OLEH
Iqra Ayudia Syahra
105101101920
PEMBIMBING
dr. H. Zakaria Mustari, Sp.PD
Pembimbing,
Segala puji dan syukur bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang senantiasa
tercurahkan atas segala limpahan rahmat dan nikmat-Nya. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi
Wassallam, karena beliaulah sebagai suritauladan yang membimbing manusia
menuju surga. Alhamdulillah berkat hidayah dan pertolongan-Nya sehingga dapat
menyelesaikan Referat dengan judul “Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)”.
Referat ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Secara khusus penulis menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang mendalam kepada dr. H. Zakaria Mustari, Sp. PD
selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar
dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan
tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna adanya
dan memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak, baik moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan baik. Akhir
kata, penulis berharap agar referat ini dapat memberi manfaat kepada semua
orang.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
2.8 Penatalaksanaan .........................................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) digambarkan sebagai gejala atau
kerusakan mukosa yang dihasilkan oleh refluks abnormal isi lambung melalui
sfingter esofagus bagian bawah ke dalam esofagus. GERD adalah suatu keadaan
patologis akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai
gejala akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran napas . Definisi
GERD menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks
Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013 adalah suatu gangguan berupa isi
lambung mengalami refluks berulang ke dalam esofagus, menyebabkan gejala dan
atau komplikasi yang mengganggu. Sedangkan menurut American College of
Gastroenterology GERD adalah kondisi fisik dimana asam dari lambung mengalir
mundur ke esofagus2.
2.2 Epidemiologi
Prevalensi GERD menurut lokasi geografis dengan menggunakan Revisi
Prospek Populasi Dunia PBB 2017, perkiraan jumlah individu yang menderita
GERD secara global adalah 1,03 miliar. Tinjauan saat ini mengidentifikasi
negara-negara dengan prevalensi GERD tertinggi dan terendah sebagai Turki
(22,40%), dan Cina (4,16%), masing-masing. Disparitas prevalensi GERD antar
sub-region di dalam benua yang sama terutama terlihat di Asia yang memiliki
sub-region dengan prevalensi GERD terendah (Asia Timur) serta prevalensi
GERD tertinggi (Timur Tengah)6.
Prevalensi GERD menurut jenis kelamin didapatkan pada wanita (17,17%)
lebih tinggi daripada laki-laki (15,69%) .Prevalensi GERD menurut kelompok
umur menunjukkan pada kelompok usia 18-34 tahun (8,70%) dan 35-59 tahun
(14,53%). Prevalensi GERD terkait BMI menunjukkan terendah pada mereka
yang memiliki IMT <18,5 (6,64%), sedangkan prevalensi tertinggi terlihat pada
mereka dengan IMT.≥30,0 (22,63%). Prevalensi GERD yang dikumpulkan
menurut penggunaan NSAID/aspirin menunjukkan prevalensi GERD yang secara
2
signifikan lebih besar pada subjek yang menggunakan NSAID/aspirin (24,47%)
dibandingkan dengan mereka yang tidak (17,34%)6.
3
(8,42%) dan mereka yang berpenghasilan tinggi (7,68%). Wilayah domisili juga
berpengaruh signifikan terhadap prevalensi GERD, dikumpulkan pada subjek
yang tinggal di daerah perkotaan adalah yang tertinggi (13,43%) diikuti oleh
subjek yang tinggal di daerah pedesaan (11,70%)6.
4
erosi gigi akibat refluks. Adapun yang diusulkan ialah faringitis, sinusitis,
fibrosis paru idiopatik dan otitis media berulang3.
Klasifikasi GERD secara sederhana ada 2, yaitu adanya gejala refluks yang
mengganggu disertai dengan kerusakan mukosa esofagus pada pemeriksaan
endoskopi disebut (Erosive Esophagitis/ERD) dan adanya gejala refluks yang
mengganggu tanpa disertai kerusakan mukosa esofagus pada pemeriksaan
endoskopi (Non-Erosive Reflux Disease/NERD)3.
GERD refrakter adalah pasien yang tidak berespons terhadap terapi dengan
penghambat pompa proton (Proton Pump Inhibitor/PPI) dua kali sehari selama 4-8
minggu. Pembedaan ini penting oleh karena individu dengan GERD refrakter ini
harus menjalani endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA) untuk mengeksklusi
diagnosis penyakit ulkus peptik atau kanker dan mengidentifikasi adanya
esofagitis7.
Tidak taat terhadap terapi PPI
PPI dimetabolisme terlalu cepat
Penyebab GERD Refrakter Gangguan fungsional esofagus
Refluks non acid / acid lemah
Delayed gastric emptying
Residual acid
Esofagitis eosinofilik
Achalasia
Sindrom Zollinger-Ellison
Penyebab tak terkait GERD Pill-induced esophagitis
Sindrom ruminasi
Kanker esofagus
Penggunan NSAIDs
Ingesti agent caustic
Tabel 1. Penyebab GERD Refrakter
(Sumber : Mermelstein J, Mermelstein AC, Chait MM. Proton Pump Inhibitor-
Refractory Gastroesophageal Reflux Disease : Challenges and Solutions. Clin
and Exp Gastroenterology, 2018; 1. 119-134 p)
5
2.4 Etiopatogenesis
Penyakit reflux gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat
terjadi akibat dari refluks gastroesofageal apabila : 1) terjadi kontak dalam waktu
yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2) terjadi
penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara
bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama, 3) terjadi gangguan
sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung, yang disebabkan oleh adanya
modulasi persepsi neural esofageal baik sentral maupun perifer7.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES).
Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat
terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrogard
yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus
melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3
mmHg)1.
6
(Sumber : Syam AF, Aulia C, et a. Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) di
Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), 2013)
7
peningkatan tekanan intraabdomen akan mendesak esofagus sehingga
kandungan lambung mudah naik9.
Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde
pada saat terjadinya peningkatan tekanan intra abdomen. Faktor-faktor yang
dapat menurunkan tonus LES antara lain : 1) adanya hiatus hernia, 2)
Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), 3) obat-obatan
seperti antikolinergik, beta adrenergic, theofilin, opiate dan lain-lain, 4)
faktor hormonal, selama kehamilan peningkatan kadar progesterone dapat
menurunkan tonus LES1.
Jika tonus LES dalam keadaan normal yang berperan dalam terjadinya
proses refluks adalah transient LES relaxation (TLESR). TLESR adalah
relaksasi singkat sfingter esofagus bawah yang tidak terkait dengan proses
menelan atau peristaltic yang normalnya berlangsung 10-45 detik.
Gangguan pada proses TLESR meningkatkan frekuensi paparan isi lambung
ke esofagus3.
b. Bersihan asam
Bersihan asam dari lumen esofagus. Faktor-faktor yang berperan pada
bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik, ekresi air liur dan
bikarbonat1. Pembersihan asam dimulai dengan peristaltik setelah peristiwa
refluks terjadi, dan dilengkapi dengan buffer tambahan dari saliva yang
tertelan. Saat mengalami gangguan pengosongan esofagus melalui disfungsi
peristaltik dan gangguan fungsi saliva akan menyebabkan kontak antara
bahan refluksat dengan esofagus menjadi lama sehingga besar kemungkinan
terjadinya esofagitis10. Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar
berpotensi menimbulkan kerusakan esofagus karena selama tidur Sebagian
besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif serta tidak adanya gaya
gravitasi saat berbaring2.
8
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki
lapisan mucus yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan
epitel esofagus terdiri dari membran sel, intercellular junction yang
membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan esofagus, aliran darah esofagus
yang menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta mengeluarkan ion H+
dan CO2, sel esofagus mempunyai kemampuan mentransport ion H+ dan
Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler. Mukosa esofagus
yang mengalami kerusakan menyebabkan permukaannya menjadi
hipersensitif terhadap rangsangan nyeri3.
9
empedu dan pankreas dapat berkontribusi pada hubungan antara obesitas dan
GERD11.
Hubungan antara merokok tembakau dan GERD juga didokumentasikan
dengan baik. Sebuah meta analisis dari 30 studi yang membandingkan perokok
dan bukan perokok menunjukkan prevalensi perokok lebih berisiko dibandingkan
bukan perokok. Tembakau dapat memperpanjang waktu pembersihan asam
esofagus dan mengurangi tekanan pada sfingter esofagus bagian bawah. Faktor
risiko ketiga adalah kecenderungan genetik. Dua penelitian besar memperkirakan
bahwa heritabilitas menyumbang 31% hingga 43% dari kecenderungan untuk
mengembangkan GERD dan beberapa penelitian telah mengindikasikan faktor
risiko genetik untuk perkembangan GERD, meskipun tidak ada satu pun risiko
spesifik yang diidentifikasi11.
Infeksi dengan H. pylori GERD dengan menyebabkan atrofi mukosa
lambung, yang dapat menurunkan produksi asam sel parietal. Analisis Ameta dari
27 studi menunjukkan bahwa pemberantasan H.pylori meningkatkan risiko
berkembangnya refluks esofagitis (risiko relatif, 1,46;95%). Konsumsi alkohol
dan faktor diet dapat memicu episode gejala serupa pada individu dengan GERD
yang diketahui, tetapi paparan ini tidak dikaitkan dengan perkembangan GERD6.
Faktor lain yang berhubungan dengan peningkatan risiko GERD adalah
tingkat Pendidikan. Kemungkinan GERD secara signifikan lebih tinggi pada
mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah dibandingkan dengan mereka
yang memiliki tingkat pendidikan sedang atau tinggi. Demikian pula, prevalensi
GERD pada individu dengan pendapatan lebih rendah secara signifikan lebih
besar daripada mereka dengan pendapatan sedang. Tren ini menunjukkan
hubungan antara status sosial ekonomi dan risiko GERD. Penjelasan potensial
untuk tren ini mungkin adalah peningkatan kesadaran akan masalah kesehatan
pada individu yang berpendidikan dibandingkan dengan mereka yang
berpendidikan rendah atau tidak sama sekali. Selain itu, individu dengan tingkat
pendapatan yang lebih tinggi mungkin mampu membeli pilihan pengobatan yang
lebih luas, serta pilihan makanan yang lebih sehat, yang dapat mencegah atau
meringankan gejala GERD. Namun, mereka yang berpendidikan menengah tidak
10
lebih berisiko menderita GERD dibandingkan mereka yang berpendidikan tinggi.
Individu dengan tingkat pendapatan menengah juga tidak lebih berisiko
dibandingkan dengan tingkat pendapatan tinggi6.
2.7 Diagnosis
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American College of
11
Gastroenterology tahun 1995 dan revisi tahun 2013, diagnosis GERD dapat
ditegakkan berdasarkan2:
1. Empirical Therapy
2. Use of Endoscopy
3. Ambulatory Reflux Monitoring
4. Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi preoperasi
untuk eksklusi kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia atau
aperistaltik yang berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya
skleroderma)2.
12
Gambar 4. GERD-Q
(Sumber : Saputera MD, Budianto W. Diagnosis dan Tatalaksana
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan
Primer. CDK. 2017; 44(5))
13
didukung oleh pedoman masyarakat tidak diragukan lagi mengarah pada
diagnosis GERD yang berlebihan dan penggunaan PPI yang berlebihan13.
14
Konsensus Roma IV merekomendasikan biopsi esofagus selama EGD
untuk menyingkirkan esofagitis eosinofilik. Biopsi mungkin juga memiliki
nilai dalam membedakan NERD (dengan pH-metri positif) dari
hipersensitivitas refluks, reflux fungsional dan control. Ketika dinilai
menggunakan protokol histopatologi terstruktur yang mengevaluasi
pemanjangan papiler, hiperplasia sel basal, ruang antar sel yang melebar, sel
inflamasi intraepitel, nekrosis dan erosi, perubahan yang hilang setelah terapi
GERD yang memadai. Namun, temuan histopatologi dapat tumpang tindih
antara kelompok yang diteliti, dan tidak konklusif dari GERD. Identifikasi
ruang antar sel yang melebar pada mikroskop elektron menunjukkan cedera
mukosa dari refluks, tetapi aplikasi klinis terbatas. Penerapan luas pemeriksaan
histopatologi untuk cedera GERD terhalang oleh protokol yang rumit dan
kebutuhan akan ahli patologi esofagus yang berdedikasi13.
15
2.7.6 Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melalukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCL 0,1 M
dalam waktu kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap
monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila
larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien,
sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka Tes ini dianggap
positif. Tes Bernstein yang negatif tidak menyingkirkan adanya nyeri yang
berasal dari esofagus1.
16
Pengukuran pH esofagus atau pH gabungan dan pemantauan impedansi
intraluminal (MII-pH), adalah teknik berbasis kateter yang paling berguna
untuk menilai GERD . Secara khusus, MII-pH memiliki keuntungan untuk
mengukur semua jenis refluks fisik (cair, gas, atau campuran) dan kimia (asam,
asam lemah, dan basa lemah) terlepas dari nilai pH. Perangkat lain yang hanya
mengukur pH, seperti Bravo (yaitu, sistem nirkabel yang merekam hingga 96
jam) dapat meningkatkan hasil diagnostik pada beberapa pasien dengan
menganalisis data yang diperoleh setelah 24 jam pertama, tetapi lebih mahal
dan tidak tersedia secara luas16.
Metrik utama pemantauan refluks adalah waktu paparan asam (AET) dan
jumlah episode refluks (NRE). AET mewakili parameter yang paling dapat
direproduksi dan memprediksi respons yang baik terhadap terapi medis dan
bedah. Ini adalah metrik berkelanjutan, yang secara proporsional berkorelasi
dengan tingkat keparahan refluks. Konsensus Lyon menetapkan nilai batas
AET <4% sebagai normal definitif dan> 6% sebagai patologis. Di antara
metrik impedansi, NRE, termasuk refluks asam, asam lemah, dan basa lemah,
dianggap normal bila kurang dari 40 selama 24 jam dan abnormal bila lebih
dari 80 selama 24 jam. Nilai antara AET dan NRE tidak meyakinkan untuk
diagnosis GERD, jika dianggap sendiri. NRE abnormal adalah metrik yang
berguna sebagian besar di borderline AET, meskipun tidak cukup dengan
sendirinya untuk memprediksi respons terhadap terapi medis dan untuk
mendukung operasi anti-refluks (ARS)16.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi
endoskopik. Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas
hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi1.
17
Gambar 5. Alur Pengobatan GERD pada Pusat Pelayanan Kesehatan Primer
( Sumber : Syam AF, Aulia C, et a. Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) di
Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), 2013)
2.8.1 Non-Medikamentosa
Modifikasi gaya hidup, merupakan pengaturan pola hidup yang dapat
dilakukan dengan2:
1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat
badan sesuai dengan IMT ideal
2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat
posisi berbaring
3. Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur
18
4. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat,
minuman mengandung kafein, minuman bersoda dan makanan berlemak
- asam – pedas
5. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol, meskipun perokok
memiliki lebih banyak gejala tetapi tidak ada bukti bahwa berhenti
merokok secara konsisten mengurangi gejala GERD. Demikian pula,
penggunaan alkohol dapat menyebabkan reaksi gejala refluks,tetapi
pantang alkohol tidak menurunkan gejala refluks. Meskipun kurangnya
bukti konklusif, ada manfaat kesehatan untuk penghentian merokok dan
penggunaan alkohol, terutama dalam mengurangi perkembangan
neoplastik Barrett’s Esophagus dan risiko adenokarsinoma esofagus17.
6. Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan
tonus LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis
kalsium, agonist beta adrenergic, progesteron1.
19
umum adalah aluminium hidroksida, kalsium karbonat, atau magnesium
trisilikat. Mekanisme anti asam adalah menetralkan pH lambung untuk
menurunkan jumlah asam lambung yang terpapar oleh mukosa esofagus.
Timbulnya kelegaan dalam satu sampai lima menit dan durasi pengaruh
obat biasanya 30 menit sampai 1 jam. Obat bebas lainnya termasuk agen
permukaan seperti Sucralfate. Dapat direkomendasikan untuk digunakan
pada wanita selama kehamilan18.
Kelemahan golongan obat ini adalah rasanya kurang menyenangkan,
dapat menimbulkan diare (mengandung magnesium) serta konstipasi (yang
mengandung alumunium), penggunaannya sangat terbatas pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis : sehari 4 x 1 sendok makan18.
2. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor histamin-2 (H2RA) sangat efektif obat bebas yang
dapat mengendalikan GERD. H2RA bekerja dengan memblokir reseptor H2
pada sel parietal lambung. Ini memiliki onset tindakan yang lebih lambat,
mencapai efek puncaknya dua jam setelah konsumsi. Namun, obat ini bisa
efektif hingga 10 jam. Kemanjuran H2RA tergantung pada tingkat
keparahan esofagitis. Orang yang memiliki esofagitis erosif ringan telah
menunjukkan peningkatan dalam tingkat penyembuhan dengan H2RA tetapi
ada kemanjuran yang terbatas setelah pasien mengalami esofagitis sedang
hingga berat18.
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidin,
famotidin dan nizatidine. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini
efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan
dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus1.
Dosis pemberian :
Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg
Ranitidin : 4 x 150 mg
Famotidin : 2 x 20 mg
Nizatidin : 2 x 150 mg
20
3. Prokinetik
Baclofen dilaporkan mengurangi relaksasi sfingter esofagus bagian
bawah (LES) sementara, episode refluks, dan untuk mempercepat
pengosongan lambung. Baclofen dapat digunakan untuk pengelolaan
GERD, tetapi bukan sebagai obat pilihan pertama karena efek samping yang
dilaporkan, termasuk gejala dispepsia, kantuk, pusing, kelelahan, dan
penurunan ambang kejang18.
Metoklopramid obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin.
Efektivitasnya rendah dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali dalam
kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton.
Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap susunan
saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor dan diskinesia. Dosis :
3 x 10 mg1.
Domperidon golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamin
dengan efek samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena
tidak melalui sawar darah otak. Golongan obat ini diketahui dapat
meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung. Dosis 3
x 10-20 mg sehari1.
Cisapride sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat
mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus
LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
esofagus lebih baik dibanding domperidon. Dosis 3 x 10 mg sehari1.
Prokinetik (metoclopramide atau domperidone) dapat ditambahkan
sebagai kombinasi terapi GERD apabila PPI belum memberikan respon
optimal3.
21
ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi). Dosis
4 x 1 gram1.
22
Gambar 6. Alur Pengobatan pada Pelayanan Kesehatan Sekunder dan
Tersier
(Sumber: Syam AF, Aulia C, et a. Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD)
di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), 2013)
23
Esomeprazole : 1 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama minimal 4 minggu, dilanjutkan
dengan on demand therapy1.
24
dijelaskan, odynophagia, muntah terus menerus, dan keganasan gastrointestinal
pada kerabat tingkat pertama1.
Pada pasien dengan GERD refrakter atau gejala alarm, tujuan EGD
adalah untuk mengevaluasi komplikasi GERD seperti striktur, erosi,
Esophagus Barrett’s, dan adenokarsinoma esofagus. American College of
Gastroenterology merekomendasikan pasien dengan gejala GERD yang khas
menjalani endoskopi terutama untuk menyingkirkan gangguan esofagus non-
refluks. Banyak pasien akan memiliki temuan normal pada endoskopi bahkan
setelah kegagalan terapi PPI18.
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam konteks
penelitian, akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada
pasien GERD, yaitu18:
Penggunaan energi radiofrekuensi
Plikasi gastrik endoluminal
Implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implan
dibawah mukosa esofagus bagian distal, sehingga lumen esofagus
bagian distal menjadi lebih kecil.
2.9 Komplikasi
25
Meskipun prognosis untuk pasien dengan GERD baik, dapat mencapai 90%
gejala terkontrol dengan baik dengan pengobatan yang optimal, tetapi dapat
terjadi komplikasi termasuk perdarahan, Barrett’s Esophagus, striktur, ulserasi,
dan keganasan19.
Berdasarkan pedoman American College of Gastroenterology (ACG)
komplikasi pada GERD19:
1. Esophagitis Erosif
Gunakan sistem klasifikasi Los Angeles (LA) untuk menjelaskan
penampilan endoskopi EE. Pasien dengan esofagitis LA Grade A harus
menjalani pengujian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi adanya GERD.
Endoskopi ulang harus dilakukan pada pasien dengan EE berat setelah
perjalanan terapi antisekresi, untuk mengecualikan BE yang mendasari dan
menilai penyembuhan19.
2. Striktur dan Schatzki ring
Terapi PPI berkelanjutan direkomendasikan setelah dilatasi peptikum
untuk memperbaiki disfagia dan mengurangi kebutuhan dilatasi berulang.
Injeksi kortikosteroid intralesi dapat digunakan pada pasien yang refrakter,
kompleks penyempitan akibat GERD. Pengobatan dengan PPI disarankan
setelah pelebaran pada pasien yang memiliki cincin esofagus bagian bawah
(Schatzki)19.
3. Barrett’s Esophagus
Gunakan kriteria Praha untuk menggambarkan tingkat BE.
Pertimbangkan skrining untuk BE pada pasien dengan GERD yang berisiko
tinggi dasar profil epidemiologi mereka (di daerah di mana prevalensi BE
tinggi). Gejala pada pasien dengan BE dapat diperlakukan sama dengan
pasien dengan GERD yang tidak memiliki BE. Pasien yang ditemukan BE
pada endoskopi harus menjalani pemeriksaan berkala pengawasan sesuai
dengan rekomendasi pedoman19.
26
Penyakit ulkus peptikum.
Keganasan usus bagian atas.
Functional heartburn - bedakan NERD dan functional heartburn
berdasarkan respons klinis terhadap penekanan asam terapeutik,
pemantauan pH, atau pemantauan pH impedansi.
Cincin Schatzki, striktur—jaringan esofagus.
Akalasia pada kardia.
Gangguan motilitas tubuh esofagus—skleroderma; spasme esofagus
difus.
Esofagitis eosinofilik.
Infeksi—Candida, herpes simpleks, dll.
"Pill Esophaghitis"
Penyakit jantung—penyakit jantung iskemik, perikardial
penyakit.
Divertikulum esofagus.
Patologi dada lainnya19.
BAB III
KESIMPULAN
27
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau Penyakit Refluks
Gastroesofageal (PRGE) merupakan suatu keadaan terjadi Gerakan retrogard atau
naiknya isi lambung sampai pada esofagus sehingga berakibat mengiritasi mukosa
esofagus. Gejala klinis dari GERD sendiri bervariasi tetapi paling khas ialah rasa
terbakar di bagian dada (heartburn) dan regurgitasi.
Penatalaksaan dari GERD dapat dimulai dari modifasikasi gaya hidup,
medikamentosa hingga terapi bedah. Prognosis GERD, gejala dapat terkontrol
dengan pengobatan yang optimal. Komplikasi dari GERD paling sering ialah
Esofagitis Erosif, Striktur, dan Barrett’s Esophagus.
DAFTAR PUSTAKA
28
1. Makmun D, Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Setiati S, Alwi I, et
al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed.6. Jakarta Pusat : Interna
Publishing, 2014. 1750p.
2. Saputera MD, Budianto W. Diagnosis dan Tatalaksana Gastroesophageal
Reflux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. CDK. 2017;
44(5).
3. B Cahyono JB. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Tatalaksana
Klinis di Bidang Gastro dan Hepatologi. Ed. 2. Yogyakarta : Sagung Seto,
2019. 111p.
4. Fitri Ajjah BF, Mamfaluti T, Imansyah Putra TR. Hubungan Pola Makan
Dengan Terjadinya Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). 2020; 9(3).
5. Tarigan RC, Pratomo B. Gastroesophageal Reflux Risk Factor Analysis at
Saiful Anwar Hospital in Malang. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. Juni
2019; 6(2).
6. Nirwan JS, Hasan SS, et al. Global Prevalance and Risk Factors of Gastro-
oesophageal Reflux Disease (GORD): Systematic Review with Meta-analysis.
Scientific Report-Nature Research. 2020; 10(5814).
7. Syam AF, Aulia C, et a. Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD)
di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), 2013.
8. Mermelstein J, Mermelstein AC, Chait MM. Proton Pump Inhibitor-
Refractory Gastroesophageal Reflux Disease : Challenges and Solutions.
Clin and Exp Gastroenterology, 2018; 1. 119-134 p.
9. Hall JE. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Ed.13.
Philadelphia: Elsevier; 2016. 808-09 p.
10. Tack J, Pandolfino JE. Pathophysology of Gastroesophageal Reflux Disease.
Gastroenterology. 2018; 154(2).
11. Ouda JM, Markar SR, Lagergren J. Gastroesophageal Reflux Disease A
Review. JAMA. 2020; 324(24).
12. Dudek RW. Pathology Esophagus. High-Yield Systems Gastrointestinal Tract
Vol.2. Ed.3. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2009. 107 p.
29
13. Gyawali CP, Kahrilas PJ, et al. Modern Diagnosis of GERD : the Lyon
Consensus. BMJ. 2018; 67. 1351-1362.
14. Clarrett DM, Hachem C. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD).
Missouri Medicine. 2018; 115(3).
15. Gonzalez Ayerbe JI, Hauser B, Salvatore S, Vandenplas Y. Diagnosis and
Management of Gastroesophageal Reflux Disease in Infants and Children:
from Guidelines to Clinical Practice. PGHN. 2019; 22(2). 107-121 p.
16. Ghisa M, Barberio B, et al. The Lyon Consensus: Does It Differ From the
Previous Ones ?. Journal of Neurogastroenterology and Motility. 2020; 26(3).
17. Gyawali CP, Fass R. Management of Gastroesophageal Reflux Disease.
Journal Gastroenterology. 2018; 154(2). 302-318.
18. Roark R, Sydor M, et al. Management of Gastroesophageal Reflux Disease.
2019; 15(49).
19. Hunt R, et al. World Gastroenterology Organisation Global Guidelines
GERD Global Perspective on Gastroesophageal Reflux Disease. J Clin
Gastroenterol. 2017; 51(6).
30