Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan
termasuk di dalamnya ilmu keperawatan maka berkembang pulalah berbagai jenis
penyakit yang ada dalam masyarakat, yang diiringi dengan meningkatnya tuntutan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang yang terletak di daerah tropis dengan kepadatan pendudukan yang
tinggi (+ 250 juta) sangat beresiko terhadap terjangkitnya berbagai macam jenis
penyakit infeksi yang disebabkan oleh sanitasi lingkungan dan higiene perseorangan
yang kurang baik.
Salah satu penyakit infeksi yang sering timbul di negara berkembang adalah
typhoid fever, yang merupakan penyakit endemik di Indonesia dan insiden tertinggi
didapatkan pada anak-anak karena daya tahan tubuh dan sistem kekebalan mereka
tidak seperti orang dewasa. Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang
sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insiden pada pasien yang berumur 12 ke atas,
adalah 70 – 80% pasien berumur 12 – 30 tahun, 10 – 20% pasien berumur 30 – 40
tahun dan hanya 5 – 10% pasien berusia di atas 40 tahun. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang No. 6 Tahun 1962 tentang
wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular
sehingga dapat menimbulkan wabah. Di Indonesia demam typhoid jarang dijumpai
secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu
daerah

B Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan kerya tulis ini, ibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan
khusus.
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran mengenai konsep dasar medis dan asuhan
keperawatan pada pasien anak dengan Typhoid.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian dari penyakit Typhoid secara teoritis
b. Mengetahui secara teoritis tentang penyebab dari penyakit Typoid
pada anak
c. Mengetahui patofisiologi dari penyakit Typhoid pada anak secara
teoritis
d. Mengetahui tanda gejala yang timbul pada anak penderita penyakit
Typhoid secara teoritis
e. Mengetahui penatalaksanaan secara teori pada anak penderita
Typhoid
f. Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada penderita tyiphoid
g. Mengetahui secara teori tentang pencegahan penyakit typhoid
h. Mengetahui komplikasi yang mungkin timbul pada anak yang terkena
Typhoid
i. Mengetahui dan memahami tentang pengkajian keperawatan pada klien
dengan typhoid
j. Membuat diagnosa keperawatan yang tepat pada klien dengan typhoid
secara teori
k. Membuat perencanaan tindakan keperawatan yang sesuai pada klien
dengan typhoid fever secara teotitis.
l. Mengetahui evaluasi yang diharapkan pada asuhan keperawatan
dengan typhoid

C Sistematika Penulisan
Penyusunan makalah ini terdiri dari empat bab, yang dimulai dari pendahuluan
sampai penutup. Bab satu berisi tentang pendahuluan, yang di dalamnya
menguraikan tentang latar belakang penulisan, tujuan penulisan, dan sistematika
penulisan. Bab dua berisi tentang konsep dasar penyakit, meliputi pengertian,
etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, penatalaksanaan, pemeriksaan diagnostik,
pencegahan, komplikasi dan prognosis. Bab tiga berisi tentang asuhan keperawatan
secara teoritis meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, pelaksanaan dan
evaluasi. Bab empat berisi penutup yang menguraikan tentang kesimpulan dan
saran-saran.

BAB II

KONSEP DASAR MEDIS

A. Pengertian
Pengertian typhoid fever dikemukakan oleh para ahli yang berkecimpung
dalam dunia kedokteran khususnya yang mendalami penyakit dalam. Berikut ini
penulis akan menyajikan beberapa pengertian dari typhoid fever.
Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi usus halus yang disebabkan
oleh kuman Salmonella Thyposa dengan gejala demam 1 minggu atau lebih disertai
gangguan pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Penularannya
secara faeco oral melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi kuman
salmonella (Devid Werner,1993).
Thypoid abdominalis (Demam Thypoid, Enteric Fever) ialah penyakit infeksi
akugt yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang
lebih dari 1 minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran
(FKUI, 2000).
Typhoid abdominalis adalah infeksi penyakit akut yang biasanya terdapat pada
saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan
kesadaran (Suryadi, 2001).
Typhoid abdominalis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella
typhi atau Salmonella Paratyphii A, B dan C. Berdasarkan definisi di atas penulis
menyimpulkan bahwa typhoid fever adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan
oleh kuman Salmonella typosa dengan gejala demam lebih dari satu minggu,
gangguan pada saluran pencernaan bahkan gangguan kesadaran (Soedarto,1992)

Penyebarannya melalui lima F yaitu :


1) Feses (tinja)
2) Flies (lalat)
3) Food (makanan)
4) Finger (jari tangan)
5) Fomites (muntah)

B. Etiologi

Penyebab penyakit typhoid fever secara umum adalah


kuman Salmonella typhi yang merupakan kuman gram negatif dan tidak
menghasilkan spora. Kuman Salmonella typhii ini dapat hidup baik pada suhu
manusia (36 – 37oC) maupun pada suhu yang lebih rendah dari 36 oC, serta mati
pada suhu 70 oC maupun oleh anti septik. Saat ini diketahui bahwa kuman ini hanya
menyerang manusia. Salmonella typhii mempunyai tiga macam antigen yaitu:
1) Antigen O = Ohne Hauch: somatic antigen (tidak menyebar)
2) Antigen H = Hauch (menyebar) terdapat pada flagella dan bersifat
termolabil.
3) Antigen V1 = kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi O antigen terhadap fagositosis.

C. Patofisiologi
Kuman Salmonella thyposa masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan
dan minuman yang tercemar. Setelah kuman masuk ke dalam mulut ketika orang
makan dan minum, makanan masuk ke lambung dan bercampur dengan HCl.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian masuk ke usus
halus yang mencapai jaringan limfoid plaque di ilium terminalis yang mengalami
hipertropi. Jika bakteri masuk bersama-sama cairan, maka terjadi
pengenceran asam lambung yang mengurangi daya hambat terhadap
mikroorganisme penyebab penyakit. Daya hambat asam lambung ini juga akan
menurun pada waktu terjadi pengosongan lambung, sehingga bakteri akan lebih
leluasa masuk ke dalam usus penderita, memperbanyak diri dengan cepat,
kemudian memasuki saluran limfe dan akhirnya mencapai aliran darah.
Kuman Salmonella thyposa kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran
limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertropi.
Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini Salmonella typhi masuk aliran darah
melalui ductus thorasicus. Kuman-kuman Salmonella typhi lain mencapai hati
melalui sirkulasi portal dari usus.
Salmonella typhi bersarang di plaque payeri, limfa, hati dan bagian-bagian
lain sistem retikuloendotelial. Demam disebabkan karena Salmonella typhi dan
endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang. Adapun reaksi kuman terhadap tubuh manusia melakukan
aktifitas terbesar pada sistem retikuloendotelial dan empedu dimana organ yang
lebih dahulu diserang adalah usus.

Skema Patofisiologi Typhoid Fever

Salmonella typhosa

Saluran pencernaan

Diserap oleh usus halus


Bakteri memasuki aliran darah sistemik

endotoksin

Kelenjar limfoid usus halus hati limpa Demam

Tukak Hepatogemali splenomegali

Perdarahan dan perforasi Nyeri perabaan


( Arief Mansjoer, 2002 )
Pada hakikatnya aktifitas dari kuman Salmonella typhi dibagi menjadi empat
tingkatan :

1. Tingkat I
Merupakan masa inkubasi 10 – 14 hari, pada tingkat ini terjadi proliferasi dari
susunan retikuloendotelial yang mempunyai sel mononukleus dimana sitoplasma
yang mengandung eritrosit akan bereaksi dengan jaringan nekrotik atau kuman
sampai membentuk sel yang dinamakan sel Typhoid. Akibat fagositosis tersebut
jaringan limfoid akan melebar mengakibatkan pelebaran pembuluh darah, sehingga
susunan retikuloendotelial yang terdapat pada sumsum tulang belakang
dan hemopoesis menjadi rusak akibatnya pembentukan leukosit menurun. Pada
tingkat ini, bercak payeri, limphonoduli akibat hyperemi dan hiperplasi tampak
membengkak dan menonjol ke atas permukaan selaput lendir.
2. Tingkat II
Terjadi nekrosis jaringan lympoid yang membengkak dan mengeras seperti kerak.
Oleh sebab itu tingkat ini disebut tingkat keropeng karena bentuknya seperti
keropeng yang berwarna kuning kelabu.
3. Tingkat III
Keropeng yang terdiri dari jaringan nekrosis dilepaskan sampai terbentuk tukak
(ulkus) pada bercak tadi. Tukak tersebut lonjong memanjang menurut poros usus.
Tepi tukak jelas dan menebal, ada yang dangkal, ada yang dalam sampai dasarnya
menembus sub serosa bahkan sampai ke lapisan otot sehingga terjadi perforasi
yang menyebabkan peritonitis dan syok.

4. Tingkat IV
Disebut tingkat resolusi (pembersihan atau penyembuhan) jika tidak ada
perforasi. Selain menyerang usus penyakit ini juga menyerang bagian lain seperti :
a. Limfa sebagai akibat proliferasi susunan retikuloendotel dan
hiperplasi, sel pulpa merah akan membesar ( splenomegali ) hati juga
membesar ( hepatomegali ).
b. Kandung empedu terserang karena kuman hidup dan masuk ke dalam
kandung empedu sehingga menyebabkan kolesistitis.
c. Pada ginjal menyebabkan degenerasi bengkak keruh, sehingga sel
tubulus mengandung kuman, tubulus rusak dan glomerulus filtrasinya
terhambat.
d. Toxemia akan terjadi dan mengakibatkan perubahan pada otot seperti
degenerasi hyalin pada dinding otot perut, diafragma dan otot betis.
D. Tanda dan Gejala

a. Demam
Gejala timbul selama masa inkubasi sekitar dua minggu. Pada minggu
pertama suhu berangsur naik dan febris bersifat remitten atau panas hanya pada
waktu sore dan malam hari. Gejala panas tidak akan turun dengan antipiretik, tidak
menggigil, tidak berkeringat, kadang-kadang disertai dengan epistaksis.
b. Tanda dan Gejala pada sistem Gastro Intestinal
1) Bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor dan berselaput putih,
hyperemi.
2) Perut kembung, nyeri tekan
3) Limfa membesar, lunak dan nyeri pada saat penekanan
4) Pertama kali pasien mengalami diare, kemudian obstipasi
5) Tanda-tanda dehidrasi
6) Tanda-tanda perdarahan dan tanda-tanda shock
c. Leukopeni
d. Tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran dari ringan sampai berat, pada umumnya
apatis sampai samnolen bahkan dapat terjadi koma. Penurunan kesadaran ini
disebabkan karena panas tubuh yang tinggi.
e. Bradikardi
Peningkatan suhu tidak disertai dengan peningkatan nadi dimana seharusnya
setiap kenaikan suhu 1oC diikuti dengan kenaikan nadi 10 – 15 x/menit, sedangkan
pada penderita ini kenaikan nadi lebih rendah dari kenaikan suhu.

E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium
a. Darah tepi
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif pada permulaan sakit.
Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan darah tepi ini
sederhana dan mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana, tetapi hasilnya
berguna untuk membantu untuk menentukan penyakitnya dengan cepat (adakalanya
dilakukan pemeriksaan sumsum tulang tetapi sangat jarang sekali) bila hal itu
dilakukan daerah yang akan dipungsi, dapat pada tibia, perlu dilakukan pembersihan
ekstra kemudian dikompres dengan alkohol 70%.
b. Darah untuk kultur (biakan empedu) dan widal.
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella thypii dan pemeriksaan widal
merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan diagnosis typhoid fever secara
pasti. Pemeriksaan ini perlu dikerjakan pada waktu masuk dan setiap minggu
berikutnya. (diperlukan darah sebanyak 5 cc untuk kultur atau widal).
1) Biakan Empedu
Biakan empedu basil Salmonella thypii dapat ditemukan dalam darah pasien
pada minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan
feses, dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu,
pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis,
sedangkan untuk pemeriksaan negatif dari contoh urin dan feses dua kali berturut-
turut digunakan untuk menentukan apakah pasien telah benar sembuh dan tidak
menjadi pembawa kuman (karier).
2) Pemeriksaan Widal
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum pasien
thypoid dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhii. Pemeriksaan yang
positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka
kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer
zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau
menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis. Titer
tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan pasien. Titer
terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis karena dapat tetap tinggi
setelah mendapat imunisasi atau bila pasien telah lama sembuh. Pemeriksaan widal
tidak selalu positif walaupun pasien sungguh-sungguh menderita typhoid fever
(disebut negatif semu). Sebaliknya titer dapat positif semu karena keadaan sebagai
berikut :
a) Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi
basil coli patogen pada usus.
b) Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat.
c) Terdapatnya infeksi silang dengan rickettsia (weil felix).
d) Akibat imunisasi secara alamiah, karena masuknya basil peroral pada
keadaan infeksi subklinis.
Perlu diketahui bahwa ada jenis dari demam typhoid yang mempunyai gejala
hampir sama, hanya dengan demam biasanya tidak terlalu tinggi (lebih ringan) ialah
terdapat pada paratifoid A, B, C, untuk menemukan kuman penyebab perlu
pemeriksaan darah seperti pasien typhoid biasa.

F. Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
Pemberian antibiotik; untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran
kuman. Antibiotik yang dapat digunakan:
1) Kloramfenikol; dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg,
diberikan selama demam dilanjutkan sampai dua hari bebas demam,
kemudian dosis diturunkan menjadi 4 x 250 mg selama lima hari kemudian.
Penelitian terakhir (Nelwan, dkk. di RSUP Persahabatan).
penggunaan kloramfenikol masih memperlihatkan hasil penurunan suhu
empat hari, sama seperti obat-obat terbaru dari jenis kuinolon.
2) Ampisilin/Amoksilin; dosis 50 – 150 mg/kg BB, diberikan selama dua
minggu.
3) Kotrimoksazol; 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg
sulfametoksazol-80 mg trimetoprim, diberikan selama dua minggu.
4) Sefalosporin generasi II dan III. Di subbagian penyakit tropik dan
infeksi FKUI-RSCM, pemberian sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid
dengan baik. Demam umumnya mereda pada hari ketiga atau menjelang hari
keempat.
Regimen yang dipakai adalah :
a) Seftriakson 4 gr/hari selama tiga hari
b) Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
c) Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama enam hari
d) Ofloksasin 600 mg/hari selama tujuh hari
e) Pefloksasin 400 mg/hari selama tujuh hari
f) Fleroksasin 400 mg/hari selama tujuh hari.
Istirahat dan perawatan profesional; bertujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal tujuh
hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Duduk dilakukan pada hari
kedua bebas panas, berdiri dilakukan pada hari ketujuh bebas panas, berjalan
dilakukan pada hari kesepuluh bebas panas. Mobilisasi dilakukan bertahap sesuai
dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan
diri, kebersihan tempat tidur, pakaian, dan peralatan yang dipakai oleh pasien.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah
dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan
karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.
c. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif)
Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya
nasi biasa sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk
rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan
aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk
mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan
dan homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan optimal.
Pada kasus perforasi intestinal dan rejatan septik diperlukan perawatan
intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi
beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid
selalu perlu diberikan pada rejatan septik. Prognosis tidak begitu baik pada kedua
keadaan di atas
G. Pencegahan
Usaha pencegahan typhoid fever dibagi dalam :
a. Usaha terhadap lingkungan hidup
1) Penyediaan air minum atau bersih
2) Pembuangan kotoran manusia yang higienis pada tempatnya
3) Pemberantasan lalat dan senantiasa menutup makanan
4) Pengawasan terhadap rumah makan dan penjual makanan
b. Usaha terhadap manusia
1) Pendidikan kesehatan terhadap masyarakat
2) Menemukan dan atau mengawasi carier typhoid
3) Imunisasi

H. Komplikasi

Komplikasi demam typhoid dibagi dalam:


a. Komplikasi Intestinal
1) Perdarahan usus: perdarahan sedikit ditemukan jika dilakukan
pemeriksaan tinja dengan bensidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila
berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda rejatan.
2) Perforasi usus, timbul biasanya pada minggu kedua atau setelah itu
dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya
dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritonium yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen
abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
3) Peritonitis, biasanya menyertai perforasi tapi dapat terjadi tanpa
perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang (defence musculair) dan nyeri pada tekanan.
4) Ileus paralitik.
b. Komplikasi ekstra intestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (rejatan, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2) Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau
koagulasi intravaskular diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
3) Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4) Komplikasi hepar dan kandung kemih; hepatitis dan kolelitiasis.
5) Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
6) Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
7) Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, miningismus, meningitis,
polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis, dan sindrom katatonia.
I. Prognosis

Umumnya prognosis demam pada anak baik asal penderita cepat berobat.
Mortalitas pada penderita yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi kurang baik
atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti :
a. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinue.
b. Kesadaran turun sekali seperti delirium, sopor atau koma.
c. Terdapat komplikasi yang berat seperti dehidrasi dan asidosis,
peritonitis, bronkhopneumonia dan lain-lain.
d. Keadaan gizi penderita anak (malnutrisi energi protein)

Relaps (kambuh)
Relaps adalah berulangnya gejala typhoid, akan tetapi berlangsung lebih ringan
dan singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan kembali normal.
Terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil
dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan, baik oleh obat maupun zat anti.
Mungkin terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan
dengan pembentukan jaringan-jaringan fibrosis.

BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPRAWATAN

Proses keperawatan adalah masalah yang dinamis dalam usaha


memperbaiki atau memelihara pasien ke taraf yang optimal melalui suatu
pendekatan yang sistematis untuk mengenal dan membantu memenuhi kebutuhan
pasien. Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yaitu :
a. Pengkajian
b. Diagnosa keperawatan
c. Perencanaan
d. Evaluasi

1. Pengkajian
Aktivitas/ Istirahat
Gejala : Keletihan, kelelahan, malaise
Tanda : Ketidakmampuan melakukan aktivitas
sehari – hari karena keletihan,
peningkatan suhu secara akut.
Sirkulasi
Gejala : ~
Tanda : Dalam keadaan normal nadi dimana
seharusnya setiap kenaikan suhu 1oC
diikuti dengan kenaikan nadi 10 – 15
x/menit, sedangkan pada penderita ini
kenaikan nadi lebih rendah dari kenaikan
suhu.
Integritas Ego
Gejala : Peningkatan faktor resiko, perubahan
pola kegiatan/aktivitas
Tanda : Ansietas, ketakutan, peka rangsang.

Makanan/Cairan
Gejala : Mual/Muntah, anoreksia, penurunan
berat badan.
Tanda : Turgor kulit buruk, sering berkeringat,
penurunan berat badan, penurunan
masa otot/ lemak sub kutan.
Hygiene
Gejala : Penurunan kemampuan melakukan
aktivitas/ peningkatan kebutuhan
bantuan melakukan aktivitas sehari –
Tanda : hari.
Kebersihan buruk, badan berbau.
Keamanan
Gejala : Adanya infeksi berulang
Tanda : ~
Interaksi Sosial
Gejala : Hubungan ketergantungan
Tanda : Kelalaian huungan dengan orang lain/
anggota keluarga.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus typhoid fever, yang
diambil beberapa literatur yaitu Carpenito (1999; hal 192) dan Doenges (1999; hal
471), adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan suhu tubuh b/d rangsangan endotoksin terhadap sintesa dan
pelepasan zat pirogen oleh leukosit terhadap jaringan yang meradang, perubahan
pada regulasi temperatur, peningkatan tingkat metabolisme, penyakit.
b. Gangguan rasa nyaman (nyeri abdomen) b/d proses inflamasi usus; iritasi,
perforasi.
c. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh)
b/d intake inadekuat; disfungsi usus, abnormalitas metabolik, pembatasan makanan
secara medik.
d. Gangguan keseimbangan volume cairan b/d output yang berlebihan;
gangguan absorpsi cairan misalnya kehilangan fungsi kolon, status hipermetabolik
misalnya inflamasi dan proses penyembuhan.
e. Intoleran aktifitas b/d kelemahan fisik.
f. Resiko terjadi komplikasi (Peritonitis) b/d invasi kuman menembus lumen
usus.
g. Kurang pengetahuan keluarga (kebutuhan belajar) mengenai penyakit,
prognosis, pengobatan, dan perawatan b/d kurang pemajanan/mengingat,
kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan
kognitif.

3. Perencanaan
a. Dx I : Peningkatan suhu tubuh b/d rangsangan endotoksin terhadap
sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang,
perubahan pada regulasi temperatur.
Tujuan: Suhu tubuh kembali normal.
Kriteria hasil :
Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36 – 37,5oC), mukosa bibir
lembab, turgor kulit baik.
Bebas dari kedinginan.
Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan.
Rencana Tindakan:
1. Kaji tingkat kenaikan suhu tubuh dan perubahan yang menyertai.
2. Beri kompres hangat pada daerah dahi, aksila dan lipat paha
3. Monitor tanda vital setiap satu jam.
4. Anjurkan orang tua untuk memberi banyak minum.
5. Anjurkan orang tua untuk memakaikan pakaian yang tipis dan menyerap
keringat serta membatasi jumlah selimut.
6. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian antipiretik contoh
paracetamol.

b. D x II : Gangguan rasa nyaman (nyeri abdomen) berhubungan


dengan proses inflamasi usus; perforasi.
Tujuan: Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
Kriteria hasil:
Tampak rileks dan mampu beristirahat dengan nyaman.
Mempraktekkan tindakan pereda nyeri non invasif untuk mengatasi nyeri.
Rencana Tindakan:
1. Kaji lokasi, intensitas ( skala 0-10 ), dan karakteristik nyeri (menetap,
hilang timbul, kolik)
2. Bantu klien untuk mengatur posisi senyaman mungkin.
3. Ajarkan dan bantu klien dalam melakukan tehnik relaksasi.
4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik bila nyeri berlanjut.
c. Dx III : Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang dari
kebutuhan tubuh) berhubungan dengan intake inadekuat; disfungsi usus,
abnormalitas metabolit, pembatasan makanan secara medik.
Tujuan: Mempertahankan berat badan/menunjukkan peningkatan berat badan
bertahap sesuai tujuan.
Kriteria hasil:
Nilai laboratorium normal
Bebas tanda mal nutrisi
Merencanakan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi/membatasi gangguan
gastro intestinal.

Rencana Tindakan :
1. Kaji pola kebutuhan nutrisi klien
2. Timbang berat badan setiap hari.
3. Berikan suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan
rangsangan berbau.
4. Berikan makanan selingan yang tersedia selama 24 jam.
5. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan
hangat.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian nutrisi rendah serat dan
cukup protein, lemak, karbohidrat dan zat gizi lainnya.

d. Dx IV : Gangguan keseimbangan volume cairan berhubungan dengan


output yang berlebihan; gangguan absorpsi cairan misalnya kehilangan fungsi kolon,
status hipermetabolik misalnya inflamasi, proses penyembuhan.
Tujuan: Menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan
Kriteria hasil:
Haluaran urin adekuat dengan berat jenis normal
tanda vital stabil,
membran mukosa lembab turgor kulit baik,
dan pengisian kapiler cepat.
Rencana Tindakan :
1. Kaji tingkat dehidrasi yang dialami oleh klien.
2. Awasi jumlah dan tipe masukan cairan, ukur haluaran urine dengan
akurat.
3. Anjurkan orang tua untuk memberi minum banyak (6-8 gelas/ 2000-
2500 cc setiap hari).
4. Jelaskan pada orang tua pentingnya cairan bagi tubuh, terutama pada
saat demam.
5. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik dan cairan
perparenteral
e. Dx V : Intoleran aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan: Mendemonstrasikan peningkatan aktifitas yang dapat ditoleransi.
Kriteria hasil:
Mengungkapkan pengertian tentang aktifitas yang diperbolehkan dan dibatasi
Mengungkapkan pengertian tentang perlunya menyeimbangkan akftifitas dan
waktu istirahat
Mengungkapkan berkurangnya kelemahan dan dapat beristirahat cukup dan
hampir mampu melakukan kembali aktifitas sehari-hari yang memungkinkan.
Rencana Tindakan:
1. Kaji tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktifitas.
2. Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan melakukan
mobilisasi secara aktif.
3. Jelaskan kepada orang tua tujuan dari immobilisasi selama perawatan
anaknya.
4. Stimulasi anak dengan therapi bermain, dengan menggunakan
permainan yang pasif selama bedrest.

f. Dx.VI : Resiko terjadi komplikasi (Peritonitis) berhubungan dengan


invasi kuman menembus lumen usus.
Tujuan: Tidak terjadi komplikasi dan mencapai penyembuhan tepat pada waktunya.
Kriteria hasil:
Bebas dari demam, nyeri.
Tanda vital dalam batas normal
Nilai laboratorium normal
Rencana Tindakan :
1. Kaji faktor yang dapat menyebabkan terjadinya komplikasi.
2. Ubah posisi berbaring pasien setiap satu jam.
3. Berikan penjelasan kepada keluarga mengenai faktor yang dapat
menjadi komplikasi.

g. Dx.VII : Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang penyakit,


prognosis, pengobatan dan perawatan berhubungan dengan kurang
pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber
informasi, keterbatasan kognitif.
Tujuan: Menyatakan pemahaman proses penyakit, prognosis, pengobatan dan
perawatan.
Kriteria hasil:
Mengungkapkan informasi akurat tentang diagnosa dan aturan pengobatan pada
tingkatan kesiapan diri sendiri
Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan
tindakan
Melakukan perubahan gaya hidup yang perlu dan berpartisipasi dalam aturan
pengobatan
Mengidentifikasi atau menggunakan sumber yang tersedia dengan tepat.
Rencana Tindakan :
1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga, termasuk berapa banyak informasi
diperlukan.
2. Beri informasi tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan.
Ulangi penjelasan bila diperlukan.
3. Beri kesempatan kepada klien dan keluarga untuk menanyakan hal-hal
yang belum jelas.
4. Beri feedback/umpan balik terhadap pertanyaan yang diajukan oleh
keluarga atau klien.

4. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan dari intervensi yang dilakukan :
1. Suhu tubuh anak menunjukkan batas normal 36 0C – 37,5 0C
2. Tidak terjadi komplikasi apapun pada anak
3. Anak dapat beraktivitas dengan toleransi yang baik
4. Keluarga mengerti tentang kondisi anak, tentang penyakit, pengobatan,
pencegahan, pengobatan serta prognosis penyakit
5. Intake dan outpu cairan terpenuhi dengan baik
6. intake dan output diit balance sesuai dengan kondisi anak

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Typhoid fever adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
kuman Salmonella typosa dengan gejala demam lebih dari satu minggu,
gangguan pada saluran pencernaan bahkan gangguan kesadaran
2. Penyebab penyakit typhoid fever secara umum adalah
kuman Salmonella typhi yang merupakan kuman gram negatif dan tidak
menghasilkan spora
3. Tanda dan gejala yang timbul pada penderita typhoid ialah demam,
perut kembung, limpa membesar, leukopeni, kesadaran menurun, bradikardi
dll
4. Pemeriksaan penunjang pada penyakit typhoid yaitu pemeriksaan darah
tepi dan pemeriksaan darah untuk kultur ( biakan empedu dan pemeriksaan
widal )
5. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan terhadap penderita penyakit
typhoid ialah dengan pemberian antibiotik, istirahat dan perawatan
profesional, serta diit dan terapi penunjang ( simptomatis dan suportif )
6. Pencegahan terhadap penyakit typhoid dapat dilakukan pencegahan
terhadap lingkungan seperti penyediaan air minum yang bersih dan
pencegahan terhadap manusia seperti imunisasi
7. Komplikasi demam typhoid dibagi dalam komplikasi intra intestinas dan
komplikasi ekstra intestinal
8. Umumnya prognosis demam pada anak baik asal penderita cepat
berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat adalah 6%.
9. Pengakajian yang dilakukan meliputi berbagai sistem seperti :
a. Aktivitas/ istirahat
b. Sirkulasi
c. Integritas ego
d. Makanan/cairan
e. Hygiene
f. Keamanan
g. Interaksi sosial
10. Diagnosa keperawatan dari anak dengan Typhoid
a. Peningkatan suhu tubuh b/d rangsangan endotoksin terhadap sintesa
dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit terhadap jaringan yang meradang,
perubahan pada regulasi temperatur, peningkatan tingkat metabolisme,
penyakit.
b. Gangguan rasa nyaman (nyeri abdomen) b/d proses inflamasi usus;
iritasi, perforasi.
c. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh)
b/d intake inadekuat; disfungsi usus, abnormalitas metabolik, pembatasan
makanan secara medik.
d. Gangguan keseimbangan volume cairan b/d output yang berlebihan;
gangguan absorpsi cairan misalnya kehilangan fungsi kolon, status
hipermetabolik misalnya inflamasi dan proses penyembuhan.
e. Intoleran aktifitas b/d kelemahan fisik.
f. Resiko terjadi komplikasi (Peritonitis) b/d invasi kuman menembus
lumen usus.
g. Kurang pengetahuan keluarga (kebutuhan belajar) mengenai penyakit,
prognosis, pengobatan, dan perawatan b/d kurang pemajanan/mengingat,
kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi,
keterbatasan kognitif.
11. Perencanaan yang dapat dilakukan dapat sesuai dengan kondisi yang ada pada
si anak sesuai dengan teoritis.
12. Evaluasi yang diharapkan dari intervensi yang dilakukan :
a. Suhu tubuh anak menunjukkan batas normal 36 0C – 37,5 0C
b. Tidak terjadi komplikasi apapun pada anak
c. Anak dapat beraktivitas dengan toleransi yang baik
d. Keluarga mengerti tentang kondisi anak, tentang penyakit, pengobatan,
pencegahan, pengobatan serta prognosis penyakit

e. Intake dan outpu cairan terpenuhi dengan baik


f. Intake dan output diit balance sesuai dengan kondisi anak

B. Saran
1. Anak sangat rentan terhadap berbagai penyakit oleh sebab itu
pengawasan terhadap anak sangat perlu sebagai upaya pencegahan
terhadap penyakit typhoid
2. Menjaga lingkungan rumah dan hyigienitas makanan dan minuman
merupakan langkah yang terbaik untuk mencegah penyakit
3. Kenali setiap kelainan yang terjadi pada anak
4. Segera bawa anak ke Rumah sakit, klinik atau puskesmas bila ada
kelainan yang terjadi pada anak
5. Anak adalah buah hati maka rawatlah anak sesuai dengan usia dan
pertumbuhannya agar tidak terjangkit berbagai penyakit salah satunya
penyakit Typhoid yang sering terkena pada anak
6. Ingat!!!!!!!! Mencegah Lebih Baik dari Mengobati!!!!!!!!

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi


2.Jakarta : EGC.
Doenges, Marylin E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:
EGC.
Mansjoer Arif, et. Al., 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
Mansjoer Arif, et. Al., 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius.
Nursalam. 2001. Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 1. Jakarta:
Salemba Medika.
Rampengan, T. H. 1997. Penyakit Tropik Pada Anak. Jakarta: EGC.
Suradi, Rita Juliani, dkk. 2001. Asuhan Keperawtan pada Anak. Edisi 1. Jakarta:
PT. Fajar Inter Pratama.

Diposting 31st May 20

Anda mungkin juga menyukai