Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

SPONDILITIS TUBERKULOSA

Pembimbing : dr. Bestari Hutagalung, SpB

Oleh :
Dian Marta Sari Simbolon 212 210 163
Dawina Yohana Surbakti 212 210
Selly Atari Surbakti 212 210
Lentia Raina Siburian 212 210
Anita Natalia Manalu 212 210 165

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah


Rumah Sakit Putri Hijau TK II Kesdam I Bukit Barisan
Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia
Medan
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang belakang. Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang
terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh
penyebaran melalui hematogen (Hidalgo, 2006).
Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan
bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor
satu dari golongan penyakit infeksi. Secara epidemiologi tuberkulosis merupakan
penyakit infeksi pembunuh nomor satu di dunia, 95% kasus berada di negara
berkembang. Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta
penduduk terserang dan 3 juta penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB
(Batra, 2009). Insiden spondilitis TB masih sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB
ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB dan 1,8% dari total kasus TB (Herchline,
2007).
Sejak obat anti tuberkulosis dikembangkan dan adanya peningkatan kesehatan
masyarakat, angka kejadian tuberkulosis tulang belakang menurun di daerah negara
industri, meskipun tetap menjadi penyebab yang bermakna di negara berkembang
(Herchline, 2007).
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan
sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau
sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban
(weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih
sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang
belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang (kurang lebih
50% kasus) (Gorse et al. 1983), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan
tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena.
Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal
bagian atas merupakan tempat yang paling sering

2
terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai
maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral.
Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan morbiditas yang cukup tinggi
yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis dapat timbul secara cepat
disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh karena perkembangan dari kifosis,
kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan debris (Batra, 2009).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Spondilitis tuberkulosis atau Pott’s disease adalah infeksi tuberkulosis (TB)
ekstrapulmonal yang mengenai satu atau lebih ruas tulang belakang (Moore et al, 2005).
Spondilitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis
(Batra, 2009).

2. Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan famili
Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah yaitu
sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus walaupun
dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman batang tahan asam. Hal ini
disebabkan oleh karena kuman bakterium memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri
dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak mikolat). Selain itu bersifat pleimorfk, tidak
bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang sekitar 2-4 µm (Utji et al,
2005).

3. Anatomi
Vertebrae terdiri dari 33 ruas yaitu : 7 ruas vertebra cervicalis, 12 ruas vertebra
thoracalis, 5 ruas vertebra lumbalis, 5 ruas vertebra sakralis dan 4 os coccigeus. Secara
anatomis setiap ruas vertebra akan terdiri dari 2 bagian :
a) Bagian anterior
Bagian ini struktur utamanya adalah corpus vertebrae. Bagian ini fungsi utamanya
adalah untuk menyangga berat badan. Di antara dua corpus vertebra yang
berdekatan dihubungkan oleh struktur yang disebut diskus intervertebralis yang
bentuknya seperti cakram, konsistensinya kenyal dan berfungsi sebagai peredam
kejut (shock absorber).
b) Bagian posterior
Bagian posterior dari ruas tulang belakang ini berfungsi untuk :
 Memungkinkan terjadinya pergerakan tulang belakang itu sendiri. Hal ini
dimungkinkan oleh karena di bagian ini terdapat dua persendian.

4
 Fungsi proteksi, oleh karena bagian ini bentuknya seperti cincin dari tulang yang
amat kuat dimana di dalam lubang di tengahnya terdapat medulla spinalis.
 Fungsi stabilisasi. Fungsi ini didapat oleh kuatnya persendian di bagian
belakang yang diperkuat oleh adanya ligamen dan otot-otot yang sangat kuat.
Kedua struktur terakhir ini menghubungkan vertebrae baik dari ruas ke ruas
yang berdekatan maupun sepanjang vertebrae mulai dari cervicalis sampai os
coccigeus.

4. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran
bakteri sangat kecil 1-5 μ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Pada sebagian kecil
kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi
dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya
akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer
Ghon (Utji R,1994).
Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer

5
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat
adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus
primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang
meradang (limfangitis) (Batra,2005.,Raharjoe,2005).
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh
hingga mencapai jumlah 104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular (Raharjoe,2005.,Munoz,2004). Pada saat terbentuk kompleks primer,
infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuk
hipersensitivitas terhadap protein tuberkulosis, yaitu timbulnya respons positif terhadap
uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks
primer terbentuk, imunitas selular tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun selular
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan (Salim,2005., Raharjoe,2005)
Setelah imunitas selular terbentuk fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar tersebut (Munoz,2004)
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya
oleh imunitas selular, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus tersebut
umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi
fokus reaktivasi, disebut sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, fokus Simon ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi
penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang dan lain-lain
(Herchline,2005)
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan pada penyebaran
hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

6
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik (Raharjoe,2005)
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.
Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang
dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal,
dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Bagian pada tulang belakang
yang sering terserang adalah peridiskal terjadi pada 33% kasus spondilitis TB dan
dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan penyebaran melalui ligamentum
longitudinal. Anterior terjadi sekitar 2,1% kasus spondilitis TB. Penyakit dimulai dan
menyebar dari ligamentum anterior longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya
skaloping vertebra anterior, sentral terjadi sekitar 11,6% kasus spondilitis TB. Penyakit
terbatas pada bagian tengah dari badan vertebra tunggal, sehingga dapat menyebabkan
kolap vertebra yang menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai lokasi tersebut,
kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas
selular yang akan membatasi pertumbuhan (Munoz,2004.,Raharjoe,2005).
Perjalanan penyakit ini dibagi dalam 5 stadium yaitu :
a. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-
8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-
anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
b. Stadium destruksi awal.
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra
serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.
c. Stadium destruksi lanjut.
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses , yang tejadi 2-3 bulan
setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta
kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di
sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang
menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.

7
d. Stadium gangguan neurologis.
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,
tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini
ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis
mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih
mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat
derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf
sensoris.
Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih
dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi
dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini
atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan
ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang
belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak
aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau
oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi
tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi
destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
e. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra
yang masif di sebelah depan.

(Hidalgo, 2006)

5. Manifestasi Klinis

8
Manifestasi klinis pasien TB pada umumnya, pasien mengalami keadaan
sebagai berikut, berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang
jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar limfe superfisial
yang tidak sakit, batuk lebih dari 30 hari, terjadi diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare (Hidalgo,2005.,Munoz,2004.,Salim,2005).
Gejala pertama biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada tulang belakang
yang disertai oleh nyeri. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan enggan menggerak-
kan punggungnya, sehingga seakan-akan kaku. Pasien akan menolak jika diperintahkan
untuk membungkuk atau mengangkat barang dari lantai. Nyeri tersebut akan berkurang
jika pasien beristirahat. Keluhan deformitas pada tulang belakang (kyphosis) terjadi
pada 80% kasus disertai oleh timbulnya gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan
membentuk sudut, merupakan lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang secara pro-
gresif. Terdapat 2 tipe klinis kiposis yaitu mobile dan rigid. Pada 80% kasus, terjadi
kiposis 100, 20% kasus memiliki kiposis lebih dari 100 dan hanya 4% kasus lebih dari
300. Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga dada
bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal (Hidalgo,2005).
Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal
dengan istilah Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe deisit neurologi ditemukan pada stadium
awal dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada pasien yang
telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah penyakit primer
sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat (Hidalgo,2005).

6. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal 3 bentuk
spondilitis TB:
1) Bentuk paradiskus, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada orang
dewasa, lebih dari separuh jumlah kasus.
2) Bentuk sentral, infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra. Dapat
menyebabkan kolaps vertebra dan sering dijumpai pada anak.
3) Bentuk anterior, adalah merupakan perambatan perkontinuitatum dari vertebra di
atasnya dengan lokus awal di korpus vertebra bagian anterior (Moesbar, 2006)
7. Pemeriksaan
a. Anamnesis dan Inspeksi :

9
1) Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari dan
sakit (kaku) pada punggung. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat
berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Demam (terkadang demam
tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat
dengan jelas.
2) Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah
disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus terjadi pembesaran dari nodus
limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
3) Pada awal dijumpai nyeri interkostal, berupa nyeri yang menjalar dari tulang
belakang ke garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Infeksi yang
mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan atau
nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri
yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka
nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya
menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan
menahan punggungnya menjadi kaku.
4) Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
5) Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam
posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di
oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan
timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa
nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan
di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong
trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan
adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang
dewasa akan menyebabkan tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial karena
tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi
cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu
diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio
servikal.

10
6) Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku.
Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi
panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya
sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku mengelilingi
rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika
menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda
spinalis dan menyebabkan paralisis.
7) Di regio lumbal : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui
fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien
tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong
tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya
kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
8) Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulan
belakang, skoliosis, bayonet deformity, spondilolistesis, dan dislokasi.
9) Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).
Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis
lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal.
b. Palpasi :
Sesuai dengan inspeksi, keadaan tulang belakang terdapat adanya gibbus pada
area tulang yang mengalami infeksi. Bila terdapat abses maka akan teraba massa
yang berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold
abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat
dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher
(di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat
juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan
antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang
terkena.

c. Perkusi :
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus
vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.

11
(Vitriana, 2002)
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis. Laju endap darah
meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.
2) Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area
berindurasi, kemerahan dengan diameter ≥ 10mm di sekitar tempat suntikan
48-72 jam setelah suntikan.
3) Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium tuberculosis.
4) Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang
bersifat relative
5) Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial
akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan tampak:
 Xantokrom
 Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
 Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut
responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik
 Kandungan protein meningkat.
 Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat
kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
 Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal
akan menunjukkan genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan
bertahap kandungan protein menggambarkan suatu blok spinal yang
mengancam dan sering diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid
akan mencegah timbulnya hal ini.
Kandungan protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok
spinal dapat mencapai 1-4g/100ml. Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil
tuberkel merupakan tes konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari
pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi.
(Vitriana, 2002)

12
b. Radiologi
a. Sinar Rontgen
Diperlukan pengambilan gambar dua arah ,antero-posterior (AP) dan lateral
(L). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior korpus
vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis,
menujukkan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak di
sekitar vertebra menimbulkan bayangan fusiform.
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin parah. Korpus menjadi
kolaps dan terjadi fusi anterior yang menghasilkan angulasi yang khas disebut
gibbus. Bayangan opaque pada sisi lateral vertebra, memanjang kearah distal,
merupakan gambaran abses psoas pada torakal bawah dan torakolumbal yang
berbentuk fusiform.
b. Mielografi
Melalui punksi lumbal dimasukkan zat kontras kedalam ruang
subdural. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran adanya penyempitan
pada kanal spinalis dan atau tekanan terhadap medulla spinalis.
c. CT-Scan
Dapat memperlihatkan bagian-bagian vertebra secara rinci dan melihat
kalsifikasi jaringan lunak. Membantu mencari fokus yang lebih kecil,
menentukan lokasi biopsi dan menetukan luas kerusakan.
d. MRI
Memiliki kelebihan dalam menggambarkan jaringan lunak dan aman
digunakan. MRI juga memiliki kelebihan dalam mendiagnosa penyakit pada
masa dini atau lesi multipel dibandingkan CT dan pemeriksaan radiologik
konvensional. Gambaran lesi pada T1 weighted image adalah hypointense
sedangkan pada T2 weighted image adalah hiperintens. Lesi juga dapat
menjadi lebih jelas dengan injeksi Gadolinium DTPA intravena.
Pada spondilitis tuberkulosa akan didapat gambaran dengan lingkaran
inflamasi dibagian luar dan sekuester ditengah yang hipointens ; tetapi
gambaran ini mirip dengan infeksi piogenik dan neoplasma sehingga tidak
spesifik untuk spondilitis tuberkulosa.

13
9. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan temuan klinis dengan tingkat kecurigaan yang
tinggi di daerah endemis, dengan keluhan nyeri dan tanda-tanda infeksi sistemik
lainnya disertai dengan hasil pemeriksaan hematologis, radiologis, bakteriologis dan
histopatologis. Diagnosa untuk tuberkulosis di luar paru (extra pulmonal tuberculosis)
termasuk spondilitis tuberkulosa dapat dikatakan pasti bila secara klinis, dan hasil
pemeriksaan penunjang menunjukkan hasil positif. Jika hasil pemeriksaan
bakteriologis dan histopatologis negatif maka disebut sebgai kasus tuberkulosis ekstra
paru tersangka.

10. Diagnosis Banding


Spodilitis tuberkulosa harus dibedakan dari penyebab destruksi vertebra dan
kifosis angular lainnya, yaitu infeksi piogenik non-spesifik dan keganasan Pada infeksi
piogenik akut, manifestasi klinik umumnya lebih berat dibandingkan dengan spondilitis
tuberkulosa. Pada infeksi, diskus biasanya kolaps sedangkan pada keganasan biasanya
masih baik.
Diagnosis banding pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis.
b. Osteitis piogen dengan demam yang lebih cepat timbul.
c. Poliomielitis dengan paresis atau paralisis tungkai dan skoliosis bukan kifosis.
d. Skoliosis idiopatik tanpa gibbus dan tanda paralisis.
e. Kifosis senilis berupa kifosis tidak lokal dan osteoporosis seluruh kerangka.
f. Penyakit paru dengan bekas empiema tulang belakang bebas penyakit.
i. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).
Adanya sklerosis atau pembentukan tulangbaru pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih
corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi
tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
(Currier, 2004)

11. Penatalaksanaan
Kuman tuberkulosa pada umumnya dapat dibunuh atau dihambat dengan
pemberian obat-obat anti tuberkulosa, misalnya kombinasi INH, ethambutol,
pyrazinamid dan rifampicin. Namun karena vertebra yang terinfeksi mengalami

14
destruksi dengan pembentukan sekuester dan perkejuan, maka tindakan bedah menjadi
penting untuk dapat mengevakuasi sumber infeksi dan jaringan nekrotik. Destruksi
korpus vertebra dapat menyebabkan kompresi terhadap medulla spinalis dan
menyebabkan defisit neurologik, sehingga memerlukan tindakan bedah. Dasar
penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa adalah mengistirahatkan vertebra yang sakit,
obat-oabat anti tuberkulosa dan pengeluaran abses.
a. Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif yang ketat dapat memberikan hasil yang cukup baik.
1) Tirah baring (bed rest)
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips terutama pada keadaan
akut atau fase aktif. Istirahat ditempat tidur dapat berlangsung 3 – 4 minggu,
sampai dicapai keadaan yang tenang secara klinis, radiologis dan laboratoris.
Nyeri akan berkurang, spasme otot-otot paravertebral menghilang, nafsu
makan pulih dan berat badan meningkat., suhu tubuh normal. Secara
laboratoris, laju endap darah menurun, tes mantoux diameter < 10 mm. Pada
pemeriksaan radiologis tidak dijumpai penambahan destruksi tulang, kavitasi
ataupun sekuester.
b. Anti Tuberkulosa
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH),
rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol
(EMB).
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa
yang primer:
I. Isoniazid (INH)
 Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
 Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
 Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
 Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
 Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak
pasien berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi
piridoksin secara relatif (bersifat reversibel dengan pemberian
suplemen piridoksin).

15
 Relatif aman untuk kehamilan
 Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari
II. Rifampin (RMP)
 Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun
lambat dari basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.
 Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling
rendah (seperti pada nekrosis perkijuan).
 Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam
bentuk sediaan oral dan intravena.
 Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal.
 Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus
gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent
peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan
INH.
 Relatif aman untuk kehamilan
 Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.

III. Pyrazinamide (PZA)


 Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan
yang bersifat asam dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag)
atau dalam lesi perkijuan.
 Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
 Efek samping :
1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang
dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah
bila diberikan dalam jangka pendek.
2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak.
Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam
urat.
 Dosis : 15-30mg/kg/hari
IV. Ethambutol (EMB)
 Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler

16
 Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
 Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi
buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central
scotoma.
 Relatif aman untuk kehamilan
 Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
 Dosis : 15-25 mg/kg/hari
V. Streptomycin (STM)
 Bersifat bakterisidal
 Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga
dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.
 Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
 Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan
vertigo (terutama sering mengenai pasien lanjut usia)
 Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
 Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari

OAT berdasarkan berat ringannya penyakit;


1) Kategori I adalah tuberkulosis yang berat, termasuk tuberkulosis paru yang luas,
tuberkulosis milier, tuberkulosis disseminata, tuberkulosis disertai diabetes
mellitus dan tuberkulosis ekstrapulmonal termasuk spondilitis tuberkulosa.
2) Kategori II adalah tuberkulosis paru yang kambuh atau gagal dalam
pengobatan.
3) Kategori III adalah tuberkulosis paru tersangka aktif.
Paduan OAT untuk spondilitis tuberkulosa sesuai dengan Kategori I
seperti dalam Tabel 1. INH diberikan sampai 12 bulan. Streptomycin hanya
sebagai kombinasi terakhir atau tambahan pada regimen yang ada. Di samping
itu ada OAT tambahan tetapi kemampuannya lemah misalnya kanamycin, PAS,
thiazetazone, ethionamide, dan quinolone.

17
c. Immobilisasi
Pemasangan gips bergantung pada level lesi, pada daerah servikal dapat
dilakukan immobilisasi dengan jaket minerva , pada daerah torakal, torakolumbal
dan lumbal atas immobilisasi dengan body jacket atau gips korset disertai fiksasi
pada salah satu panggul. Immobilisasi pada umumnya berlangsung 6 bulan, dimulai
sejak penderita diizinkan berobat jalan. Selama pengobatan penderita menjalani
kontrol berkala dan dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila
dalam pengamatan tidak tampak kemajuan, maka perlu difikirkan kemungkinan
resistensi obat, adanya jaringan kaseonekrotik dan sekuester, nutrisi yang kurang
baik, makan obat tidak berdisiplin.

d. Terapi Operatif
Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi
deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut.
Salah satu tindakan bedah yang penting adalah debridement yang bertujuan
menghilangkan sumber infeksi dengan cara menbuang semua debri dan jaringan
nekrotik, benda asing dan mikro-organisme.
Indikasi operasi:
1) Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara klinis
dan radiologis memburuk.
2) Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multipel.
3) Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan defisit
neurologik, terdapat abses paravertebral
4) Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita anak. Lesi
pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak dapat
ditanggulangi hanya dengan OAT.
5) Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik dalam
jumlah banyak.

18
(Moesbar, 2006)
12. Komplikasi
a) Pott’s paraplegia
 Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun
sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini
membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan
saraf.
 Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan
granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
b) Ruptur abses paravertebra
 Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberkulosis
 Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk
psoas abses yang merupakan cold absces.
c) Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus
intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia “ prognosa baik) atau dapat juga
langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa
(contoh :menigomyelitis, prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik
(berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat
membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda
spinalis.

13. Prognosis
Prognosis pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan
kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi
yang diberikan.

a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring
dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa
dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps

19
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan
regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis
secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau
kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.
d. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara
spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik
dengan dilakukannya operasi dini.
e. Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa.
(Vitriana, 2002).

20
DAFTAR PUSTAKA

Batra V. 2009. Tuberculosis. Didapat dari http://


www.emedicine.com/ped/topic2321.htm Diakses tanggal 2 Februari 2013.
Harisinghani MG, at al. 2000. Tuberculosis from head to toe1. Radiographics: pp;
20:449-70.
Harsono, 2003. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi. Ed. II.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press. P. 195-197

Herchline T. 2007. Tuberculosis. Didapat dari http://


www.emedicine.com/med/topic2324.htm Diakses tanggal 1 Juli 2012
Hidalgo A. 2006. Pott disease (tuberculous spondylitis). Didapat dari http://
www.emedicine.com/med/topic1902.htm Diakses tanggal 2 Februari 2013.
Moesbar, N. 2006. Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Majalah
Kedokteran Nusantara 39(3) pp. 279-89.
Moore KL, et al. 2005. Anatomi Klinis Dasar. Vivi S & Virgi S, editor. Jakarta:
Penerbit Hipokrates. p: 191-216.
Munoz FM, Starke JR. 2004. Tuberculosis. Dalam: Berhman, RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-17.
Philadelphia: WB Saunders Company; h. 958-72.
Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS. 2005. Pedoman nasional TB anak. Edisi ke 1.
Jakarta: UKK Pulmunologi PP IDAI; h. 17-28.
Rasjad C, 2003. Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi.
Ed.II. Makassar: Bintang Lamumpatue. P. 144-149
Salim Samuel S, Hsu L. Tuberculous spondylitis. Didapat dari: URL:
http://www.gentili.net/frame. asp?ID= 823& URLID =313541. Diakses
tanggal 9 Maret 2005
Tachdijan, M.O, 2005. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2nd ed.
Philadelphia: W.B Saunders pp: 1449-1454
Utji R, et al. 2004. Kuman tahan asam. Dalam: Syarurahman A, Chatim A,
Soebandrio AWK. penyunting. Buku ajar mikrobiologi Kedokteran. Edisi
revisi. Jakarta: Binarupa Aksara. h. 191-9.
Vitriana. 2002. Spondilitis Tuberkulosa. Bandung: FK Unpad.
Wim de Jong, 2002. Spondilitis TB, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. p. 1226-1229

21

Anda mungkin juga menyukai