Anda di halaman 1dari 12

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
I. 1 Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhii. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur edotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus
mutiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan
Peyers patch. (1)
I.2 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh oleh Salmonella enterica serevoar Typhii (S. Typhii),
bakteri gram-negatif. Bakteri ini merupakan famili Enterobacteriaciae. Bakteri ini
mempunyai flagel, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Bakteri ini
mempunyai antigen somatik (O) yng terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen Hd (H) yang
terdiri dari protein, dan envelope antigen Vi (K) yang terdiri dari polisakarida. Bakteri ini
mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapisan luar dari
dinding sel dan dinamakan endotoksin. (1,2)
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid yang secara
patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan.
Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella paratyphi A dan jarang disebabkan oleh Salmonella
paratyphi B (Schotmulleri) dan Salmonella paratyphi C (HirscfeldI). Rasio terjadinya
penyakit yang disebabkan oleh Salmonella thypii dan Salmonella parathypii adalah 10 :1,
meskipun infeksi Salmonella parathypii meningkat di beberapa bagian di dunia yang mana
belum jelas alasannya. (3)
Salah satu dari produk gen yang paling spesifik adalah kapsul polisakarida Vi
(virulensi), yang selalu ada sekitar 90% dari semua S. Thypii yang terisolasi dan memiliki
efek proteksi melawan aksi bakterisidal dalam serum pasien yang terinfeksi. Kapsul ini
meupakan bahan untuk pembuatan vaksin yang telah ada secara komersial.(3,4)
I.3 Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemis di berbagai negara yang sedang
berkembang. Diperkirakan lebih dari 21,7 juta kasus tifoid dan lebih dari 200.000 kematian
terjadi, yang sebagian besar terjadi di Asia. Selain itu, diperkirakan 5,4 juta kasus disebabkan
oleh paratifoid terjadi per tahunnya. Di negara yang berkembang, angka kejadian tifoid
900/100.000 per tahun. Studi berdasarkan populasi dari Asia Selatan menunjukkan bahwa

insidensi tifoid paling tinggi terjadi pada anak <5 tahun. Sedangkan umur penderita yang
terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91%. (3)
Salmonella typhi dapat hidup dalam tubuh manusia. Penderita demam tifoid akan
didapatkan Salmonella typhi dalam sirkulasi darah dan sistem gastrointestinal yang dapat
dieksresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja. Selain itu, ada sebagian orang
yang disebut karier (penderita tifoid yang telah sembuh namun tetap didapatkan bakteri
dalam tubuhnya) yang juga dapat mengeksresikannya dalam urin dan tinja. S. thypii hanya
dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan
pasteurisasi dan klorinasi (suhu 63oC). (1,5)
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui makanan atau
minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita, biasanya keluar bersamasama dengan tinja (melalui rute oral fekal). Di beberapa bagian negara, tiram dan kerang
yang dibudidayakan dalam air yang terkontaminasi oleh limbah juga merupakan salah satu
penyabab penularan.(1,3)
I.4 Patogenesis
Demam tifoid terjadi melalui masuknya Salmonella thypii bersama makanan atau
minuman ke dalam tubuh melalui mulut.(1)

Dosis infeksi pada pecobaan relawan didapatkan sekitar 10 5- 10

bakteri, dengan

periode inkubasi bervariasi dari 4 14 hari. Salmonella thypii harus melewati pertahanan
asam lambung untuk mencapai usus halus, suasana asam lambung (pH < 2) merupakan
mekanisme pertahanan yang penting. Keadaan-keadaan sepeti aklorhidiria karena faktor usia,
gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor H2, penghambat pompa proton, antasida
dalam jumlah yang besar, akan mengurangi dosis infeksi. (1,3)
Bakteri yang masih hdup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bila respon
imunitas humoral mukosa Ig A usus kurang baik, maka bakteri melekat pada mukosa dan

kemudian menginvasi mukosa usus halus. Sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyers
patches, merupakan tempat internalisasi dari Salmonella typhi. Kemudian bakteri mencapai
folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar bening mesenterika, dan kemudian
melewati sirkulasi sistemik via limfatik yang mengakibatkan bakteremia pertama yang
biasanya asimtomatik dan hasil kultur darah biasanya negatif pada saat ini. Bakteri yang
terdapat di pembuluh darah menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi di jaringan sistem
retikuloendotelial (RES) terutama di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami
multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear (makrofag) di dalam folikel limfe, kelenjar
limfe mesenterika, hati, dan limpa.(1,3)
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan
oleh banyak dan virulensi kuman, serta respon imun host maka Salmonella typhi akan keluar
dari sel fagosit dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik (bakteremia
kedua) dengan disertai tanda tanda infeksi sistemik, seperti demam, malaise, dan nyeri perut.
Masa inkubasi biasanya 7 sampai 14 hari. Pada saat bakteremia terjadi, Salmonella thypii
dapat menyebar ke seluruh organ. Tempat paling sering untuk infeksi sekunder adalah hari,
limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyers patches dari ileum terminal. Invasi
kandung empedu dapat terjadi secara langsung dari darah atau retrograde dari empedu.
Ekskresi organisme dari empedu dapat mengnvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan
melalui tinja.(1,3)
I.5 Manifestasi Klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata rata antara 10
14 hari. Manifestasi klinis bervariasi dari gejala klinis ringan seperti demam yang tidak
terlalu tinggi, malaise, batuk kering sampai gejala klinis yang berat seperti nyeri perut dan
berbagai macam komplikasi. Variasi gejala ini disebabkan oleh lamanya sakit sebelum
mendapatkan terapi yang baik, pilihan antimikroba, pajanan sebelumnya atau riwayat
imunisasi, virulensi bakteri, banyaknya bakteri yang tertelan, dan status imunologi host.(1)
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam
pada demam tifoid biasanya naik perlahan lahan dan banyak orang tua yang melaporkan
bahwa demam lebih tinggi saat sore hari dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada minggu kedua biasanya demam tinggi (390 C 400 C)Pada demam sudah tinggi, pada
kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau
delirium atau penurunan kesadaran sampai koma. (1)

Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, mialgia,
nyeri perut, hepatosplenomegali, nausea, dan anoreksia. Gejala gastrointestinal pun
bervariasi. Pada anak, diare dapat terjadi pada stadium awal dan kemudian dIkuti dengan
konstipasi. Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan
ujungnya kemerahan (coated tongue). Pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai
hepatomegali dibandingkan splenomegali. (1,3)
Pada 25% kasus, terdapat ruam makulopapular yang bewarna merah dengan ukuran 15 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstrimitas, dan punggung pada
orang kulit putih, namun tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini
muncul pada hari ke 7 10 dan bertahan selama 2 3 hari. Bradikardi reatif jarang dijumpai
pada anak. (3)
Jika tidak terjadi komplikasi, gejala klinis akan perlahan lahan menghilang dalam 2
sampai 4 minggu.(3,4)

Common clinical features of thypoid fever in children


Feature
Rate (%)
High grade fever
95
Coated tongue
76
Anorexia
70
Muntah
39
Hepatomegali
37
Diare
36
Nyeri abdomen
29
Splenomegali
17
Konstipasi
7
Nyeri kepala
4
Tabel 1. Gejala Klinis Demam Tifoid

I.6 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada pasien sekitar 10% - 15% dan biasaya terjadi pada
pasien yang sudah sakit lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang paling sering biasanya
perdarahan gastrointestinal, perforasi usus halus, dan ensefalopati tifoid. (2)
Perdarahan gastrointestinal adalah yang paling sering, terjadi lebih dari 10%.
Perdarahan ini berasal dari erosi dari Peyers patch yang nekrosis yang menembus dinding
pembuluhd arah usus. Pada sebagian kasus, perdarahan minimal dan dapat diatasi tanpa
pemberian transfusi darah. (1,2)
Perforasi usus halus (biasanya ileum) merupakan komplikasi yang sangat serius, yang
terjadi pada 0,5% - 3% pasien. Pada perforasi usus halus ditandai dengan nyeri abdomen
lokal (biasanya pada kuadran kanan bawah). Kemudian dIkuti muntah, nyeri pada perabaan
abdomen, defance muscular, dan munculnya gejala peritonitis lain. Komplikasi komplikasi
ini biasanya didahului oleh peningkatan frekuensi nadi, penurunan tekanan darah, dan suhu.
Peningkatan dari hitung jenis leukosit (shift to left) dan adanya udara pada foto abdomen 3
posisi dapat ditemukan pada perforasi usus halus. (1,2)
Komplikasi neuropsikiatri jarang didapatkan pada demam tifoid anak. Sebagian besar
bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, stupor, bahkan koma. Selain itu,
bisa juga bermanifestasi sebagai ataxia cerebelar ataxia, chorea, tuli, sindrom Guillain-barre.
Meskipun pasien dengan komplikasi neuropsikiatri bisa berakibat fatal, namun jarang yang
dilaporkan adanya sekuele. (1)

Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid ditandai
peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai
kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut dapat dijumpai, sedang kolesistitis
kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan
adanya penderita karier. (3)
Relaps dapat terjadi pada 5-10% kasus demam tifoid, biasanya demam timbul kembali
dua sampai tiga minggu setelah masa resolusi. Pada umumnya, relaps lebih ringan
dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya dan lebih singkat.(3)
Sebagian pasien dengan demam tifoid, masih dapat mengeluarkan bakteri Salmonella
thypii melalui urin pada saat sakit maupun sembuh. Bila pasien sudah sembuh, hal ini disebut
pasien karier. Namun pada anak biasanya jarang terjadi. (3)
TABLE 2. IMPORTANT COMPLICATIONS
OF TYPHOID FEVER.

Abdominal
Gastrointestinal perforation
Gastrointestinal hemorrhage
Hepatitis
Cholecystitis (usually subclinical)
Cardiovascular
Asymptomatic electrocardiographic changes
Myocarditis
Shock
Neuropsychiatric
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
Impairment of coordination
Respiratory
Bronchitis
Pneumonia (Salmonella enterica serotype typhi,
Streptococcus pneumoniae)
Hematologic
Anemia
Disseminated intravascular coagulation
(usually subclinical)
Other
Focal abscess
Pharyngitis
Miscarriage
Relapse
Chronic carriage
Tabel 2. Komplikasi Demam Tifoid

I.7 Diagnosis
Diagnosis

ditegakkan

berdasarkan gejala

klinis

berupa demam,

gangguan

gastrointestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini

maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis devinitif
demam tifoid dapat ditegakkan dengan isolasi S. typhi dari darah atau dari lesi anatomi
lainnya. Hasil dari kultur darah positif pada 40-60% kasus demam tifoid pada minggu awal
perjalanan penyakit, dan kultur urin maupun feses positif setelah minggu pertama. Namun
biakan yang dilakukan pada urin dan fese, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan
spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil
positid didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif. (1)
Hasil dari laboratorium biasanya nonspesifik. Jumlah leukosit biasanya rendah,
namun jarang dibawah 3000/uL3. Trombositopeni sering dijumpai, kadang kadang
berlangsung selama beberapa minggu. (1)
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi
terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam
tifoid. Pemeriksaan ini memiliki sensitifitas dan spesifitas yang rendah bila di daerah endemis
karena dapat timbul positif palsu pada daerah endemis.. Di Indonesia pengambilan angka titer
O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji Widal menunjukkan nilai ramal positif 96%. Banyak
tempat yang mengatakan jika titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau pada titer sepasang
teradi kenaikan 4 kali maka diaganosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak
dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). (1)
I.8 Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit dapat menjadi diagnosis
bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis akut, bronkitis, bronkopneumonia. Beberapa
penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, malaria,
bruselosis, dan infeksi virus seperti demam dengue, hepatitiss akut juga perlu dipikirkan. (1,3)
I.9 Penatalaksanaan
Pada area yang endemis, lebih dari 60-90% kasus demam tifoid dapat dirawat di
rumah dengan tirah baring dan antibiotik. Sedangkan untuk pasien yang dirawat di rumah
sakit, pemberian antibiotik yang baik, pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit, dan nutrisi
yang cukup serta observasi kemungkinan timbulnya kompikasi perlu dilakukan. Pengobatan
antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi
Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteremia. (1)
Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam
tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama

10 14 hari atau sampai 5 -7 hari setelah demam turun, sedangkan pada kasus malnutrisi,
pengobatan dapat berlangsung hingga 21 hari. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah
tingginya angka relaps dan karier. (1)
Akhir akhir ini cefixime oral 10 15 mg/kgBB/hari selama 10 hari dpat diberikan
sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit < 2000/ ul atau dijjumpai resistensi
terhadap S.thypii. (1)
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium , obtundasi, stupor, koma, pemberian
deksametason intravena (3 mg/kgBB diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal,
dilanjutkand engan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam) disamping antibiotik yang memadai,
dapat menurunkan angka mortalitias dari 35%- 55% menjadi 10%. (1)
Demam tifoid dengan komplikasi perdarahan usus kadang kadang memerlukan
transfusi darah. Laparatomi harus segera dilakukan pada perforasi usus disertai penambahan
metronidazol dapat memperbaiki prognosis. Transfusi trombosit dianjurkan untuk pengobatan
trombositopenia yang dianggap cukup berat hingga menyebabkan perdarahan saluran cerna
pada pasien pasien yang masih dalam pertimbangan untuk dilakukan intervensi bedah.(1)
Ampisilin atau amoksisilin dosis 40 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral ditambah
dengan probenecid 30 mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral atau TMP-SMZ selama 4 6 minggu
memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Bla
terdapat kolelitiasis, pemberian antibiotik saja jarang berhasil, kolesistektomi dianjurkan
setelah pemberian antibiotik (ampisilin 200mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis IV selama 7 10
hari), setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis
peroral selama 30 hari. (1)
I.10 Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya kompikasi
mengakibatkan morboditas dan mortalitas yang tinggi. (1,3)
Walaupun mendapat terapi yang sesuai, relaps dapat timbul beberapa kali pad 2-4%
kasus. Individu yang mengeluarkan Salmonella thypii > 3 bulan setelah infeksi umumnya
menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak - anak rendah (<2% pada anak - anak
yang terinfeksi) dan meningkat sesuai usia. Karier urin kronis juga dapat terjadi pada individu
dengan skistosomiasis. (3)

I.11 Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan terinfeksi Salmonella thypii, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yag dikonsumsi.
Salmonella thypii di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57 0 C untuk beberapa
menit atau dengan proses iodinasi. (1)
Penurunan endemisitas suatu daerah juga tergantung pada baik buruknya pengadaan
sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap
higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid. (1)
Saat ini dikenal tiga mcam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi
kuman yang dimatikan, kuman hidup, dan komponen Vi dari Salmonella thypii. (1)
a. Kuman Hidup
Kuman whole cell tifoid parenteral pertama kali dikenakan pada tahun 1896.
Vaksin ini memberikan 51% - 88% perlindungan pada anak dan dewasa muda, sampai
lebih dari 12 tahun. (2)
Kekurangan utama dari vaksin ini adalah nyeri lokal dan bengkak. Selain itu
efek sistemik terjadi pada 25% - 50% pasien. (2)
b. Vaksin tifoid oral
Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella thypii gallur non
patogen yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus
pembelahan dalam usus dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya.
Respon imun pada vaksin ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum efektifitas
vaksin oral sama degan vaksin parenteral yang dInaktivasi dengan pemanasan, namun
vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid oral dikenal
dengan nama Ty-21a.(6)
Vaksin ini direkomendasikan untuk anak umur 6 tahun atau lebih. Cara
pemberian 1 kapsul vaksin dimakan tiap hari ke 1,3,dan 5, 1 jam sebelum makan.
Kapsul ke-4 pada hari ke-7 terutama bagi wisatawan. (6)

Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau


antimalaria yang aktif terhadap salmonella. Imunisasi ulangan diberikan tiap 5 tahun.
Daya proteksi vaksin ini hanya 50% - 80%. (6)
c. Vaksin polisakarida parenteral
Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella
thypii, polisakarida 0,025 mg, fenol, dan larutan bufer yang mengandung natrium
klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan. (6)
Pemberian secara suntikan intramuskular atau subkutan pada daerah deltoid
atau paha, direkomendasikan untuk anak mulai umur 2 tahun atau pada traveler yang
mau berkunjung ke daerah endemis. Imunisasi ulangan tiap 3 tahun. (6)
Reaksi samping lokal berupa demam, nyeri kepala, pusing, nyeri sendi, nyeri
otot, nausea, nyeri perut jarang dijumpai. Sangat jarang bisa terjadi reaksi alergi
berupa pruritus, ruam kulit, dan urtikaria. Daya proteksi 50% - 80%.(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku Ajar Infeksi &Pediatri Tropis edisi
kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2012
2. Christopher P,Dougan G, White N,Farrar J.Review Article Thypoid Fever.The New
England Journal of Medicine.2002.p 1770-82
3. Kliegman,Stanton,Schor,Behrman,St Geme. Nelson Textbooxt of Pediatrics. Edisi
19.Philadelpia:Elsevier.2011.p954-58
4. Background Document :The diagnosis, Treatment, and Prevention of Thypoid
Fever.WHO.2003
5. Thypoid

fever.

2013.

Available

http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/typhoid_fever/.

at
Accesed

in

April 7 2013
6. Gde R, Suyitno H, Rezeki S, Kartasasmita C, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Pedoman
Imunisasi di Indonesia. Edisi 4.Jakarta : Balai Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2011. Hal 364-66.

Anda mungkin juga menyukai