Anda di halaman 1dari 31

Referat

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Oleh :
Melenia Rhoma Dona YS, S. Ked

NIM: 71 2021 060

Pembimbing :
dr. Adhi Permana, Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH
PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Refera

Judul:
Chronic Kidney Disease (CKD)

Oleh:

Melenia Rhoma Dona YS, S.


Ked NIM: 71 2021 040

Telah dilaksanakan pada bulan September 2022 sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di
RS Muhammadiyah Palembang.

Palembang, September 2022


Pembimbing

dr. Adhi Permana, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Chronic Kidney Disease (CKD)” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah
kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan
pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Adhi Permana, Sp.PD selaku pembimbing yang telah memberikan
masukan, arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian referat ini.
2. Rekan sejawat, serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
telah diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan menambah
keilmuan bagi semua.

Palembang, September 2022

Penulis

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ginjal merupakan organ yang berfungsi untuk menyaring (filtrasi) dan


mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme (racun) dari darah menjadi urin. Pada
penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease) terjadi penurunan fungsi
ginjal secara progresif dan tidak dapat pulih kembali. 1 Chronic kidney disease
(CKD) merupakan abnormalitas fungsi dan struktur ginjal, adanya laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 mL/min/1,73 m² dan terjadi kerusakan ginjal yang
berlangsung lebih dari 3 bulan. Kerusakan ginjal ini ditandai dengan
albuminuria dimana laju ekskresi albumin ≥30 mg/24 jam atau rasio albumin
kreatinin urin ≥30 mg/mmol, sedimen urin abnormal, gangguan elektrolit dan
juga kelainan lainnya. CKD terjadi secara irreversible, yang berkembang
secara perlahan dan progresif.2
Menurut united states renal data system (USRDS), proporsi pasien
dengan CKD mengalami peningkatan, jumlah pasien penderita CKD pada
tahun 2000 yaitu 2,7 % dan menjadi 13,8% pada tahun 2016. Prevalensi
CKD di Amerika Serikat dengan jumlah penderita meningkat setiap
tahunnya.3 Berdasarkan data Riskesdas 2018, CKD di Indonesia lebih banyak
dijumpai pada laki-laki (0,3%) dibandingkan dengan perempuan (0,2%).
Berdasarkan karakteristik umur, prevalensi tertinggi pada kategori usia diatas
75 tahun (0,6%) dan mulai terjadi peningkatan pada usia 35 tahun ke atas.4
Penyebab tersering dari CKD yaitu diabetes melitus, hipertensi,
glomerulonefritis dan penyebab lainnya dapat berupa idiopatik. Diagnosis
dari CKD dapat ditegakkan melalui gambaran klinis dan dengan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan
biopsi serta pemeriksaan histopatologi ginjal.5

1
1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan pembuatan referat ini adalah:

1. Diharapkan bagi semua sarjana kedokteran dapat memahami mengenai


chronic kidney disease.

2. Diharapkan bagi semua sarjana kedokteran dapat memiliki pola berpikir


kritis setelah dilakukannya diskusi dengan dosen pembimbing klinik
mengenai chronic kidney disease.

3. Diharapkan bagi semua sarjana kedokteran agar dapat mengaplikasikan


pemahaman yang didapatkan dalam kegiatan kepaniteraan klinik senior
(KKS) mengenai chronic kidney disease.

1.3 Manfaat

1.3.1 Manfaat Teoritis

1. Bagi institusi, diharapkan referat ini dapat menambah bahan


referensi dan studi kepustakaan dalam bidang ilmu penyakit dalam
mengenai chronic kidney disease.

2. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan referat ini dapat dijadikan


landasan untuk penulisan referat selanjutnya.

1.3.2 Manfaat Praktis

1. Bagi semua sarjana kedokteran, diharapkan referat ini dapat


membantu dalam mendiagnosis dan memberikan terapi chronic
kidney disease.

2. Bagi penulis selanjutnya diharapkan referat ini dapat dijadikan


landasan untuk penulisan referat selanjutnya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium


(retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus
abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di
bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar
suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada
orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira
sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1% berat
seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram (Gambar 1).6

Gambar 1. Anatomi Ginjal7

Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke dalam.


Jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal
kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita.
Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke bawah dibandingkan ginjal kiri untuk

3
memberi tempat lobus hepatis dextra yang besar. Ginjal dipertahankan dalam
posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal dibungkus oleh dua
lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam
guncangan.6
Ginjal adalah organ penting yang memiliki peran cukup besar dalam
pengaturan kebutuhan cairan dan elektrolit. Hal ini terlihat pada fungsi ginjal
yaitu sebagai pengatur air, konsentrasi garam dalam darah, keseimbangan asam
basa darah dan pengatur eksresi bahan buangan atau kelebihan garam. Proses
pengaturan kebutuhan keseimbangan air ini diawali oleh kemampuan bagian
glomerulus sebagai penyaring cairan. Cairan yang tersaring kemudian mengalir
melalui tubulus renalis yang sel–selnya menyerap semua bahan yang dibutuhkan.
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi
kimia darah serta lingkungan dalam tubuh dengan mengeksresi zat terlarut dan air
secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui
glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang
sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan
keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin.8
Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian
akan mengambil zat - zat yang berbahaya dari dari darah. Zat – zat yang diambil
dari darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke
ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila
orang tersebut merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka
urin yang ditampung di kandung kemih akan dikeluarkan lewat uretra. Tiga proses
utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi, reabsorpsi
dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang
hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula bowman. Kebanyakan
zat dalam plasma kecuali protein, difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya
pada filtrat glomerulus di kapsula bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya
zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi tidak difiltrasi
kemudian direabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian akan dieksresi.6

4
\

Gambar 2. Fisiologi Ginjal6

2.2 Definisi2

Penyakit ginjal kronik atau bisa disebut chronic kidney disease (CKD)
merupakan abnormalitas fungsi dan struktur ginjal. CKD terjadi secara
irreversible, yang berkembang secara perlahan dan progresif pada suatu derajat
yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. Kriteria penyakit ginjal kronik yaitu:2

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan,


berupa kelainan struktural atau fungsional dengan atau tanpa penurunan
laju filtrasi glomerulus dengan manifestasi kelainan patologis atau terdapat
tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau
kelainan dalam ted pencitraan (imaging test).

2. Laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3


bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

2.3 Epidemiologi

Penyakit ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD) menduduki


peringkat 27 dalam daftar penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia pada

5
tahun 1990, kemudian naik ke peringkat 18 di tahun 2010. 9 Menurut united states
renal data system (USRDS), proporsi pasien dengan CKD mengalami
peningkatan, jumlah pasien penderita CKD sebelumnya 2,7% pada tahun 2000
menjadi 13,8% pada tahun 2016. Prevalensi CKD di Amerika Serikat dengan
jumlah penderita meningkat setiap tahunnya.3 Berdasarkan data Riskesdas
2018, CKD di Indonesia lebih banyak dijumpai pada laki-laki (0,3%)
dibandingkan dengan perempuan (0,2%). Berdasarkan karakteristik umur,
prevalensi tertinggi pada kategori usia diatas 75 tahun (0,6%), dimana mulai
terjadi peningkatan pada usia 35 tahun ke atas.4

CKD memiliki prevalensi global tinggi dengan estimasi prevalensi secara


global antara 11 sampai 13% dengan mayoritas stage 3. Angka prevalensi CKD
secara global bervariasi, dengan perkiraan sekitar 13,4%. Lebih dari 2 juta orang
di dunia saat ini menerima pengobatan dengan dialisis atau transplantasi ginjal
untuk bertahan hidup, namun angka ini mungkin hanya mewakili 10% dari orang-
orang yang benar-benar membutuhkan pengobatan untuk hidup.9

2.4 Etiologi

Penyebab tersering penyakit ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD)
yang diketahui adalah diabetes melitus, selanjutnya diikuti oleh hipertensi dan
glomerulonefritis. Penyebab lainnya dapat berupa idiopatik.5 Namun penyebab-
penyebab dari CKD dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi ginjal yang
terlibat:10

1. Penyakit vaskular, yang dapat melibatkan pembuluh darah besar seperti


bilateral arteri stenosis, dan pembuluh darah kecil seperti nefropati iskemik,
hemolytic-uremic syndrome, dan vasculitis.

2. Kelainan pada glomerulus yang dapat berupa penyakit glomerulus primer


seperti nefritis dan focal segmental glomerulosclerosis. Penyakit glomerulus
sekunder seperti nefropati diabetik dan lupus nefritis.

3. Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik.

4. Nefropati obstruktif dapat berupa batu ginjal bilateral dan hiperplasia prostat.

6
5. Infeksi parasit (yang sering berupa enterobiasis) dapat menginfeksi ginjal dan
menyebabkan nefropati.

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis penyakit ginjal kronik terbagi menjadi dua yaitu:11

1. Gejala dini : Sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi. Sakit kepala awalnya pada
penyakit CKD memang tidak akan langsung terasa, namun jika terlalu
sering terjadi maka akan mengganggu aktifitas. Penyebabnya adalah ketika
tubuh tidak bisa mendapatkan oksigen dalam jumlah cukup akibat
kekurangan sel darah merah, bahkan otak juga tidak bisa memiliki kadar
oksigen dalam jumlah yang cukup. Sakit kepala akan menjadi lebih berat
jika penderita juga bermasalah dengan anemia.

2. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia atau mual disertai muntah, nafsu
makan turun, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau
tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi
mungkin juga sangat parah. Anoreksia adalah kelainan psikis yang diderita
seseorang berupa kekurangan nafsu makan mesti sebenarnya lapar dan
berselera terhadap makanan. Gejala mual muntah ini biasanya ditandai
dengan bau mulut yang kuat yang menjadi tidak nyaman, bahkan
keinginan muntah bisa bertahan sepanjang waktu hingga sama sekali tidak
bisa makan. Pada nafsu makan turun disebabkan karena penurunan nafsu
makan berlebihan, ginjal yang buruk untuk menyaring semua racun
menyebabkan ada banyak racun dalam tubuh. Racun telah mempengaruhi
proses metabolisme dalam tubuh.

Fungsi ginjal yang terus menerus mengalami penurunan, maka dapat


menimbulkan beberapa gejala, yaitu:11
1. Penurunan produksi eritropoietin, menyebabkan penurunan produksi sel
darah merah yang dapat menyebabkan anemia. Eritropoietin diproduksi di
jaringan interstitial ginjal. Pada CKD, jaringan ini mengalami nekrosis

7
sehingga produksi eritropoietin berkurang.
2. Peningkatan tekanan darah akibat kelebihan cairan dan produksi dari
hormon vasoaktif yang diekskresikan oleh ginjal melalui Renin-
Angiotensin- Aldosterone-System (RAAS), menyebabkan resiko penderita
CKD mengalami hipertensi atau penyakit jantung kongestif.
3. Asidosis metabolik akibat akumulasi fosfat dan urea. Asidosis juga dapat
disebabkan oleh penurunan kemampuan produksi ammonia pada sel-sel
ginjal.
4. Anemia defisiensi besi, disebabkan beberapa faktor yaitu peningkatan
inflamasi yang disebabkan akumulasi urea, penurunan eritropoietin, dan
penurunan fungsi sumsum tulang.
5. Hiperkalemia akibat akumulasi kalium dalam darah, dengan gejala seperti
malaise hingga aritmia jantung. Hiperkalemi dapat terjadi jika GFR <25
ml/menit/1,73m2 dimana kemampuan ekskresi kalium oleh ginjal
berkurang.
6. Hiperfosfatemia akibat berkurangnya ekskresi fosfat oleh ginjal,
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler (fosfat adalah stimulus
kalsifikasi vaskuler)
7. Hipokalsemia akibat stimulasi pembentukan FGF-23 (inhibitor enzim
pembentukan vitamin D) oleh ostosit bersamaan dengan penurunan massa
ginjal. Secara kronis menyebabkan hipertropi kelenjar paratiroid, kelainan
tulang akibat penyakit ginjal, dan kalsifikasi vaskuler.
8. Uremia akibat akumulasi urea pada darah dengan gejala berupa
ensefalopati, perikarditis, dan gastropati. Urea dapat terekskresi melalui
kelenjar keringat dalam konsentrasi tinggi dan mengkristal pada kulit
(uremic frost).

2.6 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronis didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar
derajat penyakit dibuat atas dasar GFR yang dihitung dengan mempergunakan
rumus Kockeroft-Gault berdasarkan penurunan GFR dan peningkatan serum

8
kreatinin sebagai berikut:2

(140 - umur) X berat badan (kg)


GFR (ml/mnt/1,73m2) =..................................................................

72 X kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0, 85

Berdasarkan GFR, penyakit ginjal kronik lalu diklasifikasikan sebagai berikut:2

1. Derajat 1 bila telah terjadi kerusakan ginjal namun nilai GFR masih normal
atau meningkat ( > 90 ml/mnt/1,73 m2)

2. Derajat 2 bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan GFR menurun ringan (60-
89 ml/mnt/1,73 m2.

3. Derajat 3 bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan GFR menurun sedang (30-
59 ml/mnt/1,73 m2)

4. Derajat 4 bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan GFR menurun berat (15- 29
ml/mnt/1,73 m2)]

5. Derajat 5 bila telah terjadi gagal ginjal dengan GFR <15 ml/mnt/1,73 m2 atau
sudah membutuhkan terapi hemodialisis (dialisis).

Berdasarkan diagnosis dan etiologi penyakit ginjal kronis diklasifikasikan sebagai


berikut:2

1. Penyakit ginjal diabetes

Diabetes tipe 1 dan 2

2. Penyakit ginjal non diabetes

Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia),


penyakit vascylar (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati),
penyakit tubulointerstitial (piolenefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan

9
obat), penyakit kistik (ginjal polikstik).

3. Penyakit pada transplantasi

Rejeksi kronik, keracunan obat (siklosporin/ takrolimus), penyakit recurrent


(glomerular), transplant glomerulopathy.

2.7 Patofisiologi2

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit


yang mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini menyebabkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron sentrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai
oleh growth factor seperti transforming growth factor b (TGF-b). Beberapa hal
yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal
kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemi, dislipidemia. Terdapat
variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstisial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana GFR masih normal atau
malah meningkat. Kemudian secara perlahan, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada GFR sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,
nokturi, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.

10
Sampai pada GFR di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti, uremia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas maupun
infeksi saluran cerna, juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo
dan hipervolemia, gangguan keseimbangan elektolit antara lain natrium dan
kalium. Pada GFR di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius, dan pasien sudah membutuhkan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penyakit ginjal kronik


yaitu:12

1. Hemoglobin

Pemeriksaan darah ini digunakan untuk memeriksa kadar protein yang ada di
dalam sel darah merah. Nilai normalnya : untuk pria 14-18 g/dl, dan untuk
perempuan 12-16 g/dl.

2. Albumin

Pemeriksaan darah ini digunakan untuk memeriksa fungsi organ ginjal. Nilai
normalnya : 3,4-5,4 g/dl.

3. Nitrogen Urea Darah (BUN)

Pemeriksaan darah ini mengukur urea. Nilai normalnya : 5-25 mg/dl.

4. Kreatinin (Serum)

Pemeriksaan darah ini digunakan untuk mendiagnosis disfungsi ginjal.


Kreatinin adalah sisa pemecahan otot yang diekskresikan oleh ginjal.
Perbandingan nilai normal BUN/kreatinin yaitu 10:1. Nilai normal : serum 0,5-
1,5 mg/dl.

5. Klirens

11
Kreatinin Pemeriksaan urine 24 jam untuk mengidentifikasi disfungsi ginjal
dan memonitor fungsi ginjal. Nilai normal : 85-135/menit.

6. Sistasin C

Pemeriksaan darah ini dapat digunakan untuk alternatif pemeriksaan kreatinin


guna melakukan skrining dan memonitor ginjal pada orang 13 yang diduga
mengalami penyakit ginjal. Sistain C merupakan inhibitor proteinase sistein
yang disaring oleh ginjal.

7. CT Scan Ginjal

CT scan digunakan untuk mengevaluasi ukuran ginjal, tumor, abses, massa


suprarenal dan obstruksi.

8. Sistometogram (CMG, cystometogram) / (Sistogram berkemih)

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi kapasitas kandung kemih dan


fungsi neuromuskular kandung kemih, tekanan uretra, dan penyebab disfungsi
kandung kemih.

9. GFR terukur (estimed GFR, eGFR)

GFR terukur dianggap sebagai cara yang paling akurat mendeteksi perubahan
fungsi ginjal. Nilai normal : 90-120 ml/menit.

10. IVP (intravenous pyelogram)

IVP merupakan pemeriksaan radiologi yang dilakukan untuk


memvisualisasikan seluruh saluran ginjal untuk mengidentifikasi ukuran,
bentuk, dan fungsi ginjal yang abnormal.

11. MRI ginjal

MRI digunakan untuk memvisualisasikan ginjal dengan mengkaji gelombang


frekuensi radio dan perubahan medan magnetik yang ditunjukkan pada layar
komputer.

12. Scan kandung kemih ultrasonik portabel

Pemeriksaan ini digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai urine


residual.

13. Erteriogram atau angiogram ginjal

12
Pemeriksaan radiologi ini dilakukan untuk memvisualisasikan pembuluh darah
ginjal guna mendeteksi stenosis arteri renalis, embolisme ginjal, tumor, kista.

14. Biopsi ginjal

Biopsi ginjal dilakukan untuk menentukan penyebab penyakit ginjal, mencegah


terjadinya metastasis kanker ginjal, atau bila ada penolakan dengan
transplantasi ginjal.

15. Ultrasonografi ginjal

Pemeriksaan non invasif dilakukan untuk mendeteksi massa ginjal atau


perirenal, mengidentifikasi obstruksi, dan mendiagnosis kista ginjal.

16. Urine residual (postvoiding residual urine)

Pemeriksaan urine residual dilakukan untuk mengukur jumlah urine yang


tersisa dalam kandung kemih setelah berkemih. Nilai normal :

17. Foto polos abdomen

Pemeriksaan untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau


nefrokalsinosis.

18. Magnetic resonance angiography

Pemeriksaan untuk mendiagnosis stenosis arteri renalis, meskipun


arteriografi renal tetap merupakan diagnosis standar.

19. Radionukleotida

Pemeriksaan deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan menggunakan


radioisotope scanning. Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan
intravenous pyelography (IVP) untuk mendeteksi parut ginjal dan
merupakan diagnosis standar untuk mendeteksi nefropati refluks.

20. Retrogade atau anterogade pyelography

Pemeriksaan untuk mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus


urinarius. Pemeriksaan ini diindikasikan apabila dari anamnesis didapatkan
kecurigaan gagal ginjal meskipun USG dan CT scan tidak menunjukkan
adanya hidronefrosis.

13
2.9 Diagnosis Banding11

CKD memiliki beberapa diagnosa banding, yaitu:

1. Acute kidney injury (AKI)

2. Glomerulonefritis kronis

3. Nefropati diabetik

4. Nefrolitiasis

5. Nefrosklerosis

6. Renal artery stenosis

2.10 Diagnosis

Penyakit ginjal dibagi menjadi akut atau kronik berdasarkan durasinya.


Jika durasi lebih dari 3 bulan maka disebut kronik. Kronisitas ini untuk
membedakan CKD dengan penyakit ginjal akut lainnya seperti GN
(Glomerulonefritis) akut, termasuk AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan
intervensi dan memiliki etiologi serta hasil yang berbeda. Pada AKI terjadi
peningkatan serum kreatinin secara tiba-tiba dengan jumlah yang tinggi, tetapi
pada CKD peningkatan serum kreatinin terjadi secara perlahan dan kronik.11
Diagnosis untuk CKD dapat ditegakkan melalui gambaran klinis dan dengan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi,
dan biopsi serta pemeriksaan histopatologi ginjal.2

Gambaran Klinis:

1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari (seperti diabetes melitus, infeksi


traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritomatosus Sistemik).

2. Sindrom uremia, yang terdiri dari lelah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,

14
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang hingga koma.

3. Gejala komplikasinya seperti hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, gagal


jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, klorida).

4. Riwayat transplantasi ginjal.

Pemeriksaan Laboratorium:

1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.

2. Penurunan fungsi ginjal berupa penurunan GFR, yang dihitung menggunakan


rumus Kockcroft-Gault, peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. GFR
<60 ml/min/1.73m2 (ketegori G3a-G5) merupakan GFR bernilai setengah dari
nilai normal pada pria dan wanita dewasa selama >3 bulan dapat diindikasi
dengan CKD (nilai normal GFR sekitar 125ml/min/1,73m2). Kadar kreatinin
serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.

3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,


peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.

4. Kelainan urinalisis meliputi proteiuria, hematuria, leukosuria, isostenuria.

Pemeriksaan Radiologi:

1. Foto polos abdomen (dapat tampak batu radiopak)

2. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,


korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi.

3. Pielografi intravena (jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa


melewati filter glomerulus, kemudian ada kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah rusak).

4. Pielografi antegrad atau retrograd (bila ada indikasi).

5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi (bila ada indikasi).

Biopsi dan Histopatologi Ginjal

15
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, ketika diagnosis secara
noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan tatalaksana, prognosis, dan mengevaluasi hasil
tatalaksana yang telah diberikan. Biopsi ginjal kontraindikasi dilakukan pada
keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal
polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.

Menurut KDIGO tahun 2012, kriteria penegakan diagnosis CKD adalah sebagai
berikut (tabel 1):
Tabel 1. Kriteria CKD (KDIGO 2012)
Kriteria CKD (> 3 bulan)
Tanda kerusakan ginjal Albuminuria (AER 30 mg/24 jam,
(1 atau lebih)
ACR 30 mg/g [3 mg/mmol])
Abnormalitas sedimen urin
Abnormalitas elektrolit dan tubular
Abnormalitas yang terdeteksi dari

Radiologi
Riwayat transplantasi ginjal

2.11 Tatalaksana

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :2

16
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid ( comorbid condition )

3. Memperlambat perburukkan fungsi ginjal.

4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Tabel 2. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai Dengan Derajatnya.

Derajat GFR Rencana Tatalaksana


(ml/mnt/1,73m )
2

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi


perburukkan fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskular.
2 60-89 Menghambat perburukkan fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal

Tabel 3. Pembatasan Asupan Protein Dan Fosfat Pada Penyakit Ginjal Kronik

LFG (ml/mnt/1,73m2) Asupan Protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari


>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi

17
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≤10 g
≥0,35gr/kg/hr nilai biologi
tinggi
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≤10 g
≥0,35gr/kg/hr nilai biologi tinggi
atau tambahan 0,3 g asam amino
essensial atau asam keton

<60 ( sindrom Nefrotik ) 0,8/kg/hr ( + 1 g protein/g ≤9g


proteinuria atau 0,3 g/kg
tambahan asam amino essensial
atau asam keton

Farmakoterapi sebagai berikut:5

1. Kontrol tekanan darah

a) Pada orang dengan CKD, harus mengontrol tekanan sistolik <140 mmHg

(dengan kisaran target 120-139 mmHg) dan tekanan diastolic <90 mmHg.

b) Pada orang dengan CKD dan diabetes dan juga orang dengan ACR 70
mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau
lebih, atau proteinuria 1 g/24 jam atau lebih), diharuskan untuk menjaga
tekanan sistolik <130 mmHg (dengan kisaran target 120-129 mmHg) dan
tekanan diastolic <80 mmHg

2. Pemilihan agen antihipertensi

a) First line: ACE inhibitor/ARB, ACE inhibitor / ARB diberikan pada:

 Pada CKD dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria)
atau lebih dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau
stadium CKD. Note: Perbedaan kedua batas ACR berbeda diberikan
disini untuk memulai pengobatan ACE Inhibitor pada orang CKD dan
proteinuria. Potensi manfaat ACE Inhibitor dalam konteks ini sangat

18
meninkat jika seseorang juga memiliki diabetes dan hipertensi dan
dalam keadaan ini, sebuah batas yang lebih rendah diterapkan.

 CKD pada non diabetic dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau
lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih,
proteinuria 0,5 gr/24 jam atau lebih)

 CKD pada non diabetic dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira
ekuivalen dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24
jam atau lebih), tanpa adanya hipertensi atau penyakit kardiovaskular

 CKD pada non diabetic dengan hipertensi dan ACR <30 mg/mmol
(kira-kira ekuivalent dengan PCR <50 mg/mmol), atau proteinuria <0,5
gram/24 jam.

 Saat menggunakan ACE Inhibitor / ARBS, upayakan agar mencapai


dosis terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi sebelum
menambahkan terapi second line (spironolakton).

3. Pemilihan statin dan antiplatelet


a) Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskuler.
Pada orang dengan CKD, penggunaannya pun tidak berbeda
b) Penggunaan statin pada orang dengan CKD merupakan pencegahan
sekunder dari penyakit kardiovaskular, terlepas dari batas nilai lipidnya.
c) Penggunaan antiplatelet pada orang dengan CKD merupakan pencegahan
sekunder dari penyakit kardiovaskular. CKD bukan merupakan
kontraindikasi dari penggunaan aspirin dosis rendah, tetapi dokter harus
memperhatikan adanya kemungkinan perdarahan minor pada orang dengan
CKD yang diberikan antiplatelet multiple.

4. Anemia

a) Penanganan anemia pada CKD harus dilakukan saat Hb <11 g/dl (atau 10
g/dl pada usia <2 tahun)

b) Menentukan apakah anemia disebabkan oleh CKD atau bukan. Dengan

19
memperhatikan LFG <60 ml/min/1,73 m2

c) Anemia defisiensi besi biasanya pada:

 Orang dengan CKD stadium 5 dengan level ferritin <100 mikrogram/L

 Orang dengan CKD stadium 3 dan 4 dengan level ferritin <100


mikrogram/L

d) Penanganan anemia

 Suplementasi eritropoetin

Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan setelah tersedia


menggunakan recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi
untuk aplikasi terapi. Human recombinant eritropoetin diberikan
intravena kepada pasien hemodialisa, telah dibuktikan menyebabkan
peningkatan eritropoetin yang drastic. Hal ini memungkinkan untuk
mempertahankan kadar Hb normal setelah transfuse darah berakhir pada
pasien bilateral nefrektomi yang membutuhkan transfuse regular.
Sejumlah eritropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialis,
pasien regular hemodialysis merespon dengan peningkatan Ht dengan
dosis tertentu dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa
AB yang melawan materi rekombinan dan menghambat terhadap
penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping utamanya adalah
meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis heparin yang tinggi
untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama
dialysis. Pada beberapa pasien, thrombosis pada pembuluh darah dapat
terlihat. Agar pemberian terapi eritropoetin optimal, perlu diberikan
terapi penunjang yang berupa pemberian:

 Asam folat: 5 mg/hari

 Vitamin B6: 100-150 mg

 Vitamin B12: 0,25 mg/bulan

 Vitamin C: 300 mg IV pasca HD pada anemia defisiensi besi fungsional


yang mendapat terapi EPO

20
 Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap precursor eritrosit

 Vitamin E: 1200 IU untuk mencegah efek induksi stress oksidatif yang


diakibatkan terapi besi intravena

 Preparat androgen (2-3x/minggu) untuk mengurangi kebutuhan EPO


tapi tidak dianjurkan pada wanita

5. Terapi transplantas ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis

Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialisis pada
dasarnya mempengaruhi pathogenesis anemia pada CKD.

6. Suplementasi besi

Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi absorpsi besi pada usus.


Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum satu
atau dua kali pertahun merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak
dipengaruhi oleh urema, suplementsi besi oral lebih dipilih ketika terjadi
defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk memperbaiki defisiensi besi,
penggantian besi secara parenteral harus dilakukan. Hal ini dilakukan dengan
iron dextran atau interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman dibanding
injeksi intramuscular. Syok anafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang
menerima terapi besi parenteral. Untuk mengurangi kejadian komplikasi yang
berbahaya ini pasien harus di tes dengan 5 menit pertama dengan dosis kecil
dari total dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replenish penyimpanan besi
dapat diberikan dengan dosis terbagi yaitu 500 mg dalam 5-10 menit setiap
harinya atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron
dextran dan diinfuskan perlahan dalam beberapa jam. Terapi besi fase
pemeliharaan:

a) Target terapi: Ferritin serum >100 mcg/L- <500 mcg/L. Saturasi transferrin

>20% - <40%

b) Dosis:

21
 IV: iron sucrose: max 100 mg/minggu

iron dextran: 50 mg/minggu

iron gluconate: 31,25-125 mg/minggu

 IM: Iron dextran: 80 mg/2 minggu

 Oral: 200 mg besi elemental 2-3x/hari

c) Status besi diperiksa setiap 3 bulan

d) Bila ferritin serum >500 mcg/L suplementasi besi distop selama 3 bulan

e) Bila pemeriksaan ulang setelah 3 bulan ferritin serum <500 mcg/L dan
saturasi transferrin <40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan dosis
1/3-1/2 sebelumnya.

7. Transfusi darah

Indikasi transfusi darah adalah:

a) Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik

b) Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb <7 g/Dl

c) Hb <8 g/dL dengan gangguan hemodinamik

d) Pasien dengan defisiensi besi yang akan deprogram terapi EPO ataupun
yang telah mendapat EPO tetapi respons belum adekuat, sementara preparat
besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan transfuse darah dengan hati-hati

e) Target pencapaian Hb dengan transfuse darah adalah 7-9 g/dL. Transfusi


diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi,
hiperkatabolik 9asidosis) dan hyperkalemia. Bukti klinis menunjukkan
bahwa pemberian transfuse darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL,
berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat.
Pada kelompok pasien yang idrencanakan untuk transplantasi ginjal,
pemberian transfuse darah sedapat mungkin dihindar

8. Nutrisi

22
Pemberian nutrisi yang seimbang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi
dan nutrient. Dianjurkan kecukupan energi >35 kkal/kgBB/hari, sedangkan
untuk usia >60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari. Asupan kalori harus cukup
untuk mencegah terjadinya proses katabolic. Bila asupan peroral tidak
memadai untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sehai-hari sesuai dengan status
gizi seseorang, dapat ditambahkan nutrisi parenteral. Perbandingan kalori yang
bersumber dari lemak dan karbohidrat sebesar 25% : 75%. Selain itu diberikan
kombinasi dari asam amino esensial dan non esensial. Jumlah maksimal
pemberian karbohidrat adalah 5g/kgBB. Sedangkan lipid diberikan maksimal 1
g/kgBB dalam bentuk fat emulsion 10-20% sebanyak 500 mL. Pasien dengan
gagal ginjal kronis harus mengurangi asupan protein karena protein berlebih
akan menyebabkan terjadinya penumpukan nitrogen dan ion anorganik yang
akan mengakibatkan gangguan metabolic yang disebut uremia.

9. Hemodialisis

a) Indikasi untuk inisiasi terapi dialisis yaitu tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksikazotemia dan malnutrisi, tetapi terapi dialisis
terlalu cepat pada pasien CKD yang belum tahap akhir akan memperburuk
faal ginjal (GFR).

 Indikasi absolut: pericarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,


bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsive dengan
diuretic, hipertensi refrakter, muntah persisten, BUN >120 mg% dan
kreatinin >10 mg %

 Indikasi elektif: GFR antara 5-8 ml/min/1,73 m2, mual, anoreksia,


muntah dan asthenia berat

b) Persiapan untuk program dialisis regular

Beberapa persiapan dialisis regular:

 Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam per minggu)

 Psikologis yang stabil

23
 Finansial cukup untuk program terapi dialysis regular selama waktu
tidak

terbatas sebelum transplantasi ginjal

 Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lainnya sesuai dengan


jadwal yang telah ditentukan.

10. Transplantasi Ginjal

Pertimbangan program transplantasi ginjal:

 Ginjal cangkok dapat mengambil alih seluruh fungsi ginjal sedangkan


hemodialisa hanya mengambil alih 70-80% fungsi ginjal alamiah

 Kualitas hidup normal kembali

 Masa hidup (survival rate) lebih lama

 Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan


obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan

 Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

Persiapan program transplantasi ginjal:

 Pemeriksaan imunologi:

 Golongan darah ABO

 Tipe jaringan HLA (human leukocyte antigen)

 seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga

2.12 Komplikasi12

Secara umum komplikasi pada penyakit ginjal kronis disebabkan oleh


berkurangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan zat-zat berlebihan dalam

24
tubuh. Zat-zat ini dapat berupa: urea, kalium, fosfat. Penyebab komplikasi pada
penyakit ginjal kronik adalah berkurangnya produksi darah akibat kematian
jaringan ginjal yang ireversibel yang menyebabkan produksi eritropoietin yang
berkurang. Penyakit-penyakit yang dapat timbul akibat CAD adalah sebagai
berikut:

1. Sindrom Uremia

Sindrom uremia disebabkan oleh akumulasi urea dalam darah. Akumulasi ini
disebabkan oleh berkurangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan urea
sehingga urea diabsorbsi kembali ke peredaran darah dan terakumulasi di
darah. Penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan oleh uremia antara lain:

a) Sistem Saraf Pusat: kelelahan, gangguan memori, insomnia, nyeri kepala,


kebingungan, ensefalopati (infeksi pada system saraf pusat).

b) Sistem saraf perifer: keram, neuropati perifer.

c) Gastrointestinal: anorexia, mual/muntah, gastroparesis, ulkus


gastrointestinal.

d) Hematologi: anemia, gangguan hemostasis.

e) Kardiovaskular: hipertensi, atherosclerosis, penyakit arteri coroner,


pericarditis, edema pulmonal.

f) Kulit: gatal-gatal, kulit kering, uremic frost (sekresi urea yang berlebihan
melalui kelenjar keringat).

g) Nutrisi: malnutrisi, berat badan menurun, katabolisme otot.

2. Hipoalbuminemia:

Hipoalbumin pada darah disebabkan oleh ekskresi albumin yang berlebihan


oleh ginjal yang ditandai dengan proteinuria pada urinalisis. Secara umum
gejala albuminuria ditandai dengan edema pada wajah atau tungkai, dapat
terjadi juga edema yang mengancam nyawa misalnya seperti edema paru.

3. Gagal Jantung Kongestif

Penyakit ini juga disebut “high-output heart failure” penyakit ini pada penyakit
ginjal kronis disebabkan oleh tingginya volume darah akibat retensi cairan dan

25
natrium pada ginjal. Peningkatan volume darah menyebabkan jantung tidak
dapat memompa secara adekuat dan menyebabkan gagal jantung.

4. Anemia

Anemia pada penyakit ginjal kronis secara umumnya disebabkan oleh


penurunan produksi eritropoietin dalam ginjal dimana eritropoietin berfungsi
sebagai hormone untuk maturasi sel darah merah. Mekanisme lain anemia
adalah berkurangnya absorpsi besi dan asam folat dari pencernaan sehingga
terjadi defisiensi besi dan asam folat.

5. CKD-MBD (chronic kidney disease-mineral bone disorder)

CKD-MBD merupakan kelainan tulang yang disebabkan oleh kelainan pada


mineral seperti kalsium, fosfat, kelainan pada hormon paratiroid, vitamin D
dan kelainan pada pembentukan tulang serta kalsifikasi sel- sel vaskula.

2.13 Prognosis9

Penyakit ginjal kronik tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka


panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang
dilakukan bertujuan untuk mencegah progresivitas dari penyakit ginjal kronik.
Penyakit ginjal kronik sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut
dan menimbulkan gejala, sehingga penangaannya seringkali terlambat. Prediksi
prognosis dapat dilihat melalui beberapa parameter seperti penyebab CKD,
kategori GFR, kategori albuminuria dan faktor resiko serta komplikasi yang sudah
terjadi.

26
BAB III

KESIMPULAN

Gagal ginjal kronik atau Chronic kidney disease (CKD) merupakan


abnormalitas fungsi dan struktur ginjal, dimana laju filtrasi glomerulus kurang
dari 60 mL/min/1,73 m² dan terjadi kerusakan ginjal yang berlangsung lebih dari
3 bulan. Kerusakan ginjal ini ditandai dengan albuminuria dimana laju ekskresi
albumin ≥30 mg/24 jam atau rasio albumin kreatinin urin ≥30 mg/mmol, sedimen
urin abnormal, gangguan elektrolit dan juga kelainan lainnya. CKD terjadi secara
irreversible, yang berkembang secara perlahan dan progresif.

Diagnosis untuk CKD dapat ditegakkan melalui gambaran klinis dan


dengan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi, dan biopsi serta pemeriksaan histopatologi ginjal.
Penatalaksanaan CKD meliputi, terapi spesifik terhadap penyakit
dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat
perburukkan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi dan terapi pengganti
ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Remer EM. et al. 2014. ACR appropriateness criteria on renal failure. Am J


Med. 127: 1041–48
2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing:1132-53

3. Fadilla I, dkk. 2018. Klasifikasi Penyakit Chronic Kidney Disease (CKD)


Dengan Menggunakan Metode Extreme Learning Machine (ELM). Jurnal
Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer. 2 (10).

4. Khan, Y. et al. 2018. Prevalence of Chronic Kidney Disease in Asia: A


Systematic Review of Population-Based Studies. Journal of the College of
Physicians and Surgeons Pakistan 28(12): 960-966).

5. Manski-Nankervis, J., Thuraisingam, S., Lau, P., Blackberry, I., Sluggett, J.,
Ilomaki, J., Bell, J. and Furler, J. 2018. Screening and diagnosis of chronic
kidney disease in people with type 2 diabetes attending Australian general
practice. Australian Journal of Primary Health, 24(3), p.280.

6. Sherwood, L. 2016. Human Physiology: from Cells to Systems 9th edition.


Cengage Learning

7. Paulsen F, Waschke J. 2019. Sobotta Atlas of Anatomy, Vol. 2, 16th ed.,


Internal Organs. Urban & Fischer.

8. Price, S. A., & Wilson, L.M. 2012. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit. 6 ed. vol. 1. Alih bahasa : Pendit BU, et al. Editor : Hartanto, H., et
al. Jakarta: EGC

9. Kidney Disease: Outcomes CKD Work Group. KDIGO. 2012. Clinical


Practice Guidelinefor the Evaluation and Management of Chronic Kidney
Disease. Kidney. Int Suppl.

10. GBD.2015. Disease and Injury Incidence and Prevalence, Collaborators.

11. Webster AC, Nagler EV, Morton RL, Masson P. 2017. Chronic Kidney
Disease. Lancet;389:1238-52.

12. Lemone. 2016. Buku Ajar Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

28

Anda mungkin juga menyukai