DEMAM TIFOID
Oleh :
Nastasha Mufti 1310311100
Bunga Julia Fentika Rahmi 1740312259
Putri Rahmadhani 1740312264
Preseptor :
dr. Lidya Aswati, Sp.A
1.1.Latar Belakang
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh demam yang
berkepanjangan, dan diperkuat dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel
fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch.
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan
demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama
dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya
disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai
baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.1,2
Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai
pada penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.2
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di
berbagai negara berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tidoid di dunia
sangat suakar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan
spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari
150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur
penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19
tahun mencapai 91% kasus. Angka tersebut juga dilaporkan dari Amerika
Selatan.1,4
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam
tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap
tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi
1
pada anak maupun dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam
tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral
fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-
fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada
bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1
4
2.4. Patogenesis Demam Tifoid
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti
ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial
3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas
membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk
dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja
meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria,
post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan
Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka
kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang
yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di
ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan
sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
5
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia
kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental
ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari
berturut- turut.1,4
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel
di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang
tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis.1,4
6
Patogenesis (serotipe invasif)
Epitel usus
fagositosis
Lamina propria respons inflamasi
endotoxin (lokal, sistemik)
7
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai
ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise
pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula
bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat
dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di
bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan.
Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila
lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm,
berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan
emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama
didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian
fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu
pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran
limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas
dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada
anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3
hari.1,4,5
8
2.6. Pemeriksaan Penunjang Demam Tifoid
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
2.6.1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,
yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. 8
Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi
leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas
normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain.
Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis
relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung
pada perjalanan penyakitnya.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi
normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan
penanganan khusus. Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler,
eritroid dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6
2.6.2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).6
9
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan
pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama.
Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
- Aglutinin O (dari tubuh kuman)
- Aglutinin H (flagel kuman)
- Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa
tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah
sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin
H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat
dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap
S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai
untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan
pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai
uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus
benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan.
10
Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200
atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid
dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau
infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman
S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang
dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang
terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.
Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
- Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
- Gangguan pembentukan antibodi.
- Saat pengambilan darah.
- Daerah endemik atau non endemik.
- Riwayat vaksinasi.
- Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu
- Akibat aglutinin silang.
- Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
- Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu
- Pemeriksaan terlalu dini antibodi Belum terbentuk
- gizi buruk,imunodefisensi,keganasan
- Th/ a.b. Dini antibodi tdk terbentuk
Positif Palsu
- Salmonella grup D e.g. Enteritidis
- Enterobacteriaceae
- Antigen dari pabrik yg berbeda
- Silent infection (endemis )
11
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.6
Ada 4 interpretasi hasil :
- Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
- Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
- Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
- Immunodominan yang kuat
- Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H
kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.
- Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon
antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
- Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat
melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
- Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan
baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
- Mendeteksi infeksi akut Salmonella
- Muncul pada hari ke 3 demam
12
- Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
- Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
- Hasil dapat diperoleh lebih cepat
13
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap
antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi
tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama
sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga
pada kasus dengan Brucellosis.6
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi
dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen
kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.4
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran
klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan
antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.6
14
jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu;
dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak
kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan
untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih
sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan
pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-
80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%
pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita
yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah
dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan
meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum
tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi
dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan
kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil
yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko
aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.5,6
15
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media
yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat
minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu
pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri
sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis
baku dalam pelayanan penderita.
16
merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua
timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi,
sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare,
menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh
tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa.
Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada
dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3
hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis
menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium
yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan
bakteriologis.4,5
17
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus
setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan
suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan
memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika
reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor
mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer.
Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla
oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior
sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat),
diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal
kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus.
Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha
menurunkannya begitu juga sebaliknya.7
2.6.2 Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik.
Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
18
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100
mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50
mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun.
Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak
dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim
dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari
dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian
secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi
2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini
adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika
golongan ini sudah dilaporkan resisten.
Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-
anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2
minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari
Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella
19
typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi
dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan
cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan
Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera
dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
dan nyeri tekan.
2.7.2 Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
20
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan
disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat
timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah
abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua
dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka
penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa
kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak
dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya
jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan
pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis
tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain
: sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat
I, aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi
melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis
dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering
dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal
ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
21
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit
demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10%
pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu
setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk
sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier
adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis.
Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin
memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.
22
segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk
mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.
Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C
beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi.
Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari
membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam
tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
Sering cuci tangan.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari
penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan
sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum
makan dan setelah menggunakan toilet.
Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali
sehari.
Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata
bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau
fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes
memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci
dengan menggunakan air dan sabun.
23
Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi
berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.1,2
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:
Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per
oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais,
sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a
diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.
Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa
0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2
dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek
samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan
nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam,
hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak
beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan
yang pendek.
Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella.
Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5
tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25
mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara
intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini
dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam,
dan anak kecil 2 tahun.
24
angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.
Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi
karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi
pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.1
25
BAB III
ILUSTRASI KASUS
1.2 ANAMNESA
Pasien perempuan usia 5 tahun 6 bulan dirawat di Bangsal Anak RSUD
Ahmad Mukhtar pada tanggal 4 mei 2018 dengan Keluhan Utama :
Demam sejak 7 hari yang lalu sebelum masuk Rumah Sakit.
Tanda Vital :
- Kesadaran : sadar
Kepala : Normocephal
Gigi dan mulut : Mukosa bibir dan mulut basah, lidah kotor tidak ada, gigi
berlubang ada
Paru
Pr : Sonor
28
A : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Pr : Batas jantung atas RIC II, kanan LSD, kiri 1 jari medial LMCS RIC V
Abdomen
Pr : Timpani
Tanda Vital :
- Kesadaran : sadar
- Suhu : 37,8° C
29
- Edema : Tidak ada
- BB : 13 kg
- TB : 97 cm
- BB/U : 71 %
- TB/U : 86,6%
- BB/TB : 90%
Kepala : Normocephal
Gigi dan mulut : Mukosa bibir dan mulut basah, lidah kotor tidak ada, gigi
berlubang ada
Paru
Pr : Sonor
30
A : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Pr : Batas jantung atas RIC II, kanan LSD, kiri 1 jari medial
LMCS RIC V
Abdomen
Pr : Timpani
Hb : 9,2 g/dL
Ht : 26,6 %
Leukosit : 8.980/mm3
Trombosit: 233.000/mm3
1.5 DIAGNOSIS
31
Observasi febris ec suspek demam tifoid
- Tes widal
- Tubex test
1.6 PENATATALAKSANAAN
Bed Rest
MLTKTP
2. Terapi Farmakologis
Ceftriaxon 1x650 mg IV
Edukasi tentang:
Follow up
5 MEI 2018
32
Buang Air Besar ada sedikit warna dan konstitensi biasa
O/ KU KES TD ND Nfs T
sdg sadar 90/60 134x 36x 37,9ºC
Mata : konjungtiva anemis ada, sclera ikterik tidak ada
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Pulmo : vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen : snyeri tekan (+) , hepar lien tidak teraba ,distensi tidak ada
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
A/ observasi febris ec Susp Demam tifoid
Gizi kurang
P/ MLTKTP 1150 kkal
IVFD KAEN 1B 85cc/Kg/hari= 1105cc/hr = 16 tpm Makro
ceftriakson 1 x 650 mg IV
paracetamol 1x 1 cth (suhu: >38.5C)
6 MEI 2018
O/ KU KES TD ND Nfs T
sdg sadar 110/70 85x 28x 37,7ºC
33
Mata : konjungtiva anemis tidak ada, sclera ikterik tidak ada
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Pulmo : vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen : supel, hepar lien tidak teraba, nyeri tekan (-) berkurang, distensi
tidak ada
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
7 MEI 2018
S/ Demam tidak ada
muntah tidak ada
Batuk dan pilek tidak ada, sesak napas tidak ada
Buang Air Besar warna ada konsistensi biasa
Buang Air Kecil warna dan jumlah biasa
Makan sudah mulai banyak
O/ KU KES TD ND Nfs T
sdg sadar 110/70 90x 30x 36,9ºC
Mata : konjungtiva anemis tidak ada, sclera ikterik tidak ada
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Pulmo : vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen : supel, hepar lien tidak teraba, nyeri tekan (-) berkurang, distensi
tidak ada
34
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
Hasil Laboratorium
Salmonella Ig M : -
Urinalisis :
Warna : kuning muda
pH : 7,5
Sedimen : eritrosit :-
Leukosit : 2/lpb
Silinder : -
Epitel :+
Feses :
Warna: kuning
Konsistensi: lunak
Eritrosit: -
Leukosit: -
Telur cacing: -
Amoeba: -
A/ observasi febris
P/ ML TKTP 1150 kkal
IVFD KAEN 1B 85cc/Kg/hari= 1105cc/hr = 16 tpm Makro
Ceftriakson 1 x 650 mg IV
paracetamol 1x1 cth (suhu: >38.5C)
8 MEI 2018
S/ Demam tidak ada
muntah tidak ada
Batuk dan pilek tidak ada, sesak napas tidak ada
Buang Air Besar warna ada konsistensi biasa
Buang Air Kecil warna dan jumlah biasa
Makan sudah seperti biasa
O/ KU KES TD ND Nfs T
35
sdg sadar 100/60 90x 26x 36,5ºC
Mata : konjungtiva anemis tidak ada, sclera ikterik tidak ada
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Pulmo : vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen : supel, hepar lien tidak teraba, nyeri tekan (-) berkurang, distensi
tidak ada
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
A/ observasi febris
P/ ML TKTP 1150 kkal
IVFD KAEN 1B 85cc/Kg/hari= 1105cc/hr = 16 tpm Makro
Ceftriakson 1 x 650 mg IV
paracetamol 1x1 cth (suhu: >38.5C)
36
BAB IV
DISKUSI
37
kesadaran. Berdasarkan pemeriksaan fisik yang didapatkan hanya terjadi
peningkatan suhu pada pasien yakni 38,7 ˚C.
Untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang dengan
pemeriksaan laboratorium. Pada pasien dilakukan pemeriksaan serologis untuk
memastikan diagnosis demam tifoid yaitu Tes Widal dengan hasil Type H: -,
Type O: 1/320, IgM salmonella + sehingga sesuai dengan keadaan terinfeksi
Salmonella typhosa.
Pengobatan yang diberikan pada pasien berupa tirah baring, IVFD RL,
Parasetamol 10-15 mg/kgBB, ceftriaxon 1x 1 gr, Diet makanan lunak. Pengobatan
dilakukan sesuai dengan teori, yaitu pasien dianjurkan tirah baring, lalu diberikan
cairan, obat simptomatik, serta antibiotik, dan pengaturan diet berupa makanan
lunak.
38
DAFTAR PUSTAKA
39