PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai lepra, kusta adalah penyakit infeksi
kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, pertama kali menyerang saraf tepi,
setelah itu menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf
pusat. Mycobacterium Leprae ditemukan pertama kali oleh akmuer Hasen di norwegia
dan memiliki sifat 1). Basil tahan asam dan tahan alkohol, 2). Obligat intraseluler, 3).
Dapat diisolasi dan diinokulasi, tetapi tidak dapat dibiakkan, 4). Membelah diri antara
12-21 hari, 5). Masa inkubasi rata-rata 3-5 tahun (Asing, 2010). Lepra merupakan
penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi,
dan deformitas (Djuanda, 2005).
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar
diseluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Morbus Hansen ?
2. Bagaimanakah etiologi dan cara penularan dari Morbus Hansen?
3. Bagaimanakah patofisiologi dari Morbus Hansen?
4. Apa saja manifestasi klinis dari Morbus Hansen?
5. Bagaimana komplikasi dari Morbus Hansen?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari Morbus Hansen?
7. Bagaimana cara penatalaksanaan dari Morbus Hansen?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Morbus Hansen
2. Untuk mengetahui etiologi dan cara penularan dari Morbus Hansen
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari Morbus Hansen
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Morbus Hansen
5. Untuk mengetahui komplikasi dari Morbus Hansen
6. Untnuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari Morbus Hansen
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Morbus Hansen
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai lepra, kusta adalah penyakit
infeksi kronisyg disebabkan oleh Mycobacterium Leprae, pertama kali
menyerang saraf tepi, setelah itumenyerang kulit dan organ-organ tubuh lain
kecuali susunan saraf pusat. (Djuanda, 2005).
B. Etiologi
Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel
saraf (Schwan Cell) dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu pembelahan sangat
lama , yaitu 2-3 minggu, diluar tubuh manusia (dalam kondisis tropis) kuman
kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977, dalam
Leprosy Medicine in the Tropics Edited by Robert C. Hasting,1985).
Pertumbuhan optimal kuman kusta adalah pada suhu 27º30º C ( Depkes, 2005).
M.leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar
dibuktikan dapat bertahan hidup 46 hari , ada lima sifat khas :
C. Cara Penularan
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiler (MB)
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti
belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit
kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan (inhalasi) dan kulit (kontak
langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel
rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu. Tempat
implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang intim dan
lama dengan penderita. Yang jelas seorang penderita yang sudah minum obat
tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain. Timbulnya penyakit kusta
bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa
faktor antara lain :
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %), dari hasil
penelitian menunjukkan gambaran sebagai berikut : dari 100 orang yang
terpapar : 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat
dan 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh
pengobatan.
Penularan kusta juga dapat terjadi secara tidak langsung, yaitu melalui
lingkungan. Hal ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa adanya
penurunan prevalensi kusta ternyata tidak diikuti dengan penurunan insidensi
dan masih tetap adanya penderita baru yang ditemukan walaupun kasus aktif
sebagai sumber infeksi telah diobati. Mycobacterium leprae mampu hidup
diluar tubuh manusia dan keluar terutama dari sekret nasal. Mycobacterium
leprae ditemukan pada tanah disekitar lingkungan rumah penderita, dan hal
ini dibuktikan dengan salah satu penelitian menggunakan telapak kaki mencit
sebagai media kultur, juga dapat dibuktikan bahwa M.leprae mampu hidup
beberapa waktu di lingkungan. Mycobacterium leprae juga dapat ditemukan
pada debu rumah penderita, air untuk mandi dan mencuci yang dapat menjadi
sumber infeksi, akan tetapi hal ini masih memerlukan penelitian lanjut.
D. Patofisiologi
seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti
bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita
kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan.
Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa
hipopigmentasi (semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan
kulit) dan nodul (benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang
terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat
mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Penyakit ini dapat menimbulkan
ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena
infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Penderita lepra
lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat
menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
F. Komplikasi
1. Reaksi Kusta Tipe 1
Disebabkan reaksi hipersensitivitas seluler (tipe 4). Antigen berasal
dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T disertai
perubahan sistem imunitas ya cepat.
2. Reaksi Kusta Tipe 2 (Eritema Nodosum Leprosum)
Merupakan reaksi humoral yaitu reaksi hipersensitivitas tipe 3.
Antigen dari basil yang telah mati membentuk kompleks imun dengan
antibodi dan mengaktifkan komplemen.
Pada kasus kusta, mungkin mengakibatkan:
a. Kerusakan yang sering timbul pada tangan.
b. Trauma dan infeksi kronik skunder dapat menyebabkan hilangnya
jari-jemari atauekstremitas bagian distal.
c. Sering menyebabkan kebutaan.
d. Hilangnya hidung pada kasus LL.
e. Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik
akibat kerusakanfungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu
terjadi reaksi kusta
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Memiliki lesi yang paling aktif yaitu : yang paling erythematous dan
paling infiltratif.Secara topografik yang paling baik adalah muka dan telinga.
Denngan menggunakanVaccinosteil dibuat goresan sampai didermis, diputar
90 derajat dan dicongkelkan,dari bahan tadi dibuat sediaan apus dan diwarnai
Zeihlnielsen. Pada pemeriksaan akantampak batang-batang merah yang utuh,
terputus-putus atau granuler.
2. Test Mitsuda
Berupa penyuntikan lepromin secara intrakutan pada lengan, yang
hasilnya dapatdibaca setelah 3 – 4 minggu kemudian bila timbul infiltrat di
tempat penyuntikan berarti lepromim test positif.
3. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.
IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil
pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai
berikut:
a. bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
b. bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
c. bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
d. bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
e. bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
f. bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
g. bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
H. Penatalaksanaan
Obat-obatan yang digunakan dalam World Health Organization Multy drug
Therapy (WHO-MDT) adalah kombinasi rifampisin, klofazimin dan dapson
untuk penderita lepra tipe MB serta rifampisin dan dapson untuk penderita lepra
tipe PB. Rifampisin ini adalah obat antilepra yang paling penting dan termasuk
dalam perawatan kedua jenis lepra. Pengobatan lepra dengan hanya satu obat
antilepra akan selalu menghasilkan mengembangan resistensi obat, pengobatan
dengan dapson atau obat antilepra lain yang digunakan sebagai monoterapi
dianggap tidak etis.
Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati
resistensi, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata
rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan efek
terapeutik obat, efek samping obat, ketersediaan obat, harga obat, dan
kemungkinan penerapannya.
Prosedur pemberian MDT adalah sebagai berikut:
1) MDT untuk lepra tipe MB
Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600 mg setiap
bulan, klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan dapsone
100 mg setiap hari. Sedangkan pada anak-anak, diberikan selama 12 bulan
dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan, klofamizin 150 mg setiap
bulan dan 50 mg setiap hari, serta dapsone 50 mg setiap hari.
2) MDT untuk lepra tipe PB
Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 600
mg setiap bulan dan dapsone 100 mg setiap bulan. Pada anak-anak diberikan
selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan dan
dapsone 50 mg setiap bulan. Sedangkan pada anak-anak dengan usia
dibawah 10 tahun, diberikan kombinasi rifampisin 10 mg/kg berat badan
setiap bulan, klofamizin 1 mg/kg berat badan diberikan pada pergantian hari,
tergantung dosis, dan dapsone 2 mg/kg berat badan setiap hari.
Untuk pengobatan timbulnya reaksi lepra adalah sebagai berikut:
1) Pengobatan reaksi reversal (tipe 1)
Pengobatan tambahan diberikan apabila disertai neuritis akut, obat
pilihan pertama adalahkorikosteroid. Biasanya diberikan prednison 40
mg/hari kemudian diturunkan perlahan. Pengobatan harus secepatnya dan
dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf
secara menndadak. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus
diistirahatkan. Apabila diperlukan dapat diberikan analgetik dan sedativa.
2) Pengobatan reaksi ENL (tipe 2)
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain
prednison dengan dosis yang disesuaikan berat ringannya reaksi, biasanya
diberikan dengan dosis 15-30 mg/hari. Dosis diturunkan secara bertahap
sampai berhenti sama sekali sesuai perbaikan reaksi. Apabila diperlukan
dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedativa. Ada kemungkinan
timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL akan timbul apabila
obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu sehingga
penderita harus mendapatkan kortikosteroid secara terus-menerus.
Penderita lepra dengan diagnosis terlambat dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita
dengan reaksi lepra terutama reaksi reversal lesi kulit multipel dan dengan
saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas
dan berkurangnya kekuatan otot. Keluhan yang timbul berupa nyeri saraf
atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang
kehilangan sensibilitasnya, serta adanya kesulitan melakukan aktivitas
sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang benda kecil atau
kesulitan berjalan.
Pencegahan kecacatan yang terbaik atau prevention of disability (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini lepra, pemberian pengobatan
MDT yang cepat dan tepat, mengenali gejala dan tanda reaksi lepra yang
disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid
secepatnya. Memberikan edukasi pada pasien tentang perawatan misalnya
memakai kacamata, merawat kulit supaya tidak kering dan lainnya apabila
terdapat gangguan sensibilitas.
I. ASKEP
A. Pengkajian
a. Biodata
e. Riwayat Psikososial
g. Pemeriksaan Fisik
2. Sistem pernafasan
3. Sistem persarafan:
d) Sistem muskuloskeletal.
e) Sistem integumen.
1. Inspeksi
a. Uji kulit.
b. Uji keringat
c. Uji lepromin
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1
Diagnosa 2
Diagnosa 3
NIC :
Diagnosa 4
NIC :
1. Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional: Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba.
Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal
Mansjoer, Arif, (2000), Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media
Aeuscualpius,Jakarta.
Juall, Lynda,1999 Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan
Edisi II, EGC. Jakarta,Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku
Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta.
Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell Science,
Australia
Adhi, N. Dkk, 1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta.