Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Pendarahan Intracerebral Hemorhage (ICH) ”

Disusun oleh :
Bayu Ilham Gustian
P01720422

Dosen Pembimbing :
Ns. Hendri Heryanto, M.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BENGKULU
PRODI PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT, atas berkah dan RahmatNya penulis telah
menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Kritis tepat pada waktunya. Dalam penyusunan tugas atau
materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam
penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan rekan-rekan kami, sehingga
kendala-kendala yang penulis hadapi bisa teratasi.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis merasa masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran
dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada
rekan-rekan yang telah membantu dalam menyelesaikan pembuatan makalah ini. Besar harapan semoga
makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis dan profesi perawat pada umumnya.

Bengkulu, 28 Juli 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan proses kerusakan ginjal selama rentang waktu lebih dari
tiga bulan. Pada kasus tersebut, ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan
komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal (Muhammad, 2012).
Pada derajat awal penyakit CKD belum menimbulkan gelaja dan tanda, bahkan hingga laju filtrasi
glomerulus sebesar 60% pasien masih asimtomatik tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Keluhan yang timbul pada fase ini biasanya berasal dari penyakit yang mendasari kerusakan ginjal,
seperti edema pada pasien dengan sindroma nefrotik atau hipertensi sekunder pada pasien dengan penyakit
ginjal polikistik. Kelainan secara klinis dan laboratorium baru terlihat dengan jelas pada derajat 3 dan 4.
Saat laju filtrasi glomerulus sebesar 30%, keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
berkurang dan penurunan berat badan mulai dirasakan pasien. Pasien mulai merasakan gejala dan tanda
uremia yang nyata saat laju filtrasi glomelurus kurang dari 30% (Suryadi, 2012).
Penderita penyakit CKD akan mengalami berbagai dampak fisik dan dampak psikologis yang akan
mempengaruhi aktivitasnya sehari-hari (Kelly, 2006). Dampak fisik yang bisa terjadi berupa rasa haus
berlebihan, tenggorokan kering, tidak selera makan, gastritis, konstipasi, gangguan tidur, kesulitan
bernafas dan kelemahan, selain dampak fisik individu juga akan mengalami dampak psikologis berupa
kecemasan.
Penyakit CKD telah menjadi persoalan kesehatan serius masyarakat di dunia. Menurut WHO (2012)
penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan kematian sekitar 850.000 orang setiap tahunnya.
Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini meduduki peringkat ke -12 tertinggi angka kematian atau
peringkat
tertinggi ke-17 angka kecacatan. Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO), secara global
lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit CKD. Sekitar 1,5 juta orang harus menjalani hidup
bergantung pada cuci darah. Sementara itu, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 70.000 penderita CKD
yang memerlukan cuci darah (Siswono, 2008).

Prevalensi penyakit CKD di Australia, Jepang, dan Eropa adalah 6-11%, terjadi peningkatan 5-8%
setiap tahunnya. Sekitar 1,5% dari pasien penyakit CKD derajat 3 dan 4 akan berlanjut menjadi derajat 5
atau penyakit CKD tahap akhir per tahunnya. Di Indonesia belum ada data yang lengkap mengenai
penyakit CKD. Diperkirakan insiden penyakit CKD tahap akhir di Indonesia adalah sekitar 30,7 per juta
populasi dan prevalensi sekitar 23,4 per juta populasi. Pada tahun 2006 terdapat sekitar 10.000 orang yang
menjalani terapi hemodialisa (Suryadi, 2012).

Menurut United States Renal Data System (USRDS, 2014) prevalensi CKD meningkat dengan
bertambahnya usia. Prevalensi pada usia 65-74 tahun adalah 7,2% dan pada usia lebih dari 85 tahun adalah
17%. Prevalensi gagal ginjal kronik pada kulit hitam (15%) adalah 50% lebih tinggi dari orang kulit putih
atau ras lainnya (10%). Prevalensi pada orang Asia adalah 11%. Prevalensi gagal ginjal kronik yang disertai
dengan diabetes mellitus adalah 20,5%, hipertensi adalah 15,7%, dan penyakit jantung adalah 18,4%.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan peneliti maka rumusan masalah yang di dapatkan
dari peneliti ini adalah “Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) di
IRNA Non-Bedah Penyakit Dalam (Wanita) RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep dasar kasus Chronic Kidney Disease (CKD)


1. Pengertian
Chronic Kidney Disease CKD adalah suatu proses patologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya dan berakhir pada gagal
ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap,
berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang
terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada CKD (Suwitra, 2010).

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat dekstrusi struktur ginjal yang progresif
dengan manifestasi penumpukan sisa metabolik (toksik uremik) di dalam darah (Sari & Muttaqin,
2011).

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah sindrom klinis yang umum pada stadium lanjut dari
semua penyakit ginjal kronik yang ditandai oleh uremia (Depkes RI, 1996 : 61 di dalam Haryono,
2013 ). CKD adalah kerusakan ginjal yang bersifat progresif dan irevesible sehingga fungsi ginjal
menghilang (Lyndo, 2014).

Berdasarkan dari beberapa pengertian menurut para ahli diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa CKD adalah kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel. Sehingga fungsi ginjal tidak
optimal dalam mempertahankan metabolisme tubuh dan keseimbangan cairan dan elektrolit dan
menyebabkan uremia. Diperlukan terapi yang membantu kinerja ginjal serta dalam beberapa kondisi
diperlukan transplantasi ginjal.

2. Etiologi
Yang menyebabkan Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kehilangan fungsi ginjalnya secara
bertahap, kerusakan sudah terjadi selama lebih dari 3 (tiga) bulan. Selain itu, hasil pemeriksaan juga
menunjukan adanya kelainan struktur atau fungsi ginjal. Kondisi tersebut disebabkan oleh : Penyakit
glomerular kronis, Infeksi kronis, Kelainan kongenital, Penyakit vaskuler, Obstruksi saluran kemih,
Penyakit kolagen, Obat-obatan nefrotoksi (Muhammad, 2012).
Sedangkan menurut Haryono (2013) yang menyebabkan gagal ginjal kronik adalah penyakit
peradangan ginjal bilateral, biasanya timbul pascainfeksi streptococcus. Untuk glomerulus akut,
gangguan fisiologis utamanya dapat mengakibatkan ekskresi air, natrium dan zat-zat nitrogen
berkurang sehingga timbul edema dan azotemia, peningkatan aldosteron menyebabkan retensi air dan
natrium. Untuk glomerulonefritis kronik, ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif
lambat, akan tampak ginjal mengkerut, berat lebih kurang dengan permukaan bergranula. Ini
disebabkan jumlah nefron berkurang karena iskemia, karena tubulus mengalami atropi, fibrosis
intestinal dan penebalan dinding arteri.

3. Klasifikasi
Menurut Suwitra (2006) dan Kydney Organizazion (2007) tahapan CKD dapat ditunjukan dari laju
filtrasi glomerulus (LFG), adalah sebagai berikut :

a. Tahap I adalah kerusakan ginjal dengan LFG normal atatu meningkat > 90 ml/menit/1,73 m2.
b. Tahap II adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan yaitu 60-89 ml/menit/1,73 m2.
c. Tahap III adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang yaitu 30-59 ml/menit/1,73 m2.
d. Tahap IV adalah kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat yaitu 15-l/menit/1,73 m2.
e. Tahap V adalah gagal ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.

4. Anatomi fisiologi

1). Anatomi

Anatomi ginjal menurut Price dan Wilson (2006) ginjal merupakan organ berbentuk
seperti kacang yang terletak pada kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih
rendah dibandingkan ginjal kiri karena tekanan ke bawah oleh hati. Katub atasnya terletak setinggi
iga kedua belas. Sedangkan katub atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas.
Ginjal dipertahankan oleh bantalan lemak yang tebal agar terlindung dari trauma
langsung, disebelah posterior dilindungi oleh iga dan otot-otot yang meliputi iga, sedangkan
anterior dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. Ginjal kiri yang berukuran normal biasanya
tidak teraba pada waktu pemeriksaan fisik karena dua pertiga atas permukaan anterior ginjal
tertutup oleh limfa, namun katub bawah ginjal kanan yang berukuran normal dapat diraba secara
bimanual. Ginjal terbungkus oleh jaringan ikat tipis yang dikenal sebagai kapsula renis. Disebelah
anterior ginjal dipisahkan dari kavum abdomen dan isinya oleh lapisan peritoneum.
Disebelah posterior organ tersebut dilindungi oleh dinding toraks bawah. Darah dialirkan
kedalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari dalam ginjal melalui vena renalis.
Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis dan vena renalis membawa darah kembali kedalam
vena kava inferior. Pada orang dewasa panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7-5,1
inci) lebarnya 6cm (2,4 inci) tebalnya 2,5 cm (1 inci) dan beratnya sekitar 150 gram. Permukaan
anterior dan posterior katub atas dan bawah serta tepi lateral ginjal berbentuk cembung sedangkan
tepi lateral ginjal berbentuk cekung karena adanya hilus.
Apabila dilihat melalui potongan longitudinal, ginjal terbagi menjadi dua bagian yaitu
korteks bagian luar dan medulla di bagian dalam. Medulla terbagi- bagi menjadi biji segitiga yang
disebut piramid, piramid-piramid tersebut diselingi oleh bagian korteks yang disebut
kolumnabertini. Piramid-piramid tersebut tampak bercorak karena tersusun oleh segmen-segmen
tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papilla (apeks) dari piramid membentuk duktus papilaris
bellini dan masuk ke dalam perluasan ujung pelvis ginjal yang disebut kaliks minor dan bersatu
membentuk kaliks mayor, selanjutnya membentuk pelvis ginjal, ginjal tersusun dari beberapa
nefron.
Struktur halus ginjal terdiri atas banyak nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal,
jumlahnya sekitar satu juta pada setiap ginjal yang pada dasarnya mempunyai struktur dan
fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowmen yang mengintari rumbai kapiler
glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal yang
mengosongkan diri keduktus pengumpul. Kapsula bowman merupakan suatu invaginasi dari
tubulus proksimal. Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan kapsula
bowman dan ruang yang mengandung urine ini dikenal dengan nama ruang bowmen atau ruang
kapsular.
Kapsula bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parielalis berbentuk gepeng dan
membentuk bagian terluar dari kapsula, sel epitel veseralis jauh lebih besar dan membentuk
bagian dalam kapsula dan juga melapisi bagian luar dari rumbai kapiler. Sel viseral membentuk
tonjolan-tonjolan atau kaki-kaki yang dikenal sebagai pedosit, yang bersinggungan dengan
membrane basalis pada jarak-jarak tertentu sehingga terdapat daerah-daerah yang bebas dari
kontak antar sel epitel.
Daerah-daerah yang terdapat diantara pedosit biasanya disebut celah pori-pori. Vaskilari
ginjal terdiri dari arteri renalis dan vena renalis. Setiap arteri renalis bercabang waktu masuk
kedalam hilus ginjal. Cabang tersebut menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid
dan selanjutnya membentuk arteri arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-piramid
ginjal. Arteri arkuata kemudian membentuk arteriola-arteriola interlobaris yang tersusun oleh
parallel dalam korteks, arteri selanjutnya membentuk arteriola aferen dan berakhir pada rumbai-
rumbai kapiler yaitu glomerolus.
Rumbai-rumbai kapiler atau glomeruli bersatu membentuk arteriola eferen yang
bercabang-cabang membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan kapiler
peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal akan dialirkan ke dalam jalinan vena
menuju vena intelobaris dan vena renalis selanjutnya mencapai vena kava inferior. Ginjal dilalui
oleh darah sekitar 1.200 ml permenit atau 20%-25% curah jantung (1.500 ml/menit).

2). Fisiologi ginjal


a. Fungsi ginjal
Menurut Price dan Wilson (2006) ginjal mempunyai berbagai macam fungsi yaitu ekskresi dan
fungsi non-ekskresi, fungsi ekskresi diantaranya adalah :
a) Mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah-ubah ekskresi
air.
b) Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang normal.
c) Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan
membentuk kembali HCO3
d) Mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea, asam urat
dan kreatinin.
Sedangkan fungsi non-ekskresi ginjal adalah :
a) Menghasilkan eritropoetin sebagai faktor penting dalam stimulasi produksi sel darah
merah oleh sumsum tulang.
b) Metabolism vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
c) Degradasi insulin.
d) Menghasilkan prostaglandin.

b. Fisiologi pembentukan urine


Pembentukan urine diginjal dimulai dari proses filtrasi plasma pada glomerolus. Sekitar
seperlima dari plasma atau 125 ml/menit plasma dialirkan di ginjal melalui glomerolus ke
kapsula bowman. Hal ini dikenal dengan istilah laju filtrasi glomerolus/glomerular filtration
rate (GFR) dan proses filtrasi pada glomerolus disebut ultrafiltrasi glomerulus. Tekanan darah
menentukan beberapa tekanan dan kecepatan aliran darah yang melewati glomerulus.
Ketika darah berjalan melewati struktur ini, filtrasi terjadi. Air dan molekul-molekul
yang kecil akan dibiarkan lewat sementara molekul- molekul besar tetap bertahan dalam aliran
darah. Cairan disaring melalui dinding jonjot-jonjot kapiler glomerulus dan memasuki tubulus,
cairan ini disebut filtrate. Filtrate terdiri dari air, elektrolit dan molekul kecil lainnya. Dalam
tubulus sebagian substansi ini secara selektif diabsorsibsi ulang kedalam darah. Substansi
lainnya diekresikan dari darah kedalam filtrat ketika filtrat tersebut mengalir di sepanjang
tubulus.

Filtrate akan dipekatkan dalam tubulus distal serta duktus pengumpul dan kemudian
menjadi urine yang akan mencapai pelvis ginjal. Sebagian substansi seperti glukosa normalnya
akan diabsorbsi kembali seluruhnya dalam tubulus dan tidak akan terlihat dalam urine.
Berbagai substansi yang secara normal disaring oleh glomerulus, diabsorbsi oleh tubulus dan
diekresikan kedalam urine mencakup natrium, klorida, bikarbonat, kalium, glukosa, ureum,
kreatinin dan asam urat.

Terdapat 3 proses penting yang berhubungan dengan proses pembentukan urine, yaitu :
a. Filtrasi (penyaringan)
Kapsula bowman dari badan malpighi menyaring darah dalam glomerulus yang
mengandung air, garam, gula, urea dan zat bermolekul besar (protein dan sel darah)
sehingga dihasilkan filtrat glomerus (urine primer). Di dalam filtrat ini terlarut zat yang
masih berguna bagi tubuh maupun zat yang tidak berguna bagi tubuh, misal glukosa, asam
amino dan garam-garam.
b. Reabsorbsi (penyerapan kembali)
Dalam tubulus kontortus proksimal zat dalam urine primer yang masih berguna akan
direabsorbsi yang dihasilkan filtrat tubulus (urine sekunder) dengan kadar urea yang tinggi.
c. Ekskresi (pengeluaran)
Dalam tubulus kontortus distal, pembuluh darah menambahkan zat lain yang tidak
digunakan dan terjadi reabsornsi aktif ion Na+ dan Cl- dan sekresi H+ dan K+. Di tempat
sudah terbentuk urine yang sesungguhnya yang tidak terdapat glukosa dan protein lagi,
selanjutnya akan disalurkan ke tubulus kolektifus ke pelvis renalis. Fungsi lain dari ginjal
yaitu memproduksi renin yang berperan dalam pengaturan tekanan darah.

Apabila tekanan darah turun, maka sel-sel otot polos meningkatkan pelelepasan
reninnya. Apabila tekanan darah naik maka sel-sel otot polos mengurangi pelepasan
reninnya. Apabila kadar natrium plasma berkurang, maka sel-sel makula dansa memberi
sinyal pada sel-sel penghasil renin untuk meningkatkan aktivitas mereka. Apabila kadar
natrium plasma meningkat, maka sel-sel makula dansa memberi sinyal kepada otot polos
untuk menurunkan pelepasan renin.

Setelah renin beredar dalam darah dan bekerja dengan mengkatalisis penguraian
suatu protein kecil yaitu angiotensinogen menjadi angiotensin I yang terdiri dari 10 asam
amino, angiotensinogen dihasikan oleh hati dan konsentrasinya dalam darah tinggi.
Pengubahan angiotensinogen menjadi angiotensin I berlangsung diseluruh plasma, tetapi
terutama dikapiler paru-paru.

Angoitensin I kemudian dirubah menjadi angiotensin II oleh suatu enzim konversi


yang ditemukan dalam kapiler paru-paru. Angiotensin II meningkatkan tekanan darah
melalui efek vasokontriksi arteriola perifer dan merangsang sekresi aldosteron.
Peningkatan kadar aldosteron akan merangsang reabsorbsi natrium dalam tubulus distal
duktus pengumpul selanjutnya peningkatan reabsorbsi natrium mengakibatkan peningkatan
reabsorbsi air, dengan demikian volume plasma akan meningkat yang ikut berperan dalam
peningkan tekanan darah yang selanjutnya akan mengurangi iskemia ginjal.

5. Patofisiologi
Penyakit Chronic Kidney Disease (CKD ) pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (Surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladapsi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis
reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis rennin-angiotensin-aldosteron,sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti transforming growth factor (TGF). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit CKD adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerlus
maupun tubulointerstitia ( Price, 2006).
Pada stadium paling dini penyakit Chronic Kidney Disease, terjadi kehilangan daya cadang
ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien
masih belum merasakan keluhan (asimtomatik) tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan tanda gejala uremia yang
nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritis, mual muntah, nyeri, cemas dengan keadaannya dan lain sebagainnya.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas,
maupun unfeksi saluran cerna. juga akan terjadi gangguan keseimbangan elektrolit antara lain
natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius,
dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal, pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
Permasalahan respon fisiologis yang disebabkan oleh Chronic Kidney Disease (CKD)
menurut Muttaqin, (2011) adalah :
a. Ketidakseimbangan cairan
Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu memekatkan urine (hipothenuria)
dan kehilangan cairan yang berlebihan (poliuria). Hipothenuria tidak disebabkan atau
berhubungan dengan penurunan jumlah nefron, tetapi oleh peningkatan beban zat tiap nefron.
Hal ini terjadi karena keutuhan nefron yang membawa zat tersebut dan kelebihan air untuk
nefron – nefron tersebut tidak dapat berfungsi lama.
Terjadi osmotik diuretik, menyebabkan seseorang menjadi dehidrasi.
b. Ketidakseimbangan Natrium
Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius di mana ginjal dapat mengeluarkan
sedikitnya 20 – 30 mEq natrium setiap hari atau dapat meningkatkan sampai 200 mEq per hari.
Variasi kehilangan natrium berubungan dengan intact nephron theory. Dengan kata lain, bila
terjadi kerusakan nefron, maka terjadi pertukaran natrium. Nefron menerima kelebihan natrium
sehingga menyebabkan GFR menurun dan dehidrasi.

Kehilangan natrium lebih meningkat pada gangguan gastrointestinal, terutama muntah dan diare.
Keadaan ini memperburuk hiponatremia dan dehidrasi. Pada CKD yang berat keseimbangan
natrium dapat dipertahankan meskipun terjadi kehilangan yang fleksibel pada nilai natrium.
Orang sehat dapat pula meningkat di atas 500 mEq/hari. Bila GFR menurun di bawah
25-30ml/menit, maka ekskresi natrium kurang lebih 25 mEq/hari, maksimal ekskresinya 150-200
mEq/hari. Pada keadaan ini natrium dalam diet dibatasi sekitar 1-1,5 gram/hari.
c. Ketidakseimbangan Kalium
Jika keseimbangan cairan dan asidosis metabolic terkontrol, maka hiperkalemia jarang terjadi
sebelum stadium IV. Keseimbangan kalium berhubungan kalium berhubungan dengan sekresi
aldosteron. Selama urine output dipertahankan, kadar kalium biasanya terpelihara. Hiperkalemia
terjadi karena pemasukan kalium yang berlebihan, dampak pengobatan, hiperkatabolik (infeksi),
atau hiponattremia.

Hiperkalemia juga merupakan karakteristik dari tahap uremia. Hipokalemia terjadi pada keadaan
muntah atau diare berat, pada penyakit tubuler ginjal, dan penyakit nefron ginjal, di mana kondisi
ini akan menyebabkan eksresi kalium meningkat. Jika hipokalemia persisten, kemungkinan GFR
menurun dan produksi NH, meningkat ; HCO3 menurun dan natrium bertahan.
d. Ketidakseimbangan Asam Basa
Asidosis metabolik terjadi karena ginjal tidak mampu mengekskresikan ion hydrogen untuk
menjaga pH darah normal. Disfungsi renal tubuler mengakibatkan ketidakmampuan pengeluaran
ion H dan pada umumnya penurunan ekskresi H+ metabolism dalam tubuh dan tidak difiltrasi
secara efektif, NH3 menurun dan sel tubuler tidak berfungsi. Kegagalan pembentukan bikarbonat
memperberat ketidakseimbangan. Sebagian kelebihan hydrogen dibuffer oleh mineral
tulang. Akibatnya asidosis metabolic memungkinkan terjadinya osteodistrifi.
e. Ketidakseimbangan Magnesium
Magnesium pada tahap awal CKD adalah normal, tetapi menurun secara progresif dalam ekskresi
urine sehingga menyebabkan akumulasi. Kombinasi penurunan ekskresi dan intake yang
berlebihan pada hipermagnesiemia dapat mengakibatkan henti napas dan jantung.

f. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfor


Secara normal kalsium dan fosfor dipertahankan oleh paratiroid hormone yang menyebabkan
ginjal mereabsorbsi kalisium, mobilisasi kalsium dari tulang, dan depresi reabsorbsi tubuler dari
fosfor. Bila fungsi ginjal menurun 20-25% dari normal, hiperfosfatemia dan hipokalsemia terjadi
sehingga timbul hiperparathyroidisme berlangsung dalam waktu lama
dapat mengakibatkan osteorenal dystrophy.
g. Anemia
Penurunan Hb disebabkan oleh :
Kerusakan produksi eritropoietin, masa hidup sel darah merah pendek karena perubahan plasma,
peningkatan kehilangan sel darah merah karena ulserasi gastrointestinal, dialysis, dan
pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, intake nutrisi tidak adekuat, defisiensi folat,
defisiensi iron/zat besi, peningkatan hormone paratiroid merangsang jaringan fibrosa atau osteitis
fibrosis, menyebabkan produksi sel darah di sumsum menurun, ureum kreatinin.

Menurut (Lyndo, 2014) nefron yang berubah menjadi jaringan fibrosis tidak lagi dapat
mengabsorpsi dan mensekresikan air, glukosa, asam-asam amino, ammonia, bikarbonat serta
elektrolit,
a. Stadium pertama : cadangan renal sudah berkurang tetapi limbah
metabolic belum bertumpuk kendati sudah terjadi kerusakan renal.
b. Stadium kedua : terjadi insufisiensi renal dan limbah metabolik mulai bertumpuk; ginjal
tidak lagi mampu mengoreksi gangguan keseimbangan metabolik.
c. Stadium ketiga (gagal ginjal): uremia terjadi bersama dengan penurunan keluaran urine;
peningkatan penumpukan limbah metabolic, dan gangguan keseimbangan cairan, elektrolit
serta asam-basa.

6. Manifestasi Klinis
Pada gagal ginjal kronik akan terjadi rangkaian perubahan. Bila GFR menurun 5-10% dari
keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita syndrome uremik, yaitu suatu
kompleks gejala yang diakibatkan atau berkaitan dengan retensi metabolik nitrogen akibat gagal
ginjal.

Dua kelompok gejala klinis dapat terjadi pada sindrom uremik, yaitu :
a. Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi; kelainan volume cairan dan elektrolit,
ketidakseimbangan asam basa, retensi metabolit nitrogen serta metabolit lainya, serta anemia
akibat defisiensi sekresi ginjal
(eritropoeitin).
b. Gabungan kelainan kardiovaskuler, neuromuskuler, saluran cerna, dan kelainan lainya (dasar
kelainan system ini belum banyak diketahui), (Suharyanto & Madjid, 2009).

Manifestasi klinis menurut (Smeltzer, 2001; 1449) di dalam, Haryono (2013) antara lain hipertensi,
(akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas system reninangiotensi-aldosteron), gagal jantung
kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan
pericardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan
tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi.
7. Dampak Masalah
1). Fisiologis
Menurut Smeltzer (2000) di dalam (Haryono, 2013) komplikasi gagal ginjal Kronik yang
memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan, mencakup:
a. Hiperkalemia, akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme
dan masukkan diit berlebih.
b. Perikarditis, efusi pericardial dan temponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi, akibat retensi cairan dan natrium serta mal fungsi system
rennin, angiotensin, aldosteron.
d. Anemia, akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan
gastrointestinal akibat iritasi.

e. Penyakit tulang, akibat retensi fosfat, kadar kalium serum yang rendah metabolism vitamin D,
abnormal dan peningkatan kadar alumunium.

2). Psikologis

a. Emosi: Mayoritas pasien mengalami perasaan takut. Merasa takut akan masa depan dan rasa
marah yang berhubungan dengan pertanyaan mengapa hal itu menimpa dirinya. Kesedihan
dan kedukaan juga sering muncul karena perasaan tidak berdaya karena seumur hidup
tergantung dengan alat cuci ginjal.
b. Harga diri : Pasien gagal ginjal seringkali kehilangan kontrol. Mereka membutuhkan waktu
untuk beradaptasi dan menyesuaikan dirinya dengan penyakitnya. Menerima dengan ikhlas
penyakitnya. Perubahan peran yang selama ini dijalankan, akibat penyakit menjadi
berubah. Kondisi tidak sama lagi, apalagi dengan peralatan yang menempel di tubuhnya,
kebanyakan akan memengaruhi kepercayaan diri dan citra diri pasien.
c. Gaya hidup : Pelaksanaan diet, pembatasan cairan akan membuat pola makan berubah.
Rutinitaskontrol/terapi juga akan memengaruhi rutinitas keseharian. Bahkan pada kasus tertentu, adanya
komplikasi membuat pasien harus keluar dari pekerjaannya

d. Fungsi Seksual : Fungsi seksual pada pasien yang mengalami gagal ginjal akan sering
terpengaruh. Hal ini bisa disebabkan karena faktor organik ( perubahan hormonal atau karena
insufisiensi vaskuler pada kasus gagal ginjal dengan diabetes), psikososial (perubahan harga
diri,citra diri dan perasaan tidak menarik lagi) atau masalah fisik (distensi perut, perasaan tidak
nyaman dan keluhan-keluhan fisik akibat uremmia).
8. Pemeriksaan penunjang
1. Urin
- Volume: biasanya berkurang dari 400ml/24jam (oliguria)/anuria.

- Warna: secara abnormal urin keruh,mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, partikel
koloid, fosfat lunak, sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb,
mioglobulin, forffirin.
- Berat jenis: < 1,051 (menetap pada 1.010 menunjukan kerusakan ginjal berat).
- Osmolaritas: < 350 Mosm/kg menunjukkan kerusakan mubular dan rasio
- urin/sering 1:1.
- Kliren kreatinin: mungkin agak menurun
- Natrium: > 40 ME o /% karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium. Protein: derajat
tinggi proteinuria (3-4+) secar bulat, menunjukkan kerusakan glomerulus jika SDM dan
fagmen juga ada. pH, kekeruhan, glukosa, SDP dan SDM.
2. Darah
- BUN: Urea adalah produksi akhir dari metabolise protein, peningkatan BUN dapat
merupakan indikasi dehidrasi, kegagalan prerenal atau gagal ginjal.
- Kreatinin: produksi katabolisme otot dari pemecahan kreatinin otot dan kreatinin posfat. Bila
50% nefron rusak maka kadar kr eatinin meningkat. Elektrolit: natrium, kalium, kalsium dan
posfat.
- Hematology: Hb, thrombosit, Ht dan leukosit.
3. Pielografi intravena
Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter, pielografi retrograde dilakukan bila dicurigai
ada obstruksi yang reversible arteriogram ginjal. Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler massa.
4. Sistouretrogram
Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter, retensi.
5. Ultrasonografi ginjal
Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran
perkemihan bagian atas.
6. Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis
histologist.
7. Endoskopi ginjal nefroskopiDilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif.
8. EKG
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan pengangkatan
tumor selektif (Haryono, 2013).
9. Penatalaksanaan
Menurut (Suharyanto & Madjid, 2009) penatalaksanaanya yaitu :
1. Obat-obatan
Antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen kalsium,
furesemid (membantu berkemih), transfusi darah.
2. Intake Cairan dan Makanan
a. Minum yang cukup
b. Pengaturan diet rendah protein (0,4-0,8) gram/kg BB) bisa
memperlambat perkembangan gagal ginjal kronik.
c. Asupan garam biasanya tidak dibatasi kecuali jika terjadi edema
(penimbunan cairan di dalam jaringan) atau hipertensi.
d. Tambahan vitamin B dan C diberikan jika penderita menjalani diet
ketat atau menjalani dialisa.
e. Pada penderita gagal ginjal kronis biasanya kadar trigliserida dalam darah tinggi hal ini
akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi, seperti stroke dan serangan jantung.
Untuk menurunkan kadar
trigliserida, diberikan gemfibrosil.
f. Kadang asupan cairan dibatasi untuk mencegah terlalu rendahnya
kadar garam (natrium) dalam darah.
g. Makanan kaya kalium harus dihindari, hiperkalemia (tingginya kadar
kalium dalam darah) sangat berbahaya karena meningkatkan resiko terjadinya gangguan
irama jantung dan cardiac arrest.
h. Jika kadar kalium terlalu tinggi maka diberikan natrium polisteren sulfonat untuk mengikat
kalium sehingga kalium dapat dibuang
bersama tinja.
i. Kadar fosfat dalam darah dikendalikan dengan membatasi asupan makanan kaya fosfat
(misalnya produk olahan susu, hati, polong, kacang-kacang dan minuman ringan).

Menurut Haryono (2013) pencegahan dan pengobatan komplikasi :


- Hipertensi
a) Hipertensi dapat dikiontrol dengan pembatasan natrium dan cairan.
b) Pemberian obat antihiprtensi : metildopa (aldomet), pro-pranolol, klonidin (catapres).
Apabila penderita sedang mengalami terapi hemodialisa, pemberian anti hipertensi dihentikan
karena dapat mengakibatkan hipotensi dan syok yang diakibatkan oleh keluarnya cairan
intravaskuler ultrafiltrasi.
c) Pemberian diuretic : furosemid (lasix).
- Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan komplikasi yang paling serius, karena bila K+ serum mencapai
sekitar 7 mEq/L, dapat mengakibatkan aritmia dan juga henti jantung. Hiperkalemia dapat
diobati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena, yang akan memasukkan K+ ke
dalam
sel, atau dengan pemberian Kalsium Glukonat 10%.
- Anemia
Anemia pada CKD diakibatkan penurunan sekresi eritropoetin oleh ginjal. Pengobatannya
adalah pemberian hormone eritropoitin, yaitu rekombinan erittopoeitin (r-EPO) (Eschbch et al,
1987), selain dengan
pemerian vitamin dan asam folat, besi dan transfudi darah.
- Asidosis
Ansidosis pada gagal ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO3, plasma turun dibawah angka
15 mEq/L. Bila asidosis berat akan dikoreksi dengan pemberian Na HCO3, (Natrium
Bikarbonat) parenteral. Koreksi pH darah yang berlebihan dapat mempercepat
timbulnya tetania, maka harus dimonitor dengan seksama.
- Diet rendah fosfat
Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat fosfat di dalam usus. Gel yang
dapat mengikat fosfatharus dimakan bersama
dengan makanan.
- Pengobatan hiperurismia
Obat pilihan untuk mengobati hiperurisemia pada penyakit ginjal lanjut adalah pemberian
alopurinol. obat ini mengurangi kadar asam urat dengat menghambat biosintesis sebagai asam
urat total yang
dihasilkan tubuh.
- Dialisa dan transplantasi

Pengobatan gagal ginjal stadium akhir adalah dengan dialysis lanjut transplantasi ginjal.
Dialysis dapat digunakan untuk mempertahankan penderita dalam keadaaan klinius yang
optimal sampai tersedia donor ginjal. Dialysis dilakuakan apabila kadar kreatinin serum
biasanya di atas 6 mg/100 ml pada laki-laki atau 4 ml/ 100mlpada wanita, GFR kurang dari 4
ml/menit.

Adapula rencana penatalaksanaan penyakit gagal ginjal sesuai dengan derajatnya


a. Dengan LFG lebih dari atau sama dengan 90% yaitu dengan terapi penyakit dasar,
kondisi komorbid, evaluasi pemburukan
funsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular.
b. Dengan LFG 60-89% yaitu dengan menghambat pemburukan
fungsi ginjal.
c. Dengan LFG 30-59% yaitu dengan evaluasi dan terapi
komplikasi.
d. Dengan LFG 15-29% yaitu dengan memberikan persiapan untuk
terapi pegngganti ginjal.
e. Dengan LFG di bawah 15% yaitu dengan memberikan pengganti ginjal.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Chronic Kidney Disease (CKD)

1. Pengkajian
a. Pengumpulan Data Awal
1) Identitas klien
Terdiri dari nama, no.rekam medis, tanggal lahir, umur, agama, jenis kelamin, pekerjaan, status
perkawinan, alamat, tanggal masuk, diagnosa medis dan nama identitas penanggung jawab
meliputi : nama, umur, hubungan dengan pasien, pekerjaan dan alamat.
b. Pengumpulan Data Dasar
1) Keluhan utama
Biasanya Klien datang dengan keluhan utama yang didapat bervariasi, mulai dari urine output
sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan
(anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau (ureum), dan gatal pada
kulit (Muttaqin, 2011).
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya terjadi penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan pola napas,
kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya napas berbau ammonia, dan perubahan
pemenuhan nutrisi. Kemana saja klien meminta pertolongan untuk mengatasi masalah dan
mendapat pengobatan apa (Muttaqin, 2011).
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya ada riwayat penyakit gagal ginjal gagal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
pengguanaan obat-obat nefrotoksik. Benign Prostatic Hyperplasia, dan prostatektomi. Dan
biasanya adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi system perkemihan yang
berulang, penyakit diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang
menjadi presdiposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat- obatan
masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan (Muttaqin,
2011).
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya klien mempunyai anggota keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama dengan
klien yaitu CKD, maupun penyakit diabetes mellitus dan hipertensi yang bisa menjadi faktor
pencetus terjadinya penyakit CKD.

c. Pola-Pola Aktivitas Sehari-Hari


1. Pola aktivitas / istirahat
- Gejala : kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise. Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau
samnolen).

- Tanda : kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.

2. Pola nutrisi Makan / cairan

- Gejala : peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi).
Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa tidak
sedap pada mulut (pernafasan ammonia).
- Tanda : distensi abdomen, pembesaran hati, perubahan turgor kulit edema, ulserasi
gusi, perdarahan gusi/lidah, penurunan otot, penurunan lemak sub kutan, penampilan tidak
bertenaga.
3. Pola eliminasi
- Gejala : penurunan frekuensi urin,oliguria, Anuria (gagal tahap lanjut, abdomen kembung,
diare atau konstipasi.
- Tanda : perubahan warna urin, contoh : kuning pekat, merah, coklat berawan, oliguria , dapat
menjadi anuria.
4. Pola sirkulasi
- Gejala : riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada (angina).
- Tanda : hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umumdan pitting pada kaki, telapak tangan,
disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi, ortostatik menunjukkan hipovolemia, yang
jarang pada penyakit tahap akhir, pucat,kulit coklat kehijauan, kuning, kecendrungan
perdarahan.
5. Integritas ego
- Gejala : faktor stress, contoh : financial, hubungan, persaan tidak berdaya, tidak ada
kekuatan.
- Tanda : menolak, ansietas, takut, marah, mudah tersinggung, perubahan kepribadian.
6. Nyeri/kenyamanan
- Gejala : nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/ nyeri kaku (memburuk saat malam hari)
- Tanda : perlu berhati-hati, distraksi, gelisah.
7. Pernafasan
- Gejala : nafas pendek, dyspenia, nocturnal paroksimal, batuk dengan atau tampa sputum
kental dan banyak.
8. Keamanan
- Gejala : kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
- Tanda : pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), normotemia dapat secara actual terjadi peningkatan pada
pasien yang mengalami suhu tubuh lebih rendah dari normal (depresi respons imun), petekie, area
ekimosis pada kulit.
9. Seksualitas
- Gejala : penurunan libido, amenorea, infertilitas.
10. Interaksi Sosial
- Gejala : kesulitan menentukan kondisi, contoh tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran biasanya dalam keluarga.
11. Penyuluhan/ pembelajaran
- Gejala : riwayat DM keluarga (risiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit polikistik, nefitis
herediter, kulkulus urinaria, malignansi. Riwayat terpajan pada toksin, contoh obat, rancun
lingkungan. Penggunaan antibiotic nefrotoksik saat ini/berulang.
2. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum dan TTV


a) Keadaan umum klien lemah, letih dan terlihat sakit berat
b) Tingakat kesadaran klien menurun sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat mempengaruhi
system saraf pusat
c) TTV : RR meningkat, tekanan darah didapati adanya hipertensi
2. Kepala
a) Rambut : Biasanya klien berambut tipis dan kasar, klien sering sakit, kepala, kuku rapuh dan
tipis.
b) Wajah : Biasanya klien berwajah pucat
c) Mata : Biasanya mata klien memerah, penglihatan kabur, konjungtiva an emis, dan sclera
tidak ikterik.
d) Hidung : Biasanya tidak ada pembengkakkan polip dan klien bernafas pe ndek dan kusmaul
e) Bibir:Biasanya terdapat peradangan mukosa mulut, ulserasi gusi, perdara han gusi, dan napas
berbau
f) Gigi : Biasanya tidak terdapat karies pada gigi.

g) Lidah : Biasanya tidak terjadi perdarahan


3. Leher
Biasanya tidak terjadi pembesaran kelenjar tyroid atau kelenjar getah benin g
4. Dada / Thorak
Inspeksi : Biasanya klien dengan napas pendek, pernapasan kusmaul (cepa t/dalam)
Palpasi : Biasanya fremitus kiri dan kanan
Perkusi : Biasanya Sonor
Auskultasi : Biasanya vesicular
5. Jantung
Inspeksi : Biasanya ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Biasanya ictus Cordis teraba di ruang inter costal 2 linea dekstra sinistra
Perkusi : Biasanya ada nyeri

Auskultasi : Biasanya terdapat irama jantung yang cepat

6. Abdomen

Inspeksi :Biasanya terjadi distensi abdomen, acites atau penumpukan caira n, klien tampak mual
dan muntah
Auskultasi : Biasanya bising usus normal, berkisar antara 5-35 kali/menit
Palpasi : Biasanya acites, nyeri tekan pada bagian pinggang, dan adanya p embesaran hepar pada
stadium akhir.
Perkusi : Biasanya terdengar pekak karena terjadinya acites.

7. Genitourinaria

Biasanya terjadi penurunan frekuensi urine, anuria distensi abdomen, diare atau konstipasi,
perubahan warna urine menjadi kuning pekat, merah coklat dan berwarna.
8. Ekstremitas

Biasanya diadapatkan adanya nyeri panggul, oedema pada ekstermitas, kram otot, kelemahan pada
tungkai, rasa panas pada telapak kaki, keterbatasan gerak sendi.
9. Sistem Integumen

Biasanya warna kulit abu-abu, kulit gatal, kering dan bersisik adanya area ekimosis pada kulit.
10. Sistem Neurologi

Biasanya terjadi gangguan status mental seperti penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
konsentrasi, kehilangan memori, penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti
perubahan proses piker dan disorientasi. Klien sering didapati kejang, dan adanya neuropati
perifer (Muntaqqin, 2011).
3. Pemeriksaan Penunjang

1) Urine
a. Volume
Kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak ada (anuria)
b. Warna : biasanya didapati urine keruh disebabkan oleh pus, bakteri, lem ak, partikel koloid,
fosfat atau urat.
c. Berat jenis : kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerus akan ginjal berat).
d. Osmolalitas : kurang dari 350 m0sm/kg (menunjukkan kerusakan tubula r)
e. Klirens Kreatinin : agak sedikit menurun.
f. Natrium : lebih dari 40 mEq/L, karena ginjal tidak mampu mereabsorpsi natrium.
g. Proteinuri : terjadi peningkatan protein dalam urine (3-4+)
2) Darah
a. Kadar ureum dalam darah (BUN) : meningkat dari normal.
b. Kreatinin : meningkat sampai 10 mg/dl (Normal : 0,5-1,5 mg/dl).
c. Hitung darah lengkap
-. Ht : menurun akibat anemia
-. Hb : biasanya kurang dari 7-8 g/dl
3) Ultrasono Ginjal : menetukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista,obstrus i pada saluran kemih
bagian atas.
4) Pielogram retrograde : menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
5) Endoskopi ginjal : untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria d anpengangkatan
tumor selektif
6) Elektrokardiogram (EKG): mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimba ngan elektrolit dan
asam/basa.
7) Menghitung laju filtrasi glomerulus : normalnya lebih kurang 125ml/menit, 1 jam dibentuk 7,5
liter, 1 hari dibentuk 180 liter (Haryono, 2013).
4. Diagnosis keperawatan

Menurut Nanda Nic-Noc, 2015:

a. Kelebihan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan volume urin,
kelebihan asupan cairan dan natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penurunan GFR.

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan renal berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan nutrisi
kejaringan sekunder terhadap penurunan COP.
c. Risiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit,
gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung, akumulasi/penumpukan urea toksin.
d. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan retensi cairan intertisial dari edema paru,
hiperventilasi dan respons asidosis metabolik.
5. Intervensi keperawatan
Berdasarkan teori rencana keperawatan yang dapat dilakukan untuk diagnosa diatas
adalah NANDA NIC-NOC International, 2015.

Intervensi Keperawatan Chronic Kidney Disease (CKD)

N DIAGNOSA NOC NIC


O KEPERAWATAN

1. Kelebihan volume cairan Tujuan dan Kriteria Hasil Fluid Management


dan elektrolit 1. Electrolit and acid base 1) Pertahankan catatan
berhubungan dengan balance intake dan output yang
penurunan volume urin, 2. Fluid balance akurat
kelebihan asupan cairan 3. Hydration 2) Pasang urin kateter jika
penurunan COP. 5. Tissue Prefusion : renal dinding nadi)
6. Urinari elimination 2) Monitor HMT,
Ureum, albumin, total
Kriteria Hasil: protein, serum
1) Tekanan systole
osmolalitas dan urin
dan diastole dalam
3) Observasi tanda-tanda
batas normal
cairan berlebih/ retensi
2) Tidak ada gangguan
(CVP menigkat, oedem,
mental, orientasi kognitif
distensi vena leher dan
dan kekuatan otot
asites)
3) Na, K, Cl, Ca, Mg, BUN,
4) Pertahankan intake dan
Creat dan Biknat dalam
output secara akurat
batas normal
5) Monitor TTV
4) Tidak ada distensi
vena leher
Pasien Hemodialisis:
5) Tidak ada bunyi
6) Observasi terhadap
paru tambahan
dehidrasi, kram otot
6) Intake output seimbang
dan aktivitas kejang
7) Tidak ada oedem
7) Observasi reaksi
perifer dan asites
tranfusi
8) Tdak ada rasa haus yang
8) Monitor TD
abnormal
9) Monitor BUN, Creat,
9) Membran mukosa lembab
HMT dan elektrolit
Hematokrit dbn
10) Timbang BB
Warna dan bau urin
sebelum dan sesudah
dalam batas normal
prosedur
11) Kaji status mental
12) Monitor CT

Pasien Peritoneal Dialisis:


13) Kaji temperatur, TD,
denyut perifer, RR dan
BB
14) Kaji BUN, Creat pH,
HMT, elektrolit selama
prosedur
15) Monitor adanya
respiratory distress
16) Monitor banyaknya dan
penampakan cairan
17) Monitor tanda-tanda
infeksi
3. Risiko penurunan curah Tujuan dan Kriteria Hasil Cardiac Care
jantung berhubungan 1. Cardiac Pump 1) Evaluasi adanya nyeri
dengan effectiveness dada
ketidakseimbangan 2. Circulation Status 2) Catat adanya disritmia
cairan dan elektrolit, 3. Vital Sign jantung
gangguan frekuensi, Status Kriteria Hasil: 3) Catat adanya tanda dan
akumulasi/penumpukan 1) Tanda Vital dalam gejala penurunan
urea toksin. rentang normal (Tekanan cardiac putput
darah, Nadi, respirasi) 4) Monitor status
2) Dapat mentoleransi pernafasan yang
aktivitas, tidak ada menandakan gagal
kelelahan jantung
3) Tidak ada edema 5) Monitor balance cairan
paru, perifer, dan 6) Monitor respon pasien
tidak ada asites terhadap efek
4) Tidak ada pengobatan antiaritmia
penurunan 7) Atur periode latihan
kesadaran dan istirahat untuk
5) AGD dalam batas normal menghindari kelelahan
6) Tidak ada distensi vena
leher 8) Monitor toleransi
7) Warna kulit normal aktivitas pasien
9) Monitor adanya
dyspneu, fatigue,
tekipneu dan ortopneu
10) Anjurkan untuk
menurunkan stress
11) Monitor TD, nadi,
suhu, dan RR
12) Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau
berdiri
13) Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
14) Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
15) Monitor jumlah, bunyi
dan irama jantung
16) Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
17) Monitor pola
pernapasan abnormal
18) Monitor suhu, warna,
dan kelembaban kulit
19) Monitor sianosis
perifer
20) Monitor adanya
cushing triad (tekanan
nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan
sistolik)
21) Identifikasi penyebab
dari perubahan vital
sign
22) Jelaskan pada pasien
tujuan dari pemberian
oksigen
23) Sediakan informasi
untuk mengurangi
stress
24) Kelola pemberian obat
anti aritmia, inotropik,
nitrogliserin dan
vasodilator untuk
mempertahankan
kontraktilitas jantung
25) Kelola pemberian
antikoagulan untuk
mencegah trombus
perifer
26) Minimalkan stress
lingkungan
4. Ketidakefektifan pola Tujuan dan Kriteria Hasil Airway Management
napas berhubungan 1. Respiratory Status : Gas 1) Posisikan pasien untuk
dengan retensi cairan exchange memaksimalkan
intertisial dari edema 2. Keseimbangan asam ventilasi
paru, hiperventilasi dan Basa, Elektrolit 2) Pasang mayo bila perlu
respons asidosis 3. Respiratory Status : 3) Lakukan fisioterapi
metabolik. ventilation dada jika perlu
4. Vital Sign Status 4) Keluarkan sekret
dengan batuk atau
Kriteria Hasil: suction

1) Mendemonstrasikan 5) Auskultasi suara nafas,

peningkatan ventilasi dan catat adanya suara

oksigenasi yang adekuat tambahan

2) Memelihara kebersihan 6) Berikan bronkodilator ;

paru paru dan bebas dari 7) Barikan pelembab

tanda tanda distress udara

pernafasan 8) Atur intake untuk

3) Mendemonstrasikan batuk cairan mengoptimalkan

efektif dan suara nafas keseimbangan.

yang bersih, tidak ada 9) Monitor respirasi dan

sianosis dan dyspneu status O2

(mampu mengeluarkan 10) Catat pergerakan

sputum, mampu bernafas dada,amati

dengan mudah, tidak ada kesimetrisan,

pursed lips) penggunaan otot

4) Tanda tanda vital dalam tambahan, retraksi otot

rentang normal supraclavicular dan

5) AGD dalam batas normal intercostal

6) Status neurologis dalam 11) Monitor suara nafas,

batas normal seperti dengkur


12) Monitor pola nafas :
bradipena, takipenia,
kussmaul,
hiperventilasi, cheyne
stokes, biot
13) Auskultasi suara nafas,
catat area penurunan /
tidak adanya ventilasi
dan suara tambahan
14) Monitor TTV, AGD,
elektrolit dan ststus
mental
15) Observasi sianosis
khususnya membran
mukosa
16) Jelaskan pada pasien
dan keluarga tentang
persiapan tindakan dan
tujuan penggunaan alat
tambahan (O2, Suction,
Inhalasi)
17) Auskultasi bunyi
jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung

6. Implementasi
Implementasi merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan, dengan melaksanakan
berbagai strategi kesehatan (tindakan keperawatan) y ang telah direncanakan dalam rencana
tindakan keperawatan.

7. Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah pasien gagal ginjal kronis mendapatkan intervensi adalah sebagai
berikut :
1. Tidak terjadi kelebihan volume cairan
2. Tidak terjadi penurunan curah jantung
3. Tidak mengalami cidera jaringan lunak (Munttaqin, 2011)
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC.


Berkowitz, Aaron. 2012. Lecture Note Patofisiologi Klinik, Contoh Kasus
Klinis. Jakarta : EGC.

Brunner & Suddart. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta :
EGC.
Caerpenito, Lyndia Jual. 2009. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada praktek klinik.
Ed 9. Jakarta.

DEPKES. 2010. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Depkes RI.


Elizabeth J, Crowin. 2009. Patofisiologi. Buku Saku. Ed 3. Jakarta : EGC.
Haryono, R. 2013. Keperawatan Medikal bedah : Sstem Perkemihan. Yogyakarta:
PT. Andi Offset.
NANDA Internasional. 2015. NANDA Internasional Inc. Diagnosa Keperawatan:
Defenisi & Klasifikasi 2015-2017 (Budi Anna Keliat, et al, penerjemah).
Jakarta: EGC.
NANDA NIC-NOC. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis Edisi Revisi: Jogyakarta: Media Action.

Anda mungkin juga menyukai