Anda di halaman 1dari 20

MANAJEMEN NYERI KANKER SERVIKS

I.

Pendahuluan
Sampai saat ini kanker serviks / mulut rahim masih merupakan masalah

kesehatan perempuan di Indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka


kematiannya yang tinggi. Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan
umum yang lemah, status sosial yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan
sarana dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam
menentukan prognosis penderita.
Kanker serviks adalah kanker terbanyak kelima pada wanita diseluruh dunia.
Penyakit ini terbanyak terdapat pada wanita Amerika latin, Afrika, dan negara negara
berkembang lainnya di Asia, termasuk Indonesia. Pada wanita - wanita suriname
keturunan Jawa terdapat insiden yang lebih tinggi dibandingkan dengan keturunan
etnis lainnya (1).
Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker serviks setiap
tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi,
kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak
di Indonesia, yaitu lebih kurang 36 % (1).
Diantara sekian banyak keluhan yang dialami oleh penderita kanker serviks
yang paling mengganggu adalah nyeri. Nyeri adalah bagian yang tak terpisahkan dari
pengalaman hidup seorang wanita mulai dari menstruasi, nyeri saat melahirkan, dan
penyakit yang berhubungan dengan kewanitaan seperti kanker ovarium atau servix.
Sumber dari nyeri seringkali berhubungan dengan fisik tapi dipengaruhi juga oleh
faktor faktor psikologi, sosial dan budaya (2).
Pada kanker serviks gambaran nyeri secara klasik disebabkan oleh massa yang
ada didalam pelvis dan limphadenophati. Akhir akhir ini adanya pemberian terapi
radiasi yang intensif pada daerah pelvis dan angka harapan hidup yang lebih lama
menyebabkan meningkatnya insiden peritoneal carcinomatosi, metastase ke organ
organ solid dan metastase ke tulang

(2).

Sehingga perlu dilakukan pembahasan untuk

mengetahui bagaimana melakukan manajemen nyeri pada pasien kanker serviks


mengingat berkembangnya teknologi terapi kanker dan bertambahnya usia harapan
hidup memunculkan masalah keluhan nyeri yang lebih komplek.

II.

Patofisiologi Kanker Serviks


Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel

di daerah skuamo kolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan
mukosa kanalis servikalis. Kanker seviks uteri adalah tumor ganas primer yang
berasal dari sel epitel skuamosa. Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh
keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel serviks (NIS).
Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV) (3).
Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel,
berubah menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun
atau lebih. Secara histopatologi lesi preinvasif biasanya berkembang melalui beberapa
stadium displasia (ringan, sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya
invasif. Meskipun kanker invasive berkembang melalui perubahan intraepitel, tidak
semua perubahan ini berkembang menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami
regresi secara spontan sebanyak 3 -35%. Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang)
mempunyai angka regresi yang tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi
karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 7 tahun, sedangkan waktu yang diperlukan
dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 20 tahun. Perluasan lesi di serviks
dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke
kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan
akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria (3).
Bila pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke pembuluh
getah bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah bening obturator, iliaka
eksterna dan kelenjar getah bening hipogastrika. Dari sini tumor menyebar ke kelenjar
getah bening iliaka komunis dan paraaorta. Secara hematogen, tempat penyebaran
terutama adalah paru-paru, kelenjar getah bening mediastinum dan supravesikuler,
tulang, hepar, empedu, pankreas dan otak (2,3).
III.

Mekanisme Nyeri Kanker Serviks


Nyeri pada kanker servix yang telah umum diketahui disebabkan oleh adanya

massa di dalam rongga pelvis, dan kanker di dalam rongga pelvis dapat menyebabkan
nyeri viseral, nyeri somatik dan nyeri neuropatik

(2,4).

Nyeri pada kanker servik

disebabkan karena infiltrasi massa tumor di jaringan sekitarnya, bisa karena efek
antineoplastik dari terapi kanker atau bisa juga disebabkan karena sesuatu yang tidak
2

berhubungan dengan kankernya sendiri seperti nyeri ditempat lain karena proses
metastase (4,5,6).
1. Nyeri somatik
Nyeri somatik disebabkan rangsangan dari nosiseptor pada stuktur jaringan
dan pembungkus, otot otot lurik, persendian, tulang, dan kumpulan saraf akibat
langsung dari pembesaan tumor dan penyebaran kelenjar limfe

(2)

. Massa tumor

menghasilkan dan merangsang produksi mediator - mediator inflamasi setempat,


menyebabkan rangsangan nosiseptor perifer yang terus menerus. Sumber lain dari
nyeri somatik pada kanker servix adalah adanya tulang yang fraktur, reaksi spasme
dari otot-otot yang pembungkus pada jaringan yang rusak, nyeri akibat dari
radioterapi ataupun kemoterapi kanker (4).
Kejadian nyeri somatik yang paling sering disebabkan karena metastase
kanker ke tulang. Nyeri tulang bisa bersifat akut, kronik atau insidental berdasarkan
penjalaran tumornya. Biasanya sifat nyerinya tumpul, intensitasnya bervariasi,
menyebabkan local tenderness, dan diperberat dengan pergerakan tubuh (4,5,6).
Mekanisme nyeri tulang pada kanker
Pada kanker serviks yang sudah metestase ke tulang menunjukan manifestasi
klinis yang sudah lanjut. Adanya lokasi nyeri yang atypical seharusnya memberikan
perhatian kepada para dokter untuk mencurigai bahwa metastasenya sudah jauh.
Angka kejadian metastase ke tulang pada kanker serviks yang recurrent berkisar
antara 15 % - 29 % yang dilaporkan pada serial autopsi. Penyebaran yang paling
banyak pada tulang belakang diikuti pelvis, tulang rusuk, dan extrimitas (2).
Pendesakan langsung tumor pada tulang atau perkembangan kanker yang
sudah metastase didalam tulang bisa menyebabkan nyeri yang persisten. Tidak semua
metastase di tulang menimbulkan nyeri, dan seringkali nyeri tidak relevan dengan
temuan pada gambaran radiologi. Saraf saraf affernt nociceptive sebagian besar
terkosentrasi pada periosteum, dimana sumsum tulang dan kortek kurang sensitif
terhadap nyeri. Beberapa mekanisme yang menyebabkan nyeri diantaranya tarikan
pada periosteum yang diakibatkan ekspansi tumor, lokal mikrofractur yang
menyebabkan distorsi tulang, kompresi saraf yang diakibatkan kerusakan pada
vertebra atau karena desakan tumornya, dan dilepaskannya mediator mediator nyeri
dari sumsum tulang (4).
Nyeri pada tulang berkorelasi dengan aktivitas osteoklastik. pada tulang yang normal
aktivitas sel sel penyerapan tulang ( osteoclast ) sebanding dengan aktivitas sel sel
3

pembentukan tulang ( osteoblast ). Pada penyakit kanker metastases ada peningkatan


dari aktivitas osteoclast. baik tumornya sendiri maupun faktor faktor humural,
termasuk didalamnya prostaglandin, cytokines, growth factors, dan hormon paratiroid
berperan dalam meningkatkan aktivitas osteoclas dan bekerja secara lokal dalam
merangsang nosiseptor. Walaupun aktivitas osteoclas meningkat, pembentukan tulang
juga mengalami peningkatan. Sehingga terjadi peningkatan pergantian sel sel tulang,
dimana tulang menjadi immatur dan kurang mengandung mineral sehingga rawan
terjadinya peningkatan fraktur tulang (4).
2. Nyeri Viseral
Penyebab nyeri visera pada kanker serviks antara lain spasme otot otot polos
pada organ berongga, distensi dari kapsul organ padat, inflamasi, iritasi kimiawi,
tarikan atau terpluntirnya mesentarium, iskemia dan nekrosis, atau pendesakan tumor
pada daerah pelvis dan presacral

(2).

Nyeri viseral biasanya sifatnya difuse dan tidak

bisa dilokalisir tempatnya, dan kadang kadang menjalar ke struktur organ non viseral
sehingga membuat sumber nyerinya diketahui. Nyeri viseral juga sering dikaitkan
dengan reflek autonomik seperti mual dan muntah (4).
Data data penelitian menunjukan bahwasanya pada organ viseral dalam
keadaan normal nociceptive afferent dalam keadaan " silent ". Bila ada inflamsi lokal
atau kerusakan jaringan, nociceptive afferent ini menjadi sensitive dan berespon
terhadap rangsangan yang tidak menimbulkan nyeri sebelumnya. Tanda tanda klinis
ini " inflamation induce sensitivity " sampai sekarang mekanismenya masih belum
diketahui (4).
3. Nyeri Neurophati
Lebih dari 60 % pasien dengan penyakit kanker malignansi pada daerah pelvis
menginvasi trunkus saraf dan sacrum sehingga menyebabkan nyeri neurophati. Hal ini
dapat menyebabkan keluhan kehilangan rasa, causalgia, dan deafferentation. Saphner
dan kawan kawan menemukan dalam penelitiannya dari 2261 pasien yang mengalami
lumbosascral plexophathy yang disebabkan karena metastase kelenjar limfe
retroperitoneal sebagian besar terjadi komplikasi neurologis pada pasien dengan
kanker serviks stadium lanjut (2).
Pada pasien kanker nyeri neurophatik periferal dapat disebabkan langsung
oleh infiltrasi atau penekanan pada saraf oleh massa tumor atau secara tidak langsung
karena terapi kanker seperti radioterapi dan kemoterapi ( semisal vincristine ). Nyeri
neurophati sifatnya spontan seperti terbakar, intermitten, tajam dan seperti di tusuk
4

tusuk, lancinating, dan meningkat respon nyerinya terhadap rangsangan nyeri (


hiperalgesia ), dan nyeri bisa timbul walaupun dengan rangsangan yang tidak
menimbulkan nyeri ( allodenia ) (4).
Nyeri akibat radioterapi dan kemoterapi
Pada pasien yang sebelumnya mendapatkan terapi, differential diagnosis
utama untuk tipe nyeri neurophati adalah radiation induced plexopathy. Nyeri yang
disebabkan karena radiasi jarang terjadi dalam waktu kurang dari satu tahun terapi,
periode latennya bisa mencapai beberapa tahun, gejala dan keluhan klinisnya berupa
gangguan sensori dan motorik yang berkembang tiap bulannya, hasil rekaman
elektromyographyc dilepaskannya myokymic, dan belum ditemukannya adanya efek
massa mengarahkan kita kepada suatu diagnosa late onset dari radiation-induced
plexopathy. Beberapa obat kemoterapi dapat menyebabkan neurotoxiciti perifer dan
dikaitkan dengan terjadinya neurophati perifer akut maupun kronis, khususnya bila
diberikan pada pasien dengan riwayat genetik atau mempunyai kecenderungan
neurophati (2).
Nyeri aspek psikososial
Wanita yang menderita kanker serviks menghadapi beberapa isu sulit
diantaranya: kematian, ketidakberdayaan, ketergantungan dan terpisah dari keluarga,
belum lagi dikaitkan dengan sexuality, feminimity dan isolasi sosial. Pada beberapa
studi pada pasien dengan kanker serviks adanya disfungsi sexual menjadi perhatian
besar karena menyebabkan stess yang besar terutama pada masyarakat menengah ke
bawah

. Pengetahuan dan pemahaman hubungan antara nyeri sosial dan physical

(2,7)

memunculkan perspektif baru pada isu sekitar peranan faktor sosial dan intervensi
neurochemical terhadap nyeri. Dukungan sosial, perhatian terhadap pengawasan dan
pemberdayaan serta perencanaan adalah faktor penentu yang sangat penting terhadap
pengalamam individu terhadap nyeri.
IV.

Evaluasi Nyeri Kanker Serviks


Evaluasi pasien dengan nyeri kronik pada pelvis sangat komplek apalagi kalau

penyakit dasarnya kanker serviks. Riwayat medis yang detail disertai dengan evaluasi
dan penilaian psikologis latar belakang sosial seorang penderita kanker serviks sangat
diperlukan untuk membuat penilaian nyeri yang baik.

Penilaian nyeri:
Kegagalan dalam melakukan asesmen nyeri merupakan salah satu faktor
penting yang menyebabkan ketidakberhasilan terapi.
Asesmen seharusnya dilakukan (2,6):
1. Dilakukan setelah terapi awal berdasarkan interval waktu yang reguler
2. Ada laporan terbaru tentang perkembangan nyerinya
3. Ada interval waktu yang tepat setelah intervensi pharmakologi atau non
farmakologi
Identifikasi dari penyebab nyeri adalah sangat penting. Dokter yang akan memberikan
terapi pasien kanker seharusnya mengerti tentang pain syndrome pada kanker serviks.
Tujuan dari asesmen awal nyeri adalah untuk mengetahui karateristik patofisiologi
nyeri dan menentukan intensitas nyeri serta pengaruh terhadap kemampuan pasien
menjalankan fungsinya. Asesmen awal meliputi (2,6) :
1. Riwayat penyakit yang detail
2. Pemeriksaan fisik yang lengkap
3. Asesmen psychososial
4. Evaluasi diagnostik
Pemeriksaan yang teliti diperlukan untuk menentukan patofisiologi nyerinya.
Adanya gambaran spesifik dari pemeriksaan neurologis seperti adanya perubahan
sensori ( hypoesthesia, hyperesthesia, hyperpathya, allodynia ) pada daerah yang
nyeri memberikan perhatian akan kemungkinan terjadinya nyeri neuropati. Penting
juga untuk mengetahui keberadaan tumor, perkembangan serta metastasenya (2).
Sindrom nyeri pada kanker serviks
Beberapa klinisi mengklasifikasikan nyeri pada kanker servik sebagai berikut (8).
1. Pelvic pain : pelvic recurrence, low lumbosacral plexopathy, rectal obstruction,
pyometra, sacral syndrome, burning perineum syndrome, malignant
perineal pain, radiation cystitis, cryosurgery induce pain
2. Abdominal pain : nodes, lumbosacral plexopathy, L1 syndrome, bowel obstruction,
malignant psoas syndrome, radiation enteritis
3. Leg pain : lumbosacral plexopathy, lymphoedema
4. Backache : lumbosacral plexopathy, hydronephrosis, paraaortic nodes, bone
metastases

5. Pain at other sites : brain metastase, bone metastase, brachial plexopathy from
supraclavicular nodes, retrosternal pain due to mediastinal nodes,
chemotherapy induced neuropathy, arthralgia, myalgia
Beberapa keluhan nyeri ( pain syndrome ) yang sering muncul dan sangat
mengganggu pada pasien kanker serviks antara lain adalah:
A. Rectal obsruction
Obtruksi rektum pada kanker servix dapat disebabkan karena proses infiltrasi
kanker didalam lumen rektum atau karena stenosi akibat dari radioterapi. Tanda
tandanya diawali dengan kesulitan dan nyeri pada saat defekasi, merasakan buang
kotoran yang tidak tuntas, keluarnya lendir dan terjadi konstipasi yang progresif. Bila
diameter lumen yang rigid kurang dari 1 cm dianjurkan untuk dilakukan colostomi.
B. Lumbosacral plexopathy
Plexus lumbal dibentuk oleh rami ventralis L1 sampai L4 dan berjalan
sepanjang otot psoas paravetebral. Plexus sakral dibentuk oleh L4, L5, dan rami
ventralis S1, S2, S3 yang dekat dengan sacrosciatic notch (8,9).
Prevalensi: Saphner at al menemukan komplikasi neurologis yang paling sering pada
kanker serviks adalah malignant lumbosacral plexopathy yang disebabkan tekanan
kelenjar limfe retroperitoneal. Plexopathi rendah ( saraf L4 - S1) paling sering
ditemukan sebanyak 64%, diikuti plexopathi tinggi ( saraf L1 - L3 ) sekitar 28% dan
pan plexopathi sekitar 8% (9).
Nyeri : nyeri merupakan keluhan yang paling sering dan terjadi sekitar 96%. pada
lumbosacral plexopathi rendah nyeri berlokasi pada daerah glutea dan perineum, atau
menjalar ke bagian posterolateral dari paha dan kaki. Pada lumbosacral plexopathi
tinggi nyeri dirasa pada daerah punggung, abdomen bawah, ginjal, krista iliaca atau
bagian anterolateral paha. Tes straight leg raising tes dapat positif (8,9).
Gejala dan tanda neurologis : pada penelitaan berseri yang dilakukan saphner gejala
neurologis ditemukan hanya 10% pasien tetapi berkembang bertahap seiring dengan
berjalannya penyakit. Kelemahan motorik sekitar 50%, rasa tebal atau kesemutan
32%, dan inkontinensia sekitar 8%. Sementara itu tanda - tanda neurologis tidak
menyeluruh yang bisa berupa kelemahan sensoris ringan, reflek motorik ( dorsofleksi
dan plantarfleksi ) yang asimetis yang sering ditemukan pada kaki, rasa tebal pada
dorsal dan plantar medial kaki, kelemahan fleksi dari lutut, engkel dorsofleksi, dan
inversi (8,9).

Gambaran klinis berupa efek massa : adanya massa tumor menyokong adanya
lumbosacral plexopathi; destruksi pada tulang belakang daerah lumbal atau sacrum
sekitar 54%, ipsilateral hidronefrosis 70%, edema tungkai ipsilateral 46%,
Perbedaan gambaran dengan radiasi plexopathi : radiasi plexopathi jarang ditemui dan
dibedakan dengan tidak adanya massa tumor, tanda dan gejalanya bilateral, penyakit
dan survivalnya lebih lama, dan dominan adanya disfungsi motorik atau kelemahan
dibandingkan dengan nyerinya.
C. Sacral syndrome
Sakral sindrom dikaitkan dengan destruksi pada sakrum yang disebabkan
karena proses infiltrasi tumor. Biasanya sifat nyerinya berat, setempat menjalar ke
glutea, perineum, dan bagian posterior paha. Nyeri diperberat dengan duduk atau tidur
terlentang dan berkurang bila digunakan untuk berdiri atau berjalan. Bila infiltrasi
menjalar ke lateral hip rotator membuat tiap pergerakan sendi panggul sangat nyeri
sekali, dan jika infitrasi tumor mengenai otot pyriformis membuat rotasi internal dari
sendi panggul menjadi sangat nyeri juga (malignant pyriformis syndrome).
D. L1 Syndrome
Beberapa kelompok dengan lumbosacral plexopathi tinggi menunjukkan
adanya parastesia yang terbatas pada abdominal bawah dan daerah inguinal,
kehilangan sensoris yang bervariasi derajatnya dan tidak ditemukan keluhan motorik.
Pada pemeriksaan CT scan ditemukan tumor yang berdekatan dengan vertebra L1
E. Bone metastase and epidural compression
Tidak seperti nyeri mekanik yg lainnya dimana nyeri pada tulang belakang
biasanya membaik dengan istirahat, nyeri yang disebabkan oleh keganasan ataupun
infeksi seringkali memburuk dengan duduk atau tidur terlentang. Pada saat malam
hari kadang terjadi serangan nyeri berat, nyeri dirasa saat dilakukan penekanan pada
tulang belakang merupakan tanda serius dari keganasan atau infeksi.
Nyeri radikular dilaporkan sebanyak 90% pada kompresi lumbosacral epidural/ cauda
equina, kompresi spinal cord 79% pada cervical dan 55% pada thorakal. Dan yang
harus dicatat nyeri radikular hanya dialami pada sebagian dari dermatom saja.
Infiltrasi tumor ke ruang epidural dapat menyebabkan penekanan pada spinal
cord dan cauda equina. gejala dari kompresi tersebut antara lain: kelemahan motorik,
kehilangan sensoris, dan disfungsi spingter yang berjalan lambat sesuai perjalanan
penyakitnya. Kompresi pada epidural dan spinal merupakan kondisi emergensi dan
terapi yang diberikan biasanya hasilnya kurang bagus pada pasien yang sudah tdk bisa
8

mobilisasi dan akan terjadi defisit neurologis cepat atau sudah tidak sensitif lagi
dengan radioterapi.
F. Malignan psoas syndrome
Kumpulan gejalanya berupa: nyeri pada saat paha ipsilateral difleksikan
( psoas test positif ), nyeri neuropatik pada L1 sampai L4 ( proximal lumbosacral
neuropathy ), dan nyeri nosiseptif meliputi daerah pelvis, tulang punggung, pinggul
atau paha. Nyeri juga menjalar ke selangkangan dan dinding perut bagian depan.
G. Malignant perineal pain
Nyeri berat pada daerah perineum mungkin juga tanda klinis awal adanya
tumor yang recurrence. Tipe nyerinya tumpul, konstan, diperberat dengan berdiri atau
duduk ( tension myalgia of the pelvix floor ). Mungkin dikaitkan karena spasme
kandung kemih atau tenesmus.
Asesmen nyeri visera
Sebagian besar nyeri viseral tidak bisa dilokalisir secara baik, Ini yang
membuat nyeri viseral menjadi sulit untuk didiagnosa. Untuk alasan tersebut mungkin
sulit untuk diterangkan, nyeri dapat episodik, dan membuat sangat sulit dibedakan
diantara nyeri kolik dengan nyeri visera lainnya. Terapi diagnostik secara trial dengan
memberikan antispasmodik yg mungkin akan mengurangi atau menghilangkan
keluhan koliknya (2).
V.

Manajemen nyeri kanker serviks


Nyeri kanker dapat ditangani secara efektif dan sekitar 80 - 90 % pasien relatif

berhasil dengan menggunakan pendekatan analgesic ladder dari World Health


Organization ( WHO )

(10).

Pada penderita kanker serviks yang sudah stadium lanjut

dan mengalami keluhan nyeri yang komplek sangat diperlukan tatalaksana nyeri yang
optimal, asesmen keluhan nyeri yang sistematis, dan pendekatan yang tepat untuk
meningkatkan kwalitas hidupnya. Nyeri dengan tipe yang berbeda diterapi sesuai
dengan jenis patofisiologinya dengan berbagai modalitas anti nyeri bergantung pada
usia pasien, usia harapan hidup, ketersediaan modalitas anti nyeri yang invasif
maupun non invasif, sumber daya pasien, komunitas, dan tenaga kesehatan (2,3,6).
Pendekatan klinis yang direkomendasikan dengan penekanan fokus pada
pasien antara lain (2):

1. Tanyakan tentang keluhan nyeri secara teratur. Nilai nyeri dan keluhan yang terkait
dgn nyerinya secara sistimatis dengan menggunakan perangkat penilaian yang
mudah.
2. Percaya kepada pasien dan keluarganya tentang keluahan nyerinya dan apa yg
membuat nyerinya berkurang. Pilihlah untuk mengontrol nyeri yang sesuai dengan
pasien, keluarga, dan kondisi yang ada.
3. Memberdayakan pasien dan keluarganya, yakinkan bahwa pasien dapat mengontrol
sendiri terapi yang dijalani. Diskusikan tentang penanganan nyerinya dengan
pasien dan keluarganya
4. Pertimbangkan biaya untuk pengobatan dan prosedur intervensi yang akan
direncanakan
5. Pemberian profilaksis anti konstipasi pada pasien yang mendapatkan terapi opioid
6. Bijaksana dalam memilih obat - obatan pada pasien yang mengalami gangguan
fungsi ginjal dimana sering dijumpai pada pasien kanker serviks stadium lanjut
7. Sangat penting untuk memberikan dukungan psychosocial yang adequat. Dukungan
psychosocial berupa: keberadaan relawan untuk membantu penderita, hubungan
yang intensif dengan penderita, mewujudkan harapan dan keinginan penderita, dan
pemberdayaan dari penderita kanker
8. Lakukan diskusi dengan tim dokter untuk penatalaksanaan yang lebih baik dengan
menggunakan pendekatan multidisiplin.
Dalam

menggunakan

pedoman

analgesik

dari

WHO

hendaknya

memperhatikan prinsip - prinsip sebagai berikut:


Prinsip dasar penggunaan obat obatan anti nyeri pasien kanker (2,10)
By mouth
Pemberian obat secara oral lebih baik selama pasien masih bisa menelan dan tidak ada
obstruksi usus halus yang bermakna. Setiap regimen obat harus disesuaikan dengan
kondisi tiap pasien.
By the clock
Sebagian besar pasien kanker dengan keluhan nyeri membutuhkan jadwal yang teratur
untuk menjaga supaya tetap tidak nyeri dan mencegah nyeri menjadi memburuk.
Pemberian dosis rescue bila terjadi breakthrough pain seharusnya selalu
dikombinasikan dengan dosis obat reguler yang diminum untuk mengontrol terjadinya
serangan nyeri mendadak.

10

Penggunaan WHO ladder


Penggunaan tiga langkah analgesik WHO memberikan ketegasan kepada klinis dalam
menghadapi kondisi nyeri yang dikeluhkan pasien. Jika pasien mengeluhkan nyeri
ringan bisa dimulai dengan pemberian regimen step 1 berupa acetaminophen atau
NSAID. Pemberian NSAID sangat berguna untuk nyeri tulang atau ketika terjadi
peritumor inflamasi. NSIAD seharusnya diberikan secara hati hati pada pasien tua
atau pada ganguan fungsi ginjal. Jika pasien tetap memburuk walaupun sudah
diberikan dosis obat yang tepat pada step 1, maka harus segera di ubah ke step 2 atau
3 sesuai indikasi. Sebagian besar pasien dengan nyeri kanker akan membutuhkan
regimen obat step 2 atau 3. Yang tidak menyenangkan beberapa pasien dengan
plexopathy atau dengan distensi usus atau kolik tipe visera pain mungkin tidak respon
baik dengan pemberian lewat oral dan diperlukan alternatif pemberian adjuvan atau
tindakan intervensi seperti pemberian lewat epidural.
Menejemen nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri kanker.
A. Nyeri somatik kanker
Nyeri somatik disebabkan karena dilepaskannya mediator mediator inflamasi
serta adanya proses pendesakan atau infiltrasi di jaringan sekitarnya khususnya
tulang. Nyeri somatik yang paling dikeluhkan adalah nyeri tulang.
Analgesi opioid yang sering digunakan sebagai dasar terapi kanker dapat memberikan
analgesia yang adequat pada nyeri tulang yang sifatnya ringan sampai sedang. Untuk
nyeri tulang yang resisten dengan pemberian opioid perlu dipertimbangkan adjuvant
analgesi dan modalitas terapi lainnya. NSAID sangat berguna untuk nyeri tulang
karena keluhan yang terjadi berhubungan dengan inflamasi setempat. NSAID bekerja
pada enzim cyclooxygenase yang bekerja menghambat pembentukan prostaglandin
dan mengurangi lokal edema dan prostaglandin-induce sensitization (4).
Bisphosphonat makin dikenal digunakan dalam mengurangi nyeri tulang.
Bisphosphonat bekerja selektif menghambat osteoclastic resorbsi tulang dan mungkin
memiliki efek anti inflamasi. Sehingga dapat digunakan bersama obat lain untuk
meningkatkan efek analgesinya. Penelitan yang dilakukan secara RCT pada pasien
kanker payudara menunjukan pasien yang diberikan infus pamidronat dan
bisphosponat menunjukan perbaikan keluhan nyeri tulangnya dan mengurangi
komplikasi tulang seperti fraktur dan compresi pada spinal cord (2,4).
Pilihan terapi lainnya untuk nyeri metastase tulang adalah radioterapi.
Diperkirakan kerjanya dengan mengurangi inflamasi lokal dan mengecilkan massa
11

tumor. Berkurangnya nyeri melalui radioterapi dapat sangat bervariasi waktunya.


Pada pasien yang usia harapan hidupnya lebih dari 1 tahun dan bebas nyeri selama
radioterapi akan mengalami nyeri kembali sekitar 60%. Pada kondisi tertentu
radioisotop dapat bermanfaat, dan salah satu radioisotop yang spesifik untuk tulang
adalah strontium-89

(2,4)

. Kejadian nyeri saat melakukan gerakan sangat sulit utk

dikontrol. Jika terapi farmakologi dan radioterpi tidak mampu mengatasinya perlu
dipertimbangkan dengan penggunaan intervensi, seperti patient controlled epidural
analgesia ( PCEA ) atau menggunakan blok saraf tertentu sesuai dengan sumber
nyerinya (4,11,12) . Kombinasi yang rasional terhadap pilihan terapi yang diberikan akan
mengontrol keluhan nyeri tulang pada pasien kanker. Bagaimanapun nyeri tulang
masih menjadi masalah yang sangat serius untuk pasien kanker dan masih menjadi
tantangan bagi para klinisi.
B. Nyeri visera kanker
Nyeri visera dapat ditangani dengan pemberian farmakologi dan pendekatan
intervensi. Kombinasi NSAID, opioid, dan obat obatan adjuvant menjadi terapi
farmakologi utama

(4)

. Ketika pemberian terapi farmakologi sudah tidak efektif atau

terbatasi karena efek samping obat, maka regional anestesi atau teknik intervensi
menjadi pilihan. Teknik teknik intervensi tersebut memberikan obat lokal anastesi,
opioid, atau bahkan neurolytic agents pada saraf tulang belakang ataupun plexus saraf
organ viseral. Tujuan dari teknik intervensi ini adalah untuk menghasilkan analgesia
yang superior dan untuk menurunkan kebutuhan opioid.
Epidural kontinyu atau infus intrathecal anastesi lokal maupun opioid dapat
secara efektif untuk mengontrol nyeri abdominal maupun pelvis. Pada penelitian
retrospective pada 51 pasien dengan kanker terminal yang sudah diberikan terapi oral
tetapi tdk mempunyai efek yang adequat atau mengalami banyak efek samping,
pemberian infus intrathecal memberikan penurunan nyeri sampai 66%

(4)

. Dengan

menambahkan anastesi lokal pada opiod tersebut mampu memberikan penurunan


nyeri sampai 94%. Pelvix pain yang disebabkan invasi tumor dapat dikontrol secara
memuaskan dengan melakukan neurolysis pada plexus hipogastrika superior, dan
nyeri pada daerah perianal dapat dikontrol dengan melakukan neurolysis pada
ganglion impar

(4,14,15).

Teknik ablative neurosurgical kurang begitu digunakan

sebelumnya tapi untuk pasien dengan nyeri kanker unilateral yang refrakter tindakan
percutaneus cordotomy mungkin masih berguna.

12

C. Nyeri neurophati
Efektivitas opioid dalam terapi nyeri neurophati masih kontroversial. Pada
spinal cord reseptor opioid mu, delta, dan kappa ditemukan didalam presinaps pada
serabut afferent nociceptive dan postsinaps yang berlokasi pada secondary neuron
pada nociceptive circuitry. Kosentrasi paling tinggi reseptor opioid disekitar serabut C
di terminal zone pada lamina I dan II, dan lebih dari 70 % reseptor mu pada afferent
presynaptic terminal

(4,15).

Bagian saraf perifer akan cenderung kehilangan semua

reseptor opioid presynap. Ini kemungkinan menyebabkan penurunan bermakna dari


kumpulan reseptor opioid di tingkat spinal, dan hal ini berperan serta menjadikan
tidak sensitifnya opioid pada nyeri neurophati. Transmiter lain seperti cholecystokinin
( CCK ) juga berperan besar dalam mengatur sensitivitas opioid baik pada level spinal
maupun supraspinal. Pemberian CCK ini dapat secara selektif menurunkan kerja
analgesik dari morphin, dan pemberian antagonisnya yaitu CCK-B meningkatkan
reseptor analgesia dari morphin. Dan telah ditemukan bahwasanya CCK akan
meningkat regulasinya setelah terjadinya kerusakan saraf atau pada neurophati (4).
Nyeri neurophati secara normal memberikan respon yang tidak baik terhadap
opioid sistemik. Walaupun tidak sentifnya sangat relatif, pemberian opioid dosis besar
dapat menyebabkan intoleransi atau efek samping yang tidak diharapkan. Sebaliknya
pemberian opioid intrathecal menunjukan hasil yang lebih baik ( dose-dependent
inhibition ) terhadap respon stimulus nyeri dan rangsangan C-fiber dibandingkan
dengan rute pemberian secara sistemik

(4).

Jadi masalah respon opioid terhadap nyeri

neurophati bukan hanya pada berkurangnya sensitifitasnya, tapi juga kegagalan dalam
mengirimkan kosentrasi yang cukup tinggi dari sistemik ke spinal cord tanpa adanya
efek samping yang berarti.
Penghambat sodium channel ( local anesthetic, antiarhymic, dan obat
antiepileptic ) berperan utama dalam terapi nyeri neurophati. Ada dua tipe sodium
channel yaitu yang sensitif dan yang tidak sensitif dengan tetrodotoxin. Sodium
channel yang sensitif dengan tetrodotoxin hampir berada pada semua neuron sensoris,
sementara itu sodium channel yang tidak sensitif terhadap tetrodotoxin hanya
ditemukan pada neuron sensori nosisepsi yang berperan dalam patofisiologi nyeri.
Setelah terjadinya kerusakan saraf, sensori afferent menunjukan letupan letupan yang
disebabkan akumulasi dari sodium channel pada saraf yang rusak maupun yg masih
tidak rusak, khususnya dengan sodium channel insensitif tetrodotoxin yang akan
berpengaruh selanjutnya. Sodiun channel saat ini yang tersedia tidak selektif,
13

sehingga penggunaannya sering kali muncul efek - efek yang tidak diinginkan seperti
efek pada sistem saraf pusat dan kardiovasculer.
Aktivitas simpatis pada nyeri neurophati juga terjadi peningkatan. Penanganan
yang spesifik seperti blok simpatis, intravena regional guanethidine block, atau 1
antagonis telah digunakan luas akhir akhir ini, tetapi evidence yang mendukung
belum banyak. Kehilangan regulasi penghambat pada tingkat dorsal horn
menyebabkan terjadinya letupan spontan dari jalur nyeri nosiseptif. Tingkat gammaaminobutyric acid ( GABA, sebagai penghambat transmiter di dorsal horn ) menjadi
berkurang, dan reseptor GABA pada dorsal horn regulasinya menurun. Gabapentin,
anti konvulsan adalah memiliki struktur seperti GABA tetapi tidak bekerja di GABA
reseptor, telah menunjukan efikasinya untuk menangani nyeri neurophati dengan
penyebab yang bervariasi (4,11,12).
Antagonis NMDA telah digunakan untuk menghilangkan wind-up pada level
spinal. Ketamin adalah antagonis NMDA bekerja sebagai analgesik kuat pada dosis
subanastesi. Hal tersebut mungkin mengurangi hipersensitifitas di dorsal horn.
Ketamin dan amantadine dapat mengurangi resistensi opioid untuk terapi nyeri
neurophati pada pasien kanker (4).
Ajuvan analgesik
Kortikosteroid
Kortikosteroid telah diterima luas sebagai ajuvan dalam menangani nyeri
kanker, terutama pada nyeri tulang, viseral, dan neurophati. Banyak sekali nyeri pada
kanker servix disebabkan kaarena proses inflamasi sebagai penyebabnya dan
kortikosteroid sangan berperan didalamnya. Dari beberapa trial penelitian dosis yang
direkomendasikan sangat kecil seperti dexamethason 1-2 mg atau prednisolon 5-10
mg sekali atau dua kali perhari. Untuk memulai bisa diberikan dosis awal
dexamethaso 10 mg sekali perhari dilanjutkan dosis selanjutnya diturunkan bertahap
sampai sampai mencapai dosis minimal yang evektif (2).
Meskipun sudah diterima secara luas penggunaan kortikosteroid dalam
penanganan nyeri kanker tapi data yang ada masih belum cukup untuk bisa membuat
sebuah panduan dosisnya (2).
Peran pendekatan intervensional pada nyeri kanker serviks
Pada tahun 1986, WHO telah mengeluarkan panduan tatalaksan nyeri kanker
yang dikenal dengan three-step ladder. Panduan tersebut memberikan pegangan para
14

klinisi dalam menangani nyeri kanker dan mampu memberikan keberhasilan sekitar
80 - 90% dan lebih dari 75% adalah pasien kanker stadium terminal

(10,11).

Tetapi

beberapa masalah ditemukan dalam penggunaan pedoman tersebut, seperti


penanganan nyeri tulang pada kanker metastasis, pasien tidak bisa intak oral atau
transdermal. Kegagalan terapi meliputi tidak adequatnya dalam menurunkan nyeri
atau munculnya intoleransi dan efek samping seperti tersedasi, mual dan muntah,
konstipasi, dan kesadaran menurun (2,11,12).
Dalam hal ini pertimbangan untuk melangkah ke tahap (a Fourth step )
selanjutnya harus dipikirkan yaitu teknik intervensi. Seorang pain clinic seringkali
melakukan prosedur intervensi untuk menangani intractable pain dari kanker serviks.
Pengetahuan dasar anatomi sangat diperlukan sebelum melakukan tindakan tersebut.
Persarafan dari uterus dan serviks (2):
1. Saraf dari uterus muncul dari plexus hypogastrika inferior, sebagian besar dari
bagian anterior dan intermediet dikenal sebagai plexus uterovaginal. Implus nyeri dari
bagian atas uterus diteruskan melalui saraf T11 dan T12 dan dari serviks dan bagian
bawah uterus melalui saraf di pelvis ke segmen spinal S2, S3, dan S4.
2. Serabut saraf parasimpatis dari saraf splanik pelvis ( S2-4 ), dan serabut simpatis
yang berasal dari plexus diatas. Serabut autonomik dari uterovaginal adalah
vasomotor utama.
Beberapa teknik intervensi yang digunakan untuk menangani nyeri kanker serviks:
1. Neurolytic sympathetic plexus block ( NSPB )
Neurolytic sympathetic plexus block telah diusulkan untuk mencegah
berkembangnya nyeri dan memperbaiki kwalitas hidup pasien kanker, oleh karenanya
beberapa klinisi menganjurkan melakukannya lebih awal

(2,13).

Bilateral percutaneus

neurolitic superior hypogastric plexus block dianjurkan untuk mengatasi nyeri paliatif
pada kanker kandungan. Bila dibandingkan keuntungan dan kerugiannnya NSPB
seharusnya dipertimbangkan dilakukan lebih awal pada nyeri abdominopelvic
khususnya bila nyeri persisten dan dan tidak adequat dengan terapi konfensional yang
memadai.
Blok superior hipogastrika berguna untuk keluhan nyeri dari kanker serviks
atau berbagai tipe nyeri dari pelvis kecuali nyeri dari ovarium. Selain itu bisa
dilakukan blok Walther's ganglion, ganglion tersebut merupakan ganglion simpatis
yang berlokasi pada sacrococcygeal juction. Neurolitik pada ganglion tersebut akan
mampu mengontrol nyeri di perianal, rektum dan genital (13,14).
15

2. Spinal / Epidural analgesia


Pengetahuan tentang ditemukannya reseptor mu opioid yang sangat berlimpah
di dorsal horn pada spinal cord membuat Wang dan rekannya tahun 1979
menempatkan morphine didalam ruang subarachnoid untuk mengontrol nyeri kanker.
Sejak saat itulah pengunaan jalur spinal untuk memasukan obat opioid menjadi sangat
populer. Sejumlah obat selain opiod dicoba dimasukan melalui ruang subarachnoid
seperti anastesi lokal, spasmolitik, dan alpha 2 adrenegik agonist. Dan saat ini obat
obat tersebut selain dimasukan di ruang subarachnoid juga bisa dimasukan di ruang
epidural (11).
Obat obat yang dimasukan lewat ruang subarachnoid dan ruang epidural
memiliki perbedaan dalam mekanisme kerjanya. Karena jalur subarachnoid
berhubungan langsung dengan spinal cord, sehingga dosis obat yang dibutuhkan
sepersepuluh bila dibandingkan dengan pemberian melalui rute epidural. Dosis ini
berbeda dan tidak berlaku pada obat anestesi lokal, karena tergantung pada kosentrasi
dan sejumlah volume untuk mencapai target yang diharapakan.
Alpha 2 adrenegik agonist terdiri dari beberapa kelas bila diberikan via
subarachnoid akan dapat mengurangi nyeri neurophati. Obat semisal clonodin bekerja
langsung pada reseptor alpha 2 adrenegik agonist yang dapat menyebabkan hambatan
transmisi nyeri sepanjang jalur adrenergik pada spinal cord. Sedikitnya ada satu
penelitian yang telah menunjukan pemberian alpha 2 adrenegik agonist via
subarachnoid, tidak bekerja untuk mengatasi nyeri visera dan somatik tapi efektif
untuk menterapi nyeri neurophati dengan menurunkan kebutuhan opioid dan
memperbaiki keluhan nyeri pada pasien kanker terminal. Efek samping seperti sedasi
dan hipotensi ortostatik secara umum ringan dan tidak lama (11).
Untuk terapi yang lebih lama pemberian obat via epidural maupun spinal
dapat dilakukan penanaman kateter subkutan dan biasanya dihubungkan dengan pump
khusus. Pemasangan implan ini sangat bergantung dari kondisi pasien, sumber dana
dan kemampuan seorang pain clinic.
Beberapa teknik / sistim pengiriman obat via intrathecal (12,15)
A. Simple percutaneus intrathecal catheter
Termasuk teknik invasi yang sederhana dan dapat digunakan dalam jangka
waktu yang pendek. Dapat digunakan sebagai trial bila akan dipasang implant, bila
dengan simple percutaneus ini efektif maka bisa dipertimbangkan dengan

16

pemasangan implant atau bisa karena perkiraan harapan hidupnya tidak lama
sehingga cukup dipasang yg bisa digunakan jangka pendek.
B. Tunneled intrathecal cateter
Pemasangan dilakukan dikamar operasi dalam kondisi yang streril. bagian
dorsal kateter ditanam subcutan dengan jarak yang bervariasi, dan biasanya
keluarnya pada dinding abdomen sebelah lateral. Dengan kontrol infeksi yang ketat
termasuk didalamnya filter antimikroba dan pengaman tempat keluar masuknya,
sistem tunneled ini dapat digunakan dalam hitungan bulan sampai tahun.
Keuntungan alat ini adalah pemasangannya relatif mudah, bisa dioperasikan oleh
seorang hospice, dan menjadi evektif hanya dijalankan dengan tenaga yang terlatih
minimal.
C. Implantable drug-delivery systems ( IDDS )
IDDS mengunakan pompa elektonik yang kecil dan diprogram oleh komputer
untuk mengantarkan obat ke ruang intratechal melalui kateter. Pompa diletakan
subkutan di dinding perut bagian depan atau di glutea. Obat didalam reservoir dapat
diisi ulang via lubang tertentu dengan cara menginjeksikan jarum lewat kulit.
keuntungan dari sistim ini adalah pasien bebas bergerak, pemeliharaannya mudah, dan
resiko infeksinya lebih kecil. Yang terbaru FDA Amerika merekomendasikan dengan
penggunaan alat tertentu yang sistem kerjanya sama dengan patien controlled
analgesia, dan patient therapy manager ( PTM ) sehingga pasien dapat mengkontrol
dosis bolus pada saat terjadi breakthrough pain sehingga meningkatkan kenyamanan
pasien.
3. Vertebroplasty and Kyphoplasty
Vertebroplasty adalah teknik minival invasif ( tidak melakukan irisan pada
kulit hanya memasukan bone cement melalui jarum khusus dengan panduan
floroscopy pada vertebra yang ditarget ) yang dikerjakan secara rawat jalan dimana
nyeri yang ditimbulkan disebabkan karena penekanan fraktur vertebra dan dapat di
stabilisasi dengan menyuntikan bone cement polymethyl metacrylate ( PMMA ).
Sementara itu kyphoplasty berbeda dalam hal apa yang diinjeksikannya, dilakukan
dengan mencoba memperbaiki ketinggian vertebra dengan cara menyuntikan balon
intravertebra percutaneus. Secara teknik kyphoplasty lebih sulit, tidak nyaman bagi
pasien dan relatif lebih mahal. Study meta analisis membandingkan antara
vertebroplasty dengan kyphoplasty menunjukan penurunan nyeri lebih bermakna pada

17

kelompok vertebroplasty tapi memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya ektravasasi
bone cement didalam canal spinalis.
Indikasi: Vertebroplasty atau kyphoplasty diindikasikan pada kondisi nyeri akut
maupun subacut ( < 6 bulan ) karena fraktur patologis vertebra ( disebabkan
osteoporosis atau tumor ) tanpa adanya kelainan pada canal spinalis dan elemen
didalamnya. Apabila ada fraktur yang disertai kelainan pada canal spinal yang aktual
maupun potensial kelainan neurologis mungkin yeng terbaik dilakukan tindakan
pembedahan dengan melakukan decompresi dan mungkin spinal fusion (12,15).
Kontraindikasi: Kontraindikasi absolut Vertebroplasty atau kyphoplasty adalah
adanya fraktur stabil yang tanpa keluhan, efektif terhadap terapi farmakologis,
terdapat osteomilitis di target vertebranya, kelainan pembekuan darah yang tidak bisa
dikoreksi, allergi terhadap komponen yang digunakan, dan terjadi infeksi lokal
maupun sistemik. Kontraindikasi relatif antara lain nyeri radikuler, atau sudah terjadi
radiculophaty yang disebabkan karena sindrom kompresi yang tidak berkaitan dengan
kolaps dari vertebra body, retropused fragmen > 20% kolaps kanan spinal, ekpansi
tumor ke ruang epidural, kolaps vertebra body yang berat ( vertebral plana ) (12,15).
VIII. Kesimpulan
Pendekatan yang holistik didalam menangani nyeri kanker serviks merupakan
kunci keberhasilan dalam menurunkan keluhan nyeri penderita kanker. Pengetahuan
yang mendalam tentang patofisiologi dari nyeri kanker serviks sangat diperlukan
untuk dapat menangani penderita kanker serviks terutama yang mengalami nyeri yang
multipel.
Tipe dari nyeri kanker serviks bisa berupa nyeri somatik, visera, dan
neurophati. Bisa bersifat akut, kronik dan kadang terjadi nyeri yang refrakter. Evaluasi
yang teliti terhadap jenis nyeri dan penggunaan yang tepat terhadap panduan nyeri
kanker WHO serta pertimbangan penggunaan teknik intervensi nyeri yang bijaksana
akan mampu memberikan hasil yang optimal sehingga pasien dapat berkurang
keluhan nyerinya dan mampu meningkatkan kwalitas hidupnya.

18

Referensi:
1. Epidemilogi Kanker Serviks, Indonesia Journal of Cancer 2009 No 3 Jul-Sep
2. Gayatri P, M.S Biji, M.R. Rajagopal, Pain Management in Cancer Serviks, Indian
J. Palliative Care, Desember 2006
3. Cervical Cancer, American Cancer Society, last reviced 31 Jan 2014
4. Joan M. Regan, Philip P, Neurophysiology of Cancer Pain, March/April 2000. Vol
7, No 2
5. Savita V, Paulette M et.all, Lower Extremity Pain as Initial Presentation of Cervical
Cancer, Gynecology Oncology Report 5 ( 2013 ) 13-15
6. Guidelines for the Management of Cancer-Related Pain in Adults, Cancer Care
Nova Scotia, 2005
7. Palliative Care for Women with Cervical Canser: a Field Manual, Engender Health,
2003
8. Saikat Das, Jenifer Jeba, etall, Cancer and Treatment Related Pain in Patient with
Cervical Carcinoma, Indian Journal of Palliative Care, Vol 11, Page 78-81, 2005
9. Saphner T, Gallion HH, Van Nagell JR. Neurologic complications of cervical
cancer. A review of 2261 cases. Cancer 1989;64:1147-51
10. WHO`s Cancer Pain Ladder for Adult, www.who.int/cancer/paliative/painladder/en,
2014
11. Rafael Miguel, Interventional Treatment of Cancer Pain: The Fourth Step in the World
Health Organization Analgesic Ladder, March/April 2000, Vol 7, No 2
12. Shane Brogan, Scott Junkins, Interventional Therapies for the Management of
Cancer Pain, The Journalof Supportive Oncology, 2010; 8:52-59
13. De Oliveria R, Das Reis, Prado WA, The Effects of Early or Late Neurolitic
Symphatetic Plexus Block on the Management af Abdominal or Pelvic Cancer
Pain, 2004;110:400-8
14. Waldman, Atlas of Interventional Pain Management, Copyright 1998, page 383
15. Waldman, Pain Management, second edition, Elseiver, 2011

19

BAGIAN ANESTESIOLOGI,PERAWATAN INTENSIF


DAN MANAJEMEN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
Tugas Referat
Mei 2014

MANAJEMEN NYERI KANKER SERVIKS

OLEH
dr Dedi Susila SpAn
PEMBIMBING
Prof. Dr.dr. Nancy M. Rehatta, Sp.An-KIC-KMN

DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS PADA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SUBSPESIALIS
KONSULTAN MANAJEMEN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
2014

20

Anda mungkin juga menyukai