Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ASKEP DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN:


INSULIN DEPENDENT DIABETES MELLITUS (IDDM)

DI SUSUN OLEH
KELOMPOK I

PRODI
SI KEPERAWATAN

STIKes AISYAH PRINGSEWU


LAMPUNG

ASKEP KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN:


INSULIN DEPENDENT DIABETES MELLITUS (IDDM)
DEFINISI
Diabetes melitus ( DM ) adalah suatu penyakit kelainan metabolik yang secara umum
mempunyai kekurangan insulin yang relatif atau nyata. Insulin mempunyai kemampuan
untuk meningkatkan transport glukosa untuk proses oksidasi lebih lanjut.
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinik yang terdiri dari peningkatan kadar
gula darah, ekkresi gula melalui air seni dan gangguan mekanisme kerja hormon insulin.
Insulin adalah hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta
kelenjar pankreas.
Insulin merupakan polipeptida heteroodimer, yaitu polipeptida yang terdiri atas dua rantai
yaitu rantai A dan B, yang saling dihubungkan oleh dua jembatan disulfida antar rantai
yyang menghubungkan A7 ke B7 dan A20 ke B19. Insulin merupakan protein kecil yang
terdiri dari dua rantai asam amino.
Diabetes melitus dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Insulin dependent diabetes mellitus (IDDM)/ Juvenile onset/ ketosis prone/ type I
Diabetes Mellitus. Yaitu tipe dari diabetes melitus dimana terjadi kekurangan insulin
secara total atau hampir total dan apabila tidak diberikan insulin kepada penderita dapat
menyebabkan kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis.
2. Non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM)/ stable/ maturity onset/ type II
Diabetes Mellitus. Yaitu tipe dari diabetes melitus dimana penderita hanya menunjukkan
defisiensi insulin yang relatif dan walaupun banyak diantara mereka mungkin
memerlukan suplementasi insulin (iinsulin requiring), tidak akan terjadi kematian karena
ketoasidosis walaupun insulin eksogen diihentikan.
Dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai insulin dependent diabetes mellitus
(IDDM).
ETIOLOGI IDDM
Hampir semua (95%) kasus IDDM terjadi karena kombinasi genetik dan factor
lingkungan. Interaksi ini menyebabkan terjadinya destruksi autoimun pada sel beta pulaupulau Langerhans. Defisiensi insulin baru terjadi saat 90% sel beta sudah mengalami
destruksi.
Komponen genetik yang menyebabkan IDDM sudah jelas diteliti, yakni molekul DR3 dan
DR4 pada HLA kelas II. Lebih dari 90% anak kulit putih memiliki ekspresi DR3 dan/atau
DR4 pada HLA mereka. Pasien yang memiliki ekspresi DR3 juga berisiko memiliki
endokrinopati autoimun dan penyakit celiac. Pasien pasien ini sangat berisiko menderita
IDDM di kemudian hari karena telah terdeteksi adanya antibody anti sel-sel beta. Pasien

dengan DR4 umumnya menderita IDDM pada usia dini dan dapat ditemukan anibodi anti
sel-sel beta namun tidak ditemukan endokrinopati autoimun lainnya. Frekuensi terjadinya
IDDM pada anak ialah 2-3% jika sang ibu menderita diabetes dan 5-6% pada anak
dengan ayah diabetes. Angkanya menjadi 30% pada anak dengan ayah ibu menderita
diabetes. Komponen lingkungan yang menyebabkan IDDM sangat berperan penting dan
sifatnya sangat multifaktorial. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa infeksi virus
Rubella dapat memodifikasi komponen autoimun sehingga ibu yang mengalami infeksi
ketika hamil cenderung memiliki anak yang bebas penyakit autoimun, sebaliknya angka
kejadian IDDM jauh meningkat pada ibu yang sangat rendah terekspos dengan infeksi
ketika hamil. Anak-anak yang disusui oleh ibunya waktu kecil juga sedikit menderita
IDDM, sedangkan terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa sebagian protein susu
sapi (albumin serum bovine) memiliki antigen yang mirip dengan sel-sel beta.
Nitrosamin, bahan pengawet makanan dan campuran air minum, juga dilaporkan dapat
menyebabkan IDDM pada hewan, namun belum ada bukti dapat terjadi pada
manusia.Senyawa kimia yang dapat menyebabkan IDDM ialah Streptozocin dan RH-787,
racun tikus yang spesifik menghancurkan sel-sel beta sehingga menyebabkan IDDM.
Penyebab lainnya ialah tidak adanya pankreas atau sel beta kongenital sejak lahir, telah
dilakukan pankreatektomi, atau telah terjadi disfungsi pankreas akibat penyakit lain,
seperti fibrosis kistik, pankreatitis kronik, talasemia mayor, hemokromatosis, serta
sindrom uremia hemolitik. Penyakit lainnya ialah sindrom Wolfram (diabetes insipidus,
diabetes mellitus, atrofi optik, dan tuli) serta kelainan kromosom (sindrom Down,
sindrom Klinefelter, sindrom Turner, atau sindrom Prader-Willi).
EPIDEMIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI IDDM
Secara umum di dunia terdapat 15 kasus per 100.000 individu pertahun yang menderita
DM tipe 1. Tiga dari 1000 anak akan menderita IDDM pada umur 20 tahun nantinya.
Insiden DM tipe 1 pada anak-anak di dunia tentunya berbeda. Terdapat 0.61 kasus per
100.000 anak di Cina, hingga 41.4 kasus per 100.000 anak di Finlandia. Angka ini sangat
bervariasi, terutama tergantung pada lingkungan tempat tinggal. Ada kecenderungan
semakin jauh dari khatulistiwa, angka kejadiannya akan semakin tinggi. Meski belum
ditemukan angka kejadian IDDM di Indonesia, namun angkanya cenderung lebih rendah
dibanding di negara-negara eropa.
Lingkungan memang mempengaruhi terjadinya IDDM, namun berbagai ras dalam satu
lingkungan belum tentu memiliki perbedaan. Orang-orang kulit putih cenderung memiliki
insiden paling tinggi, sedangkan orang-orang cina paling rendah. Orang-orang yang
berasal dari daerah dengan insiden rendah cenderung akan lebih berisiko terkena IDDM
jika bermigrasi ke daerah penduduk dengan insiden yang lebih tinggi. Penderita laki-laki

lebih banyak pada daerah dengan insiden yang tinggi, sedangkan perempuan akan lebih
berisiko pada daerah dengan
insiden yang rendah.
Secara umum insiden IDDM akan meningkat sejak bayi hingga mendekati pubertas,
namun semakin kecil setelah pubertas. Terdapat dua puncak masa kejadian IDDM yang
paling tinggi, yakni usia 4-6 tahun serta usia 10-14 tahun. Kadang-kadang IDDM juga
dapat terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan, meskipun kejadiannya sangat langka.
Diagnosis yang telat tentunya akan menimbulkan kematian dini. Gejala bayi dengan
IDDM ialah napkin rash, malaise yang tidak jelas penyebabnya, penurunan berat badan,
senantiasa haus, muntah, dan dehidrasi.
Insulin merupakan komponen vital dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.
Insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan cara memfasilitasi masuknya glukosa ke
dalam sel, terutama otot serta mengkonversi glukosa menjadi glikogen (glikogenesis)
sebagai cadangan energi. Insulin juga menghambat pelepasan glukosa dari glikogen hepar
(glikogenolisis) dan memperlambat pemecahan lemak menjadi trigliserida, asam lemak
bebas, dan keton. Selain itu, insulin juga menghambat pemecahan protein dan lemak
untuk memproduksi glukosa (glukoneogenesis) di hepar dan ginjal. Bisa dibayangkan
betapa vitalnya peran insulin dalam metabolisme.
Defisiensi insulin yang dibiarkan akan menyebabkan tertumpuknya glukosa di darah dan
terjadinya glukoneogenesis terus-menerus sehingga menyebabkan kadar gula darah
sewaktu (GDS) meningkat drastis. Batas nilai GDS yang sudah dikategorikan sebagai
diabetes mellitus ialah 200 mg/dl atau 11 mmol/l. Kurang dari itu dikategorikan normal,
sedangkan angka yang lebih dari itu dites dulu dengan Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) untuk menentukan benar-benar IDDM atau kategori yang tidak toleran terhadap
glukosa oral.
GEJALA KLINIS IDDM
Tanda-tanda yang paling mudah dikenali ialah tanda-tanda akibat hiperglikemia,
glikosuria, dan ketoasidosis. Hiperglikemia itu sendiri bisa tidak menimbulkan gejala apaapa, meskipun kadang ditemukan malaise, sakit kepala, dan kelemahan tubuh. Anak-anak
juga menjadi irritable, mudah marah, dan sering ngambek, namun gejala utama
hiperglikemia ialah akibat diuresis osmotik dan glikosuria. Glikosuria itu sendiri
merupakan peningkatan frekuensi dan volume urin (poliuri) sehingga sering membuat
anak-anak sering mengompol di malam hari. Gejala ini mudah dikenali pada bayi karena
sering sekali minum dan banyak sekali urin padadiapernya.
Polidipsia terjadi karena terdapat diuresis osmotik sehingga menyebabkan dehidrasi.
Penurunan berat badan terjadi karena terjadi pemecahan lemak dan protein dalam jumlah
banyak, meskipun nafsu makan anak relatif normal. Kegagalan tumbuh mungkin menjadi

tanda utama yang membuat orang tua khawatir dengan anaknya sehingga memeriksakan
ke dokter dan biasanya akanditemukan hiperglikemia primer.
Malaise yang nonspesifik dapat terjadi kapan saja, terutama sebelum ditemukannya tandatanda hiperglikemia, atau mungkin dapat menjadi petanda tersendiri selain hiperglikemia,
sehingga bukan sebagai tanda klinis yang khas.
Gejala lain yang sangat perlu dikenali ialah gejala-gejala pada ketoasidosis, yakni
dehidrasi berat, tercium bau keton di mulut, napas asidosis (Kussmaul) yang mirip
respiratory distress, nyeri abdomen, muntah, somnolen hingga koma. Selain itu anak juga
akan rentan terhadap infeksi karena terdapat penurunan imunitas akibat hiperglikemia,
terutama infeksi saluran napas, saluran kemih, dan kulit, sehingga dapat ditemukan
kandidosis. Yang paling sering dan mudah dikenali ialahkandidosis di daerah
selangkangan.
Selain gejala malaise dan dehidrasi, anak-anak dengan diabetes dini tidak memiliki tanda
yang khas pada tubuhnya. Mengingat penyakit endokrin autoimun banyak terjadi pada
anak dengan IDDM, mungkin dapat ditemukan gejala endokrinopati lain, misalnya
hipertiroidisme dengan gejala overaktivitas, cepat lelah, atau teraba gondok. Katarak
dapat terjadi namun sangat jarang, kalaupun ada biasanya pada anak perempuan dengan
hiperglikemia pada jangka waktu lama. Dapat ditemukan nekrobiosis lipoidika, berupa
daerah atrofi berwarnamerah yang berbatas tegas. Kondisi ini terjadi akibat luka pada
kolagen kulit dan sulit untuk diobati.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM IDDM
Tidak diperlukan pemeriksaan radiologi secara rutin, yang lebih berperan ialah
pemeriksaan laboratoorium. Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu (GDS) dan Glukosa Darah
Puasa (GDP) paling sering dilakukan. Batasnya 200 mg/dl (11 mmol/l) untuk GDS dan
120 mg/ml (7 mmol/l) untuk GDP. Selain darah, glukosa urin dapat menunjang diagnosis
dan keton urin dapat menjadi petanda Ketoasidosis Diabetik (KAD), meskipun keton urin
normal ditemukan pada orang yang lapar dan puasa. Ketonuria dapat menjadi marker jika
terdapat defisiensi insulin dan gejala klinis
yang menunjang KAD. Hemoglobin yang terglikosilasi (HbA1a, HbA1b, dan HbA1c)
merupakan hasil reaksi glukosa dengan hemoglobin yang nonenzimatik. Jika terjadi
hiperglikemia pada waktu yang lama maka permukaan hemoglobin akan terglikosilasi
tanpa enzim tertentu, sehingga akan terbentuk ikatan glikosilat pada minggu ke 8-10.
Petanda ini menjadi penting karena dapat memantau perjalanan penyakit, biasanya
diperiksa setiap tiga bulan sekali. Kisaran angka normal ialah 7-9%. Di bawah 7 berarti
telah terjadi hipoglikemia dalam waktu lama, sedangkan di atas 9 berarti makin rentan
terdapat komplikasi diabetes mellitus jangka panjang.

Pemeriksaan fungsi ginjal tidak perlu dilakukan sebagai pemeriksaan rutin, sementara
pemeriksaan kimia darah lain yang tersier, misalnya antibodi anti sel beta dan antibodi
anti insulin tidak harus dilakukan karena bukan merupakan marker yang spesifik IDDM.
Anak-anak dengan IDDM juga kadang memiliki endokrinopati autoimun lainnya,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan kadar tiroid. Pada daerah dengan makanan pokok
gandum, IDDM juga dapat menyebabkan penyakit celiac dan dapat ditemukan antibodi
antigliadin (misalnya, Antiendomysial dan antitransglutaminase).
Tes lain yang sering dilakukan ialah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Dengan tes ini
diabetes mellitus dapat disingkirkan jika terdapat hiperglikemia atau glukosuria tanpa
adanya penyebab tipikal (penyakit kronis, terapi steroid) atau saat kondisi pasien memang
mengalami glukosuria. Tes ini dilakukan dengan melakukan pemeriksaan GDP kemudian
memberikan glukosa oral (2 g/kg untuk anak <3 tahun, 1.75 g/kg untuk anak 3-10 tahun,
atau 75 g untuk anak >10 tahun) dan dites dua jam kemudian. Angka GDP di atas 120
mg/dl (6,7 mmol/l) dan GDS 2 jam PP di atas 200 mg/dl (11 mmol/l) merupakan petanda
diabetes mellitus. OGTT yang dimodifikasi juga dapat dikerjakan untuk mengenali
MODY. Pada MODY dan DM tipe 2, selain peningkatan GDP-GDS, dapat ditentukan
insulin atau c-peptide (termasuk prekursor) dalam kadar yang bervariasi. Profil lipid juga
sebaiknya dikerjakan. Albumin urin (albumin excretion rate) dapat dites untuk memantau
terjadinya mikroalbuminuria, petanda dini nefropati DM.
PENATALAKSANAAN IDDM Semua penderita IDDM membutuhkan terapi insulin.
Hanya anak-anak dengan dehidrasi berat, muntah terus-menerus, kelainan metabolik, atau
anak dengan
penyakit kronis yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dengan rehidrasi intravena.
Pengobatan pun harus dilaksanakan secara terpadu; orang tua dan anak diajarkan untuk
senantiasa mengecek sendiri kadar gula darah, menginjeksi insulin, serta untuk mengenali
dan mengobati hipoglikemia. Diperlukan konsultasi ke ahli gizi, ahli diabetes, ahli
oftalmologi, serta kadang psikolog.
Diet untuk anak dengan IDDM merupakan komponen yang sangat esensial. Tujuan diet
pada IDDM ialah menyeimbangkan asupan makanan dengan dosis insulin dan aktivitas
dengan cara menjaga kadar glukosa dalam rentang normal. Sebaiknya dapat diperkirakan
jumlah karbohidrat yang dikandung dalam suatu makanan terutama bagi yang
menggunakan insulin kerja cepat secara injeksi atau pompa ketika makan. Karbohidrat
kompleks (mis. Sereal) dapat dikonsumsi sebelum tidur untuk mencegah terjadinya
hipoglikemia nokturnal, terutama bagi yang
mengkonsumsi insulin dua kali sehari. DM merupakan kelainan metabolisme energi
sehingga asupan makanan harus dijaga agar sebisa mungkin membatasi nutrisi yang
membutuhkan metabolism energi. Saat ini makanan yang dianjurkan ialah tinggi serat dan
karbohidrat namun

rendah lemak. Karbohidrat sebaiknya 50-60% dari total asupan energi, tidak lebih dari
10% dari sukrosa. Lemak harus kurang dari 30% dan protein sebanyak 10 sampai 20%.
Tidak ada pantangan untuk beraktivitas bagi penderita IDDM, namun kadang setelah
melakukan aktivitas berat dapat terjadi hipoglikemia yang meliputi tungkai, menyebabkan
sulit berjalan, lari, atau bersepeda. Setelah beraktivitas berat disarankan mengkonsumsi
kudapan dalam jumlah agak banyak sebelum tidur. Insulin mutlak diperlukan bagi
penderita IDDM dengan rute pemberian yang beraneka macam. Januari 2006 lalu USFDA telah menyetejui penggunaan insulin inhaler untuk dewasa yang diekstrak dari
manusia (rDNA), namun dicabut kembali karena harganya tidak dapat dijangkau semua
kalangan. Terdapat tiga golongan insulin secara klinis, yakni short-acting (mis. Regular,
soluble, lispro, aspart, glulisine), medium dan intermediate-acting (isophane, lente,
dentemir), serta long-acting (ultralente, glargine). (Baca Terapi Insulin untuk Praktek
Sehari-hari) Selain insulin, obat-obatan lain yang perlu diwaspadai mengurangi efek
hipoglikemik insulin ialah asetazolamid, ARV, asparaginase, fenitoin, isoniazid, diltiazem,
diuretik, kortikosteroid, tiasid, estrogen tiroid, kalsitonin, kontrasepsi oral, diazoxide,
dobutamin, fenotiazin, siklofosfamid, litium karbonat, epinefrin, morfin, dan niasin.
Sedangkan obat yang meningkatkan efek hipoglikemik insulin ialah ACE-inhibitor,
alkohol, tetrasklin, penyekat beta, steroid anabolik, piridoksin, salisilat, MAO-inhibitor,
mebendazole, sulfonamid, fenilbutazon, klorokuin, klofibrat, fenfluramin, guanethidine,
octreotide, pentamidine, dan sulfinpyrazone.

KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Aktivitas / istrahat.
Tanda :
1) Lemah, letih, susah, bergerak / susah berjalan, kram otot, tonus otot
menurun.
2) Tachicardi, tachipnea pada keadaan istrahat/daya aktivitas.
3) Letargi / disorientasi, koma.
b. Sirkulasi
Tanda :
1) Adanya riwayat hipertensi : infark miokard akut, kesemutan pada ekstremitas
dan tachicardia.
2) Perubahan tekanan darah postural : hipertensi, nadi yang menurun / tidak
ada.
3) Disritmia, krekel : DVJ
c. Neurosensori
Gejala :
Pusing / pening, gangguan penglihatan, disorientasi : mengantuk, lifargi, stuport /
koma (tahap lanjut). Sakit kepala, kesemutan, kelemahan pada otot, parestesia,
gangguan penglihatan, gangguan memori (baru, masa lalu) : kacau mental, refleks
fendo dalam (RTD) menurun (koma), aktifitas kejang.
d. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri (sedang berat), wajah meringis dengan
palpitasi : tampak sangat berhati hati.
e. Keamanan
Gejala :
1) Kulit kering, gatal : ulkus kulit, demam diaporesis.
2) Menurunnya kekuatan immune / rentang gerak, parastesia / paralysis otot
termasuk otot otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup
tajam).
3) Urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang menjadi oliguria /
anuria jika terjadi hipololemia barat).
4) Abdomen keras, bising usus lemah dan menurun : hiperaktif (diare).
f. Pemeriksaan Diagnostik
Gejala :
1) Glukosa darah : meningkat 100 200 mg/dl atau lebih.
2) Aseton plasma : positif secara menyolok.
3) Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.

4) Osmolaritas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 m osm/l.


2. Diagnosa Keperawatan
a. Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare, muntah, poliuria,
evaporasi.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi
insulin/penurunan

intake

oral

anoreksia,

abnominal

pain,

gangguan

kesadaran/hipermetabolik akibat pelepasan hormone stress, epinefrin, cortisol, GH atau


karena proses luka.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/ gangguan sirkulasi.
e. Resiko gangguan persepsi sensoris : penglihatan berhubungan dengan perubahan fungsi
fisiologis akibat ketidakseimbangan glukosa/insulin atau karena ketidakseimbangan
elektrolit.
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan energi, perubahan kimia darah,
insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan energi, infeksi, hipermetabolik.
g. Nyeri berhubungan dengan adanya ulcus (luka diabetes mellitus).
h. Penurunan rawat diri berhubungan dengan kelemahan.
i. Kurang pengetahuan mengenai penyakitnya, prognosis penyakit dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kesalahan interprestasi (Doengoes, 2001)
Perencanaan / Intervensi
a. NDX : Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare, muntah, poliuria,
evaporasi
Tujuan :
Klien akan mendemonstrasikan hidrasi adekuat, dengan kriteria :
1) Nadi perifer dapat teraba, turgor kulit baik.
2) Vital sign dalam batas normal, haluaran urine lancer.
3) Kadar elektrolit dalam batas normal
Intervensi :
1. Kaji pengeluaran urine
2. Pantau tanda-tanda vital
3. Monitor pola napas
4. Observasi frekuensi dan kualitas pernapasan
5. Timbang berat badan
6. Pemberian cairan sesuai dengan indikasi
Rasional

1. Membantu dalam memperkirakan kekurangan volume total, tanda dan gejala mungkin
sudah ada pada beberapa waktu sebelumnya, adanya proses infeksi mengakibatkan
demam dan keadaan hipermetabolik yang menigkatkan kehilangan cairan
2. Perubahan tanda-tanda vital dapat diakibatkan oleh rasa nyeri dan merupakan indikator
untuk menilai keadaan perkembangan penyakit.
3. Paru-paru mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan menghasilkan alkalosis
respiratorik, ketoasidosis pernapasan yang berbau aseton berhubungan dengan pemecahan
asam aseton dan asetat
4. Koreksi hiperglikemia dan asidosis akan mempengaruhi pola dan frekuensi pernapasan.
Pernapasan dangkal cepat, dan sianosis merupakan indikasi dari kelelahan pernapasan,
hilangnya kemampuan untuk melakukan kompensasi pada asidosis.
5. Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti fungsi ginjal dan keefektifan dari
terapi yang diberikan.
6. Tipe dan jenis cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respon
b. NDX: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
defisiensi

insulin/penurunan

intake

oral:

anoreksia,

abnominal

pain,

gangguankesadaran/hipermetabolik akibat pelepasan hormone stress, epinefrin, cortisol,


GH atau karena proses luka.
Tujuan :
Klien akan mengkonsumsi secara tepat jumlah kebutuhan kalori atau nutrisi yang di
programkan dengan kriteria :
1) Peningkatan barat badan.
2) Pemeriksaan albumin dan globulin dalam batas normal.
3) Turgor kulit baik, mengkonsumsi makanan sesuai program.
Intervensi :
INTERVENSI
1. Timbang berat badan.
2. Auskultasi bowel sound.
3. Berikan makanan lunak / cair.
RASIONAL
1. Penurunan berat badan menunjukkan tidak ada kuatnya nutrisi klien.
2. Hiperglikemia dan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit menyebabkan
penuruna motilifas usus. Apabila penurunan motilitas usus berlangsung lama
sebagai

akibat

neuropati

syaraf

otonom

yang

berhubungan

dengan

sistempencernaan.
3. Pemberian makanan oral dan lunak berfungsi untuk meresforasi fungsi usus dan
diberikan pada klien dgn tingkat kesadaran baik.
4. Observasi tanda hipoglikemia misalnya : penurunan tingkat kesadaran, permukaan
teraba dingin, denyut nadi cepat, lapar, kecemasan dan nyeri kepala.

5. Berikan Insulin.
6. Metabolisme KH akan menurunkan kadarglukosa dan bila saat itu diberikan
insulin akan menyebabkan hipoglikemia.
7. Akan mempercepat pengangkutan glukosa kedalam sel.
c. NDX : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
Tujuan : Klien akan mempertahankan integritas kulit tetap utuh dan terhindar dari inteksi
dengan kriteria :
1) Tidak ada tanda tanda infeksi.
2) Tidak ada luka.
3) Tidak ditemukan adanya perubahan warna kulit.
Intervensi :
INTERVENSI
1. Observasi tanda tanda infeksi
2. Ajarkan klien untuk mencuci tangan dengan baik, untuk mempertahankan kebersihan
tangan pada saat melakukan prosedur.
RASIONAL
1. Kemerahan, edema, luka drainase,
cairan dari luka menunjukkan adanya
infeksi.
2. Mencegah cross contamination.
3. Pertahankan kebersihan kulit.
4. Dorong klien mengkonsumsi diet
secara adekuat dan intake cairan
3000 ml/hari.
5. Antibiotik bila ada indikasi

Gangguan sirkulasi perifer dapat terjadi bila menempatkan pasien pada kondisi

resiko iritasi kulit.

Peningkatan pengeluaran urine akan mencegah statis dan mempertahankan PH

urine yang dapat mencegah terjadinya perkembangan bakteri.


Mencegah terjadinya perkembangan bakteri.

d. NDX : Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/ gangguan sirkulasi
Tujuan :
Klien akan menunjukkan tidak adanya tanda inteksi, dengan kriteria :
a. Luka sembuh
Tidak ada b. edema sekitar luka.

c. Tidak terdapat pus, luka cepat mongering.


Intervensi :
INTERVENSI
1. Kaji keadaan kulit yangrusak
2. Bersihkan luka dengan teknik septic dan antiseptic
3. Kompres luka dengan larutan Nacl
4. Anjurkan pada klien agarmenjaga predisposisi terjadinya lesi.
5. Pemberian obat antibiotic.
RASIONAL
1. Mengetahui keadaan peradangan untuk membantu dalam menanggulangi atau dapat
dilakukan pencegahan.
2. Mencegah terjadinya inteksi sekunder pada anggota tubuh yang lain.
3. Selain untuk membersihkan luka dan juga untuk mempercepat pertumbuhan jaringan
4. Kelembaban dan kulit kotorsebagai predisposisi terjadinya lesi.
5. Antibiotik untuk membunuh kuman.

e. NDX : Resiko gangguan persepsi sensoris : penglihatan berhubungan dengan perubahan


fungsi fisiologis akibat ketidakseimbangan glukosa/insulin atau karena
ketidakseimbangan elektrolit.
Tujuan :
Klien akan mempertahankan fungsi penglihatan
Intervensi :
INTERVENSI
1. Kaji derajat dan tipe kerusakan
2. Latih klien untuk membaca.
3. Orientasi klien dengan lingkungan.
4. Gunakan alat bantu penglihatan.
5. Panggil klien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya tempat,
orang danwaktu.
6. Pelihara aktifitas rutin.
7. Lindungi klien dari cedera.
RASIONAL
1. Mengidentifikasi derajat kerusakanpenglihatan
2. Mempertahankan aktivitas visual klien.
3. Mengurangi cedera akibat disorientasi

4. Melatih aktifitas visual secara bertahap.


5. Menurunkan kebingungan danmembantu untuk mempertahankan kontak dengan
realita.
6. Membantu memelihara panen tetap berhubungan dengan realitas dan mempertahankan
orientalasi pada lingkungannya.
7. Pasien mengalami disorientasi merupakan awal kemungkinan
timbulnya cedera, terutama macam hari dan perlu pencegahan sesuai indikasi.
f. NDX : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan energi, perubahan kimia
darah, insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan energi, infeksi, hipermetabolik
Tujuan :
Klien akan menunjukkan perbaikan kemampuan aktivitas dengan kriteria :
a. mengungkapkan peningkatan energi
b. mampu melakukan aktivitas rutin biasanya
c. menunjukkan aktivitas yang adekuat
d. melaporkan aktivitas yang dapat dilakukan
Intervensi :
INTERVENSI
1. Diskusikan dengan klien kebutuhan akan aktivitas
2. Berikan aktivitas alternative
3. Pantau tanda tanda vital
4. Diskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah tempat dan sebagainya
5. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang dapat
ditoleransi
RASIONAL
1. Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas
meskipun pasien mungkin sangat lemah
2. Mencegah kelelahan yang berlebihan
3. Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis
4. Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan kebutuhan akan
energi pada setiap kegiatan
5. Meningkatkan kepercayaan diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat
ditoleransi pasien
g. NDX: Nyeri berhubungan dengan adanya ulcus (luka diabetes mellitus).
Tujuan :
Klien akan menunjukkan nyeri berkurang / teratasi dengan kriteria :

a. Klien tidak mengeluh nyeri


b. Ekspresi wajah ceria
Intervensi :
INTERVENSI
1. Kaji tingkat nyeri
2. Observasi tanda-tanda vital
3. Ajarkan klien tekhnik relaksasi
4. Ajarkan klien tekhnik Gate Control
5. Pemberian analgetik
RASIONAL
1. Nyeri disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan atau karena peningkatan asam laktat
sebagai akibat deficit insulin
2. Pasien dengan nyeri biasanya akan dimanifestasikan dengan peningkatan vital sign
terutama perubahan denyut nadi dan pernafasan
3. Nafas dalam dapat meningkatkan oksigenasi jaringan
4. Memblokir rangsangan nyeri pada serabut saraf
5. Analgetik bekerja langsung pada reseptor nyeri dan memblokir rangsangan nyeri
sehingga respon nyeri dapat diminimalkan
h. NDX. Penurunan rawat diri berhubungan dengan kelemahan
Tujuan :
Klien akan mendemonstrasikan penurunan rawat diri, dengan kriteria :
a. Kuku pendek dan bersih
b. Kebutuhan dapat dioenuhi secara bertahap
c. Mandi sendiri tanpa bantuan
Intervensi :
INTERVENSI
1. Kaji kemampuan klien dalam
pemenuhan rawat diri
2. Berikan aktivitas secara bertahap
3. Bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
4. Bantu klien (memotong kuku)
RASIONAL
1. Mengidentifikasi tingkat toleransi aktivitas klien
2. Melatih tingkat kemampuan rawat diri secara bertahap
3. Meningkatkan rasa nyaman klien dan memperbaiki sirkulasi ke perifer
4. Kuku panjang dapat digunakan untuk menggaruk
i. NDx.: Kurang pengetahuan mengenai penyakitnya, prognosis penyakit dan kebutuhan

pengobatan berhubungan dengan kesalahan interprestasi


Tujuan :
Klien

akan

melaporkan

pemahaman

tentang

penyakitnya

dengan

kriteria

Mengungkapkan pemahaman tentang penyakitnya


Intervensi :
Intervensi
1. Pilih berbagai strategi belajar
2. Diskusikan tentang rencana diet
3. Diskusikan tentang faktor-faktor yang memegang peranan dalam kontrol DM
Rasional
1. Penggunaan cara yang berbeda tentang mengakses informasi, meningkatkan penerapan
pada individu yang belajar
2. Kesadaran tentang pentingnya control diet akan membantu pasien dalam merencanakan
makan/mentaati program, serat dapat memperlambat absorbsi glukosa yang akan
menurunkan fluktuasi kadar gula dalam darah
3. Diskusikan faktor-faktor yang memegang peranan dalam kontrol DM yang dapat
menurunkan berulangnya kejadian ketoasidosis.
5. Implementasi
Merupakan tahap dimana rencana keperawatan dilaksanakan sesuai dengan
intervensi. Tujuan dari implementasi adalah membantu klien dalam mencapai
peningkatan kesehatan baik yang dilakukan secara mandiri maupun kolaborasi dan
rujukan.

6. Evaluasi
Merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk mencapai kemampuan klien dan tujuan
dengan melihat perkembangan klien. Evaluasi klien diabetes mellitus dilakukan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya pada tujuan

DAFTAR PUSTAKA
Bare & Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, (Edisi 8), EGC,
Jakarta
Carpenito, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, (Edisi 2), EGC, Jakarta
Corwin,. J. Elizabeth, 2001, Patofisiologi, EGC, Jakarta
Doenges, E. Marilynn dan MF. Moorhouse, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan, (Edisi III),
EGC, Jakarta.
FKUI, 1979, Patologi, FKUI, Jakarta

Ganong, 1997, Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta


Gibson, John, 2003, Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat, EGC, Jakarta
Guyton dan Hall, 1997, Fisiologi Kedokteran, (Edisi 9), EGC, Jakarta
Hinchliff, 1999, Kamus Keperawatan, EGC, Jakarta
Price, S. A dan Wilson, L. M, 1995, Patofisiologi, EGC, Jakarta
Sherwood, 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, (edisi 21), EGC, Jakarta
Sobotta, 2003, Atlas Anatomi, (Edisi 21), EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai