Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

KOMPLIKASI TIFOID

Disusun oleh:

MUHAMMAD GINALDI SCORPINDA


1102013180

Pembimbing:

DR. dr. Elsye Souvriyanti, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARJAWINANGUN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 15 JUNI – 22 AGUSTUS 2020
BAB I
1
PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial
atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit
mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch. Beberapa
terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam enterik.
Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam
tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya disebabkan oleh spesies
Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid
maupun demam paratifoid.1
Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada
penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Penyakit ini
juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di
seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya.
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak
maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid,
walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua
daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun. 2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran.1

II. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang
sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003
memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia
dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. 4 Di negara berkembang,
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-
25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus
ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah
pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur
penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus.3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh
manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es,
debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi
hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah
dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C). 1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita
atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui
rute oral fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi
oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya
kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian. 1

III. Etiologi
3
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi,
S. paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S.
Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-
negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida,
flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang
terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks
yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan
dengan resistensi terhadap multipel antibiotik. 1

Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi

IV. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti
ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem
retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi
enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam


tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH <
2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah
kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 10 5 dan
jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun
seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti
antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
4
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka
kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus
yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di
ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam


makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini
kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik
yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan
gejala infeksi sistemik.

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang


biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk
lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi
yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi,
sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak
gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang
terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,4

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi


jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan


otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan
organ lainnya.

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal


tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella
typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk
dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti

5
nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum
tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis. 1,4

Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid

V. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang
pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti
pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.

6
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa
inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa
inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan
umum/status gizi serta status imunologis penderita. 1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis
besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
 Demam satu minggu atau lebih.
 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah,
diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang
meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas,
berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut
kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise
pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41 o C) serta dapat pula
bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat
dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di
bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan.
Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila
lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4
mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini
merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella,
dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong,
ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu
pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria.
Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih
lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan
ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan
bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12
tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam
darah dan 85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah
sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan
keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%),
anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare
(31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen
(5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%),
hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%). 10 Hal ini sesuai dengan penelitian
7
di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%), sakit
kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%),
gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%). 9
Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi,
bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran,
stupor dan kelainan neurologis fokal. 6

VI. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai
sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit
normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum
tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga
leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran
darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula
leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya
menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif,
aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung
pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat,
tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan
SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan
mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal. 1,4,6

2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang
diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke
dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai
nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas
pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis
antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak
antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut
dalam perjalanan penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan
sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen
kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah
8
dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat
antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap
lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang.
Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9
bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya
menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi,
antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai
untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%.
Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid,
akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur
pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer
sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau
infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa
kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji
serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu
pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
 Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau
vaksinasi.

 Faktor teknik, yaitu


1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
9
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
 Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian
paling sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak
sembuh dalam 5 hari –> tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.

 Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi
A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan
reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan
hasil positif palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas
ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar
spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes
ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji
Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas
100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas
sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. 9 Tes ini dapat menjadi
pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara
rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.6
Ada 4 interpretasi hasil :
 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:


 Immunodominan yang kuat
 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen
Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat
kuat terhadap sel B.
 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga
respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan
cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
10
 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :


 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut
sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana
didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan
antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M®
yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan
inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif
dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus
demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan
sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan
nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. 16 Sedangkan penelitian oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi
uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79%
dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis
non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh
karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal
positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal
bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis
demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya
reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena
menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak
menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas
di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan
belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai
dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu
4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan
serum pasien.6
11
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi
IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S.
typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen
S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.
Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95%
pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel
sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada
darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65%
pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta
spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel
urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi
antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini
masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup
menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah
panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga
pada kasus dengan Brucellosis.6

e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang
mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM
anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat
yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai
fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan
86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas
sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. 20 Penelitian lain
oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. 21
Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas
sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. 22 Uji ini
terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan
gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana
penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan
kultur secara luas.6

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
12
cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di
dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada
beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1)
jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media
empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada
anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum
tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang
lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun
dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi
antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk
S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall
ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S.
paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan
biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu
pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya
akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika
dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan
media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara
perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum
tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas
paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering
tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang
sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif
sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai
dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur
pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan
hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena
adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang. 5,6
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan
media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri
yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak
mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.

13
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi
bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode
diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah
dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang
spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR
sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada
penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah.
Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini
meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang
terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-
bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin
dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu
dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif
rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum
memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya
masih terbatas dalam laboratorium penelitian.6

VII. Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang
ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2)
gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala
klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat
merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua
timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi,
sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan
diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan
suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm,
dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita
dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4

14
minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu
untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan
laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu
menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi,
serologis, dan bakteriologis.4,5

VIII. Diagnosis Banding


Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang
secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza,
gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur
sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan.
Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin
dapat sebagai dignosis banding.1

IX. Penatalaksanaan
IX.1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan. 5

b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun
tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat)
untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam
tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi
biasa.

c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada
infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.

d) Kompres air hangat


Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan
suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh
akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang.
Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang,
sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan
15
vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat
vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh
hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya
vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas
melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan
suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali. Hal ini
sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh
memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu
tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya
begitu juga sebaliknya.7

IX.2. Medika Mentosa


a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi
saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak
mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih
dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau
Novalgin.

b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid
fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-
100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena
biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai
7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan
oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan
terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder
pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim


dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10
mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.
Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5
mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari
pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem
hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini
sudah dilaporkan resisten.

 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah


dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk
anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif.
16
Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4
dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama
dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),


merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih
dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap
Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100
mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7
hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4
dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15
mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg
dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48
jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-


kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.

X. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian : 4
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri
perut dengan tanda – tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto
rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen
tegang, dan nyeri tekan.

2. Komplikasi diluar usus halus


a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan
disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder
dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain
yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis

17
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua
dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis
maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa
kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi,
pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang
maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh
gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.

d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan
pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis
tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya
adalah Salmonella havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis
tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas
serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG
dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen ST,
perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia, supraventrikular
takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi
melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun
pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria
transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat
bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai
prognosis yang buruk.

g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit
demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di
sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga
bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi
pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami
resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang
sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah
jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan
cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti
schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam
waktu yang lama.

XI. Pencegahan

Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid: 2


18
 Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan
demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau
mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah
pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.

 Hindari minum air yang tidak dimasak.

Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik


tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian
luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa
menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk
menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi.

 Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.

Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak


daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah
yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air yang
mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar atau
tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak
disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah
buah yang dapat dikupas.

 Pilih makanan yang masih panas.

Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai
suhu 57°C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman
Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di
restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang
lebih mungkin terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam
tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

 Sering cuci tangan.


Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari
penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir)
dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama
sebelum makan dan setelah menggunakan toilet.

 Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.

Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali
sehari.

19
 Hindari memegang makanan.

Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata


bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan
atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes
memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.

 Gunakan barang pribadi yang terpisah.

Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan
cuci dengan menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi


Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan
mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman,
perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk
dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap
populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid.1,2

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

 Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)


Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral
tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita
imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak kecil
6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama
proteksi dilaporkan 6 tahun.

 Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)

Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk
dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang
diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan
subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu,
dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di
kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada
pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek
samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.

 Vaksin polisakarida

Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai


daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun
selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25
mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara
intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini
20
dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang
demam, dan anak kecil 2 tahun.

XII. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju,
dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara
berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan
diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan
pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.
Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi
karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik
terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. 1

21
BAB III
KESIMPULAN

Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella
typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk
ke saluran cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal.

Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam,
gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih
dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala
gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa
didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin
disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma Otak Organik,
biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan yang berat dapat terjadi
penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.

Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang


dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal, atau
pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.

Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat dengan


tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat, dan
Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman Salmonella
typhi.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu
_Diketahui.html.
3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto
S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta :
Salemba Medika, 2002:1-43.
4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia:
A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta :
2003. h. 2-20.
6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam
pada pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei
Saboe Kota Gorontalo. 2012. Diunduh dari
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05
No01_08_2012.pdf. .

23

Anda mungkin juga menyukai