Anda di halaman 1dari 77

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. S DENGAN GAGAL


GINJAL KRONIK (GGK) DAN DM PADA HEMODIALISA

NAMA

KHOIRUL HIDAYAH NUR FITRI PUJI RAHAYU

NIM

519048

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TELOGOREJO

SEMARANG

2020
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar belakang
b. Tujuan penulisan

BAB II TINJAUAN TEORI


a. Konsep Laporan Pendahuluan
b. Konsep Hemodialisis
c. Konsep Asuhan Keperawatan

BAB III TINJAUAN KASUS


Resume asuhan keperawatan dengan pasien Gagal Ginjal
Kronik

BAB IV PEMBAHASAN
a. Pengkajian
b. Diagnosa
c. Intervensi
d. Implementasi
e. Evaluasi

BAB V Penutup
a. Simpulan
b. Saran
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit gagal ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD) merupakan
salah satu penyakit tidak menular yang saat ini banyak terjadi di masyarakat.
CKD merupakan proses kerusakan ginjal selama rentang waktu lebih dari tiga
bulan. Pada kasus tersebut, ginjal kehilangan kemampuannya untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan
makanan normal (Muhammad, 2012).

Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif
dan ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit,
sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah) (Smeltzer 2014).

Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu penyakit yang
menjadi masalah besar di dunia. Gagal ginjal kronik merupakan suatu
penyakit yang menyebabkan fungsi organ ginjal mengalami penurunan
hingga akhirnya tidak mampu melakukan fungsinya dengan baik
(Cahyaningsih, 2017). Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah.
Kerusakan ginjal ini mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan
tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh jadi mudah lelah
dan lemas sehingga kualitas hidup pasien menurun (Bruner& Suddarth,2014).

Menurut data dari WHO, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup
tinggi. Setiap tahunnya prevalensi penyakit gagal ginjal terus meningkat.
Data di Amerika Serikat tahun 2015 memperkirakan bahwa angka kejadian
CKD mencapai 19,2 juta (11%) dari seluruh populasi dewasa dan 0,22%
diperkirakan sudah ada pada stadium akhir (WHO, 2015).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 prevalensi
CKD mengalami kenaikan dibandingkan dengan Riskesdas 2013 yakni 2%
menjadi 3,8%. Indonesia merupakan negara dengan tingkat penderita gagal
ginjal yang cukup tinggi. Hasil survei yang dilakukan oleh perhimpunan
Nefrologi Indonesia (Pernefri) diperkirakan ada sekitar 12,5 % dari populasi
atau sebesar 25 juta penduduk Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.
Menurut Ismail, Hasanuddin & dan Bahar (2014) jumlah penderita gagal
ginjal di Indonesia sekitar 150 ribu orang dan yang menjalani hemodialisis
sebanyak 10 ribu orang. Prevalensi gagal ginjal kronik berdasarkan diagnosis
dokter di Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi gagal ginjal kronik (sekarang
disebut PGK) di Indonesia pada pasien usia lima belas tahun keatas di
Indonesia yang didata berdasarkan jumlah kasus yang didiagnosis dokter
adalah sebesar 0,2%. Prevalensi gagal ginjal kronik meningkat seiring
bertambahnya usia, didapatkan meningkat tajam pada kelompok umur 25-44
tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), umur 55-74 tahun (0,5%),
dan tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-
laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%).

Melihat tingginya angka kejadian CKD, maka sangat diperlukan upaya


penatalaksanaan yang komprehensif. Penderita CKD memerlukan
penanganan secara optimal untuk mempertahankan kualitas hidup guna
meminimalkan komplikasi lebih lanjut. Peran perawat menjadi faktor yang
sangat penting dalam mengatasi masalah kesehatan ini. Perawat dapat
berperan sebagai care provider yaitu memberikan pelayanan asuhan
keperawatan secara komprehensif. Selain itu perawat juga bisa berperan
sebagai edukator yaitu memberikan edukasi kesehatan atau penyuluhan
kesehatan kepada klien tentang pengaturan diet bagi pasien CKD seperti diet
rendah protein dan tinggi karbohidrat. Selanjutnya dalam penatalaksnaan
CKD, perawat juga bisa berperan sebagai konsultan, kolaborator, advokat
(pembela) dan pendidik (Potter & Perry, 2009).
Penyakit CKD dapat menimbulkan berbagai dampak terhadap sistem tubuh
diantaranya gangguan terhadap sistem kardiovaskuler yakni meningkatkan
tekanan darah. CKD juga dapat mengakibatkan vasokonstriksi sehingga
mengakibatkan penurunan kadar hemoglobin (anemia) akibat dari kurangnya
kemampuan ginjal untuk menghasilkan hormon eritopoetin yang berfungsi
untuk merangsang sumsum tulang dalam memproduksi sel darah merah
(Joachim and Lingappa,2010). Selain itu CKD dapat menimbulkan gangguan
pada sistem pernapasan, sistem persyarafan, sistem urogenital, sistem
pencernaan dan sistem integumen. Selain menimbulkan gangguan pada aspek
fisik, CKD dapat juga menimbulkan gangguan psikologis, diantaranya
depresi yang memperburuk keadaan pasien. Oleh karena itu sangat
diperlukan upaya penatalaksanaan yang adekuat dan optimal.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada kasus CKD diantaranya dialisis
dan transplantasi ginjal. Dialisis dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal
ginjal yang serius. Penatalaksanaan lain meliputi transplantasi ginjal atau
pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien gagal ginjal kronik. Berbagai
penatalaksanaan ini dapat mencapai hasil yang optimal jika terdapat
kerjasama yang baik diantara tenaga kesehatan atau pemberi pelayananan
kesehatan, salah satunya perawat. Dalam perawatan pasien CKD, perawat
dapat berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan (care giver) kepada
pasien, sebagai pendidik (edukator) dan sebagai fasilitator dalam menangani
permasalahan yang dihadapi pasien. Perawat harus memahami dengan benar
perawatan dan pengobatan yang tepat pada pasien CKD. Perawatan pasien
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang
dimulai dari pengkajian sampai evaluasi keperawatan. Tindakan mandiri
perawat dan kolaborasi sangat diperlukan dalam perawatan pasien untuk
mencapai asuhan keperawatan yang berkualitas.

Penyebab kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis baru menurut
data yang dikumpulkan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri)
pada tahun 2011 hasilnya yaitu penyakit hipertensi berada pada urutan
pertama sebesar 34%, urutan kedua yaitu diabetes melitus sebesar 27% dan
selanjutnya ada glomerulonefritis sebesar 14%, nefropati obstruksi sebesar
8%, pielonefritis kronik sebesar 6%, ginjal polikistik sebesar 1%, penyebab
yang tidak diketahui sebesar 1% dan penyebab lainnya sebesar 9%.
Sedangkan menurut United States Renal Data System (USRDS) tahun 2014,
yang bertanggung jawab terhadap kejadian gagal ginjal kronik urutan pertama
dan kedua yaitu diabetes melitus sebesar 34% dan hipertensi sebesar 21%,
kemudian diikuti glomerulonefritis sebesar 17%, pielonefritis kronik sebesar
3,4%, ginjal polikistik sebesar 3,4% dan lain-lain sebesar 21%.

Menurut KDIGO, PGK dengan tanda-tanda kegagalan ginjal (serositis,


gangguan keseimbangan asam-basa atau elektrolit, pruritus), kegagalan
pengontrolan volume dan tekanan darah, gangguan status gizi yang refrakter,
dan gangguan kognitif membutuhkan terapi hemodialisis. Pada penderita
yang sudah mencapai PGK derajat IV (eGFR <30mL/ menit/ 1,73 m 2) juga
harus dimulai terapi hemodialisis.

Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa tubuh. Zat
sisa yang menumpuk pada pasien PGK ditarik dengan mekanisme difusi pasif
membran semipermeabel. Hemodialisis dapat mempengaruhi gambaran klinis
penderita PGK, berupa gejala mual muntah, anoreksia, anemia, pruritus,
pigmentasi, kelainan psikis, insomnia, hipertensi, maupun gejala lainnya.

B. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menggambarkan studi kasus pada asuhan
keperawatan pada klien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK).

2. Tujuan Khusus
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat :
a. Mampu menguraikan hasil pengkajian kebutuhan dasar klien dengan
Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.S.
b. Mampu menguraikan masalah keperawatan kebutuhan dasar klien
dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khusunya Tn.S
c. Mampu menguraikan rencana tindakan keperawatan kebutuhan dasar
klien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.S.
d. Mampu menguraikan tindakan keperawatan kebutuhan dasar klien
dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.S.
e. Mampu menguraikan hasil evaluasi kebutuhan dasar klien dengan
Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.S.
f. Mampu menganalisa kesenjangan yang terdapat antara teori dan kasus
kebutuhan dasar klien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya
Tn.S.
BAB II
TINJAUAN TEORI

1. KONSEP LAPORAN PENDAHULUAN GAGAL GINJAL KRONIK


1. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun
elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer 2014).

Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan


kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR)
kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama lebih dari 3 bulan
(Kallenbach et al. 2015).

2. ETIOLOGI & TANDA GEJALA


Penyebab dari gagal ginjal kronis menurut (Price, 2012), adalah :
1. Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (SIK) sering terjadi dan menyerang manusia
tanpa memandang usia, terutama wanita. Infeksi saluran kemih
umumnya dibagi dalam dua kategori besar : Infeksi saluran kemih
bagian bawah (uretritis, sistitis, prostatis) dan infeksi saluran kencing
bagian atas (pielonepritis akut). Sistitis kronik dan pielonepritis kronik
adalah penyebab utama gagal ginjal tahap akhir pada anak-anak.
2. Penyakit peradangan
Kematian yang diakibatkan oleh gagal ginjal umumnya disebabkan
oleh glomerulonepritis kronik. Pada glomerulonepritis kronik, akan
terjadi kerusakan glomerulus secara progresif yang pada akhirnya
akan menyebabkan terjadinya gagal ginjal.
3. Nefrosklerosis hipertensif
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat.
Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan
kerusakan pada ginjal, sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat
menyebabkan hipertensi atau ikut berperan pada hipertensi melalui
mekanisme retensi natrium dan air, serta pengaruh vasopresor dari
sistem renin-angiotensin.
4. Gangguan kongenital dan herediter
Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal merupakan
penyakit herediter yang terutama mengenai tubulus ginjal. Keduanya
dapat berakhir dengan gagal ginjal meskipun lebih sering dijumpai
pada penyakit polikistik.
5. Gangguan metabolic
Penyakit metabolik yang dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik
antara lain diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme primer dan
amiloidosis.
6. Nefropati toksik
Ginjal khususnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan dan bahan-
bahan kimia karena alasan-alasan berikut :
a. Ginjal menerima 25 % dari curah jantung, sehingga sering dan
mudah kontak dengan zat kimia dalam jumlah yang besar.
b. Interstitium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia
dikonsentrasikan pada daerah yang relatif hipovaskular.
c. Ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk kebanyakan
obat, sehingga insufisiensi ginjal mengakibatkan penimbunan
obat dan meningkatkan konsentrasi dalam cairan tubulus.

Sedangkan etiologi berdasarkan letak penyebab:


1. Pre Renal (hipoperfusi ginjal)
Gagal ginjal tipe pre renal disebabkan oleh menurunnya aliran cairan
(perfusi cairan) tubuh ke ginjal, misalnya terjadi pada keadaan-keadaan
seperti dehidrasi, atau perdarahan hebat, pasca operasi dan sebagainya.
Kondisi-kondisi seperti ini tentunya akan menyebabkan fungsi ginjal
membuang cairan dan toksin dalam tubuh menjadi turun. Etiologi:
a. Penurunan volume vaskuler:
1) kehilangan darah/plasma: perdarahan, luka bakar
2) kehilangan cairan ekstraseluler: muntah, diare
b. Kenaikan kapasitas vaskuler
1) Sepsis
2) blokade ganglion
3) reaksi anafilaksis
c. Penurunan curah jantung/kegagalan pompa jantung:
1) renjatan kardiogenik
2) payah jantung kongestif
3) tamponade jantung
4) disritmia
5) emboli paru
6) infark jantung
2. Intra Renal (kerusakan aktual jaringan ginjal)
Gagal ginjal akut tipe renal disebabkan oleh adanya batu ginjal yang
mengganggu filtrasi cairan di ginjal. Adanya batu ginjal yang tidak
ditatalaksanakan dengan baik, pada akhirnya akan dapat menyebabkan
terjadinya gagal ginjal akut, bahkan juga kronik.
Etiologi: GNA, nefrosklerosis, Nefritis interstitialis, Nekrosis tubuler
akut, Nekrosis kortikal akut, Sindrom uremik.
3. Post Renal (obstruksi aliran urin)
Gagal ginjal tipe post renal disebabkan oleh adanya sumbatan pada
saluran-saluran yang keluar dari ginjal, seperti adanya batu di ureter,
terjadinya pembesaran prostat atau adanya tumor di kandung kemih, dan
sebagainya. Terjadinya sumbatan tersebut akan menyebabkan turunnya
fungsi pembuangan cairan oleh ginjal. Etiologi:
a. Obstruktif:
1) saluran kencing: batu, pembekuan darah, tumor, kristal, dll
2) tubuli ginjal: kristal pigmen, protein (mieloma)
b. Ekstravasasi

3. KLASIFIKASI
Gagal ginjal kronis dibagi menjadi lima stadium berdasarkan laju
penyaringan (filtrasi) glomerulus (Glomerular Filtration Rate = GFR) yang
dapat dilihat pada tabel di bawah ini. GFR normal adalah 90 - 120
mL/min/1.73 m2.
Rumus perhitungan GFR:
pria= ((140 - umur)x BB)/ (72 x serum kreatinin)
wanita= hasil pria x 0,85
nilai normal GFR sesuai usia:
a. Usia 20-29 tahun: nilai GFR rata-rata 116
b. Usia 30-39 tahun: nilai GFR rata-rata 107
c. Uisa 40-49 tahun: nilai GFR rata-rata 99
d. Usia 50-59 tahun: nilai GFR rata-rata 85
e. Usia diatas 70 tahun: nilai GFR rata-rata 75

Stadium GFR (ml/menit/1.73m2) Deskripsi

1 90 – 120 Kerusakan minimal pada ginjal, filtrasi masih normal


atau sedikit meningkat.

2 60-89 Fungsi ginjal sedikit menurun

3 30-59 Penurunan fungsi ginjal yang sedang

4 15-29 Penurunan fungsi ginjal yang berat

5 Kurang dari 15 Gagal ginjal stadium akhir (End Stage Renal Disease)

4. PATOFISIOLOGI
Glomerulonefritis kronik dan pielonefritis kronik merupakan penyebab utama
gagal ginjal kronis, glumorulonefritis sendiri adalah salah satu jenis penyakit
ginjal dimana terjadi peradangan pada glomerulus. Glomerulus merupakan
bagian ginjal yang berfungsi sebagai penyaring dan membuang cairan serta
elektrolit berlebih, juga zat sisa (sampah) dari aliran darah. Kerusakan pada
glomerulus akan menyebabkan terbuangnya darah serta protein melalui urin,

Glomerulonefritis kronik brarti terjadinya penyakit peradangan pada


glomerulus tersebut sudah berlangsung lama/ kronik. Hal tersebut
mengakibatkan penurunan ukuran ginjal, sehingga terbentuknya jaringan
parut pada ginjal/ disebut dengan sindrom nefrotik. Sindrom nefrotik adalah
keruskan pada ginjal yang menyebabkan kadar protein didalam urine
meningkat sehingga mengakibatkan kerusakan pada ginjal. Kerusakan ginjal
bisa disebabkan oleh diabetes melitus yaitu pada diabetes melitus terjadi
peningkatan konsentrasi gula darah sehingga ginjal tidak dapat menyerap
semua dan jika keadaan ini terus berlanjut, maka akan berkurangnya fungsi
nefron dan terjadi kerusakan pada nefron tersebut. Sehingga glukosa muncul
di urin dan menyebabkan glukosuria serta dapat meningkatkan pengeluaran
cairan dan elektrolit. Ini mengakibatkan pada pasien akan terjadi poliuri
(banyak kencing), polidipsi (banyak minum), dan turgor kulit menurun.

Pada keruskan ginjal mengakibatkan penurunanan GFR( glomerular filtration


rate ) adalah lajur rata-rata penyaringan darah yang terjadi di glomerulus.
GFR normal adalah 90 - 120 mL/min/1.73 m2. Pada kerusakan fungsi ginjal
terjadi penurunan GFR yaitu pada stadium akhir dimana GFR Kurang dari 15,
maka pasien didiagnosis Gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik merupakan
kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular
Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan (Kallenbach et al. 2015). Kondisi tersebut mengakibatkan
produksi eritropoetin menurun/ tidak adekuat, memendeknya usia sel darah
merah, defisiensi asam folat, penekanan susmsum tulang oleh substansi
uremik, proses inflamasi kronik dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal
menyebabkan penurunan Hb yang menimbulkan Anemia (Sudoyono, 2014)

Anemia sendiri terjadi karena sel darah merah jumlahnya lebih rendah dari
normal, pada sel darah merah tersebut mengandung hemoglobin yang bekerja
untuk membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Tidak adanya
pasokan oksigen yang cukup berpengaruh terhadap tingkat energi, secara
otomatis akan turun dan menyebabkan terjadinya kelelehan. Karena kondisi
tubuh yang mengalami kelelahan sehingga tubuh tidak mampu melakukan
aktivitas. Maka timbulah diagnosa keperawatan Intoleransi Aktivitas. Dari hal
sebelumnya yaitu anemia yang dapat menyebabkan oksigen hemoglobin
turun sehingga muncul masalah perfusi perifer tidak efektif.

Gagal ginjal kronik juga menyebabkan penurunan jumlah glomerulus yang


berfungsi, hal tersebut mengakibatkan tertimbunnya hasil metabolisme
protein dalam darah, terganggunya funsgsi absorbsi, sekresi, dan ekskresi
menyebabkan menupuknya toksik metabolit( fosfat, hidrogen, urea, amonia,
kreatinin, dsb) didalam darah. Terjadinya penumpukan toksik disebut sebagai
sindrom uremia. Sindrom uremia sendiri menyebabkan peningkatan volume
vaskuler, sehinga tekanan hidrostatik meningkat kelebihan volume cairan,
rongga intravascular dan interstisial mengalami peningkatan kandungan air
dan natrium. Kelebihan cairan interstitial dikenal sebagai edema. Maka
diagnosa hpervolemia ditegakkan.

Penatalaksanaan pada gagal ginjal yang berlangsung kronik adalah dengan


terapi pengganti ginjal/ dengan Hemodialisis. Hemodialisis adalah terapi
pengganti faal ginjal dengan tujuan untuk mengeluarkan (eliminasi) sisa-sisa
metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan air dan elektrolit
antara kompartemen darah pasien dengan kompartemen larutan dialisat
(konsentrat) melalui selaput (membran) semi permeabel yang bertindak
sebagai ginjal buatan (artificial atau dializer) (Kandarini, 2013). Program
hemodialisis ini menimbulkan efek samping, salah satunya yaitu
menyebabkan rasa haus yang berlebihan, saat pasien merasakan haus yang
berlebihan tanpa disengaja pasien minum dan tidak menerapkan diit yang
sedang dijalankan, sehingga mengakibatkan kelebihan cairan. Pada saat
kelebihan cairan makan berat badan pun ikut meningkat, peningkatan berat
badan yang disebabkan oleh kelebihan cairan ini sangat cepat dan
menyebabkan komplikasi lainnya. Maka diagnosa berat badan lebih
ditegakkan (Price, 2015). Hemodialisis juga dapat menyebabkan efek
samping yaitu terjadinya Azotemia/ peningkatan kadar kreatinin dan nitrogen
urea darah dan berkaitan dengan penurunan laju filtrasi glomerular. Efek
terhadap kulit yaitu terjadinya pruritus/ gatal hal ini menyebabkan terjadinya
luka pada kulit sehingga muncul masalah gangguan integrita kulit (Kandarini,
2013)
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus menurut Brunner & Suddarth,
2012;
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal
ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk
kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan
banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan
penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup
memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.
3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin,
dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal
ginjal (LFG).
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,
yaitu:
1) Urine: Volume, Warna, Sedimen,Berat jenis, Kreatinin, Protein
2) Darah : BUN / kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah,
Natrium serum, Kalium, Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas serum
3) Pielografi intravena : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan
ureter,
4) Pielografi retrograd: Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang
reversibel, Arteriogram ginjal, Mengkaji sirkulasi ginjal dan
mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
5) Sistouretrogram berkemih : Menunjukkan ukuran kandung kemih,
refluks kedalam ureter, retensi.
6) Ultrasono ginjal : Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya
massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
7) Biopsi ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan
sel jaringan untuk diagnosis histologis.
8) Endoskopi ginjal nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis
ginjal ; keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor Selektif.
9) Pemeriksaan Jantung: EKG : Mungkin abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, aritmia, hipertrofi
ventrikel dan tanda-tanda perikarditis.
10) Pemeriksaan laboratorium :
a) Urine: Volume : oliguria atau anuria, warna keruh, berat jenis
kurang dari 1,015, osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg, klirens
kreatinin mungkin agak menurun, natrium > 40 mEq/L,
proteinnuria (3-4+).
b) Darah: BUN/Kreatinin meningkat (kreatinin 10 mg/dl), Hematokrit
menurun, HB < 7-8 g/dL), Gas darah arteri : pH < 7,2, bikarbonat
dan PCO2 menurun. Natrium mungkin rendah atau normal, kalium,
magnesium/ fosfat meningkat, kalsium menurun, protein
(khususnya albumin) menurun, osmolalitas serum > 285 mOsm/kg.

6. PENATALAKSANAAN
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
menurut Suwitra (2017) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/mn/1,73m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi
perburukan (progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂15 Terapi pengganti ginjal

Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit ginjal kronik


berdasarkan tabel diatas adalah:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada
pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid
(superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-
faktor komorbid antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-
obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit
dasarnya.

2. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal


Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik,
hipertensi berat, gangguan elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting untuk
mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:
a. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
(Suwitra, 2017).

LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hr Fosfat g/kg/hr


˃60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
nilai biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
protein nilai biologis tinggi /tambahan
0,3 g asam amino esensial / asam keton
˂60 (SN) 0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria atau ≤9g
0,3 g / kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton
Pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom
uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein
overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hyperfiltration), yang akan meningkattkan progresifitas pemburuan fungsi
ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang
sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi, memperkecil
risiko gangguan kardiovaskuler juga memperlambat pemburukan
kerusakan nefron. Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat
enzim konverting angiotensin (Angiotensin Converting Enzym/ ACE
inhibitor dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal.
3. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit.
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
4. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus
segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20
mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.

5. Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis ginjal, transplantasi ginjal, pemasangan double lumen
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan
indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120
mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan
8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai
sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah
kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas
hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi
sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.
b. Dialisis Ginjal
Dialisis ginjal adalah proses penyesuaian kadar elektrolit dan air dalam
darah pada orang yang fungsi ginjalnya buruk atau rusak.pada prosedur
ini darah dilewatkan melalui suatu medium artificial yang mengandung
air dan elektrolit dengan konsentrasi yang telah ditentukan sebelumnya,
medium artificial adalah cairan dialysis.
1) CAPD (continous ambulatory peritoneal dialysis)
Pada dialysis peritoneum membrane peritoneum digunakan
sebagai sawar semipermeabel alami. Larutan dialisat yang telah
dipersiapkan sebelumnya dimasukkan ke dalam rongga
peritoneum melalui sebuah kateter menetap yang diletakkan di
bawah kulit abdomen. Larutan dibiarkan dalam rongga
peritoneum selama waktu yang ditentukan biasanya 4 sampai 6
jam. Selama waktu ini proses difusi air dan elektrolit terjadi
2) AAPD (automatic ambulatory peritoneal dialysis)
Adalah dialisa yang dilakukan diluar tubuh dengan menggunakan
mesin dimana darah dikeluarkan tubuh melalui sebuah mesin
besar dan dalam mesin tersebut terdapat 2 ruangan yang
dipisahkan oleh selaput semipermeabel.darah dimasukkan ke
salah satu ruang, sedangkan ruang yang lain diisi oleh cairan pen
dialysis dan diantaranya akan terjadi difusi dan setelah itu darah
akan dikembalikan ke tubuh.
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih
70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
d. Pemasangan double lumen
Catheter Double Lumen adalah : sebuah alat yang terbuat dari bahan
plastik PVC mempunyai dua cabang, selang merah (Arteri) untuk
keluarnya darah dari tubuh ke mesin dan selang biru (Vena) untuk
masuknya darah dari mesin ke tubuh. Pada ujung dan sisi catheter
terdapat lobang untuk keluar dan masuk darah. Sedangkan menurut
Henrich, William. L,( 2014), kateter double lumen adalah salah satu
akses vaskuler untuk therapy dialisa akut.
Double lumen adalah salah satu akses temporer yaitu berupa
kateter yang dipasang pada pembuluh darah balik (vena) di daerah
leher (Ahmad, Suhail, 2011). Internal AVF and AFG lebih di pilih
untuk di gunakan dari pada kateter karena AVF dan AVG menurunkan
kemungkinan infeksi, yang sangat penting bagi pasien yang menjalani
terapi hemodialisis yang memiliki daya imun rendah (Kidney Dialysis
Foundation, 2014).

2. KONSEP LAPORAN PENDAHULUAN HEMODIALISIS


1) Pengertian Hemodialisis
Hemodialisis adalah terapi pengganti faal ginjal dengan tujuan untuk
mengeluarkan (eliminasi) sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi
gangguan keseimbangan air dan elektrolit antara kompartemen darah
pasien dengan kompartemen larutan dialisat (konsentrat) melalui selaput
(membran) semi permeabel yang bertindak sebagai ginjal buatan
(artificial atau dializer). Hemodialisa sering dilakukan pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik atau gagal ginjal kronik (Kandarini, 2013).
Zat-zat tersebut dapat berupa zat yang terlarut dalam darah, seperti toksin
ureum dan kalium, atau zat pelarutnya, yaitu air atau serum darah
(Suwitra, 2016). Proses pembersihan ini hanya bisa dilakukan diluar
tubuh, sehingga memerlukan suatu jalan masuk ke dalam aliran darah,
yang disebut sebagai vascular access point (Novicky, 2017).

Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan sisa metabolisme


dalam tubuh serta menjaga keseimbangan elektrolit dan produk kimiawi
dalam tubuh (Ignatavicius & Workman 2016). Tujuan hemodialisis
adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah
yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh
pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Aliran darah akan melewati tubulus
tersebut sementara cairan dialisat bersikulasi di sekitarnya. Pertukaran
limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi membran
semipermeabel tubulus (Rosdiana 2011). Proses hemodialis dilakukan 1-
3 kali dalam seminggu di rumah sakit dengan memerlukan waktu sekitar
2-45 jam setiap kali hemodialisis (Syamsir&Hadibroto 2017).Keputusan
untuk inisiasi terapi dialisis berdasarkan parameter laboratorium bila
LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l .73 m2.

2) Menurut Rosidana (2011), Ada 3 prinsip dasar dalam HD yang bekerja


pada saat yang sama yaitu:
a. Proses Difusi Merupakan proses berpindahnya suatu zat terlarut yang
disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut
dalam darah dan dialisat. Perpindahan molekul terjadi dari zat yang
berkonsentrasi tinggi ke yang berkonsentrasi lebih rendah. Pada HD
pergerakan molekul / zat ini melalui suatu membrane semi permeable
yang membatasi kompartemen darah dan kompartemen dialisat.
Proses difusi dipengaruhi oleh:
a) Perbedaan konsentrasi
b) Berat molekul (makin kecil BM suatu zat, makin cepat zat itu
keluar)
c) QB (Blood Pump)
d) Luas permukaan membrane
e) Temperatur cairan
f) Proses konvektik
g) Tahanan / resistensi membrane
h) Besar dan banyaknya pori pada membrane
i) Ketebalan / permeabilitas dari membrane
Faktor-faktor di atas menentukan klirens dialiser. Klirens suatu dializer
adalah kemampuan dializer untuk mengeluarkan zat-zat yaitu jumlah atau
banyaknya darah yang dapat dibersihkan dari suatu zat secara komplit oleh
suatu dializer yang dinyatakan dalam ml/mnt.
Klirens (K) =
K : klirens solute
Qb : kecepatan aliran darah (ml/mnt)
Cbi : Konsentrasi darah arteri (masuk ke dalam dializer)
Cbo : konsentrasi darah vena (keluar dari dializer)
Qf : Laju ultrafiltrasi (ml/mnt)
Laju aliran dialisat + 2 – 2,5 x Qb.
b. Proses Ultrafiltrasi
Berpindahnya zat pelarut (air) melalui membrane semi permeable akibat
perbedaan tekanan hidrostatik pada kompartemen darah dan kompartemen
dialisat. Tekanan hidrostatik / ultrafiltrasi adalah yang memaksa air keluar
dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat. Besar tekanan ini
ditentukan oleh tekanan positif dalam kompartemen darah (positive pressure)
dan tekanan negative dalam kompartemen dialisat (negative pressure) yang
disebut TMP (trans membrane pressure) dalam mmHg.
Perpindahan & kecepatan berpindahnya dipengaruhi oleh:
a) TMP
b) Luas permukaan membrane
c) Koefisien Ultra Filtrasi (KUF)
d) Qd & Q
e) Perbedaan tekanan osmotic
TMP =
Pbi : Tekanan di blood inlet
Pdi : Tekanan di dialisat inle
Pbo : Tekanan di blood outle
Pdo : Tekanan di dialisat outlet
KUF (koefisien ultra filtrasi) dalam ml/jam /mmHg merupakan karakteristik
dari dializer yang menyatakan kemampuan atau koefisien untuk
mengeluarkan air dan luas permukaan dializer.
c. Proses Osmosis
Air yang berlebihan dikeluarkan dari tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan tekanan gradient
dengan kata lain air bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi (tubuh
pasien) ke tempat yang lebih rendah (cairan dialisat).
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan,
yaitu air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh
pasien) ke daerah dengan tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien
ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal
sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis (Rosdiana 2011).

3) Indikasi Hemodialisis
Indikasi dilakuka]n hemodialisis pada pasien PGK terbagi 2 kategori (Kandarini,
2012) yaitu :
a. Hemodialisis segera atau emergency, yaitu (Daurgirdas et al., 2017) :
i) Uremia ( BUN >150mg/dL)
ii) Oliguria (urin < 200ml/12jam)
iii) Anuria (urin < 50ml/ 12jam)
iv) Asidosis berat (pH < 7.1)
v) Hiperkalemia
vi) Ensefalopati uremikum
vii) Neuropati Uremikum
viii) Hipertermia
ix) Disnatremia (Natrium > 160 atau < 115 mmol/L)
b. Hemodialisis kronik, yaitu hemodialisis yang dilakukan seumur hidup.
K/DOQI dalam Daurgirdas et al. (2017) mengatakan bahwa dialisis dimulai
bila LFG<15ml/menit tetapi karena gejala klinis setiap orang berbeda maka
dialisis dimulai apabila dijumpai salah satu gejala yaitu :
i) LFG < 15ml/menit, tergantung gejala klinis penderita
ii) Malnutrisi atau hilangnya massa otot
iii)Gejala uremia antara lain anoreksia, mual muntah, lethargy
iv) Hipertensi yang susah dikontrol
v) Kelebihan cairan
Hemodialisis harus dimulai lebih awal pada pasien dengan :
i) Diabetes : lebih banyak mengalami komplikasi, lebih sulit untuk
mengatur diet ginjal dan diabetes.
ii) Neuropati perifer : indikasi efek uremia pada sistem saraf perifer.
iii) Ensefalopati uremikum : indikasi efek yang berat pada sistem saraf pusat
iv) Hipertensi maligna : mungkin dapat membaik dengan pengeluaran cairan
pada dialisis.
Persiapan untuk program dialisis regular, antara lain:
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus mendapat
informasi yang harus dipahami sendiri dan keluarganya. Beberapa persiapan
(preparasi) dialisis regular:
1) Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
2) Psikoligis yang stabil
3) Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu tidak
terbatas sebelum transplantasi ginjal
4) Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menjamin kualitas
hidup optimal
5) Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :
6) Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan
7) Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis
8) Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/%
terutama pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.

2) Mekanisme Hemodialisis
Prinsip dari Hemodialisis adalah dengan menerapkan proses osmotis dan
ultrafiltrasi pada ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme
tubuh. Pada hemodialisis, darah dipompa keluar dari tubuh lalu masuk
kedalam mesin dialiser (yang berfungsi sebagai ginjal buatan) untuk
dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi dan ultrafiltrasi oleh
cairan khusus untuk dialisis (dialisat). Tekanan di dalam ruang dialisat lebih
rendah dibandingkan dengan tekanan di dalam darah, sehingga cairan, limbah
metabolik dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui selaput dan
masuk ke dalam dialisat. Proses hemodialisis melibatkan difusi solute (zat
terlarut) melalui suatu membrane semipermeable. Molekul zat terlarut (sisa
metabolisme) dari kompartemen darah akan berpindah kedalam kompartemen
dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati membran
semipermiabel demikian juga sebaliknya. Setelah dibersihkan, darah dialirkan
kembali ke dalam tubuh (Permadi, 2011).
Mesin hemodialisis (HD) terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan
dialisat, dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah
dari tempat tusukan vaskuler ke alat dialiser. Dialiser adalah tempat dimana
proses HD berlangsung sehingga terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam
darah dan dialisat. Sedangkan tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya
darah dari tubuh penderita menuju dialiser dan selanjutnya kembali lagi
ketubuh penderita. Kecepatan dapat di atur biasanya diantara 300-400
ml/menit. Lokasi pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan arteri
dan monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-39 C
sebelum dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat yang terlalu rendah
ataupun melebihi suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi. Sistem
monitoring setiap mesin HD sangat penting untuk menjamin efektifitas proses
dialisis dan keselamatan (Permadi, 2011).

Pada saat proses Hemodialisis, darah kita akan dialirkan melalui sebuah
saringan khusus (Dialiser) yang berfungsi menyaring sampah metabolisme
dan air yang berlebih. Kemudian darah yang bersih akan dikembalikan
kedalam tubuh. Pengeluaran sampah dan air serta garam berlebih akan
membantu tubuh mengontrol tekanan darah dan kandungan kimia tubuh jadi
lebih seimbang. Hemodialisis idealnya dilakukan selama 10-15 jam per
minggu. Namun waktu yang dibutuhkan terlalu lama, sehingga hemodialisis
sering dilakukan selama 4-5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu pada
interval 2 hari diantara hemodialisis. Frekuensi menjalani hemodialisis
dilakukan agar menyeimbangkan kembali kadar garam, air dan pH yang tidak
normal akibat gagal ginjal kronik (Widyastuti, 2014).

3) Prinsip Hemodialisa
a. Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik
biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut
memiliki akses temporer seperti vascoth.
b. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan
kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
c. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan
pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang
konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi
tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan pemindahan zat pelarut
yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.
d. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan
mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan
tersebut.
e. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi
artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga
tipe dari tekanan dapat terjadi pada membrane :
1) Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan
dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser
dan resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan
positip “mendorong” cairan menyeberangi membrane.
2) Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar
membrane oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative
“menarik” cairan keluar darah.
3) Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut.
Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari
larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan
membrane permeable terhadap air.

4) Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat hemodialisis, antara lain:
a. Hipotensi
Dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli udara
Jarang terjadi, namun bisa terjadi akibat udara yang memasuki sistem
vaskular pasien.
c. Nyeri dada
Terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sikulasi di
luar tubuh.
d. Pruritus
Selama terapi adanya produk akhir metabolisme yang tersisa di dalam
kulit
e. Gangguan keseimbangan dialisis
Akibat perpindahan cairan cerebral dan muncul sebagai serangan kejang,
berpotensi besar jika terdapat uremia yang berat.
f. Malnutrisi
Akibat kontrol diet dan kehilangan nutrient selama hemodialisa.
g. Fatigue dan kram
Pasien dapat mengalami kecapean akibat hipoksia yang disebabkan
edema pulmoner. Hipoksia pulmoner terjadi akibat retensi cairan dan
sodium.

C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
a. Demografi
Lingkungan yang tercemar oleh timah, cadmium, merkuri, kromium
dan sumber air tinggi kalsium beresiko untuk gagal ginjal kronik,
kebanyakan menyerang umur 20-50 tahun, jenis kelamin lebih banyak
perempuan, kebanyakan ras kulit hitam.
b. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat infeksi saluran kemih, penyakit peradangan, vaskuler
hipertensif, gangguan saluran penyambung, gangguan kongenital dan
herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik dan neropati obstruktif.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik, riwayat
menderita penyakit gagal ginjal kronik.
d. Pola kesehatan fungsional
1) Pemeliharaan kesehatan
Penggunaan obat laksatif, diamox, vitamin D, antacid, aspirin dosis
tinggi, personal hygiene kurang, konsumsi toxik, konsumsi
makanan tinggi kalsium, purin, oksalat, fosfat, protein, kebiasaan
minum suplemen,control tekanan darah dan gula darah tidak teratur
pada penderita tekanan darah tinggi dan diabetes mellitus.
2) Pola nutrisi dan metabolik
Perlu dikaji adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan
inadekuat, peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat
badan (malnutrisi), nyeri ulu hati, rasa metalik tidak sedap pada
mulut (pernafasan amonia), penggunanan diuretic, demam karena
sepsis dan dehidrasi.
3) Pola eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut),
abdomen kembung, diare konstipasi, perubahan warna urin.
4) Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan ekstrim, kelemahan, malaise, keterbatsan gerak sendi.
5) Pola istirahat dan tidur
Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)
6) Pola persepsi sensori dan kognitif
Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan
otot, perubahan tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala,
kram/nyeri kaki (memburuk pada malam hari), perilaku berhati-
hati/distraksi, gelisah, penglihatan kabur, kejang, sindrom “kaki
gelisah”, rasa kebas pada telapak kaki, kelemahan khusussnya
ekstremitas bawah (neuropati perifer), gangguan status mental,
contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau.
7) Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian, kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu
bekerja, mempertahankan fungsi peran.
8) Pola reproduksi dan seksual
Penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi dan atropi
testikuler.
9) Pengkajian fisik
1) Keluhan umum : lemas, nyeri pinggang.
2) Tingkat kesadaran komposmentis sampai koma.
3) Pengukuran antropometri : berat badan menurun, lingkar
lengan atas (LILA) menurun.
4) Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi
lemah, disritmia, pernapasan kusmaul, tidak teratur.
10) Kepala
1) Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan
kabur, edema periorbital.
2) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
3) Hidung : pernapasan cuping hidung
4) Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia,
mual,muntah serta cegukan, peradangan gusi.
11) Leher : pembesaran vena leher.
12) Dada dab toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan
dangkal dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis,
edema pulmoner, friction rub pericardial.
13) Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
14) Genital : atropi testikuler, amenore.
15) Ekstremitas : capirally refill time > 3 detik,kuku rapuh dan kusam
serta tipis, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki,
foot drop, kekuatan otot.
16) Kulit : ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu,
mengkilat atau hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan
rapuh, memar (purpura), edema.

2. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi
dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
b. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
c. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan
memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
d. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan
rasio urin/ serum saring (1 : 1).
e. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan
ginjal.
f. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal
tidak mampu mengabsorpsi natrium.
g. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.

h. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan


warna merah diduga nefritis glomerulus.

Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik,


antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus, urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, (Volume Overload)
neuropati perifer, proritus, uremic, frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.
c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan
rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa
dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis
metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.

3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis
secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi
kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hypervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi,
kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan natrium
2. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi
hemoglobin
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelebihan volume cairan,
sindrom uremia.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
5. Berat badan lebih berhubungan dengan gangguan genetik, faktor keturunan,
hipotiroid, diabetes melitus maternal

4. RENCANA KEPERAWATAN
No. Diagnosa (SDKI) Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi (SIKI)
(SLKI)

1. D.0022 L.03020 I.03114 Manajemen


Hipervolemia Hipervolemia
Keseimbangan Cairan
berhubungan
Ekspektasi: meningkat Kriteria Observasi
dengan gangguan
hasil:
mekanisme 1. Periksa tanda dan gejala
regulasi, 1. Asupan cairan meningkat hipervolemia (mis. Ortopnea,
kelebihan asupan 2. Haluaran urin meningkat dispnea, edema, JVP/CVP
cairan, kelebihan 3. Kelembaban membran meningkat, refleks
asupan natrium. mukosa meningkat hepatojugular positif, suara npas
4. Asupan makanan tambahan)
meningkat 2. Identifikasi penyebab
Gejala dan tanda 5. Edema menurun hipervolemia
mayor Subjektif: 6. Dehidrasi menurun 3. Monitor status hemodinamik
1. Ortopnea 7. Asites menurun (mis. frekuensi jantung, tekanan
8. Konfusi menurun darah, MAP, CVP, PAP,
2. Dispnea
9. Tekanan darah membaik PCWP, CO, CI), jika tersedia
3. Paroxysmal 10.Denyut nadi radial 4. Monitor intake dan output
nocturnal dyspnea membaik cairan
(PND) 11.Tekanan arteri ratarata 5. Monitor tanda hemokonsentrasi
membaik (mis. kadar natrium, BUN,
Objektif:
12.Membran mukosa hematokrit, berat jenis urine)
1. Edema anasarka membaik 6. Monitor tanda peningkatan
dan/atau edema 13.Mata cekung membaik tekanan onkotik plasma (mis.
perifer 14.Turgor kulit membaik kadar protein dan albumin
15.Berat badan membaik meningkat)
2. Berat badan
7. Monitor keceptan infus secara
meningkat dalam
ketat
waktu singkat
8. Monitor efek samping diuretik

3. Jugular Venous (mis. Hipotensi ortostatik,

Pressure (JVP) hipovolemia, hipokalemia,

dan/atau Central hiponatremia)

Venous Pressure Terapeutik

(CVP) Berlebih 1. Timbang berat badan setiap hari


pada waktu yang sama
Refleks
2. Batasi asupan cairan dan garam
hepatojugular
3. Tinggikan kepala tempat tidur
positif
30-40°
Edukasi
1. Anjurkan melapor jika haluaran
Gejala dan tanda urin < 0,5 mL/kg/jam dalam 6
minor Subjektif: jam
(tidak tersedia) 2. Anjurkan melapor jika BB
Objektif: bertambah > 1 kg dalam sehari

1. Distensi vena 3. Ajarkan cara mengukur dan

jugularis mencatat asupan dan haluaran


cairan
2. Terdengar 4. Ajarkan cara membatasi cairan
suara napas
tambahan Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian diuretik
3. Hepatomegali
2. Kolaborasi penggantian
4. Kadar Hb/Ht kehilangan kalium akibat
turun diuretik
3. Kolaborasi pemberian continous
5. Oliguria
renal replacement therapy
6. Intake lebih (CRRT), jika perlu
banyak dari output
(balans cairan
I.03121 Pemantauan Cairan
positif)
Observasi
7. Kongesti paru
1. Monitor frekuensi dan kekuatas
nadi
2. Monitor frekuensi napas
3. Monitor tekanan darah
4. Monitor berat badan
5. Monitor waktu pengisian kapiler
6. Monitor elastisitas atau turgor
kulit
7. Monitor jumlah, warna dan
berat jenis urine
8. Monitor kadar albumin dan
protein total
9. Monitor hasil pemeriksaan
serum (mis. osmolaritas serum,
hematokrit, natrium, kalium,
BUN)
10.Monitor intake dan output
cairan
11.Identifikasi tanda-tanda
hipovolemia (mis. frekuensi
nadi meningkat, nadi teraba
lemah, tekanan darah menurun,
tekanan nadi menyempit, turgor
kulit menurun, membran
mukosa kering, volume urin
menurun, hematokrit
meningkat, haus, lemah,
konsentrasi urine meningkat,
berat badan menurun dalam
waktu singkat)
12.Identifikasi tanda-tanda
hipervolemia (mis. dispnea,
edema perifer, edema anasarka,
JVP meningkat, CVP
meningkat, refleks
hepatojugular positif, berat
badan menurun dalam waktu
singkat)
13.Identifikasi faktor risiko
ketidakseimbangan cairan (mis.
Prosedur pembedahan mayor,
trauma/perdarahan, luka bakar,
aferesis, obstruksi intestinal,
peradangan pankreas, penyakit
ginjal dan kelenjar, disfungsi
intestinal) Terapeutik - Atur
interval waktu pemantauan
sesuai dengan kondisi pasien
14.Dokumentasikan hasil
pemantauan Edukasi
15.Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
16.Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu
2. D.0009 Perfusi L.02011 Perfusi Perifer I.02079 Perawatan Sirkulasi
perifer tidak efektif Ekspektasi: Observasi
berhubungan dengan
1. meningkat Kriteria hasil: 1. Periksa sirkulasi periver (mis.
penurunan
Denyut nadi perifer Nadi perifer, edema, pengisian
konsentrasi
meningkat kapiler, warna, suhu, ankle
hemoglobin.
2. Penyembuhan luka brachial index)
meningkat Sensasi 2. Identifikasi faktor resiko
meningkat gangguan sirkulasi ( mis.
Gejala dan tanda 3. Warna kulit pucat Diabetes, perokok, orang tua
mayor Subjektif: menurun hipertensi dan kadar kolestrol
(tidak tersedia) 4. Edema perifer menurun tinggi) Monitor panans,
Objektif: 5. Nyeri ekstremitas kemerahan, nyeri atau bengkak
menurun pada ekstermitas Teraupetik
1. Pengisian kapiler
6. Parastesia menurun 3. Hindari pemasangan infus atau
>3 detik
7. Kelemahan otot menurun pengambilan darah di daerah
2. Nadi perifer
8. Kram otot menurun keterbatasan perfusi
menurun atau
9. Bruit femoralis menurun 4. Hindari pengukuran tekanan
tidak teraba
10. Nekrosis menurun darah pada ekstermitas dengan
3. Akral teraba
11. Pengisian kapiler keterbatasan perfusi
dingin
membaik 5. Hindari penekanan dan
4. Warna kulit pucat
12. Akral membaik pemasangan tourniquet pada
5. Turgor kulit
13. Turgor kulit membaik area yang cidera
menurun
14. Tekanan darah sistolik 6. Lakukan pencegahan infeksi
membaik 7. Lakukan perawatan kaki dan
Gejala dan tanda 15. Tekanan darah diastolik kuku Edukasi
minor Subjektif: membaik 8. Anjurkan berhenti merokok
16. Tekanan arteri rata-rata 9. Anjurkan berolah raga rutin
1. Parastesia
membaik 10.Anjurkan mengecek air mandi
2. Nyeri
17. Indeks anklebrachial untuk menghindari kulit terbakar
ekstremitas
membaik 11.Anjurkan minum obat
(klaudikasi
pengontrol tekanan darah,
intermiten)
antikoagulan,dan penurun
Objektif:
kolestrol, jika perlu
1. Edema
12.Anjurkan minum obat pengontrl
2. Penyembuhan
tekanan darah secara teratur
luka lambat
13.Anjurkan menggunakan obat
3. Indeks
penyekat beta
anklebrachial<0,9
14.Ajarkan program diet untuk
0
memperbaiki sirkulasi ( mis.
4. Bruit femoralis
Rendah lemak jenuh, minyak
ikam omega 3)
15.Informasikan tanda dan gejala
darurat yang harus dilaporkan
(mis. Raasa sakit yang tidak
hilang saat istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya rasa)

I.06195 Manajemen Sensasi


Perifer

Observasi

1. Identifikasi penyebab perubahan


sensasi
2. Identifikasi penggunaan alat
pengikat, prosthesis, sepatu, dan
pakaian
3. Periksa perbedaan sensasi tajam
dan tumpul
4. Periksa perbedaan sensasi panas
dan dingin
5. Periksa kemampuan
mengidentifikasi lokasi dan
tekstur benda
6. Monitor terjadinya parestesia,
jika perlu
7. Monitor perubahan kulit
8. Monitor adanya tromboflebitis
dan tromboemboli vena
Teraupetik
1. Hindari pemakaian benda-benda
yang berlebihan suhunya (terlalu
panas atau dingin)
Edukasi
1. Anjurkan penggunaan
thermometer untuk menguji
suhu air
2. Anjurkan penggunaan sarung
tangan termal saat memasak
3. Anjurkan memakai sepatu
lembut dan bertumit rendah
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgesik,
jika perlu
2. Kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika perlu
3. Identifikasi penyebab perubahan
sensasi
4. Identifikasi penggunaan alat
pengikat, prosthesis, sepatu, dan
pakaian
5. Periksa perbedaan sensasi tajam
dan tumpul
6. Periksa perbedaan sensasi panas
dan dingin
7. Periksa kemampuan
mengidentifikasi lokasi dan
tekstur benda
8. Monitor terjadinya parestesia,
jika perlu
9. Monitor perubahan kulit
10.Monitor adanya tromboflebitis
dan tromboemboli vena
Teraupetik
1. Hindari pemakaian benda-benda
yang berlebihan suhunya (terlalu
panas atau dingin)
Edukasi
1. Anjurkan penggunaan
thermometer untuk menguji
suhu air
2. Anjurkan penggunaan sarung
tangan termal saat memasak
3. Anjurkan memakai sepatu
lembut dan bertumit rendah
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgesik, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika perlu

3. D.0129 Gangguan L.14125 Integritas Kulit dan I.11353 Perawatan Integritas


integritas kulit Jaringan Ekspektasi: Kulit
berhubungan dengan meningkat Kriteria hasil:
Observasi
kelebihan volume
1. Elastisitas meningkat
cairan, sindrom 1. Identifikasi penyebab gangguan
2. Hidrasi meningkat
uremia. integritas kulit (mis. perubahan
3. Perfusi jaringan
sirkulasi, perubahan status
meningkat
nutrisi, penurunan kelembaban,
4. Kerusakan jaringan
Gejala dan tanda suhu lingkungan ekstrem,
menurun
mayor penurunan mobilitas)
5. Kerusakan lapisan kulit
Terapeutik
Subjektif: menurun
2. Ubah posisis tiap 2 jam jika
6. Nyeri menurun
(tidak tersedia) tirah baring
7. Perdarahan menurun
Objektif: 3. Lakukan pemijatan pada area
8. Kemerahan menurun
penonjolan tulang, jika perlu
1. Kerusakan jaringan 9. Hematoma menurun
4. Bersihkan perineal dengan air
dan/atau lapisan 10. Pigmentasi abnormal
hangat, terutama selama periode
kulit menurun
diare
Gejala dan tanda 11. Jaringan parut menurun
5. Gunakan produk berbahan
minor Subjektif: 12. Nekrosis menurun
petrolium atau minyak pada
(tidak tersedia) 13. Abrasi kornea menurun
kulit kering
Objektif: 14. Suhu kulit membaik
6. Gunakan produk berbahan
15. Sensasi membaik
1. Nyeri ringan/alami dan hipoalergik
16. Tekstur membaik
2. Perdarahan pada kulit sensitif
17. Pertumbuhan rambut
3. Kemerahan 7. Hindari produk berbahan dasar
membaik
4. Hematoma alkohol pada kulit kering
Edukasi
8. Anjurkan menggunakan
pelembab (mis. lotion, serum)
9. Anjurkan minum air yang cukup
10.Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
11.Anjurkan meningkatkan asupan
buah dan sayur
12.Anjurkan menghindari terpapar
suhu ekstrem
13.Anjurkan menggunakan tabir
surya SPF minimal 30 saat
berada di luar rumah
14.Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya
I.4564 Perawatan Luka Observasi

1. Monitor karakteristik luka (mis.


drainase, warna, ukuran, bau)
2. Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik
3. Lepaskan balutan dan plester
secara perlakah
4. Cukur rambut di sekitar daerah
luka, jika perlu
5. Bersihkan dengan cairan NaCl
atau pembersih nontoksik,
sesuai kebutuhan
6. Bersihkan jaringan nekrotik
7. Berikan salep yang sesuai
kulit/lesi, jika perlu
8. Pasang balutan sesuai jenis luka
9. Pertahankan teknik steril saat
melakukan perawatan luka
10.Ganti balutan sesuai jumlah
eksudat dan drainase
11.Jadwalkan perubahan posisi
setiap 2 jam atau sesuai kondisi
pasien
12.Berikan diet dengan kalori 30-
35 kkal/kgBB/hari dan protein
1,251,5g/kgBB/hari
13.Berikan suplemen vitamin dan
mineral (mis. vitamin A, vitami
C, Zinc, asam amino), sesuai
indikasi
14.Berikan terapi TENS (stimulasi
sarap transkutaneus), jika perlu
Edukasi
15.Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
16.Anjurkan mengonsumsi
makanan tinggi kalori dan
protein
17.Ajarkan prosedur perawatan
luka secara mandiri Kolaborasi
18.Kolaborasi prosedur
debridement (mis. enzimatik,
biologis, mekanis, autolitik),
jika perlu
19.Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu

4. D.0056 Intoleransi L.05047 Intoleransi Aktivitas I.05178 Manajemen Energi


aktivitas Ekspektasi: meningkat Kriteria Observasi
hasil:
berhubungan dengan
1. Identifikasi gangguan fungsi
ketidakseimbangan 1. Frekuensi nadi meningkat
2. Saturasi oksigen tubuh yang mengakibatkan
antara suplai dan meningkat
kelelahan
kebutuhan oksigen. 3. Kemudahan dalam
melakukan aktivitas 2. Monitor kelelahan fisik dan
seharihari meningkat
Gejala dan tanda emosional
4. Kecepatan berjalan
mayor meningkat 3. Monitor pola dan jam tidur
5. Jarak berjalan meningkat
4. Monitor lokasi dan
Subjektif: 6. Kekuatan tubuh bagian
atas meningkat ketidaknyamanan selama
7. Kekuatan tubuh bagian
1. Mengeluh lelah melakukan aktivitas
bawah meningkat
Objektif: 8. Toleransi dalam menaiki Terapeutik
tangga meningkat
5. Sediakan lingkungan nyaman
1. Frekuensi jantung 9. Keluhan lelah
10. Dipsnea saat aktivitas dan rendah stimulus (mis.
meningkat >20% dari menurun
cahaya, suara, kunjungan)
kondisi istirahat 11. Dipsnea setelah aktivitas
menurun 6. Lakukan latihan rentang gerak
12. Perasaan lemah menurun pasin dan/atau aktif
13. Aritmia saat beraktivitas
7. Berikan aktivitas distraksi yang
Gejala dan tanda menurun
14. Aritmia setelah menenangkan
minor beraktivitas menurun
8. Fasilitasi duduk di sisi tempat
15. Sianosis menurun
Subjektif: 16. Warna kulit membaik tidur, jika tidak dapat berpindah
17. Tekanan darah membaik
atau berjalan
1. Dispnea 18. Frekuensi napas membaik
19. EKG Iskemia membaik Edukasi
saat/setelah
9. Anjurkan tirah baring
aktivitas
10. Anjurkan melakukkan
2. Merasa tidak
aktivitas secara bertahap
nyaman setelah
11. Anjurkan menghubungi
beraktivitas
perawat jika tanda dan gejala
3. Merasa lemah
kelelahan tidak berkurang
Objektif:
12. Ajarkan strategi koping
1. Tekanan darah untuk mengurangi kelelahan
berubah >20% dari Kolaborasi
kondisi istirahat 13. Kolaborasi dengan ahli gizi
2. Gambaran EKG tentang cara meningkatkan
menunjukkan asupan makanan
aritmia saat/setelah I.05186 Terapi Aktivitas
aktivitas Observasi
3. Gambaran EKG
1. Identifikasi defisit tingkat
menunjukkan
aktivitas
iskemia
2. Identifikasi kemampuan
4. Sianosis
berpartisipasi dalam aktivitas
tertentu
3. Identifikasi sumber daya untuk
aktivitas yang diinginkan
4. Identifikasi strategi
meningkatkan partisipasi dalam
aktivitas
5. Identifikasi makna aktivitas
rutin (mis. bekerja) dan waktu
luang
6. Monitor respons emosional,
fisik, sosial, dan spiritual
terhadap aktivitas Terapeutik
7. Fasilitasi fokus pada
kemampuan, buka defisit yang
dialami
8. Sepakati komitmen untuk
meningkatkan frekuensi dan
rentang aktivitas
9. Fasilitasi memilih aktivitas dan
tetapkan tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai kemampuan
fisik, psikologis, dan sosial
10.Koordinasikan pemilihan
aktivitas sesuai usia
11.Fasilitasi makna aktivitas yang
dipilih
12.Fasilitasi transportasi untuk
menghadiri aktivitas, jika sesuai
13.Fasilitasi pasien dan keluarga
dalam menyesuaikan
lingkungan untuk
mengakomodasi aktivitas yang
dipilih
14.Fasilitasi aktivitas fisik rutin
(mis. Ambulasi, mobilisasi, dan
perawatan diri), sesuai
kebutuhan
15.Fasilitasi ativitas pengganti saat
mengalami keterbatasan waktu,
energi, atau gerak
16.Fasilitasi aktivitas motorik kasar
untuk pasien hiperaktif
17.Tingkatan aktivitas fisik untuk
memelihara berat badan, jika
sesuai
18.Fasilitasi aktivitas motorik
untuk merelaksasi otot
19.Fasilitasi aktivitas dengan
komonen memori implisit dan
emosional (mis. kegiatan
keagamaan khusus) untuk
pasien demensia
20.Libatkan dalam permainan
kelompok yang tidak
kompetitif, terstruktur, dan aktif
21.Tingkatkan keterlibatan dalam
aktivitas rekreasi dan
diversifikasi untuk menurunkan
kecemasan (mis. vocal group,
bola voli, tenis meja, jogging,
berenang, tugas sederhana,
permainan sederhana, tugas
rutin, tugas rumah tangga,
perawatan diri, dan teka-teki
dan kartu)
22.Libatkan keluarga dalam
aktivitas, jika perlu
23.Fasilitasi mengembangkan
motivasi dan penguatan diri
24.Fasilitasi pasien dan keluarga
memantau kemajuannya sendiri
untuk mencapai tujuan
25.Jadwalkan aktvitas dalam
rutinitas seharihari
26.Berikan penguatan positif atas
partisipasi dalam aktivitas
Edukasi
27.Jelaskan metode aktivitas fisik
sehari-hari, jika perlu
28.Ajarkan cara melakukan
aktivitas yang dipilih
29.Anjurkan melakukan aktivitas
fisik, sosial, spiritual, dan
kognitif dalam menjaga fungsi
dan kesehatan
30.Anjurkan terlibat dalam
aktivitas kelompok atau terapi,
jika sesuai
31.Anjutkan keluarga untuk
memberi penguatan positif atas
partisipasi dalam aktivitas
Kolaborasi
32.Kolaborasi dengan terapi
okupasi dalam merencanakan
dan memonitor program
aktivitas, jika sesuai
33.Rujuk pada pusat atau program
aktivitas komunitas, jika perlu
5. D.0018 Berat Badan L. Berat Badan lebih I. Edukasi diet
lebih berhubungan
Ekspektasi: meningkat Kriteria Observasi
dengan gangguan
hasi 1. identifikasi kemampuan pasien
genetik, faktor
1. berat badan membaik dan keluarga menerima
keturunan,
2. tebal lipatan kulit membaik informasi
hipotiroid, diabetes
3. indeks masa tubuh 2. identifikasi tingkat penegtahuan
melitus maternal
membaik saat ini
Gejala dan tanda 3. identifikasi kebiasaan pola
mayor makan saat ini
4. identifikasi persepsi pasien dan
Subjektif:-
keluarga tentang diet yang
Objektif : diprogramkan
terapeutik
a. IMT > 25 kg/m2
1. persiapkan materi, media, dan
(pada dewasa) atau
alat peraga
berat dan
2. jadwalkan waktu yang tepat
panjangbadan lebih
untuk memberikan pendidikan
dari persentil 95 ( pada
kesehatan
anak < 2 tahun) atau
3. berikan kesempatan pasien dan
IMT pada presentil ke
keluarga bertanya
85-95 (pada anak 2-8
edukasi
tahun)
1. jelaskan tujuan kepatuhan diet
Gejala dan tanda terhadap kesehtan
2. informasikan makanan yang
minor diperbolehkan dan dilaranag
3. anjurkan mempertahankan
Subjektif: -
posisi semi Fowler (20-45
Objektif: derajat) 20-30menit setelah
makan
a. tebal lipatan kulit
4. anjurkan mengganti makanan
trisep > 25 mm
sesuai dengan diet yang
diprogramkan
5. anjurkan melakukan olahraga
sesuai toleransi
6. anjurkan cara merencanakan
makanan yang sesuai program
kolaborasi
1. rujuk ke ahli gizi dan sertakan
keluarga, jika perlu
I. manajemen Nutrisi
Observasi
1. identifikasi status nutrisi
2. monitor asupan makanan
3. monitor berat badan
4. monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
terapeutik
1. lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika perlu
2. fasilitasi menentukan
pedoman diet ( mis.
Piramida makanan)
3. berikan makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
edukasi
1. anjurkan posisi duduk, jika
mampu
2. ajarkan diet yang
diprogramkan
kolaborasi
1. kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
2. kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kaloridan jenis nutrien
yangdibutuhkan, jika perlu

BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
Tn. S yang berusia 55 tahun, pasien beragama islam, pasien merupakan
seorang pensiunan BUMN, pasien mengalami Chronic Kidney Disease (CKD)
grade V dan DM Tipe 2. Pasien menjalani hemodialisa seminggu 2 kali yaitu
hari Selasa dan Sabtu. Pada saat dilakukan pengkajian pasien mengeluh badan
lemas, kaki bengkak,punggung gatal-gatal dan didapatkan data keadaan umum
pasien yaitu kesadaran composmentis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 15
yaitu E4M6V5. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 140/80
mmHg, suhu 36oC, pernapasan 22x/menit, irama reguler, nadi 84x/menit.
Pemeriksaan antropometri didapatkan hasil tinggi badan 165 cm, berat badan
70,5 kg, dengan status gizi berat badan berlebih. Hasil pemeriksaan GDS
puasa 160 mg/dl. Hasil pemeriksaan fisik pada pasien pada mata diapatkan
konjungtiva anemis, Hb: 9,0gr/dl, pandangan kabur karena Tn.S memiliki
penyakit katarak dikedua mata dan riwayat DM. Pada Paru terdapat jejas pada
dada kanan post double lumen. Terpasang dobule lumen pada area Central
Venous Chateter (CVC) didada kanan. Perut tampak buncit dengan bising
usus 12 kali/menit. Pada ekstremitas atas tangan kanan tidak dapat digerakkan
secara normal karena pasien memiliki riwayat fraktur, pada ekstremitas bawah
kaki lemas susah digerakkan, pitting edema +1, kedalaman 2-3 mm.
Pemeriksaan kulit didapatkan kulit kering, warna kulit hitam, turgor kulit tidak
elastis pada punggung.

Pada pengkajian 11 pola Gordon didapatkan data abnormal pada status nutrisi
dan metabolik yaitu pasien Tn.S mengatakan saat dirumah makan 3xsehari
dengan porsi nasi sedikit, sayur, dan lauk, kadang mengkonsumsi buah, setiap
pagi minum susu khusus untuk ginjal ±100cc, dan sebelum tidur minum susu
entrosol ±200 cc, dan minum air putih ±600 cc, sebelum makan Tn. S
mengkonsumsi obatpioglitazone hydrochlorine 15 mg 2x1. Tn. S mengatakan
sudah menghindari makanan kacang-kacangan, jeroan, dan santan.
makan makanan ringan seperti arem-arem saat proses hemodialisa, minum
±150 cc. Selama proses hemodialisa Tn.S mengatakan hanya minum sedikit
dan sarapan pagi A: Antropometri= berat badan saat ini 70.5 Kg, Berat badan
pasca hemosialisa yang lalu 66.5 Kg, perubahan berat badan: naik 4 kg, tinggi
badan: 165 cm, Indeks Massa Tubuh (IMT): 25.7 kg/m 2. B: Biokimia= Hb: 9.1
g/dL, GDS puasa 160 mg/dl. C: Clinical= kulit kering, mata anemis, terdapat
edema pada kaki derajat I kedalaman ±2-3mm pitting edema +1. D: Diit= diit
rendah gula dan kalium

Pada eliminasi pada saat dirumah pasien mengatakan jarang BAB dan BAK.
BAK±5-6 kali sehari warna kuning jernih, jumlah urine ±50 cc setiap kali
BAK, BAB 1 kai/hari dengan konsisensu BAB lembek, sedangkan saat
dirumah sakit pasien mengatakan selama hemodialisa Tn. S jarang sekali BAK.
Kadang-kadang BAK 1 kali sebelum hemodialisa dimulai dan terkadang
sesudah hemodialisa, BAK ±50 c, warna kuning jerih. Balance cairan + 185.75.

Pada aktivitas dan latihan dirumah Tn. S mengatakan di rumah hanya


melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tn. S mengeluh
badannya lemas dan mudah lelah, semua aktivitas dibantu orang lain, Tn. S
terkadang sesak nafas dan jantung berdebar-debarketika berjalan jauh karena
memiliki riwayat CHF dan sudah terpasang 4 ring, Tn. S mengatakan mandi,
makan, minum, BAB dan BAK dapat dilakukan secara mandiri tetapi untuk
mobilisasi Tn. S dibantu oleh keluarga. Sedangkan dirumah sakit Saat
hemodialisa Tn. S bedrest dan sering tidur, semua aktivitas dibantu oleh
keluarga dan perawat. Tn. S tidak sesak nafas, RR: 22 kali/menit, Tn.S
mengeluh kakinya lemas dan bengkak, pitting edema +1, kedalaman 2-3 mm.
konjugtiva mata anemis. Pasien dapat BAK, makan, minum secara mandiri,
tetapi saat mobilisasi Tn. S dibantu oleh istrinya. Kekuatan otot : 5555 3333
5555 5555

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 9 Mei 2020 yaitu hemoglobin 9 g/dL


(L), Pemeriksaan GDS sewaktu 160 mg/dL (H) sedangkan terapi obat yang
didapat oleh Tn.S adalah pioglitazone hydrochlorine 15 mg 2x1 sebelum
makan, gliquidone 30 mg 2x1 dan obat isosorbide dinitrate 5mg 3x1 setelah
makan

B. Diagnosa-Evaluasi
Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah dilakukan didapatkan data
DS: Pasien mengeluh badan lemas dan mengatakan selama dirumah pasien
makan 3x sehari dengan porsi nasi sedikit, sayur, dan lauk, kadang
mengkonsumsi. buah, setiap pagi minum susu khusus untuk ginjal ±100cc, dan
sebelum tidur minum susu entrosol ±200 cc, dan minum air putih ±600 cc, Tn.
S mengatakan sudah menghindari makanan kacang-kacangan, jeroan, dan
santan. Tn. S mengatakan BB meningkat 4 Kg dari BB terakhir setelah
Hemodialisa. Tn. S mengatakan tubuhnya merasa nyaman jika BB 65 Kg.
DO: Hasil pemeriksaan Antropometri A: Antropometri= berat badan saat ini
70.5 Kg, Berat badan pasca hemosialisa yang lalu 66.5 Kg, perubahan berat
badan: naik 4 kg, tinggi badan: 165 cm, Indeks Massa Tubuh (IMT): 25.7
kg/m2. B: Biokimia= Hb: 9.1 g/dL, GDS puasa 160 mg/dl. C: Clinical= kulit
kering, mata anemis, terdapat edema pada kaki derajat I kedalaman ±2-3mm
pitting edema +1. D: Diit= diit rendah gula dan kalium. Sehingga penulis dapat
menegakkan diagnosa keperawatan Berat badan berlebih berhubungan dengan
gangguan genetik.
Pada diagnosa Berat badan berlebih berhubungan dengan gangguan genetik
ditandai dengan IMT: 25,7 kg/m2 kesimpulan berat badan berlebih, adanya
peningkatan berat badan 4 kg dalam waktu 4 hari, setelah diberikan intervensi
keperawtan selama 1x4 jam diharapakan masalah teratasi dengan intervensi
manajemen berat badan, edukasi diet, manajemen nutrisi.
Implementasi yang dilakakukan sesuai dengan intervensi keperawatan oleh
perawat pada pasien dengan diagnosa berat badan lebih b.d gangguan genetik
saat datang ke RS untuk menjalani HD adalah memanajemen berat badan,
mengedukasi diet, memanajemen nutrisi
Berdasarkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada klien Tn.S yang
dilakukan pada tanggal 26 Mei 2020, diperoleh hasil evaluasi, S: pasien
mengatakan badan sudah terasa nyaman dengan adanya penurunan berat badan
setelah HD, pasien mengatakan sudah mengetahui bagaimana cara
mengatasinya dan cara melakukan diit yang sesuai. O: BB menurun 2 kg
setelah menjalani HD yaitu BB sebelum HD 69 kg, BB setelah HD 67 kg A:
masalah Berat badan berlebih b.d gangguan genetik teratasi P: lanjutkan
intervensi identifikasi status nutrisi, monitor asupan makanan, monitor berat
badan, monitor hasil pemeriksaan laboratorium

Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah dilakukan didapatkan data


DS: Pasien mengeluh badan lemas dan kakinya bengkak. Pasien jarang BAB
dan BAK, BAK kurang lebih saat HD 50cc.
DO: Hasil Pemeriksaan ekstremitas bawah terdapat edema pada kedua kaki
dengan derajat pitting edema +1 dan kedalaman 2-3mm. Pemeriksaan kulit
didapatkan kulit kering, warna kulit hitam, didapatkan konjungtiva anemis,
pada pemeriksaan abdomen didapatkan perut buncit. hasil perhitungan balance
cairan + 185.75. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 9 Mei 2020 yaitu
hemoglobin: 9 g/dL (L), Sehingga penulis dapat menegakkan diagnosa
keperawatan Hypervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi, kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan natrium.
Pada diagnosa Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi,
kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan natrium yang ditandai dengan edema
perifer, hepatomegali, kadar Hb & Ht turun, produksi urin sedikit setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 2x4jam diharapakan masalah teratasi
dengan intervensi monitor TTV, periksa tanda dan gejala hipervolemi (mis.
Ortopnea, dipsnea, edema, suara napas tambahan), identifikasi penyebab
hipervolemi, monitor intake dan output cairan, kolaborasi dengan dokter
pemberian diuretic.
Implementasi yang dilakakukan sesuai dengan intervensi keperawatan oleh
perawat pada pasien dengan diagnosa Hipervolemia berhubungan dengan
gangguan mekanisme regulasi, kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan natrium
saat datang ke RS untuk menjalani HD adalah memonitor TTV, memeriksa
tanda dan gejala hipervolemi (mis. Ortopnea, dipsnea, edema, suara napas
tambahan), mengidentifikasi penyebab hipervolemi, memonitor intake dan
output cairan, berkolaborasi dengan dokter pemberian diuretic selama
menjalani Hemodialisa.
Berdasarkan hasil evaluasi yang diperoleh pada tanggal 26 Mei 2020 diperoleh
hasil evaluasi S: pasien mengatakan bengkak sudah berkurang namun masih
terasa lemas. O: masih terdapat edema pada ekstremitas bawah, TD: setelah HD
130/80 mmHg, SpO2: 100%, suhu:360C, nadi: 88x/mnt. Hb: 13,5gr/dL. A:
masalah Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi, kelebihan
asupan cairan, kelebihan asupan natrium belum teratasi P: lanjutkan intervensi
Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, Batasi asupan cairan
dan garam, Tinggikan kepala tempat tidur 30-40°

Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah dilakukan didapatkan data


DS: Tn. S mengatakan badan terasa lemas dan mudah lelah. Terkadang merasa
sesak nafas dan jantung berdebar-debar ketika berjalan jauh karena memiliki
riwayat CHF dan sudah terpasang 4, saat dihemodialitas Tn.S mengeluh
kakinya lemas dan bengkak
DO: Saat hemodialisa Tn.S tampak bedrest dan sering tidur, semua aktivitas
pasien dibantu oleh keluarga dan perawat. RR: 22x/mnt kekuatan otot
5555 3333
5555 5555
Sehingga penulis dapat menegakkan diagnosa keperawatan Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Pada diagnosa keperawatan Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen ditandai dengan mengeluh
lemas dan mudah lelah serta kaki bengkak, setelah dilakukan tindakan keperawtan
selama 2x4jam diharapakan masalah teratasi dengan intervensi Identifikasi
gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan, Sediakan lingkungan nyaman
dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara, kunjungan), Anjurkan melakukkan aktivitas
secara bertahap, Identifikasi defisit tingkat aktivitas, libatkan keluarga dalam
melakukan terapi aktivitas.
Implementasi yang dilakakukan sesuai dengan intervensi keperawatan oleh
perawat pada pasien dengan diagnosa Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen saat datang ke RS untuk
menjalani HD adalah mengidentifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
kelelahan, menyediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara,
kunjungan), menganjurkan melakukkan aktivitas secara bertahap, menidentifikasi
defisit tingkat aktivitas, melibatkan keluarga dalam melakukan terapi aktivitas.
Berdasarkan hasil evaluasi yang diperoleh pada tanggal 26 Mei 2020 diperoleh
hasil evaluasi S: pasien mengatakan mampu melakukan aktivitas mandiri secara
bertahap, mampu melakukan latihan fisik tanpa kelelahan. O: pasien terlihat
mmelakukan aktivitas dan tidak bedrest , RR: 22x/mnt, keluarga ikut terlibat dalam
melakukan terapi aktivitas, namun juga melatih pasien untuk mandiri. Pasien terbaring
dengan posisi semifowler saat dilakukan HD. A: masalah Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen teratasi
P: lanjutkan intervensi Fasilitasi aktivitas fisik rutin (mis. Ambulasi, mobilisasi, dan
perawatan diri), sesuai kebutuhan, Fasilitasi ativitas pengganti saat mengalami
keterbatasan waktu, energi, atau gerak.

Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah dilakukan didapatkan data


DS: Tn. S mengeluhkan punggung gatal-gatal
DO: hasil pemeriksaan integumen didapatkan kulit kering, warna hitam, turgor
kulit tidak elstis, tampak lesi pada punggung, hasil pemeriksaan lab Hb:
9gr/dL. Terpasang double lumen pada area Central Venous Chateter (CVC) di
dada kanan. Sehingga penulis dapat menegakkan diagnosa keperawatan
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelebihan volume cairan, sindrom
uremia.
Pada diagnosa keperawatan Gangguan integritas kulit berhubungan dengan
kelebihan volume cairan, sindrom uremia ditandai dengan Kerusakan jaringan
dan/atau lapisan kulit, kulit menghitam, turgor kulit tidak elastis dan adanya rasa
gatal pada kulit setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x4jam
diharapakan masalah teratasi dengan kriteria hasil elastisitas meningkat,
kerusakan lapisan kulit menurun, tekstrur membaik. Intervensi yang dilakukan
Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis. perubahan sirkulasi, perubahan
status nutrisi, penurunan kelembaban, suhu lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas),
lakukan perawatan luka), anjurkan mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori dan
protein , Anjurkan menggunakan pelembab (mis. lotion, serum), Jadwalkan perubahan
posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi pasien, kolaborasi pemebrian antibiotic.

Implementasi yang dilakakukan sesuai dengan intervensi keperawatan oleh


perawat pada pasien dengan diagnosa Gangguan integritas kulit berhubungan
dengan kelebihan volume cairan, sindrom uremia saat datang ke RS untuk
menjalani HD adalah mengidentifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis.
perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan kelembaban, suhu lingkungan
ekstrem, penurunan mobilitas), melakukan perawatan luka, menganjurkan
mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori dan protein, menganjurkan menggunakan
pelembab (mis. lotion, serum) Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai
kondisi pasien, kolaborasi pemebrian antibiotic.
Berdasarkan hasil evaluasi yang diperoleh pada tanggal 26 Mei 2020 diperoleh
hasil evaluasi S: Pasien mengatakan punggung sudah tidak gatal. O: sudah tidak
terdapat luka pada punggung, kulit masih menghitam, turgor kulit masih tidak elastis,
masih terdapat edema pada ekstremitas bawah, masih terpasang double lumen pada
area Central Venous Chateter (CVC) di dada kanan A: masalah Gangguan
integritas kulit berhubungan dengan kelebihan volume cairan, sindrom uremia belum
teratasi P: lanjutkan intervensi Gunakan produk berbahan petrolium atau minyak
pada kulit kering, Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering, Anjurkan
meningkatkan asupan nutrisi, Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur.

Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah dilakukan didapatkan data


DS: Tn. S mengeluhkan badan lemas, kaki bengkak sudah lama, dan sering
merasa pusing
DO: hasil pemeriksaan didapatkan kulit kering warna hitam, konjungtiva
anemis, CRT > 2detik, terdapat edema pada kedua kaki, pitting edema +1,
kedalaman 2-3 mm. Turgor kulit tidak elastis, terdapat luka pada punggung.
hasil pemeriksaan lab Hb: 9gr/dL, GDS: 160 gr/dL. Sehingga penulis dapat
menegakkan diagnosa keperawatan perfusi perifer tidak efektif berhubungan
dengan penurunan konsentrasi hemoglobin.

Pada diagnosa Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan


konsentrasi hemoglobin ditandai dengan Edema, kelelahan, Penyembuhan luka lambat
diharapakan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 4 jam
diharapkan masalah teratasi dengan kriteria hasil Edema perifer menurun,
Kelemahan otot menurun Pengisian kapiler membaik , Akral membaik, Turgor kulit
membaik dengan intervensi Periksa sirkulasi periver (mis. Nadi perifer, edema,
pengisian kapiler, warna, suhu, ankle brachial index) ,Identifikasi faktor resiko
gangguan sirkulasi ( mis. Diabetes, perokok, orang tua hipertensi dan kadar kolestrol
tinggi) Monitor panas, kemerahan, nyeri atau bengkak pada ekstermitas, Kolaborasi
pemberian analgesik, Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu, Ajarkan
program diet untuk memperbaiki sirkulasi ( mis. Rendah lemak jenuh, minyak ikam
omega 3), Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan (mis. Raasa
sakit yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya rasa), Lakukan
pencegahan infeksi, Lakukan perawatan kaki dan kuku Edukasi.

Implementasi yang dilakakukan sesuai dengan intervensi keperawatan oleh


perawat pada pasien dengan diagnosa Perfusi perifer tidak efektif berhubungan
dengan penurunan konsentrasi hemoglobin saat datang ke RS untuk menjalani HD
adalah memeriksa sirkulasi periver (mis. Nadi perifer, edema, pengisian kapiler,
warna, suhu, ankle brachial index) ,mengidentifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi
(mis. Diabetes, perokok, orang tua hipertensi dan kadar kolestrol tinggi) memonitor
panas, kemerahan, nyeri atau bengkak pada ekstermitas, berkolaborasi pemberian
analgesik, Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu, mengajarkan program diet
untuk memperbaiki sirkulasi ( mis. Rendah lemak jenuh, minyak ikam omega 3),
menginformasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan (mis. Raasa sakit
yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya rasa), melakukan
pencegahan infeksi, melakukan perawatan kaki dan kuku Edukasi.

Berdasarkan hasil evaluasi yang diperoleh pada tanggal 26 Mei 2020 diperoleh
hasil evaluasi S: Pasien mengatakan edema berkurang, sudah tidak lemas, luka pada
punggung membaik. O: sudah tidak terdapat luka pada punggung, kulit masih
menghitam, turgor kulit masih tidak elastis, masih terdapat edema pada ekstremitas
bawah, CRT < 2 detik, TD: 130/80 mmHg S: 36oC dan N: 88 kali per menit
SpO2:100, Hb: 13,5gr/dL A: masalah Perfusi perifer tidak efektif berhubungan
dengan penurunan konsentrasi hemoglobin sudah teratasi P: lanjutkan intervensi
Anjurkan berolah raga rutin, Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit
terbakar, Identifikasi penyebab perubahan sensasi, Identifikasi penggunaan alat
pengikat, prosthesis, sepatu, dan pakaian

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pengkajian
Pada tahap pengkajian penulis mengacu pada format yang telah disediakan,
format pengkajian yang tidak jauh berbeda dengan format yang ada pada
tinjauan teoritis. Dalam pengumpulan data, penulis melakukan pengkajian
secara komprehensif yang mengacu pada tinjauan teoritis yang meliputi aspek
bio, psiko, sosio, dan spiritual yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi
klien. Data hasil pengkajian penulis didapatkan dari hasil wawancara dengan
klien dan keuarga, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan diagnostik, catatan
medis, catatan keperawatan, serta bekerja sama dengan perawat ruangan, dan
tim kesehatan lainnya yang mendukung pengkajian.

Dari hasil pengkajian, klien di diagnosa Chronic Kidney Disease (CKD).


CKD adalah kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel yang ditandai
dengan uremia, yang diakibatkan oleh kerusakan nefron dan glomerolus,
penyebab CKD adalah penyakit ginjal polikistik, glomerolunefritis kronis,
pielonefritis kronis, obstruksi urin kronis, nefropati hipertensi, nefropati
diabetic, dan nefropati gout. Pasien menjalankan program Hemodialisa sejak
Oktober 2019 dengan jadwal satu minggu dua kali. Diagnosa pada klien Tn.S
dibuktikan pada pemeriksaan hasil A: Antropometri= berat badan saat ini
70.5 Kg, Berat badan pasca hemosialisa yang lalu 66.5 Kg, perubahan berat
badan: naik 4 kg, tinggi badan: 165 cm, Indeks Massa Tubuh (IMT): 25.7
kg/m2. B: Biokimia= Hb: 9.1 g/dL, GDS puasa 160 mg/dl. C: Clinical= kulit
kering, mata anemis, terdapat edema pada kaki derajat I kedalaman ±2-3mm
pitting edema +1. D: Diit= diit rendah gula dan kalium. Faktor resiko terjadi
CKD pada Tn.S adalah karena penyakit efusi pleura dan DM yang
dideritanya sudah lama.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Marry, 2015 menyatakan, keadaan


tersebut terjadi karena garam memiliki kandungan kalori yang tinggi, dan
bisa memicu terjadinya rasa haus. Kemudian, ketika haus, seseorang akan
cenderung “mengobatinya” dengan mengonsumsi minuman manis dalam
jumlah banyak. Pada akhirnya, risiko obesitas atau kelebihan berat badan
akan meningkat berlipat ganda.

Tn.S mengatakan pada saat dirumah jarang BAB dan BAK. BAK±5-6 kali
sehari warna kuning jernih, jumlah urine ±50 cc setiap kali BAK, BAB 1
kali/hari dengan konsisensu BAB lembek, sedangkan saat dirumah sakit
pasien mengatakan selama hemodialisa Tn. S jarang sekali BAK. Kadang-
kadang BAK 1 kali sebelum hemodialisa dimulai dan terkadang sesudah
hemodialisa, BAK ±50 c, warna kuning jerih. Balance cairan + 185.75.
terdapat edema pada kaki dengan derajat pitting edema +1 dan kedalaman 2-
3mm. Pemeriksaan kulit didapatkan kulit kering, warna kulit hitam, turgor
kulit tidak elastis, pemeriksaan fisik pada pasien diapatkan konjungtiva
anemis. Hasil pemeriksaan lab hemoglobin 9 g/dl, terdapat peningkatan BB
4kg dalam waktu 4 hari. Hal ini sesuai dengan teori menurut Doenges (2014),
hipervolemia ditandai dengan penurunan output, oliguria, peningkatan
tekanan darah, peningkatan CVP (Central Venous Pressure), edema,
peningkatan berat badan dalam waktu singkat, edema pulmonal, perubahan
pada status mental, kegelisahan, penurunan hemoglobin/hematokrit, dan
ketidakseimbangan elektrolit. Menurut penulis, terdapat kesamaan teori dan
evidence pada pasien PGK dengan masalah hipervolemia, karena pasien
mengalami penurunan output pada saat sebelum masuk RS (sebelum
diberikan diuretik), peningkatan berat badan, edema ekstremitas, edema
pulmonal, dan juga penurunan hemoglobin/hematokrit. Saat dikaji pasien
telah diberikan terapi diuretik, oleh karena itu balance cairan pasien bernilai
(-) dan outputnya pun bertambah. Setelah dilakukan pemberian terapi obat
pioglitazone hydrochlorine 15 mg 2x1 sebelum makan, gliquidone 30 mg 2x1
dan obat isosorbide dinitrate 5mg 3x1 setelah makan, dan dilakukan
hemodialisa penderita menunjukkan perbaikan klinis.

Suhardjono (2001) dalam Endarwati (2018) mengatakan pada penderita gagal


ginjal sering ditemukan keadaan hiponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia,
hiperfosfatemia dan hipermagnesemia. Walaupun penderita gagal ginjal dapat
bertahan hidup lebih lama dengan melakukan hemodialisa, namun
kemungkinan dapat terjadi ketidakseimbangan kalium, kalsium, fosfor
anorganik, dan magnesium yang dikarenakan ginjal tidak berfungsi. Dalam
keadaan normal 55 % - 78 % magnesium dalam plasma difiltrasi melalui
glomerulus. Absorbsi terbanyak terutama pada bagian ascending tubulus
Henle (60 – 70 %). Absorbsi melalui tubulus proksimal sekitar 20% dan
melalui tubulus distal / collecting duct sekitar 10% hanya 4% yang dibuang
melalui urin. Absorbsi magnesium tubulus mempunyai angka maksimal. Bila
angka ini melampaui ekskresi magnesium tidak akan bertambah. Bila angka
maksimal terlampaui, ekskresi dengan cepat akan meningkat. Hal ini sesuai
dengan kondisi pada pasien dimana hasil laboratorium: lab Hb 13,5 mg/dL.
Masalah selanjutnya adalah intoleransi aktivitas berhubungan dengan yang
terdapat pada Tn.S. Masalah ini ditunjang dengan pasien mengeluh badannya
lemas dan mudah lelah, semua aktivitas dibantu orang lain, Tn. S terkadang
sesak nafas dan jantung berdebar-debarketika berjalan jauh karena memiliki
riwayat CHF dan sudah terpasang 4 ring, Tn. S mengatakan mandi, makan,
minum, BAB dan BAK dapat dilakukan secara mandiri tetapi untuk
mobilisasi Tn. S dibantu oleh keluarga. Sedangkan dirumah sakit Saat
hemodialisa Tn. S bedrest dan sering tidur, semua aktivitas dibantu oleh
keluarga dan perawat. Tn. S tidak sesak nafas, RR: 22 kali/menit, Tn.S
mengeluh kakinya lemas dan bengkak, pitting edema +1, kedalaman 2-3 mm.
konjugtiva mata anemis. Pasien dapat BAK, makan, minum secara mandiri,
tetapi saat mobilisasi Tn. S dibantu oleh istrinya. Kekuatan otot : 5555 3333
5555 5555
pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva anemis yang merupakan tanda dari
penyakit anemia.

Hal ini sesuai dengan teori Suhardjono (2019), yang menyatakan bahwa
anemia terjadi pada 80-90% pasien PGK, terutama bila sudah mencapai
stadium III. Anemia terutama disebabkan oleh defisiensi Erythropoietic
Stimulating Factors (ESF). Kemudian menurut National Kidney Foundation
(2012), dalam keadaan normal 90% eritropoietin (EPO) dihasilkan di ginjal
tepatnya oleh juxtaglomerulus dan hanya 10% yang diproduksi di hati.
Eritropoietin mempengaruhi produksi eritrosit dengan merangsang
proliferasi, diferensiasi dan maturasi prekursor eritroid. Keadaan anemia ini
terjadi karena defisiensi eritropoietin yang dihasilkan oleh sel peritubular
sebagai respon hipoksia lokal akibat pengurangan parenkim ginjal fungsional.
Lalu menurut Sukandar (2016), faktor lain yang dapat menyebabkan anemia
pada PGK adalah defisiensi besi defisiensi besi, defisiensi vitamin, penurunan
masa hidup eritrosit yang mengalami hemolisis, dan akibat perdarahan. Tanda
dan gejala yang ditunjukkan antara lain lemas, kelelahan, sakit kepala,
masalah dengan konsentrasi, pucat, pusing, kesulitan bernapas atau sesak
napas, dan nyeri dada.
Menurut penulis, antara teori dan pengkajian yang didapatkan pada pasien
sesuai, karena tanda dan gejalanya sama, antara lain pasien yang merasa
lemas, kulit pucat, sering pusing, dan juga data tambahan yaitu capillary refill
time (CRT)> 2detik serta konjungtiva anemis yang biasanya paling awal
diperiksa untuk menentukan apakah pasien memiliki kemungkinan anemia
atau tidak.

Menurut Smeltzer& Bare (2015) yaitu tanda dan gejala pasien dengan
penyakit ginjal seperti kelemahan dan keletihan, konfusi, kelemahan pada
tungkai, rasa panas pada kaki, kram otot, kekuatan otot menurun/hilang,
fraktur tulang, dan foot drop. Menurut penulis tanda dan gejala tersebut
muncul pada pasien dengan penyakit ginjal karena kurangnya pergerakan
karena takut akan terjadi sesak napas, mengalami kelemahan sehingga
muncul tanda dan gejala yang sesuai dengan fakta dan teori.

Pasien Ny.S menjalankan program hemodialisa dengan jadwal satu minggu


dua kali yaitu pada hari selasa dan sabtu

B. Resume Keperawatan ( Diagnosa, Intervensi, Implementasi, Evaluasi )


Setelah proses pengumpulan data dan analisa sesuai dengan masalah yang
ditentukan, maka penulis merumuskan diagnosa keperawatan berdasarkan
data-data tersebut. Dari hasil analisa data maka didapatkan tiga diagnosa yang
muncul di kasus :
1. Berat badan lebih berhubungan dengan gangguan genetik.
Pengertian dari diagnosa diatas yaitu akumulasi lemak berlebih atau
abnormal yang tidak sesuai dengan usia dan jenis kelamin yang
disebabkan karena kurang aktivitas fisik, kelebihan konsumsi gula,
gangguan kebiasaan makan, penggunaan energi kurang dari asupan,
sering ngemil, sering makan makanan berminyak/berlemak, dan faktor
keturunan (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).
Diagnosa ini muncul karena pada saat dilakukan pengkajian didapatkan
data subyektif Pasien mengeluh badan lemas dan mengatakan selama
dirumah pasien makan 3x sehari dengan porsi nasi sedikit, sayur, dan
lauk, kadang mengkonsumsi. buah, setiap pagi minum susu khusus untuk
ginjal ±100cc, dan sebelum tidur minum susu entrosol ±200 cc, dan
minum air putih ±600 cc, Tn. S mengatakan sudah menghindari makanan
kacang-kacangan, jeroan, dan santan. Tn. S mengatakan BB meningkat 4
Kg dari BB terakhir setelah Hemodialisa. Tn. S mengatakan tubuhnya
merasa nyaman jika BB 65 Kg.

Dengan didukung adanya data obyektif didapatkan hasil pemeriksaan


Antropometri A: Antropometri= berat badan saat ini 70.5 Kg, Berat
badan pasca hemosialisa yang lalu 66.5 Kg, perubahan berat badan: naik
4 kg, tinggi badan: 165 cm, Indeks Massa Tubuh (IMT): 25.7 kg/m 2. B:
Biokimia= Hb: 9.1 g/dL, GDS puasa 160 mg/dl. C: Clinical= kulit
kering, mata anemis, terdapat edema pada kaki derajat I kedalaman ±2-
3mm pitting edema +1. D: Diit= diit rendah gula dan kalium.Maka
diagnosa Berat badan lebih berhubungan dengan gangguan genetik
ditegakkan.

Kesenjangan dalam intervensi tinjauan teoritis dan tinjauan kasus adalah


penulis tidak menuliskan semua intervensi yang dilakukan penulis, yang
ada pada tinjauan teoritis. Hal ini karena intervensi yang dilakukan
penulis, berdasarkan kebutuhan dasar serta kondisi klien saat ini. Luaran
(outcome) keperawatan merupakan aspek-aspek yang dapat diobservasi
dan diukur meliputi kondisi, perilaku, atau pesepsi pasien keluarga atau
komunitas sebagai respon terhadap intervensi keperawatan. Luaran
keperawatan menunjukkan status diagnosis keperawatan setelah
dilakukan intervensi keperawatan. Hasil akhir intervensi keperawatan
yang terdiri dari indikator-indikator atau kriteria hasil pemulihan
masalah. Terdapat dua jenis luaran keperawatan yaitu luaran positif
(perlu ditingkatkan) dan luaran negatif (perlu diturunkan) (Tim Pokja
SLKI DPP PPNI, 2018).

Adapun komponen luaran keperawatan diantaranya label (nama luaran


keperawatan berupa kata-kata lunci informasi luaran), ekspektasi
(penilaian terhadap hasil yang diharapkan, meningkat, menurun, atau
membaik), kriteria hasil (karakteristik pasien yang dapat diamati atau
diukur, dijadikan sebagai dasar untuk menilai pencapaian hasil
intervensi, menggunakan skor 1-3 pada pendokumentasian computer-
based). Ekspektasi luaran keperawatan terdiri dari ekspektasi meningkat
yang artinya bertambah baik dalam ukuran, jumlah, maupun derajat atau
tingkatan, menurun artinya berkurang baik dalam ukuran, jumlah
maupun derajat atau tingkatan, membaik artinya menimbulkan efek yang
lebih baik, adekuat, atau efektif (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).

Intervensi keperawatan terdiri dari intervensi utama dan intervensi


pendukung. Intervensi utama dari diagnosa keperawatan yang pertama
Berat badan lebih berhubungan dengan gangguan genetik adalah
manajemen berat badan, edukasi diet dengan penkes, manajemen nutrisi
rasionalnya agar pasien mengetahui dan menjaga pola makan serta
makanan yang diperbolehkan dan yang dilarang/dibatasi. Intervensi
pendukung yang penulis gunakan yaitu Kolaborasi denagn ahli gizi untuk
pemberian diit rendah garam Rasionalnya menurunkan berat badan dan
volume cairan dalam tubuh (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).

Implementasi merupakan tahap keempat setelah perencanaan. Dalam


tahap ini, penulis melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana tindakan
yang telah ditetapkan. Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan
dengan memperhatikan keadaan dan kondisi klien saat itu. Implementasi
utama yang dilakukan dari diagnosa Berat badan lebih berhubungan
dengan gangguan genetik adalah memanajemen berat badan,
mengedukasi diet dengan penkes, memanajemen nutrisi, dan
berkolaborasi denagn ahli gizi untuk pemberian diit rendah garam
Pemberian implementasi tersebut dengan alasan karena Diet adalah
pengaturan pola makan dan menu makanan. Diet bagi penderita ginjal
bertujuan untuk menyeimbangkan kadar elektrolit, mineral, dan cairan di
dalam tubuh agar meringankan beban kerja ginjal yang telah mengalami
kerusakan dan penurunan fungsi. Penderita gagal ginjal membutuhkan
pengaturan makan khusus, karena organ ginjalnya tidak lagi bisa
mengeluarkan zat-zat sisa dan racun dari dalam tubuh. Pengaturan diet 
gagal ginjal biasanya akan dilakukan oleh dokter spesialis gizi. Tujuan
diet ini adalah agar ginjal tidak semakin rusak dan tidak terjadi
komplikasi akibat gagal ginjal, misalnya penyakit jantung atau edema
paru (Marry, 2015).

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan dan bertujuan untuk
menentukan berbagai respon pasien terhadap intervensi keperawatan
yang sudah disusun dan sebatas mana tujuan-tujuan yang di rencanakan
sudah tercapai (Smeltzer & Bare, 2013). Dalam perumusan evaluasi
keperawatan menggunakan empat komponen yang dikenal dengan
SOAP, yaitu S (Subjektive) merupakan data informasi berupa ungkapan
pernyataan keluhan pasien, O (Objective) merupakan data hasil
pengamatan, penilaian dan pemeriksaan, A (Assesment) merupakan
perbandingan antara data subjective dan data objective dengan tujuan dan
kriteria hasil, kemudian akan diambil sebuah kesimpulan bahwa masalah
teratasi, teratasi sebagian, atau tidak teratasi, dan P (Planning) merupakan
rencana keperawatan lanjutan yang akan dilanjutkan, dihentikan,
dimodifikasi, atau ditambah dari rencana tindakan keperawatan yang
telah ditentukan sebelumnya (Dinarti, Aryani, Nurhaeni, Chairani, &
Tutiany, 2013).

Evaluasi diharapkan sesuai dengan masalah yang dihadapi pasien dengan


Berat badan lebih dan perencanaan tujuan serta kriteria hasil yang telah
dibuat. Pada pasien dengan, indikator evaluasi yang diharapkan yaitu
sebagai berikut: Berdasarkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada
klien Tn.S yang dilakukan pada tanggal 26 Mei 2020, diperoleh hasil
evaluasi, S: pasien mengatakan badan sudah terasa nyaman dengan
adanya penurunan berat badan setelah HD, pasien mengatakan sudah
mengetahui bagaimana cara mengatasinya dan cara melakukan diit yang
sesuai. O: BB menurun 2 kg setelah menjalani HD yaitu BB sebelum HD
69 kg, BB setelah HD 67 kg A: masalah Berat badan berlebih b.d
gangguan genetik teratasi P: lanjutkan intervensi identifikasi status
nutrisi, monitor asupan makanan, monitor berat badan, monitor hasil
pemeriksaan laboratorium
2. Hypervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi,
kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan natrium.
Pengertian dari diagnosa diatas yaitu peningkatan volume cairan
intravaskuler, interstitial, dan atau intraseluler yang disebabkan oleh
gangguan mekanisme regulasi, kelebihan asupan cairan, kelebihan
asupan natrium, gangguan aliran balik vena dan efek agen farmakologis
(mis. Kortikosteroid, chlorproamine, tolbutamide, vincristine,
tryptilinescarbamazepine), (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).

Diagnosa ini muncul karena pada saat dilakukan pengkajian didapatkan


data subyektif Pasien mengeluh badan lemas dan kakinya bengkak.
Pasien jarang BAB dan BAK, BAK kurang lebih saat HD 50cc. Dengan
didukung oleh data obyektif Hasil Pemeriksaan ekstremitas bawah
terdapat edema pada kedua kaki dengan derajat pitting edema +1 dan
kedalaman 2-3mm. Pemeriksaan kulit didapatkan kulit kering, warna
kulit hitam, didapatkan konjungtiva anemis, pada pemeriksaan abdomen
didapatkan perut buncit. hasil perhitungan balance cairan + 185.75. Hasil
pemeriksaan laboratorium tanggal 9 Mei 2020 yaitu hemoglobin: 9 g/dL
(L), Sehingga diagnosa keperawatan Hypervolemia berhubungan dengan
gangguan mekanisme regulasi, kelebihan asupan cairan, kelebihan
asupan natrium ditegakkan.

Penulis dapat menegakkan diagnosa dari hasil pengkajian yang sudah


dilakukan dan Pasien mengalami keluhan tersebut karena pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik mengalami kerusakan ginjal, ginjal tidak
mampu memfiltrasi dan mengeluarkan cairan dalam bentuk urin dengan
semestinya sehingga cairan tersebut mengendap di interstisial.

Pada diagnosa Hypervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme


regulasi, kelebihan asupan cairan intervensi utama yang dilakukan adalah
memonitor adanya edema dengan rasional mengetahui kelebihan volume
cairan. Intervensi pendukung yang penulis gunakan yaitu Kolaborasi
pemberian dieuretik rasionalnya menurunkan volume plasma dan retensi
cairan.

Sedangkan implementasi utama yang dilakukan dari diagnosa


keperawatan Hypervolemia adalah memonitor adanya edema, mengkaji
TTV, dan berkolaborasi pemberian dieuretik, dengan alasan
dilakukannya monitor TTV adalah karena pemeriksaan TTV di tubuh
adalah untuk memberikan petunjuk mengenai penyakit yang sedang
diderita seseorang serta menggambarkan tingkat efektivitas perawatan
yang dijalani, kenapa berkolaborasi pemberian diuretik karena diuretik
merupakan obat yang berfungsi untuk membuang kelebihan garam dan
air dari dalam tubuh melalui urine. Jumlah garam, terutama natrium yang
diserap kembali oleh ginjal akan dikurangi, natrium tersebut akan ikut
membawa cairan yang ada didalam darah, sehingga produksi urine
bertambah. Akibatnya cairan tubuh akan berkurang dan tekanan darah
turun serta edema akan berkurang (Mansjoer, 2017)

Berdasarkan hasil evaluasi yang diperoleh pada tanggal 26 Mei 2020


diperoleh hasil evaluasi S: pasien mengatakan bengkak sudah berkurang
namun masih terasa lemas. O: masih terdapat edema pada ekstremitas bawah,
TD: setelah HD 130/80 mmHg, SpO2: 100%, suhu: 360C, nadi: 88x/mnt. Hb:
13,5gr/dL. A: masalah Hipervolemia berhubungan dengan gangguan
mekanisme regulasi, kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan natrium belum
teratasi P: lanjutkan intervensi Timbang berat badan setiap hari pada
waktu yang sama, Batasi asupan cairan dan garam, Tinggikan kepala
tempat tidur 30-40°, perbaikan klinis tersebut karena hb dapat meningkat
dengan cara meningkatkan asupan zat besi, vitamin B12 dan folat yang
merupakan nutisi yang berperan penting dalam produksi sel darah merah
yang kaya hemoglobin dan Hal tersebut karena dilakukan penanganan
untuk mengganti tugas ginjal dalam tubuh dengan terapi pengganti ginjal
dengan dialisis, dialisis dilakukan dengan mesin yang disebut
hemodialisis alasannya karena dialisis yang dilakukan dalam rongga
perut dengan menggunakan cairan dialisis untuk menyerap cairan atau
limbah yang berlebihan yang disebut continuous ambularory peritoneal
dialysis/ CAPD (Ketut, 2017).

3. Pada diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan


ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Pengertian diagnosa tersebut adalah ketidak cukupan enrgi untuk
melakukan aktivitas sehari-hari yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antar suplai dan kebutuhan oksigen , tirah baring, kelemahan, imobilitas,
dan gaya hidup monoton (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).

Diagnosa ini muncul karena Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah


dilakukan didapatkan data subyektif Tn. S mengatakan badan terasa
lemas dan mudah lelah. Terkadang merasa sesak nafas dan jantung
berdebar-debar ketika berjalan jauh karena memiliki riwayat CHF dan
sudah terpasang 4, saat dihemodialitas Tn.S mengeluh kakinya lemas dan
bengkak dengan didukung adanya data obyektif Saat hemodialisa Tn.S
tampak bedrest dan sering tidur, semua aktivitas pasien dibantu oleh
keluarga dan perawat. RR: 22x/mnt kekuatan otot 5555 3333
5555 5555
maka diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen ditegakkan.

Pada diagnosa yang ketiga yaitu diagnosa intoleransi aktivitas


berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen dengan intervensi utama Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
mengakibatkan kelelahan, Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
(mis. cahaya, suara, kunjungan), intervensi pendukung Anjurkan melakukkan
aktivitas secara bertahap, Identifikasi defisit tingkat aktivitas, libatkan keluarga
dalam melakukan terapi aktivitas dengan rasional pasien dapat melakukan
aktivitas secara bertahap tanpa mengalami kelelahan (Tim Pokja SLKI
DPP PPNI, 2018).

Berdasarkan hasil evaluasi yang diperoleh pada tanggal 26 Mei 2020


diperoleh hasil evaluasi S: pasien mengatakan mampu melakukan aktivitas
mandiri secara bertahap, mampu melakukan latihan fisik tanpa kelelahan. O:
pasien terlihat mmelakukan aktivitas dan tidak bedrest , RR: 22x/mnt, keluarga
ikut terlibat dalam melakukan terapi aktivitas, namun juga melatih pasien untuk
mandiri. Pasien terbaring dengan posisi semifowler saat dilakukan HD. A:
masalah Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen teratasi P: lanjutkan intervensi Fasilitasi
aktivitas fisik rutin (mis. Ambulasi, mobilisasi, dan perawatan diri), sesuai
kebutuhan, Fasilitasi ativitas pengganti saat mengalami keterbatasan waktu,
energi, atau gerak. tidak terdapat kelelahan. Setelah pasien dilakukan
implementasi tersebut maka terjadi perbaikan kondisi. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Darmojo, 2014 hal tersebut terjadi karena
latihan fisik dan jasmani merupakan bagian terpenting untuk memulai
olahraga bagi semua kalangan , tujuannya adalah membentuk kondisi
tubuh sebagai dasar meningkatkan ketahanan, serta untuk meningkatkan
kesegaran jasmani dibutuhkan latihan aktivitas fisik. Olahraga akan
memberikan pengaruh yang baik terhadap berbagai macam sistem yang
bekerja didalam tubuh, salah satunya adalah sistem kardiovaskule,
dimana dengan latihan fisik yang benar dan teratur akan terjadi
efisiensikerja jantung. Efisiensi kerja jantung ataupun kemampuan
jantung akan meningkat sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjad.
Hal tersebut dapat berupa perubahan pada frekuensi jantung, isi
sekuncup, dan curah jantung (Syarifa, 2016).

4. Pada diagnosa keperawatan Gangguan integritas kulit berhubungan dengan


kelebihan volume cairan, sindrom uremia
Pengertian diagnosa tersebut adalah kerusakan kulit (dermis dan/
epidermis) atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia, otot, tendon,
tulang, kartilago, kapsul, sendi, dan/ atau ligamen) yang disebabkan oleh
perubahan sirkulasi perubahan status nutrisi (kelebihan/ kekurang),
kelebihan/ kekurangan volume cairan, neuropati perifer, bahan kimia
iritatif, suhu lingkungan yang ekstreme, dan efek saming radiasi (Tim
Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).
Diagnosa ini muncul karena Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah
dilakukan didapatkan data subyektif Tn. S mengeluhkan punggung gatal-
gatal Berdasarkan pengkajian data objektif hasil pemeriksaan integumen
didapatkan kulit kering, warna hitam, turgor kulit tidak elstis, tampak lesi
pada punggung, hasil pemeriksaan lab Hb: 9gr/dL. Terpasang double
lumen pada area Central Venous Chateter (CVC) di dada kanan. Dengan
didukung adanya data obyektif maka diagnosa keperawatan Gangguan
integritas kulit berhubungan dengan kelebihan volume cairan, sindrom uremia
ditegakkan.
Pada diagnosa yang ke empat yaitu diagnosa Gangguan integritas kulit
berhubungan dengan kelebihan volume cairan, sindrom uremia dengan
intervensi utama Intervensi yang dilakukan Identifikasi penyebab gangguan
integritas kulit (mis. perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan
kelembaban, suhu lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas), lakukan
perawatan luka), anjurkan mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori dan
protein , Anjurkan menggunakan pelembab (mis. lotion, serum), intervensi
pendukung Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi pasien,
kolaborasi pemebrian antibiotic dengan rasional elastisitas meningkat,
kerusakan lapisan kulit menurun, tekstrur membaik. (Tim Pokja SLKI
DPP PPNI, 2018).

Implementasi yang dilakakukan sesuai dengan intervensi keperawatan


oleh perawat pada pasien dengan diagnosa Gangguan integritas kulit
berhubungan dengan kelebihan volume cairan, sindrom uremia saat datang ke
RS untuk menjalani HD adalah mengidentifikasi penyebab gangguan
integritas kulit (mis. perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan
kelembaban, suhu lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas), melakukan
perawatan luka, menganjurkan mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori dan
protein, menganjurkan menggunakan pelembab (mis. lotion, serum) Jadwalkan
perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi pasien, kolaborasi pemebrian
antibiotic. Pemberian implementasi tersebut dengan alasan luka pada
dasarnya menjadi masalah utama penyebab terjadinya infeksi oleh
kuman, pada luka yang penyembuhannya membutuhkan waktu lama
sekitar 3 bulan, dinamakan luka kronik. Luka kronik tersebut terjadi
akibat kondisi seperti diabetes , insufisiensi vaskuler, gangguan nutrisi,
dan berbagai faktor lokak pada luka (tekanan, infeksi, dan edema). Untuk
mengurangi nyeri. Infeksi luka, kehilangan fungsi tubuh, serta beban
finansial akibat upaya penyembuhan luka, berbagai cara dilakukan
dengan penutupan luka/ perawatan luka. Salahsatu perawatan luka kronik
yaitu dengan melakukan debridemen. Proses debridemen membantu
membersihkan luka dari jaringan nekrotik dan bakteri sehingga dasar
luka menjadi bersih. Debridemen memegang peran penting dalam proses
persiapan dasar luka untuk tata laksana luka kronik secara umum guna
membantu penyembuhan luka secara efektif (Patricia, 2018).

Berdasarkan hasil evaluasi yang diperoleh pada tanggal 26 Mei 2020


diperoleh hasil evaluasi S: Pasien mengatakan punggung sudah tidak gatal. O:
sudah tidak terdapat luka pada punggung, kulit masih menghitam, turgor kulit
masih tidak elastis, masih terdapat edema pada ekstremitas bawah, masih
terpasang double lumen pada area Central Venous Chateter (CVC) di
dada kanan A: masalah Gangguan integritas kulit berhubungan dengan
kelebihan volume cairan, sindrom uremia belum teratasi P: lanjutkan
intervensi Gunakan produk berbahan petrolium atau minyak pada kulit kering,
Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering, Anjurkan
meningkatkan asupan nutrisi, Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur.
Masalah belum teratasi karena luka kronik membutuhkan waktu yang lama
untuk penyembuhan, dan harus dilakukan perawatan luka kronik dengan
debridemen secara bertahap, untuk mengembalikan jaringan kulit
menjadi sepereti semula juga membutuhkan waktu yang lama serta
perawatan yang rutin maka dari itu pada diagnosa ini masalah belum
teratasi karena masih terdapatnya luka pada kulit (Patricia, 2018).

5.Pada Diagnosa perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan


konsentrasi hemoglobin
Pengertian diagnosa yaitu penurunan sirkulasi darah pada level kapiler
yang dapat menganggu metabolisme tubuh yang disebabkan oleh
hiperglikemia,penurunan konsentrasi haemoglobin, peningkatan tekanan
darah, kekurangan volume cairan, penurunan aliran arteri dan atau vena,
kurang terpapar informasi tentang paktor pemberat (mis. Merokok, gaya
hidup monoton, trauma, obesitas,asupan garam, imobilitas), kurang
terpapar informasi tentang proses penyakit (mis. Diabetes Melitus,
hiperlipidemia), dan kurang aktivitas, (Tim Pokja SLKI DPP PPNI,
2018).

diagnosa Perfusi perifer tidak efektif muncul karena berdasarkan hasil


pengkajian data subyektif Pasien mengaku menderita diabetes mellitus
dan berobat rutin selama kurang lebih 10 tahun ke belakang, Tn. S
mengeluhkan badan lemas, kaki bengkak sudah lama, dan sering merasa
pusing. Berdasarkan pengkajian data objektif didapatkan dari hasil
pemeriksaan didapatkan kulit kering warna hitam, konjungtiva anemis,
CRT > 2detik, terdapat edema pada kedua kaki, pitting edema +1,
kedalaman 2-3 mm. Turgor kulit tidak elastis, terdapat luka pada
punggung. hasil pemeriksaan lab Hb: 9gr/dL, GDS: 160 gr/dL dengan
didukung data objektif pada saat pemeriksaan Diagnose keperawatan
perfusi perifer tidak efektif ditegakkan.

Pada hal ini disebabkan karena sekresi eritropoetin pada ginjal menurun
sehingga produksi hb turun dan oksihemoglobin turun dan
mengakibatkan perfusi perifer tidak efektif. Menurut penulis penurunan
hb mengakibatkan oksihemoglobin turun, karena oksigen yang terikat
pada hb dan seharusnya dialirkan keseluruh tubuh tidak berjalan sesuai
dengan fungsinya. Ginjal yang terganggu mengakibatkan sekresi
eritropoetin menurun dan produksi hb juga ikut turun sehingga timbullah
masalah perfusi perifer tidak efektif.

Pada diagnosa yang ke lima yaitu diagnosa perfusi perifer tidak efektif
berhubungan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin dengan intervensi
utama Periksa sirkulasi periver (mis. Nadi perifer, edema, pengisian kapiler,
warna, suhu, ankle brachial index) ,Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi
(mis. Diabetes, perokok, orang tua hipertensi dan kadar kolestrol tinggi)
Monitor panas, kemerahan, nyeri atau bengkak pada ekstermitas, Kolaborasi
pemberian analgesik, Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu, Ajarkan
program diet untuk memperbaiki sirkulasi ( mis. Rendah lemak jenuh, minyak
ikam omega 3), Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan
(mis. Raasa sakit yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya
rasa), Lakukan pencegahan infeksi, Lakukan perawatan kaki dan kuku Edukasi
dengan rasional Edema perifer menurun, Kelemahan otot menurun Pengisian
kapiler membaik, Akral membaik, Turgor kulit membaik. (Tim Pokja SLKI
DPP PPNI, 2018).

Implementasi yang dilakakukan sesuai dengan intervensi keperawatan


oleh perawat pada pasien dengan diagnosa perfusi perifer tidak efektif
berhubungan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin saat datang ke RS
untuk menjalani HD adalah memeriksa sirkulasi periver (mis. Nadi perifer,
edema, pengisian kapiler, warna, suhu, ankle brachial index) ,mengidentifikasi
faktor resiko gangguan sirkulasi (mis. Diabetes, perokok, orang tua hipertensi
dan kadar kolestrol tinggi) memonitor panas, kemerahan, nyeri atau bengkak
pada ekstermitas, berkolaborasi pemberian analgesik, Kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika perlu, mengajarkan program diet untuk memperbaiki
sirkulasi ( mis. Rendah lemak jenuh, minyak ikam omega 3), menginformasikan
tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan (mis. Raasa sakit yang tidak
hilang saat istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya rasa), melakukan pencegahan
infeksi, melakukan perawatan kaki dan kuku Edukasi. Pemberian
implementasi tersebut dengan alasan didalam tubuh manusia, darah
mengalir ke seluruh bagian-bagian (organ-organ) tubuh secara terus
menerus untuk menjamin suplai oksigen dan zat-zat nutrien lainnya agar
organ-organ tubuh dapat berjalan berkat pemompa utama yaitu jantung
dan sistem pembuluh darah sebagai alat pengalir/distribusi (smeltzer,
2015).

Berdasarkan hasil evaluasi yang diperoleh pada tanggal 26 Mei 2020


diperoleh hasil evaluasi S: Pasien mengatakan edema berkurang, sudah tidak
lemas, luka pada punggung membaik. O: sudah tidak terdapat luka pada
punggung, kulit masih menghitam, turgor kulit masih tidak elastis, masih
terdapat edema pada ekstremitas bawah, CRT < 2 detik, TD: 130/80 mmHg S:
36oC dan N: 88 kali per menit SpO2:100, Hb: 13,5gr/dL A: masalah
Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi
hemoglobin sudah teratasi P: lanjutkan intervensi Anjurkan berolah raga
rutin, Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar,
Identifikasi penyebab perubahan sensasi, Identifikasi penggunaan alat pengikat,
prosthesis, sepatu, dan pakaian. pada diagnosa Perfusi perifer tidak efektif
masalah teratasi karena luka pada punggung membaik, Hb meningkat,
CRT < 2 detik, pasien sudah tidak merasa lemas, pasien mampu memilih
makanan sesuai diit. Hal tersebut karena dilakukan penanganan untuk
mengganti tugas ginjal dalam tubuh dengan terapi pengganti ginjal
dengan dialisis, dialisis dilakukan dengan mesin yang disebut
hemodialisis alasannya karena dialisis yang dilakukan dalam rongga
perut dengan menggunakan cairan dialisis untuk menyerap cairan atau
limbah yang berlebihan yang disebut continuous ambularory peritoneal
dialysis/ CAPD (Ketut, 2017).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Tujuan Umum
Proses Keperawatan adalah metode Asuhan Keperawatan yang ilmiah,
sistematis, dinamis dan terus-menerus serta berkesinambungan dalam
rangka pemecahan masalah kesehatan pasien/klien, dimulai dari
Pengkajian (Pengumpulan Data, Analisis Data dan Penentuan Masalah)
Diagnosis Keperawatan, Pelaksanaan dan Penilaian Tindakan
Keperawatan (evaluasi). Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan
fungsi ginjal yang bersifat persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan
fungsi ginjal yaitu penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat
digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan berat (Mansjoer, 2017
Penyebab kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis baru
menurut data yang dikumpulkan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) pada tahun 2015 hasilnya yaitu penyakit hipertensi berada pada
urutan pertama sebesar 34%, urutan kedua yaitu diabetes melitus sebesar
27% dan selanjutnya ada glomerulonefritis sebesar 14%, nefropati
obstruksi sebesar 8%, pielonefritis kronik sebesar 6%, ginjal polikistik
sebesar 1%, penyebab yang tidak diketahui sebesar 1% dan penyebab
lainnya sebesar 9%.

2. Tujuan Khusus
a. Pengkajian
Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan
sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan
keperawatan dapat ditentukan. Pengkajian pada pasien dengan
penyakit ginjal kronik didapatkan adanya masalah cairandan perfusi.

b. Diagnosa Keperawatan
Seperti yang dikemukakan beberapa ahli di bab sebelumnya yaitu
terdapat 5 diagnosa keperawatan pada pasien ginjal yaitu,
hypervolemia, perfusi perifer tidak efektif, gangguan integritas kulit,
intoleransi aktivitas, dan berat badan lebih pada hasil analisa data
terdapat kesamaan antara teori dengan nyatanya, pada hasil
pengkajian pasien Tn.S ditemukan 5 diagnosa keperawatan dengan 5
masalah yang sesuai teori yaitu berat badan lebih, hipervolemi,
intoleransi aktivitas , gangguan integritas kulit, perfuji jaringan perifer
tidak efektif , sehingga antara teori dan kasus telah sesuai.
c. Intervensi Keperawatan
Intervensi yang digunakan dalam kasus pada Ny.S, klien disesuaikan
dengan masalah keperawatan yang ditegakkan berdasarkan criteria
tanda dan gejala mayor, minor dan kondisi klien saat ini.
d. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada Tn.S sesuai dengan
intervensi yang telah direncanakan berdasarkan teori yang ada dan
sesuai dengan kebutuhan Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis
e. Evaluasi
Akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang di berikan. Pada evaluasi yang penulis lakukan
pada pasien Tn..S dengan masa perawatan 2 x 4 jam dan dengan 5
masalah keperawatan yaitu berat badan lebih, hipervolemi dan
intoleransi aktivitas, gangguan integritas kulit, dan perfusi perifer
tidak efektis masalah Pasien mengatakan sudah mengetahui cara
melakukan diit dan bersedia menerapkannya dalam sehari-hari, pasien
mengalami penurunan BB, pasien sudah tidak merasakan kelelahan
lagi, edema ekstremitas berkurang, Hb meningkat menjadi 13,5 gr/dL,
konjungtiva tidak anemis, Serta pasien dilakukan dialisis dengan
hemodialisa. Pasien mampu melakukan aktivitas bertahap, aktivitas
dibantu keluarga dan perawat, luka pada punggung sudah membaik
tidak ada infeksi, CRT < 2 detik, pasie merasa nyaman.
f. menganalisa kesenjangan yang terdapat antara teori dan kasus Gagal
Ginjal Kronik
dari pembahasan telah dilakukan analisa kesenjangan teroi dengan
kasus yang didapatkan hasil bahwa terdapat banyak kesenjangan yang
ada didalam teori terhadap kasus Gagal Ginjal Kronik yang menjalani
Hemodialisa tersebut.

C. Saran
a. Bagi Penulis
Penulis diharapkan bisa memberikan tindakan pengelolaan asuhan
keperawatan selanjutnya pada pasien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK)
yang menjalani Hemdodialisa.
b. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa diharapkan meningkatkan informasi dari berbagai sumber lain
tentang asuhan keperawatan dewasa, sehingga dapat memberikan
gambaran kepada pasien tentang mengenal dan merawat kesehatan
tubuhnya.

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2019). Teknik prosedural keperawatan:konsep dan aplikasi kebutuhan


dasar manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Corwin, Elizabeth J. (2016). Buku Saku Patofisiologi.EGC: Jakarta.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2016). Pengantar kebutuhan dasar manusia, aplikasi
konsep dan proses keperawatan, buku 1. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat, A.A.A. (2018). Pengantar kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba
Medika
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder SJ. (2011). Buku ajar fundamental
keperawatan, konsep, proses, & praktik. Jakarta: Penerbit Buku
kedokteran.
Maryunani, A. (2012). Nyeri dalam persalinan teknik dan cara penanganannya.
Jakarta: Trans Info Media.
Muttaqin, Arif. (2018).Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta : Salemba Medika
Mubarak, WI & Chayatin, Nurul. (2015). Buku ajar kebutuhan dasar manusia, teori
& aplikasi dalam praktik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2018). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta:  MediAction.
Patricia A. Potter, Anne G. Perry. (2015). Fundamental Keperawatan Edisi 7 Buku 3.
Jakarta : Salemba Medika.
Alam, Syamsir dan Hadibroto, Iwan. (2017). Gagal Ginjal. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama
Aziz, M. Farid, dkk. (2018). Panduan Pelayanan Medik: Model Interdisiplin
Penatalaksanaan kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal.
Baradero, Mary, dkk. (2015). Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC
Faiz, Omar dan Moffat, David. (2014). Anatomy at a Glance. Jakarta: Penerbit
Erlangga
James, Joyce, dkk. (2018). Prinsip-prinsip Sains untuk Keperawatan. Jakarta:
Penerbit Erlangga
McCloskey, (2018), Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby, US

Price, Sylvia A and Willson, Lorraine M, 2015, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses penyakit, Edisi empat, EGC, Jakarta

Ralph & Rosenberg, (2018), Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2018-
2020, Philadelphia USA

O’Callaghan, Chris. (2015). At A Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta:


Erlangga.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B,.Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (Ed). (2017).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi 4). Jilid II. Jakarta: Pusat
Penerbitan Penyakit Dalam FKUI
Smeltzer, C Suzanne & Bare, G Brenda. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal-
Bedah Brunner&Suddarth, Ed.8, Vol.2. Jakarta: EGC
Suwitra, Ketut. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD
FKUI.
Smeltzer, C Suzanne & Bare, G Brenda. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal-
Bedah Brunner&Suddarth, Ed.8, Vol.2. Jakarta: EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 2. Jakarta: DPP PPN

PATHWAY

Glomerulonefritis kronik, Diabetes melitus


pielonefritis kronik

↑ viskositas darah

↓ukuran ginjal, terbentuknya


Jaringan parut ↓ perfusi ke ginjal

Kerusakan ginjal
↓GFR

Sekresi eritropoetin↓ Gangguan fungsi ginjal berlangsung kronik

Produksi Hb ↓

Anemia kerusakan Glomerulus kerusakan tubulus

Kelemahan umum ↓ jumlah glomerulus terganggunya fungsi


yang berfungsi absorbsi, sekresi, eksresi

Dx.Intoleransi tertimbunnya produk menumpuknya toksik metabolit


Aktivitas hasil metabolisme protein (fosfat, hidrogen, urea, amonia,
dalam darah kreatinin, dsb)

sindrom uremia ↑ vol. vaskuler


Dx. Perfusi Oksigen hemoglobin↓,
perifer tidak Suplai O2 kasar turun terapi pengganti ginjal tekanan hidrostatik↑
efektif
menimbulkan rasa HEMODIALISA edema
haus yang berlebih

kelebihan cairan Azotemia Dx.Hipervolemia

berat badan meningkat efek pada kulit


pruritis

Dx. Berat Badan


Lebih Dx. Gangguan Integritas
Kulit

Anda mungkin juga menyukai