Anda di halaman 1dari 29

Clinical Sains Session

DEMAM TIFOID

Oleh :
Dessi Hardiyanti 1740312009
Triya Sari Afini 1740312216
Winarti Rimadhani 1410311089

Preseptor :
dr. Akmal M Hanif, SpPD- KKV, MARS, FINASIM
dr. Eka Kurniawan, SpPD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
PADANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh demam yang
berkepanjangan, dan diperkuat dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel
fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch.
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan
demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama
dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya
disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai
baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.1,2
Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai
pada penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.2
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di
berbagai negara berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tidoid di dunia
sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan
spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari
150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur
penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19
tahun mencapai 91% kasus. Angka tersebut juga dilaporkan dari Amerika
Selatan.1,4
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam
tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap
tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi
pada anak maupun dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam
tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.2

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan Clinical Sains Session ini adalah untuk memahami
definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinik, diagnosis, penatalaksanaan,
komplikasi, prognosis.

1.3 Metode Penulisan


Metode penulisan Clinical Sains Session ini adalah dengan studi
kepustakaan dengan merujuk pada berbagai literature.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan Clinical Sains Session ini adalah menambah wawasan
dan pengetahuan mengenai demam tifoid.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Demam Tifoid


Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau
typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya
terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu
minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran.1,2

2.2. Epidemiologi Demam Tifoid


Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit
ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum
klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun
2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. 4 Di
negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit
endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi
yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh
propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun
dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar
600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia
dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau
kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat
hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan
klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral
fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-
fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada
bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1

2.3. Etiologi Demam Tifoid


Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S.
paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S.
Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri
Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk
spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope
antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da
dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid
faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1
Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella typhi

2.4. Patogenesis Demam Tifoid


Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang
mengikuti ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada
Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam
makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di
dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar
cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane
usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen
intestinal.
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana
asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk
ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk
diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi
minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal
pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi,
penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump
Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di
jejnum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA)
kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan
selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag
dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES
ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di
luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi
sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda-
tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara
“intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama
feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan
mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi
dalam 3 hari berturut- turut.1,4
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasi jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat
akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin
dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi,
dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal
tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari
Salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel
usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan
zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan
kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil,
demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis.1,4
Bagan 2.1. Patogenesis Demam Tifoid
2.5. Manifestasi Klinis Demam Tifoid
Manifestasi klinis pada demam tifoid bisa bervariasi dari yang
ringan hingga berat, dari asimptomatik sampai dengan gejala yang khas.
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 10-14 hari. Pada
minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dangejala
serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi, dan epistaksis. Sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga
malam hari.
Gejala klinis yang ditemukan pada minggu kedua menjadi lebih
jelas berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah berselaput (kotor
ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium
atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.5
2.6. Pemeriksaan Penunjang Demam Tifoid
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,
yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. 9
Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi
leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas
normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain.
Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis
relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung
pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan
kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan
mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,7
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).7
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak
tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman
S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah
serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan
antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka
akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin
besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap
lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang.
Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9
bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang
setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi
cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan
pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan
waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila
hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila
negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila
titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi
kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin
H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau,
sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi
(karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang
dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid
yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.
 Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
 Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
A) Negatif Palsu
a) Pemeriksaan terlalu dini à antibodi Belum terbentuk
b) gizi buruk,imunodefisensi,keganasan
c) Th/ a.b. Dini à antibodi tdk terbentuk
B) Positif Palsu
1. salmonella grup D e.g. Enteritidis
2. Enterobacteriaceae
3. Antigen dari pabrik yg berbeda
4. Silent infection (endemis )

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas
ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat
dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi
IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.7
Ada 4 interpretasi hasil:
 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam
tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:


 Immunodominan yang kuat
 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan
H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap
sel B.
 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga
respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat
melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX:
 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut
sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada
fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat
transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG
spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut,
konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total
sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan
pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis
non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh
karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal
positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal
bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis
demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah
bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan
diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila
hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.7
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap
antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi
tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama
sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga
pada kasus dengan Brucellosis.7
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen
LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang
mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM
anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat
yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai
fasilitas laboratorium yang lengkap.4
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran
klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan
antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.7

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di
dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume
darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada
anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum
tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang
lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun
dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi
antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk
S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall
ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S.
paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan
biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu
pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan
rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas
karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat
untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur
darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat
dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan
memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas
karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian
pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan
duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.6,7
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan
media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri
yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak
mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri
sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis
baku dalam pelayanan penderita.
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah
dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang
spesifik untuk S. typhi.
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila
prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam
spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam
spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya
yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari
spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat
ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.7

2.7. Diagnosis Demam Tifoid


Demam tifoid biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2)
gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya
gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala
konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan
kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status
mental.
Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan
kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada
setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi.
Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia,
penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat
dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose
spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit
dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung
singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan
tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2
bulan.
Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan
laboratorium didasarkan pada 3 prinsip, yaitu isolasi bakteri, deteksi
antigen mikroba, titrasi antibodi terhadap organisme penyebab. Kultur
darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif
pada 60-80% dari pasien. Untuk daerah endemik dimana sering terjadi
penggunaan antibiotik yang tinggi, sensitivitas kultur darah rendah.
2.8. Diagnosis Banding Demam Tifoid
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang
secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza,
gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi
jamur sistemik, infeksi saluran kemih, bruselosis, tularemia, shigelosis dan
malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis,
leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1

2.9. Penatalaksanaan Demam Tifoid


1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.6
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus
setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya
menurunkan suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada
daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum
tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat
dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh
pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah
pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi.
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/
panas melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi
penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali. Hal
ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa
tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus.
Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha
menurunkannya begitu juga sebaliknya.8
2. Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman
dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,
sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna
yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na
yaitu antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
 Kloramfenikol, masih merupakan pilihan untuk mengobati demam
tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg per hari dapat
diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan
7 hari bebas panas. Penyuntikan intra muscular tidak dianjurkan
oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat
suntikan terasa nyeri.5
 Tiamfenikol, dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid
hamper sama dengan kloramfenikol akan tetapi komplikasi
hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia apalstik lebih
rendah dari kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500 mg.5
 Kotrimoksazol, efektivitas obat ini hampir sama dengan
kloramfenikol, dosis untuk dewasa 2x2 tablet (1 tablet
mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimethoprim)
diberikan selama 2 minggu.5
 Ampisilin dan Amoksilin. Kemampuan obat ini untuk
menurunkan demam lebih rendah dari kloramfenikol. Dosis yang
diberikan sekitar 50-150mg/kgBB dan digunakan selama 2
minggu.5
 Sefalosporin Generasi ketiga. Golongan yang terbukti efektif
untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan
adalah 3-4 gram dalam dextrose 100cc diberikan selama setengah
jam per infus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari.5
 Azitromisin, secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan
durasi rawat inap. Jika dibandingkan seftriakson, penggunaan
azitromisin dapat mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu
menghasilkan konsentrasi dalam darah cenderung rendah.
Antibiotika akan terkonsentrasi dalam sel, sehingga antibiotika ini
menjadi ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh s.
typhi yang merupakan kuman intraselular. Keuntungan lain adalah
azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan
intravena.5
c) Kombinasi obat antibiotika
Indikasi kombinasi obat antibiotika hanya pada kondisi tertentu seperti
toksik tifoid, peritonitis atau perforasi serta syok septik, yang pernah
terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain
kuman salmonella.5

d) Pengobatan demam tifoid pada wanita hamil


Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ketiga kehamilan karena
dikhawatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus
intrauterine, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak
dianjurkan pada trimester pertama kehamilan karena kemungkinan efek
teratogenic terhadap fetus pada manusia. Obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoksilin dan seftriakson.5

2.10. Komplikasi Demam Tifoid


Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut
dengan tanda – tanda renjatan.

b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang
dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang
dibuat dalam keadaan tegak.

c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
dan nyeri tekan.

2. Komplikasi diluar usus halus


a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan
disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat
timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah
abses paru, efusi, dan empiema.

b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua
dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka
penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.

c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa
kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak
dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya
jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.

d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan
pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.

e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis
tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain
: sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat
I, aritmia, supraventrikular takikardi.

f) Infeksi saluran kemih


Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi
melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis
dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering
dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal
ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.

g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit
demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10%
pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu
setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk
sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier
adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis.
Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin
memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.

2.11. Pencegahan Demam Tifoid


Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2
 Cuci tangan
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan
demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau
mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah
pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.
 Hindari minum air yang tidak dimasak
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik
tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh
bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa
menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk
menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi.
 Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak
daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah
yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air yang
mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar atau
tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak
disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah
buah yang dapat dikupas.
 Pilih makanan yang masih panas
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu
57°C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman
Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di
restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang
lebih mungkin terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam
tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
 Sering cuci tangan.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari
penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir)
dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama
sebelum makan dan setelah menggunakan toilet.
 Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali
sehari.
 Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata
bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan
atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes
memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
 Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci
dengan menggunakan air dan sabun.
Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan
mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang
aman, perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit
untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi
terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk
mengendalikan demam tifoid.1,2
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:
 Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per
oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita
imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak
kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun.
Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.
 Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk
dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL
yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui
suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri
kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini
di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam
pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat
efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.
 Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella.
Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di
atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL
yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin
diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster)
setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

2.12. Prognosis Demam Tifoid


Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,
angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.
Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi
karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi
pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.1
BAB III
KESIMPULAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut


yang ditandai oleh demam yang berkepanjangan, dan diperkuat dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan
invasi bakteri. Gejala klinis yang ditemukan berupa demam, bradikardia
relatif, lidah berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, bahkan
gangguan mental. Diagnosis dapat ditegakkan dengan gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah, uji serologi, dan
pemeriksaan bakteriologis. Penatalaksanaan dari penyakit ini terdiri dari
trilogi, yaitu tirah baring, diet dan terapi penunjang serta antibiotika.

Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan
penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta
standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Sehingga diperlukan pencegahan dan promosi yang bermanfaat bagi
masyarakat seperti cara cuci tangan yang benar, konsumsi makanan dan
minuman yang bersih, tidak membuang sampah sembarangan dan tidak
buang air besar disungai.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wibisono E, Ade S, Leonard N. Demam Tifoid. Dalam: Kapita Selekta


Kedokteran Jilid 2. Ed 4. Jakarta: Media Aesculapius. 2014; h. 721-723
2. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008; h. 338-45.
3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi
1. Jakarta: Salemba Medika; 2002:1-43.
4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta:
EGC ; 2000.
5. Djoko Widodo. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
I. Jakarta: Internal Publishing.
6. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
2003. h. 2-20.
7. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Surabaya: FK UNAIR; 2010. h. 1-10.
8. Aden, R. Seputar Penyakit dan Gangguan Lain Pada Anak. Yogyakarta:
Siklus Hanggar Kreator; 2010.
9. Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro,
Hindra Irawan Satari, et al. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi
kedua. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 338-346.

Anda mungkin juga menyukai