Anda di halaman 1dari 66

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. S DENGAN GAGAL


GINJAL KRONIK (GGK)

NAMA

KHOIRUL HIDAYAH NUR FITRI PUJI RAHAYU

NIM

519048

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TELOGOREJO

SEMARANG

2020
Laporan kasus ini disusun berdasarkan sistematika penulisan dalam sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar belakang
b. Tujuan penulisan

BAB II TINJAUAN TEORI


a. Konsep Laporan Pendahuluan
b. Konsep Hemodialisis
c. Konsep Asuhan Keperawatan

BAB III TINJAUAN KASUS


Resume asuhan keperawatan dengan pasien Gagal Ginjal
Kronik

BAB IV PEMBAHASAN
a. Pengkajian
b. Diagnosa
c. Intervensi
d. Implementasi
e. Evaluasi

BAB V Penutup
a. Simpulan
b. Saran
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah


dengan mencegah menumpuknya limbah serta mengendalikan keseimbangan
cairan dalam tubuh, menjaga keseimbangan elektrolit seperti sodium,
potassium, dan fosfat tetap stabil, serta memproduksi hormone dan enzim
yang membantu dalam mengendalikan tekanan darah, membuat sel darah
merah dan menjaga tulang tetap kuat.(Infodatin, 2017)

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat


global dengan prevalensi dan insiden gagal ginjal yang meningkat, prognosis
yang buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi penyakit ginjal kronik
meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian
penyakit diabetes mellitus serta hipertensi.(Infodatin, 2017)

Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif
dan ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit,
sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah) (Smeltzer 2014).

Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu penyakit yang
menjadi masalah besar di dunia. Gagal ginjal kronik merupakan suatu
penyakit yang menyebabkan fungsi organ ginjal mengalami penurunan
hingga akhirnya tidak mampu melakukan fungsinya dengan baik
(Cahyaningsih, 2017). Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah.
Kerusakan ginjal ini mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan
tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh jadi mudah lelah
dan lemas sehingga kualitas hidup pasien menurun (Bruner& Suddarth,2014).

Indonesia merupakan negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang


cukup tinggi. Hasil survei yang dilakukan oleh perhimpunan Nefrologi
Indonesia (Pernefri) diperkirakan ada sekitar 12,5 % dari populasi atau
sebesar 25 juta penduduk Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.
Menurut Ismail, Hasanuddin & dan Bahar (2014) jumlah penderita gagal
ginjal di Indonesia sekitar 150 ribu orang dan yang menjalani hemodialisis
sebanyak 10 ribu orang. Prevalensi gagal ginjal kronik berdasarkan diagnosis
dokter di Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi gagal ginjal kronik (sekarang
disebut PGK) di Indonesia pada pasien usia lima belas tahun keatas di
Indonesia yang didata berdasarkan jumlah kasus yang didiagnosis dokter
adalah sebesar 0,2%. Prevalensi gagal ginjal kronik meningkat seiring
bertambahnya usia, didapatkan meningkat tajam pada kelompok umur 25-44
tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), umur 55-74 tahun (0,5%),
dan tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-
laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%).
Penyebab kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis baru menurut
data yang dikumpulkan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri)
pada tahun 2011 hasilnya yaitu penyakit hipertensi berada pada urutan
pertama sebesar 34%, urutan kedua yaitu diabetes melitus sebesar 27% dan
selanjutnya ada glomerulonefritis sebesar 14%, nefropati obstruksi sebesar
8%, pielonefritis kronik sebesar 6%, ginjal polikistik sebesar 1%, penyebab
yang tidak diketahui sebesar 1% dan penyebab lainnya sebesar 9%.
Sedangkan menurut United States Renal Data System (USRDS) tahun 2014,
yang bertanggung jawab terhadap kejadian gagal ginjal kronik urutan pertama
dan kedua yaitu diabetes melitus sebesar 34% dan hipertensi sebesar 21%,
kemudian diikuti glomerulonefritis sebesar 17%, pielonefritis kronik sebesar
3,4%, ginjal polikistik sebesar 3,4% dan lain-lain sebesar 21%.

Menurut KDIGO, PGK dengan tanda-tanda kegagalan ginjal (serositis,


gangguan keseimbangan asam-basa atau elektrolit, pruritus), kegagalan
pengontrolan volume dan tekanan darah, gangguan status gizi yang refrakter,
dan gangguan kognitif membutuhkan terapi hemodialisis. Pada penderita
yang sudah mencapai PGK derajat IV (eGFR <30mL/ menit/ 1,73 m 2) juga
harus dimulai terapi hemodialisis.

Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa tubuh. Zat
sisa yang menumpuk pada pasien PGK ditarik dengan mekanisme difusi pasif
membran semipermeabel. Hemodialisis dapat mempengaruhi gambaran klinis
penderita PGK, berupa gejala mual muntah, anoreksia, anemia, pruritus,
pigmentasi, kelainan psikis, insomnia, hipertensi, maupun gejala lainnya.

B. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menggambarkan studi kasus pada asuhan
keperawatan pada klien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK).

2. Tujuan Khusus
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat :
a. Mampu menguraikan hasil pengkajian kebutuhan dasar klien dengan
Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.B.
b. Mampu menguraikan masalah keperawatan kebutuhan dasar klien
dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khusunya Tn.B
c. Mampu menguraikan rencana tindakan keperawatan kebutuhan dasar
klien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.B.
d. Mampu menguraikan tindakan keperawatan kebutuhan dasar klien
dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.B.
e. Mampu menguraikan hasil evaluasi kebutuhan dasar klien dengan
Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya pada Tn.B
f. Mampu menganalisa kesenjangan yang terdapat antara teori dan kasus
kebutuhan dasar klien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK) khususnya
Tn.B.
BAB II
TINJAUAN TEORI

1. KONSEP LAPORAN PENDAHULUAN GAGAL GINJAL KRONIK


1. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun
elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer 2014).

Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan


kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR)
kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama lebih dari 3 bulan
(Kallenbach et al. 2015).

2. ETIOLOGI & TANDA GEJALA


Penyebab gagal ginjal akut dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar,
yaitu :
1. Penyebab prerenal, yakni berkurangnya aliran darah ke ginjal. Hal ini
dapat disebabkan oleh :
a. Hipovolemia (volume darah yang kurang),  misalnya karena
perdarahan yang hebat.
b. Dehidrasi karena kehilangan cairan, misalnya karena muntah-
muntah, diare, berkeringat banyak dan demam.
c. Dehidrasi karena kurangnya asupan cairan.
d. Obat-obatan, misalnya obat diuretic yang menyebabkan pengeluaran
cairan berlebihan berupa urin.
e. Gangguan aliran darah ke ginjal yang disebabkan sumbatan pada
pembuluh darah ginjal.
2. Penyebab renal di mana kerusakan terjadi pada ginjal.
a. Sepsis: Sistem imun tubuh berlebihan karena terjadi infeksi sehingga
menyebabkan peradangan dan merusak ginjal.
b. Obat-obatan yang toksik terhadap ginjal.
c. Rhabdomyolysis: terjadinya kerusakan otot sehingga menyebabkan
serat otot yang rusak menyumbat sistem filtrasi ginjal. Hal ini bisa
terjadi karena trauma atau luka bakar yang hebat.
d. Multiple myeloma.
e. Peradangan akut pada glomerulus, penyakit lupus eritematosus
sistemik,  Wegener's granulomatosis, dan Goodpasture syndrome
3. Penyebab postrenal, di mana aliran urin dari ginjal terganggu.
a. Sumbatan saluran kemih (ureter atau kandung kencing)
menyebabkan aliran urin berbalik arah ke ginjal. Jika tekanan
semakin tinggi maka dapat menyebabkan kerusakan ginjal dan
ginjal menjadi tidak berfungsi lagi.
b. Pembesaran prostat atau kanker prostat dapat menghambat uretra
(bagian dari saluran kemih) dan menghambat pengosongan kandung
kencing.
c. Tumor di perut yang menekan serta menyumbat ureter.
d. Batu ginjal.

TANDA DAN GEJALA


Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan
ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien.
1. Kardiovaskuler :
a. Pada gagal ginjal kronis mencakup hipertensi (akibat retensi cairan
dan natrium dari aktivasi system rennin-angiotensin-aldosteron)
b. Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
c. Edema periorbital
d. Gagal jantung kongestif
e. Edema pulmoner (akibat cairan berlebih)
f. Pembesaran vena leher
g. Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis (akibat iritasi pada
lapisan pericardial oleh toksin uremik), efusi pericardial, penyakit
jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
h. Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis, gangguan elektrolit
dan kalsifikasi metastatic.
2. Dermatologi/integument :
a. Rasa gatal yang parah (pruritis) dengan ekskoriasis akibat toksin
uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit.
b. Warna kulit abu-abu mengkilat akibat anemia dan kekuning-
kuningan akibat penimbunan urokrom.
c. Kulit kering, bersisik
d. Kuku tipis dan rapuh
e. Rambut tipis dan kasar

3. Gastrointestinal :
a. Fetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur
diubah oleh bakteri di mulut menjadi ammonia sehingga napas
berbau ammonia. Akibat lain adalah timbulnya stomatitis dan
parotitis
b. Ulserasi dan perdarahan pada mulut
c. Anoreksia, mual, muntah yang berhubungan dengan gangguan
metabolism di dalam usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat
metabolism bakteri usus seperti ammonia dan metil guanidine, serta
sembabnya mukosa usus
d. Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui
e. Konstipasi dan diare
f. Perdarahan dari saluran GI (gastritis erosive, ulkus peptic, dan
colitis uremik)
4. Neurologi :
a. Ensefalopati metabolic. Kelemahan dan keletihan, tidak bias tidur,
gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang
b. Konfusi
c. Disorientasi
d. Kelemahan pada tungkai
e. Rasa panas pada telapak kaki
f. Perubahan perilaku
g. Burning feet syndrome. Rasa kesemutan dan seperti terbakar,
terutama di telapak kaki.
5. Muskuloskleletal :
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Fraktur tulang
d. Foot drop
e. Restless leg syndrome. Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga
selalu digerakkan
f. Miopati. Kelemahan dan hipertrofi otot-otot terutama otot-otot
ekstremitas proksimal.
6. Reproduksi :
a. Atrofi testikuler
b. Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-
laki akibat produksi testosterone dan spermatogenesis yang
menurun. Sebab lain juga dihubungkan dengan metabolic tertentu
(seng, hormone paratiroid). Pada wanita timbul gangguan
menstruasi, gangguan ovulasi sampai amenore

7. Hematologi :
a. Anemia, dapat disebabkan berbagai factor antara lain :
- Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan
eritropoesis pada sumsum tulang menurun.
- Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik.
- Defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain, akibat nafsu makan
yang berkurang.
- Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit
b. Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder
c. Gangguan perfusi trombosit dan trombositopenia. Mengakibatkan
perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit yang berkurang
serta menurunnya factor trombosit III dan ADP (adenosine difosfat).
d. Gangguan fungsi leukosit. Fagositosis dan kemotaksis berkurang,
fungsi limfosit menurun sehingga imunitas juga menurun.

8. Endokrin :
a. Gangguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin<15
mL/menit), terjadi penurunan klirens metabolic insulin
menyebabkan waktu paruh hormone aktif memanjang. Keadaan ini
dapat menyebabkan kebutuhan obat penurun glukosa darah akan
berkurang.
b. Gangguan metabolisme lemak
c. Gangguan metabolisme vitamin D
9. Sistem lain :
a. Tulang: osteodistrofi renal, yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa,
osteosklerosis, dan kalsifikasi metastatic
b. Asidosis metabolic akibat penimbunan asam organic sebagai hasil
metabolisme.
c. Elektrolit : hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia.

3. KLASIFIKASI
Gagal ginjal kronis dibagi menjadi lima stadium berdasarkan laju
penyaringan (filtrasi) glomerulus (Glomerular Filtration Rate = GFR) yang
dapat dilihat pada tabel di bawah ini. GFR normal adalah 90 - 120
mL/min/1.73 m2.
Stadium GFR (ml/menit/1.73m2) Deskripsi

1 90 – 120 Kerusakan minimal pada ginjal, filtrasi masih normal


atau sedikit meningkat.

2 60-89 Fungsi ginjal sedikit menurun

3 30-59 Penurunan fungsi ginjal yang sedang

4 15-29 Penurunan fungsi ginjal yang berat

5 Kurang dari 15 Gagal ginjal stadium akhir (End Stage Renal Disease)

4. PATOFISIOLOGI
Pada awal perjalananya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan
penimbunanan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian
ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal,
manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron
sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa
meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya serta mengalami
hipertrofi. Seiring dengan semakin banyaknya nefron yang mati, maka nefron
yang tersisia menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron-nefron
tersebut ikut rusak dan akhirnya mati (Corwin, 2011). Sebagian dari siklus
kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang
ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Seiring dengan penyusutan
progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah
ginjal mungkin berkurang. Pelepasan renin meningkat bersama dengan
kelebihan beban cairan yang menyebabkan hipertensi. Hipertensi akan
mempercepat gagal ginjal (Corwin, 2011).
Pada hipertensi, kenaikan teknan darah yang tinggi akan merusak tunika
intima pembuluh darah yang halus sehingga terjadi penumpukan fibrin dalam
pembuluh darah, oedema lokal, dan pembentukan bekuan darah intravaskuler
(Kowalak, 2013). Ginjal yang rentan terhadap perubahan aliran darah akibat
hipertensi, tidak dapat bekerja dengan baik jika terjadi penurunan aliran darah
yang signifikan. Apabila tekanan darah sistemik meninggi karena stenosis
arteri renalis yang utama atau karena arterosklerosis pada percabangan ginjal
maka akan terjadi hipertensi renovaskuler. Penurunan aliran tekanan darah
menyebabkan ginjal melepaskan renin. Lepasnya enzim renin menyebabkan
vasokontriksi yang lebih kuat pada pembuluh darah di seluruh tubuh,
sehingga terjadi peningkatan lebih lanjut tekanan darah. Siklus ini dapat
menimbulkan kerusakan dan mengakibatkan gagal ginjal, infark mokard,
stroke, dan gagal jantug. (Kowalak, 2013). Diet untuk pasien yang menderita
hipertensi adalah Diet Garam Rendah (Almatsier, 2010). Tujuan Diet Garam
Rendah adalah 17 membantu menghilangkan retensi garam atau air dalam
jaringan tubuh dan menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
(Almatsier, 2010).
Penyebab lain yang mendasarinya yaitu Pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa
(surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan (growth
factor). Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa nefron
sklerosis yang masih tersisa. Proses ini kemudian diikuti dengan penurunan
fungsi nefron yang progresif. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron internal, ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. aktivitas jangka
panjang renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh faktor
pertumbuhan seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal
yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas Chronic
Kidney Disease (CKD) adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis
dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial (Kemenkes RI, 2010).

Pada hypervolemia/ kelebihan volume cairan, rongga intravascular dan


interstisial mengalami peningkatan kandungan air dan natrium. Kelebihan
cairan interstitial dikenal sebagai edema. Pada gagal ginjal kronik sekitar
90% dari masa nefron telah hancur mengakibatkan laju filtrasi glomerulus
(GFR) menurun. Menurunnya GFR menyebabkan retensi natrium, adanya
perbedaan tekanan osmotic karena natrium tertahan menyebabkan terjadi
proses osmosis yaitu air berdifusi menembus membrane sel sehingga tercapai
keseimbangan osmotic. Hal ini menyebabakan cairan ekstraseluler (ECF)
meningkat hingga terjadi edema (Price & Wilson, 2016).
Pada gagal ginjal kronik yang disebabakan oleh perkembangan penyakit
sindrom nefrotik, tubuh mengalami hypoalbuminemia menyebabkan tekanan
osmotic plasma darah rendah, kemudian akan diikuti peningkatan transudasi
cairan kapiler atau vaskular ke ruang interstitial, mekanisme inihampir secara
langsung menyebabkan edema (Price & Wilson, 2016).
Edema dapat terlokalisir ataungeneralisata (seluruh tubuh). Edema terlokalisir
terjadi seperti pada inflamasi setempat dan obstruktif. Edema generalisata/
anasakra menimbulkan pembengkakan yang berat jaringan bawah kuli.
Anasarka disebabkan oleh penurunan sistemik tekanan osmotik kapiler.
Edema anasarka terjadi pada pengidap hypoalbuminemia akibat sindrom
nefrotik. Proses terbentuknya edema anasarka terjadi akibat tekanan osmotic
di plasma darah menurun, menyebabkan penurunan sirkulasi volume darah
yang mengaktifkan sistem imun angiotensin, menyebabkan retensi natrium
dan edema lebih lanjut ke seluruh tubuh (Price & Wilson, 2016).

Pada stadium paling dini Chronic Kidney Disease (CKD), terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan ini basal Laju Filtrasi
Glomelurus (LFG) masih normal atau sudah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
Laju Filtrasi Glomelurus (LFG) sebesar 60%, penderita masih belum
merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum (normal kadar kreatinin serum 0,5-1,5 mg/dl dan ureum
20-40 mg/dl) (Kemenkes RI, 2010).

Sampai pada Laju Filtrasi Glomelurus (LFG) sebesar 30%, mulai terjadi
keluhan pada klien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang
dan penurunan berat badan. Sampai pada Laju Filtrasi Glomelurus (LFG)
dibawah 30%, klien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Klien juga mudah
terjadi infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah
15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan klien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain
dialisis atau transplantasi ginjal (Kemenkes RI, 2010).

5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi
dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
b. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
c. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan
memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
d. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan
rasio urin/ serum saring (1 : 1).
e. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan
ginjal.
f. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila
ginjal tidak mampu mengabsorpsi natrium.
g. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
h. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan
warna merah diduga nefritis glomerulus.

Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik,


antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus, urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, (Volume Overload)
neuropati perifer, proritus, uremic, frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.
c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan
rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa
dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis
metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.

3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis
secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi
kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

6. PENATALAKSANAAN
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
menurut Suwitra (2017) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/mn/1,73m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi
perburukan (progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂15 Terapi pengganti ginjal

Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit ginjal kronik


berdasarkan tabel diatas adalah:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada
pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid
(superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-
faktor komorbid antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-
obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit
dasarnya.

2. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal


Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik,
hipertensi berat, gangguan elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting untuk
mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:
a. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
(Suwitra 2007).

LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hr Fosfat g/kg/hr


˃60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
nilai biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
protein nilai biologis tinggi /tambahan
0,3 g asam amino esensial / asam keton
˂60 (SN) 0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria atau ≤ 9 g
0,3 g / kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton
Pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom
uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein
overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hyperfiltration), yang akan meningkattkan progresifitas pemburuan fungsi
ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang
sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi, memperkecil
risiko gangguan kardiovaskuler juga memperlambat pemburukan
kerusakan nefron. Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat
enzim konverting angiotensin (Angiotensin Converting Enzym/ ACE
inhibitor dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal.

2. KONSEP LAPORAN PENDAHULUAN HEMODIALISIS


1) Pengertian Hemodialisis
Hemodialisis adalah terapi pengganti faal ginjal dengan tujuan untuk
mengeluarkan (eliminasi) sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi
gangguan keseimbangan air dan elektrolit antara kompartemen darah
pasien dengan kompartemen larutan dialisat (konsentrat) melalui selaput
(membran) semi permeabel yang bertindak sebagai ginjal buatan
(artificial atau dializer). Hemodialisa sering dilakukan pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik atau gagal ginjal kronik (Kandarini, 2013).

Zat-zat tersebut dapat berupa zat yang terlarut dalam darah, seperti toksin
ureum dan kalium, atau zat pelarutnya, yaitu air atau serum darah
(Suwitra, 2016). Proses pembersihan ini hanya bisa dilakukan diluar
tubuh, sehingga memerlukan suatu jalan masuk ke dalam aliran darah,
yang disebut sebagai vascular access point (Novicky, 2017).

Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan sisa metabolisme


dalam tubuh serta menjaga keseimbangan elektrolit dan produk kimiawi
dalam tubuh (Ignatavicius & Workman 2016). Tujuan hemodialisis
adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah
yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh
pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Aliran darah akan melewati tubulus
tersebut sementara cairan dialisat bersikulasi di sekitarnya. Pertukaran
limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi membran
semipermeabel tubulus (Rosdiana 2011). Proses hemodialis dilakukan 1-
3 kali dalam seminggu di rumah sakit dengan memerlukan waktu sekitar
2-45 jam setiap kali hemodialisis (Syamsir&Hadibroto 2017).Keputusan
untuk inisiasi terapi dialisis berdasarkan parameter laboratorium bila
LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l .73 m2.

Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi,


osmosis, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah
dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang
memiliki konsentrasi tinggi ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang
lebih rendah (Rosidana 2011).

Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses


osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan
gradien tekanan, yaitu air bergerak dari daerah dengan tekanan yang
lebih tinggi (tubuh pasien) ke daerah dengan tekanan yang lebih rendah
(cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan
tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis
(Rosdiana 2011).
2) Indikasi Hemodialisis
Indikasi dilakuka]n hemodialisis pada pasien PGK terbagi 2 kategori
(Kandarini, 2012) yaitu :
a. Hemodialisis segera atau emergency, yaitu (Daurgirdas et al., 2017) :
i) Uremia ( BUN >150mg/dL)
ii) Oliguria (urin < 200ml/12jam)
iii) Anuria (urin < 50ml/ 12jam)
iv) Asidosis berat (pH < 7.1)
v) Hiperkalemia
vi) Ensefalopati uremikum
vii) Neuropati Uremikum
viii) Hipertermia
ix) Disnatremia (Natrium > 160 atau < 115 mmol/L)
b. Hemodialisis kronik, yaitu hemodialisis yang dilakukan seumur hidup.
K/DOQI dalam Daurgirdas et al. (2017) mengatakan bahwa dialisis
dimulai bila LFG<15ml/menit tetapi karena gejala klinis setiap orang
berbeda maka dialisis dimulai apabila dijumpai salah satu gejala
yaitu :
i) LFG < 15ml/menit, tergantung gejala klinis penderita
ii) Malnutrisi atau hilangnya massa otot
iii)Gejala uremia antara lain anoreksia, mual muntah, lethargy
iv) Hipertensi yang susah dikontrol
v) Kelebihan cairan
Hemodialisis harus dimulai lebih awal pada pasien dengan :
i) Diabetes : lebih banyak mengalami komplikasi, lebih sulit untuk
mengatur diet ginjal dan diabetes.
ii) Neuropati perifer : indikasi efek uremia pada sistem saraf perifer.
iii) Ensefalopati uremikum : indikasi efek yang berat pada sistem
saraf pusat
iv) Hipertensi maligna : mungkin dapat membaik dengan
pengeluaran cairan pada dialisis.
Persiapan untuk program dialisis regular, antara lain:
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus
mendapat informasi yang harus dipahami sendiri dan keluarganya.
Beberapa persiapan (preparasi) dialisis regular:
1) Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
2) Psikoligis yang stabil
3) Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu
tidak terbatas sebelum transplantasi ginjal
4) Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan
jadwal yang telah ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk
menjamin kualitas hidup optimal
5) Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :
6) Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan
7) Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis
8) Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/%
terutama pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.

2. Mekanisme Hemodialisis
Prinsip dari Hemodialisis adalah dengan menerapkan proses osmotis dan
ultrafiltrasi pada ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme
tubuh. Pada hemodialisis, darah dipompa keluar dari tubuh lalu masuk
kedalam mesin dialiser (yang berfungsi sebagai ginjal buatan) untuk
dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi dan ultrafiltrasi oleh
cairan khusus untuk dialisis (dialisat). Tekanan di dalam ruang dialisat lebih
rendah dibandingkan dengan tekanan di dalam darah, sehingga cairan, limbah
metabolik dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui selaput dan
masuk ke dalam dialisat. Proses hemodialisis melibatkan difusi solute (zat
terlarut) melalui suatu membrane semipermeable. Molekul zat terlarut (sisa
metabolisme) dari kompartemen darah akan berpindah kedalam kompartemen
dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati membran
semipermiabel demikian juga sebaliknya. Setelah dibersihkan, darah dialirkan
kembali ke dalam tubuh (Permadi, 2011).
Mesin hemodialisis (HD) terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan
dialisat, dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah
dari tempat tusukan vaskuler ke alat dialiser. Dialiser adalah tempat dimana
proses HD berlangsung sehingga terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam
darah dan dialisat. Sedangkan tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya
darah dari tubuh penderita menuju dialiser dan selanjutnya kembali lagi
ketubuh penderita. Kecepatan dapat di atur biasanya diantara 300-400
ml/menit. Lokasi pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan arteri
dan monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-39 C
sebelum dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat yang terlalu rendah
ataupun melebihi suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi. Sistem
monitoring setiap mesin HD sangat penting untuk menjamin efektifitas proses
dialisis dan keselamatan (Permadi, 2011).
Pada saat proses Hemodialisis, darah kita akan dialirkan melalui sebuah
saringan khusus (Dialiser) yang berfungsi menyaring sampah metabolisme
dan air yang berlebih. Kemudian darah yang bersih akan dikembalikan
kedalam tubuh. Pengeluaran sampah dan air serta garam berlebih akan
membantu tubuh mengontrol tekanan darah dan kandungan kimia tubuh jadi
lebih seimbang.

Hemodialisis idealnya dilakukan selama 10-15 jam per minggu. Namun


waktu yang dibutuhkan terlalu lama, sehingga hemodialisis sering dilakukan
selama 4-5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu pada interval 2 hari
diantara hemodialisis. Frekuensi menjalani hemodialisis dilakukan agar
menyeimbangkan kembali kadar garam, air dan pH yang tidak normal akibat
gagal ginjal kronik (Widyastuti, 2014).

3. Prinsip Hemodialisa
a. Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik
biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut
memiliki akses temporer seperti vascoth.
b. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan
kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
c. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan
pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang
konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi
tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan pemindahan zat pelarut
yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.
d. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan
mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan
tersebut.
e. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi
artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga
tipe dari tekanan dapat terjadi pada membrane :
1) Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan
dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser
dan resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan
positip “mendorong” cairan menyeberangi membrane.
2) Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar
membrane oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative
“menarik” cairan keluar darah.
3) Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut.
Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari
larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan
membrane permeable terhadap air.

4. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat hemodialisis, antara lain:
a. Hipotensi
Dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli udara
Jarang terjadi, namun bisa terjadi akibat udara yang memasuki sistem
vaskular pasien.
c. Nyeri dada
Terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sikulasi di
luar tubuh.
d. Pruritus
Selama terapi adanya produk akhir metabolisme yang tersisa di dalam
kulit
e. Gangguan keseimbangan dialisis
Akibat perpindahan cairan cerebral dan muncul sebagai serangan
kejang, berpotensi besar jika terdapat uremia yang berat.
f. Malnutrisi
Akibat kontrol diet dan kehilangan nutrient selama hemodialisa.
g. Fatigue dan kram
Pasien dapat mengalami kecapean akibat hipoksia yang disebabkan
edema pulmoner. Hipoksia pulmoner terjadi akibat retensi cairan dan
sodium.

C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
a. Demografi
Lingkungan yang tercemar oleh timah, cadmium, merkuri, kromium
dan sumber air tinggi kalsium beresiko untuk gagal ginjal kronik,
kebanyakan menyerang umur 20-50 tahun, jenis kelamin lebih banyak
perempuan, kebanyakan ras kulit hitam.
b. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat infeksi saluran kemih, penyakit peradangan, vaskuler
hipertensif, gangguan saluran penyambung, gangguan kongenital dan
herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik dan neropati obstruktif.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik, riwayat
menderita penyakit gagal ginjal kronik.
d. Pola kesehatan fungsional
1) Pemeliharaan kesehatan
Penggunaan obat laksatif, diamox, vitamin D, antacid, aspirin dosis
tinggi, personal hygiene kurang, konsumsi toxik, konsumsi
makanan tinggi kalsium, purin, oksalat, fosfat, protein, kebiasaan
minum suplemen,control tekanan darah dan gula darah tidak teratur
pada penderita tekanan darah tinggi dan diabetes mellitus.
2) Pola nutrisi dan metabolik
Perlu dikaji adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan
inadekuat, peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat
badan (malnutrisi), nyeri ulu hati, rasa metalik tidak sedap pada
mulut (pernafasan amonia), penggunanan diuretic, demam karena
sepsis dan dehidrasi.
3) Pola eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut),
abdomen kembung, diare konstipasi, perubahan warna urin.
4) Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan ekstrim, kelemahan, malaise, keterbatsan gerak sendi.
5) Pola istirahat dan tidur
Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)
6) Pola persepsi sensori dan kognitif
Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan
otot, perubahan tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala,
kram/nyeri kaki (memburuk pada malam hari), perilaku berhati-
hati/distraksi, gelisah, penglihatan kabur, kejang, sindrom “kaki
gelisah”, rasa kebas pada telapak kaki, kelemahan khusussnya
ekstremitas bawah (neuropati perifer), gangguan status mental,
contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau.
7) Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian, kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu
bekerja, mempertahankan fungsi peran.
8) Pola reproduksi dan seksual
Penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi dan atropi
testikuler.
9) Pengkajian fisik
1) Keluhan umum : lemas, nyeri pinggang.
2) Tingkat kesadaran komposmentis sampai koma.
3) Pengukuran antropometri : berat badan menurun, lingkar
lengan atas (LILA) menurun.
4) Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi
lemah, disritmia, pernapasan kusmaul, tidak teratur.
10) Kepala
1) Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan
kabur, edema periorbital.
2) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
3) Hidung : pernapasan cuping hidung
4) Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia,
mual,muntah serta cegukan, peradangan gusi.
11) Leher : pembesaran vena leher.
12) Dada dab toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan
dangkal dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis,
edema pulmoner, friction rub pericardial.
13) Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
14) Genital : atropi testikuler, amenore.
15) Ekstremitas : capirally refill time > 3 detik,kuku rapuh dan kusam
serta tipis, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki,
foot drop, kekuatan otot.
16) Kulit : ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu,
mengkilat atau hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan
rapuh, memar (purpura), edema.

2. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi
dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
b. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
c. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan
memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
d. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan
rasio urin/ serum saring (1 : 1).
e. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan
ginjal.
f. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal
tidak mampu mengabsorpsi natrium.
g. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
h. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan
warna merah diduga nefritis glomerulus.

Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik,


antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus, urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, (Volume Overload)
neuropati perifer, proritus, uremic, frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.
c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan
rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa
dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis
metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.

3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis
secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi
kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hypervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi,
kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan natrium
2. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi
hemoglobin
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelebihan volume cairan,
sindrom uremia.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
5. Berat badan lebih berhubungan dengan gangguan genetik, faktor keturunan,
hipotiroid, diabetes melitus maternal

4. RENCANA KEPERAWATAN
No. Diagnosa (SDKI) Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi (SIKI)
(SLKI)
1. D.0022 L.03020 I.03114 Manajemen
Hipervolemia Hipervolemia
Keseimbangan Cairan
berhubungan
Ekspektasi: meningkat Kriteria Observasi
dengan gangguan
hasil:
mekanisme 1. Periksa tanda dan gejala
regulasi, 1. Asupan cairan meningkat hipervolemia (mis. Ortopnea,
kelebihan asupan 2. Haluaran urin meningkat dispnea, edema, JVP/CVP
cairan, kelebihan 3. Kelembaban membran meningkat, refleks
asupan natrium. mukosa meningkat hepatojugular positif, suara npas
4. Asupan makanan tambahan)
meningkat 2. Identifikasi penyebab
Gejala dan tanda 5. Edema menurun hipervolemia
mayor Subjektif: 6. Dehidrasi menurun 3. Monitor status hemodinamik
1. Ortopnea 7. Asites menurun (mis. frekuensi jantung, tekanan
8. Konfusi menurun darah, MAP, CVP, PAP,
2. Dispnea
9. Tekanan darah membaik PCWP, CO, CI), jika tersedia
3. Paroxysmal 10.Denyut nadi radial 4. Monitor intake dan output
nocturnal dyspnea membaik cairan
(PND) 11.Tekanan arteri ratarata 5. Monitor tanda hemokonsentrasi
membaik (mis. kadar natrium, BUN,
Objektif:
12.Membran mukosa hematokrit, berat jenis urine)
1. Edema anasarka membaik 6. Monitor tanda peningkatan
dan/atau edema 13.Mata cekung membaik tekanan onkotik plasma (mis.
perifer 14.Turgor kulit membaik kadar protein dan albumin
15.Berat badan membaik meningkat)
2. Berat badan
7. Monitor keceptan infus secara
meningkat dalam
ketat
waktu singkat
8. Monitor efek samping diuretik

3. Jugular Venous (mis. Hipotensi ortostatik,

Pressure (JVP) hipovolemia, hipokalemia,

dan/atau Central hiponatremia)

Venous Pressure Terapeutik

(CVP) Berlebih 1. Timbang berat badan setiap hari


pada waktu yang sama
Refleks
2. Batasi asupan cairan dan garam
hepatojugular
3. Tinggikan kepala tempat tidur
positif
30-40°
Edukasi
1. Anjurkan melapor jika haluaran
Gejala dan tanda
urin < 0,5 mL/kg/jam dalam 6
minor Subjektif:
jam
(tidak tersedia)
2. Anjurkan melapor jika BB
Objektif:
bertambah > 1 kg dalam sehari
1. Distensi vena 3. Ajarkan cara mengukur dan
jugularis mencatat asupan dan haluaran
cairan
2. Terdengar
4. Ajarkan cara membatasi cairan
suara napas
Kolaborasi
tambahan
1. Kolaborasi pemberian diuretik
3. Hepatomegali 2. Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat
4. Kadar Hb/Ht
diuretik
turun
3. Kolaborasi pemberian continous

5. Oliguria renal replacement therapy


(CRRT), jika perlu
6. Intake lebih
banyak dari output
(balans cairan I.03121 Pemantauan Cairan

positif) Observasi

7. Kongesti paru 1. Monitor frekuensi dan kekuatas


nadi
2. Monitor frekuensi napas
3. Monitor tekanan darah
4. Monitor berat badan
5. Monitor waktu pengisian kapiler
6. Monitor elastisitas atau turgor
kulit
7. Monitor jumlah, warna dan
berat jenis urine
8. Monitor kadar albumin dan
protein total
9. Monitor hasil pemeriksaan
serum (mis. osmolaritas serum,
hematokrit, natrium, kalium,
BUN)
10.Monitor intake dan output
cairan
11.Identifikasi tanda-tanda
hipovolemia (mis. frekuensi
nadi meningkat, nadi teraba
lemah, tekanan darah menurun,
tekanan nadi menyempit, turgor
kulit menurun, membran
mukosa kering, volume urin
menurun, hematokrit
meningkat, haus, lemah,
konsentrasi urine meningkat,
berat badan menurun dalam
waktu singkat)
12.Identifikasi tanda-tanda
hipervolemia (mis. dispnea,
edema perifer, edema anasarka,
JVP meningkat, CVP
meningkat, refleks
hepatojugular positif, berat
badan menurun dalam waktu
singkat)
13.Identifikasi faktor risiko
ketidakseimbangan cairan (mis.
Prosedur pembedahan mayor,
trauma/perdarahan, luka bakar,
aferesis, obstruksi intestinal,
peradangan pankreas, penyakit
ginjal dan kelenjar, disfungsi
intestinal) Terapeutik - Atur
interval waktu pemantauan
sesuai dengan kondisi pasien
14.Dokumentasikan hasil
pemantauan Edukasi
15.Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
16.Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu
2. D.0009 Perfusi L.02011 Perfusi Perifer I.02079 Perawatan Sirkulasi
perifer tidak efektif Ekspektasi: Observasi
berhubungan dengan
1. meningkat Kriteria hasil: 1. Periksa sirkulasi periver (mis.
penurunan
Denyut nadi perifer Nadi perifer, edema, pengisian
konsentrasi
meningkat kapiler, warna, suhu, ankle
hemoglobin.
2. Penyembuhan luka brachial index)
meningkat Sensasi 2. Identifikasi faktor resiko
meningkat gangguan sirkulasi ( mis.
Gejala dan tanda
3. Warna kulit pucat Diabetes, perokok, orang tua
mayor Subjektif:
menurun hipertensi dan kadar kolestrol
(tidak tersedia)
4. Edema perifer menurun tinggi) Monitor panans,
Objektif:
5. Nyeri ekstremitas kemerahan, nyeri atau bengkak
1. Pengisian kapiler menurun pada ekstermitas Teraupetik
>3 detik 6. Parastesia menurun 3. Hindari pemasangan infus atau
2. Nadi perifer 7. Kelemahan otot menurun pengambilan darah di daerah
menurun atau 8. Kram otot menurun keterbatasan perfusi
tidak teraba 9. Bruit femoralis menurun 4. Hindari pengukuran tekanan
3. Akral teraba 10. Nekrosis menurun darah pada ekstermitas dengan
dingin 11. Pengisian kapiler keterbatasan perfusi
4. Warna kulit pucat membaik 5. Hindari penekanan dan
5. Turgor kulit 12. Akral membaik pemasangan tourniquet pada
menurun 13. Turgor kulit membaik area yang cidera
14. Tekanan darah sistolik 6. Lakukan pencegahan infeksi
membaik 7. Lakukan perawatan kaki dan
Gejala dan tanda
15. Tekanan darah diastolik kuku Edukasi
minor Subjektif:
membaik 8. Anjurkan berhenti merokok
1. Parastesia 16. Tekanan arteri rata-rata 9. Anjurkan berolah raga rutin
2. Nyeri membaik 10.Anjurkan mengecek air mandi
ekstremitas 17. Indeks anklebrachial untuk menghindari kulit terbakar
(klaudikasi membaik 11.Anjurkan minum obat
intermiten) pengontrol tekanan darah,
Objektif: antikoagulan,dan penurun
1. Edema kolestrol, jika perlu
2. Penyembuhan 12.Anjurkan minum obat pengontrl
tekanan darah secara teratur
luka lambat 13.Anjurkan menggunakan obat
3. Indeks penyekat beta
anklebrachial<0,9 14.Ajarkan program diet untuk
0 memperbaiki sirkulasi ( mis.
4. Bruit femoralis Rendah lemak jenuh, minyak
ikam omega 3)
15.Informasikan tanda dan gejala
darurat yang harus dilaporkan
(mis. Raasa sakit yang tidak
hilang saat istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya rasa)

I.06195 Manajemen Sensasi


Perifer

Observasi

1. Identifikasi penyebab perubahan


sensasi
2. Identifikasi penggunaan alat
pengikat, prosthesis, sepatu, dan
pakaian
3. Periksa perbedaan sensasi tajam
dan tumpul
4. Periksa perbedaan sensasi panas
dan dingin
5. Periksa kemampuan
mengidentifikasi lokasi dan
tekstur benda
6. Monitor terjadinya parestesia,
jika perlu
7. Monitor perubahan kulit
8. Monitor adanya tromboflebitis
dan tromboemboli vena
Teraupetik
1. Hindari pemakaian benda-benda
yang berlebihan suhunya (terlalu
panas atau dingin)
Edukasi
1. Anjurkan penggunaan
thermometer untuk menguji
suhu air
2. Anjurkan penggunaan sarung
tangan termal saat memasak
3. Anjurkan memakai sepatu
lembut dan bertumit rendah
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgesik,
jika perlu
2. Kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika perlu
3. Identifikasi penyebab perubahan
sensasi
4. Identifikasi penggunaan alat
pengikat, prosthesis, sepatu, dan
pakaian
5. Periksa perbedaan sensasi tajam
dan tumpul
6. Periksa perbedaan sensasi panas
dan dingin
7. Periksa kemampuan
mengidentifikasi lokasi dan
tekstur benda
8. Monitor terjadinya parestesia,
jika perlu
9. Monitor perubahan kulit
10.Monitor adanya tromboflebitis
dan tromboemboli vena
Teraupetik
1. Hindari pemakaian benda-benda
yang berlebihan suhunya (terlalu
panas atau dingin)
Edukasi
1. Anjurkan penggunaan
thermometer untuk menguji
suhu air
2. Anjurkan penggunaan sarung
tangan termal saat memasak
3. Anjurkan memakai sepatu
lembut dan bertumit rendah
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgesik, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika perlu

3. D.0129 Gangguan L.14125 Integritas Kulit dan I.11353 Perawatan Integritas


integritas kulit Jaringan Ekspektasi: Kulit
berhubungan dengan meningkat Kriteria hasil:
Observasi
kelebihan volume
1. Elastisitas meningkat
cairan, sindrom 1. Identifikasi penyebab gangguan
2. Hidrasi meningkat
uremia. integritas kulit (mis. perubahan
3. Perfusi jaringan
sirkulasi, perubahan status
meningkat
nutrisi, penurunan kelembaban,
4. Kerusakan jaringan
Gejala dan tanda suhu lingkungan ekstrem,
menurun
mayor penurunan mobilitas)
5. Kerusakan lapisan kulit
Terapeutik
Subjektif: menurun
2. Ubah posisis tiap 2 jam jika
6. Nyeri menurun
(tidak tersedia) tirah baring
7. Perdarahan menurun
Objektif: 3. Lakukan pemijatan pada area
8. Kemerahan menurun
penonjolan tulang, jika perlu
1. Kerusakan jaringan 9. Hematoma menurun
4. Bersihkan perineal dengan air
dan/atau lapisan 10. Pigmentasi abnormal
hangat, terutama selama periode
kulit menurun
diare
Gejala dan tanda 11. Jaringan parut menurun
5. Gunakan produk berbahan
minor Subjektif: 12. Nekrosis menurun
petrolium atau minyak pada
(tidak tersedia) 13. Abrasi kornea menurun
kulit kering
Objektif: 14. Suhu kulit membaik
6. Gunakan produk berbahan
15. Sensasi membaik
1. Nyeri ringan/alami dan hipoalergik
16. Tekstur membaik
2. Perdarahan 17. Pertumbuhan rambut pada kulit sensitif
3. Kemerahan membaik 7. Hindari produk berbahan dasar
4. Hematoma alkohol pada kulit kering
Edukasi
8. Anjurkan menggunakan
pelembab (mis. lotion, serum)
9. Anjurkan minum air yang cukup
10.Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
11.Anjurkan meningkatkan asupan
buah dan sayur
12.Anjurkan menghindari terpapar
suhu ekstrem
13.Anjurkan menggunakan tabir
surya SPF minimal 30 saat
berada di luar rumah
14.Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya
I.4564 Perawatan Luka Observasi

1. Monitor karakteristik luka (mis.


drainase, warna, ukuran, bau)
2. Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik
3. Lepaskan balutan dan plester
secara perlakah
4. Cukur rambut di sekitar daerah
luka, jika perlu
5. Bersihkan dengan cairan NaCl
atau pembersih nontoksik,
sesuai kebutuhan
6. Bersihkan jaringan nekrotik
7. Berikan salep yang sesuai
kulit/lesi, jika perlu
8. Pasang balutan sesuai jenis luka
9. Pertahankan teknik steril saat
melakukan perawatan luka
10.Ganti balutan sesuai jumlah
eksudat dan drainase
11.Jadwalkan perubahan posisi
setiap 2 jam atau sesuai kondisi
pasien
12.Berikan diet dengan kalori 30-
35 kkal/kgBB/hari dan protein
1,251,5g/kgBB/hari
13.Berikan suplemen vitamin dan
mineral (mis. vitamin A, vitami
C, Zinc, asam amino), sesuai
indikasi
14.Berikan terapi TENS (stimulasi
sarap transkutaneus), jika perlu
Edukasi
15.Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
16.Anjurkan mengonsumsi
makanan tinggi kalori dan
protein
17.Ajarkan prosedur perawatan
luka secara mandiri Kolaborasi
18.Kolaborasi prosedur
debridement (mis. enzimatik,
biologis, mekanis, autolitik),
jika perlu
19.Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu

4. D.0056 Intoleransi L.05047 Intoleransi Aktivitas I.05178 Manajemen Energi


aktivitas Ekspektasi: meningkat Kriteria Observasi
hasil:
berhubungan dengan
1. Identifikasi gangguan fungsi
ketidakseimbangan 1. Frekuensi nadi meningkat
2. Saturasi oksigen tubuh yang mengakibatkan
antara suplai dan meningkat
kelelahan
kebutuhan oksigen. 3. Kemudahan dalam
melakukan aktivitas 2. Monitor kelelahan fisik dan
Gejala dan tanda seharihari meningkat emosional
4. Kecepatan berjalan
mayor 3. Monitor pola dan jam tidur
meningkat
5. Jarak berjalan meningkat 4. Monitor lokasi dan
Subjektif: 6. Kekuatan tubuh bagian
ketidaknyamanan selama
atas meningkat
1. Mengeluh lelah 7. Kekuatan tubuh bagian melakukan aktivitas
bawah meningkat
Objektif: Terapeutik
8. Toleransi dalam menaiki
tangga meningkat 5. Sediakan lingkungan nyaman
1. Frekuensi jantung 9. Keluhan lelah
dan rendah stimulus (mis.
meningkat >20% dari 10. Dipsnea saat aktivitas
menurun cahaya, suara, kunjungan)
kondisi istirahat 11. Dipsnea setelah aktivitas
6. Lakukan latihan rentang gerak
menurun
12. Perasaan lemah menurun pasin dan/atau aktif
13. Aritmia saat beraktivitas
7. Berikan aktivitas distraksi yang
menurun
Gejala dan tanda
14. Aritmia setelah menenangkan
minor beraktivitas menurun
8. Fasilitasi duduk di sisi tempat
15. Sianosis menurun
Subjektif: 16. Warna kulit membaik tidur, jika tidak dapat berpindah
17. Tekanan darah membaik
atau berjalan
18. Frekuensi napas membaik
1. Dispnea
19. EKG Iskemia membaik Edukasi
saat/setelah
9. Anjurkan tirah baring
aktivitas
10. Anjurkan melakukkan
2. Merasa tidak
aktivitas secara bertahap
nyaman setelah
11. Anjurkan menghubungi
beraktivitas
perawat jika tanda dan gejala
3. Merasa lemah
kelelahan tidak berkurang
Objektif:
12. Ajarkan strategi koping

1. Tekanan darah untuk mengurangi kelelahan

berubah >20% dari Kolaborasi

kondisi istirahat 13. Kolaborasi dengan ahli gizi

2. Gambaran EKG tentang cara meningkatkan

menunjukkan asupan makanan

aritmia saat/setelah I.05186 Terapi Aktivitas

aktivitas Observasi

3. Gambaran EKG
1. Identifikasi defisit tingkat
menunjukkan
aktivitas
iskemia
2. Identifikasi kemampuan
4. Sianosis
berpartisipasi dalam aktivitas
tertentu
3. Identifikasi sumber daya untuk
aktivitas yang diinginkan
4. Identifikasi strategi
meningkatkan partisipasi dalam
aktivitas
5. Identifikasi makna aktivitas
rutin (mis. bekerja) dan waktu
luang
6. Monitor respons emosional,
fisik, sosial, dan spiritual
terhadap aktivitas Terapeutik
7. Fasilitasi fokus pada
kemampuan, buka defisit yang
dialami
8. Sepakati komitmen untuk
meningkatkan frekuensi dan
rentang aktivitas
9. Fasilitasi memilih aktivitas dan
tetapkan tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai kemampuan
fisik, psikologis, dan sosial
10.Koordinasikan pemilihan
aktivitas sesuai usia
11.Fasilitasi makna aktivitas yang
dipilih
12.Fasilitasi transportasi untuk
menghadiri aktivitas, jika sesuai
13.Fasilitasi pasien dan keluarga
dalam menyesuaikan
lingkungan untuk
mengakomodasi aktivitas yang
dipilih
14.Fasilitasi aktivitas fisik rutin
(mis. Ambulasi, mobilisasi, dan
perawatan diri), sesuai
kebutuhan
15.Fasilitasi ativitas pengganti saat
mengalami keterbatasan waktu,
energi, atau gerak
16.Fasilitasi aktivitas motorik kasar
untuk pasien hiperaktif
17.Tingkatan aktivitas fisik untuk
memelihara berat badan, jika
sesuai
18.Fasilitasi aktivitas motorik
untuk merelaksasi otot
19.Fasilitasi aktivitas dengan
komonen memori implisit dan
emosional (mis. kegiatan
keagamaan khusus) untuk
pasien demensia
20.Libatkan dalam permainan
kelompok yang tidak
kompetitif, terstruktur, dan aktif
21.Tingkatkan keterlibatan dalam
aktivitas rekreasi dan
diversifikasi untuk menurunkan
kecemasan (mis. vocal group,
bola voli, tenis meja, jogging,
berenang, tugas sederhana,
permainan sederhana, tugas
rutin, tugas rumah tangga,
perawatan diri, dan teka-teki
dan kartu)
22.Libatkan keluarga dalam
aktivitas, jika perlu
23.Fasilitasi mengembangkan
motivasi dan penguatan diri
24.Fasilitasi pasien dan keluarga
memantau kemajuannya sendiri
untuk mencapai tujuan
25.Jadwalkan aktvitas dalam
rutinitas seharihari
26.Berikan penguatan positif atas
partisipasi dalam aktivitas
Edukasi
27.Jelaskan metode aktivitas fisik
sehari-hari, jika perlu
28.Ajarkan cara melakukan
aktivitas yang dipilih
29.Anjurkan melakukan aktivitas
fisik, sosial, spiritual, dan
kognitif dalam menjaga fungsi
dan kesehatan
30.Anjurkan terlibat dalam
aktivitas kelompok atau terapi,
jika sesuai
31.Anjutkan keluarga untuk
memberi penguatan positif atas
partisipasi dalam aktivitas
Kolaborasi
32.Kolaborasi dengan terapi
okupasi dalam merencanakan
dan memonitor program
aktivitas, jika sesuai
33.Rujuk pada pusat atau program
aktivitas komunitas, jika perlu
5. D.0018 Berat Badan L. Berat Badan lebih I. Edukasi diet
lebih berhubungan
Ekspektasi: meningkat Kriteria Observasi
dengan gangguan
hasi 1. identifikasi kemampuan pasien
genetik, faktor
1. berat badan membaik dan keluarga menerima
keturunan,
2. tebal lipatan kulit membaik informasi
hipotiroid, diabetes
3. indeks masa tubuh 2. identifikasi tingkat penegtahuan
melitus maternal
membaik saat ini
Gejala dan tanda 3. identifikasi kebiasaan pola
mayor makan saat ini
4. identifikasi persepsi pasien dan
Subjektif:-
keluarga tentang diet yang
Objektif : diprogramkan
terapeutik
a. IMT > 25 kg/m2
1. persiapkan materi, media, dan
(pada dewasa) atau alat peraga
berat dan 2. jadwalkan waktu yang tepat
panjangbadan lebih untuk memberikan pendidikan
dari persentil 95 ( pada kesehatan
anak < 2 tahun) atau 3. berikan kesempatan pasien dan
IMT pada presentil ke keluarga bertanya
85-95 (pada anak 2-8 edukasi
tahun) 1. jelaskan tujuan kepatuhan diet
terhadap kesehtan
Gejala dan tanda
2. informasikan makanan yang
minor
diperbolehkan dan dilaranag
Subjektif: - 3. anjurkan mempertahankan
posisi semi Fowler (20-45
Objektif:
derajat) 20-30menit setelah
a. tebal lipatan kulit makan
trisep > 25 mm 4. anjurkan mengganti makanan
sesuai dengan diet yang
diprogramkan
5. anjurkan melakukan olahraga
sesuai toleransi
6. anjurkan cara merencanakan
makanan yang sesuai program
kolaborasi
1. rujuk ke ahli gizi dan sertakan
keluarga, jika perlu
I. manajemen Nutrisi
Observasi
1. identifikasi status nutrisi
2. monitor asupan makanan
3. monitor berat badan
4. monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
terapeutik
1. lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika perlu
2. fasilitasi menentukan
pedoman diet ( mis.
Piramida makanan)
3. berikan makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
edukasi
1. anjurkan posisi duduk, jika
mampu
2. ajarkan diet yang
diprogramkan
kolaborasi
1. kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
2. kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kaloridan jenis nutrien
yangdibutuhkan, jika perlu
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Kasus
Ny. S yang berusia 71 tahun, pasien beragama islam, pasien merupakan
seorang ibu rumah tangga, pasien mengalami Chronic Kidney Disease (CKD)
grade V dan harus menjalani hemodialisa seminggu 2 kali yaitu hari Rabu dan
Sabtu. Pasien sudah menjalani HD selama ± 1½ tahun. Pada saat dilakukan
pengkajian pasien mengeluh badan lemas dan didapatkan data keadaan umum
pasien yaitu kesadaran composmentis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 15
yaitu E4M6V5. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 150/80
mmHg, suhu 36oC, pernapasan 20x/menit, irama reguler, nadi 80x/menit.
Pemeriksaan antropometri didapatkan hasil tinggi badan 160 cm, berat badan
62 kg, dengan status gizi berat badan berlebih. Hasil pemeriksaan fisik pada
pasien diapatkan konjungtiva anemis, pada ekstremitas kiri atas terpasang AV
shunt, terlihat kemerahan. Terdapat edema pada ekstremitas atas dengan pitting
edema derajat 2.

Hasil pemeriksaan fisik head to toe didapatkan keadaan umum pasien yaitu
kesadaran composmentis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 15 yaitu
E4M6V5. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 150/80 mmHg,
suhu 36oC, pernapasan 20x/menit, irama reguler, nadi 80x/menit. Pemeriksaan
antropometri didapatkan hasil tinggi badan 160 cm, berat badan 63 kg, I.M.T
24,6 kg/m2 dengan status gizi berat badan berlebih. Selain itu didapatkan data
abnormal yaitu pada mata konjungtiva anemis. Pemeriksaan ekstremitas atas
dan bawah terdapat edema pada tangan atas dan pergelangan kaki dengan
derajat pitting edema +1 dan waktu kembali 3 detik. Pemeriksaan kulit
didapatkan kulit kering, warna kulit pucat, CRT <3 detik
Pada pengkajian 11 pola Gordon didapatkan data abnormal pada status nutrisi
dan metabolik yaitu pasien mengatakan makan 3x sehari dengan nasi, lauk dan
sayuran. Pasien mengatakan menyukai makanan yang asin. Pasien
mengkonsumsi teh dan air putih ±350 ml, namun berat badan bertambah 2 kg
dalam 3 hari. Saat dilakukan hemodialisa pasien hanya makan camilan dan
minum segelas teh. Pasien mengatakan nafsu makan menurun. A: BB 63 kg,
TB: 160 cm, IMT: 24,6 kesimpulan berat badan berlebih, B: hemoglobin 9
g/dl, C: turgor kulit kering, lemas, D: rendah protein dan natrium.

Pada eliminasi pada saat dirumah pasien mengatakan BAB 1x/hari, konsistensi
lembek berwarna kecoklatan, BAK tidak lancar, hanya keluar sedikit-sedikit
sekitar 350-400 ml/hari, warna urin kuning pekat, sedangkan saat dirumah sakit
pasien mengatakan tidak BAB dan BAK selama menjalani hemodalisa. Intake
sisa priming

Pada aktivitas dan latihan dirumah Ny. S mengatakan badan terasa lemas. Jika
pasien mengalami bengkak pada kaki sampai sulit untuk berjalan, aktivitas
pasien dibantu oleh keluarga. Sedangkan saat dirumah sakit pasien mengatakan
badan lemas dan hanya tiduran selama hemodialisa. Aktivitas pasien seperti
mandi, BAK, BAB, berpakaian serta mobilisasi harus selalu dibantu oleh
keluarga dan perawat.

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 24 April 2019 yaitu hemoglobin 9


g/dL (L), sedangkan terapi obat yang didapat oleh Ny.S adalah Amlodipin 1 x
10 mg dan B complex 5 mg 1 x 1.
B. Resume asuhan keperawatan dengan pasien gagal ginjal kronik
1. Pengkajian
Pada saat dilakukan pengkajian pasien mengeluh badan lemas dan didapatkan
data keadaan umum pasien yaitu kesadaran composmentis dengan Glasgow
Coma Scale (GCS) 15 yaitu E4M6V5. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital
tekanan darah 150/80 mmHg, suhu 36oC, pernapasan 20x/menit, irama reguler,
nadi 80x/menit. Pemeriksaan antropometri didapatkan hasil tinggi badan 160
cm, berat badan 62 kg, dengan status gizi berat badan berlebih. Hasil
pemeriksaan fisik pada pasien diapatkan konjungtiva anemis, pada ekstremitas
kiri atas terpasang AV shunt, terlihat kemerahan. Terdapat edema pada
ekstremitas atas dengan pitting edema derajat 2.

Hasil Head To Toe pada pemeriksaan antropometri didapatkan hasil tinggi


badan 160 cm, berat badan 63 kg, I.M.T 24,6 kg/m 2 dengan status gizi berat
badan berlebih. Selain itu didapatkan data abnormal yaitu pada mata
konjungtiva anemis. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah terdapat edema
pada tangan atas dan pergelangan kaki dengan derajat pitting edema +1 dan
waktu kembali 3 detik. Pemeriksaan kulit didapatkan kulit kering, warna kulit
pucat, CRT <3 detik

Pada pengkajian 11 pola Gordon didapatkan data abnormal pada status nutrisi
dan metabolik yaitu pasien mengatakan makan 3x sehari dengan nasi, lauk dan
sayuran. Pasien mengatakan menyukai makanan yang asin. Pasien
mengkonsumsi teh dan air putih ±350 ml, namun berat badan bertambah 2 kg
dalam 3 hari. Saat dilakukan hemodialisa pasien hanya makan camilan dan
minum segelas teh. Pasien mengatakan nafsu makan menurun. A: BB 63 kg,
TB: 160 cm, IMT: 24,6 kesimpulan berat badan berlebih, B: hemoglobin 9
g/dl, C: turgor kulit kering, lemas, D: rendah protein dan natrium.

Pada eliminasi pada saat dirumah pasien mengatakan BAB 1x/hari, konsistensi
lembek berwarna kecoklatan, BAK tidak lancar, hanya keluar sedikit-sedikit
sekitar 350-400 ml/hari, warna urin kuning pekat, sedangkan saat dirumah sakit
pasien mengatakan tidak BAB dan BAK selama menjalani hemodalisa. Intake
sisa priming

Pada aktivitas dan latihan dirumah Ny. S mengatakan badan terasa lemas. Jika
pasien mengalami bengkak pada kaki sampai sulit untuk berjalan, aktivitas
pasien dibantu oleh keluarga. Sedangkan saat dirumah sakit pasien mengatakan
badan lemas dan hanya tiduran selama hemodialisa. Aktivitas pasien seperti
mandi, BAK, BAB, berpakaian serta mobilisasi harus selalu dibantu oleh
keluarga dan perawat.

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 24 April 2019 yaitu hemoglobin : 9


g/dL (L), sedangkan terapi obat yang didapat oleh Ny.S adalah Amlodipin 1 x
10 mg dan B complex 5 mg 1 x 1.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah dilakukan didapatkan
DS : Pasien mengeluh badan lemas, pasien mengatakan makan 3x sehari
dengan nasi, lauk dan sayuran. Pasien mengatakan menyukai makanan
yang asin. Pasien mengkonsumsi teh dan air putih ±350 ml, namun berat
badan bertambah 2 kg dalam 3 hari.
DO : Saat dilakukan hemodialisa pasien hanya makan camilan dan minum
segelas teh, Hasil pemeriksaan Antropometri A: BB 63 kg, TB: 160 cm,
IMT: 24,6 kesimpulan berat badan berlebih, B: hemoglobin 9 g/dl, C:
turgor kulit kering, lemas, D: rendah protein dan natrium.
Sehingga penulis dapat menegakkan diagnosa keperawatan Berat badan
berlebih berhubungan dengan gangguan genetik.

b. Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah dilakukan didapatkan data


DS : pasien mengeluh badan lemas, BAK tidak lancar, hanya keluar
sedikit-sedikit warna urin kuning pekat.
DO : hasil Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah terdapat edema pada
tangan atas dan pergelangan kaki dengan derajat pitting edema +1 dan
waktu kembali 3 detik. Pemeriksaan kulit didapatkan kulit kering, warna
kulit pucat, CRT <3 detik, pemeriksaan fisik pada pasien diapatkan
konjungtiva anemis, Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 24 April
2019 yaitu hemoglobin: 9 g/dL (L),
Sehingga penulis dapat menegakkan diagnosa keperawatan Hypervolemia
berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi, kelebihan asupan
cairan, kelebihan asupan natrium

c. Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah dilakukan didapatkan data


DS : Ny. S mengatakan badan terasa lemas. Jika pasien mengalami
bengkak pada kaki sampai sulit untuk berjalan, aktivitas pasien dibantu
oleh keluarga. Sedangkan saat dirumah sakit pasien mengatakan badan
lemas dan hanya tiduran selama hemodialisa
DO : Aktivitas pasien seperti mandi, BAK, BAB, berpakaian serta
mobilisasi harus selalu dibantu oleh keluarga dan perawat.
Sehingga penulis dapat menegakkan diagnosa keperawatan Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen.

3) Intervensi Keperawatan
a. Pada diagnosa Berat badan berlebih berhubungan dengan gangguan
genetik. ditandai dengan IMT: 24,6 kg/m2 kesimpulan berat badan
berlebih, adanya peningkatan berat badan 2 kg dalam waktu 3 hari
diharapakan masalah teratasi dengan intervensi manajemen berat badan,
edukasi diet, manajemen nutrisi

b. Pada diagnosa Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme


regulasi, kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan natrium yang ditandai
dengan edema perifer, hepatomegali, kadar Hb & Ht turun, produksi
urin sedikit warna keruh diharapakan setelah dilakukan tindakan
keperawatan masalah teratasi dengan intervensi monitor TTV, periksa
tanda dan gejala hipervolemi (mis. Ortopnea, dipsnea, edema, suara
napas tambahan), identifikasi penyebab hipervolemi, monitor intake dan
output cairan, kolaborasi dengan dokter pemberian diuretic
c. Pada diagnosa keperawatan Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen ditandai dengan
mengeluh lemas dan mengalami kesulitan berjalan diharapakan setelah
dilakukan tindakan keperawatan masalah teratasi dengan intervensi
Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan, Sediakan
lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara, kunjungan),
Anjurkan melakukkan aktivitas secara bertahap, Identifikasi defisit tingkat
aktivitas, libatkan keluarga dalam melakukan terapi aktivitas.

3. Implementasi
a. Pada pengelolaan pasien pada saat datang ke RS untuk menjalani HD
didapatkan hasil Pasien mengatakan pasien mengeluh badan lemas,
pasien mengatakan makan 3x sehari dengan nasi, lauk dan sayuran.
Pasien mengatakan menyukai makanan yang asin. Pasien
mengkonsumsi teh dan air putih ±350 ml, namun berat badan
bertambah 2 kg dalam 3 hari. Saat dilakukan hemodialisa pasien hanya
makan camilan dan minum segelas teh, Hasil pemeriksaan
Antropometri A: BB 63 kg, TB: 160 cm, IMT: 24,6 kesimpulan berat
badan berlebih, B: hemoglobin 9 g/dl, C: turgor kulit kering, lemas, D:
rendah protein dan natrium. pasien mendapatkan terapi obat Amlodipin
1 x 10 mg dan B complex 5 mg 1 x 1, dilakukann tindakan
memanajemen berat badan, mengedukasi diet, memanajemen nutrisi
b. Pada pengelolaan pasien diagnosa kedua pasien mengeluh badan lemas,
BAK tidak lancar, hanya keluar sedikit-sedikit warna urin kuning pekat.
hasil Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah terdapat edema pada
tangan atas dan pergelangan kaki dengan derajat pitting edema +1 dan
waktu kembali 3 detik. Pemeriksaan kulit didapatkan kulit kering,
warna kulit pucat, CRT <3 detik, pemeriksaan fisik pada pasien
diapatkan konjungtiva anemis, Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal
24 April 2019 yaitu hemoglobin: 9 g/dL (L). Kemudian pasien
dilakukan tindakan memonitor TTV, memeriksa tanda dan gejala
hipervolemi (mis. Ortopnea, dipsnea, edema, suara napas tambahan),
mengidentifikasi penyebab hipervolemi, memonitor intake dan output
cairan, berkolaborasi dengan dokter pemberian diuretic selama
menjalani Hemodialisa.
c. Pada pengelolaan pasien diagnosa ke tiga Ny. S mengatakan badan
terasa lemas. Jika pasien mengalami bengkak pada kaki sampai sulit
untuk berjalan, aktivitas pasien dibantu oleh keluarga. Sedangkan saat
dirumah sakit pasien mengatakan badan lemas dan hanya tiduran
selama hemodialisa. Aktivitas pasien seperti mandi, BAK, BAB,
berpakaian serta mobilisasi harus selalu dibantu oleh keluarga dan
perawat. Kemudian pasien dilakukan tindakan mengidentifikasi gangguan
fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan, menyediakan lingkungan
nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara, kunjungan), menganjurkan
melakukkan aktivitas secara bertahap, menidentifikasi defisit tingkat aktivitas,
melibatkan keluarga dalam melakukan terapi aktivitas.

4. Evaluasi
Berdasarkan hasil evaluasi tindakan keperawatan pada klien Ny.S yang
dilakukan pada tanggal 18 Mei 2020, diperoleh hasil evaluasi, masalah
Berat badan berlebih teratasi karena pasien mengalami sedikit penurunan
berat badan 0,50 kg setelah menjalani HD, pasien sudah mengetahui
bagaimana cara mengatasinya dan cara melakukan diit yang sesuai. Pasien
mengatakan akan mengurangi makanan asin dan teh.
Pada maslaah keperawatan Hipervolemia belum teratasi karena masih terdapat
edema pada ekstremitas, edema dan status hidrasi pada pasien belum
sepenuhnya maksimal akibat dari fungsi ginjal yang sudah menurun.
Sedangkan pada diagnosa Intoleransi Aktivitas masalah teratasi pasien
mampu melakukkan aktivitas secara bertahap, keluarga ikut terlibat dalam
melakukan terapi aktivitas, namun juga melatih pasien untuk mandiri. Pasien
terbaring dengan posisi semifowler setelah dilakukan HD.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Pengkajian
Pada tahap pengkajian penulis mengacu pada format yang telah disediakan,
format pengkajian yang tidak jauh berbeda dengan format yang ada pada
tinjauan teoritis. Dalam pengumpulan data, penulis melakukan pengkajian
secara komprehensif yang mengacu pada tinjauan teoritis yang meliputi aspek
bio, psiko, sosio, dan spiritual yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi
klien. Data hasil pengkajian penulis didapatkan dari hasil wawancara dengan
klien dan keuarga, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan diagnostik, catatan
medis, catatan keperawatan, serta bekerja sama dengan perawat ruangan, dan
tim kesehatan lainnya yang mendukung pengkajian.

Dari hasil pengkajian, klien di diagnosa Chronic Kidney Disease (CKD).


CKD adalah kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel yang ditandai
dengan uremia, yang diakibatkan oleh kerusakan nefron dan glomerolus,
penyebab CKD adalah penyakit ginjal polikistik, glomerolunefritis kronis,
pielonefritis kronis, obstruksi urin kronis, nefropati hipertensi, nefropati
diabetic, dan nefropati gout. Pasien menjalankan program Hemodialisa
selama 11/2 tahun dengan jadwal satu minggu dua kali Diagnosa pada klien
Ny. S 71 tahun dibuktikan pada pemeriksaan hasil Antropometri A: BB 63
kg, TB: 160 cm, IMT: 24,6 kesimpulan berat badan berlebih, B: hemoglobin
9 g/dl, C: turgor kulit kering, lemas, D: rendah protein dan natrium saat
masuk RS dan akan menjalani HD . Faktor resiko terjadi CKD pada Ny.S
mempunyai kebiasaan mengkonsumsi makanan asin dan teh.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Marry, 2015 menyatakan, keadaan


tersebut terjadi karena garam memiliki kandungan kalori yang tinggi, dan
bisa memicu terjadinya rasa haus. Kemudian, ketika haus, seseorang akan
cenderung “mengobatinya” dengan mengonsumsi minuman manis dalam
jumlah banyak. Pada akhirnya, risiko obesitas atau kelebihan berat badan
akan meningkat berlipat ganda.
Ny.S mengeluhkan megalami penurunan berkemih/ oliguria pada saat
dirumah pasien mengatakan BAK tidak lancar, hanya keluar sedikit-sedikit
sekitar 350-400 ml/hari, warna urin kuning pekat, sedangkan saat dirumah
sakit pasien mengatakan tidak BAB dan BAK selama menjalani hemodalisa.
Intake sisa priming, terdapat edema pada tangan atas dan pergelangan kaki
dengan derajat pitting edema +1 dan waktu kembali 3 detik. Pemeriksaan
kulit didapatkan kulit kering, warna kulit pucat, CRT <3 detik, pemeriksaan
fisik pada pasien diapatkan konjungtiva anemis. Hasil pemeriksaan lab
hemoglobin 9 g/dl, terdapat peningkatan BB 2kg dalam waktu 3 hari. Hal ini
sesuai dengan teori menurut Doenges (2014), hipervolemia ditandai dengan
penurunan output, oliguria, peningkatan tekanan darah, peningkatan CVP
(Central Venous Pressure), edema, peningkatan berat badan dalam waktu
singkat, edema pulmonal, perubahan pada status mental, kegelisahan,
penurunan hemoglobin/hematokrit, dan ketidakseimbangan elektrolit.
Menurut penulis, terdapat kesamaan teori dan evidence pada pasien PGK
dengan masalah hipervolemia, karena pasien mengalami penurunan output
pada saat sebelum masuk RS (sebelum diberikan diuretik), peningkatan berat
badan, edema ekstremitas, edema pulmonal, dan juga penurunan
hemoglobin/hematokrit. Saat dikaji pasien telah diberikan terapi diuretik,
oleh karena itu balance cairan pasien bernilai (-) dan outputnya pun
bertambah. Setelah dilakukan pemberian terapi obat Amlodipin 1 x 10 mg
dan B complex 5 mg 1 x 1, dan dilakukan hemodialisa penderita
menunjukkan perbaikan klinis.

Suhardjono (2001) dalam Endarwati (2018) mengatakan pada penderita gagal


ginjal sering ditemukan keadaan hiponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia,
hiperfosfatemia dan hipermagnesemia. Walaupun penderita gagal ginjal dapat
bertahan hidup lebih lama dengan melakukan hemodialisa, namun
kemungkinan dapat terjadi ketidakseimbangan kalium, kalsium, fosfor
anorganik, dan magnesium yang dikarenakan ginjal tidak berfungsi. Dalam
keadaan normal 55 % - 78 % magnesium dalam plasma difiltrasi melalui
glomerulus. Absorbsi terbanyak terutama pada bagian ascending tubulus
Henle (60 – 70 %). Absorbsi melalui tubulus proksimal sekitar 20% dan
melalui tubulus distal / collecting duct sekitar 10% hanya 4% yang dibuang
melalui urin. Absorbsi magnesium tubulus mempunyai angka maksimal. Bila
angka ini melampaui ekskresi magnesium tidak akan bertambah. Bila angka
maksimal terlampaui, ekskresi dengan cepat akan meningkat. Hal ini sesuai
dengan kondisi pada pasien dimana hasil laboratorium: lab Hb 12,5 mg%.

Masalah selanjutnya adalah intoleransi aktivitas berhubungan dengan yang


terdapat pada Ny.S. Masalah ini ditunjang dengan pasien mengatakan merasa
lemas, saat mengalami edema tidak dapat melakukan aktivitas, semua
aktivitas dibantu oleh keluarga dan perawat. Hasil pemeriksaan tanda-tanda
vital tekanan darah 150/80 mmHg, suhu 36oC, pernapasan 20x/menit, irama
reguler, nadi 80x/menit, Hasil pemeriksaan lab hemoglobin 9 g/dl
pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva anemis yang merupakan tanda dari
penyakit anemia.

Hal ini sesuai dengan teori Suhardjono (2019), yang menyatakan bahwa
anemia terjadi pada 80-90% pasien PGK, terutama bila sudah mencapai
stadium III. Anemia terutama disebabkan oleh defisiensi Erythropoietic
Stimulating Factors (ESF). Kemudian menurut National Kidney Foundation
(2012), dalam keadaan normal 90% eritropoietin (EPO) dihasilkan di ginjal
tepatnya oleh juxtaglomerulus dan hanya 10% yang diproduksi di hati.
Eritropoietin mempengaruhi produksi eritrosit dengan merangsang
proliferasi, diferensiasi dan maturasi prekursor eritroid. Keadaan anemia ini
terjadi karena defisiensi eritropoietin yang dihasilkan oleh sel peritubular
sebagai respon hipoksia lokal akibat pengurangan parenkim ginjal fungsional.
Lalu menurut Sukandar (2016), faktor lain yang dapat menyebabkan anemia
pada PGK adalah defisiensi besi defisiensi besi, defisiensi vitamin, penurunan
masa hidup eritrosit yang
mengalami hemolisis, dan akibat perdarahan. Tanda dan gejala yang
ditunjukkan antara lain lemas, kelelahan, sakit kepala, masalah dengan
konsentrasi, pucat, pusing, kesulitan bernapas atau sesak napas, dan nyeri
dada.

Menurut penulis, antara teori dan pengkajian yang didapatkan pada pasien
sesuai, karena tanda dan gejalanya sama, antara lain pasien yang merasa
lemas, kulit pucat, sering pusing, dan juga data tambahan yaitu capillary refill
time (CRT)> 2detik serta konjungtiva anemis yang biasanya paling awal
diperiksa untuk menentukan apakah pasien memiliki kemungkinan anemia
atau tidak.
Menurut Smeltzer& Bare (2015) yaitu tanda dan gejala pasien dengan
penyakit ginjal seperti kelemahan dan keletihan, konfusi, kelemahan pada
tungkai, rasa panas pada kaki, kram otot, kekuatan otot menurun/hilang,
fraktur tulang, dan foot drop. Menurut penulis tanda dan gejala tersebut
muncul pada pasien dengan penyakit ginjal karena kurangnya pergerakan
karena takut akan terjadi sesak napas, mengalami kelemahan sehingga
muncul tanda dan gejala yang sesuai dengan fakta dan teori.

B. Diagnosa Keperawatan
Setelah proses pengumpulan data dan analisa sesuai dengan masalah yang
ditentukan, maka penulis merumuskan diagnosa keperawatan berdasarkan
data-data tersebut. Dari hasil analisa data maka didapatkan tiga diagnosa yang
muncul di kasus :
1. Berat badan lebih berhubungan dengan gangguan genetik.
Pengertian dari diagnosa diatas yaitu akumulasi lemak berlebih atau
abnormal yang tidak sesuai dengan usia dan jenis kelamin yang
disebabkan karena kurang aktivitas fisik, kelebihan konsumsi gula,
gangguan kebiasaan makan, penggunaan energi kurang dari asupan,
sering ngemil, sering makan makanan berminyak/berlemak, dan faktor
keturunan (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).

Diagnosa ini muncul karena pada saat dilakukan pengkajian didapatkan


data subyektif Pasien mengeluh badan lemas, pasien mengatakan makan
3x sehari dengan nasi, lauk dan sayuran. Pasien mengatakan menyukai
makanan yang asin. Pasien mengkonsumsi teh dan air putih ±350 ml,
namun berat badan bertambah 2 kg dalam 3 hari.

Dengan didukung adanya data obyektif Saat dilakukan hemodialisa


pasien hanya makan camilan dan minum segelas teh, Hasil pemeriksaan
Antropometri A: BB 63 kg, TB: 160 cm, IMT: 24,6 kesimpulan berat
badan berlebih, B: hemoglobin 9 g/dl, C: turgor kulit kering, lemas, D:
rendah protein dan natrium. Maka diagnosa Berat badan lebih
berhubungan dengan gangguan genetik ditegakkan.

2. Hypervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi,


kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan natrium.
Pengertian dari diagnosa diatas yaitu peningkatan volume cairan
intravaskuler, interstitial, dan atau intraseluler yang disebabkan oleh
gangguan mekanisme regulasi, kelebihan asupan cairan, kelebihan
asupan natrium, gangguan aliran balik vena dan efek agen farmakologis
(mis. Kortikosteroid, chlorproamine, tolbutamide, vincristine,
tryptilinescarbamazepine), (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).

Diagnosa ini muncul karena pada saat dilakukan pengkajian didapatkan


data subyektif Pasien mengeluh badan lemas, BAK tidak lancar, hanya
keluar sedikit-sedikit warna urin kuning pekat. Dengan didukung oleh
data obyektif hasil Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah terdapat
edema pada tangan atas dan pergelangan kaki dengan derajat pitting
edema +1 dan waktu kembali 3 detik. Pemeriksaan kulit didapatkan kulit
kering, warna kulit pucat, CRT <3 detik, pemeriksaan fisik pada pasien
diapatkan konjungtiva anemis, Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal
24 April 2019 yaitu hemoglobin: 9 g/dL (L) Sehingga diagnosa
keperawatan Hypervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi, kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan natrium ditegakkan.

Penulis dapat menegakkan diagnosa dari hasil pengkajian yang sudah


dilakukan dan Pasien mengalami keluahan tersebut karena pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik mengalami kerusakan ginjal, ginjal tidak
mampu memfiltrasi dan mengeluarkan cairan dalam bentuk urin dengan
semestinya sehingga cairan tersebut mengendap di interstisial.

3. Pada diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan


ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Pengertian diagnosa tersebut adalah ketidak cukupan enrgi untuk
melakukan aktivitas sehari-hari yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antar suplai dan kebutuhan oksigen , tirah baring, kelemahan, imobilitas,
dan gaya hidup monoton (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).

Diagnosa ini muncul karena Berdasarkan hasil pengkajian yang sudah


dilakukan didapatkan data subyektif Pasien mengeluhkan badan terasa
lemas. Jika pasien mengalami bengkak pada kaki sampai sulit untuk
berjalan, aktivitas pasien dibantu oleh keluarga. Sedangkan saat dirumah
sakit pasien mengatakan badan lemas dan hanya tiduran selama
hemodialisa Dengan didukung adanya data obyektif Aktivitas pasien
seperti mandi, BAK, BAB, berpakaian serta mobilisasi harus selalu
dibantu oleh keluarga dan perawat. maka diagnosa keperawatan
intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen ditegakkan.

B. Intervensi
Kesenjangan dalam intervensi tinjauan teoritis dan tinjauan kasus adalah
penulis tidak menuliskan semua intervensi yang dilakukan penulis, yang ada
pada tinjauan teoritis. Hal ini karena intervensi yang dilakukan penulis,
berdasarkan kebutuhan dasar serta kondisi klien saat ini.

Intervensi keperawatan terdiri dari intervensi utama dan intervensi


pendukung. Intervensi utama dari diagnosa keperawatan yang pertama Berat
badan lebih berhubungan dengan gangguan genetik adalah manajemen berat
badan, edukasi diet dengan penkes, manajemen nutrisi rasionalnya agar
pasien mengetahui dan menjaga pola makan serta makanan yang
diperbolehkan dan yang dilarang/dibatasi. Intervensi pendukung yang penulis
gunakan yaitu Kolaborasi denagn ahli gizi untuk pemberian diit rendah garam
Rasionalnya menurunkan berat badan dan volume cairan dalam tubuh (Tim
Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).
Pada diagnosa yang kedua yaitu diagnosa Hypervolemia berhubungan dengan
gangguan mekanisme regulasi, kelebihan asupan cairan intervensi utama
yang dilakukan adalah memonitor adanya edema dengan rasional mengetahui
kelebihan volume cairan. Intervensi pendukung yang penulis gunakan yaitu
Kolaborasi pemberian dieuretik rasionalnya menurunkan volume plasma dan
retensi cairan

Pada diagnosa yang ketiga yaitu diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan


dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dengan
intervensi utama Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
kelelahan, Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara,
kunjungan), intervensi pendukung Anjurkan melakukkan aktivitas secara bertahap,
Identifikasi defisit tingkat aktivitas, libatkan keluarga dalam melakukan terapi
aktivitas dengan rasional pasien dapat melakukan aktivitas secara bertahap
tanpa mengalami kelelahan (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018).

Luaran (outcome) keperawatan merupakan aspek-aspek yang dapat


diobservasi dan diukur meliputi kondisi, perilaku, atau pesepsi pasien
keluarga atau komunitas sebagai respon terhadap intervensi keperawatan.
Luaran keperawatan menunjukkan status diagnosis keperawatan setelah
dilakukan intervensi keperawatan. Hasil akhir intervensi keperawatan yang
terdiri dari indikator-indikator atau kriteria hasil pemulihan masalah.
Terdapat dua jenis luaran keperawatan yaitu luaran positif (perlu
ditingkatkan) dan luaran negatif (perlu diturunkan) (Tim Pokja SLKI DPP
PPNI, 2018).

Adapun komponen luaran keperawatan diantaranya label (nama luaran


keperawatan berupa kata-kata lunci informasi luaran), ekspektasi (penilaian
terhadap hasil yang diharapkan, meningkat, menurun, atau membaik), kriteria
hasil (karakteristik pasien yang dapat diamati atau diukur, dijadikan sebagai
dasar untuk menilai pencapaian hasil intervensi, menggunakan skor 1-3 pada
pendokumentasian computer-based). Ekspektasi luaran keperawatan terdiri
dari ekspektasi meningkat yang artinya bertambah baik dalam ukuran,
jumlah, maupun derajat atau tingkatan, menurun artinya berkurang baik
dalam ukuran, jumlah maupun derajat atau tingkatan, membaik artinya
menimbulkan efek yang lebih baik, adekuat, atau efektif (Tim Pokja SLKI
DPP PPNI, 2018).

C. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan tahap keempat setelah perencanaan. Dalam tahap
ini, penulis melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana tindakan yang
telah ditetapkan. Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan
memperhatikan keadaan dan kondisi klien saat itu. Implementasi utama yang
dilakukan dari diagnosa Berat badan lebih berhubungan dengan gangguan
genetik adalah memanajemen berat badan, mengedukasi diet dengan penkes,
memanajemen nutrisi, dan berkolaborasi denagn ahli gizi untuk pemberian
diit rendah garam Pemberian implementasi tersebut dengan alasan karena
Diet adalah pengaturan pola makan dan menu makanan. Diet bagi penderita
ginjal bertujuan untuk menyeimbangkan kadar elektrolit, mineral, dan cairan
di dalam tubuh agar meringankan beban kerja ginjal yang telah mengalami
kerusakan dan penurunan fungsi. Penderita gagal ginjal membutuhkan
pengaturan makan khusus, karena organ ginjalnya tidak lagi bisa
mengeluarkan zat-zat sisa dan racun dari dalam tubuh. Pengaturan diet  gagal
ginjal biasanya akan dilakukan oleh dokter spesialis gizi. Tujuan diet ini
adalah agar ginjal tidak semakin rusak dan tidak terjadi komplikasi akibat
gagal ginjal, misalnya penyakit jantung atau edema paru (Marry, 2015).
Maka dilakukan pemebrian intervensi dengan penkes diit GGK supaya pasien
mengetahui cara diet dengan benar serta menerapkannya dalam
kesehariannya.

Sedangkan implementasi utama yang dilakukan dari diagnosa keperawatan


Hypervolemia adalah memonitor adanya edema, mengkaji TTV, dan
berkolaborasi pemberian dieuretik, dengan alasan dilakukannya monitor TTV
adalah karena pemeriksaan TTV di tubuh adalah untuk memberikan petunjuk
mengenai penyakit yang sedang diderita seseorang serta menggambarkan
tingkat efektivitas perawatan yang dijalani, kenapa berkolaborasi pemberian
diuretik karena diuretik merupakan obat yang berfungsi untuk membuang
kelebihan garam dan air dari dalam tubuh melalui urine. Jumlah garam,
terutama natrium yang diserap kembali oleh ginjal akan dikurangi, natrium
tersebut akan ikut membawa cairan yang ada didalam darah, sehingga
produksi urine bertambah. Akibatnya cairan tubuh akan berkurang dan
tekanan darah turun serta edema akan berkurang (Mansjoer, 2017)

Pada diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan


antara suplai dan kebutuhan oksigen dengan implementasi menidentifikasi
gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan, menyediakan lingkungan
nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya, suara, kunjungan), menganjurkan
melakukkan aktivitas secara bertahap, menidentifikasi defisit tingkat aktivitas,
melibatkan keluarga dalam melakukan terapi aktivitas . Pemberian implementasi
tersebut dengan alasan karena aktivitas adalah suatu energi atau keadaan
bergerak dimana manusia memerlukannya untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidup. latihan merupakan suatu gerakan tubuh secara aktif yang dibutuhkkan
untuk menjaga kinerja otot dan mempertahankan postur tubuh. Latihan dapat
memelihara pergerakan dan fungsi sendi sehingga kondisinya dapat setara
dengan kekuatan dan fleksibilitas otot (Wartonal, 2017). Pola akivistas yang
dijadwal sesuai kebutuhan itu agar tidak kambuh lagi. Mengajarkan cara tirah
baring yang benar, Tirah baring dalam istilah adalah adalah pengaturan posisi
miring kanan atau kiri yang diberikan kepada pasien immobilisasi untuk
mengurangi tekanan. perawatan kedokteran yang membutuhkan berbaringnya
pasien di tempat tidur untuk jangka waktu yang berkesinambungan dan tidak
melakukan tindakan diluar dari berbaring. Biasanya dilakukan pada kondisi
medis tertentu yang mengalami sakit parah, sekarat atau memerlukan
berbaring untuk menghindari komplikasi penyakit / kondisi tertentu yang
lebih buruk. Dan biasanya tindakan keperawatan penyakit jantung (Suyono,
2013).

D. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan dan bertujuan untuk
menentukan berbagai respon pasien terhadap intervensi keperawatan yang
sudah disusun dan sebatas mana tujuan-tujuan yang di rencanakan sudah
tercapai (Smeltzer & Bare, 2013).

Evaluasi keperawatan pada pasien gangguan integritas jaringan dilakukan


untuk meningkatkan integritas jaringan. Dalam perumusan evaluasi
keperawatan menggunakan empat komponen yang dikenal dengan SOAP,
yaitu S (Subjektive) merupakan data informasi berupa ungkapan pernyataan
keluhan pasien, O (Objective) merupakan data hasil pengamatan, penilaian
dan pemeriksaan, A (Assesment) merupakan perbandingan antara data
subjective dan data objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian akan
diambil sebuah kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi sebagian, atau
tidak teratasi, dan P (Planning) merupakan rencana keperawatan lanjutan
yang akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi, atau ditambah dari rencana
tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya (Dinarti, Aryani,
Nurhaeni, Chairani, & Tutiany, 2013).

Evaluasi diharapkan sesuai dengan masalah yang dihadapi pasien dengan


Hypervolemia dan perencanaan tujuan serta kriteria hasil yang telah dibuat.
Pada pasien dengan, indikator evaluasi yang diharapkan yaitu sebagai
berikut:

Berdasarkan hasil evaluasi pada klien Ny.S yang dilakukan HD pada tanggal
18 Mei 2020, diperoleh hasil evaluasi diagnosa Berat badan lebih
berhubungan dengan gangguan genetik teratasi karena pasien mengalami
sedikit penurunan berat badan 0,50 kg setelah menjalani HD, pasien sudah
mengetahui bagaimana cara mengatasinya dan cara melakukan diit yang
sesuai. Pasien mengatakan akan mengurangi makanan asin dan teh.

Pada diagnosa Hypervolemia, masalah belum teratasi karena edema dan


status hidrasi pada pasien belum sepenuhnya maksimal akibat dari fungsi
ginjal yang sudah menurun dan disertai penyakit penyerta yaitu Hipertensi
dan Diabetes Melitus yang sudah lama. Terjadi peningkatan Hb menjadi 12,5
mg%, setelah diberikan implementasi pemberian terapi hemodialisa dan
terapi obat Amlodipin 1 x 10 mg dan B complex 5 mg 1 x 1. karena hb dapat
meningkat dengan cara meningkatkan asupan zat besi, vitamin B12 dan folat
yang merupakan nutisi yang berperan penting dalam produksi sel darah
merah yang kaya hemoglobin dan Hal tersebut karena dilakukan penanganan
untuk mengganti tugas ginjal dalam tubuh dengan terapi pengganti ginjal
dengan dialisis, dialisis dilakukan dengan mesin yang disebut hemodialisis
alasannya karena dialisis yang dilakukan dalam rongga perut dengan
menggunakan cairan dialisis untuk menyerap cairan atau limbah yang
berlebihan yang disebut continuous ambularory peritoneal dialysis/ CAPD
(Ketut, 2017).

Evaluasi pada diagnosa ketiga yaitu Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan


ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen masalah teratasi pasien
mampu melakukkan aktivitas secara bertahap, keluarga ikut terlibat dalam
melakukan terapi aktivitas, namun juga melatih pasien untuk mandiri. Pasien
terbaring dengan posisi semifowler setelah dilakukan HD, tidak terdapat kelelahan.
Setelah pasien dilakukan implementasi tersebut maka terjadi perbaikan
kondisi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Tujuan Umum
Proses Keperawatan adalah metode Asuhan Keperawatan yang ilmiah,
sistematis, dinamis dan terus-menerus serta berkesinambungan dalam
rangka pemecahan masalah kesehatan pasien/klien, dimulai dari
Pengkajian (Pengumpulan Data, Analisis Data dan Penentuan Masalah)
Diagnosis Keperawatan, Pelaksanaan dan Penilaian Tindakan
Keperawatan (evaluasi). Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan
fungsi ginjal yang bersifat persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan
fungsi ginjal yaitu penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat
digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan berat (Mansjoer, 2017
Penyebab kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis baru
menurut data yang dikumpulkan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) pada tahun 2015 hasilnya yaitu penyakit hipertensi berada pada
urutan pertama sebesar 34%, urutan kedua yaitu diabetes melitus sebesar
27% dan selanjutnya ada glomerulonefritis sebesar 14%, nefropati
obstruksi sebesar 8%, pielonefritis kronik sebesar 6%, ginjal polikistik
sebesar 1%, penyebab yang tidak diketahui sebesar 1% dan penyebab
lainnya sebesar 9%.

2. Tujuan Khusus
d. Pengkajian
Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan
sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan
keperawatan dapat ditentukan. Pengkajian pada pasien dengan
penyakit ginjal kronik didapatkan adanya masalah cairandan perfusi.
e. Diagnosa Keperawatan
Seperti yang dikemukakan beberapa ahli di bab sebelumnya yaitu
terdapat 5 diagnosa keperawatan pada pasien ginjal yaitu,
hypervolemia, perfusi perifer tidak efektif, gangguan integritas kulit,
intoleransi aktivitas, dan berat badan lebih namun pada hasil analisa
data terdapat kesenjangan antara teori dengan nyatanya, pada hasil
pengkajian pasien Ny.S ditemukan 3 diagnosa keperawatan dengan 3
masalah yang sesuai teori yaitu berat badan lebih, hipervolemi,
intoleransi aktivitas sedangkan maslaah intoleransi aktivitas tidak
sesuai dengan teori.
f. Intervensi Keperawatan
Intervensi yang digunakan dalam kasus pada Ny.S, klien disesuaikan
dengan masalah keperawatan yang ditegakkan berdasarkan criteria
tanda dan gejala mayor, minor dan kondisi klien saat ini.
g. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada Ny.S sesuai dengan
intervensi yang telah direncanakan berdasarkan teori yang ada dan
sesuai dengan kebutuhan Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis
h. Evaluasi
Akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang di berikan. Pada evaluasi yang penulis lakukan
pada pasien Ny.S dengan masa perawatan 2 x 4 jam dan dengan 3
masalah keperawatan yaitu berat badan lebih, hipervolemi dan
intoleransi aktivitas, masalah teratasi Pasien mengatakan sudah
mengetahui cara melakukan diit dan bersedia menerapkannya dalam
sehari-hari, pasien mengalami penurunan BB, pasien sudah tidak
merasakan kelelahan lagi, edema ekstremitas berkurang, Hb
meningkat menjadi 12,5 gr/dL, konjungtiva tidak anemis, Serta pasien
dilakukan dialisis dengan hemodialisa. Pasien mampu melakukan
aktivitas bertahap, aktivitas ddibantu keluarga dan perawat.
i. menganalisa kesenjangan yang terdapat antara teori dan kasus Gagal
Ginjal Kronik
dari pembahasan telah dilakukan analisa kesenjangan teroi dengan
kasus yang didapatkan hasil bahwa terdapat banyak kesenjangan yang
ada didalam teori terhadap kasus Gagal Ginjal Kronik yang menjalani
Hemodialisa tersebut.
C. Saran
a. Bagi Penulis
Penulis diharapkan bisa memberikan tindakan pengelolaan asuhan
keperawatan selanjutnya pada pasien dengan Gagal Ginjal Kronik (GGK)
yang menjalani Hemdodialisa.
b. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa diharapkan meningkatkan informasi dari berbagai sumber lain
tentang asuhan keperawatan dewasa, sehingga dapat memberikan
gambaran kepada pasien tentang mengenal dan merawat kesehatan
tubuhnya.
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2019). Teknik prosedural keperawatan:konsep dan aplikasi kebutuhan


dasar manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Corwin, Elizabeth J. (2016). Buku Saku Patofisiologi.EGC: Jakarta.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2016). Pengantar kebutuhan dasar manusia, aplikasi
konsep dan proses keperawatan, buku 1. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat, A.A.A. (2018). Pengantar kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba
Medika
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder SJ. (2011). Buku ajar fundamental
keperawatan, konsep, proses, & praktik. Jakarta: Penerbit Buku
kedokteran.
Maryunani, A. (2012). Nyeri dalam persalinan teknik dan cara penanganannya.
Jakarta: Trans Info Media.
Muttaqin, Arif. (2018).Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta : Salemba Medika
Mubarak, WI & Chayatin, Nurul. (2015). Buku ajar kebutuhan dasar manusia, teori
& aplikasi dalam praktik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2018). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta:  MediAction.
Patricia A. Potter, Anne G. Perry. (2015). Fundamental Keperawatan Edisi 7 Buku 3.
Jakarta : Salemba Medika.
Alam, Syamsir dan Hadibroto, Iwan. (2017). Gagal Ginjal. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama
Aziz, M. Farid, dkk. (2018). Panduan Pelayanan Medik: Model Interdisiplin
Penatalaksanaan kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal.
Baradero, Mary, dkk. (2015). Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC
Faiz, Omar dan Moffat, David. (2014). Anatomy at a Glance. Jakarta: Penerbit
Erlangga
James, Joyce, dkk. (2018). Prinsip-prinsip Sains untuk Keperawatan. Jakarta:
Penerbit Erlangga
McCloskey, (2018), Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby, US
Price, Sylvia A and Willson, Lorraine M, 2015, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses penyakit, Edisi empat, EGC, Jakarta

Ralph & Rosenberg, (2018), Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2018-
2020, Philadelphia USA

O’Callaghan, Chris. (2015). At A Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta:


Erlangga.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B,.Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (Ed). (2017).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi 4). Jilid II. Jakarta: Pusat
Penerbitan Penyakit Dalam FKUI
Smeltzer, C Suzanne & Bare, G Brenda. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal-
Bedah Brunner&Suddarth, Ed.8, Vol.2. Jakarta: EGC
Suwitra, Ketut. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD
FKUI.
Smeltzer, C Suzanne & Bare, G Brenda. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal-
Bedah Brunner&Suddarth, Ed.8, Vol.2. Jakarta: EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 2. Jakarta: DPP PPN
PATHWAY

Glomerulonefritis kronik, konsumsi makanan asin


pielonefritis kronik

Hipertensi,
↑volume darah ke ginjal
↓ukuran ginjal, terbentuknya
Jaringan parut ginjal tidak mampu menyaring
darah yang terlalu banyak

Kerusakan ginjal

↓GFR

Sekresi eritropoetin↓ Gangguan fungsi ginjal berlangsung kronik

Produksi Hb ↓

Anemia kerusakan Glomerulus kerusakan tubulus

Kelemahan umum ↓ jumlah glomerulus terganggunya fungsi


yang berfungsi absorbsi, sekresi, eksresi

Dx.Intoleransi tertimbunnya produk menumpuknya toksik metabolit


Aktivitas hasil metabolisme protein (fosfat, hidrogen, urea, amonia,
dalam darah kreatinin, dsb)

sindrom uremia ↑ vol. vaskuler

terapi pengganti ginjal tekanan


hidrostatik↑

menimbulkan rasa HEMODIALISA edema


haus yang berlebih

kelebihan cairan Dx.Hipervolemia

berat badan meningkat

Dx. Berat Badan lebih


lebihllebihLebih

Anda mungkin juga menyukai