Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN INTERNA

FAKULTAS KEDOKTERAN REFARAT

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR Juli 2021

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE

OLEH
Iqra Ayudia Syahra
105101101920

PEMBIMBING
dr. H. Zakaria Mustari, Sp.PD

Dibawakan Dalam Rangka Kepanitraan Klinik Bagian Interna

FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Iqra Ayudia Syahra

NIM : 1051011 019 20

Institusi : Universitas Muhamammadiyah Makassar

Judul Referat : Gastroesophageal Reflux Disease

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Interna

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Juli 2021

Pembimbing,

dr. H. Zakaria Mustari, Sp. P


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang senantiasa
tercurahkan atas segala limpahan rahmat dan nikmat-Nya. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi
Wassallam, karena beliaulah sebagai suritauladan yang membimbing manusia
menuju surga. Alhamdulillah berkat hidayah dan pertolongan-Nya sehingga dapat
menyelesaikan Referat dengan judul “Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)”.
Referat ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Secara khusus penulis menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang mendalam kepada dr. H. Zakaria Mustari, Sp. PD
selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar
dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan
tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna adanya
dan memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak, baik moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan baik. Akhir
kata, penulis berharap agar referat ini dapat memberi manfaat kepada semua
orang.

Makassar, Juli 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................

KATA PENGANTAR .....................................................................................i

DAFTAR ISI ...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................2

2.1 Definisi ......................................................................................................2

2.2 Epidemiologi ..............................................................................................2

2.3 Klasifikasi GERD ......................................................................................4

2.4 Etiopatogenesis ..........................................................................................6

2.5 Faktor Risiko .............................................................................................9

2.6 Manifestasi Klinis ......................................................................................10

2.7 Diagnosis ...................................................................................................11

2.7.1 Kuisioner GERD-Q ....................................................................12

2.7.2 Tes PPI ........................................................................................13

2.7.3 Endoskopi dan Biopsi .................................................................13

2.7.4 Esofagografi Barium ...................................................................14

2.7.5 Manometri Esofagus ...................................................................15

2.7.6 Tes Bernstein ..............................................................................15

2.7.7 Sintigrafi Gastroesofageal ..........................................................15

2.7.8 Pemantauan Refluks Ambulatori ................................................16

ii
2.8 Penatalaksanaan .........................................................................................17

2.8.1 Non-Medikamentosa ...................................................................18

2.8.2 Medikamentosa ...........................................................................19

2.8.3 Terapi Endoskopi ........................................................................23

2.8.4 Terapi Bedah ...............................................................................24

2.9 Komplikasi .................................................................................................25

2.10 Differential Diagnosis ..............................................................................26

BAB III KESIMPULAN .................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit refluks gastroesofageal atau gastroesophageal reflux disease


(GERD) ialah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung
ke dalam esofagus dan menimbulkan gejala khas seperti heartburn serta gejala-
gejala lain seperti regurgitasi, nyeri epigastrium, disfagia, dan odinofagia 1.
Berdasarkan lokalisasi gejalanya, GERD dibagi menjadi dua, yaitu sindrom
esofageal dan esktraesofageal2. Klasifikasi GERD secara sederhana yaitu Erosive
Esophagitis/ERD dan Non-Erosive Reflux Disease/NERD3.
Prevalensi GERD di Asia relatif rendah dibanding negara barat. Di Amerika,
hampir 7% populasi memiliki keluhan heartburn dan sekitar 20%-40%
diperkirakan menderita GERD. Namun, penelitian lain melaporkan terjadinya
peningkatan prevalensi GERD di negara Asia seperti di Iran yang berkisar antara
6,3%-18,3%, Palestina menunjukkan angka yang lebih tinggi yaitu 24%, Jepang
dan Taiwan sekitar 13%-15%. Beda halnya dengan Asia Timur, prevalensi GERD
berkisar antara 2%-8%. Di Indonesia, prevalensi kejadian GERD masih belum ada
data epidemiologi yang pasti. Namun, di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
didapatkan sebanyak 22,8% kasus esofagitis dari semua pasien yang menjalani
pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia4.
Beberapa faktor risiko terjadinya refluks gastroesofageal antara lain: obesitas,
usia > 40 tahun, wanita, ras, hiatal hernia, kehamilan, merokok, diabetes, riwayat
keluarga dengan GERD, status ekonomi, dan skleroderma. Pada sebagian orang,
makanan dapat menjadi pemicu seperti minuman berkarbonasi, coklat, kafein,
makanan pedas, makanan berlemak dan alkohol. Obat-obatan yang mengganggu
kerja otot sfingter esofagus bagian bawah, seperti sedatif, penenang, antidepresan,
calcium channel blockers, narkotika serta penggunaan rutin beberapa jenis
antibiotika dan non steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya inflamasi esofagus5.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) digambarkan sebagai gejala atau
kerusakan mukosa yang dihasilkan oleh refluks abnormal isi lambung melalui
sfingter esofagus bagian bawah ke dalam esofagus. GERD adalah suatu keadaan
patologis akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai
gejala akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran napas . Definisi
GERD menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks
Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013 adalah suatu gangguan berupa isi
lambung mengalami refluks berulang ke dalam esofagus, menyebabkan gejala dan
atau komplikasi yang mengganggu. Sedangkan menurut American College of
Gastroenterology GERD adalah kondisi fisik dimana asam dari lambung mengalir
mundur ke esofagus2.

2.2 Epidemiologi
Prevalensi GERD menurut lokasi geografis dengan menggunakan Revisi
Prospek Populasi Dunia PBB 2017, perkiraan jumlah individu yang menderita
GERD secara global adalah 1,03 miliar. Tinjauan saat ini mengidentifikasi
negara-negara dengan prevalensi GERD tertinggi dan terendah sebagai Turki
(22,40%), dan Cina (4,16%), masing-masing. Disparitas prevalensi GERD antar
sub-region di dalam benua yang sama terutama terlihat di Asia yang memiliki
sub-region dengan prevalensi GERD terendah (Asia Timur) serta prevalensi
GERD tertinggi (Timur Tengah)6.
Prevalensi GERD menurut jenis kelamin didapatkan pada wanita (17,17%)
lebih tinggi daripada laki-laki (15,69%) .Prevalensi GERD menurut kelompok
umur menunjukkan pada kelompok usia 18-34 tahun (8,70%) dan 35-59 tahun
(14,53%). Prevalensi GERD terkait BMI menunjukkan terendah pada mereka
yang memiliki IMT <18,5 (6,64%), sedangkan prevalensi tertinggi terlihat pada
mereka dengan IMT.≥30,0 (22,63%). Prevalensi GERD yang dikumpulkan
menurut penggunaan NSAID/aspirin menunjukkan prevalensi GERD yang secara

2
signifikan lebih besar pada subjek yang menggunakan NSAID/aspirin (24,47%)
dibandingkan dengan mereka yang tidak (17,34%)6.

Gambar 1. Distribusi Prevalensi GERD menurut Negara


(Sumber : Nirwan JS, Hasan SS, et al. Global Prevalance and Risk Factors of
Gastro-oesophageal Reflux Disease (GORD): Systematic Review with Meta-
analysis. Scientific Report-Nature Research. 2020; 10(5814))

Prevalensi GERD yang dikumpulkan menurut asupan alkohol menunjukkan


prevalensi GERD yang serupa pada mereka yang tidak minum alkohol atau
memiliki asupan alkohol yang rendah (15,95%) dibandingkan dengan mereka
yang memiliki tingkat sedang hingga tinggi asupan alkohol (15,56%).Subyek
dengan asupan minuman berkarbonasi sedang/tinggi memiliki prevalensi GERD
yang lebih tinggi (18,60%) daripada subjek dengan asupan rendah/tidak sama
sekali (14,54%). Menurut asupan kopi/teh menunjukkan prevalensi GERD yang
lebih tinggi pada subjek dengan asupan kopi/teh sedang/tinggi (21,02%)
dibandingkan subjek dengan asupan rendah/tidak sama sekali (16,92%).
Prevalensi GERD menurut kebiasaan merokok menunjukkan bahwa subjek yang
saat ini merokok memiliki prevalensi GERD yang lebih tinggi (18,40%)
dibandingkan dengan mantan perokok (16,83%) dan bukan perokok (15,55% )6.
Subyek berpenghasilan rendah memiliki prevalensi GERD secara signifikan
lebih tinggi (11,69% ) dibandingkan dengan mereka yang berpenghasilan sedang

3
(8,42%) dan mereka yang berpenghasilan tinggi (7,68%). Wilayah domisili juga
berpengaruh signifikan terhadap prevalensi GERD, dikumpulkan pada subjek
yang tinggal di daerah perkotaan adalah yang tertinggi (13,43%) diikuti oleh
subjek yang tinggal di daerah pedesaan (11,70%)6.

2.3 Klasifikasi GERD

Gambar 2. Klasifikasi GERD berdasarkan Konsensus Montreal


(Sumber : Vakil N, et al. Am J Gastroenterol. 2006)

Berdasarkan Konsensus Montreal, GERD diklasifikasikan menjadi3 :


1. Sindrom Esofagus
a. Sindrom simptomatik
Sindrom simptomatik atau disebut sindrom esofageal tanpa lesi structural
terdiri dari sindrom refluks tipikal (memiliki gejala klinis berupa heartburn
dan regurgitasi) dan sindrom nyeri dada akibat refluks2.
b. Sindrom dengan lesi esofagus
Sindrom esofageal disertai lesi struktural, berupa refluks esofagitis,
striktur refluks, Barret’s esophagus, adenokarsinoma esofagus2.
2. Sindrom Ekstraesofagus
Sindrom ekstraesofageal biasanya terjadi akibat refluks gastroesofageal
jangka panjang. Yang telah disepakati ialah sindrom batuk akibat refluks,
sindrom laryngitis akibat refluks, sindrom asma akibat refluks dan sindrom

4
erosi gigi akibat refluks. Adapun yang diusulkan ialah faringitis, sinusitis,
fibrosis paru idiopatik dan otitis media berulang3.

Klasifikasi GERD secara sederhana ada 2, yaitu adanya gejala refluks yang
mengganggu disertai dengan kerusakan mukosa esofagus pada pemeriksaan
endoskopi disebut (Erosive Esophagitis/ERD) dan adanya gejala refluks yang
mengganggu tanpa disertai kerusakan mukosa esofagus pada pemeriksaan
endoskopi (Non-Erosive Reflux Disease/NERD)3.
GERD refrakter adalah pasien yang tidak berespons terhadap terapi dengan
penghambat pompa proton (Proton Pump Inhibitor/PPI) dua kali sehari selama 4-8
minggu. Pembedaan ini penting oleh karena individu dengan GERD refrakter ini
harus menjalani endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA) untuk mengeksklusi
diagnosis penyakit ulkus peptik atau kanker dan mengidentifikasi adanya
esofagitis7.
 Tidak taat terhadap terapi PPI
 PPI dimetabolisme terlalu cepat
Penyebab GERD Refrakter  Gangguan fungsional esofagus
 Refluks non acid / acid lemah
 Delayed gastric emptying
 Residual acid
 Esofagitis eosinofilik
 Achalasia
 Sindrom Zollinger-Ellison
Penyebab tak terkait GERD  Pill-induced esophagitis
 Sindrom ruminasi
 Kanker esofagus
 Penggunan NSAIDs
 Ingesti agent caustic
Tabel 1. Penyebab GERD Refrakter
(Sumber : Mermelstein J, Mermelstein AC, Chait MM. Proton Pump Inhibitor-
Refractory Gastroesophageal Reflux Disease : Challenges and Solutions. Clin
and Exp Gastroenterology, 2018; 1. 119-134 p)

5
2.4 Etiopatogenesis
Penyakit reflux gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat
terjadi akibat dari refluks gastroesofageal apabila : 1) terjadi kontak dalam waktu
yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2) terjadi
penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara
bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama, 3) terjadi gangguan
sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung, yang disebabkan oleh adanya
modulasi persepsi neural esofageal baik sentral maupun perifer7.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES).
Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat
terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrogard
yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus
melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3
mmHg)1.

Gambar 3. Etiopatogenesis terjadinya GERD

6
(Sumber : Syam AF, Aulia C, et a. Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) di
Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), 2013)

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :


1) refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, 2) aliran retrogard
yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3) meningkatnya
tekanan intra abdomen1.
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor
defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk
faktor defensif ialah pemisah antirefluks, bersihan asam dan epithelial resistance
sedangkan pada faktor ofensif ialah kekuatan refluksat seperti sekresi gastrik dan
daya pilorik1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi GERD ialah :
a. Pemisah Antirefluks
Mekanisme antirefluks lower esophageal sphincter (LES), pada ujung
bawah esofagus meluas ke atas sekitar 3 cm diatas perbatasan dengan
lambung, otot sirkular esofagus berfungsi sebagai sfingter esofagus bawah
yang lebar atau disebut juga sfingter gastroesofageal. Normalnya, sfingter
ini tetap berkonstriksi secara tonik dengan tekanan intraluminal pada titik
ini di esofagus sekitar 30 mmHg berbeda dengan bagian tengah esofagus
yang normalnya tetap bereaksasi. Sewaktu gelombang peristaltic penelanan
melewati esofagus, terdapat “relaksasi reseptif” dari sfingter esofagus
bagian bawah yang mendahului gelombang peristaltic yang mempermudah
pendorongan makanan yang ditelan ke dalam lambung. Sekresi lambung
bersifat asam dan mengandung banyak enzim proteolitik. Mukosa esofagus
(kecuali pada 1/8 bagian bawah esofagus) tidak mampu berlama-lama
menahan aksi pencernaan dari sekresi lambung. Konstriksi tonik sfingter
gastroesofageal membantu mencegah refluks yang bermakna dari isi
lambung ke dalam esofagus kecuali pada keadaan abnormal. Dan

7
peningkatan tekanan intraabdomen akan mendesak esofagus sehingga
kandungan lambung mudah naik9.
Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde
pada saat terjadinya peningkatan tekanan intra abdomen. Faktor-faktor yang
dapat menurunkan tonus LES antara lain : 1) adanya hiatus hernia, 2)
Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), 3) obat-obatan
seperti antikolinergik, beta adrenergic, theofilin, opiate dan lain-lain, 4)
faktor hormonal, selama kehamilan peningkatan kadar progesterone dapat
menurunkan tonus LES1.
Jika tonus LES dalam keadaan normal yang berperan dalam terjadinya
proses refluks adalah transient LES relaxation (TLESR). TLESR adalah
relaksasi singkat sfingter esofagus bawah yang tidak terkait dengan proses
menelan atau peristaltic yang normalnya berlangsung 10-45 detik.
Gangguan pada proses TLESR meningkatkan frekuensi paparan isi lambung
ke esofagus3.

b. Bersihan asam
Bersihan asam dari lumen esofagus. Faktor-faktor yang berperan pada
bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik, ekresi air liur dan
bikarbonat1. Pembersihan asam dimulai dengan peristaltik setelah peristiwa
refluks terjadi, dan dilengkapi dengan buffer tambahan dari saliva yang
tertelan. Saat mengalami gangguan pengosongan esofagus melalui disfungsi
peristaltik dan gangguan fungsi saliva akan menyebabkan kontak antara
bahan refluksat dengan esofagus menjadi lama sehingga besar kemungkinan
terjadinya esofagitis10. Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar
berpotensi menimbulkan kerusakan esofagus karena selama tidur Sebagian
besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif serta tidak adanya gaya
gravitasi saat berbaring2.

c. Ketahanan Epitelial Esofagus

8
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki
lapisan mucus yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan
epitel esofagus terdiri dari membran sel, intercellular junction yang
membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan esofagus, aliran darah esofagus
yang menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta mengeluarkan ion H+
dan CO2, sel esofagus mempunyai kemampuan mentransport ion H+ dan
Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler. Mukosa esofagus
yang mengalami kerusakan menyebabkan permukaannya menjadi
hipersensitif terhadap rangsangan nyeri3.

d. Infeksi Helicobacter pylori


Peranan infeksi Helicobacter pylori (HP) dalam pathogenesis GERD
relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada
hubungan terbalik antara infeksi HP dengan strain yang virulens (Cag A
positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett’s Esophagus dan adekarsinoma
esofagus. Pengaruh dari infeksi HP terhadap GERD merupakan konsekuensi
logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung7.
e. Hipersensitivitas viseral
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini diketahui peranan refluks
non-asam/gas dalam patogenesis GERD yang didasarkan atas
hipersensitivitas viseral. Sebagaimana telah dijelaskan di atas,
hipersensitivitas viseral memodulasi persepsi neural sentral dan perifer
terhadap rangsangan regangan maupun zat non-asam dari lambung1.

2.5 Faktor Risiko


Peningkatan indeks massa tubuh dari terlalu gemuk dikaitkan dengan
peningkatan risiko mengembangkan GERD. Sebuah meta-analisis terbaru
menemukan bahwa faktor risiko terkait individu obesitas lebih bereisiko
dibandingkan dengan yang tidak obesitas. Peningkatan tekanan intra-abdomen,
prevalensi hernia hiatus yang lebih tinggi, gradien tekanan abdomen ke toraks
yang lebih tinggi, peningkatan kadar estrogen, dan peningkatan produksi enzim

9
empedu dan pankreas dapat berkontribusi pada hubungan antara obesitas dan
GERD11.
Hubungan antara merokok tembakau dan GERD juga didokumentasikan
dengan baik. Sebuah meta analisis dari 30 studi yang membandingkan perokok
dan bukan perokok menunjukkan prevalensi perokok lebih berisiko dibandingkan
bukan perokok. Tembakau dapat memperpanjang waktu pembersihan asam
esofagus dan mengurangi tekanan pada sfingter esofagus bagian bawah. Faktor
risiko ketiga adalah kecenderungan genetik. Dua penelitian besar memperkirakan
bahwa heritabilitas menyumbang 31% hingga 43% dari kecenderungan untuk
mengembangkan GERD dan beberapa penelitian telah mengindikasikan faktor
risiko genetik untuk perkembangan GERD, meskipun tidak ada satu pun risiko
spesifik yang diidentifikasi11.
Infeksi dengan H. pylori GERD dengan menyebabkan atrofi mukosa
lambung, yang dapat menurunkan produksi asam sel parietal. Analisis Ameta dari
27 studi menunjukkan bahwa pemberantasan H.pylori meningkatkan risiko
berkembangnya refluks esofagitis (risiko relatif, 1,46;95%). Konsumsi alkohol
dan faktor diet dapat memicu episode gejala serupa pada individu dengan GERD
yang diketahui, tetapi paparan ini tidak dikaitkan dengan perkembangan GERD6.
Faktor lain yang berhubungan dengan peningkatan risiko GERD adalah
tingkat Pendidikan. Kemungkinan GERD secara signifikan lebih tinggi pada
mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah dibandingkan dengan mereka
yang memiliki tingkat pendidikan sedang atau tinggi. Demikian pula, prevalensi
GERD pada individu dengan pendapatan lebih rendah secara signifikan lebih
besar daripada mereka dengan pendapatan sedang. Tren ini menunjukkan
hubungan antara status sosial ekonomi dan risiko GERD. Penjelasan potensial
untuk tren ini mungkin adalah peningkatan kesadaran akan masalah kesehatan
pada individu yang berpendidikan dibandingkan dengan mereka yang
berpendidikan rendah atau tidak sama sekali. Selain itu, individu dengan tingkat
pendapatan yang lebih tinggi mungkin mampu membeli pilihan pengobatan yang
lebih luas, serta pilihan makanan yang lebih sehat, yang dapat mencegah atau
meringankan gejala GERD. Namun, mereka yang berpendidikan menengah tidak

10
lebih berisiko menderita GERD dibandingkan mereka yang berpendidikan tinggi.
Individu dengan tingkat pendapatan menengah juga tidak lebih berisiko
dibandingkan dengan tingkat pendapatan tinggi6.

2.6 Manifestasi Klinis


Temuan klinis termasuk heartburn (atau pyrosis) yang dapat memburuk saat
membungkuk atau berbaring, regurgitasi, dan disfagia (kesulitan menelan).
Heartburn biasanya digambarkan dengan rasa tidak nyaman seperti terbakar pada
bagian retrosternal yang menyebar ke leher dan paling sering terjadi pada periode
postprandial. Regurgitasi adalah kembalinya isi lambung ke dalam faring dengan
mudah tanpa mual, muntah, atau kontraksi perut. Disfagia adalah kesulitan
menelan makanan12.
Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan
keluhan pada serangan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan
padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari
Barret’s Esophagus. Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan) bisa
timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat1.
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang
atipik dan sangat bervariasi mulai nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest
pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya
bronkiektasis atau asma1.
Beberapa penyakit paru dapat menjadi predisposisi untuk timbulnya GERD
karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high pressure
zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (misalnya
theofilin) Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi
episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu,
umumnya pasien dengan GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik1.

2.7 Diagnosis
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American College of

11
Gastroenterology tahun 1995 dan revisi tahun 2013, diagnosis GERD dapat
ditegakkan berdasarkan2:
1. Empirical Therapy
2. Use of Endoscopy
3. Ambulatory Reflux Monitoring
4. Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi preoperasi
untuk eksklusi kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia atau
aperistaltik yang berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya
skleroderma)2.

2.7.1 Kuisioner GERD Q


Diagnosis GERD juga didasarkan atas kombinasi keluhan atau
menggunakan kuesioner penyakit refluks (RDQ) dan kuesioner penyakit
refluks gastroesofageal (GERDQ). GERD-Q merupakan sebuah kuesioner
yang terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD
pada kualitas hidup penderita serta efek penggunaan obat-obatan terhadap
gejala dalam 7 hari terakhir. Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor >8
maka pasien tersebut memiliki kecenderungan yang tinggi menderita GERD,
sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut. Selain untuk menegakkan diagnosis,
GERD-Q juga dapat digunakan untuk memantau respons terapi2.

12
Gambar 4. GERD-Q
(Sumber : Saputera MD, Budianto W. Diagnosis dan Tatalaksana
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan
Primer. CDK. 2017; 44(5))

2.7.2 Tes PPI


Tes penghambat pompa proton (proton pump inhibitor/ PPI test/(tes
supresi asam) acid suppression test. Pada dasarnya tes ini merupakan terapi
empirik untuk menilai gejala dari GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi
selama 1-2 minggu sambil melihat respons yang terjadi 1. Jika gejala GERD
menghilang setelah diberikan PPI dan muncul kembali setelah terapi PPI
dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan (nilai sensitivitas 80% dan
spesifitas 74%). Dikatakan positif apabila terjadi perbaikan klinis dalam 1
minggu sebanyak > 50%3.
Keterbatasan utama dari 'tes PPI' adalah modulasi gejala yang kuat oleh
hipersensitivitas esofagus, ada juga variasi dalam dosis PPI dan durasi tes.
Meskipun spesifisitas rendah dan respons plasebo tinggi, pendekatan
pengobatan PPI empiris lebih murah daripada pengujian diagnostic dan

13
didukung oleh pedoman masyarakat tidak diragukan lagi mengarah pada
diagnosis GERD yang berlebihan dan penggunaan PPI yang berlebihan13.

2.7.3 Endoskopi dan Biopsi


Tes diagnostik yang paling banyak digunakan untuk evaluasi GERD dan
kemungkinan komplikasinya adalah endoskopi saluran cerna bagian atas, atau
esophagogastroduodenoscopy (EGD). Manfaat utama dari endoskopi adalah
visualisasi langsung dari mukosa esofagus. Ini membantu dalam diagnosis
komplikasi GERD seperti esofagitis, striktur dan Esophagus Barrett’s. Salah
satu sistem penilaian endoskopi keparahan GERD adalah klasifikasi Los
Angeles, dinilai dari A sampai D (yang paling parah)14.
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar
baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus
(esofagitis erosiva). Jika tidak ditemukan mucosal break pada esofagus,
keadaan ini disebut sebagai non-erosive reflux disease (NERD)13.

Derajat kerusakan Gambaran Endoskopi


A Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan
diameter <5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5
mm tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi
seluruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esofagus)
Tabel 2. Klasifikasi Los Angeles
(Sumber : Makmun D, Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Setiati S,
Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed.6. Jakarta Pusat :
Interna Publishing, 2014. 1750 p)

14
Konsensus Roma IV merekomendasikan biopsi esofagus selama EGD
untuk menyingkirkan esofagitis eosinofilik. Biopsi mungkin juga memiliki
nilai dalam membedakan NERD (dengan pH-metri positif) dari
hipersensitivitas refluks, reflux fungsional dan control. Ketika dinilai
menggunakan protokol histopatologi terstruktur yang mengevaluasi
pemanjangan papiler, hiperplasia sel basal, ruang antar sel yang melebar, sel
inflamasi intraepitel, nekrosis dan erosi, perubahan yang hilang setelah terapi
GERD yang memadai. Namun, temuan histopatologi dapat tumpang tindih
antara kelompok yang diteliti, dan tidak konklusif dari GERD. Identifikasi
ruang antar sel yang melebar pada mikroskop elektron menunjukkan cedera
mukosa dari refluks, tetapi aplikasi klinis terbatas. Penerapan luas pemeriksaan
histopatologi untuk cedera GERD terhalang oleh protokol yang rumit dan
kebutuhan akan ahli patologi esofagus yang berdedikasi13.

2.7.4 Esofagografi barium


Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan,
terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar
radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau
penyempitan lumen. Pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai
lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esofagus derajat ringan akibat
esofagitis peptic dengan gejala disfagia dan pada hiatus hernia1.

2.7.5 Manometri Esofagus


Pemeriksaan ini tidak diindikasikan untuk diagnostic GERD. Indikasi
pemeriksaan ini adalah untuk pasien yang akan menjalani pembedahan
antirefluks, GERD refrakter dan menilai abnormalitas paparan asam atau
frekuensi refluks3. Tes manometri akan memberi manfaat yang berarti jika
pada pasien-pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata
didapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang normal1.

15
2.7.6 Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melalukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCL 0,1 M
dalam waktu kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap
monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila
larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien,
sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka Tes ini dianggap
positif. Tes Bernstein yang negatif tidak menyingkirkan adanya nyeri yang
berasal dari esofagus1.

2.7.7 Sintigrafi gastroesofageal


Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan
padat yang dilabel dengan radioisotope yang tidak diabsopsi, biasanya
technetium. Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma counter) eksternal
akan memonitor transit dari cairan/ makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas
dan spesifitas Tes ini masih diragukan1.

2.7.8 Pemantauan Refluks Ambulatori


Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm
di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal15.
Indikasi untuk melakukan pH-MII adalah: 1) mengukur efikasi obat
penekan asam; 2) untuk membedakan NERD, esofagus hipersensitif, dan mulas
fungsional pada pasien dengan endoskopi dan histologi normal; 3) untuk
mengkorelasikan gejala-gejala bermasalah yang persisten dengan kejadian
GER asam dan non-asam; dan 4) untuk menetapkan peran refluks asam dan
non-asam dalam etiologi esofagitis dan tanda dan gejala lain yang
menunjukkan GERD15.

16
Pengukuran pH esofagus atau pH gabungan dan pemantauan impedansi
intraluminal (MII-pH), adalah teknik berbasis kateter yang paling berguna
untuk menilai GERD . Secara khusus, MII-pH memiliki keuntungan untuk
mengukur semua jenis refluks fisik (cair, gas, atau campuran) dan kimia (asam,
asam lemah, dan basa lemah) terlepas dari nilai pH. Perangkat lain yang hanya
mengukur pH, seperti Bravo (yaitu, sistem nirkabel yang merekam hingga 96
jam) dapat meningkatkan hasil diagnostik pada beberapa pasien dengan
menganalisis data yang diperoleh setelah 24 jam pertama, tetapi lebih mahal
dan tidak tersedia secara luas16.
Metrik utama pemantauan refluks adalah waktu paparan asam (AET) dan
jumlah episode refluks (NRE). AET mewakili parameter yang paling dapat
direproduksi dan memprediksi respons yang baik terhadap terapi medis dan
bedah. Ini adalah metrik berkelanjutan, yang secara proporsional berkorelasi
dengan tingkat keparahan refluks. Konsensus Lyon menetapkan nilai batas
AET <4% sebagai normal definitif dan> 6% sebagai patologis. Di antara
metrik impedansi, NRE, termasuk refluks asam, asam lemah, dan basa lemah,
dianggap normal bila kurang dari 40 selama 24 jam dan abnormal bila lebih
dari 80 selama 24 jam. Nilai antara AET dan NRE tidak meyakinkan untuk
diagnosis GERD, jika dianggap sendiri. NRE abnormal adalah metrik yang
berguna sebagian besar di borderline AET, meskipun tidak cukup dengan
sendirinya untuk memprediksi respons terhadap terapi medis dan untuk
mendukung operasi anti-refluks (ARS)16.

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi
endoskopik. Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas
hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi1.

17
Gambar 5. Alur Pengobatan GERD pada Pusat Pelayanan Kesehatan Primer
( Sumber : Syam AF, Aulia C, et a. Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) di
Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), 2013)
2.8.1 Non-Medikamentosa
Modifikasi gaya hidup, merupakan pengaturan pola hidup yang dapat
dilakukan dengan2:
1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat
badan sesuai dengan IMT ideal
2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat
posisi berbaring
3. Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur

18
4. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat,
minuman mengandung kafein, minuman bersoda dan makanan berlemak
- asam – pedas
5. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol, meskipun perokok
memiliki lebih banyak gejala tetapi tidak ada bukti bahwa berhenti
merokok secara konsisten mengurangi gejala GERD. Demikian pula,
penggunaan alkohol dapat menyebabkan reaksi gejala refluks,tetapi
pantang alkohol tidak menurunkan gejala refluks. Meskipun kurangnya
bukti konklusif, ada manfaat kesehatan untuk penghentian merokok dan
penggunaan alkohol, terutama dalam mengurangi perkembangan
neoplastik Barrett’s Esophagus dan risiko adenokarsinoma esofagus17.
6. Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan
tonus LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis
kalsium, agonist beta adrenergic, progesteron1.

2.8.2 Terapi Medikamentosa


Terapi dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obatan yang
tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2)
atau golongan prokinetic, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi
asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa
proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai
dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan
dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau
prokinetik atau bahkan antasid1.
Berikut ini adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi
medikamentosa GERD1:
1. Antasid
Inisiasi terapi tergantung pada frekuensi dan tingkat keparahan gejala.
Pasien yang mengalami gejala GERD sekali dalam seminggu dianjurkan
untuk mencoba obat bebas seperti anti-asam. Obat anti-asam yang paling

19
umum adalah aluminium hidroksida, kalsium karbonat, atau magnesium
trisilikat. Mekanisme anti asam adalah menetralkan pH lambung untuk
menurunkan jumlah asam lambung yang terpapar oleh mukosa esofagus.
Timbulnya kelegaan dalam satu sampai lima menit dan durasi pengaruh
obat biasanya 30 menit sampai 1 jam. Obat bebas lainnya termasuk agen
permukaan seperti Sucralfate. Dapat direkomendasikan untuk digunakan
pada wanita selama kehamilan18.
Kelemahan golongan obat ini adalah rasanya kurang menyenangkan,
dapat menimbulkan diare (mengandung magnesium) serta konstipasi (yang
mengandung alumunium), penggunaannya sangat terbatas pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis : sehari 4 x 1 sendok makan18.

2. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor histamin-2 (H2RA) sangat efektif obat bebas yang
dapat mengendalikan GERD. H2RA bekerja dengan memblokir reseptor H2
pada sel parietal lambung. Ini memiliki onset tindakan yang lebih lambat,
mencapai efek puncaknya dua jam setelah konsumsi. Namun, obat ini bisa
efektif hingga 10 jam. Kemanjuran H2RA tergantung pada tingkat
keparahan esofagitis. Orang yang memiliki esofagitis erosif ringan telah
menunjukkan peningkatan dalam tingkat penyembuhan dengan H2RA tetapi
ada kemanjuran yang terbatas setelah pasien mengalami esofagitis sedang
hingga berat18.
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidin,
famotidin dan nizatidine. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini
efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan
dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus1.
Dosis pemberian :
 Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg
 Ranitidin : 4 x 150 mg
 Famotidin : 2 x 20 mg
 Nizatidin : 2 x 150 mg

20
3. Prokinetik
Baclofen dilaporkan mengurangi relaksasi sfingter esofagus bagian
bawah (LES) sementara, episode refluks, dan untuk mempercepat
pengosongan lambung. Baclofen dapat digunakan untuk pengelolaan
GERD, tetapi bukan sebagai obat pilihan pertama karena efek samping yang
dilaporkan, termasuk gejala dispepsia, kantuk, pusing, kelelahan, dan
penurunan ambang kejang18.
Metoklopramid obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin.
Efektivitasnya rendah dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali dalam
kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton.
Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap susunan
saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor dan diskinesia. Dosis :
3 x 10 mg1.
Domperidon golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamin
dengan efek samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena
tidak melalui sawar darah otak. Golongan obat ini diketahui dapat
meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung. Dosis 3
x 10-20 mg sehari1.
Cisapride sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat
mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus
LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
esofagus lebih baik dibanding domperidon. Dosis 3 x 10 mg sehari1.
Prokinetik (metoclopramide atau domperidone) dapat ditambahkan
sebagai kombinasi terapi GERD apabila PPI belum memberikan respon
optimal3.

4. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)


Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak
memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan
cara meningkatan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl
di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat

21
ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi). Dosis
4 x 1 gram1.

5. Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)


Pengobatan farmakologis yang paling efektif untuk GERD terus
menjadi penghambat pompa proton (PPI). PPI memberikan pengurangan
gejala yang lebih efektif dibandingkan dengan H2RA karena memberikan
durasi penekanan asam yang lebih lama dan memungkinkan penyembuhan
mukosa. Ini adalah terapi lini pertama pada pasien dengan esofagitis berat
(LA grade CD)18.
Pasien biasanya mulai dengan rejimen PPI sekali sehari. Ini ditemukan
sebagai dosis pemeliharaan yang efektif pada pasien dengan refluks non-
erosif pada esofagitis ringan (LA grade AB). Dosis dua kali sehari
diperlukan pada pasien dengan esofagitis yang lebih parah (CD grade LA)
dan pasien obesitas dengan esofagitis AB grade LA. PPI harus dikonsumsi
30-40 menit sebelum makan18.
Dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu1:
 Omeprazole : 2 x 20 mg
 Lansoprazole : 2 x 30 mg
 Pantoprazole : 2 x 40 mg
 Rabeprazole : 2 x 10 mg
 Esomeprazole : 2 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial)
yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy)
selama 4 bulan atau on demand therapy, tergantung dari derajat
esofagitisnya. Efektivitas golongan obat ini semakin bertambah jika
dikombinasi dengan golongan prokinetik1.

22
Gambar 6. Alur Pengobatan pada Pelayanan Kesehatan Sekunder dan
Tersier
(Sumber: Syam AF, Aulia C, et a. Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD)
di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), 2013)

Untuk pengobatan NERD diberikan dosis standar, yaitu1:


 Omeprazole : 1 x 20 mg
 Lansoprazole : 1 x 30 mg
 Pantoprazole : 1 x 40 mg
 Rabeprazole : 1 x 10 mg

23
 Esomeprazole : 1 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama minimal 4 minggu, dilanjutkan
dengan on demand therapy1.

Golongan Obat Mengurangi Penyembuhan Mencegah Mencegah


Gejala Lesi Esofagitis Komplikasi Kekambuhan
Antasid +1 0 0 0
Prokinetik +2 +1 0 +1
Antagonis
+2 +2 +1 +1
reseptor H2
Antagonis
reseptor H2 + +3 +3 +1 +1
Prokinetik
Antagonis
reseptor H2 +3 +3 +2 +2
dosis tinggi
Proton pump
+4 +4 +3 +4
inhibitor (PPI)
Tabel 3. Efektivitas Terapi Obat-Obatan Tersebut di Atas
(Sumber : Makmun D, Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Setiati S, Alwi
I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed.6. Jakarta Pusat : Interna
Publishing, 2014. 1750 p)

2.8.3. Terapi Endoskopi


Endoskopi memainkan peran penting dalam evaluasi dan manajemen
GERD. Meskipun endoskopi tidak diperlukan atau direkomendasikan untuk
evaluasi awal pasien dengan gejala GERD yang khas, dianjurkan ketika pasien
datang dengan gejala alarm atau berisiko tinggi untuk mengembangkan
Barrett’s Esophagus. Gejala alarm termasuk disfagia onset baru pada pasien
yang lebih tua dari 60 tahun, bukti perdarahan gastrointestinal (termasuk
anemia defisiensi besi), anoreksia, penurunan berat badan yang tidak dapat

24
dijelaskan, odynophagia, muntah terus menerus, dan keganasan gastrointestinal
pada kerabat tingkat pertama1.
Pada pasien dengan GERD refrakter atau gejala alarm, tujuan EGD
adalah untuk mengevaluasi komplikasi GERD seperti striktur, erosi,
Esophagus Barrett’s, dan adenokarsinoma esofagus. American College of
Gastroenterology merekomendasikan pasien dengan gejala GERD yang khas
menjalani endoskopi terutama untuk menyingkirkan gangguan esofagus non-
refluks. Banyak pasien akan memiliki temuan normal pada endoskopi bahkan
setelah kegagalan terapi PPI18.
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam konteks
penelitian, akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada
pasien GERD, yaitu18:
 Penggunaan energi radiofrekuensi
 Plikasi gastrik endoluminal
 Implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implan
dibawah mukosa esofagus bagian distal, sehingga lumen esofagus
bagian distal menjadi lebih kecil.

2.8.4 Terapi Bedah


Penatalaksanaan bedah mencakup tindakan pembedahan antirefluks
(fundoplikasi Nissen, perbaikan hiatus hernia, dll) dan pembedahan untuk
mengatasi komplikasi. Pembedahan antirefluks (fundoplikasi Nissen) dapat
disarankan untuk pasien-pasien yang intoleran terhadap terapi pemeliharaan,
atau dengan gejala mengganggu yang menetap (GERD refrakter). Studi-studi
yang ada menunjukkan bahwa, apabila dilakukan dengan baik, efektivitas
pembedahan antirefluks ini setara dengan terapi medikamentosa, namun
memiliki efek samping disfagia, kembung, kesulitan bersendawa dan gangguan
usus pasca pembedahan7.

2.9 Komplikasi

25
Meskipun prognosis untuk pasien dengan GERD baik, dapat mencapai 90%
gejala terkontrol dengan baik dengan pengobatan yang optimal, tetapi dapat
terjadi komplikasi termasuk perdarahan, Barrett’s Esophagus, striktur, ulserasi,
dan keganasan19.
Berdasarkan pedoman American College of Gastroenterology (ACG)
komplikasi pada GERD19:

1. Esophagitis Erosif
Gunakan sistem klasifikasi Los Angeles (LA) untuk menjelaskan
penampilan endoskopi EE. Pasien dengan esofagitis LA Grade A harus
menjalani pengujian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi adanya GERD.
Endoskopi ulang harus dilakukan pada pasien dengan EE berat setelah
perjalanan terapi antisekresi, untuk mengecualikan BE yang mendasari dan
menilai penyembuhan19.
2. Striktur dan Schatzki ring
Terapi PPI berkelanjutan direkomendasikan setelah dilatasi peptikum
untuk memperbaiki disfagia dan mengurangi kebutuhan dilatasi berulang.
Injeksi kortikosteroid intralesi dapat digunakan pada pasien yang refrakter,
kompleks penyempitan akibat GERD. Pengobatan dengan PPI disarankan
setelah pelebaran pada pasien yang memiliki cincin esofagus bagian bawah
(Schatzki)19.
3. Barrett’s Esophagus
Gunakan kriteria Praha untuk menggambarkan tingkat BE.
Pertimbangkan skrining untuk BE pada pasien dengan GERD yang berisiko
tinggi dasar profil epidemiologi mereka (di daerah di mana prevalensi BE
tinggi). Gejala pada pasien dengan BE dapat diperlakukan sama dengan
pasien dengan GERD yang tidak memiliki BE. Pasien yang ditemukan BE
pada endoskopi harus menjalani pemeriksaan berkala pengawasan sesuai
dengan rekomendasi pedoman19.

2.10. Differential Diagnosis

26
 Penyakit ulkus peptikum.
 Keganasan usus bagian atas.
 Functional heartburn - bedakan NERD dan functional heartburn
berdasarkan respons klinis terhadap penekanan asam terapeutik,
pemantauan pH, atau pemantauan pH impedansi.
 Cincin Schatzki, striktur—jaringan esofagus.
 Akalasia pada kardia.
 Gangguan motilitas tubuh esofagus—skleroderma; spasme esofagus
difus.
 Esofagitis eosinofilik.
 Infeksi—Candida, herpes simpleks, dll.
 "Pill Esophaghitis"
 Penyakit jantung—penyakit jantung iskemik, perikardial
 penyakit.
 Divertikulum esofagus.
 Patologi dada lainnya19.

BAB III
KESIMPULAN

27
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau Penyakit Refluks
Gastroesofageal (PRGE) merupakan suatu keadaan terjadi Gerakan retrogard atau
naiknya isi lambung sampai pada esofagus sehingga berakibat mengiritasi mukosa
esofagus. Gejala klinis dari GERD sendiri bervariasi tetapi paling khas ialah rasa
terbakar di bagian dada (heartburn) dan regurgitasi.
Penatalaksaan dari GERD dapat dimulai dari modifasikasi gaya hidup,
medikamentosa hingga terapi bedah. Prognosis GERD, gejala dapat terkontrol
dengan pengobatan yang optimal. Komplikasi dari GERD paling sering ialah
Esofagitis Erosif, Striktur, dan Barrett’s Esophagus.

DAFTAR PUSTAKA

28
1. Makmun D, Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Setiati S, Alwi I, et
al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed.6. Jakarta Pusat : Interna
Publishing, 2014. 1750p.
2. Saputera MD, Budianto W. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal
Reflux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. CDK. 2017;
44(5).
3. B Cahyono JB. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Tatalaksana
Klinis di Bidang Gastro dan Hepatologi. Ed. 2. Yogyakarta : Sagung Seto,
2019. 111p.
4. Fitri Ajjah BF, Mamfaluti T, Imansyah Putra TR. Hubungan Pola Makan
Dengan Terjadinya Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). 2020; 9(3).
5. Tarigan RC, Pratomo B. Gastroesophageal Reflux Risk Factor Analysis at
Saiful Anwar Hospital in Malang. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. Juni
2019; 6(2).
6. Nirwan JS, Hasan SS, et al. Global Prevalance and Risk Factors of Gastro-
oesophageal Reflux Disease (GORD): Systematic Review with Meta-analysis.
Scientific Report-Nature Research. 2020; 10(5814).
7. Syam AF, Aulia C, et a. Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD)
di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), 2013.
8. Mermelstein J, Mermelstein AC, Chait MM. Proton Pump Inhibitor-
Refractory Gastroesophageal Reflux Disease : Challenges and Solutions.
Clin and Exp Gastroenterology, 2018; 1. 119-134 p.
9. Hall JE. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Ed.13.
Philadelphia: Elsevier; 2016. 808-09 p.
10. Tack J, Pandolfino JE. Pathophysology of Gastroesophageal Reflux Disease.
Gastroenterology. 2018; 154(2).
11. Ouda JM, Markar SR, Lagergren J. Gastroesophageal Reflux Disease A
Review. JAMA. 2020; 324(24).
12. Dudek RW. Pathology Esophagus. High-Yield Systems Gastrointestinal Tract
Vol.2. Ed.3. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2009. 107 p.

29
13. Gyawali CP, Kahrilas PJ, et al. Modern Diagnosis of GERD : the Lyon
Consensus. BMJ. 2018; 67. 1351-1362.
14. Clarrett DM, Hachem C. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD).
Missouri Medicine. 2018; 115(3).
15. Gonzalez Ayerbe JI, Hauser B, Salvatore S, Vandenplas Y. Diagnosis and
Management of Gastroesophageal Reflux Disease in Infants and Children:
from Guidelines to Clinical Practice. PGHN. 2019; 22(2). 107-121 p.
16. Ghisa M, Barberio B, et al. The Lyon Consensus: Does It Differ From the
Previous Ones ?. Journal of Neurogastroenterology and Motility. 2020; 26(3).
17. Gyawali CP, Fass R. Management of Gastroesophageal Reflux Disease.
Journal Gastroenterology. 2018; 154(2). 302-318.
18. Roark R, Sydor M, et al. Management of Gastroesophageal Reflux Disease.
2019; 15(49).
19. Hunt R, et al. World Gastroenterology Organisation Global Guidelines
GERD Global Perspective on Gastroesophageal Reflux Disease. J Clin
Gastroenterol. 2017; 51(6).

30

Anda mungkin juga menyukai