disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid
secepatnya. Memberikan edukasi pada pasien tentang perawatan misalnya
memakai kacamata, merawat kulit supaya tidak kering dan lainnya apabila
terdapat gangguan sensibilitas.

I. ASKEP
A. Pengkajian

a. Biodata

Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang


diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda.
Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat
kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian
besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan
keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan
pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita
(demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.

c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika


dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat
imunisasi.

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun


yang disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang
masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota
keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.

e. Riwayat Psikososial

Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang


menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan
penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri,
sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena
penurunan.

f. Pola Aktivitas Sehari-hari

Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada


tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami
ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena
kondisinya yang tidak memungkinkan.

g. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena


reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen.
Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
1. Sistem penglihatan.

Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata


anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi
mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.
Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan
pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka
alis mata akan rontok.

2. Sistem pernafasan

Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan


terdapat gangguan pada tenggorokan.

3. Sistem persarafan:

a) Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya


kurang/ mati rasa. Akibat kurang/ mati rasa pada telapak
tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata
mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.

b) Kerusakan fungsi motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/


lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena
tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi
bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan
mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).

c) Kerusakan fungsi otonom

Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar


minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit
menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat
pecah-pecah.

d) Sistem muskuloskeletal.

Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya


kelamahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika
dibiarkan akan atropi.

e) Sistem integumen.

Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu),


bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan
kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom
terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal,
mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati
kerontokan jika terdapat bercak.

Harus diperiksa kelenjar regional karena dapat ditemukannya


pembesaran dari beberapa limfe.

1. Inspeksi

Kaji adanya ruam, hipo pigmentasi atau hiperpigmentasi


serteritematosa. dengan permukaan yang kasar atau licin dengan
batas yang kurang jelas. Pada tipe tuberkuloid dapat ditemukan
gangguan saraf kulit. Yang disrtai dengan penebalan syaraf, adanya
nyeri tekan akibat adanya jarinagn fibrosa, anhidrisi, dan kerontokan
rambut.pada tipe lepromatus , dijumpai hidung pelana dan wajah
singa. Selain itu kaji juga adanya kelainan otot berupa artrofi disuse
otot yang ditandai dengan kelumpuhan otot otot.

Diikuti adanya kekakuan sendi atau kontraktur sehingga terjadi


clow hand, drop foot, dan drop hand. Kaji juga adanya osteomilitis
serta pemendekan kerusakan tulang. Kaji pula kelainan mata akibat
kelumpuhan. Inspeksi mata kering kereatitis ulkus kornea iritis
iridoksiklitik dan berakhir dengan kebutaan. Kaji adanya
ginekomastia.
2. Palpasi

Temukan adanya penebalan serabut syaraf, makula anastetika,


pada tipe T, dan makula non anastetika pada tipe L. Serta
permukaan yang kering dan kasar. Lakukan pemeriksaan sederhana,
untuk menunjang kepastian diagnosis penyakit kusta serta untuk
mengetahui adanyaanastesia pada lesi.

a. Uji kulit.

Uji ini paling sering dilakukan dan cara mudahnya sehingga


semua petugas dapat melakukannya, penggunaan jarum untuk
untuk mengetahui adanya masa sakit dilakukan dengan meminta
pasien menyebutkan area yang lebih terasa nyeri. Serta kaji
adanya rasa pada kulit dengan adanya rasa jika disentuh kapas
atau bulu ayam. Jika tidak bisa, gunakan juga reaksi suhu.

b. Uji keringat

Biasanya akan ditemukan anhidrosis karena rusaknya


kelenjar keringat, uji ini dilakukan dengan menggores lesi
dengan pinsil tinta mulai dari beberapa cm dari arah dalam
keluar. Hasilnya akan terjadi perubahan warna ungu sedangkan
di area lesi tidak.

c. Uji lepromin

Untuk menentukan diagnosis dan klasifikasi penyakit kusta.


Tipe 1,T dan BT: uji lepromin positif. Tipe BB, BL, LL: uji
lepromin negatif.
B. Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses


inflamasi.

2. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan proses inflamasi


jaringan.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

4. Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan kecacatan


dan kehilangan fungsi tubuh.

C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa 1

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi


berhenti dan berangsur-angsur sembuh.
Kriteria hasil : 1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
NIC :
1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan
kondisi sekitar luka.
Rasional : Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses
inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasional: Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada
jaringan sekitar.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan
adakah penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional: Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan
mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional: Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk
mempertahankan kebersihan lesi.
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses
penyembuhan

Diagnosa 2

Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan proses inflamasi


jaringan.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi


berhenti dan berangsur-angsur hilang.
Kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses
inflamasi dapat berkurang dan nyeri berkurang dan
berangsur-angsur hilang.
NIC :
1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri

Rasional: Memberikan informasi untuk membantu dalam


memberikan intervensi

2. Observasi tanda-tanda vital

Rasional: Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien

3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi


Rasional: Dapat mengurangi rasa nyeri
4. Atur posisi senyaman mungkin
Rasional: Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
5. Kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional: Menghilangkan rasa nyeri

Diagnosa 3

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik


dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan
Kriteria Hasil : 1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari,
2) Kekuatan otot penuh

NIC :

1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman


Rasional: Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit
Rasional: Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada
ekstremitas
3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan
pasif kemudian aktif
Rasional: Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan,
meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi
4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan
periode istirahat
Rasional: Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap
aktifitas
5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada
latihan
Rasional: Menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif
dalam perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan.

Diagnosa 4

Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan kecacatan dan


kehilangan fungsi tubuh.

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat


berfungsi secara optimal dan konsep diri meningkat.
Kriteria hasil: 1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa
harga diri negatif

NIC :
1. Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional: Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba.
Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal

2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan.


Perhatikan perilaku menarik diri.
Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap
apa yang terjadi membantu perbaikan

3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan


memberikan kenyakinan yang salah
Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan
kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa
depan berdasarkan realitas

4. Berikan penguatan positif


Rasional: Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya
perilaku koping positif.

5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat.

Rasional : meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan


respon yang lebih membaantu pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif, (2000), Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media
Aeuscualpius,Jakarta.
Juall, Lynda,1999 Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan
Edisi II, EGC. Jakarta,Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku
Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta.
Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell Science,
Australia
Adhi, N. Dkk, 1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai