NAMA
NIM
519048
SEMARANG
2020
Laporan kasus ini disusun berdasarkan sistematika penulisan dalam sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar belakang
b. Tujuan penulisan
BAB IV PEMBAHASAN
a. Pengkajian
b. Diagnosa
c. Intervensi
d. Implementasi
e. Evaluasi
BAB V Penutup
a. Simpulan
b. Saran
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif
dan ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit,
sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah) (Smeltzer 2014).
Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu penyakit yang
menjadi masalah besar di dunia. Gagal ginjal kronik merupakan suatu
penyakit yang menyebabkan fungsi organ ginjal mengalami penurunan
hingga akhirnya tidak mampu melakukan fungsinya dengan baik
(Cahyaningsih, 2017). Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah.
Kerusakan ginjal ini mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan
tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh jadi mudah lelah
dan lemas sehingga kualitas hidup pasien menurun (Bruner& Suddarth,2014).
Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa tubuh. Zat
sisa yang menumpuk pada pasien PGK ditarik dengan mekanisme difusi pasif
membran semipermeabel. Hemodialisis dapat mempengaruhi gambaran klinis
penderita PGK, berupa gejala mual muntah, anoreksia, anemia, pruritus,
pigmentasi, kelainan psikis, insomnia, hipertensi, maupun gejala lainnya.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menggambarkan studi kasus pada asuhan
keperawatan pada klien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK).
2. Tujuan Khusus
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat :
a. Mampu menguraikan hasil pengkajian kebutuhan dasar klien dengan
Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.B.
b. Mampu menguraikan masalah keperawatan kebutuhan dasar klien
dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khusunya Tn.B
c. Mampu menguraikan rencana tindakan keperawatan kebutuhan dasar
klien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.B.
d. Mampu menguraikan tindakan keperawatan kebutuhan dasar klien
dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.B.
e. Mampu menguraikan hasil evaluasi kebutuhan dasar klien dengan
Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.B
f. Mampu menganalisa kesenjangan yang terdapat antara teori dan kasus
kebutuhan dasar klien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya
Tn.B.
BAB II
TINJAUAN TEORI
3. Gastrointestinal :
a. Fetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur
diubah oleh bakteri di mulut menjadi ammonia sehingga napas
berbau ammonia. Akibat lain adalah timbulnya stomatitis dan
parotitis
b. Ulserasi dan perdarahan pada mulut
c. Anoreksia, mual, muntah yang berhubungan dengan gangguan
metabolism di dalam usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat
metabolism bakteri usus seperti ammonia dan metil guanidine, serta
sembabnya mukosa usus
d. Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui
e. Konstipasi dan diare
f. Perdarahan dari saluran GI (gastritis erosive, ulkus peptic, dan
colitis uremik)
4. Neurologi :
a. Ensefalopati metabolic. Kelemahan dan keletihan, tidak bias tidur,
gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang
b. Konfusi
c. Disorientasi
d. Kelemahan pada tungkai
e. Rasa panas pada telapak kaki
f. Perubahan perilaku
g. Burning feet syndrome. Rasa kesemutan dan seperti terbakar,
terutama di telapak kaki.
5. Muskuloskleletal :
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Fraktur tulang
d. Foot drop
e. Restless leg syndrome. Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga
selalu digerakkan
f. Miopati. Kelemahan dan hipertrofi otot-otot terutama otot-otot
ekstremitas proksimal.
6. Reproduksi :
a. Atrofi testikuler
b. Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-
laki akibat produksi testosterone dan spermatogenesis yang
menurun. Sebab lain juga dihubungkan dengan metabolic tertentu
(seng, hormone paratiroid). Pada wanita timbul gangguan
menstruasi, gangguan ovulasi sampai amenore
7. Hematologi :
a. Anemia, dapat disebabkan berbagai factor antara lain :
- Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan
eritropoesis pada sumsum tulang menurun.
- Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik.
- Defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain, akibat nafsu makan
yang berkurang.
- Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit
b. Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder
c. Gangguan perfusi trombosit dan trombositopenia. Mengakibatkan
perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit yang berkurang
serta menurunnya factor trombosit III dan ADP (adenosine difosfat).
d. Gangguan fungsi leukosit. Fagositosis dan kemotaksis berkurang,
fungsi limfosit menurun sehingga imunitas juga menurun.
8. Endokrin :
a. Gangguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin<15
mL/menit), terjadi penurunan klirens metabolic insulin
menyebabkan waktu paruh hormone aktif memanjang. Keadaan ini
dapat menyebabkan kebutuhan obat penurun glukosa darah akan
berkurang.
b. Gangguan metabolisme lemak
c. Gangguan metabolisme vitamin D
9. Sistem lain :
a. Tulang: osteodistrofi renal, yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa,
osteosklerosis, dan kalsifikasi metastatic
b. Asidosis metabolic akibat penimbunan asam organic sebagai hasil
metabolisme.
c. Elektrolit : hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia.
3. KLASIFIKASI
Gagal ginjal kronis dibagi menjadi lima stadium berdasarkan laju
penyaringan (filtrasi) glomerulus (Glomerular Filtration Rate = GFR) yang
dapat dilihat pada tabel di bawah ini. GFR normal adalah 90 - 120
mL/min/1.73 m2.
Stadium GFR (ml/menit/1.73m2) Deskripsi
5 Kurang dari 15 Gagal ginjal stadium akhir (End Stage Renal Disease)
4. PATOFISIOLOGI
Pada awal perjalananya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan
penimbunanan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian
ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal,
manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron
sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa
meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya serta mengalami
hipertrofi. Seiring dengan semakin banyaknya nefron yang mati, maka nefron
yang tersisia menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron-nefron
tersebut ikut rusak dan akhirnya mati (Corwin, 2011). Sebagian dari siklus
kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang
ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Seiring dengan penyusutan
progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah
ginjal mungkin berkurang. Pelepasan renin meningkat bersama dengan
kelebihan beban cairan yang menyebabkan hipertensi. Hipertensi akan
mempercepat gagal ginjal (Corwin, 2011).
Pada hipertensi, kenaikan teknan darah yang tinggi akan merusak tunika
intima pembuluh darah yang halus sehingga terjadi penumpukan fibrin dalam
pembuluh darah, oedema lokal, dan pembentukan bekuan darah intravaskuler
(Kowalak, 2013). Ginjal yang rentan terhadap perubahan aliran darah akibat
hipertensi, tidak dapat bekerja dengan baik jika terjadi penurunan aliran darah
yang signifikan. Apabila tekanan darah sistemik meninggi karena stenosis
arteri renalis yang utama atau karena arterosklerosis pada percabangan ginjal
maka akan terjadi hipertensi renovaskuler. Penurunan aliran tekanan darah
menyebabkan ginjal melepaskan renin. Lepasnya enzim renin menyebabkan
vasokontriksi yang lebih kuat pada pembuluh darah di seluruh tubuh,
sehingga terjadi peningkatan lebih lanjut tekanan darah. Siklus ini dapat
menimbulkan kerusakan dan mengakibatkan gagal ginjal, infark mokard,
stroke, dan gagal jantug. (Kowalak, 2013). Diet untuk pasien yang menderita
hipertensi adalah Diet Garam Rendah (Almatsier, 2010). Tujuan Diet Garam
Rendah adalah 17 membantu menghilangkan retensi garam atau air dalam
jaringan tubuh dan menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
(Almatsier, 2010).
Penyebab lain yang mendasarinya yaitu Pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa
(surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan (growth
factor). Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa nefron
sklerosis yang masih tersisa. Proses ini kemudian diikuti dengan penurunan
fungsi nefron yang progresif. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron internal, ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. aktivitas jangka
panjang renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh faktor
pertumbuhan seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal
yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas Chronic
Kidney Disease (CKD) adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis
dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial (Kemenkes RI, 2010).
Pada stadium paling dini Chronic Kidney Disease (CKD), terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan ini basal Laju Filtrasi
Glomelurus (LFG) masih normal atau sudah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
Laju Filtrasi Glomelurus (LFG) sebesar 60%, penderita masih belum
merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum (normal kadar kreatinin serum 0,5-1,5 mg/dl dan ureum
20-40 mg/dl) (Kemenkes RI, 2010).
Sampai pada Laju Filtrasi Glomelurus (LFG) sebesar 30%, mulai terjadi
keluhan pada klien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang
dan penurunan berat badan. Sampai pada Laju Filtrasi Glomelurus (LFG)
dibawah 30%, klien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Klien juga mudah
terjadi infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah
15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan klien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain
dialisis atau transplantasi ginjal (Kemenkes RI, 2010).
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi
dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
b. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
c. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan
memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
d. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan
rasio urin/ serum saring (1 : 1).
e. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan
ginjal.
f. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila
ginjal tidak mampu mengabsorpsi natrium.
g. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
h. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan
warna merah diduga nefritis glomerulus.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis
secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi
kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
6. PENATALAKSANAAN
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
menurut Suwitra (2017) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/mn/1,73m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi
perburukan (progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂15 Terapi pengganti ginjal
Zat-zat tersebut dapat berupa zat yang terlarut dalam darah, seperti toksin
ureum dan kalium, atau zat pelarutnya, yaitu air atau serum darah
(Suwitra, 2016). Proses pembersihan ini hanya bisa dilakukan diluar
tubuh, sehingga memerlukan suatu jalan masuk ke dalam aliran darah,
yang disebut sebagai vascular access point (Novicky, 2017).
2. Mekanisme Hemodialisis
Prinsip dari Hemodialisis adalah dengan menerapkan proses osmotis dan
ultrafiltrasi pada ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme
tubuh. Pada hemodialisis, darah dipompa keluar dari tubuh lalu masuk
kedalam mesin dialiser (yang berfungsi sebagai ginjal buatan) untuk
dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi dan ultrafiltrasi oleh
cairan khusus untuk dialisis (dialisat). Tekanan di dalam ruang dialisat lebih
rendah dibandingkan dengan tekanan di dalam darah, sehingga cairan, limbah
metabolik dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui selaput dan
masuk ke dalam dialisat. Proses hemodialisis melibatkan difusi solute (zat
terlarut) melalui suatu membrane semipermeable. Molekul zat terlarut (sisa
metabolisme) dari kompartemen darah akan berpindah kedalam kompartemen
dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati membran
semipermiabel demikian juga sebaliknya. Setelah dibersihkan, darah dialirkan
kembali ke dalam tubuh (Permadi, 2011).
Mesin hemodialisis (HD) terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan
dialisat, dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah
dari tempat tusukan vaskuler ke alat dialiser. Dialiser adalah tempat dimana
proses HD berlangsung sehingga terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam
darah dan dialisat. Sedangkan tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya
darah dari tubuh penderita menuju dialiser dan selanjutnya kembali lagi
ketubuh penderita. Kecepatan dapat di atur biasanya diantara 300-400
ml/menit. Lokasi pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan arteri
dan monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-39 C
sebelum dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat yang terlalu rendah
ataupun melebihi suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi. Sistem
monitoring setiap mesin HD sangat penting untuk menjamin efektifitas proses
dialisis dan keselamatan (Permadi, 2011).
Pada saat proses Hemodialisis, darah kita akan dialirkan melalui sebuah
saringan khusus (Dialiser) yang berfungsi menyaring sampah metabolisme
dan air yang berlebih. Kemudian darah yang bersih akan dikembalikan
kedalam tubuh. Pengeluaran sampah dan air serta garam berlebih akan
membantu tubuh mengontrol tekanan darah dan kandungan kimia tubuh jadi
lebih seimbang.
3. Prinsip Hemodialisa
a. Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik
biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut
memiliki akses temporer seperti vascoth.
b. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan
kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
c. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan
pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang
konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi
tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan pemindahan zat pelarut
yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.
d. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan
mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan
tersebut.
e. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi
artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga
tipe dari tekanan dapat terjadi pada membrane :
1) Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan
dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser
dan resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan
positip “mendorong” cairan menyeberangi membrane.
2) Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar
membrane oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative
“menarik” cairan keluar darah.
3) Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut.
Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari
larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan
membrane permeable terhadap air.
4. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat hemodialisis, antara lain:
a. Hipotensi
Dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli udara
Jarang terjadi, namun bisa terjadi akibat udara yang memasuki sistem
vaskular pasien.
c. Nyeri dada
Terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sikulasi di
luar tubuh.
d. Pruritus
Selama terapi adanya produk akhir metabolisme yang tersisa di dalam
kulit
e. Gangguan keseimbangan dialisis
Akibat perpindahan cairan cerebral dan muncul sebagai serangan
kejang, berpotensi besar jika terdapat uremia yang berat.
f. Malnutrisi
Akibat kontrol diet dan kehilangan nutrient selama hemodialisa.
g. Fatigue dan kram
Pasien dapat mengalami kecapean akibat hipoksia yang disebabkan
edema pulmoner. Hipoksia pulmoner terjadi akibat retensi cairan dan
sodium.
2. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi
dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
b. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
c. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan
memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
d. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan
rasio urin/ serum saring (1 : 1).
e. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan
ginjal.
f. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal
tidak mampu mengabsorpsi natrium.
g. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
h. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan
warna merah diduga nefritis glomerulus.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis
secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi
kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hypervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi,
kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan natrium
2. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi
hemoglobin
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelebihan volume cairan,
sindrom uremia.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
5. Berat badan lebih berhubungan dengan gangguan genetik, faktor keturunan,
hipotiroid, diabetes melitus maternal
4. RENCANA KEPERAWATAN
No. Diagnosa (SDKI) Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi (SIKI)
(SLKI)
1. D.0022 L.03020 I.03114 Manajemen
Hipervolemia Hipervolemia
Keseimbangan Cairan
berhubungan
Ekspektasi: meningkat Kriteria Observasi
dengan gangguan
hasil:
mekanisme 1. Periksa tanda dan gejala
regulasi, 1. Asupan cairan meningkat hipervolemia (mis. Ortopnea,
kelebihan asupan 2. Haluaran urin meningkat dispnea, edema, JVP/CVP
cairan, kelebihan 3. Kelembaban membran meningkat, refleks
asupan natrium. mukosa meningkat hepatojugular positif, suara npas
4. Asupan makanan tambahan)
meningkat 2. Identifikasi penyebab
Gejala dan tanda 5. Edema menurun hipervolemia
mayor Subjektif: 6. Dehidrasi menurun 3. Monitor status hemodinamik
1. Ortopnea 7. Asites menurun (mis. frekuensi jantung, tekanan
8. Konfusi menurun darah, MAP, CVP, PAP,
2. Dispnea
9. Tekanan darah membaik PCWP, CO, CI), jika tersedia
3. Paroxysmal 10.Denyut nadi radial 4. Monitor intake dan output
nocturnal dyspnea membaik cairan
(PND) 11.Tekanan arteri ratarata 5. Monitor tanda hemokonsentrasi
membaik (mis. kadar natrium, BUN,
Objektif:
12.Membran mukosa hematokrit, berat jenis urine)
1. Edema anasarka membaik 6. Monitor tanda peningkatan
dan/atau edema 13.Mata cekung membaik tekanan onkotik plasma (mis.
perifer 14.Turgor kulit membaik kadar protein dan albumin
15.Berat badan membaik meningkat)
2. Berat badan
7. Monitor keceptan infus secara
meningkat dalam
ketat
waktu singkat
8. Monitor efek samping diuretik
positif) Observasi
Observasi
aktivitas Observasi
3. Gambaran EKG
1. Identifikasi defisit tingkat
menunjukkan
aktivitas
iskemia
2. Identifikasi kemampuan
4. Sianosis
berpartisipasi dalam aktivitas
tertentu
3. Identifikasi sumber daya untuk
aktivitas yang diinginkan
4. Identifikasi strategi
meningkatkan partisipasi dalam
aktivitas
5. Identifikasi makna aktivitas
rutin (mis. bekerja) dan waktu
luang
6. Monitor respons emosional,
fisik, sosial, dan spiritual
terhadap aktivitas Terapeutik
7. Fasilitasi fokus pada
kemampuan, buka defisit yang
dialami
8. Sepakati komitmen untuk
meningkatkan frekuensi dan
rentang aktivitas
9. Fasilitasi memilih aktivitas dan
tetapkan tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai kemampuan
fisik, psikologis, dan sosial
10.Koordinasikan pemilihan
aktivitas sesuai usia
11.Fasilitasi makna aktivitas yang
dipilih
12.Fasilitasi transportasi untuk
menghadiri aktivitas, jika sesuai
13.Fasilitasi pasien dan keluarga
dalam menyesuaikan
lingkungan untuk
mengakomodasi aktivitas yang
dipilih
14.Fasilitasi aktivitas fisik rutin
(mis. Ambulasi, mobilisasi, dan
perawatan diri), sesuai
kebutuhan
15.Fasilitasi ativitas pengganti saat
mengalami keterbatasan waktu,
energi, atau gerak
16.Fasilitasi aktivitas motorik kasar
untuk pasien hiperaktif
17.Tingkatan aktivitas fisik untuk
memelihara berat badan, jika
sesuai
18.Fasilitasi aktivitas motorik
untuk merelaksasi otot
19.Fasilitasi aktivitas dengan
komonen memori implisit dan
emosional (mis. kegiatan
keagamaan khusus) untuk
pasien demensia
20.Libatkan dalam permainan
kelompok yang tidak
kompetitif, terstruktur, dan aktif
21.Tingkatkan keterlibatan dalam
aktivitas rekreasi dan
diversifikasi untuk menurunkan
kecemasan (mis. vocal group,
bola voli, tenis meja, jogging,
berenang, tugas sederhana,
permainan sederhana, tugas
rutin, tugas rumah tangga,
perawatan diri, dan teka-teki
dan kartu)
22.Libatkan keluarga dalam
aktivitas, jika perlu
23.Fasilitasi mengembangkan
motivasi dan penguatan diri
24.Fasilitasi pasien dan keluarga
memantau kemajuannya sendiri
untuk mencapai tujuan
25.Jadwalkan aktvitas dalam
rutinitas seharihari
26.Berikan penguatan positif atas
partisipasi dalam aktivitas
Edukasi
27.Jelaskan metode aktivitas fisik
sehari-hari, jika perlu
28.Ajarkan cara melakukan
aktivitas yang dipilih
29.Anjurkan melakukan aktivitas
fisik, sosial, spiritual, dan
kognitif dalam menjaga fungsi
dan kesehatan
30.Anjurkan terlibat dalam
aktivitas kelompok atau terapi,
jika sesuai
31.Anjutkan keluarga untuk
memberi penguatan positif atas
partisipasi dalam aktivitas
Kolaborasi
32.Kolaborasi dengan terapi
okupasi dalam merencanakan
dan memonitor program
aktivitas, jika sesuai
33.Rujuk pada pusat atau program
aktivitas komunitas, jika perlu
5. D.0018 Berat Badan L. Berat Badan lebih I. Edukasi diet
lebih berhubungan
Ekspektasi: meningkat Kriteria Observasi
dengan gangguan
hasi 1. identifikasi kemampuan pasien
genetik, faktor
1. berat badan membaik dan keluarga menerima
keturunan,
2. tebal lipatan kulit membaik informasi
hipotiroid, diabetes
3. indeks masa tubuh 2. identifikasi tingkat penegtahuan
melitus maternal
membaik saat ini
Gejala dan tanda 3. identifikasi kebiasaan pola
mayor makan saat ini
4. identifikasi persepsi pasien dan
Subjektif:-
keluarga tentang diet yang
Objektif : diprogramkan
terapeutik
a. IMT > 25 kg/m2
1. persiapkan materi, media, dan
(pada dewasa) atau alat peraga
berat dan 2. jadwalkan waktu yang tepat
panjangbadan lebih untuk memberikan pendidikan
dari persentil 95 ( pada kesehatan
anak < 2 tahun) atau 3. berikan kesempatan pasien dan
IMT pada presentil ke keluarga bertanya
85-95 (pada anak 2-8 edukasi
tahun) 1. jelaskan tujuan kepatuhan diet
terhadap kesehtan
Gejala dan tanda
2. informasikan makanan yang
minor
diperbolehkan dan dilaranag
Subjektif: - 3. anjurkan mempertahankan
posisi semi Fowler (20-45
Objektif:
derajat) 20-30menit setelah
a. tebal lipatan kulit makan
trisep > 25 mm 4. anjurkan mengganti makanan
sesuai dengan diet yang
diprogramkan
5. anjurkan melakukan olahraga
sesuai toleransi
6. anjurkan cara merencanakan
makanan yang sesuai program
kolaborasi
1. rujuk ke ahli gizi dan sertakan
keluarga, jika perlu
I. manajemen Nutrisi
Observasi
1. identifikasi status nutrisi
2. monitor asupan makanan
3. monitor berat badan
4. monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
terapeutik
1. lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika perlu
2. fasilitasi menentukan
pedoman diet ( mis.
Piramida makanan)
3. berikan makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
edukasi
1. anjurkan posisi duduk, jika
mampu
2. ajarkan diet yang
diprogramkan
kolaborasi
1. kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
2. kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kaloridan jenis nutrien
yangdibutuhkan, jika perlu
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Kasus
Ny. S yang berusia 71 tahun, pasien beragama islam, pasien merupakan
seorang ibu rumah tangga, pasien mengalami Chronic Kidney Disease (CKD)
grade V dan harus menjalani hemodialisa seminggu 2 kali yaitu hari Rabu dan
Sabtu. Pasien sudah menjalani HD selama ± 1½ tahun. Pada saat dilakukan
pengkajian pasien mengeluh badan lemas dan didapatkan data keadaan umum
pasien yaitu kesadaran composmentis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 15
yaitu E4M6V5. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 150/80
mmHg, suhu 36oC, pernapasan 20x/menit, irama reguler, nadi 80x/menit.
Pemeriksaan antropometri didapatkan hasil tinggi badan 160 cm, berat badan
62 kg, dengan status gizi berat badan berlebih. Hasil pemeriksaan fisik pada
pasien diapatkan konjungtiva anemis, pada ekstremitas kiri atas terpasang AV
shunt, terlihat kemerahan. Terdapat edema pada ekstremitas atas dengan pitting
edema derajat 2.
Hasil pemeriksaan fisik head to toe didapatkan keadaan umum pasien yaitu
kesadaran composmentis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 15 yaitu
E4M6V5. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 150/80 mmHg,
suhu 36oC, pernapasan 20x/menit, irama reguler, nadi 80x/menit. Pemeriksaan
antropometri didapatkan hasil tinggi badan 160 cm, berat badan 63 kg, I.M.T
24,6 kg/m2 dengan status gizi berat badan berlebih. Selain itu didapatkan data
abnormal yaitu pada mata konjungtiva anemis. Pemeriksaan ekstremitas atas
dan bawah terdapat edema pada tangan atas dan pergelangan kaki dengan
derajat pitting edema +1 dan waktu kembali 3 detik. Pemeriksaan kulit
didapatkan kulit kering, warna kulit pucat, CRT <3 detik
Pada pengkajian 11 pola Gordon didapatkan data abnormal pada status nutrisi
dan metabolik yaitu pasien mengatakan makan 3x sehari dengan nasi, lauk dan
sayuran. Pasien mengatakan menyukai makanan yang asin. Pasien
mengkonsumsi teh dan air putih ±350 ml, namun berat badan bertambah 2 kg
dalam 3 hari. Saat dilakukan hemodialisa pasien hanya makan camilan dan
minum segelas teh. Pasien mengatakan nafsu makan menurun. A: BB 63 kg,
TB: 160 cm, IMT: 24,6 kesimpulan berat badan berlebih, B: hemoglobin 9
g/dl, C: turgor kulit kering, lemas, D: rendah protein dan natrium.
Pada eliminasi pada saat dirumah pasien mengatakan BAB 1x/hari, konsistensi
lembek berwarna kecoklatan, BAK tidak lancar, hanya keluar sedikit-sedikit
sekitar 350-400 ml/hari, warna urin kuning pekat, sedangkan saat dirumah sakit
pasien mengatakan tidak BAB dan BAK selama menjalani hemodalisa. Intake
sisa priming
Pada aktivitas dan latihan dirumah Ny. S mengatakan badan terasa lemas. Jika
pasien mengalami bengkak pada kaki sampai sulit untuk berjalan, aktivitas
pasien dibantu oleh keluarga. Sedangkan saat dirumah sakit pasien mengatakan
badan lemas dan hanya tiduran selama hemodialisa. Aktivitas pasien seperti
mandi, BAK, BAB, berpakaian serta mobilisasi harus selalu dibantu oleh
keluarga dan perawat.
Pada pengkajian 11 pola Gordon didapatkan data abnormal pada status nutrisi
dan metabolik yaitu pasien mengatakan makan 3x sehari dengan nasi, lauk dan
sayuran. Pasien mengatakan menyukai makanan yang asin. Pasien
mengkonsumsi teh dan air putih ±350 ml, namun berat badan bertambah 2 kg
dalam 3 hari. Saat dilakukan hemodialisa pasien hanya makan camilan dan
minum segelas teh. Pasien mengatakan nafsu makan menurun. A: BB 63 kg,
TB: 160 cm, IMT: 24,6 kesimpulan berat badan berlebih, B: hemoglobin 9
g/dl, C: turgor kulit kering, lemas, D: rendah protein dan natrium.
Pada eliminasi pada saat dirumah pasien mengatakan BAB 1x/hari, konsistensi
lembek berwarna kecoklatan, BAK tidak lancar, hanya keluar sedikit-sedikit
sekitar 350-400 ml/hari, warna urin kuning pekat, sedangkan saat dirumah sakit
pasien mengatakan tidak BAB dan BAK selama menjalani hemodalisa. Intake
sisa priming
Pada aktivitas dan latihan dirumah Ny. S mengatakan badan terasa lemas. Jika
pasien mengalami bengkak pada kaki sampai sulit untuk berjalan, aktivitas
pasien dibantu oleh keluarga. Sedangkan saat dirumah sakit pasien mengatakan
badan lemas dan hanya tiduran selama hemodialisa. Aktivitas pasien seperti
mandi, BAK, BAB, berpakaian serta mobilisasi harus selalu dibantu oleh
keluarga dan perawat.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah dilakukan didapatkan
DS : Pasien mengeluh badan lemas, pasien mengatakan makan 3x sehari
dengan nasi, lauk dan sayuran. Pasien mengatakan menyukai makanan
yang asin. Pasien mengkonsumsi teh dan air putih ±350 ml, namun berat
badan bertambah 2 kg dalam 3 hari.
DO : Saat dilakukan hemodialisa pasien hanya makan camilan dan minum
segelas teh, Hasil pemeriksaan Antropometri A: BB 63 kg, TB: 160 cm,
IMT: 24,6 kesimpulan berat badan berlebih, B: hemoglobin 9 g/dl, C:
turgor kulit kering, lemas, D: rendah protein dan natrium.
Sehingga penulis dapat menegakkan diagnosa keperawatan Berat badan
berlebih berhubungan dengan gangguan genetik.
3) Intervensi Keperawatan
a. Pada diagnosa Berat badan berlebih berhubungan dengan gangguan
genetik. ditandai dengan IMT: 24,6 kg/m2 kesimpulan berat badan
berlebih, adanya peningkatan berat badan 2 kg dalam waktu 3 hari
diharapakan masalah teratasi dengan intervensi manajemen berat badan,
edukasi diet, manajemen nutrisi
3. Implementasi
a. Pada pengelolaan pasien pada saat datang ke RS untuk menjalani HD
didapatkan hasil Pasien mengatakan pasien mengeluh badan lemas,
pasien mengatakan makan 3x sehari dengan nasi, lauk dan sayuran.
Pasien mengatakan menyukai makanan yang asin. Pasien
mengkonsumsi teh dan air putih ±350 ml, namun berat badan
bertambah 2 kg dalam 3 hari. Saat dilakukan hemodialisa pasien hanya
makan camilan dan minum segelas teh, Hasil pemeriksaan
Antropometri A: BB 63 kg, TB: 160 cm, IMT: 24,6 kesimpulan berat
badan berlebih, B: hemoglobin 9 g/dl, C: turgor kulit kering, lemas, D:
rendah protein dan natrium. pasien mendapatkan terapi obat Amlodipin
1 x 10 mg dan B complex 5 mg 1 x 1, dilakukann tindakan
memanajemen berat badan, mengedukasi diet, memanajemen nutrisi
b. Pada pengelolaan pasien diagnosa kedua pasien mengeluh badan lemas,
BAK tidak lancar, hanya keluar sedikit-sedikit warna urin kuning pekat.
hasil Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah terdapat edema pada
tangan atas dan pergelangan kaki dengan derajat pitting edema +1 dan
waktu kembali 3 detik. Pemeriksaan kulit didapatkan kulit kering,
warna kulit pucat, CRT <3 detik, pemeriksaan fisik pada pasien
diapatkan konjungtiva anemis, Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal
24 April 2019 yaitu hemoglobin: 9 g/dL (L). Kemudian pasien
dilakukan tindakan memonitor TTV, memeriksa tanda dan gejala
hipervolemi (mis. Ortopnea, dipsnea, edema, suara napas tambahan),
mengidentifikasi penyebab hipervolemi, memonitor intake dan output
cairan, berkolaborasi dengan dokter pemberian diuretic selama
menjalani Hemodialisa.
c. Pada pengelolaan pasien diagnosa ke tiga Ny. S mengatakan badan
terasa lemas. Jika pasien mengalami bengkak pada kaki sampai sulit
untuk berjalan, aktivitas pasien dibantu oleh keluarga. Sedangkan saat
dirumah sakit pasien mengatakan badan lemas dan hanya tiduran
selama hemodialisa. Aktivitas pasien seperti mandi, BAK, BAB,
berpakaian serta mobilisasi harus selalu dibantu oleh keluarga dan
perawat. Kemudian pasien dilakukan tindakan mengidentifikasi gangguan
fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan, menyediakan lingkungan
nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara, kunjungan), menganjurkan
melakukkan aktivitas secara bertahap, menidentifikasi defisit tingkat aktivitas,
melibatkan keluarga dalam melakukan terapi aktivitas.
4. Evaluasi
Berdasarkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada klien Ny.S yang
dilakukan pada tanggal 18 Mei 2020, diperoleh hasil evaluasi, masalah
Berat badan berlebih teratasi karena pasien mengalami sedikit penurunan
berat badan 0,50 kg setelah menjalani HD, pasien sudah mengetahui
bagaimana cara mengatasinya dan cara melakukan diit yang sesuai. Pasien
mengatakan akan mengurangi makanan asin dan teh.
Pada maslaah keperawatan Hipervolemia belum teratasi karena masih terdapat
edema pada ekstremitas, edema dan status hidrasi pada pasien belum
sepenuhnya maksimal akibat dari fungsi ginjal yang sudah menurun.
Sedangkan pada diagnosa Intoleransi Aktivitas masalah teratasi pasien
mampu melakukkan aktivitas secara bertahap, keluarga ikut terlibat dalam
melakukan terapi aktivitas, namun juga melatih pasien untuk mandiri. Pasien
terbaring dengan posisi semifowler setelah dilakukan HD.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pengkajian
Pada tahap pengkajian penulis mengacu pada format yang telah disediakan,
format pengkajian yang tidak jauh berbeda dengan format yang ada pada
tinjauan teoritis. Dalam pengumpulan data, penulis melakukan pengkajian
secara komprehensif yang mengacu pada tinjauan teoritis yang meliputi aspek
bio, psiko, sosio, dan spiritual yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi
klien. Data hasil pengkajian penulis didapatkan dari hasil wawancara dengan
klien dan keuarga, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan diagnostik, catatan
medis, catatan keperawatan, serta bekerja sama dengan perawat ruangan, dan
tim kesehatan lainnya yang mendukung pengkajian.
Hal ini sesuai dengan teori Suhardjono (2019), yang menyatakan bahwa
anemia terjadi pada 80-90% pasien PGK, terutama bila sudah mencapai
stadium III. Anemia terutama disebabkan oleh defisiensi Erythropoietic
Stimulating Factors (ESF). Kemudian menurut National Kidney Foundation
(2012), dalam keadaan normal 90% eritropoietin (EPO) dihasilkan di ginjal
tepatnya oleh juxtaglomerulus dan hanya 10% yang diproduksi di hati.
Eritropoietin mempengaruhi produksi eritrosit dengan merangsang
proliferasi, diferensiasi dan maturasi prekursor eritroid. Keadaan anemia ini
terjadi karena defisiensi eritropoietin yang dihasilkan oleh sel peritubular
sebagai respon hipoksia lokal akibat pengurangan parenkim ginjal fungsional.
Lalu menurut Sukandar (2016), faktor lain yang dapat menyebabkan anemia
pada PGK adalah defisiensi besi defisiensi besi, defisiensi vitamin, penurunan
masa hidup eritrosit yang
mengalami hemolisis, dan akibat perdarahan. Tanda dan gejala yang
ditunjukkan antara lain lemas, kelelahan, sakit kepala, masalah dengan
konsentrasi, pucat, pusing, kesulitan bernapas atau sesak napas, dan nyeri
dada.
Menurut penulis, antara teori dan pengkajian yang didapatkan pada pasien
sesuai, karena tanda dan gejalanya sama, antara lain pasien yang merasa
lemas, kulit pucat, sering pusing, dan juga data tambahan yaitu capillary refill
time (CRT)> 2detik serta konjungtiva anemis yang biasanya paling awal
diperiksa untuk menentukan apakah pasien memiliki kemungkinan anemia
atau tidak.
Menurut Smeltzer& Bare (2015) yaitu tanda dan gejala pasien dengan
penyakit ginjal seperti kelemahan dan keletihan, konfusi, kelemahan pada
tungkai, rasa panas pada kaki, kram otot, kekuatan otot menurun/hilang,
fraktur tulang, dan foot drop. Menurut penulis tanda dan gejala tersebut
muncul pada pasien dengan penyakit ginjal karena kurangnya pergerakan
karena takut akan terjadi sesak napas, mengalami kelemahan sehingga
muncul tanda dan gejala yang sesuai dengan fakta dan teori.
B. Diagnosa Keperawatan
Setelah proses pengumpulan data dan analisa sesuai dengan masalah yang
ditentukan, maka penulis merumuskan diagnosa keperawatan berdasarkan
data-data tersebut. Dari hasil analisa data maka didapatkan tiga diagnosa yang
muncul di kasus :
1. Berat badan lebih berhubungan dengan gangguan genetik.
Pengertian dari diagnosa diatas yaitu akumulasi lemak berlebih atau
abnormal yang tidak sesuai dengan usia dan jenis kelamin yang
disebabkan karena kurang aktivitas fisik, kelebihan konsumsi gula,
gangguan kebiasaan makan, penggunaan energi kurang dari asupan,
sering ngemil, sering makan makanan berminyak/berlemak, dan faktor
keturunan (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).
B. Intervensi
Kesenjangan dalam intervensi tinjauan teoritis dan tinjauan kasus adalah
penulis tidak menuliskan semua intervensi yang dilakukan penulis, yang ada
pada tinjauan teoritis. Hal ini karena intervensi yang dilakukan penulis,
berdasarkan kebutuhan dasar serta kondisi klien saat ini.
C. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan tahap keempat setelah perencanaan. Dalam tahap
ini, penulis melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana tindakan yang
telah ditetapkan. Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan
memperhatikan keadaan dan kondisi klien saat itu. Implementasi utama yang
dilakukan dari diagnosa Berat badan lebih berhubungan dengan gangguan
genetik adalah memanajemen berat badan, mengedukasi diet dengan penkes,
memanajemen nutrisi, dan berkolaborasi denagn ahli gizi untuk pemberian
diit rendah garam Pemberian implementasi tersebut dengan alasan karena
Diet adalah pengaturan pola makan dan menu makanan. Diet bagi penderita
ginjal bertujuan untuk menyeimbangkan kadar elektrolit, mineral, dan cairan
di dalam tubuh agar meringankan beban kerja ginjal yang telah mengalami
kerusakan dan penurunan fungsi. Penderita gagal ginjal membutuhkan
pengaturan makan khusus, karena organ ginjalnya tidak lagi bisa
mengeluarkan zat-zat sisa dan racun dari dalam tubuh. Pengaturan diet gagal
ginjal biasanya akan dilakukan oleh dokter spesialis gizi. Tujuan diet ini
adalah agar ginjal tidak semakin rusak dan tidak terjadi komplikasi akibat
gagal ginjal, misalnya penyakit jantung atau edema paru (Marry, 2015).
Maka dilakukan pemebrian intervensi dengan penkes diit GGK supaya pasien
mengetahui cara diet dengan benar serta menerapkannya dalam
kesehariannya.
D. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan dan bertujuan untuk
menentukan berbagai respon pasien terhadap intervensi keperawatan yang
sudah disusun dan sebatas mana tujuan-tujuan yang di rencanakan sudah
tercapai (Smeltzer & Bare, 2013).
Berdasarkan hasil evaluasi pada klien Ny.S yang dilakukan HD pada tanggal
18 Mei 2020, diperoleh hasil evaluasi diagnosa Berat badan lebih
berhubungan dengan gangguan genetik teratasi karena pasien mengalami
sedikit penurunan berat badan 0,50 kg setelah menjalani HD, pasien sudah
mengetahui bagaimana cara mengatasinya dan cara melakukan diit yang
sesuai. Pasien mengatakan akan mengurangi makanan asin dan teh.
A. Kesimpulan
1. Tujuan Umum
Proses Keperawatan adalah metode Asuhan Keperawatan yang ilmiah,
sistematis, dinamis dan terus-menerus serta berkesinambungan dalam
rangka pemecahan masalah kesehatan pasien/klien, dimulai dari
Pengkajian (Pengumpulan Data, Analisis Data dan Penentuan Masalah)
Diagnosis Keperawatan, Pelaksanaan dan Penilaian Tindakan
Keperawatan (evaluasi). Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan
fungsi ginjal yang bersifat persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan
fungsi ginjal yaitu penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat
digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan berat (Mansjoer, 2017
Penyebab kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis baru
menurut data yang dikumpulkan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) pada tahun 2015 hasilnya yaitu penyakit hipertensi berada pada
urutan pertama sebesar 34%, urutan kedua yaitu diabetes melitus sebesar
27% dan selanjutnya ada glomerulonefritis sebesar 14%, nefropati
obstruksi sebesar 8%, pielonefritis kronik sebesar 6%, ginjal polikistik
sebesar 1%, penyebab yang tidak diketahui sebesar 1% dan penyebab
lainnya sebesar 9%.
2. Tujuan Khusus
d. Pengkajian
Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan
sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan
keperawatan dapat ditentukan. Pengkajian pada pasien dengan
penyakit ginjal kronik didapatkan adanya masalah cairandan perfusi.
e. Diagnosa Keperawatan
Seperti yang dikemukakan beberapa ahli di bab sebelumnya yaitu
terdapat 5 diagnosa keperawatan pada pasien ginjal yaitu,
hypervolemia, perfusi perifer tidak efektif, gangguan integritas kulit,
intoleransi aktivitas, dan berat badan lebih namun pada hasil analisa
data terdapat kesenjangan antara teori dengan nyatanya, pada hasil
pengkajian pasien Ny.S ditemukan 3 diagnosa keperawatan dengan 3
masalah yang sesuai teori yaitu berat badan lebih, hipervolemi,
intoleransi aktivitas sedangkan maslaah intoleransi aktivitas tidak
sesuai dengan teori.
f. Intervensi Keperawatan
Intervensi yang digunakan dalam kasus pada Ny.S, klien disesuaikan
dengan masalah keperawatan yang ditegakkan berdasarkan criteria
tanda dan gejala mayor, minor dan kondisi klien saat ini.
g. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada Ny.S sesuai dengan
intervensi yang telah direncanakan berdasarkan teori yang ada dan
sesuai dengan kebutuhan Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis
h. Evaluasi
Akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang di berikan. Pada evaluasi yang penulis lakukan
pada pasien Ny.S dengan masa perawatan 2 x 4 jam dan dengan 3
masalah keperawatan yaitu berat badan lebih, hipervolemi dan
intoleransi aktivitas, masalah teratasi Pasien mengatakan sudah
mengetahui cara melakukan diit dan bersedia menerapkannya dalam
sehari-hari, pasien mengalami penurunan BB, pasien sudah tidak
merasakan kelelahan lagi, edema ekstremitas berkurang, Hb
meningkat menjadi 12,5 gr/dL, konjungtiva tidak anemis, Serta pasien
dilakukan dialisis dengan hemodialisa. Pasien mampu melakukan
aktivitas bertahap, aktivitas ddibantu keluarga dan perawat.
i. menganalisa kesenjangan yang terdapat antara teori dan kasus Gagal
Ginjal Kronik
dari pembahasan telah dilakukan analisa kesenjangan teroi dengan
kasus yang didapatkan hasil bahwa terdapat banyak kesenjangan yang
ada didalam teori terhadap kasus Gagal Ginjal Kronik yang menjalani
Hemodialisa tersebut.
C. Saran
a. Bagi Penulis
Penulis diharapkan bisa memberikan tindakan pengelolaan asuhan
keperawatan selanjutnya pada pasien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK)
yang menjalani Hemdodialisa.
b. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa diharapkan meningkatkan informasi dari berbagai sumber lain
tentang asuhan keperawatan dewasa, sehingga dapat memberikan
gambaran kepada pasien tentang mengenal dan merawat kesehatan
tubuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ralph & Rosenberg, (2018), Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2018-
2020, Philadelphia USA
Hipertensi,
↑volume darah ke ginjal
↓ukuran ginjal, terbentuknya
Jaringan parut ginjal tidak mampu menyaring
darah yang terlalu banyak
Kerusakan ginjal
↓GFR
Produksi Hb ↓