Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

DEEP VEIN THROMBOSIS

Oleh:

Devin Septia Bramanda

41191396100016

Pembimbing:

dr. Mursid Fadli, Sp.B(K)V

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI


FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020

LEMBAR PERSETUJUAN
Referat DEEP VEIN THROMBOSIS

Referat dengan judul “Deep Vein Thrombosis” telah diperiksa dan


disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Bedah di RSUP Fatmawati

Jakarta, Juni 2020


Pembimbing

dr. Mursid Fadli, Sp.B(K)V

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan
nikmat islam, iman, dan ikhsan sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
“DEEP VEIN THROMBOSIS” ini dengan baik. Shalawat serta salam kita
curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita ke
zaman yang terang benderang ini. Makalah referat ini dibuat dalam rangka untuk
memperdalam pemahaman kasus mengeani deep vein thrombosis dibagian ilmu
bedah.

Pembahasan makalah ini disusun sebagai salah satu tugas dalam


pelaksanaan kepaniteraan klinik bagian Ilmu Bedah RSUP Fatmawati periode 2 Ju
ni – 26 Juni 2020.

Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Mursid Fadli, Sp.B(K)V yang
telah memberi kesempatan dan waktunya untuk menjadi pembimbing dalam
menyelesaikan referat ini, serta rekan- rekan mahasiswa yang telah memberi
banyak masukan untuk makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik.

Saya menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat


kekurangan, oleh karena itu diharapkan segala kritik dan saran yang membangun
untuk penyempurnaan makalah ini.

Demikian, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat
membuka wawasan serta ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang bedah.

Wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, Juni 2020

Devin Septia Bramanda

3
DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan ………………….………….. 2


Kata Pengantar ………………….………….. 3
Daftar Isi ………………….………….. 4
BAB I PENDAHULUAN ………………….………….. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Vena Ekstremitas ………………….………….. 6
2.2. Fisiologi Pembekuan Darah ………………….………….. 9
2.3. Histologi Pembuluh Darah ………………….………….. 14
2.4. Trombosis Vena Dalam …………………………… 16
2.4.1. Definisi ………………….………….. 16
2.4.2. Epidemiologi ………………….………….. 16
2.4.3. Faktor Risiko …………………………….. 16
2.4.4. Patogenesis …………………………….. 19
2.4.5. Manifestasi Klinis ……………………………. 22
2.4.6. Diagnosis …………………………….. 24
2.4.7. Tatalaksana …………………………….. 28
2.4.8. Komplikasi ……………………………. 32
2.4.9. Pencegahan …………………………….. 34
2.4.10. Prognosis …………………………….. 34

BAB III KESIMPULAN ………………….………….. 35


DAFTAR PUSTAKA ………………….………….. 36

4
BAB I

PENDAHULUAN

Trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT) adalah


pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh
reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena. 1 Deep vein
thrombosis (DVT) merupakan bekuan darah di vena dalam yang sebagian besar
tersusun atas fibrin, sel darah merah, serta sebagian kecil komponen leukosit dan
trombosit.2
DVT merupakan kelainan kardiovaskuler ketiga tersering setelah penyakit
koroner arteri dan stroke. Angka kejadian DVT mendekati 1 per 1000 populasi
setiap tahun.2 Angka kejadian DVT meningkat sesuai umur, sekitar 1 per 10.000 –
20.000 populasi pada umur di bawah 15 tahun hingga 1 per 1000 populasi pada
usia di atas 70 tahun.3
Trombus pada sistem vena dalam sebenarnya tidak berbahaya, namun
dapat menjadi berbahaya bahkan dapat menimbulkan kematian jika sebagian
trombus terlepas, kemudian mengikuti aliran darah dan menyumbat arteri di
dalam paru (emboli paru).4 Adanya kelainan aliran darah dan kerusakan pembuluh
darah merupakan risiko terjadinya trombus vena dalam.5 Selain itu terdapat
beberapa faktor risiko terjadinya DVT yaitu seperti usia, riwayat imobilitas lama,
trauma, tindakan operatif, infark miokard, hiperkoagubilitas, obesitas, kehamilan,
obat – obatan (hormonal), dan keganasan.2

Manifestasi yang timbul pada pasien DVT tidak selalu simtomatik. Pada
umumnya pasien mengeluh adanya nyeri pada tungkai, pembengkakan, dan
adanya perubahan warna kulit.2 Dalam penegakkan diagnosis DVT harus
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis DVT pun beragam, berupa invasif
maupun non invasif.2

Tatalaksana dari thrombosis vena dalam bertujuan untuk menghentikkan


bertambahnya thrombus, membatasi bengkak tungkai yang progresif, melisiskan
bekuan darah, dan mencegah terjadinya emboli.2 Terdapat beberapa pilihan
tatalaksana untuk DVT.6
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI VENA EKSTREMITAS

Aliran darah balik ke jantung dimulai dari venula-venula. Venula


mengalirkan darah dari kapiler ke vena.7 Venula yang menerima darah dari kapiler
disebut venula pasca kapiler.7 Venula kira-kira berdiameter 10 – 50 μm dan
memiliki taut interseluler yang renggang.7 Venula berfungsi sebagai tempat
pertukaran nutrisi dan sisa metabolisme serta emigrasi dari sel darah putih.7
Venula akan terus berjalan dan mendapatkan 1-2 lapis sel otot polos, venula ini
disebut sebagai venula muskular.7 Venula muskular memiliki dinding pembuluh
darah yang lebih tebal sehingga pertukaran cairan interstitial tidak terjadi di sini.7

Dinding vena cenderung tipis namun diameter vena 10 kali lebih besar
dibandingkan dengan tebalnya. Ukuran vena pun berbeda-beda mulai dari 0.5 mm
hingga 3 cm yang merupakan vena cava. 7 Vena memiliki lapisan yang sama
seperti arteri, namun tunika interna vena relatif lebih tipis dibandingkan dengan
tunika interna arteri.7 Pada tunika media vena otot polos dan serat elastin relatif
lebih sedikit dibandingkan dengan arteri.7 Tunika eskterna vena merupakan
lapisan paling tebal dan terdiri daei selat elastin dan kolagen. 7 Lumen vena lebih
besar dibandingkan dengan arteri dan cenderung mudah kolaps ketika diseksi.7

Faktor utama aliran vena kembali ke jantung adalah pompa jantung. Selain
pompa jantung, kontraksi otot lurik pada ekstremitas bawah juga akan membantu
aliran balik vena ke jantung. 7 Vena-vena juga terutama pada ekstremitas memiliki
katup yang terbentuk dari tunika interna. 7 Katup ini berfungsi untuk mencegah
darah di aliran vena turun.7

6
Gambar 1. Katup vena

Vena berjalan bersama dengan arteri, namun beberapa vena berpasangan


dan berjalan bersama arteri otot, vena-vena ini disebut vena comitans. 7 Vena yang
berpasangan ini saling berhubungan melalui vena anastomosis.7 Vena
anastomosis berjalan menyebrangi arteri dan membentuk anak tangga yang
menghubunkan vena-vena yang menemani jalannya arteri. Vena-vena yang
memiliki anastomosis paling banyak ditemukan pada tungkai. 7 Vena-vena
berpasangan tersebut yang berjalan di antara otot-otot skeletal disebut sebagai
vena dalam.7 Vena-vena dalam ini akan menerima anastomosis dari vena
superfisial.7 Vena superfisial adalah vena yang berjalan di lapisan subkutaneus.7
Pada ekstremitas atas, vena superfisial jauh lebih besar dibandingkan vena dalam
dan berperan sebagai aliran utama darah kapiler kembali ke jantung. 7 Pada
ekstremitas bawah, vena dalam memiliki fungsi utama mengembalikan aliran dara
kembali ke jantung, vena anastomosis yang menghubungkan vena superfisial ke
vena dalam memilki katup satu arah yang mencegah aliran darah kembali ke vena
superfisial.7

Selain pompa jantung, pompa otot, dan katup pada pembuluh darah vena,
faktor lain yang memengaruhi aliran balik vena adalah pompa respirasi. 7 Saat
inhalasi, diafragma akan bergerak ke bahwa sehingga menyebabkan tekanan
intratoraks berkurang dan meningkatkan tekanan dalam rongga abdomen. 7
7
Akibatnya, vena abdomen terkompresi dan volume darah yang lebih besar
bergerak dari vena abdomen yang terkompresi ke vena toraks yang terkompresi
dan ke atrium kanan.7

Pada ekstremitas atas, vena superfisial dimulai dari vena digitalis dorsalis
berjalan di sisi jari-jari dan saling terhubung melalui cabang-cabang oblika. 7
Vena-vena ini bergabung dengan vena yang berasal dari jari terdekatnya dan
bersatu menjadi 3 vena metakarpal dorsalis.7 Dari lateral, vena metakarpal dorsalis
tersebut akan bergabung dengan vena digitalis dorsalis yang berasal dari sisi radial
jari telunjuk dan vena digitalis dorsalis dari ibu jari. 7 Vena metakarpal dorsalis
yang bergabung dengan vena digitalis dorsalis ini akan berlanjut sebagai vena
sefalika yang terbentuk dari area snuff box.7 Dari medial, vena metakarpal dorsalis
akan bergabung dengan vena digitalis dorsalis dari minimus dan membentuk vena
basilika.7 Vena dalam pada tangan menemani arterinya sebagai vena komutans,
dimulai dari arkus venosus palmaris profunda dan superfisial. 7 Arkus vena
superfisialis palmaris mendapatkan aliran dari vena digitalis palmaris, dan arkus
profunda mendapatkan aliran dari vena metakarpalis palmaris.7

Gambar 2. Aliran darah vena ekstremitas atas

8
Pada ekstremitas bawah, aliran balik vena dimulai dari pleksus pada regio
plantar kaki yang membentuk vena digitalis plantaris, vena ini akan bergabung
dengan vena digitalis dorsalis dan menjadi 4 vena metatarsal plantaris.7 Vena
tersebut akan berlanjut membentuk arkus venosus plantaris profunda yang
berjalan bersama dengan arkus arteri plantaris.7 Arkus venosus ini akan
berggabung dengan vena plantaris medial dan lateral. 7 Setelah itu, mereka akan
bergabung pula dengan vena superfisial pada kaki yaitu vena saphena magna dan
parva dan membentuk vena tibialis posterior yang terletak pada maleolus medial. 7
Vena saphena parva dimulai sebagai lanjutan dari vena marginalis lateralis lalu
berjalan naik melewati gastrocnemius dan bergabung menjadi vena popliteal. 7
Vena saphena magna merupakan vena superfisialis terpanjang yang ada dalam
tubuh.7 Dimulai sebagai vena marginalis medialis berjalan melalui maleolus
medial dan akan berkahir ke vena femoralis.7

Gambar 3. Aliran balik vena ekstremitas bawah

2.2. FISIOLOGI PEMBEKUAN DARAH

Pembekuan darah yang normal bergantung pada keseimbangan antara


berbagai komponen darah. Komponen yang berperan di dalam pembekuan darah
9
antara lain yaitu sistem koagulasi, meliputi pembentukan fibrin sebagai produk
akhir dari kaskade pembekuan darah, mekanisme antikoagulasi dan fibrinolitik;
trombosit merupakan bagian pokok dari pembentukan trombus; dan endotel
pembuluh darah yang bukan hanya berperan sebagai pembatas statis namun juga
berperan dalam menghambat trombosit, menekan koagulasi dan mendorong
fibrinolisis.8,9

1. Fisiologi Sistem Koagulasi

Pembekuan darah diawali dengan adanya kerusakan dari dinding


pembuluh darah dan disintegrasi endotel.8 Terdapat dua jalur pembekuan darah
yaitu jalur utama atau ekstrinsik, yang terdiri dari kompleks intrinsik dan ektrinsik
tenase serta kompleks prothrombinase. Kemudian jalur tambahan atau intrinsik
(kontak) yang terdiri dari faktor XII–high-molecular-weight kininogen (HMWK)
– komplek prekallikrein10

a. Jalur Ekstrinsik

Koagulasi terjadi karena adanya aktivasi dari kompleks enzim dan


kofaktor nonenzim serta membran fosfolipid anionik. Komplek enzim tersebut
merupakan faktor VII, IX, X, dan Vitamin K. 11

 Ekstrinsik Tenase
Ekstrinsik tenase merupakan suatu kompleks yang terbentuk akibat
terpaparnya faktor jaringan ke darah.9 Kerusakan dinding pembuluh darah akan
merangsang pelepasan faktor jaringan, yaitu suatu protein membran sel dari sel
yang rusak sehingga akan mengaktivasi jalur ekstrinsik dari kaskade pembekuan
darah. Faktor jaringan yang diekspresikan dari berbagai sel subendotelial
diantaranya sel otot polos pembuluh darah, perisit dan fibroblas.8
Faktor jaringan berfungsi sebagai reseptor untuk faktor VIIa. Darah
mengandung banyak faktor VIIa yang tidak aktif akibat tidak adanya faktor
jaringan. Dengan terpaparnya faktor jaringan ke membran sel anionik nantinya
akan menyebabkan adanya ikatan dengan faktor VIIa yang akan membentuk
ekstrinsik tenase, yang merupakan aktivator potensial dari faktor IX dan X.

10
Setelah teraktivasi, faktor IXa dan faktor Xa akan menjadi komponen enzim dari
intrinsik tenase dan prothrombinase.8,9,10

 Intrinsik Tenase
Faktor IXa berikatan dengan Faktor VIIa pada permukaan sel anionik
yang akan membentuk komplek intrinsik. Faktor VIII yang beredar di darah
dalam bentuk ikatan dengan faktor von Willebrand (vWF). Trombin membelah
faktor VIII dan melepaskannya dari vWF, sehingga berubah menjadi bentuk aktif.
Trombosit yang teraktivasi akan mengekspresikan reseptor untuk faktor VIIIa8,9.
Faktor VIIIa akan mengikat faktor IXa pada gugus terkait kalsium
kemudian akan membentuk kompleks intrinsik kinase, yang selanjutnya
mengaktifkan faktor X. Perubahan efisiensi katalisasi dari faktor XIa dimediasi
oleh aktivasi faktor X. Intrinsik tenase mengaktivasi faktor X 50-100 kali lebih
cepat dari ekstrinsik tenase sehingga peranan intrinsik tenase dalam aktivasi faktor
Xa yang selanjutnya berperan dalam pembentukan trombin9

 Prothrombinase
Faktor Xa berikatan dengan faktor Va, dimana keduanya akan menjadi
kofaktor, pada permukaan membran fosfolipid anionik untuk membentuk
kompleks protrombinase. Protrombin berikatan dengan kompleks protrombinase,
yang kemudian akan membentuk trombin10

11
Gambar 4. Sistem Koagulasi Jalur Ekstrinsik

b. Jalur Intrinsik

Koagulasi secara alternatif dapat diaktivasi melalui jalur intrinsik, yang


meliputi faktor XII, prekallikrein, dan HWMK.9 Jalur ini memerlukan aktivasi
faktor XI menjadi XIa, yang kemudian mengubah faktor IX menjadi IXa,
mendorong pembentukan komplek Xase dan selanjutnya membentuk trombin8

12
Gambar 5. Kaskade pembekuan darah

2. Trombosit

Trombosit adalah partikel tanpa inti sel yang dilepaskan ke sirkulasi


setelah mengalami fragmentasi megakariosit pada sumsum tulang. Kerusakan
pembuluh darah menyebabkan terpaparnya matriks subendotelial pada aliran
darah, menyebabkan trombosit akan menuju pada lokasi pembuluh yang rusak
dan menempel pada matriks protein.9,11
Tahapan aktivasi trombosit secara umum terbagi menjadi tiga tahap:
adhesi pada permukaan kolagen, pembentukan trombus, dan stabilisasi agregat
trombosit. Trombosit kemudian mengalami aktivasi dan kemudian tidak hanya
melepaskan zat yang menarik trombosit tambahan ke lokasi yang mengalami
jejas, tapi juga mendorong pembentukan thrombin dan pembentukan fibrin. 9

13
Gambar 6. Respons trombosit terhadap kerusakan
pembuluh darah

3. Endotel Pembuluh Darah

Endotel pembuluh darah adalah suatu lapisan yang terdiri dari sel-sel
endotelial, yang berada pada tunika intima pembuluh darah dan memisahkan
darah dari komponen protrombotik subendotel. Endotel bukan hanya berfungsi
sebagai penghalang statis, endotel pembuluh darah pada kondisi normal adalah
organ yang dinamis, dimana memliki kemampuan untuk mengekspresikan
14
prokoagulan, dan antikoagulan, vasokonstriktor dan vasodilator, dan merupakan
kunci adhesi molekul dan sitokin.8,12

Pada kondisi normal, endotel pembuluh darah menjaga vasodilatasi dan


kondisi fibrinolitik lokal sehingga terjadi penekanan koagulasi, adhesi dan
aktivasi trombosit, dan juga inflamasi serta aktivasi leukosit.12

Gambar 7. Kondisi protrombotik dan antitrombotik pada


endotelium

2.3. HISTOLOGI PEMBULUH DARAH

Dinding pembuluh darah memiliki 3 lapisan disebut sebagai tunika.


Tunika interna/intima terdiri dari sel epitel, tunika media terdiri dari sel otot polos,
dan tunika eksterna terdiri dari jaringan ikat elastik. 13 Perbedaan berdasarkan tebal
lapisan tiap-tiap lapisan ini membagi pembuluh darah menjadi lima kategori yaitu
arteri, arteriol, kapiler, venula, dan vena.13

Tunika interna/intima membentuk lapisan dalam dari pembuluh darah


sehingga aliran darah dapat mengalir melalui lumen yang terbentuk dari epitel-
epitel tunika interna.13 Epitel yang membentuk lapisan ini terdiri dari epitel
15
skuamosa, disebut sebagai endotelium. Endotelium ini akan terus berjalan hingga
ke jantung.13 Di bawah lapisan epitel ini terdapat membran basalis yang
menyediakan dasar untuk sel epitel dengan kekuatan tensilnya dan mengaitkan
endotel ke jaringan ikat di bawahnya. 13 Membran basalis terdiri dari serat-serat
kolagen. Lapisan terluar tunika interna adalah lamina elastika interna yang terdiri
dari serat elastin dengan beberapa celah yang memfasilitasi zat berdifusi melalui
celah ini.13

Gambar 8. Histologi pembuluh darah

Tunika media merupakan lapisan muskular dan jaringan ikat yang


membedakan tiap-tiap jenis pembuluh darah.13 Sel otot polos pada lapisan ini
berfungsi sebagai pengatur diameter lumen pembuluh darah.13 Diameter lumen
pembuluh darah ini berperan penting terhadap tekanan darah.13 Selain mengatur
tekanan darah, ketika terjadi kerusakan pembuluh darah, sel otot polos ini akan
berkontraksi sehingga mengurangi kehilangan darah akibat kerusakan tersebut. 13
Serat-serat elastin diantara tunika media membantu pembuluh darah untuk
meregang dan kembali ke bentuk semula.13

Tunika eksterna terdiri dari serat elastin dan kolagen. Di antara tunika eksterna
dan media terdapat lamina elastika eksterna. 13 Tunika eksterna mengandung saraf

16
dan pembuluh darah kecil yang memperdarahi dinding pembuluh darah.
Pembuluh darah kecil ini disebut vasa vasorum. Tunika eksterna memiliki fungsi
memfiksasi pembuluh darah ke jaringan ikat sekitarnya.13

2.4. DEEP VEIN THROMBOSIS

2.4.1. Definisi

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada


lumen vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding
pembuluh darah dan jaringan perivena.1 Deep vein thrombosis (DVT) merupakan
bekuan darah di vena dalam yang sebagian besar tersusun atas fibrin, sel darah
merah, serta sebagian kecil komponen leukosit dan trombosit.2

DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas


dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan trias Virchow. 4
Umumnya terjadi pada tungkai bawah, seperti betis dan tungkai.2

2.4.2. Epidemiologi
DVT merupakan kelainan kardiovaskuler ketiga tersering setelah penyakit
koroner arteri dan stroke. Angka kejadian DVT mendekati 1 per 1000 populasi
setiap tahun.4 Angka kejadian DVT meningkat sesuai umur, sekitar 1 per 10.000 –
20.000 populasi pada umur di bawah 15 tahun hingga 1 per 1000 populasi pada

usia di atas 70 tahun.4 Insidens DVT pada ras Asia dan Hispanik dilaporkan lebih
rendah dibandingkan pada ras Kaukasia, Afrika-Amerika Latin, dan Asia Pasifik.
Tidak ada perbedaan insidens yang signifikan antara pria dan wanita.3, 4

2.4.3. Faktor Risiko

Adanya kelainan aliran darah dan kerusakan pembuluh dara merupakan risiko
terjadinya trombus vena dalam.5
 Usia
Pasien berusia diatas 49 tahun memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan
dengan usia lebih muda, dan diperkirakan risiko meningkat dua kali lipat tiap
dekade.14
17
Faktor yang menyebabkan hal tersebut yaitu seperti penurunan mobilitas,
paparan penyakit berulang, resistensi endotel pembuluh darah menurun, dan kadar
protein prokoagulan meningkat seiring usia.8 Konsentrasi faktor koagualan plasma
meningkat seiring dengan penuaan. Gangguan aktivitas fibrinolitik juga terjadi
pada proses penuaan. Dimana terjadi peningkatan kadar PAI-1.15

 Imobilitas lama

Duduk dalam waktu yang terlalu lama, seperti saat mengemudi atau sedang naik
pesawat terbang. Ketika kaki kita berada dalam posisi diam untuk waktu yang
cukup lama, otot- otot kaki kita tidak berkontraksi sehingga mekanisme pompa
otot tidak berjalan dengan baik. Bed Rest dalam keadaan lama, misalnya rawat
inap di rumah sakit dalam waktu lama atau dalam kondisi paralisis. Immobilisasi
yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang mempermudah timbulnya
trombosis vena.3
 Trauma dan Tindakan operatif

Trauma terhadap pembuluh darah vena atau pembedahan dapat memperlambat


aliran darah dan meningkatkan resiko terbentuknya gumpalan darah. Faktor resiko
yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi dalam bidang
ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah. Pada operasi di
daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan pada
operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.15, 16

Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan


operatif, adalah sebagai berikut :15, 16

 Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma


pada waktu di operasi.
 Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif, operatif
dan post operatif.
 Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah
operasi.
Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di daerah
tersebut.
18
 Infark miokard

Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan


jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan
darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat total. Trombosis vena yang
mudah terjadi pada payah jantung adalah sebagai akibat statis aliran darah yang
terjadi karena adanya bendungan dan proses immobilisasi pada pengobatan payah
jantung.15

 Hiperkoagulabilitas
 Obesitas

Risiko trombosis vena meningkat 1,2 kali setiap adanya peningkatan 10 kg/m 2
namun hal ini belum diketahui secara jelas. Obesitas dapat meningkatkan
imobillitas. Jaringan lemak, khususnya lemak visceral dapat mengekspresikan
sitokin proinflamasi yang diduga dapat meningkatkan koagulasi melalui
peningkatan protein prokoagualan atau gangguan fibrinolisis melalui peningkatan
PAI-1.8

 Kehamilan

Pasien dengan kehamilan normal berada pada kondisi hiperkoagulasi.


Kehamilan dihubungkan dengan perubahan hemostatik termasuk peningkatan
konsentrasi faktor prokoagulan dan penurunan konsentrasi beberapa antikoagulan
alamiah serta menurunkan aktivitas fibrinolitik. Hiperkoagulabilitas pada
kehamilan kemungkinan berguna untuk melindungi ibu dari perdarahan saat
persalinan.3
Kehamilan menyebabkan peningkatan tekanan di dalam pembuluh vena
daerah kaki dan pelvis. Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan
aktifitas fibrinolitik, statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor
pembekuan VII, VIII dan IX. Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan
plasenta yang menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi
darah, sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah.5

19
Wanita hamil juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadi trombosis
vena dalam terutama pada trimester akhir. Hal ini diakibatkan janin yang
mengkompresi vena cava inferior sehingga mengakibatkan aliran darah yang
stasis. Tinggginya kadar estrogen dalam aliran darah juga dapat menjadi risiko
hiperkoagulabilitas darah.5

 Obat-obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid).

Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi vena,
menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya
faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis
vena.2

 Keganasan

Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan “tissue thrombo


plastin-like activity” dan “factor X activiting” yang mengakibatkan aktifitas
koagulasi meningkat. Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas
fibriolitik dan infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya
trombosis. Tindakan operasi terhadap penderita tumor ganas menimbulkan
keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan penderita biasa.8

2.4.4. Patogenesis

Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan dalam


patogenesis terjadinya trombosis yaitu kelainan dinding pembuluh darah,
perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah. Selain faktor stimuli,
terdapat faktor protektif yaitu inhibitor faktor koagulasi yang telah aktif (contoh:
antitrombin yang berikatan dengan heparan sulfat pada pembuluh darah dan
protein C yang teraktivasi), eliminasi faktor koagulasi aktif, dan kompleks
polimer fibrin oleh fagosit mononuklear dan hepar, serta enzim fibrinolysis.3, 17

20
Gambar 9. Skema Trias Virchow

Trombosis vena biasanya terdiri dari fibrin, sel darah merah, dan beberapa
komponen trombosit dan leukosit. Terdapat tiga hal yang berperan dalam proses
terjadinya trombosis (Virchow’s Triad):3,17

1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cenderung lebih lambat, bahkan nantinya dapat
mengakibatkan terjadi statis terutama pada daerah-daerah yang mengalami
immobilisasi dalam waktu yang cukup lama.2

Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal karena


dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktivitas faktor
pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya thrombosis.2

2. Kerusakan pembuluh darah


Kerusakan pembuluh darah dapat menimbulkan pembentukan trombosis vena,
melalui :2

a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.


b. Aktivasi sel endotel oleh sitokin yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan
jaringan dan adanya proses peradangan.

Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel.


Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel
menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan,
21
aktivator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat mencegah
terbentuknya trombin.4

Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan


terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan
dan trombosir akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen,
membran basalis dan mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan
melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang
trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat.
Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan
darah.4

3. Perubahan daya beku darah


Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara sistem pembekuan
darah dan sistem fibrinolisis. Terjadinya trombosis, apabila aktivitas
pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun. Trombosis
vena sering terjadi pada kasus-kasus dengan aktivitas pembekuan darah yang
meningkat, seperti pada keadaan hiperkoagulasi, defisiensi Anti trombin III,
defisiensi protein C, defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.2

Gambar 10.
Pembentukan clot pada DVT

22
Tabel 1. Faktor Risiko Trombosis Vena Dalam

2.4.5. Manifestasi Klinis

Pasien DVT biasanya tidak ada keluhan atau hanya mengeluhkan adanya
rasa tidak nyaman terutama saat berdiri atau berjalan di area tungkai bawahnya.
Terkadang, pasien juga datang dengan keluhan utama bengkak yang terjadi hanya
pada satu ekstremitas unilateral. Pada pemeriksaan fisik, trombus vena dalam
yang lebih proksimal dapat ditemukan edema, hangat, dan kemerahan pada
tungkai yang terkena. Pemeriksa juga dapat melakukan pemeriksaan Hooman’s
sign yaitu menilai adanya nyeri pada betis ketika kaki dalam posisi dorsofleksi,
pemeriksaan ini tidak spesifik dan sensitif untuk trombus vena dalam namun
dapat menjadi tanda adanya kelainan pada tungkai bawah.5, 18, 19

Pasien dengan komplikasi seperti emboli paru dapat datang dengan nyeri
dada hebat, sesak, batuk, hingga pingsan akibat cardiac output yang berkurang.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pasien takipneu, bronkospasme, dan
tanda-tanda penukan arteri pulmoner seperti bunyi jantung dua yang lebih
terdengar karena dipengaruhi resistensi pulmoner, dan distensi vena jugularis.5, 18,19

Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa :2

23
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak bergantung pada besar dan luas trombosis. Trombosis
vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar
hingga ke bagian medial dan anterior paha.

Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku
dan intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang bila
penderita istirahat di tempat tidur, terutama dengan posisi tungkai ditinggikan.

2. Pembengkakan
Timbulnya edema disebabkan oleh adanya sumbatan vena di bagian
proksimal dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan
ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan
dan tidak nyeri, namun apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka
bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai dengan nyeri.
Pembengkakan bertambah apabila penderita berjalan dan akan berkurang
apabila istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan.

3. Perubahan warna kulit


Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosis vena dalam dibandingkan pada trombosis arteri. Perubahan warna
kulit hanya di temukan 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit bisa berupa
menjadi pucat dan berwarna ungu.

Perubahan warna kaki menjadi pucat dan pada perabaan dingin,


merupakan tanda-tanda adanya sumbatan vena yang besar yang bersamaan
dengan adanya spasme arteri, keadaan ini di sebut flegmasia alba dolens.

24
Gambar 11. Tungkai kiri yang membengkak dan merah akibat DVT

4. Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini merupakan peningkatan tekanan vena
sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar.
Keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di
daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena
dalam.3

Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam akan
membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi
edema, kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus
pada daerah vena yang di kenai.3

Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada


daerah betis yang timbul/bertambah waktu penderitanya beraktivitas (venous
claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan,
timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah.3

2.4.6. Diagnosis

Penegakkan diagnosis DVT berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri, dan
perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea
dolens/ blue leg). Skor Wells dapat digunakan untuk membagi DVT menjadi
beberapa kelompok yaitu kelompok risiko ringan, sedang, atau tinggi. Angiografi
25
(venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan baku emas yang paling
bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non-invasive ultrasound (USG
Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi tertentu. Jika dengan
metode pemeriksaan USG Doppler dan D-dimer diagnosis DVT belum dapat
ditegakkan, maka harus dilakukan magnetic resonance venography (MRV).4

 Anamnesis

Pada saat melakukan wawancara pasien selain menggali keluhan utama,


perlu ditanyakan juga faktor risiko yang dimiliki pasien yang sesuai dengan
proses terjadinya trombus vena dalam. Pada anamnesis penting untuk
ditanyakan mengenai riwayat penyakit sebelumnya untuk mengetahui faktor
risiko dan adanya riwayat thrombosis sebelumnya. Selain itu riwayat
thrombosis pada keluarga juga penting untuk ditanyakan.2

 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya edema tungkai unilateral,


eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda
homan yang positif.4 Pemeriksaan Homan sign dilakukan dengan melakukan
dorsofleksi kaki dengan lutur lurus kemudian positif apabila adanya nyeri
yang dirasakan pada betis.4

Diagnosis DVT tidak cukup hanya berdasarkan gejala klinis karena tidak
spesifik ataupun sensitif. Kombinasi Well’s rule dengan hasil tes non-invasif
diharapkan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis, sehingga dapat
mengurangi kebutuhan investigasi lebih lanjut. Skor 0 atau kurang,
menandakan kemungkinan DVT rendah, skor 1 atau 2 menandakan
kemungkinan DVT sedang, dan skor 3 atau lebih menandakan kemungkinan
DVT tinggi.4, 20

26
Tabel 2. Well’s rule sebagai pemeriksaan awal untuk diagnosis DVT

 Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan peningkatan kadar D-


dimer dan penurunan antitrombin (AT). D-dimer merupakan produk degradasi
fibrin. Pemeriksaan D-dimer dapat dilakukan dengan ELISA atau latex
agglutination assay. D-dimer <0,5 mg/ mL dapat menyingkirkan diagnosis
DVT. Pemeriksaan ini sensitif namun tidak spesifik, sehingga hasil negatif
sangat berguna untuk eksklusi DVT, sedangkan nilai positif tidak spesifik
untuk DVT, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis
DVT.3

 Radiologis

Terdapat beberapa jenis pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan


untuk menegakkan diagnosis DVT, yaitu:4, 17

1. Venografi

Biasa disebut juga sebagai plebografi, ascending contrast


phlebography atau contrast venography. Prinsip pemeriksaannya dengan
menyuntikkan zat kontras ke dalam sistem vena, maka nantinya akan
terlihat gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal
vena iliaca. Bila terdapat trombosis maka akan terdapat gambaran filling
27
defect. Venografi dapat mengidentifikasi lokasi, penyebaran, dan tingkat
keparahan bekuan darah serta menilai kondisi vena dalam. Venografi
dapat digunakan pada kecurigaan kasus DVT yang gagal diidentifikasi
menggunakan pemeriksaan non-invasif.Venografi merupakan pemeriksaan
paling akurat untuk mendiagnosis DVT. Sensitivitas dan spesifisitasnya
mendekati hingga 100%, sehingga menjadi gold standard diagnosis DVT.
Namun, venografi jarang digunakan karena cenderung invasif, mahal,
paparan radiasi, dan meningkatkan risiko berbagai komplikasi.4

2. Flestimografi Impedans

Pada pemeriksaan ini bertujuan untuk memantau perubahan


volume darah tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif untuk trombosis vena
femoralis dan iliaca dibandingkan vena di daerah betis.4

3. Ultrasonografi (USG) Doppler

USG Doppler sering digunakan untuk mendiagnosis DVT karena


non-invasif. USG memiliki tingkat sensitivitas 97% dan spesifisitas 96%
pada pasien yang dicurigai menderita DVT simptomatis dan terletak pada
daerah yang proksimal.4

Gambar 12. Pemeriksaan USG Doppler pada DVT

28
4. Magnetic Resonance Venography

Prinsip pada pemeriksaan ini adalah membandingkan resonansi


magnetik antara daerah dan aliran darah vena lancar dengan yang
tersumbat bekuan darah. Magnetic resonance venography bertujuan
mendiagnosis trombus pada vena yang lebih proksimal seperti pada pelvis.
MRV memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, namun belum luas
digunakan. Saat ini sedang dikembangkan pemeriksaan resonansi
magnetik untuk deteksi langsung bekuan darah dalam vena. Pemeriksaan
ini tidak menggunakan kontras, hanya memanfaatkan kandungan
methemoglobin bekuan darah.3

Gambar 13. Algoritma diagnosis DVT

2.4.7. Tatalaksana

Pemberian tatalaksana hanya diberikan pada kasus yang diagnosisnya sudah


jelas. Tujuan tatalaksana DVT fase akut adalah menghentikan bertambahnya
trombus, membatasi bengkak tungkai yang progresif, melisis dan membuang
bekuan darahh serta mencegah disfungsi vena, mencegah terjadinya emboli.2

 Non farmakologis

29
Tatalaksana awal non farmakologis yang dapat diberikan pada pasien untuk
mengurangi keluhan nyeri, kaku, edema, parastesia, eritema adalah dengan
menganjurkan pasien istirahat di tempat tidur (bedrest), meninggikan posisi kaki,
dan menggunakan compression stocking dengan tekanan kira-kira 40 mmHg.
Tujuan mengistirahatkan pasien saat ini adalah mencegah terjadinya emboli
pulmonal karena dengan gerak berlebihan bekuan dapat terlepas dan berjalan
mengikuti aliran darah. Pemakaian compression stocking dianjurkan selama 2
tahun sehinggga dapat menggurangi risiko terjadinya sindrom pasca trombosis.2

Meskipun DVT dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti pada bedrest,
namun tujuan bedrest pada pasien DVT adalah untuk mencegah terjadinya emboli
pulmonal. Adanya pergerakan berlebihan tungkai yang mengalami DVT dapat
membuat bekuan (clot) terlepas dan “berjalan” ke paru. Penggunaan compression
stocking selama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3 minggu ketika diagnosis DVT
ditegakkan dapat menurunkan risiko post-trombosis syndrome. Compression
stockings sebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan mereka yang
memiliki fungsi vena yang jelek.4,6

 Farmakologis

Tata laksana farmakologis bertujuan untuk mencegah meluasnya proses


trombosis dan emboli paru dengan antikoagulan dan fibrinolitik. Pemilihan
berdasarkan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin.
Terdapat beberapa pilihan untuk pengobatan farmakologi seperti unfractioned
heparin, low molecular weight heparin, warfarin. Pilihan pengobatan disesuaikan
dengan prinsip safe yang artinya antikoagulan tidak menyebabkan perdarahan dan
efektif yang artinya dapat menghancurkan trombus dan mencegahnya terbentuk
thrombus baru dan emboli.18, 19

1. Unfractioned Heparin

Terapi ini berdasarkan berat badan dan dosisnya ditirasi berdasarkan nilai
Activated Partial Thromboplastin Time (APTT). Nilai APTT yang diinginkan
adalah 1.5 - 2.5 kali kontrol. Mekanisme heparin dengan meningkatkan kerja

30
antitrombin II sebagai inhibitor faktor pembekuan dan melebaskan Tissue Factor
Pathway Inhibitor dari dinding pembuluh darah.2

Unfractionated heparin diberikan dengan cara bolus 80 IU/kgBB intravena


dilanjutkan dengan infus 18 IU/ kgBB/jam. APTT, masa protrombin (protrombin
time /PT) dan jumlah trombosit harus diperiksa sebelum memulai terapi heparin,
terutama pada pasien berusia lebih dari 65 tahun, adanya riwayat operasi
sebelumnya, kondisi-kondisi seperti peptic ulcer disease, penyakit hepar, kanker,
dan risiko tinggi perdarahan (bleeding tendency).6

Tabel 3. Dosis pemberian heparin

2. Low Molecular Weight Heparin

LMWH memiliki waktu paruh yang lebih panjang sehingga dianggap


lebih menguntungkan dibandingkan dengan unfractioned heparin sehingga dapat
diberikan subkutan satu atau dua kali sehari, dosisnya pasti, tanpa pemeriksaan
laboratorium. LMWH dikombinasikan dengan warfarin selama 4 – 5 hari dan
dihentikan apabila nilai INR mencapai 2 atau lebih.6

Enoxaparin digunakan untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB dua

kali sehari atau 1,5mg/kgBB sekali sehari. Selain itu pilihan lainnya dapat
diberikan fondaparinux yang merupakan pentasakarida sintetik yang bekerja
menghambat faktor Xa dan thrombin. Fondaparinux dapat digunakan sebagai
profilaksis dan terapi kondisi akut dengan dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB

31
50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg) subkutan, sekali sehari.21

Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi


dibandingkan dengan penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara
lain kelainan darah, riwayat stroke perdarahan, metastasis ke central nervous
system (CNS), kehamilan, peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh
hari dan perdarahan gastrointestinal. LMWH diekskresikan melalui ginjal, pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal, dosisnya harus disesuaikan atau digantikan
oleh UFH.22, 23

Tabel 4. Pilihan LMWH

3. Warfarin

Warfarin diberikan segera setelah diagnosis DVT ditegakkan atau obat


pilihan untuk antikoagulasi akut, namun kerjanya lama sekitar satu minggu, oleh
karena itu, pemberian warfarin dikombinasikan. Pada pasien dengan gangguan
ginjal heparin intravena dapat digunakan sebagai terapi pertama.

Dosis pemberian warfarin adalah 5 mg per hari disesuaikan tiap 3 – 7 hari


dengan target INR 2,0 – 3,0. Untuk DVT tanpa komplikasi, warfarin dapat
diberikan selama 3 – 6 bulan. Kontraindikasi pemberian warfarin yaitu pada
pasien perdarahan otak, trauma, pasca operasi. akibat gangguan molekuler,
warfarin dapat diberikan seumur hidup. 4–6,6

32
4. Terapi trombolitik

Terapi ini bertujuan untuk memecah trombus sehingga patensi vena dapat

kembali lebih cepat dibandingkan dengan antikoagulan. Trombolitik dapat


menyebabkan lisisnya thrombus secara langsung dengan peningkatan produk
plasmin melalui aktivasi plasminogen. Contoh obat trombolitik yang dapat
digunakan adalah streptokinase, recombinant tissue plasminogen activator (rt-
PA), dan urokinase.4, 6

Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi risiko


perdarahan juga tinggi. Risiko perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih
besar dibanding penggunaan heparin. Indikasi pemberian trombolitik adalah
thrombosis luas dengan risiko tinggi emboli paru, DVT proksimal, treatened limb
viability, kondisi fisiologgis baik (usia 18 – 75 tahun), onset kurang dari 14 hari.
Kontraindikasi pemberian trombolitik adalah bleeding diathesis/ trombositopeni,
risiko perdarahan spesifik organ (infark miokard akut, trauma serebrovaskuler,
perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal hati atau gagal ginjal,
keganasan (metastasis otak), kehamilan, stroke iskemi dalam 2 bulan, hipertensi
berat tidak terkontrol (SBP>180 mmHg, DBP>110 mmHg).4, 6

5. Trombektomi

Tindakan operasi open surgical trombectomy ini diindikasikan untuk


pasien dengan DVT iliofemoral akut dan tidak ada kontraindikasi trombolitik,
atau trombektomi mekanik gagal, lesi tidak dapat diases kateter, trombus sukar
dipecah dan kontraindikasi koagulan. Tindakan sebaiknya dilakukan dalam 7 hari
setelah onset. Setelah tindakan, pemberian warfarin dimulai dari 1 hari setelah
operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan sesudahnya.4

6. Filter vena kava inferior

Filter ini digunakan pada trombosis proksimal ketika antikoaggulan


merupakan kontraindikasi atau gagal mencegah emboli berulang, untuk pasien
dengan emboli paru berulang, hipertensi pulmonal. Filter dapat dimasukkan
perkutan menuju vena kava inferior dan menceggah emboli ke paru.18, 19

33
2.4.8. Komplikasi

Komplikasi utama dari DVT adalah pulmonary embolism dan sindrom


pascaflebitis (postphlebitic syndrome).2

Emboli paru merupakan penyumbatan arteri pulmonalis atau


percabangannya akibat adanya bekuan darah yang berasal dari tempat lain.
Emboli paru terjadi ketika trombus terutama dari vena proksimal ekstremitas lepas
dan berjalan melalui vena cava inferior dan atrium kanan jantung dan akhirnya
mencapai pembuluh darah pulmoner. Jika trombus mencapai pembuluh darah
paru maka pertukaran gas terganggu akibat adanya anatomic dead space. Gradien
alveolus-arteri pun meningkat sehingga terjadi hipoksemia. Adanya obstruksi
mekanik ini dapat meningkatkan resistensi pulmoner. Serta trombus yang terdiri
dari keping darah melepaskan mediator vasoaktif dan bronkokonstriktif sehingga
terjadi konstriksi dari pembuluh darah pulmoner dan bronkospasme
mengakibatkan resistensi pulmoner. Meningkatnya resistensi pulmoner ini
mengakibatkan meningkatnya stres pada dinding ventrikel kanan, dilatasi dan
gagal kontraksi sehingga memengaruhi cardiac output.20

Tanda dan gejalanya tidak khas, biasanya pasien mengeluh sesak napas,
nyeri dada saat menarik napas, batuk sampai hemoptoe, palpitasi, penurunan
saturasi oksigen. Pada kasus berat dapat mengalami penurunan kesadaran,
hipotensi bahkan kematian. Standar baku penegakan diagnosis adalah dengan
angiografi, namun invasif dan membutuhkan tenaga ahli. Dengan demikian,
dikembangkan metode diagnosis klinis, pemeriksaan D-Dimer dan CT
angiografi.20

34
Tabel 5. Pedoman Diagnosis Klinis untuk Emboli Paru

Post-thrombotic syndrome terjadi akibat inkompetensi katup vena yang


terjadi pada saat rekanalisasi lumen vena yang mengalami trombosis, atau karena
sisa trombus dalam lumen vena. Sindrom ini ditandai dengan adanya
pembengkakan dan nyeri berulang dan progresif, dapat terjadi dalam 1 sampai 2
tahun setelah kejadian DVT, pada 50% pasien. Pada beberapa pasien dapat terjadi
ulserasi (venous ulcer), biasanya di daerah perimaleolar tungkai. Ulserasi dapat
diberi pelembap dan perawatan luka. Setelah ulkus sembuh pasien harus
menggunakan compressible stocking untuk mencegah berulangnya post
thrombotic syndrome. Penggunaan compressible stocking dapat dilanjutkan
selama pasien mendapatkan manfaat tetapi harus diperiksa berkala.17, 21

2.4.9. Pencegahan

Faktor risiko trombosis vena dalam tidak sepenuhnya dapat dieliminasi,


namun dapat diturunkan. Misalnya, menekuk dan meluruskan lutut 10 kali setiap
30 menit, terutama pasien yang baru menjalani pembedahan mayor atau
melakukan perjalanan jauh. Pada penerbangan lama, setiap orang harus
melakukan peregangan dan berjalan-jalan setiap 2 jam.6

2.4.10. Prognosis

Prognosis trombosis arteri dan vena ditentukan oleh lokasi dan ketepatan
penanganan. Umumnya makin cepat penanganan, maka semakin baik
35
prognosisnya, dapat menimbulkan kecacatan dan kematian jika tidak ditangani
dengan. Trombektomi terutama berhasil sangat baik bila kejadiannya akut.4

BAB III
KESIMPULAN

1. Trombosis vena dalam adalah pembentukan bekuan darah pada lumen


vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding
pembuluh darah dan jaringan perivena. Deep vein thrombosis (DVT)
merupakan bekuan darah di vena dalam yang sebagian besar tersusun atas
fibrin, sel darah merah, serta sebagian kecil komponen leukosit dan
trombosit
2. Patofisiologi terjadinya DVT dipengaruhi oleh 3 hal (Trias Virchow’s)
yaitu: stasis vena, kerusakan pembuluh darah, dan perubahan daya beku
darah
3. Faktor risiko terjadinya DVT antara lain yaitu adanya kelainan aliran
darah dan kerusakan pembuluh darah. Selain itu terdapat beberapa faktor
risiko terjadinya DVT yaitu seperti usia, riwayat imobilitas lama, trauma,
tindakan operatif, infark miokard, hiperkoagubilitas, obesitas, kehamilan,
obat – obatan (hormonal), dan keganasan

36
4. Penegakkan diagnosis DVT harus berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis
DVT pun beragam, berupa invasif maupun non invasif.
5. Tujuan tatalaksana DVT fase akut adalah: Menghentikan bertambahnya
trombus, membatasi bengkak tungkai yang progresif, melisiskan bekuan
darah serta mencegah disfungsi vena atau terjadinya sindrom pasca-
trombosis, serta mencegah terjadinya emboli.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and antithrombotic


in women. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88
2. Jayanegara, A.Diagnosis dan Tatalaksana Deep Vein Thrombosis. Med-
Edu. 2016;43(9):652-7
3. Goldhaber S. Risk factors for venous thromboembolism. J Amer Coll
Cardiol. 2010; 56:1-7

4. JCS Guidelines 2011. Guidelines for the diagnosis, treatment and


prevention of pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis.
Circ J. 2011; 75: 1258-81

5. Kesieme E, Kesieme C, Jebbin N, Irekpita E, Dongo A. Deep vein


thrombosis: a clinical review. J Blood Med. 2011;2:59–69

6. Bates SM, Jaeschke R, Stevens SM, Goodacre S, Wells PS, Stevenson

37
MD, et al Diagnosis of DVT: Antithrombotic therapy and prevention of

thrombosis. 9th ed. American College of chest physicians. Evidence-based


clinical practice guidelines. Chest 2012; 141(2)(Suppl):351–418. doi:
10.1378/chest.11-2299.

7. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. 12th ed.


Hoboken, NJ: John Wiley & Sons; 2010.

8. Vandy, F.C, and Wakefield T W. Thrombosis and Hemostasis, In Hallett,


J.W,  Mills, J.L, Earnshaw,J.J et all. Comprehensive Vascular and
Endovascular Surgery, Second Ed. Philadelphia: Mosby.2009: 21-35
9. Weitz, J.I. Hemostasis, Thrombosis, Fibrinolysis, and Cardiovascular
Disease, in Robert O. Bonow R O, Mann, D L, et al. Braunwald's Heart
Disease: A Text Book of Cardiovascular Disease, Ninth Edition.
Philadelphia: Elsevier.2012: 1844-67
10. Deitcher, S.R, and Rodgers G M, Thrombosis and Antithrombotic
Therapy, in Greer J P, Foerster J, Rodgers G M, et al. Wintrobe’s Clinical
Hematology Twelfth Ed. Philadelphia. Lippincot
Williams&Willkins.2009. 1465-99
11. Mann, K.G, in Ziedins, KEB. Normal Coagulation, in Johnston KW, and
Cronent JL. Rutherford,s Vascular Surgery Eighth Edition. Philadelphia:
Saunders. 2014: 528-48
12. Battineli, E.M. and Loscalzo, J. Normal Mechanism of Vascular
Hemostasis, in Creager MA, Beckman JA, and Loscalzo,J. Vascular
Medicine: A Companion to Braundwald’s Heart Disease, Second Edition.
Philadelphia: Elsevier.2013:70
13. Mescher AL, Junqueira LCU. Junqueira’s basic histology: text and atlas.
2013.
14. Anderson, F.A. and Spencer, F.A. Risk Factor for
Venousthromboembolism. Circulation. 2003;107:9-16

15. Martinelli, I, Bucciarelli, P, and Mannucci, P.M. Thrombotic Risk Factor:


Basic Pathophysiology. Crit Care Med 2010; 38 (Suppl:S3–S9)

38
16. Toker, S. Hak, D.J. and Morgan S.J. Deep Vein Thrombosis Prophylaxis
in Trauma Patient. Thrombosis. 2011.1-11
17. Acang, Nuzirwan. Trombosis vena alam. Maj Kedokt Andalas 2001; 25(2)
: 46-55.

18. Stone J, Hangge P, Albadawi H, Wallace A, Shamoun F, Knuttien MG, et


al. Deep vein thrombosis: pathogenesis, diagnosis, and medical
management. Cardiovasc Diagn Ther. Desember 2017;7(Suppl 3):S276–
84.
19. Moheimani F, Jackson DE. Venous thromboembolism: classification, risk
factors, diagnosis, and management. ISRN Hematol. 2011;2011:124610.

20. Fauci,AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL,
et al. Venous thrombosis. In: Harrison’s principles of internal medicine.

17th ed. Ch.111. USA: McGraw-Hill; 2008

21. Ginsberg, J. Deep venous thrombosis. Cecil Medicine. 23 rd ed. New


York: Mc Graw-Hill; 2007.

22. Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M. Fondaparinux or


enoxaparin for the initial treatment of symptomatic deep vein thrombosis.
Ann Intern Med. 2004; 140:867-73.

23. Partsch H, BlattlerW. Compression and walking versus bedrest in the


treatment of proximal deep venous thrombosis with low molecular weight
heparin. J Vasc Surg. 2000; 32:861-9.

39

Anda mungkin juga menyukai