Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

LEPRA (MORBUS HENSEN)

Nama:
Maulidiyah Mahayu Nilam Anindy

NIM:
132013143029

Ruang:
Kemuning II

PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
1.1 Definisi

Lepra merupakan penyakit kronik yang pertama kali menyerang sususan saraf

perifer, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian

atas, kemudian dapat keorgan lain kecuali susunan saraf pusat. Penyakit lepra atau kusta

disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan yaitu Dr. Gerhard

Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Lepra

adalah penyakit yang maenahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium

leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.

1.2 Etiologi

M. Leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligor intraseluler,

menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian atas,

hati, dan sumsum tulang kecuali sususran saraf pusat. Masa membelah diri M. Leprae 12-

21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun. M. Leprae atau kuman Hansen

adalah kuman penyebab penyakit lepra yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH

Armouver Hansen pada tahun 1874. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang

dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan

ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan

tidak dapar dikultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi

sistemik pada binatang Armadillo.

1.3 Patofisiologi

Kuman Mycrobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan

(Sel Schwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah penderita kusta yang

banyak mengandung kuman (tipe multibasiler) yang belum diobati. Kuman masuk ke
dalam tubuh menuju tempat predileksinya yaitu saraf tepi. Saat Mycobacterium laprae

masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit lepra bergantung pada kerentanan

seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat system

imunitas pasien. Mycobacterium laprae bepredileksi di daerah-daerah yang relative lebih

dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu

sebanding dengan derakat infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda.

Setelah mikrobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit

lepra bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui

tergantung pada derajat system imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Jika

system imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah

berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah

yang relative dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat

penyakit tidak selalu sebanding dengan deraj::::::at infeksi karena imun pada tiap pasien

berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas

ingeksi oleh karena itu penyakit lepra disebut penyakit imunologik.

Cara-cara penularan penyakit lepra sampai saat ini masih merupakan tanda tanya.

Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput

lender hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit lepra adalah:

1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang

sudah mongering, diluar masih dapat hidup 2-7 x 24 jam.

2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15

tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makrokopis, dan

adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.


Penyakit lepra dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler kepada

orang lain dengan cara penularan langsung. Sebagian besar para ahli berpendapat bahwa

penyakit lepra dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit. Masa inkubasinya

yaitu 3-5 tahun.

1.4 Manifestasi Klinis

Tanda-tanda penyakit lepra bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit

tersebut yaitu:

1. Bercak kulit berbentuk seperti koin di mana pada tempat bercak tersebut hilangnya atau

berkurangnya kemampuan kulit untuk merasakan sensai sentuhan, nyeri, panas, atau

dingin (mati rasa)

2. Hilangnya kemampuan saraf yang terkena infeksi untuk merasakan sensai di kulit.

3. Lemas dan kelemahan otot.

4. Foot drop atau clawed hand (tangan seperti mencakar) yang disebabkan nyeri akibat

kerusakan saraf dan kerusakan saraf yang cepat.

5. Luka bergaung umumnya pada tangan dan kaki.

6. Perubahan bentuk dari anggota gerak maupun struktur wajah karena rusaknya saraf.

7. Berubahnya kulit wajah menjadi lebih tebal (pada lepra lanjut).

Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi:

1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.

2. Anoreksia.

3. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus

4. Cephalgia (Sakit kepala).

5. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis


6. Kadang-kadang disetai dengan Nephrosia, Nepritis, dan Hepatosplenomagali.

7. Neuritis

1.5 Klasifikasi

Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi lepra berdasarkan gambaran klinis,

bakteriologik,histo patologik, dan status imun penderita menjadi:

1. TT: Lesi berupa macula hipo pigmentasi/eutematosa dengan permukaan kering dan

kadang dengan skuama diatasnya. Gejala berupa gangguan sensanilitas, pertumbuhan

langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA (-) dan uji lepramin (+) kuat.

2. BT: Lesi berupa macula/infiltrate eritematosa dengan permukaan kering dengan jumlah

1-4 buah, gangguan sensibiltas (+)

3. Lesi berupa mamakula/infiltrate eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas

lesi “punched out” dengan infiltrate eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan

tidak begitu jelas pada tepi luarnya.

Gangguan sensibiltas sedikit, BTA (+) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji

lepromin (-)

1. BL: Lesi infiltrate eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi

asimetris, gangguan sensibiltas sedikit/(-), BTA(+) banyak, uji Lepromin (-).

2. LL: Lesi infiltrate eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat

banyak dan simetris. BTA(+) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa

hidung, uji lepromin (-).

WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Pansi Basiler (PB): I, TT, BT


2. Multi Basiler (MB): BB, BL, LL

1.6 Faktor Risiko

A. Agent

Kuman ini satu genus dengan kuman TB dimana di uar tubuh manusia, kuman lepra

hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari.

Kuman lepra dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar

matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Kuman Tuberculosis dan lepra jika terkena

cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam. Seperti bakteri lain pada umumnya, akan

tumbuh dengan subur pda lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk

lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal esensial untuk pertumbuhan dan

kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media

yang baik untuk bakteri-bakteri pathogen termasuk yang memiliki rentang suhu yang

disukai, merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-40 C, tetapi

akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 C.

B. Host

Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman seperti Mycobacterium

tuberculosis dan morbus Hansen, kuman tersebut dapat menularkan pada 10-15 orang.

Tingkat penularan kusta di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang

penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di dalam

rumah dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang terbawa angina dan akan lebih baik

jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa menangkap kuman.

Hal yang perlu diketahui tentang host atau pejamu meliputi karakteristik: gizi atau daya

tahan tubuh, pertahanan tubuh, hygiene pribadi, gejala dan tanda penyakit dan
pengobatan. Karakteristik host dapat dibedakan antara lain: umur, jenis kelamin,

pekerjaan, keturunan, pekerjaan, ras dan gaya hidup.

C. Environment

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik benda mati, benda

hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-

elemen termasuk host yang lain. Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik,

lingkungan fisik terdiri dari: keadaan geografis (dataran tinggi atau rendah, persawahan

dan lain-lain), kelembaban udara, suhu, lingkungan tempat tinggal. Adapun lingkungan

non fisik meliputi: social (pendidikan, pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun

temurun), ekonomi (kebijakan mikro dan lokal) dan politik (suksesi kepemimpinan yang

memperngaruhi kebijakan pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit).

1.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Bakteriologis

Ketentuan pengambilan sediaan:

- Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif

- Kulit muka sebaiknya dihindari karena alas dan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi

ditempat lain

- Pemeriksaan ulang yang dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah

dengan lesi kulit yang baru timbul

- Lokasi sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium laprae yaitu: cuping telinga kiri

atau kanan dan dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
- Sedian dari selaput lender hidung sebaiknya dihindari karena: tidak menyenangkan

pasien. Positif palsu karena ada mikobakterium lain dan tidak pernah ditemukan

mikorbakterium laprae pada selaput lendir hidung

1.8 Penatalaksanaan

1. Terapi Medik

Tujuan utama program pemberantasan lepra adalah penyembuhan pasien kusta dan

mencegah timbulnya cacar serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta

terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.

Jenis-jenis obat kusta:

- Obat primer: dapsone, clofasimin, rifampisin, etionamode, prothionamide.

- Obat sekunder: INH, Streptomycine

o Dosis menurut rekomendasi WHO:

a. Kusta Paubacillary (tipe I, BT, TT)

 Dapsone: 1x100 mg tiap hari

 Rifampisin: 1x600 mg tiap bulan

(nb: pengobatan harus diberikan 6 bulan berturut-turut atau 6 dosis dalam 9

bulan dan diawasi selama 2 tahun)

b. Kusta Multibacillary (tipe BB, BL, LL)

 Dapsone: 1x100 mg tiap bulan

 Rifampisin: 1x600 mg tiap hari

 Clofazimine: 1x300 mg tiap bulan (hari pertama) kemudian dilanjutkan

dengan 1x50 mg/hari

(nb: Pengobatan 24 bulan berturut-turut dan diawasi ± 5 tahun)


o Dosis untuk anak

a. Klofazimin: Umur dibawah 10 tahun

 Bulanan 100mg/bulan

 Harian 50mg/bulan

 Umur 11-14 tahun

 Bulanan 100mg/bulan

 Harian 50mg/3kali/minggu

 DDS: 1-2 mg/Kg BB

b. Rifampisin: 10=15 mg/Kg BB

1) Pengobatan MDT terbaru

Metode ROM adalah pengobatan MBT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien

lepra tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin

600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung

dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis

dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberika sebagai obat alternative dan

dianjurkan dignakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.

2) Putus obat

Pada pasien lepra tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang

seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien lepra tipe MB

dinayatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari seharusnya.


2. Perawatan Umum

Perawatan pada morbus Hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya cacat

pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman lepra maupun

karena paradangan sewaktu keadaan reaksi netral.

o Perawatan mata dengan lagophthalmos

 Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran

 Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat

 Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu

o Perawatan tangan yang mati rasa

 Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-tanda luka,

melepuh

 Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah

jam

 Keadaan basah diolesi minyak

 Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus

 Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku

 Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka

o Perawatan kaki yang mati rasa

 Penderita memeriksa kaki setiap hari

 Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam

 Masih basah diolesi minyak

 Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus

 Jari-jari bengkok diurut lurus


 Kaki mati rasa dilindungi

o Perawatan Luka

 Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam

 Luka dibalut agar bersih

 Bagian luka diistirahatkan dari tekanan

 Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

 Tanda pederita melaksanakan perawatan diri:

- Kulit halus dan berminyak

- Tidak ada kulit tebal dan keras

- Luka dibungkus dan bersih

- Jari-jari bengkak menjadi kaku

1.9 Pencegahan

1. Pencegahan primer

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan:

a. Penyuluhan kesehatan

Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena

penyakit lepra dan memiliki risiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan

penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan

penyuuhan tentang lepra. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang

penyakit lepra adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan

masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan

dan melindungi kesehatannya dari penyakit lepra. Sasaran penyuluhan penyakit lepra

adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan menyarakat.


b. Pencegahan sekunder

Pengobatan pada penderita lepra untuk memutuskan mata rantai penularan,

menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah

bertambahnya cacat uang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug

therapy pada penderita lepra terutama pada Multibaciler karena tipe tersebut

merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain.

c. Pencegahan tersier

1) Pencegahan cacat lepra

- Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum

cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah

terjadinya kerusakan fungsi saraf.

- Upaya pencegahan cacat sekudner meliputi perawatan diri sendiri untuk

mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami

gangguan fungsi saraf.

- Rehabilitasi lepra, merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi

penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk memperiapkan penderita

cacat secara fisik, mental, social dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang

penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi

adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga

memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi social dalam masyarakat

yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik, meliputi:

 Latihan fisioterapi pada oto yang mengalami kelumpuhan untuk

mencegah terjadinya kontraktur.


 Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan

agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.

 Bedah plastic untuk mengurangi perluasan infeksi.

 Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan

normal terbatas pada tangan.

 Konselig dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita


1.10 WOC

Mycobacterium Leprae

Penularan : Droplet Infection atau kontak dengan kulit

Masuk dalam pembuluh darah dermis dan sel Schwann saraf

Sistem Imun Seluler (SIS)

Makrofag aktif

Fagositosis

Pembentukan sel epitel

Pembentukan tuberkel

MORBUS HANSEN

1. Lesi / bercak 1 – 5 1. Lesi / bercak > 5


2. Penebalan saraf tepi dengan 2. Penebalan saraf tepi dengan
gangguan fungsi pada 1 saraf gangguan fungsi pada > 1 saraf
3. BTA (-) 3. BTA (-) / (+)

Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB)

Gangguan saraf tepi

Srf. Motorik Srf. Otonom Srf. Sensorik

gg. kelenjar keringat, minyak fibrosis


& aliran darah MK: Kerusakan
Penebalan saraf Integritas Kulit
Kulit kering, mengkilap atau MK: Resiko infeksi
bersisik MK: Gangguan rasa
anestesia
nyaman: nyeri
MK: Gangguan
Gatal-gatal Terjadi trauma atau cedera aktivitas
1.11 Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

Pada pengkajian pasien penderita lepra dapat ditemukan gejala-gejala sebagai beikut:

o Aktivitas/istirahat

Tanda: Penurunan kekuatan otot. gangguan massa otot, perubahan tonus otot.

o Sirkulasi

Tanda: Penurunan nadi perofer, Vasokontriksi perifer.

o Integritas ego

Gejala : Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan

Tanda: Ansietas, menyangkal, menarik diri

o Makanan/cairan: Anoreksia

o Neurosensori

Gejala: Kerusakan saraf terutama saraf tepi, penekanan saraf tepi

Tanda: perubahan perilaku, penurunan reflex tendon

o Nyeri

Gejala: Tidak sensitive terhadap sentuhan, suhu, dan tidak merasakan nyeri

o Pernapasan

Gejala: Ventilasi tidak adekuat, takipnea

o Keamanan

Tanda: lesi kulit tunggal/multiple, biasanya hipopigmentasi, lesi kemerahan atau

berwarna tembaga, lesi dapat berpariasi tetapi umumnya berupa macula, papula,

dan nodul.
B. Diagnosa Keperawatan

- Gangguan konsep diri: Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu

- Gangguan rasa nyaman: Nyeri berhubungan dengan proses reaksi

- Gangguan aktivitas berhubungan dengan post amputasi

- Resiko tinggi injuri berhubungan dengan invasive bakteri

C. Intervensi

o Gangguan konsep diri: Harga diri rendah b/d inefektif koping individu

Tujuan:

Kriteria hasil:

 Klien dapat menerima perubahan dirinya

 Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan)

 Klien tidak merasa malu

Intervensi:

 Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan

bahwa perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.

 Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan

latihan otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.

 Anjurkan klien agar lebih mendekatkan pada tuhan YME

o Gangguan rasa nyaman: Nyeri b/d luka amputasi

Tujuan:

Kriteria hasil:
 Klien merasakan nyeri berkurang di daerah operasi

 Klien tenang

 Pola istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari

Intervensi:

 Kaji skala nyeri klien

 Alihkan perhatian klien terhadap nyeri

 Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital

 Awasi keadaan umum dan tanda-tanda vital

 Awasi keadaan luka operasi

 Ajarkan cara nafas dalam & ,assage untuk mengurangi nyeri

 Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotic dan analgetik

o Perubahan pila aktivitas b/d post amputasi

Tujuan:

Kriteria hasil:

 Klien dapat beraktivitas mandiri

 Klien tidak diam di tempat tidur terus

Intervensi:

 Motivasi klien untuk bisa beraktivitas sendiri

 Mengajarkan Range of Montion: terapi post amputasi

 Motivasi klien untuk dapat melakukan aktivitas sesuai dengan

kemampuannya.
Sumber:

https://www.academia.edu/17178001/ASUHAN_KEPERAWATAN_PASIEN_DENGAN_KUS

TA

http://eprints.undip.ac.id/42543/2/BAB_II.pdf

Anda mungkin juga menyukai