NAMA
NIM
519048
SEMARANG
2020
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar belakang
b. Tujuan penulisan
BAB IV PEMBAHASAN
a. Pengkajian
b. Diagnosa
c. Intervensi
d. Implementasi
e. Evaluasi
BAB V Penutup
a. Simpulan
b. Saran
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit gagal ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD) merupakan
salah satu penyakit tidak menular yang saat ini banyak terjadi di masyarakat.
CKD merupakan proses kerusakan ginjal selama rentang waktu lebih dari tiga
bulan. Pada kasus tersebut, ginjal kehilangan kemampuannya untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan
makanan normal (Muhammad, 2012).
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif
dan ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit,
sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah) (Smeltzer 2014).
Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu penyakit yang
menjadi masalah besar di dunia. Gagal ginjal kronik merupakan suatu
penyakit yang menyebabkan fungsi organ ginjal mengalami penurunan
hingga akhirnya tidak mampu melakukan fungsinya dengan baik
(Cahyaningsih, 2017). Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah.
Kerusakan ginjal ini mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan
tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh jadi mudah lelah
dan lemas sehingga kualitas hidup pasien menurun (Bruner& Suddarth,2014).
Menurut data dari WHO, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup
tinggi. Setiap tahunnya prevalensi penyakit gagal ginjal terus meningkat.
Data di Amerika Serikat tahun 2015 memperkirakan bahwa angka kejadian
CKD mencapai 19,2 juta (11%) dari seluruh populasi dewasa dan 0,22%
diperkirakan sudah ada pada stadium akhir (WHO, 2015).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 prevalensi
CKD mengalami kenaikan dibandingkan dengan Riskesdas 2013 yakni 2%
menjadi 3,8%. Indonesia merupakan negara dengan tingkat penderita gagal
ginjal yang cukup tinggi. Hasil survei yang dilakukan oleh perhimpunan
Nefrologi Indonesia (Pernefri) diperkirakan ada sekitar 12,5 % dari populasi
atau sebesar 25 juta penduduk Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.
Menurut Ismail, Hasanuddin & dan Bahar (2014) jumlah penderita gagal
ginjal di Indonesia sekitar 150 ribu orang dan yang menjalani hemodialisis
sebanyak 10 ribu orang. Prevalensi gagal ginjal kronik berdasarkan diagnosis
dokter di Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi gagal ginjal kronik (sekarang
disebut PGK) di Indonesia pada pasien usia lima belas tahun keatas di
Indonesia yang didata berdasarkan jumlah kasus yang didiagnosis dokter
adalah sebesar 0,2%. Prevalensi gagal ginjal kronik meningkat seiring
bertambahnya usia, didapatkan meningkat tajam pada kelompok umur 25-44
tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), umur 55-74 tahun (0,5%),
dan tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-
laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%).
Penyebab kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis baru menurut
data yang dikumpulkan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri)
pada tahun 2011 hasilnya yaitu penyakit hipertensi berada pada urutan
pertama sebesar 34%, urutan kedua yaitu diabetes melitus sebesar 27% dan
selanjutnya ada glomerulonefritis sebesar 14%, nefropati obstruksi sebesar
8%, pielonefritis kronik sebesar 6%, ginjal polikistik sebesar 1%, penyebab
yang tidak diketahui sebesar 1% dan penyebab lainnya sebesar 9%.
Sedangkan menurut United States Renal Data System (USRDS) tahun 2014,
yang bertanggung jawab terhadap kejadian gagal ginjal kronik urutan pertama
dan kedua yaitu diabetes melitus sebesar 34% dan hipertensi sebesar 21%,
kemudian diikuti glomerulonefritis sebesar 17%, pielonefritis kronik sebesar
3,4%, ginjal polikistik sebesar 3,4% dan lain-lain sebesar 21%.
Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa tubuh. Zat
sisa yang menumpuk pada pasien PGK ditarik dengan mekanisme difusi pasif
membran semipermeabel. Hemodialisis dapat mempengaruhi gambaran klinis
penderita PGK, berupa gejala mual muntah, anoreksia, anemia, pruritus,
pigmentasi, kelainan psikis, insomnia, hipertensi, maupun gejala lainnya.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menggambarkan studi kasus pada asuhan
keperawatan pada klien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK).
2. Tujuan Khusus
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat :
a. Mampu menguraikan hasil pengkajian kebutuhan dasar klien dengan
Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.S.
b. Mampu menguraikan masalah keperawatan kebutuhan dasar klien
dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khusunya Tn.S
c. Mampu menguraikan rencana tindakan keperawatan kebutuhan dasar
klien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.S.
d. Mampu menguraikan tindakan keperawatan kebutuhan dasar klien
dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.S.
e. Mampu menguraikan hasil evaluasi kebutuhan dasar klien dengan
Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.S.
f. Mampu menganalisa kesenjangan yang terdapat antara teori dan kasus
kebutuhan dasar klien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya
Tn.S.
BAB II
TINJAUAN TEORI
3. KLASIFIKASI
Gagal ginjal kronis dibagi menjadi lima stadium berdasarkan laju
penyaringan (filtrasi) glomerulus (Glomerular Filtration Rate = GFR) yang
dapat dilihat pada tabel di bawah ini. GFR normal adalah 90 - 120
mL/min/1.73 m2.
Rumus perhitungan GFR:
pria= ((140 - umur)x BB)/ (72 x serum kreatinin)
wanita= hasil pria x 0,85
nilai normal GFR sesuai usia:
a. Usia 20-29 tahun: nilai GFR rata-rata 116
b. Usia 30-39 tahun: nilai GFR rata-rata 107
c. Uisa 40-49 tahun: nilai GFR rata-rata 99
d. Usia 50-59 tahun: nilai GFR rata-rata 85
e. Usia diatas 70 tahun: nilai GFR rata-rata 75
5 Kurang dari 15 Gagal ginjal stadium akhir (End Stage Renal Disease)
4. PATOFISIOLOGI
Glomerulonefritis kronik dan pielonefritis kronik merupakan penyebab utama
gagal ginjal kronis, glumorulonefritis sendiri adalah salah satu jenis penyakit
ginjal dimana terjadi peradangan pada glomerulus. Glomerulus merupakan
bagian ginjal yang berfungsi sebagai penyaring dan membuang cairan serta
elektrolit berlebih, juga zat sisa (sampah) dari aliran darah. Kerusakan pada
glomerulus akan menyebabkan terbuangnya darah serta protein melalui urin,
Anemia sendiri terjadi karena sel darah merah jumlahnya lebih rendah dari
normal, pada sel darah merah tersebut mengandung hemoglobin yang bekerja
untuk membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Tidak adanya
pasokan oksigen yang cukup berpengaruh terhadap tingkat energi, secara
otomatis akan turun dan menyebabkan terjadinya kelelehan. Karena kondisi
tubuh yang mengalami kelelahan sehingga tubuh tidak mampu melakukan
aktivitas. Maka timbulah diagnosa keperawatan Intoleransi Aktivitas. Dari hal
sebelumnya yaitu anemia yang dapat menyebabkan oksigen hemoglobin
turun sehingga muncul masalah perfusi perifer tidak efektif.
6. PENATALAKSANAAN
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
menurut Suwitra (2017) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/mn/1,73m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi
perburukan (progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂15 Terapi pengganti ginjal
3) Indikasi Hemodialisis
Indikasi dilakuka]n hemodialisis pada pasien PGK terbagi 2 kategori (Kandarini,
2012) yaitu :
a. Hemodialisis segera atau emergency, yaitu (Daurgirdas et al., 2017) :
i) Uremia ( BUN >150mg/dL)
ii) Oliguria (urin < 200ml/12jam)
iii) Anuria (urin < 50ml/ 12jam)
iv) Asidosis berat (pH < 7.1)
v) Hiperkalemia
vi) Ensefalopati uremikum
vii) Neuropati Uremikum
viii) Hipertermia
ix) Disnatremia (Natrium > 160 atau < 115 mmol/L)
b. Hemodialisis kronik, yaitu hemodialisis yang dilakukan seumur hidup.
K/DOQI dalam Daurgirdas et al. (2017) mengatakan bahwa dialisis dimulai
bila LFG<15ml/menit tetapi karena gejala klinis setiap orang berbeda maka
dialisis dimulai apabila dijumpai salah satu gejala yaitu :
i) LFG < 15ml/menit, tergantung gejala klinis penderita
ii) Malnutrisi atau hilangnya massa otot
iii)Gejala uremia antara lain anoreksia, mual muntah, lethargy
iv) Hipertensi yang susah dikontrol
v) Kelebihan cairan
Hemodialisis harus dimulai lebih awal pada pasien dengan :
i) Diabetes : lebih banyak mengalami komplikasi, lebih sulit untuk
mengatur diet ginjal dan diabetes.
ii) Neuropati perifer : indikasi efek uremia pada sistem saraf perifer.
iii) Ensefalopati uremikum : indikasi efek yang berat pada sistem saraf pusat
iv) Hipertensi maligna : mungkin dapat membaik dengan pengeluaran cairan
pada dialisis.
Persiapan untuk program dialisis regular, antara lain:
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus mendapat
informasi yang harus dipahami sendiri dan keluarganya. Beberapa persiapan
(preparasi) dialisis regular:
1) Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
2) Psikoligis yang stabil
3) Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu tidak
terbatas sebelum transplantasi ginjal
4) Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menjamin kualitas
hidup optimal
5) Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :
6) Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan
7) Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis
8) Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/%
terutama pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.
2) Mekanisme Hemodialisis
Prinsip dari Hemodialisis adalah dengan menerapkan proses osmotis dan
ultrafiltrasi pada ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme
tubuh. Pada hemodialisis, darah dipompa keluar dari tubuh lalu masuk
kedalam mesin dialiser (yang berfungsi sebagai ginjal buatan) untuk
dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi dan ultrafiltrasi oleh
cairan khusus untuk dialisis (dialisat). Tekanan di dalam ruang dialisat lebih
rendah dibandingkan dengan tekanan di dalam darah, sehingga cairan, limbah
metabolik dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui selaput dan
masuk ke dalam dialisat. Proses hemodialisis melibatkan difusi solute (zat
terlarut) melalui suatu membrane semipermeable. Molekul zat terlarut (sisa
metabolisme) dari kompartemen darah akan berpindah kedalam kompartemen
dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati membran
semipermiabel demikian juga sebaliknya. Setelah dibersihkan, darah dialirkan
kembali ke dalam tubuh (Permadi, 2011).
Mesin hemodialisis (HD) terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan
dialisat, dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah
dari tempat tusukan vaskuler ke alat dialiser. Dialiser adalah tempat dimana
proses HD berlangsung sehingga terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam
darah dan dialisat. Sedangkan tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya
darah dari tubuh penderita menuju dialiser dan selanjutnya kembali lagi
ketubuh penderita. Kecepatan dapat di atur biasanya diantara 300-400
ml/menit. Lokasi pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan arteri
dan monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-39 C
sebelum dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat yang terlalu rendah
ataupun melebihi suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi. Sistem
monitoring setiap mesin HD sangat penting untuk menjamin efektifitas proses
dialisis dan keselamatan (Permadi, 2011).
Pada saat proses Hemodialisis, darah kita akan dialirkan melalui sebuah
saringan khusus (Dialiser) yang berfungsi menyaring sampah metabolisme
dan air yang berlebih. Kemudian darah yang bersih akan dikembalikan
kedalam tubuh. Pengeluaran sampah dan air serta garam berlebih akan
membantu tubuh mengontrol tekanan darah dan kandungan kimia tubuh jadi
lebih seimbang. Hemodialisis idealnya dilakukan selama 10-15 jam per
minggu. Namun waktu yang dibutuhkan terlalu lama, sehingga hemodialisis
sering dilakukan selama 4-5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu pada
interval 2 hari diantara hemodialisis. Frekuensi menjalani hemodialisis
dilakukan agar menyeimbangkan kembali kadar garam, air dan pH yang tidak
normal akibat gagal ginjal kronik (Widyastuti, 2014).
3) Prinsip Hemodialisa
a. Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik
biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut
memiliki akses temporer seperti vascoth.
b. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan
kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
c. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan
pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang
konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi
tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan pemindahan zat pelarut
yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.
d. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan
mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan
tersebut.
e. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi
artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga
tipe dari tekanan dapat terjadi pada membrane :
1) Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan
dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser
dan resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan
positip “mendorong” cairan menyeberangi membrane.
2) Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar
membrane oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative
“menarik” cairan keluar darah.
3) Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut.
Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari
larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan
membrane permeable terhadap air.
4) Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat hemodialisis, antara lain:
a. Hipotensi
Dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli udara
Jarang terjadi, namun bisa terjadi akibat udara yang memasuki sistem
vaskular pasien.
c. Nyeri dada
Terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sikulasi di
luar tubuh.
d. Pruritus
Selama terapi adanya produk akhir metabolisme yang tersisa di dalam
kulit
e. Gangguan keseimbangan dialisis
Akibat perpindahan cairan cerebral dan muncul sebagai serangan kejang,
berpotensi besar jika terdapat uremia yang berat.
f. Malnutrisi
Akibat kontrol diet dan kehilangan nutrient selama hemodialisa.
g. Fatigue dan kram
Pasien dapat mengalami kecapean akibat hipoksia yang disebabkan
edema pulmoner. Hipoksia pulmoner terjadi akibat retensi cairan dan
sodium.
2. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi
dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
b. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
c. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan
memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
d. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan
rasio urin/ serum saring (1 : 1).
e. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan
ginjal.
f. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal
tidak mampu mengabsorpsi natrium.
g. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis
secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi
kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hypervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi,
kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan natrium
2. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi
hemoglobin
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelebihan volume cairan,
sindrom uremia.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
5. Berat badan lebih berhubungan dengan gangguan genetik, faktor keturunan,
hipotiroid, diabetes melitus maternal
4. RENCANA KEPERAWATAN
No. Diagnosa (SDKI) Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi (SIKI)
(SLKI)
Observasi
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
Tn. S yang berusia 55 tahun, pasien beragama islam, pasien merupakan
seorang pensiunan BUMN, pasien mengalami Chronic Kidney Disease (CKD)
grade V dan DM Tipe 2. Pasien menjalani hemodialisa seminggu 2 kali yaitu
hari Selasa dan Sabtu. Pada saat dilakukan pengkajian pasien mengeluh badan
lemas, kaki bengkak,punggung gatal-gatal dan didapatkan data keadaan umum
pasien yaitu kesadaran composmentis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 15
yaitu E4M6V5. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 140/80
mmHg, suhu 36oC, pernapasan 22x/menit, irama reguler, nadi 84x/menit.
Pemeriksaan antropometri didapatkan hasil tinggi badan 165 cm, berat badan
70,5 kg, dengan status gizi berat badan berlebih. Hasil pemeriksaan GDS
puasa 160 mg/dl. Hasil pemeriksaan fisik pada pasien pada mata diapatkan
konjungtiva anemis, Hb: 9,0gr/dl, pandangan kabur karena Tn.S memiliki
penyakit katarak dikedua mata dan riwayat DM. Pada Paru terdapat jejas pada
dada kanan post double lumen. Terpasang dobule lumen pada area Central
Venous Chateter (CVC) didada kanan. Perut tampak buncit dengan bising
usus 12 kali/menit. Pada ekstremitas atas tangan kanan tidak dapat digerakkan
secara normal karena pasien memiliki riwayat fraktur, pada ekstremitas bawah
kaki lemas susah digerakkan, pitting edema +1, kedalaman 2-3 mm.
Pemeriksaan kulit didapatkan kulit kering, warna kulit hitam, turgor kulit tidak
elastis pada punggung.
Pada pengkajian 11 pola Gordon didapatkan data abnormal pada status nutrisi
dan metabolik yaitu pasien Tn.S mengatakan saat dirumah makan 3xsehari
dengan porsi nasi sedikit, sayur, dan lauk, kadang mengkonsumsi buah, setiap
pagi minum susu khusus untuk ginjal ±100cc, dan sebelum tidur minum susu
entrosol ±200 cc, dan minum air putih ±600 cc, sebelum makan Tn. S
mengkonsumsi obatpioglitazone hydrochlorine 15 mg 2x1. Tn. S mengatakan
sudah menghindari makanan kacang-kacangan, jeroan, dan santan.
makan makanan ringan seperti arem-arem saat proses hemodialisa, minum
±150 cc. Selama proses hemodialisa Tn.S mengatakan hanya minum sedikit
dan sarapan pagi A: Antropometri= berat badan saat ini 70.5 Kg, Berat badan
pasca hemosialisa yang lalu 66.5 Kg, perubahan berat badan: naik 4 kg, tinggi
badan: 165 cm, Indeks Massa Tubuh (IMT): 25.7 kg/m 2. B: Biokimia= Hb: 9.1
g/dL, GDS puasa 160 mg/dl. C: Clinical= kulit kering, mata anemis, terdapat
edema pada kaki derajat I kedalaman ±2-3mm pitting edema +1. D: Diit= diit
rendah gula dan kalium
Pada eliminasi pada saat dirumah pasien mengatakan jarang BAB dan BAK.
BAK±5-6 kali sehari warna kuning jernih, jumlah urine ±50 cc setiap kali
BAK, BAB 1 kai/hari dengan konsisensu BAB lembek, sedangkan saat
dirumah sakit pasien mengatakan selama hemodialisa Tn. S jarang sekali BAK.
Kadang-kadang BAK 1 kali sebelum hemodialisa dimulai dan terkadang
sesudah hemodialisa, BAK ±50 c, warna kuning jerih. Balance cairan + 185.75.
B. Diagnosa-Evaluasi
Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah dilakukan didapatkan data
DS: Pasien mengeluh badan lemas dan mengatakan selama dirumah pasien
makan 3x sehari dengan porsi nasi sedikit, sayur, dan lauk, kadang
mengkonsumsi. buah, setiap pagi minum susu khusus untuk ginjal ±100cc, dan
sebelum tidur minum susu entrosol ±200 cc, dan minum air putih ±600 cc, Tn.
S mengatakan sudah menghindari makanan kacang-kacangan, jeroan, dan
santan. Tn. S mengatakan BB meningkat 4 Kg dari BB terakhir setelah
Hemodialisa. Tn. S mengatakan tubuhnya merasa nyaman jika BB 65 Kg.
DO: Hasil pemeriksaan Antropometri A: Antropometri= berat badan saat ini
70.5 Kg, Berat badan pasca hemosialisa yang lalu 66.5 Kg, perubahan berat
badan: naik 4 kg, tinggi badan: 165 cm, Indeks Massa Tubuh (IMT): 25.7
kg/m2. B: Biokimia= Hb: 9.1 g/dL, GDS puasa 160 mg/dl. C: Clinical= kulit
kering, mata anemis, terdapat edema pada kaki derajat I kedalaman ±2-3mm
pitting edema +1. D: Diit= diit rendah gula dan kalium. Sehingga penulis dapat
menegakkan diagnosa keperawatan Berat badan berlebih berhubungan dengan
gangguan genetik.
Pada diagnosa Berat badan berlebih berhubungan dengan gangguan genetik
ditandai dengan IMT: 25,7 kg/m2 kesimpulan berat badan berlebih, adanya
peningkatan berat badan 4 kg dalam waktu 4 hari, setelah diberikan intervensi
keperawtan selama 1x4 jam diharapakan masalah teratasi dengan intervensi
manajemen berat badan, edukasi diet, manajemen nutrisi.
Implementasi yang dilakakukan sesuai dengan intervensi keperawatan oleh
perawat pada pasien dengan diagnosa berat badan lebih b.d gangguan genetik
saat datang ke RS untuk menjalani HD adalah memanajemen berat badan,
mengedukasi diet, memanajemen nutrisi
Berdasarkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada klien Tn.S yang
dilakukan pada tanggal 26 Mei 2020, diperoleh hasil evaluasi, S: pasien
mengatakan badan sudah terasa nyaman dengan adanya penurunan berat badan
setelah HD, pasien mengatakan sudah mengetahui bagaimana cara
mengatasinya dan cara melakukan diit yang sesuai. O: BB menurun 2 kg
setelah menjalani HD yaitu BB sebelum HD 69 kg, BB setelah HD 67 kg A:
masalah Berat badan berlebih b.d gangguan genetik teratasi P: lanjutkan
intervensi identifikasi status nutrisi, monitor asupan makanan, monitor berat
badan, monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Berdasarkan hasil evaluasi yang diperoleh pada tanggal 26 Mei 2020 diperoleh
hasil evaluasi S: Pasien mengatakan edema berkurang, sudah tidak lemas, luka pada
punggung membaik. O: sudah tidak terdapat luka pada punggung, kulit masih
menghitam, turgor kulit masih tidak elastis, masih terdapat edema pada ekstremitas
bawah, CRT < 2 detik, TD: 130/80 mmHg S: 36oC dan N: 88 kali per menit
SpO2:100, Hb: 13,5gr/dL A: masalah Perfusi perifer tidak efektif berhubungan
dengan penurunan konsentrasi hemoglobin sudah teratasi P: lanjutkan intervensi
Anjurkan berolah raga rutin, Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit
terbakar, Identifikasi penyebab perubahan sensasi, Identifikasi penggunaan alat
pengikat, prosthesis, sepatu, dan pakaian
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pengkajian
Pada tahap pengkajian penulis mengacu pada format yang telah disediakan,
format pengkajian yang tidak jauh berbeda dengan format yang ada pada
tinjauan teoritis. Dalam pengumpulan data, penulis melakukan pengkajian
secara komprehensif yang mengacu pada tinjauan teoritis yang meliputi aspek
bio, psiko, sosio, dan spiritual yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi
klien. Data hasil pengkajian penulis didapatkan dari hasil wawancara dengan
klien dan keuarga, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan diagnostik, catatan
medis, catatan keperawatan, serta bekerja sama dengan perawat ruangan, dan
tim kesehatan lainnya yang mendukung pengkajian.
Tn.S mengatakan pada saat dirumah jarang BAB dan BAK. BAK±5-6 kali
sehari warna kuning jernih, jumlah urine ±50 cc setiap kali BAK, BAB 1
kali/hari dengan konsisensu BAB lembek, sedangkan saat dirumah sakit
pasien mengatakan selama hemodialisa Tn. S jarang sekali BAK. Kadang-
kadang BAK 1 kali sebelum hemodialisa dimulai dan terkadang sesudah
hemodialisa, BAK ±50 c, warna kuning jerih. Balance cairan + 185.75.
terdapat edema pada kaki dengan derajat pitting edema +1 dan kedalaman 2-
3mm. Pemeriksaan kulit didapatkan kulit kering, warna kulit hitam, turgor
kulit tidak elastis, pemeriksaan fisik pada pasien diapatkan konjungtiva
anemis. Hasil pemeriksaan lab hemoglobin 9 g/dl, terdapat peningkatan BB
4kg dalam waktu 4 hari. Hal ini sesuai dengan teori menurut Doenges (2014),
hipervolemia ditandai dengan penurunan output, oliguria, peningkatan
tekanan darah, peningkatan CVP (Central Venous Pressure), edema,
peningkatan berat badan dalam waktu singkat, edema pulmonal, perubahan
pada status mental, kegelisahan, penurunan hemoglobin/hematokrit, dan
ketidakseimbangan elektrolit. Menurut penulis, terdapat kesamaan teori dan
evidence pada pasien PGK dengan masalah hipervolemia, karena pasien
mengalami penurunan output pada saat sebelum masuk RS (sebelum
diberikan diuretik), peningkatan berat badan, edema ekstremitas, edema
pulmonal, dan juga penurunan hemoglobin/hematokrit. Saat dikaji pasien
telah diberikan terapi diuretik, oleh karena itu balance cairan pasien bernilai
(-) dan outputnya pun bertambah. Setelah dilakukan pemberian terapi obat
pioglitazone hydrochlorine 15 mg 2x1 sebelum makan, gliquidone 30 mg 2x1
dan obat isosorbide dinitrate 5mg 3x1 setelah makan, dan dilakukan
hemodialisa penderita menunjukkan perbaikan klinis.
Hal ini sesuai dengan teori Suhardjono (2019), yang menyatakan bahwa
anemia terjadi pada 80-90% pasien PGK, terutama bila sudah mencapai
stadium III. Anemia terutama disebabkan oleh defisiensi Erythropoietic
Stimulating Factors (ESF). Kemudian menurut National Kidney Foundation
(2012), dalam keadaan normal 90% eritropoietin (EPO) dihasilkan di ginjal
tepatnya oleh juxtaglomerulus dan hanya 10% yang diproduksi di hati.
Eritropoietin mempengaruhi produksi eritrosit dengan merangsang
proliferasi, diferensiasi dan maturasi prekursor eritroid. Keadaan anemia ini
terjadi karena defisiensi eritropoietin yang dihasilkan oleh sel peritubular
sebagai respon hipoksia lokal akibat pengurangan parenkim ginjal fungsional.
Lalu menurut Sukandar (2016), faktor lain yang dapat menyebabkan anemia
pada PGK adalah defisiensi besi defisiensi besi, defisiensi vitamin, penurunan
masa hidup eritrosit yang mengalami hemolisis, dan akibat perdarahan. Tanda
dan gejala yang ditunjukkan antara lain lemas, kelelahan, sakit kepala,
masalah dengan konsentrasi, pucat, pusing, kesulitan bernapas atau sesak
napas, dan nyeri dada.
Menurut penulis, antara teori dan pengkajian yang didapatkan pada pasien
sesuai, karena tanda dan gejalanya sama, antara lain pasien yang merasa
lemas, kulit pucat, sering pusing, dan juga data tambahan yaitu capillary refill
time (CRT)> 2detik serta konjungtiva anemis yang biasanya paling awal
diperiksa untuk menentukan apakah pasien memiliki kemungkinan anemia
atau tidak.
Menurut Smeltzer& Bare (2015) yaitu tanda dan gejala pasien dengan
penyakit ginjal seperti kelemahan dan keletihan, konfusi, kelemahan pada
tungkai, rasa panas pada kaki, kram otot, kekuatan otot menurun/hilang,
fraktur tulang, dan foot drop. Menurut penulis tanda dan gejala tersebut
muncul pada pasien dengan penyakit ginjal karena kurangnya pergerakan
karena takut akan terjadi sesak napas, mengalami kelemahan sehingga
muncul tanda dan gejala yang sesuai dengan fakta dan teori.
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan dan bertujuan untuk
menentukan berbagai respon pasien terhadap intervensi keperawatan
yang sudah disusun dan sebatas mana tujuan-tujuan yang di rencanakan
sudah tercapai (Smeltzer & Bare, 2013). Dalam perumusan evaluasi
keperawatan menggunakan empat komponen yang dikenal dengan
SOAP, yaitu S (Subjektive) merupakan data informasi berupa ungkapan
pernyataan keluhan pasien, O (Objective) merupakan data hasil
pengamatan, penilaian dan pemeriksaan, A (Assesment) merupakan
perbandingan antara data subjective dan data objective dengan tujuan dan
kriteria hasil, kemudian akan diambil sebuah kesimpulan bahwa masalah
teratasi, teratasi sebagian, atau tidak teratasi, dan P (Planning) merupakan
rencana keperawatan lanjutan yang akan dilanjutkan, dihentikan,
dimodifikasi, atau ditambah dari rencana tindakan keperawatan yang
telah ditentukan sebelumnya (Dinarti, Aryani, Nurhaeni, Chairani, &
Tutiany, 2013).
Pada hal ini disebabkan karena sekresi eritropoetin pada ginjal menurun
sehingga produksi hb turun dan oksihemoglobin turun dan
mengakibatkan perfusi perifer tidak efektif. Menurut penulis penurunan
hb mengakibatkan oksihemoglobin turun, karena oksigen yang terikat
pada hb dan seharusnya dialirkan keseluruh tubuh tidak berjalan sesuai
dengan fungsinya. Ginjal yang terganggu mengakibatkan sekresi
eritropoetin menurun dan produksi hb juga ikut turun sehingga timbullah
masalah perfusi perifer tidak efektif.
Pada diagnosa yang ke lima yaitu diagnosa perfusi perifer tidak efektif
berhubungan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin dengan intervensi
utama Periksa sirkulasi periver (mis. Nadi perifer, edema, pengisian kapiler,
warna, suhu, ankle brachial index) ,Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi
(mis. Diabetes, perokok, orang tua hipertensi dan kadar kolestrol tinggi)
Monitor panas, kemerahan, nyeri atau bengkak pada ekstermitas, Kolaborasi
pemberian analgesik, Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu, Ajarkan
program diet untuk memperbaiki sirkulasi ( mis. Rendah lemak jenuh, minyak
ikam omega 3), Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan
(mis. Raasa sakit yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya
rasa), Lakukan pencegahan infeksi, Lakukan perawatan kaki dan kuku Edukasi
dengan rasional Edema perifer menurun, Kelemahan otot menurun Pengisian
kapiler membaik, Akral membaik, Turgor kulit membaik. (Tim Pokja SLKI
DPP PPNI, 2018).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Tujuan Umum
Proses Keperawatan adalah metode Asuhan Keperawatan yang ilmiah,
sistematis, dinamis dan terus-menerus serta berkesinambungan dalam
rangka pemecahan masalah kesehatan pasien/klien, dimulai dari
Pengkajian (Pengumpulan Data, Analisis Data dan Penentuan Masalah)
Diagnosis Keperawatan, Pelaksanaan dan Penilaian Tindakan
Keperawatan (evaluasi). Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan
fungsi ginjal yang bersifat persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan
fungsi ginjal yaitu penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat
digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan berat (Mansjoer, 2017
Penyebab kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis baru
menurut data yang dikumpulkan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) pada tahun 2015 hasilnya yaitu penyakit hipertensi berada pada
urutan pertama sebesar 34%, urutan kedua yaitu diabetes melitus sebesar
27% dan selanjutnya ada glomerulonefritis sebesar 14%, nefropati
obstruksi sebesar 8%, pielonefritis kronik sebesar 6%, ginjal polikistik
sebesar 1%, penyebab yang tidak diketahui sebesar 1% dan penyebab
lainnya sebesar 9%.
2. Tujuan Khusus
a. Pengkajian
Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan
sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan
keperawatan dapat ditentukan. Pengkajian pada pasien dengan
penyakit ginjal kronik didapatkan adanya masalah cairandan perfusi.
b. Diagnosa Keperawatan
Seperti yang dikemukakan beberapa ahli di bab sebelumnya yaitu
terdapat 5 diagnosa keperawatan pada pasien ginjal yaitu,
hypervolemia, perfusi perifer tidak efektif, gangguan integritas kulit,
intoleransi aktivitas, dan berat badan lebih pada hasil analisa data
terdapat kesamaan antara teori dengan nyatanya, pada hasil
pengkajian pasien Tn.S ditemukan 5 diagnosa keperawatan dengan 5
masalah yang sesuai teori yaitu berat badan lebih, hipervolemi,
intoleransi aktivitas , gangguan integritas kulit, perfuji jaringan perifer
tidak efektif , sehingga antara teori dan kasus telah sesuai.
c. Intervensi Keperawatan
Intervensi yang digunakan dalam kasus pada Ny.S, klien disesuaikan
dengan masalah keperawatan yang ditegakkan berdasarkan criteria
tanda dan gejala mayor, minor dan kondisi klien saat ini.
d. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada Tn.S sesuai dengan
intervensi yang telah direncanakan berdasarkan teori yang ada dan
sesuai dengan kebutuhan Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis
e. Evaluasi
Akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang di berikan. Pada evaluasi yang penulis lakukan
pada pasien Tn..S dengan masa perawatan 2 x 4 jam dan dengan 5
masalah keperawatan yaitu berat badan lebih, hipervolemi dan
intoleransi aktivitas, gangguan integritas kulit, dan perfusi perifer
tidak efektis masalah Pasien mengatakan sudah mengetahui cara
melakukan diit dan bersedia menerapkannya dalam sehari-hari, pasien
mengalami penurunan BB, pasien sudah tidak merasakan kelelahan
lagi, edema ekstremitas berkurang, Hb meningkat menjadi 13,5 gr/dL,
konjungtiva tidak anemis, Serta pasien dilakukan dialisis dengan
hemodialisa. Pasien mampu melakukan aktivitas bertahap, aktivitas
dibantu keluarga dan perawat, luka pada punggung sudah membaik
tidak ada infeksi, CRT < 2 detik, pasie merasa nyaman.
f. menganalisa kesenjangan yang terdapat antara teori dan kasus Gagal
Ginjal Kronik
dari pembahasan telah dilakukan analisa kesenjangan teroi dengan
kasus yang didapatkan hasil bahwa terdapat banyak kesenjangan yang
ada didalam teori terhadap kasus Gagal Ginjal Kronik yang menjalani
Hemodialisa tersebut.
C. Saran
a. Bagi Penulis
Penulis diharapkan bisa memberikan tindakan pengelolaan asuhan
keperawatan selanjutnya pada pasien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK)
yang menjalani Hemdodialisa.
b. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa diharapkan meningkatkan informasi dari berbagai sumber lain
tentang asuhan keperawatan dewasa, sehingga dapat memberikan
gambaran kepada pasien tentang mengenal dan merawat kesehatan
tubuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia A and Willson, Lorraine M, 2015, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses penyakit, Edisi empat, EGC, Jakarta
Ralph & Rosenberg, (2018), Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2018-
2020, Philadelphia USA
PATHWAY
↑ viskositas darah
Kerusakan ginjal
↓GFR
Produksi Hb ↓