KOMPLIKASI TIFOID
Disusun oleh:
Pembimbing:
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial
atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit
mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch. Beberapa
terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam enterik.
Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam
tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya disebabkan oleh spesies
Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid
maupun demam paratifoid.1
Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada
penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Penyakit ini
juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di
seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya.
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak
maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid,
walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua
daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun. 2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran.1
II. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang
sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003
memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia
dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. 4 Di negara berkembang,
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-
25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus
ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah
pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur
penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus.3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh
manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es,
debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi
hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah
dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C). 1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita
atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui
rute oral fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi
oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya
kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian. 1
III. Etiologi
3
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi,
S. paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S.
Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-
negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida,
flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang
terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks
yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan
dengan resistensi terhadap multipel antibiotik. 1
IV. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti
ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem
retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi
enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal
5
nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum
tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis. 1,4
V. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang
pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti
pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
6
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa
inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa
inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan
umum/status gizi serta status imunologis penderita. 1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis
besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
Demam satu minggu atau lebih.
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah,
diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang
meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas,
berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut
kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise
pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41 o C) serta dapat pula
bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat
dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di
bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan.
Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila
lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4
mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini
merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella,
dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong,
ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu
pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria.
Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih
lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan
ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan
bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12
tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam
darah dan 85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah
sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan
keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%),
anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare
(31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen
(5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%),
hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%). 10 Hal ini sesuai dengan penelitian
7
di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%), sakit
kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%),
gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%). 9
Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi,
bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran,
stupor dan kelainan neurologis fokal. 6
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang
diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke
dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai
nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas
pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis
antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak
antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut
dalam perjalanan penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan
sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen
kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah
8
dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat
antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap
lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang.
Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9
bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya
menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi,
antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai
untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%.
Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid,
akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur
pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer
sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau
infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa
kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji
serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu
pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau
vaksinasi.
Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi
A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan
reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan
hasil positif palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas
ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar
spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes
ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji
Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas
100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas
sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. 9 Tes ini dapat menjadi
pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara
rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.6
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang
mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM
anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat
yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai
fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan
86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas
sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. 20 Penelitian lain
oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. 21
Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas
sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. 22 Uji ini
terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan
gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana
penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan
kultur secara luas.6
13
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi
bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode
diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
VII. Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang
ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2)
gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala
klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat
merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua
timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi,
sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan
diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan
suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm,
dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita
dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4
14
minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu
untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan
laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu
menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi,
serologis, dan bakteriologis.4,5
IX. Penatalaksanaan
IX.1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan. 5
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun
tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat)
untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam
tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi
biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada
infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid
fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-
100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena
biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai
7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan
oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan
terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder
pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg
dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48
jam.
X. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian : 4
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri
perut dengan tanda – tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto
rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen
tegang, dan nyeri tekan.
17
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua
dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis
maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa
kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi,
pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang
maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh
gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan
pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis
tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya
adalah Salmonella havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis
tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas
serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG
dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen ST,
perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia, supraventrikular
takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi
melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun
pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria
transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat
bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai
prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit
demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di
sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga
bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi
pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami
resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang
sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah
jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan
cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti
schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam
waktu yang lama.
XI. Pencegahan
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai
suhu 57°C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman
Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di
restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang
lebih mungkin terkontaminasi.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam
tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali
sehari.
19
Hindari memegang makanan.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan
cuci dengan menggunakan air dan sabun.
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk
dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang
diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan
subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu,
dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di
kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada
pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek
samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.
Vaksin polisakarida
XII. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju,
dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara
berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan
diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan
pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.
Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi
karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik
terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. 1
21
BAB III
KESIMPULAN
Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella
typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk
ke saluran cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal.
Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam,
gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih
dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala
gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa
didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin
disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma Otak Organik,
biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan yang berat dapat terjadi
penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu
_Diketahui.html.
3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto
S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta :
Salemba Medika, 2002:1-43.
4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia:
A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta :
2003. h. 2-20.
6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam
pada pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei
Saboe Kota Gorontalo. 2012. Diunduh dari
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05
No01_08_2012.pdf. .
23