Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

Endometriosis merupakan penyakit yang terjadi pada masa belasan tahun sampai
mencapai usia menopause, yang berarti dapat diderita sepanjang kehidupan wanita
(Oepomo, 2007). Definisi yang sekarang dianut ialah endometriosis merupakan sebukan
jaringan (sel- sel kelenjar dan stroma) tidak normal mirip–endometrium (endometrium–
like tissue) yang tumbuh di sisi luar kavum uterus, dan memicu reaksi peradangan
menahun (Jacoeb dan Hadisaputra, 2009). Bila jaringan endometrium terdapat di
dalammiometrium disebut adenomiosis, dan bila di luar uterus disebut endometriosis
(Prabowo,2007).
Endometriosis terjadi ketika salah satu jaringan normal dari lapisan uterus, yaitu
endometrium, tumbuh secara ektopik pada organ-organ tubuh selain uterus. Jaringan
ektopik endometrium dapat tumbuh di hampir seluruh organ yang ada di tubuh manusia.
Secara normal, endometrium merupakan lapisan terdalam pada uterus selain peritoneum
dan miometrium. Lapisan endometrium berperan penting dalam proses menstruasi dan
proses berkembangnya uterus menuju uterus yang matang dan siap menjadi tempat
berkembangnya fetus pada masa kehamilan. Jika jaringan endometrium tumbuh di luar
uterus jaringan ini akan menyebabkan iritasi dan inflamasi diorgan dan rongga sekitar
tempat berkembangnya jaringan ektopik endomentrium, pada akhirnya hal tersebut akan
menimbulkan gejala klinis sesuai dengan organ yang menjadi tempat terjadinya
endimetriosis
Dismenore didefinisikan sebagai sensasi nyeri yang hebat di
perut bagian bawah dan disertai gejala biologis lain seperti berkeringat, frekuensi nadi
tinggi, sakit kepala, mual, muntah, diare,

dan merinding, yang terjadi sebelum atau selama siklus menstruasi (Katz et al., 2007).
Secara garis besar, dismenore dikelompokkan menjadi dua jenis. Pertama, dismenore tanpa
kelainan ginekologi pada alat-alat genital atau yang disebut sebagai dismenore primer. Dismenore
primer terjadi beberapa waktu setelah menarche biasanya setelah 12 bulan atau lebih. Oleh karena
siklus-siklus menstruasi pada bulan-bulan pertama setelah menarche umumnya berjenis anvulator
yang tidak disertai dengan rasa nyeri. Rasa nyeri timbul tidak lama sebelumnya atau bersama-sama
dengan permulaan menstruasi dan berlangsung untuk beberapa jam, walaupun pada beberapa kasus
dapat berlangsung beberapa hari. Sifat rasa nyeri adalah kejang berjangkit-jangkit, biasanya
terbatas pada perut bawah, tetapi dapat menyebar ke daerah pinggang dan paha. Bersamaan rasa
nyeri dapat dijumpai rasa mual, muntah, sakit kepala, diare, iritabilitas, dan sebagainya
(Simanjuntak, 2007).
A. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah profil gambaran dari endometriosis dan Dismenore?
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui gambaran lengkap penyakit endometriosis.
2. Untuk yang mengetahaui apa yang gejala Dismenore
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Endometriosis
Endometriosis merupakan penyakit yang terjadi pada masa belasan tahun
sampai mencapai usia menopause, yang berarti dapat diderita sepanjang kehidupan
wanita (Oepomo, 2007). Definisi yang sekarang dianut ialah endometriosis merupakan
sebukan jaringan (sel- sel kelenjar dan stroma) tidak normal mirip–endometrium
(endometrium–like tissue) yang tumbuh di sisi luar kavum uterus, dan memicu reaksi
peradangan menahun (Jacoeb dan Hadisaputra, 2009). Bila jaringan endometrium
terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis, dan bila di luar uterus disebut
endometriosis (Prabowo, 2007).
Secara histologis ditemukan kelenjar, stroma mirip– endometrium atau keduanya,
dengan atau tanpa makrofag termuat hemosiderin, dan dapat berubah mengikuti siklus
menstruasi. Sebukan endometriosis bereaksi terhadap hormon steroid yang sama dengan
jaringan endometrium normal. Hormon esterogen merangsang pertumbuhan jaringan
endometriosis dan endometrium ektopik. Jaringan mirip – endometrium ini memberikan
fenomena khas karena
dapat memunculkan aneka tampilan visual, meski dapat pula
ditemukan pada peritoneum yang kelihatannya normal (Jacoeb, 2009).
Endometriosis pada dasarnya bersifat jinak, tetapi dapat
menginvasi organ-organ dalam tubuh. Ada tiga bentuk utama yang
saling berbeda, yaitu: a) endometriosis peritoneal, b) kista
endometriosis ovarium (endometrioma), dan c) endometriosis
rektovaginal atau adenomiosis (endometriosis interna). Secara
anatomis, lokasi paling umum terkena endometriosis adalah ovarium
dan tuba fallopii. Lokasi lain yang umum didapatkan endometriosis
adalah cul-de-sac anterior dan posterior, ligamentum sakrouterina,
rotundum, latum, dan septum rektovaginal. Lokasi yang kurang umum
didapatkan endometriosis adalah kandung kemih, ginjal, serosa kolon
sigmoid, rektum, serviks, vagina, vulva, umbilikus, dan kantong
hernia inguinal. Sedangkan lokasi yang jarang didapatkan
endometriosis adalah lokasi ekstrapelvis, yaitu: a) pleura, b) paru, c)
payudara, d) extremitas, e) parut abdominal, dan e) daerah perianal
(Oepomo, 2012).
Etiopatogenesis dari endometriosis sendiri belum diketahui
secara pasti. Beberapa teori mengenai mekanisme endometriosis
dikemukakan, tetapi tidak satupun dari mekanisme tersebut dapat
menjelaskan secara terpadu dan menyeluruh dari kasus-kasus
endometriosis (Oepomo, 2012). Dewasa ini terdapat beberapa teori
mekanisme dari terbentuknya endometriosis. Teori pertama
diungkapkan oleh Sampson, yaitu regurgitasi dan implantasi
menstruasi. Menurut Sampson, endometriosis terjadi karena darah
menstruasi mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba fallopii ke
kavum peritonii. Dalam darah menstruasi ditemukan sel-sel
endometrium yang masih hidup, sel ini kemudian mengadakan
implantasi di permukaan organ pelvis (Prabowo, 2007). Teori kedua
diungkapkan oleh Robert Meyer, yaitu metaplasia. Menurut Robert
Meyer, endometriosis terjadi karena rangsangan sel-sel epitel yang
berasal dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di daerah
pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasia dari sel-sel
epitel sehingga terbentuk jaringan endometrium (Prabowo, 2007).
Teori ketiga mengenai kemungkinan pengaruh induksi, di mana darah
menstruasi memicu sel-sel peritoneum sehingga terjadi perubahan sel-
sel asal yang tidak berdiferensiasi dan mempunyai kemampuan untuk
berimplantasi (Baziad, 2003). Teori keempat diungkapkan oleh
Dmowski mengenai kemungkinan pengaruh faktor imunologik, yaitu
ditemukannya penurunan imunitas seluler pada jaringan endometrium
wanita yang menderita endometriosis. Pada jaringan peritoneum,
ditemukan aktivitas makrofag yang meningkat, penurunan aktivitas
natural killer cells dan penurunan aktivitas sel-sel limfosit. Makrofag
akan mengaktifkan jaringan-jaringan endometriosis dan penurunan
sistem imunologik tubuh akan menyebabkan endometriosis tumbuh
tanpa hambatan. Makin banyak regurgitasi darah menstruasi, makin
banyak pula sistem pertahanan tubuh yang terpakai (Baziad, 2003).
Teori kelima mengenai kemungkinan pengaruh faktor genetik, di
mana wanita dengan riwayat keluarga menderita endometriosis lebih
mungkin terkena penyakit ini yang mempunyai risiko 7 kali lipat pada
penderita endometriosis. Ketika diturunkan, maka penyakit ini
cenderung menjadi lebih buruk pada generasi berikutnya. Teori
keenam mengenai kemungkinan pengaruh lingkungan kavum
douglasi, yaitu terjadinya terjadi perubahan seluler maupun humoral
di kavum douglasi. Nyeri menstruasi yang muncul akibat
endometriosis disebabkan oleh prostaglandin. Cairan peritoneum juga
mengandung sitokin dan IL serta TNF- α (Wood, 2008). Teori ketujuh
diungkapkan oleh Halban mengenai kemungkinan penyebaran
jaringan endometrium secara limfogen. Jaringan endometrium
tersebut menyebar melalui saluran limfatik yang mendrainase rahim
dan kemudian diangkut ke berbagai tempat pelvis di mana jaringan
tersebut tumbuh secara ektopik. Jaringan endometrium ditemukan
dalam limfatik pada pelvis sampai 20% pada penderita endometriosis
(Moore, 2001).
2. Dismenore
Dismenore didefinisikan sebagai sensasi nyeri yang hebat di
perut bagian bawah dan disertai gejala biologis lain seperti
berkeringat, frekuensi nadi tinggi, sakit kepala, mual, muntah, diare,
dan merinding, yang terjadi sebelum atau selama siklus menstruasi
(Katz et al., 2007).
Secara garis besar, dismenore dikelompokkan menjadi dua jenis.
Pertama, dismenore tanpa kelainan ginekologi pada alat-alat genital
atau yang disebut sebagai dismenore primer. Dismenore primer terjadi
beberapa waktu setelah menarche biasanya setelah 12 bulan atau
lebih. Oleh karena siklus-siklus menstruasi pada bulan-bulan pertama
setelah menarche umumnya berjenis anvulator yang tidak disertai
dengan rasa nyeri. Rasa nyeri timbul tidak lama sebelumnya atau
bersama-sama dengan permulaan menstruasi dan berlangsung untuk
beberapa jam, walaupun pada beberapa kasus dapat berlangsung
beberapa hari. Sifat rasa nyeri adalah kejang berjangkit-jangkit,
biasanya terbatas pada perut bawah, tetapi dapat menyebar ke daerah
pinggang dan paha. Bersamaan rasa nyeri dapat dijumpai rasa mual,
muntah, sakit kepala, diare, iritabilitas, dan sebagainya (Simanjuntak,
2007). Nyeri tersebut timbul sebagai akibat dari pelepasan
prostaglandin ketika terjadi peluruhan sel-sel endometrium. Pelepasan
prostaglandin tersebut menyebabkan uterus mengalami iskemik
melalui kontraksi miometrium dan vasokontriksi (Holder et al., 2011).
Kedua, dismenore dengan kelainan ginekologi pada alat-alat genital
atau yang disebut sebagai dismenore sekunder. Menurut Simanjuntak
dalam Prawirohardjo (2007), dismenore sekunder pada mulanya
sering dikira dismenore primer apabila tidak diperiksa lebih lanjut.
Hal ini karena munculnya gejala akibat kelainan ginekologinya tidak
menentu kapan terjadi. Penyebab dismenore sekunder antara lain: a)
endometriosis, b) adenomiosis uteri, c) salpingitis, d) stenosis serviks
uteri, dan e) lain-lain (Simanjuntak, 2007). Oleh karena itu, nyeri yang
timbul akan semakin hebat dan tidak menentu dikarenakan pelepasan
prostaglandin menjadi tidak terkontrol sebagai efek inflamasi dari
kelainan ginekologi yang diderita. Penyebab tersering dismenore
sekunder adalah endometriosis, leiomioma, adenomiosis, PID, dan
IUD (Holder et al., 2011).
Derajat nyeri yang dialami wanita saat menstruasi berbeda-beda
satu sama lain. Terdapat wanita dengan nyeri ringan tanpa gejala
sistemik, jarang membutuhkan pengobatan, dan jarang mengganggu
pekerjaan saat menstruasi. Wanita tersebut tergolong masuk kategori
dismenore derajat ringan. Kemudian, terdapat wanita dengan nyeri
sedang diikuti beberapa gejala sistemik, membutuhkan pengobatan,
dan mengganggu pekerjaan saat menstruasi. Wanita tersebut tergolong
masuk kategori dismenore derajat sedang. Terakhir, terdapat wanita
dengan nyeri hebat diikuti banyak gejala sistemik, respon buruk
terhadap pengobatan, dan sangat menghalangi pekerjaan saat
menstruasi. Wanita tersebut tergolong masuk kategori dismenore
derajat berat (Katz et al., 2007).
Dismenore yang dialami wanita saat menstruai sering kali

mengganggu bahkan sangat menghalangi aktivitasnya. Beberapa cara


dilakukan untuk mengurangi dan atau menghilangkan kondisi
dismenore tersebut. Penanganan dismenore sendiri harus tepat
berdasarkan jenis dan derajatnya. Adapun penanganan dismenore
primer hanya ditujukan untuk mengurangi atau menghentikan
pelepasan prostaglandin, sedangkan penanganan dismenore sekunder
selain ditujukan untuk mengurangi atau menghentikan pelepasan
prostaglandin juga lebih didasarkan pada penyakit penyebabnya itu
sendiri. Sering kali dipilih penanganan hingga tahap pembedahan,
baik konservatif atau radikal (Chudnoff, 2005). Beberapa bentuk
penanganan yang dapat diterapkan pada pasien dismenore, khususnya
sekunder antara lain: a) edukasi, b) pemberian analgesik, c) terapi
hormonal, d) terapi obat nonsteroid anti prostaglandin, e) dilatasi
canalis servicalis, f) pemberian kontrasepsi kombinasi, g) pemberian
guaifenesin, h) akupuntur, dan i) pembedahan konservatif atau radikal
(Chudnoff, 2005; Iorno et al., 2008; Marsden et al., 2004;
Simanjuntak, 2007).
3. Hubungan Endometriosis dengan Dismenore
Endometriosis menimbulkan gangguan fungsi biologis yang
cukup serius dan berpusat pada organ reproduksi dan daerah pelvis
(Utari, 2010). Meskipun keluhan pada penderita bervariasi dari tanpa
gejala hingga adanya benjolan pada pelvis, sebagian besar
mengeluhkan gejala terutama nyeri atau dismenore (Widiantara,
2011).
Nyeri adalah gejala yang sering dihubungkan dengan
endometriosis. Mekanisme keluhan nyeri sulit ditentukan. Lingkungan
hormon mempengaruhi persepsi nyeri. Nyeri pelvis kronik ada
kecenderungan meliputi sistem organ. Persepsi dan toleransi nyeri
berbeda pada setiap orang (Oepomo, 2012).
Selama menstruasi, sejumlah darah menstruasi ada yang
berbalik masuk melalui tuba fallopii atau saluran telur mengalir ke
dalam rongga panggul dan selaput rongga perut (peritoneum). Di
dalam darah menstruasi tersebut terbawa serta debris dan sel
endometrium yang masuk ke dalam rongga perut (Utari, 2010). Akibat
dari keadaan tersebut terjadi peningkatan enzim aromatase dan
cyclooxygenase (COX) (Giudice et al., 2004). Peningkatan COX
secara drastis akan mengkatalisis produksi prostaglandin H2 (PGH2)
pada miometrium, endometrium, dan jaringan endometriotik. COX
sendiri mempunyai dua isoform, yaitu COX-1 yang mengerakkan
sintesa basal prostaglandin dan COX-2 yang berperan pada inflamasi.
PGH2 yang tebentuk akan dimetabolisme menjadi PGF2α dan PGE2.
PGF2α akan memicu vasokontriksi dan kontraksi miometrium
sehingga menghasilkan nyeri. Sedangkan PGE2 akan meningkatkan
produksi sitokin, metalloprotein, dan chemokin. Peningkatan sitokin,
seperti: a) Interleukin-1β (IL-1β), b) Interleukin-6 (IL-6), dan c)
Tumor Necrosis Factors-α (TNF-α) akan memicu adhesi jaringan
endometrium pada permukaan peritoneum. Membran proteolitik
metalloprotein akan menyebabkan implantasi. Kenaikan kadar
chemokin (Monocyte chemoattractant protein 1, Interleukin-8, dan
Regulated on Activation Normal T-cell Expressed and Secreted)
menarik granulosit, natural killer cells, dan makrofag (Bedaiwy et al.,
2002; Oepomo, 2002; Rizk, 2003; Weiser et al., 2002; Speroff, 2011).
Pertumbuhan lesi endometriosis ini dapat menekan inervasi saraf di
sekitar lesi (Berkley, 2005) dan meningkatkan produksi enzim
aromatase serta COX berkali-kali lipat (Oepomo, 2012).
Berdasarkan uraian di atas, nyeri yang berhubungan dengan
endometriosis terdiri dari tiga faktor penyebab utama, yaitu: a) efek
langsung dan tidak langsung dari perdarahan lokal implantasi
endometriotik, b) peran sitokin inflamasi dalam zalir peritoneum, dan
c) iritasi atau infiltrasi langsung saraf pada dasar pelvis (Oepomo,
2012).
B. Kerangka Pemikiran

Menstruasi

Darah menstruasi berbalik Darah menstruasi keluar

Sel endometrium berada di kavum


peritonii

COX ↑

PGH2 ↑
PGF2α↑
PGE2 ↑
Vasokontriksi dan kontraksi
Inflamasi↑ miometrium
Chemokin ↑:
1. Monocy
chemoat
IL-1β↑ Metallo-
1↑
IL-6 ↑ protein↑ te
2. IL-8↑
TNF-α tractant protein
3. RANTE

S↑

Adhesi Implantasi Granulosit ↑


Sel NK ↑
Makrofag ↑
Keterangan
Endometriosis : Meningkat

Iritasi atau infiltrasi langsung saraf d asar pelvis

Nyeri atau dismenore


: Tidak diteliti

: Diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Hubungan Endometriosis dengan


Dismenore. Dikutip dari Oepomo TD, 2012.
C. Kerangka Konsep

Menstruasi

Darah menstruasi berbalik Darah menstruasi keluar

Sel endometrium berada di kavum


peritonii

Metabolisme Prostaglandin
Endoperksidase

Inflamasi dan defek imunologis


Vasokontriksi dan kontraksi
miometrium
Pertumbuhan dan perkembangan
endometriosis

Menekan inervasi dasar pelvis Menekan inervasi dasr pelvis

Nyeri atau dismenore

Keterangan

: Meningkat

: Tidak diteliti

: Diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Hubungan Endometriosis dengan


Dismenore.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Endometriosis merupakan penyakit yang terjadi pada masa belasan tahun


sampai mencapai usia menopause, yang berarti dapat diderita sepanjang
kehidupan wanita (Oepomo, 2007). Definisi yang sekarang dianut ialah
endometriosis merupakan sebukan jaringan (sel- sel kelenjar dan stroma) tidak
normal mirip–endometrium (endometrium–like tissue) yang tumbuh di sisi luar
kavum uterus, dan memicu reaksi peradangan menahun (Jacoeb dan Hadisap
Secara garis besar, dismenore dikelompokkan menjadi dua jenis.
Pertama, dismenore tanpa kelainan ginekologi pada alat-alat genital atau yang
disebut sebagai dismenore primer. Dismenore primer terjadi beberapa waktu
setelah menarche biasanya setelah 12 bulan atau lebih. Oleh karena siklus-siklus
menstruasi pada bulan-bulan pertama setelah menarche umumnya berjenis
anvulator yang tidak disertai dengan rasa nyeri.utra, 2009).

B. Saran

Diharapkan kepada mahasiswa agar bisa menggunakan makalah ini dan


juga menjadikannya sebagai pedoman dalam memberikan intervensi
keperawatan tentang proses hubungan anatara Endomrtriosis dengan dismenore
pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. .Badziad Ali., 2003. Endometriosis; Endokrinologi Ginekologi, edisi kedua,


hal: 1-25, Media Aesculapius, FK UI, Jakarta.

2. Badziad Ali., 1999. Endometriosis; Ilmu Kandungan, edisi kedua, cetakan


ketiga, hal: 316-326, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

3. Badziad Ali., 1992. Kontroversi Dalam Pengobatan Endometriosis; Majalah


Kedokteran Indonesia, vol. 42 no. 7, edisi Juli, hal: 409-410, Jakarta.

4. David L. Olive, Pritts EA, Treatment of Endometriosis, NEJM, vol: 345, no.4
July 2001.

Anda mungkin juga menyukai