Anda di halaman 1dari 38

Referat

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Oleh :
Dimas Farizul Huda, S.
Ked NIM: 71 2021 038

Pembimbing :
dr. Adhi Permana, Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH
PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Refera

Judul:
Chronic Kidney Disease (CKD)

Oleh:

Dimas Farizul Huda, S.


Ked NIM: 71 2021 038

Telah dilaksanakan pada bulan Juni 2022 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RS
Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Juni 2022


Pembimbing

dr. Adhi Permana, Sp.PD


ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Chronic Kidney Disease (CKD)” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah
kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan
pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Adhi Permana, Sp.PD selaku pembimbing yang telah memberikan
masukan, arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian referat ini.
2. Rekan sejawat, serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
telah diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan menambah
keilmuan bagi semua.

Palembang, Juni 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Ginjal.......................................................................2
2.2 Fisiologi Ginjal.......................................................................3
2.3 Definisi...................................................................................5
2.4 Epidemiologi...........................................................................6
2.5 Etiologi...................................................................................7
2.6 Patofisiologi............................................................................8
2.7 Klasifikasi...............................................................................10
2.8 Manifestasi Klinis...................................................................13
2.9 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang..................................15
2.10 Diagnosis Banding..................................................................17
2.11 Tatalaksana.............................................................................18
2.12 Prognosis.................................................................................27
BAB III KESIMPULAN...............................................................................28
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................29

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Ginjal adalah salah satu organ penting yang berfungsi menjaga komposisi
darah dengan mencegah penumpukan limbah dan mengontrol keseimbangan
cairan dalam tubuh, menjaga kestabilan elektrolit seperti potassium, sodium, dan
fosfat, produksi hormon dan enzim yang membantu mengontrol tekanan darah,
serta berperan dalam ekskresi dan metabolisme obat dari dalam tubuh.1 Fungsi
ginjal menunjukkan kondisi ginjal dan fungsinya dalam fisiologi ginjal.
Glomerulus Filtration Rate (GFR) menandakan jumlah cairan yang difiltrasi
ginjal. Salah satu gangguan pada ginjal adalah Chronic Kidney Disease (CKD).2
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis adalah suatu
kondisi penurunan fungsi ginjal dengan periode bulanan hingga tahunan, ditandai
dengan penurunan GFR perlahan dalam periode yang lama. Gejala awal CKD
umumnya tidak nampak, namun seiring waktu akan timbul gejala seperti
kelelahan, mual, muntah, bengkak pada kaki, kehilangan nafsu makan, dan
kebingungan.3
CKD merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan prevalensi
yang terus meningkat dan prognosis buruk. Prevalensi meningkat seiring
meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan meningkatnya prevalensi penyakit
seperti diabetes melitus dan hipertensi. Angka prevalensi CKD secara global
bervariasi, dengan perkiraan sekitar 13,4% (11,7-15,1%).4 Perawatan penyakit
ginjal menempati peringkat kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan
setelah penyakit jantung. Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi meningkatnya
CKD seiring pertambahan usia dengan peningkatan tajam pada kelompok usia 35-
44 tahun.5
Penyebab CKD dapat berupa diabetes melitus, Hipertensi,
glomerulonephritis, dan penyakit ginjal polikistik. Faktor resiko berupa riwayat
penyakit keluarga pasien.6 Diagnosis CKD secara umum berupa tes darah untuk
mengetahui GFR, dan tes urin untuk mengetahui apakah terdapat albuminuria.
Pemeriksaan lebih lanjut dapat berupa USG dan biopsi.7 Sangat penting untuk
dokter spesialis dan calon dokter umum untuk memahami CKD dan mempunyai
dasar klinis diagnostik serta ketrampilan adekuat untuk mendiagnosis penyakit ini.
BAB I
1
BAB
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Ginjal


Ginjal adalah dua buah organ berbentuk menyerupai kacang merah yang
letaknya di sebelah belakang rongga perut, kanan kiri dari tulang punggung.
Ginjal kiri letaknya lebih tinggi dari ginjal kanan, berwarna merah keunguan.
Setiap ginjal berukuran panjang sekitar 12-13 cm dan tebal sekitar 1,5-2,5 cm.
Pada orang dewasa beratnya sekitar 140 gram. Pembuluh-pembuluh ginjal
semuanya masuk dan keluar pada hilus (sisi dalam) (Gambar 1).1,8

Gambar 1. Anatomi Ginjal

2
3

Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis dan mengkilat yang disebut
kapsul fibrosa (true capsule), pada bagian luarnya terdapat jaringan lemak yang
dibatasi oleh fasia gerota. Diantara kapsul fibrosa ginjal dengan kapsul gerota
terdapat rongga perirenal. Di sebelah kranial ginjal terdapat glandula adrenal. Di
sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh berbagai otot punggung yang tebal serta
tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan disebelah anterior dilindungi oleh organ
intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hati, kolon, dan duodenum,
sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh limpa, lambung, pankreas, jejenum, dan
kolon. Masing- masing ginjal terdiri dari sekitar 1 juta unit fungsional
mikroskopik yang disebut nefron, yang terhubung oleh jaringan penghubung.1

2.2 Fisiologi Ginjal1


Ginjal bersama dengan input hormonal dan saraf yang mengontrol
fungsinya, terutama bertanggung jawab untuk mempertahankan volume yang
stabil, komposisi elektrolit, dan osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) dari Cairan
Ekstra Seluler (CES). Ginjal tidak hanya menyesuaikan variasi dalam konsumsi
air, garam, dan elektrolit lainnya, tetapi juga menyesuaikan output urin dari
konstituen CES ini untuk mengkompensasi kehilangan abnormal melalui keringat
berat, muntah, diare, atau perdarahan. Jadi, saat ginjal melakukan apa yang
mereka bisa untuk mempertahankan homeostasis, komposisi urin sangat
bervariasi.
Selain peran regulasi, ginjal penting dalam menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit, ginjal merupakan jalur utama untuk menghilangkan limbah metabolik
yang berpotensi toksik dan senyawa asing dari tubuh. Limbah ini tidak dapat
dihilangkan sebagai padatan; harus diekskresikan dalam larutan, sehingga
mewajibkan ginjal untuk menghasilkan volume minimum sekitar 500 mL urin
yang berisi limbah per hari.
Ginjal melakukan fungsi spesifik berikut, yang sebagian besar membantu
menjaga kestabilan lingkungan cairan internal:
1.
Mempertahankan keseimbangan H2O di dalam tubuh.
2.
Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang tepat, terutama
melalui pengaturan keseimbangan H2O.
4

3.
Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk
natrium (Na+), klorida (Cl-), kalium (K+), kalsium (Ca2+), ion hidrogen
(H+), bikarbonat (HCO3-), fosfat (PO43-) , sulfat (SO42-), dan
magnesium (Mg2+).
4.
Mempertahankan volume plasma yang tepat.
5.
Membantu menjaga keseimbangan asam-basa tubuh yang tepat.
6.
Ekskresi produk akhir (sisa) metabolisme tubuh, seperti urea (dari
protein), asam urat (dari asam nukleat), kreatinin (dari kreatin otot),
bilirubin (dari hemoglobin), dan metabolit hormon.
7.
Mengeluarkan banyak senyawa asing, seperti obat-obatan, bahan
tambahan makanan, pestisida, dan bahan nonnutrisi eksogen lainnya
yang telah masuk ke dalam tubuh.
8.
Memproduksi renin, hormon enzimatik yang memicu reaksi berantai
yang penting dalam konservasi garam oleh ginjal.
9.
Memproduksi erythropoietin, hormon yang merangsang produksi sel
darah merah.
10.
Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
Tiga proses dasar yang terlibat dalam pembentukan urin: filtrasi
glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus (gambar 2). Filtrasi
Glomerulus merupakan proses saat darah mengalir melalui glomerulus, plasma
bebas protein menyaring melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsul Bowman.
Normalnya, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus disaring. Filtrasi
Glomerulus adalah langkah pertama dalam pembentukan urin.
Reabsorpsi Tubulus merupakan proses saat filtrat mengalir melalui
tubulus, zat-zat yang berharga bagi tubuh dikembalikan ke plasma kapiler
peritubulus. Pergerakan selektif zat dari dalam tubulus (lumen tubulus) ke dalam
darah inilah yang disebut Reabsorpsi Tubulus.
Proses renal ketiga, Sekresi Tubulus, merupakan transfer selektif substansi
dari darah kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Ini menyediakan rute
kedua bagi zat untuk memasuki tubulus ginjal dari darah, yang pertama adalah
dengan filtrasi glomerulus. Hanya sekitar 20% plasma yang mengalir melalui
kapiler
5

glomerulus disaring ke dalam kapsul Bowman; 80% sisanya mengalir melalui


arteriol eferen ke kapiler peritubular.

Gambar 2. Proses dasar renal

2.3 Definisi
Definisi dan klasifikasi CKD telah berkembang dari waktu ke waktu, tetapi
pedoman internasional saat ini mendefinisikan CKD sebagai penurunan fungsi
ginjal yang ditunjukkan oleh GFR kurang dari 60 mL/menit per 1,73 m 2, atau
adanya marker kerusakan ginjal, atau keduanya, durasi minimal 3 bulan, terlepas
6

dari penyebab yang mendasarinya.9 CKD merupakan sebuah proses patofisiologis


dengan etiologi bervariasi, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal progresif,
dan biasanya berakhir dengan gagal ginjal.10
Marker kerusakan ginjal dapat berupa 1 atau lebih dari kondisi ini:
albuminuria, abnormalitas sedimen urin, abnormalitas elektrolit atau lainnya
akibat gangguan tubulus, abnormalitas pada histologi, abnormalitas struktural
yang nampak pada radiologi, dan riwayat transplantasi ginjal.11

2.4 Epidemiologi
Insiden dan prevalensi penyakit ginjal kronis bervariasi secara global. Lebih
dari 80% pasien yang menerima pengobatan untuk CKD tinggal di negara-negara
dengan populasi lansia yang besar dengan akses ke perawatan kesehatan yang
terjangkau. CKD merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan
prevalensi yang terus meningkat, prognosis buruk, dan biaya tinggi.11
CKD menduduki peringkat 27 dalam daftar penyebab kematian tertinggi di
seluruh dunia pada tahun 1990, kemudian naik ke peringkat 18 di tahun 2010. 12
CKD memiliki prevalensi global tinggi dengan estimasi prevalensi secara global
antara 11 sampai 13% dengan mayoritas stage 3.13 Angka prevalensi CKD secara
global bervariasi, dengan perkiraan sekitar 13,4% (11,7-15,1%).4 Lebih dari 2 juta
orang di dunia saat ini menerima pengobatan dengan dialisis atau transplantasi
ginjal untuk bertahan hidup, namun angka ini mungkin hanya mewakili 10% dari
orang-orang yang benar-benar membutuhkan pengobatan untuk hidup.14
Prevalensi meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut
dan meningkatnya prevalensi penyakit seperti diabetes melitus dan hipertensi. 4
Perawatan penyakit ginjal menempati peringkat kedua pembiayaan terbesar dari
BPJS kesehatan setelah penyakit jantung. Riskesdas 2018 menunjukkan
prevalensi meningkatnya CKD seiring pertambahan usia, tersering pada usia 65-
74 tahun.
Tingkat prevalensi penyakit ginjal kronis di Indonesia tahun 2018 cukup
tinggi yaitu mencapai 3.8 permil populasi Indonesia menderita CKD yang
terdiagnosis dokter. Angka ini lebih tinggi dibandingkan prevalensi penyakit ginjal
kronis pada tahun 2013 yaitu 2 permil di seluruh Indonesia. Kalimantan utara
7

menempati prevalensi tertinggi yaitu 6.4 permil sedangkan prevalensi terendah


terdapat di provinsi Sulawesi Barat pada angka 1.8 permil. Penderita CKD lebih
banyak terjadi pada laki-laki. Persentase penderita CKD yang sedang menjalani
hemodialisa di Indonesia juga cukup rendah, hanya 19.3% (Gambar 3).15

Gambar 3. Prevalensi CKD di Indonesia tahun 2013-2018

2.5 Etiologi11
Penyebab CKD didasarkan pada ada atau tidak adanya penyakit sistemik
yang mendasari dan kelainan patologi anatomi. Penyebab tersering penyakit ginjal
kronis yang diketahui adalah diabetes melitus (44%), hipertensi (27%), dan
glomerulonephritis. Penyebab lainnya dapat berupa idiopatik.
Perbedaan antara penyakit sistemik yang mempengaruhi ginjal dan
penyakit ginjal primer berdasarkan asal dan perjalanan atau proses terjadinya
penyakit. Penyakit ginjal primer prosesnya timbul dan terbatas pada ginjal,
sementara pada penyakit sistemik, ginjal hanyalah salah satu yang terpengaruh
dari proses tertentu, misalnya diabetes mellitus. Penyakit genetik tertentu dapat
mempengaruhi jaringan yang berbeda, contohnya penyakit ginjal polikistik
dewasa. Penemuan kelainan patologi anatomi berdasarkan besarnya proteinuria,
temuan dari pemeriksaan sedimen urin, radiologi, dan patologi ginjal. Kondisi lain
yang dapat menyebabkan gangguan pada ginjal yaitu:
8

1.
Infeksi (contohnya Pielonefritis kronis).
2.
Penyakit peradangan (contohnya Glomerulonefritis).
3.
Penyakit vaskuler hipertensif (contohnya Nefrosklerosis benigna).
4.
Gangguan jaringan ikat (contohnya Lupus eritematosus sistemik
(SLE)).
5.
Gangguan kongenital dan herediter (contohnya Penyakit ginjal
polikistik).
6.
Penyakit metabolik (contohnya diabetes mellitus, gout,
hiperparatiroidisme).
7.
Nefropati toksik, contohnya penyalahgunaan analgetik, nefropati
timbal.
8.
Nefropati obstruktif, contohnya:
a. Saluran kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, netroperitoneal.
b. Saluran kemih bagian bawah: Hipertrofi prostat, striktur uretra.

2.6 Patofisiologi16
Perubahan patologis yang terkait dengan CKD termasuk glomerulosklerosis
dan fibrosis tubulointerstitial, yang mengakibatkan hilangnya arsitektur ginjal
normal, penghalusan kapiler mikrovaskular, hipoksia, dan atrofi tubulus.
Perubahan ini menyebabkan hilangnya kapasitas filtrasi ginjal dan akhirnya
menjadi penyakit ginjal stadium akhir.
Manifestasi patologis umum terakhir dari banyak penyakit ginjal kronis
adalah fibrosis ginjal. Fibrosis ginjal menunjukkan kegagalan penyembuhan luka
jaringan ginjal setelah cedera kronis yang berkelanjutan, dan ditandai dengan
glomerulosklerosis, atrofi tubulus, dan fibrosis interstisial.
Glomerulosklerosis dipicu oleh kerusakan dan disfungsi endotel, proliferasi
sel otot polos dan sel mesangial, dan penghancuran podosit yang biasanya
melapisi membran basal glomerulus. Faktor risiko glomerulosklerosis progresif
termasuk hipertensi, dislipidemia, dan merokok. Mikroinflamasi glomerulus
dimulai setelah aktivasi sel endotel sebagai respons terhadap hipertensi, dengan
sel inflamasi (termasuk makrofag dan sel foam) mengaktifkan sel mesangial untuk
berproliferasi.
9

Transformasi growth factor ß1 dan growth factor lainnya (termasuk growth factor
yang diturunkan dari trombosit, growth factor fibroblas, faktor nekrosis tumor,
dan interferon gamma) merangsang sel mesangial untuk mundur ke mesangioblas
(sel mesangial yang belum matang). Mesangioblas ini mampu menghasilkan
matriks ekstraseluler yang berlebihan, yang menyebabkan ekspansi mesangial—
tanda awal glomeruloskelrosis. Peregangan podosit meninggalkan area membran
basal glomerulus yang terkena kapsul Bowman, yang kemudian membentuk
adhesi, sehingga berkontribusi pada glomerulosklerosis.
Atrofi tubulus, fibrosis interstisial, dan jaringan parut berhubungan erat
dengan GFR dan proteinuria. Sel epitel tubulus dirangsang untuk mensintesis
produk inflamasi termasuk spesies oksigen reaktif dan kemokin oleh berbagai
protein urin yang disaring secara abnormal, termasuk komplemen, sitokin, dan
albumin. Agen- agen ini menarik sel-sel inflamasi ke dalam interstitium ginjal dan
memulai interaksi dengan miofibroblas interstisial. Seiring berkembangnya
fibrosis, epitel tubulus yang cedera kehilangan kapasitas regeneratifnya dan
mengalami apoptosis yang menyebabkan atrofi tubulus dan menciptakan
glomeruli yang tidak berfungsi. Secara histologis, ukuran area sel tubulus terkait
erat dengan GFR.
Pada awal CKD, kapiler interstisial menjadi semakin permeabel (sindrom
kebocoran kapiler ginjal) yang berarti bahwa banyak protein plasma yang
biasanya tidak pernah mencapai interstitium ginjal mampu melakukannya dan
memicu respons inflamasi. Penurunan progresif luas permukaan kapiler
interstisial menyebabkan hipoksia di dalam ginjal dan mempengaruhi fungsi sel
yang biasanya terlibat dalam degradasi kolagen yang disintesis pada ginjal yang
sehat. Kolagen (khususnya kolagen fibrilar I dan II), protein membran basal,
proteoglikan, dan glikoprotein menjadi terdeposit di ginjal yang rusak secara
kronis; area interstitium fibrotik yang terkena terkait erat dengan fungsi ginjal dan
prognosis ginjal jangka panjang (gambar 4).
1

Gambar 4. Proses patofisiologis CKD

2.7 Klasifikasi9
Berdasarkan Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) tahun
2012, CKD diklasifikasikan berdasarkan 2 kriteria, yaitu penurunan GFR dan
peningkatan rasio albuminuria dan serum kreatinin. Klasifikasi menurut KDIGO
bertujuan untuk menentukan tatalaksana pasien dan urgensi tatalaksana CKD.
Kriteria pertama KDIGO adalah GFR (Glomerulus Filtration Rate) yang
merupakan kemampuan glomerulus untuk filtrasi darah. GFR dihitung
menggunakan jumlah serum kreatinin, dengan formula sebagai berikut:
GFR= 186 x Scr-0,830 x usia0,230 x 1 (pria) / 0,742 (Wanita)
Interpretasi nilai GFR dapat dilihat pada gambar 5. Tingkat GFR
diklasifikasikan sebagai G1 (GFR ≥90 mL/min/1,73 m2), G2 (GFR 60–89
mL/min/1,73 m2), G3a (45–59 mL/min/1.73 m2), G3b (30–44 mL/min/1.73 m2),
G4 (15–29 mL/min/1.73 m2), and G5 (<15 mL/min/1.73 m2).
1

Gambar 5. Interpretasi nilai GFR

Selanjutnya dilakukan pengukuran albuminuria dan serum kreatinin untuk


mengetahui kategori CKD berdasarkan rasio almbuminuria dan serum kreatinin.
Albuminuria idealnya harus diukur dengan ACR (Albumine to Creatinine Ratio)
urin. Tingkatan Albuminuria diklasifikasikan sebagai A1 (ACR urin <30 mg/g),
A2 (30–300 mg/g), and A3 (>300 mg/g) (Gambar 6). Pedoman
merekomendasikan penggunaan ACR urin untuk mengklasifikasikan CKD
daripada rasio protein- kreatinin urin karena tes untuk yang pertama cenderung
terstandarisasi dan memiliki presisi yang lebih baik pada nilai albuminuria yang
lebih rendah. Pengukuran yang paling tepat berasal dari sampel pagi pertama atau
pengumpulan 24 jam, karena ada variabilitas biologis yang tinggi dalam ekskresi
albumin urin sepanjang hari, namun sampel acak juga dapat diterima dalam
penyaringan awal.

Gambar 6. Interpretasi albuminuria


1

Dengan mengkombinasikan kedua kriteria diatas dapat dimasukkan ke tabel


silang untuk mengetahui resiko pasien CKD dan urgensi penanganannya. Tabel
silang dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Tabel silang untuk referensi tingkat dan urgensi tatalaksana CKD

Grading CKD bila hanya menggunakan GFR dengan beberapa kriteria


tambahan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Grading CKD berdasarkan GFR dan beberapa kriteria tambahan


Grade GFR Kategori Keterangan
1 ≥90 Normal/sedikit Disertai albuminuria persisten
berkurang
2 60-89 Penurunan ringan Disertai peningkatan serum
kreatinin dan albuminuria
3 30-59 Penurunan sedang
4 15-29 Penurunan berat Persiapan terapi ginjal
5 <15 Gagal Ginjal / End Terapi ginjal permanen
Stage Renal (hemodialisa) / transplantasi ginjal
Disease (ESRD)
1

2.8 Manifestasi Klinis


CKD secara umum pada stadium awal tidak menimbulkan gejala khas, namun
CKD stadium awal dapat dideteksi ketika ada peningkatan serum kreatinin dan
proteinuria. CKD biasanya diidentifikasi melalui skrining rutin dengan profil
kimia serum dan studi urin atau sebagai temuan insidental. Lebih jarang, pasien
mungkin datang dengan gejala seperti hematuria berat, urin “berbusa" (tanda
albuminuria), nokturia, nyeri pinggang, atau penurunan produksi urin. Jika CKD
lebih parah, pasien mungkin melaporkan kelelahan, nafsu makan yang buruk,
mual, muntah, rasa logam, penurunan berat badan yang tidak disengaja, pruritus,
perubahan status mental, dispnea, atau edema perifer (gambar 8).11 Namun jika
fungsi ginjal terus menerus mengalami penurunan, gejala-gejala berikut dapat
timbul:17
- Peningkatan tekanan darah akibat kelebihan cairan dan produksi dari
hormon vasoaktif yang diekskresikan oleh ginjal melalui Renin-
Angiotensin- Aldosterone-System (RAAS), menyebabkan resiko penderita
CKD mengalami hipertensi atau penyakit jantung kongestif.
- Hiperkalemia akibat akumulasi kalium dalam darah, dengan gejala seperti
malaise hingga aritmia jantung. Hiperkalemi dapat terjadi jika GFR <25
ml/menit/1,73m2 dimana kemampuan ekskresi kalium oleh ginjal
berkurang.
- Hiperfosfatemia akibat berkurangnya ekskresi fosfat oleh ginjal,
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler (fosfat adalah stimulus
kalsifikasi vaskuler)
- Hipokalsemia akibat stimulasi pembentukan FGF-23 (inhibitor enzim
pembentukan vitamin D) oleh ostosit bersamaan dengan penurunan massa
ginjal. Secara kronis menyebabkan hipertropi kelenjar paratiroid, kelainan
tulang akibat penyakit ginjal, dan kalsifikasi vaskuler.
- Uremia akibat akumulasi urea pada darah dengan gejala berupa
ensefalopati, perikarditis, dan gastropati. Urea dapat terekskresi melalui
kelenjar keringat dalam konsentrasi tinggi dan mengkristal pada kulit
(uremic frost).
1

- Asidosis metabolik akibat akumulasi fosfat dan urea. Asidosis juga dapat
disebabkan oleh penurunan kemampuan produksi ammonia pada sel-sel
ginjal.
- Penurunan produksi eritropoietin, menyebabkan penurunan produksi sel
darah merah yang dapat menyebabkan anemia. Eritropoietin diproduksi di
jaringan interstitial ginjal. Pada CKD, jaringan ini mengalami nekrosis
sehingga produksi eritropoietin berkurang.
- Anemia defisiensi besi, disebabkan beberapa faktor: peningkatan inflamasi
yang disebabkan akumulasi urea, penurunan eritropoietin, dan penurunan
fungsi sumsum tulang.

Gambar 8. Tanda-tanda dan gejala CKD


1

2.9 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


CKD secara definisinya merupakan penurunan fungsi ginjal secara kronis
yang ditandai dengan penurunan GFR 60 mL/menit per 1,73 m2 selama 3 bulan
atau lebih. Diagnosis CKD dapat dilakukan secara objektif dan dapat dipastikan
melalui tes laboratorium tanpa mengidentifikasi penyebab penyakit, sehingga
dapat dideteksi oleh dokter non-nefrolog dan ahli kesehatan lainnya.
Banyak orang tidak menunjukkan gejala CKD, dan muncul setelah temuan
kebetulan dari tes skrining, misalnya melalui pemeriksaan medis rutin, atau
sampai mereka menunjukkan gejala akibat CKD lanjut. Namun, tergantung pada
penyebab CKD, beberapa orang memiliki gejala langsung sebagai akibat dari
gangguan fungsi ginjal.11
Penyakit ginjal dibagi menjadi akut atau kronik berdasarkan durasinya.
Jika durasi lebih dari 3 bulan maka disebut kronik. Kronisitas ini untuk
membedakan CKD dengan penyakit ginjal akut lainnya seperti GN
(Glomerulonefritis) akut, termasuk AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan
intervensi dan memiliki etiologi serta hasil yang berbeda. Untuk diagnosis akurat,
dianjurkan untuk pemeriksaan ulang fungsi ginjal dan kerusakan ginjal. Waktu
evaluasi bergantung pada penilaian klinis, dengan evaluasi awal untuk pasien
diduga memiliki AKI dan evaluasi selanjutnya untuk pasien diduga memiliki
CKD. Pada AKI terjadi peningkatan serum kreatinin secara tiba-tiba dengan
jumlah yang tinggi, tetapi pada CKD peningkatan serum kreatinin terjadi secara
perlahan dan kronik.
Diagnosis untuk CKD dapat ditegakkan melalui gambaran klinis dan
dengan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi, dan biopsi serta pemeriksaan histopatologi ginjal.18
Gambaran Klinis18
A. Sesuai dengan penyakit yang mendasari (seperti diabetes rnelitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritomatosus Sistemik (SLE)).
B. Sindrom uremia, yang terdiri dari lelah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang hingga koma.
1

C. Gejala komplikasinya seperti hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, gagal


jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, klorida).
D. Riwayat transplantasi ginjal.
Pemeriksaan Laboratorium18
A. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
B. Penurunan fungsi ginjal berupa penurunan GFR, peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum. GFR <60 ml/min/1.73m2 (ketegori G3a-G5)
merupakan GFR bernilai setengah dari nilai normal pada pria dan wanita
dewasa selama >3 bulan dapat diindikasi dengan CKD (nilai normal GFR
sekitar 125ml/min/1,73m2). Kadar kreatinin serum saja tidak bisa
dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
C. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
D. Kelainan urinalisis meliputi proteiuria, hematuria, leukosuria, isostenuria.
Pemeriksaan Radiologi18
A. Rontgen abdomen (dapat tampak batu radiopak)
B. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi.
C. Pielografi intravena (jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, kemudian ada kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah rusak).
D. Pielografi antegrad atau retrograd (bila ada indikasi).
E. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi (bila ada indikasi).
Biopsi dan Histopatologi Ginjal18
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, ketika diagnosis secara noninvasif
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan tatalaksana, prognosis, dan mengevaluasi hasil tatalaksana
1

yang telah diberikan. Biopsi ginjal kontraindikasi dilakukan pada keadaan dimana
ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah,
gagal napas, dan obesitas.

Menurut KDIGO tahun 2012, kriteria penegakan diagnosis CKD adalah


sebagai berikut (tabel 2):9

Tabel 2. Kriteria CKD (KDIGO 2012)


Kriteria CKD (> 3 bulan)
Tanda kerusakan ginjal (1 atau lebih) Albuminuria (AER 30 mg/24 jam,
ACR 30 mg/g [3 mg/mmol])
Abnormalitas sedimen urin
Abnormalitas elektrolit dan tubular
Abnormalitas yang terdeteksi dari
radiologi
Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan GFR <60 ml/min/1.73m2 (kategori G3a –
G5)

2.10 Diagnosis banding17


CKD memiliki beberapa diagnosa banding, yaitu:
A. Acute kidney injury (AKI)
B. Glomerulonefritis kronis
C. Nefropati diabetik
D. Nefrolitiasis
E. Nefrosklerosis
F. Renal artery stenosis
G. Rapidly progressive glomerulonephritis
H. Antiglomerular basement membrane disease
1

2.11 Tatalaksana
Diagnosis awal dan pengobatan penyebab dan/atau tindakan pencegahan
sekunder sangat penting pada pasien dengan CKD. Langkah-langkah ini dapat
menunda, atau mungkin menghentikan perkembangan penyakit. Rujukan awal ke
ahli nefrologi sangat penting. Perawatan medis pasien dengan CKD harus fokus
pada hal-hal berikut:
- Menunda atau menghentikan perkembangan CKD
- Mendiagnosis dan mengobati manifestasi patologis/komplikasi CKD
- Perencanaan tepat waktu untuk terapi penggantian ginjal jangka panjang
- Diet
- Aktivitas
- Konsultasi dan monitoring jangka panjang
- Pemberian obat.
Canadian Society of Nephrology pada tahun 2014 merilis pedoman baru
yang merekomendasikan penundaan dialisis pada pasien CKD tanpa gejala hingga
Estimated Glomerulus Filtration Rate (eGFR) mereka turun menjadi 6
mL/menit/1,73 m2 atau hingga onset pertama indikasi klinis (meliputi uremia,
kelebihan cairan, dan hiperkalemia refrakter atau asidemia). Untuk memastikan
pengenalan yang cepat dari ambang batas tersebut, pemantauan ketat harus
dimulai ketika eGFR mencapai 15 mL/menit/1,73 m2. Faktor tambahan yang
dapat mempengaruhi inisiasi dialisis termasuk edukasi pasien dan pemilihan
modalitas, keparahan gejala uremik yang ada, dan tingkat penurunan fungsi
ginjal.19

MENUNDA ATAU MENGHENTIKAN PERKEMBANGAN CKD20,21


Tindakan yang diindikasikan untuk menunda atau menghentikan
perkembangan penyakit ginjal kronis (CKD) adalah sebagai berikut:
- Pengobatan kondisi sistemik yang mendasari jika memungkinkan
- Kontrol tekanan darah agresif untuk menargetkan nilai per pedoman
- Pengobatan hiperlipidemia ke tingkat target per pedoman
- Kontrol glikemik agresif sesuai rekomendasi American Diabetes
Association (ADA) (target hemoglobin A1c [HbA1C] < 7%)
1

- Menghindari nefrotoksin, termasuk media radiokontras intravena (IV),


obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), dan aminoglikosida
- Penggunaan penghambat sistem renin-angiotensin (RAS) pada pasien
dengan penyakit ginjal diabetik (DKD) dan proteinuria
- Penggunaan inhibitor sodium-glucose cotransporter 2 (SGLT2)
- Penggunaan penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEI) atau
penghambat reseptor angiotensin (ARB) pada pasien dengan proteinuria
- Penggunaan antagonis reseptor mineralokortikoid nonsteroid (MR)
Faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan CKD harus ditangani,
misalnya hipertensi, proteinuria, asidosis metabolik, dan hiperlipidemia.
Hipertensi harus dikelola dengan menetapkan tujuan tekanan darah, begitupun
proteinuria harus dikelola. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
merokok berkaitan dengan risiko pengembangan nefrosklerosis dan berhenti
merokok menghambat perkembangan CKD. Pembatasan protein juga telah
terbukti memperlambat perkembangan CKD. Namun, jenis dan jumlah asupan
proteinnya masih belum ditentukan. Suplementasi bikarbonat untuk pengobatan
asidosis metabolik kronis telah terbukti menunda perkembangan CKD juga.
Kontrol glukosa intensif pada penderita diabetes telah terbukti menunda
perkembangan albuminuria dan juga perkembangan albuminuria menjadi
proteinuria yang nyata.20, 21

MENDIAGNOSIS DAN MENGOBATI MANIFESTASI PATOLOGIS CKD18


Berikan perawatan pada manifestasi patologis CKD sebagai berikut:
 Anemia: Bila kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL, obati dengan
erythropoiesis-stimulating agent (ESA) seperti epoetin alfa atau
darbepoetin alfa; hati-hati harus dilakukan pada pasien dengan keganasan.
 Hiperfosfatemia: Obati dengan pengikat fosfat makanan dan pembatasan
fosfat makanan.
 Hipokalsemia: Obati dengan suplemen kalsium dengan atau tanpa calcitriol.
 Hiperparatiroidisme: Obati dengan kalsitriol, analog vitamin D, atau
kalsimimetik.
 Kelebihan volume: Obati dengan diuretik loop atau ultrafiltrasi.
2

 Asidosis metabolik: Obati dengan suplementasi alkali oral.


 Manifestasi uremik: Obati dengan terapi pengganti ginjal jangka panjang
(hemodialisis, dialisis peritoneal, atau transplantasi ginjal).
 Komplikasi kardiovaskular: Perlakukan sebagaimana mestinya.
 Kegagalan pertumbuhan pada anak-anak: Obati dengan hormon
pertumbuhan.

Tabel 3. Screening, monitoring, dan manajemen komplikasi CKD


Komplikasi Tes terkait Frekuensi tes Manajemen
diulang
Anemia Hemoglobin Tanpa anemia:  Singkirkan
 CKD tahap G1- penyebab anemia
G2: ketika lainnya: defisiensi
diindikasikan besi, defisiensi
secara klinis vitamin B12,
 CKD tahap G3: defisiensi folat,
setidaknya perdarahan
sekali per tahun tersembunyi.
 CKD tahap G4-  Pertimbangkan
G5: setidaknya suplementasi zat
dua kali per besi dan rujukan
tahun ke ahli nefrologi
Dengan anemia: untuk terapi agen
CKD stadium 3- perangsang
5: setidaknya eritropoietin bila
setiap 3 bulan hemoglobin <10
g/dL.
Kelainan Serum kalsium, Kalsium fosfat: Pertimbangkan
mineral dan fosfat, hormon terapi penurun
tulang paratiroid, 25- fosfat (misalnya,
kalsium
2

hydroxyvitamin  CKD stadium asetat, sevelamer,


D G3: setiap 6-12 pengikat berbasis
bulan zat besi) dan
 CKD stadium suplementasi
G4: setiap 3–6 vitamin D
bulan
 CKD stadium
G5: setiap 1-3
bulan
Hormon
paratiroid:
 CKD stadium
G3: pada awal,
kemudian sesuai
kebutuhan
 CKD stadium
G4: setiap 6-12
bulan
 CKD stadium
G5: setiap 3–6
bulan
Vitamin D:
CKD tahap 3-5:
pada awal,
kemudian sesuai
kebutuhan

Hiperkalemia Serum Pada dasar dan Diet rendah-


potassium bila dibutuhkan potasium, koreksi
hiperglikemia dan
asidemia,
2

pertimbangkan
binder potasium
Asidosis Serum Pada dasar dan Suplementasi
metabolik bikarbonat bila dibutuhkan bikarbonat oral (cth:
sodium bikarbonat,
baking soda, atau
sodium sitrat) untuk
nilai persisten <22
mmol/L
Penyakit Panel lipid Pada dasar dan  Terapi statin dosis
kardiovaskuler bila dibutuhkan rendah hingga
sedang untuk
pasien berusia ≥50
tahun dengan CKD
 Terapi statin untuk
pasien berusia 18-
49 tahun dengan
CKD dan penyakit
arteri koroner,
diabetes, stroke
iskemik
sebelumnya, atau
risiko tinggi infark
miokard atau
kematian
kardiovaskular

TERAPI PENGGANTIAN GINJAL11


Indikasi untuk terapi penggantian ginjal pada pasien dengan CKD meliputi:
 Asidosis metabolik berat
 Hiperkalemia
2

 Perikarditis
 Ensefalopati
 Kelebihan volume yang tak tertahankan
 Gagal tumbuh dan malnutrisi
 Neuropati perifer
 Gejala gastrointestinal yang sulit diatasi
 Pada pasien dewasa tanpa gejala, laju filtrasi glomerulus (GFR) 5-9
mL/menit/1,73 m², terlepas dari penyebab CKD atau tidak adanya
penyakit penyerta lainnya.
Perencanaan tepat waktu untuk terapi penggantian ginjal jangka panjang
mempertimbangkan hal-hal berikut:
 Edukasi pasien awal mengenai perkembangan penyakit alami, modalitas
dialitik yang berbeda, transplantasi ginjal, dan pilihan untuk menolak atau
menghentikan dialisis kronis.
 Penempatan akses vaskular permanen yang tepat waktu (mengatur
pembuatan fistula arteriovenosa primer secara bedah, jika memungkinkan,
dan lebih disukai setidaknya 6 bulan sebelum tanggal dialisis yang
diantisipasi untuk pasien yang transplantasinya tidak akan segera
dilakukan).
 Pemasangan kateter dialisis peritoneal elektif tepat waktu.
 Rujukan tepat waktu untuk transplantasi ginjal.

DIET
Pembatasan asupan protein22
Pembatasan asupan protein pada awal CKD sebagai cara untuk menunda
penurunan GFR masih kontroversial, namun saat pasien mendekati CKD stadium
5, strategi ini direkomendasikan pada orang dewasa (tetapi tidak pada anak-anak)
untuk menunda timbulnya gejala uremik.
Pembatasan asupan protein dimulai pada GFR ≤60ml/menit per 1,73 m 2,
sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan protein tidak terlalu dianjurkan.
Protein
2

diberikan 0.6-0.8/kgbb/hari yang 0.35-0.50 gram diantaranya merupakan protein


nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgbb/hari.
Dibutuhkan pemantauan teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi
malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan.

Pembatasan asupan garam23


Pengurangan asupan garam dapat memperlambat perkembangan CKD
diabetes, setidaknya sebagian dengan menurunkan tekanan darah. Sebuah meta-
analisis menemukan bahwa pengurangan garam diet secara signifikan mengurangi
tekanan darah pada diabetes tipe 1 dan tipe 2, dengan hasil yang sebanding
dengan terapi obat tunggal. Temuan ini konsisten dengan bukti lain yang
menghubungkan asupan garam dengan tekanan darah dan albuminuria pada
pasien hipertensi dan normotensif. Rekomendasi diet natrium untuk populasi
umum dalam pedoman kesehatan masyarakat kurang dari 5-6 g setiap hari.

Tabel 4. Pembatasan asupan protein dan fosfat pada CKD


GFR (ml/menit/1,73 Asupan protein Fosfat g/kg/hari
m2) g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0.6-0.8/kg/hari, termasuk ≤10 gram
≥0.35 gr/kg/hari nilai
biologis tinggi
5-25 0.6-0.8/kg/hari, termasuk ≤10 gram
≥0.35 gr/kg/hari nilai
biologis tinggi atau
tambahan 0,3 gram asam
amino esensial atau
asam
keton
<60 (sindrom nefrotik) 0,8 gr/kg/hari (+1 gram ≤10 gram
protein/ g proteinuria
atau 0,3 kg tambahan
2

asam amino esensial atau


asam keton)

Pembatasan diet lainnya


Pembatasan asupan berikut juga dapat diindikasikan:
 Pembatasan asupan fosfat, mulai dari awal CKD
 Pembatasan asupan potassium
 Pembatasan asupan sodium dan air (menghindari volume overload)

Buah-buahan dan sayur-sayuran24


Sebuah tinjauan tentang manfaat kesehatan potensial dari pola makan
berbasis- tumbuhan pada pasien dengan CKD menunjukkan bukti yang
berkembang, sebagian besar observasional, bahwa pada individu dengan perkiraan
GFR 30-59 ml/menit per 1,73 m2, pola makan berbasis-tumbuhan (misalnya,
Dietary Approaches to Stop Hypertension [DASH] diet, Mediterranean diet)
dapat menunda perkembangan ke ESRD dan dialisis dan berpotensi meningkatkan
kelangsungan hidup.

AKTIVITAS
Pedoman praktik klinis KDIGO merekomendasikan bahwa pasien dengan
CKD melakukan olahraga teratur, sesuai dengan kesehatan kardiovaskular,
idealnya setidaknya 30 menit 5 kali per minggu. 9 Namun, penelitian telah
menemukan bahwa pasien dengan CKD berpartisipasi dalam aktivitas fisik hanya
sekitar 9 hari per bulan, dan 45% pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir
(ESKD) dilaporkan tidak berolahraga sama sekali.25
Mengenai jenis latihan fisik, untuk pasien yang menjalani dialisis, bukti
terkuat adalah latihan aerobik, yang dapat meningkatkan kebugaran fisik,
kekuatan otot, dan kualitas hidup kelompok penderita CKD. Pelatihan resistensi
telah menunjukkan manfaat bagi pasien dengan tahap awal CKD. Mengingat data
terbatas yang tersedia, pendekatan yang masuk akal adalah merujuk pasien CKD
ke
2

ahli olahraga yang memenuhi syarat untuk meresepkan dan mengawasi program
olahraga yang disesuaikan dengan situasi individu pasien.26

KONSULTASI DAN MONITORING JANGKA PANJANG27


Konsultasi untuk pengelolaan pasien dengan CKD dapat mencakup hal-hal
berikut:
 Rujukan nefrologi awal (menurunkan morbiditas dan mortalitas).
 Ahli diet ginjal.
 Pembedahan untuk akses vaskular permanen atau untuk penempatan
kateter peritoneal.
 Rujukan ke pusat transplantasi ginjal.
Pasien dengan CKD harus dirujuk ke ahli nefrologi di awal perjalanan
penyakit mereka dan terus melakukan tindak lanjut nefrologi sampai inisiasi terapi
pengganti ginjal kronis, selama dialisis, dan setelah transplantasi ginjal. Selain itu,
pendekatan multidisiplin untuk perawatan, termasuk keterlibatan ahli nefrologi,
dokter perawatan primer, ahli diet ginjal, perawat, dan pekerja sosial, harus
dimulai pada awal perjalanan CKD, dengan tindak lanjut pasien yang ketat.
Pasien harus dipantau untuk Obstructive Sleep Apnea (OSA), yang
frekuensinya meningkat pada pasien yang menerima dialisis. Sakaguchi et al juga
menemukan insiden tinggi (65%) OSA pada pasien Jepang dengan CKD
nondialisis, dengan OSA sedang atau berat pada sekitar sepertiga pasien yang
memilikinya. Studi ini juga menemukan bahwa penurunan laju filtrasi glomerulus
(GFR) dikaitkan dengan peningkatan risiko OSA.

PEMBERIAN OBAT11,18
Pada CKD, dosis dan interval dosis obat yang diekskresikan atau
dimetabolisme melalui ginjal harus disesuaikan dengan GFR residual. Beberapa
obat dikontraindikasikan pada gangguan ginjal sedang sampai berat karena
potensi efek serius dari akumulasi obat atau metabolit. Konsultasi rutin dari
referensi yang sesuai harus dilakukan ketika meresepkan obat baru untuk pasien
dengan CKD.
2

Untuk pasien yang menjalani dialisis, sangat penting untuk hati-hati


memeriksa panduan dosis atau memantau tingkat bila memungkinkan. Pasien
rawat inap yang menjalani jenis lain dari terapi penggantian ginjal terus menerus
juga memerlukan pemantauan ketat. Seorang apoteker klinis yang berpengalaman
berperan penting dalam membantu merancang rejimen dosis individual.
Perawatan untuk manifestasi patologis CKD meliputi:
 Hiperfosfatemia: Pengikat fosfat makanan dan pembatasan fosfat makanan
 Hipokalsemia: Suplemen kalsium dan mungkin calcitriol
 Hiperparatiroidisme: Calcitriol atau analog vitamin D
 Anemia: Terapi penggantian besi dan agen perangsang eritropoiesis
 Kematian kardiovaskular, gagal jantung: inhibitor SGLT2
 Penurunan fungsi ginjal yang berkelanjutan: penghambat SGLT2,
antagonis MR, ACEI, ARB, penghambat RAS

2.12 Prognosis11
Pasien dengan CKD dan khususnya penyakit ginjal stadium akhir (ESRD)
berada pada peningkatan risiko kematian, terutama dari penyakit kardiovaskular.
Sebuah tinjauan data USRDS 2009 menunjukkan bahwa kemungkinan
kelangsungan hidup 5 tahun pada pasien dialisis hanya sekitar 34%.
CKD tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk,
kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang
ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari CKD itu sendiri. Selain itu,
biasanya CKD sering terjadi tanpa gejala sampai mencapai tingkat lanjut dan
menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat.
BAB III
KESIMPULAN

CKD menurut definisi panduan internasional adalah penurunan fungsi


ginjal yang ditunjukkan oleh GFR kurang dari 60 mL/menit per 1,73 m 2, atau
adanya marker kerusakan ginjal, atau keduanya, durasi minimal 3 bulan, terlepas
dari penyebab yang mendasarinya. CKD merupakan sebuah proses patofisiologis
dengan etiologi bervariasi, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal progresif,
dan biasanya berakhir dengan gagal ginjal.
Awal perkembangan CKD, penderita mungkin tidak merasakan tanda atau
gejala sama sekali, namun mungkin dapat dideteksi ketika ada peningkatan serum
kreatinin dan proteinuria. CKD biasanya diidentifikasi melalui skrining rutin
dengan profil kimia serum dan studi urin atau sebagai temuan insidental. Lebih
jarang, pasien mungkin datang dengan gejala seperti hematuria berat, urin
“berbusa" (tanda albuminuria), nokturia, nyeri pinggang, atau penurunan produksi
urin. Jika CKD lebih parah, pasien mungkin melaporkan kelelahan, nafsu makan
yang buruk, mual, muntah, rasa logam, penurunan berat badan yang tidak
disengaja, pruritus, perubahan status mental, dispnea, atau edema perifer. Seiring
dengan memberatnya CKD, lebih mungkin untuk gejala-gejala muncul.
Diagnosis CKD dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis (melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik), disertai dengan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, biopsi dan pemeriksaan
histopatologi ginjal.
Tatalaksana CKD berfokus pada hal-hal berikut: menunda atau
menghentikan perkembangan CKD, mendiagnosis dan mengobati manifestasi
patologis/komplikasi CKD, perencanaan tepat waktu untuk terapi penggantian
ginjal jangka panjang (transplantasi), diet, aktivitas, konsultasi dan monitoring
jangka panjang, serta pertimbangan dalam pemberian obat. Tatalaksana bertujuan
hanya untuk mencegah progresifitas dari CKD itu sendiri. Selain itu, biasanya
CKD sering terjadi tanpa gejala sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan
gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat.

28
DAFTAR PUSTAKA

1.
Sherwood, L. Human Physiology: from Cells to Systems 9th edition.
Cengage Learning; 2016.
2.
“What is Chronic Kidney Disease?”. National Institute of Diabetes,
Digestive, and Kidney Diseases. 13 Juni 2017. Diakses 9 Juni 2022.
3.
Ganong. Review of Medical Physiology, 25th edition. McGraw-Hill
Education: 2016.
4.
Lv JC, Zhang LX. Prevalence and Disease Burden of Chronic Kidney
Disease. Adv Exp Med Biol. 2019;1165:3-15.
5.
Situasi Penyakit Ginjal Kronis. INFODATIN Kementrian Kesehatan RI.
2017. ISSN 2442-7659.
6.
Manski-Nankervis J, Thuraisingam S, Lau P, Blackberry I, Sluggett J,
Ilomaki J, Bell J, Furler J. Screening and diagnosis of chronic kidney
disease in people with type 2 diabetes attending Australian general
practice. Australian Journal of Primary Health,2018; 24(3):280.
7.
Remer EM, Papanicolaou N, Casalino DD, et al. ACR appropriateness
criteria on renal failure. Am J Med 2014; 127: 1041–48
8.
Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas of Anatomy, Vol. 2, 16th ed., Internal
Organs. Urban & Fischer: 2019.
9.
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work
Group. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and
management of chronic kidney disease. Kidney Int Suppl. 2013;3(1):1–
150.
10.
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Setiati S, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit dalam Jilid III edisi VI. Interna Publishing: 2014.
11.
Webster AC, Nagler EV, Morton RL, Masson P. Chronic Kidney Disease.
Lancet 2017;389:1238-52.
12.
Jha V, Garcia-Garcia G, Iseki K, Li Z, Naicker S, Plattner B, Saran R, et
al. Chronic Kidney Disease: Global Dimension and Perspectives. Lancet
2013;382: 260-72.
29
3

13.
Hill NR, Fatoba ST, Oke JL, Hirst JA, O'Callaghan CA, Lasserson DS,
Hobbs FD. Global Prevalence of Chronic Kidney Disease - A Systematic
Review and Meta-Analysis. PLoS One 2016;11(7).
14.
Couser WG, Remuzzi G, Mendis S, Tonelli M. The contribution of
chronic kidney disease to the global burden of major noncommunicable
diseases. Kidney Int. 2011;80(12):1258-1270.
15.
Laporan Nasional RISKESDAS. Kementrian Kesehatan RI Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2018.
16.
Mullins LJ, Conway BR, Menzies RI, Denby L, Mullins JJ. Renal disease
pathophysiology and treatment: contributions from the rat. Dis Model
Mech. 2016 Dec 1;9(12):1419-1433.
17.
Vaidya SR, Aeddula NR. Chronic Renal Failure. [Diperbaharui 29
Oktober 2021]. Dalam: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022; Tersedia di:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535404/
18.
Chen TK, Knicely DH, Grams ME. Chronic Kidney Disease Diagnosis
and Management: A Review. JAMA. 2019;322(13):1294-1304.
19.
Nesrallah GE, Mustafa RA, Clark WF, Bass A, Barnieh L, Hemmelgarn
BR, et al. Canadian Society of Nephrology 2014 clinical practice guideline
for timing the initiation of chronic dialysis. CMAJ. 2014 Feb 4.
186(2):112- 7.
20.
Hsu TW, Liu JS, Hung SC, et al. Renoprotective effect of renin-
angiotensin- aldosterone system blockade in patients with predialysis
advanced chronic kidney disease, hypertension, and anemia. JAMA
Internal Medicine 2014;174 (3):347-54.
21.
Park M, Hsu CY. An ACE in the hole for patients with advanced chronic
kidney disease?. JAMA Intern Med. 2014;174 (3):355-6.
22.
Piccoli GB, Capizzi I, Vigotti FN, Leone F, D'Alessandro C, Giuffrida D,
Nazha M, et al. Low protein diets in patients with chronic kidney disease:
a bridge between mainstream and complementary-alternative medicines?
BMC Nephrol. 2016;8;17(1):76.
3

23.
Suckling RJ, He FJ, Macgregor GA. Altered dietary salt intake for
preventing and treating diabetic kidney disease. Cochrane Database of
Systematic Reviews 2010;CD006763.
24.
Romanowski A. Diets for Patients With CKD: What's New, What's Best?.
Medscape Medical News. Tersedia di
https://www.medscape.com/viewarticle/910884. 27 Maret 2019; Diakses:
9 Juni 2022.
25.
Mallamaci F, Pisano A, Tripepi G. Physical activity in chronic kidney
disease and the EXerCise Introduction To Enhance trial. Nephrol Dial
Transplant. 2020;35(Suppl 2):ii18-ii22.
26.
Barcellos FC, Santos IS, Umpierre D, Bohlke M, Hallal PC. Effects of
exercise in the whole spectrum of chronic kidney disease: a systematic
review. Clin Kidney J. 2015;(6):753-65.
27.
Sakaguchi Y, Shoji T, Kawabata H, Niihata K, Suzuki A, Kaneko T, et al.
High prevalence of obstructive sleep apnea and its association with renal
function among nondialysis chronic kidney disease patients in Japan: a
cross-sectional study. Clin J Am Soc Nephrol. 2011;(5):995-1000.

Anda mungkin juga menyukai