Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL


KRONIK (GGK) DENGAN PENYEBAB KELAIAN GINJAL DENGAN
PENATALAKSANAAN HEMODIALISA DI POLI HEMODIALISA
RSD Dr. SOEBANDI JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN
disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan Profesi Ners (P3N)
Stase Keperawatan Medikal Bedah (KMB)

oleh
Ratna Lauranita Anggraeni, S. Kep
NIM 112311101029

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016

LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gagal Ginjal Kronik
dengan penyebab Kelainan Ginjal di Ruang Rawat Jalan Hemodialisa RSD dr.
Soebandi Jember yang telah disetujui dan disahkan pada:
tanggal:
tempat: Ruang Rawat Jalan Hemodialisa

Jember,

Pembimbing Klinik

..
NIP.

Pembimbing Akademik

..
NIP.

Kepala Poli Hemodialisa

..
NIP.

A. Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan


Sistem perkemihan merupakan suatu sistem organ tempat terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh
tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh (Smeltzer &
Bare, 2001). Sistem perkemihan merupakan sistem yang penting untuk
membuang sisa-sisa metabolisme makanan yang dihasilkan oleh tubuh terutama
senyawaan nitrogen seperti urea dan kreatinin, bahan asing dan produk sisa
lainnya. Sampah metabolisme ini dikeluarkan (disekresikan) oleh ginjal dalam
bentuk urin. Urin kemudian akan turun melewati ureter menuju kandung kemih
untuk disimpan sementara dan akhirnya secara periodik akan dikeluarkan melalui
uretra. Sistem ini merupakan salah satu sistem utama untuk mempertahankan
homeostatis (kekonsistenan lingkungan internal) (Sloane, 2004).
1. Anatomi Sistem Perkemihan
Sistem urinaria terdiri dari dua ginjal yang memproduksi urin, dua
ureter yang membawa urin ke dalam sebuah kandung kemih untuk
penampungan sementara, dan uretra yang mengalirkan urin keluar tubuh
melalui uretra eksterna (Sloane, 2004).

Gambar 1. Anatomi Sistem Urinaria

a. Saluran Kemih Atas


Ginjal terletak di belakang peritoneum parietal (retro-peritoneal), pada
dinding abdomen posterior. Ginjal juga terdapat pada kedua sisi aorta abdominal
dan vena kava inferior. Hepar menekan ginjal kanan ke bawah sehingga ginjal
kanan lebih rendah daripada ginjal kiri. Setiap ginjal tiga lapisan jaringan
pembungkus berupa jaringan ikat yaitu fasia renal (pembungkus terluar), lemak
perirenal (lapisan kedua berupa lemak adipose untuk membantali ginjal dan tetap
pada posisinya), dan kapsul fibrosa (lapisan yang langsung membungkus ginjal)
(Baradero, et al., 2009).
Pada bagian atas setiap ginjal terdapat kelenjar adrenal. Pada bagian
medial setiap ginjal, terdapat cekungan yang disebut hilum (hilus). Arteri renal
dan saraf memasuki ginjal melalui hilum, sedangkan vena renal, saluran limfa,
dan ureter keluar dari ginjal juga melalui hilum. Apabila ginjal dibelah membujur,
akan tampak korteks dan medula. Sebagian besar nefron (unit fungsional ginjal)
terdapat pada korteks. Bagian tengah ginjal adalah renal medula yang terdiri atas
8-10 piramid. Sebelum masuk ginjal, ureter melebar dan membentuk pelvis ginjal.
Pelvis ginjal bercabang dan membentuk 2-3 kaliks mayor. Setiap kaliks mayor
bercabang menjadi beberapa kaliks minor. Kaliks minor inilah yang
mengumpulkan urin yang keluar dari tubulus koligentes (Baradero, et al., 2009).

Gambar 2. Anatomi Ginjal


Nefron merupakan unit fungsional ginjal. Setiap ginjal berisi sekitar satu
juta nefron yang terdiri dari dua macam nefron, yaitu nefron kortikal (85%) dan
nefron juksta medular (15%). Nefron kortikal berperan dalam konsentrasi dan
dilusi urin. Struktur nefron yang berkaitan dengan proses pembentukan urin

adalah korpus, tubulus renal, dan tubulus koligentes. Korpus ginjal terdiri atas
glomerulus dan kapsul Bowman yang membentuk ultrafiltrat dari darah. Tubulus
renal terdiri atas tubulus kontortus proksimal, ansa Henle, dan tubulus kontortus
distal. Ketiga tubulus renal ini berfungsi dalam reabsorpsi dan sekresi dengan
mengubah volume dan komposisi ultrafiltrat sehingga terbentuk produk akhir,
yaitu urin (Baradero, et al., 2009).

Gambar 3. Anatomi nefron


Ginjal merupakan organ yang sangat vaskular (kaya pembuluh darah) dan
mampu menerima 20% curah jantung dalam keadaan istirahat. Ginjal mendapat
suplai darah arteri dari aorta abdominal. Arteri renalis bercabang kemudian
membentuk arteri lobaris yang memberi suplai darah pada setiap piramid. Arteri
lobaris ini kembali bercabang agar darah dapat bergerak dengan efisien melalui
setiap nefron. Darah masuk ke dalam glomerulus melalui arteri aferen dan keluar
melalui arteri eferen, kemudian darah mengalir melalui kapiler peritubular yang
mengelilingi tubula nefron. Akhirnya darah dalam kapiler peritubular masuk ke
dalam venula dan darah dikembalikan ke dalam sistem sirkulasi melalui sistem
vena ginjal. Kedua ureter merupakan kelanjutan dari pelvis ginjal dan membawa
urin ke dalam kandung kemih, khususnya ke area yang disebut trigonum.
Trigonum adalah area segitiga yang terdiri atas lapisan membran mukus yang

dapat berfungsi sebagai katup untuk menghindari refluks urin ke dalam ureter
ketika kandung kemih berkontraksi (Baradero, et al., 2009).
Fungsi ginjal menurut Sloane (2004) yaitu sebagai berikut.
1) Pengeluaran zat sisa organik
Ginjal mensekresi urea, asam urat, kreatinin, dan produk penguraian
hemoglobin dan hormon. Sisa metabolik diekskresikan dalam filtrat
glomerular. Kreatinin diekskresikan ke dalam urine tanpa diubah. Sisa
yang lain seperti urea, menagalami reabsorpsi waktu melewati nefron.
Biasanya obat dikeluarkan melalui ginjal atau diubah dulu di hepar ke
dalam bentuk inaktif, kemudian diekskresi oleh ginjal.
2) Pengaturan konsentrasi ion-ion penting
Ginjal mensekresi ion kalium, natrium, kalsium, magnesium, sulfat,
dan fosfat. Ekskresi ion-ion ini seimbang dengan asupan dan
ekskresinya melalui rute lain, seperti pada saluran gastrointestinan
atau kulit. Salah satu fungsi penting ginjal adalah mengatur kalsium
serum dan fosfor. Kalsium sangat penting untuk pembentukan tulang,
pertumbuhan sel, pembekuan darah, respons hormon, dan aktivitas
listrik selular. Ginjal adalah pengatur utama keseimbangan kalsiumfosfor. Ginjal melakukan hal ini dengan mengubah vitamin D dalam
usus (dari makanan) ke bentuk yang lebih aktif, yaitu 1,25dihidrovitamin D3. Ginjal meningkatkan kecepatan konversi vitamin D
jika kadar kalsium atau fosforus serum menurun. Vitamin D molekul
yang aktif (1,25-dihidrovitamin D3), bersama hormon paratiroid dapat
meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfor oleh usus.
3) Pengaturan keseimbangan asam basa tubuh
Ginjal mengandalikan ekskresi ion hidrogen (H+), bikarbonat (HCO3-),
dan amonium (NH4+), serta memproduksi urin asam atau basa,
tergantung pada kebutuhan tubuh. Agar sel dapat berfungsi normal,
perlu juga dipertahankan pH plasma 7,35 untuk darah vena dan pH
7,45 untuk darah arteri. Keseimbangan ini dapat dicapai dengan
mempertahankan rasio darah bikarbonat dan karbondioksida pada
20:1. Ginjal dan paru-paru bekerja lama untuk mempertahankan rasio
ini. Paru-paru bekerja dengan menyesuaikan jumlah karbon dioksida

dalam darah. Ginjal menyekresi atau menahan bikarbonat dan ion


hidrogen sebagai respons terhadap pH darah (Baradero, et al., 2009).
4) Pengaturan produksi sel darah merah
Ginjal memproduksi enzim yang disebut faktor eritropoietin yang
mengaktifkan eritropoietin, hormon yang dihasilkan hepar. Fungsi
eritropoietin adalah menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi
sel darah, terutama sel darah merah. Tanpa eritropoietin, sumsum
tulang pasien penyakit hepar atau ginjal tidak dapat memproduksi sel
darah merah (Baradero, et al., 2009).
5) Pengaturan tekanan darah
Ginjal mempunyai peranan aktif dalam pengaturan tekanan darah,
terutama dengan mengatur volume plasma dipertahankan melalui
reabsorpsi air dan pengendalian komposisi cairan ekstraselular (mis.,
terjadi

dehidrasi).

Aldosteron

Korteks

membuat

ginjal

adrenal

mengeluarkan

menahan

natrium

aldosteron.
yang

dapat

mengakibatkan reabsorpsi air (Baradero, et al., 2009).


6) Pengendalian terbatas terhadap konsentrasi glukosa darah dan asam
amino darah. Ginjal melalui ekskresi glukosa dan asam amino berlebih
bertanggung jawab atas konsentrasi nutrien dalam darah.

7) Pengeluaran zat beracun.


Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambah makanan, obat-obatan, atau
zat kimia asing lain dari tubuh. Biasanya obat dikeluarkan melalui
ginjal atau diubah dulu di hepar ke dalam bentuk inaktif, kemudian
diekskresi oleh ginjal (Sloane, 2004; Baradero, et al., 2009).
8) Keseimbangan elektrolit
Sebagian besar elektrolit yang dikeluarkan dari kapsula Bowman
direabsorpsi dalam tubulus proksimal. Konsentrasi elektrolit yang telah
direabsorpsi diatur dalam tubulus distal di bawah pengaruh hormon
aldosteron dan ADH. Mekanisme yang membuat elektrolit bergerak
menyebrangi membran tubula adalah mekanisme aktif dan pasif.
Gerakan pasif terjadi apabila ada perbedaan konsentrasi molekul.
Molekul bergerak dari area yang berkonsentrasi tinggi ke area yang
berkonsentrasi rendah. Gerakan aktif memerlukan energi dan dapat
membuat molekul bergerak tanpa memperhatikan tingkat konsentrasi
molekul. Dengan gerakan aktif dan pasif ini, ginjal dapat
mempertahankan keseimbangan elektrolit yang optimal sehingga
menjamin fungsi normal sel.
b. Saluran Kemih Bawah
Kandung kemih yang terletak di belakang simfisis pubis
mengumpulkan urin. Membran mukus yang melapisi kandung kemih
tersusun berlipat dan disebut rugae. Dinding otot kandung kemih yang
elastis bersama dengan rugae dapat membuat kandung kemih berdistensi
untuk menampung jumlah urin yang cukup banyak. Otot skeletal berlapis
satu mengelilingi dasar dan membentuk sfingter urinarius eksternal. Saraf
simpatis dan parasimpatis mempersarafi kandung kemih (Baradero, et al.,
2009).
Kandung kemih atau buli-buli merupakan organ berongga yang
terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang saling beranyaman. Lapisan otot-otot
tersebut adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot sirkuler, dan
yang paling luar adalah longitudinal mukosa vesika terdiri dari sel-sel
transisional yang sama seperti pada mukosa pelvis renalis, ureter, dan

uretra posterior. Pada dasar buli-buli, kedua muara ureter dan meatus
uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum bulibuli. Secara anatomis buli-buli terdiri dari tiga permukaan, yaitu
permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum,
permukaan inferoinferior, dan permukaan posterior (Muttaqin, 2009).

Gambar 4. Anatomi buli-buli

Buli-buli berfungsi menampung urin dari ureter dan kemudian


mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme berkemih. Dalam
menampung urin, buli-buli mempunyai kapasitas yang maksimal yaitu
volume untuk orang dewasa kurang lebih adalah 300-450 ml, sedangkan
kapasitas buli-buli pada anak menurut formula dari koff yaitu:
Kapasitas buli - buli = ( umur(tahun)+ 2 )x 30

Pada saat kosong, buli-buli terdapat di belakang simpisis pubis dan


pada saat penuh berada pada atas simpisis pubis sehingga dapat dipalpasi
atau di perkusi. Buli-buli yang terasa penuh memberikan rangsangan pada
saraf aferen dan menyebabkan aktivasi miksi di medulla spinalis segmen
sakral S2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi otot detrusor, terbukanya

leher buli-buli, dan relaksasi spingter uretra sehingga terjadilah proses


miksi (Purnomo, 2012).
2. Fisiologi Sistem Perkemihan
Dalam ginjal terjadi proses pembentukan urin yang terjadi melalui
serangkaian proses filtrasi (penyaringan) zat-zat beracun, reabsorpsi
(penyerapan kembali), dan augmentasi (penambahan zat sisa yang tidak
diperlukan lagi oleh tubuh dan tidak mungkin disimpan lagi ke dalam tubulus
distal) (Aryulina, et al., 2004).
a. Filtrasi
Pembentukan urin diawali dengan filtrasi darah di glomerulus.
Filtrasi merupakan perpindahan cairan dari glomerulus menuju ke ruang
kapsula bowman dengan menembus membran filtrasi. Membran filtrasi
terdiri dari 3 lapisan, yaitu sel endotelium glomerulus, membran basiler,
dan epitel kapsula bowman. Sel-sel endotelium glomerulus dalam badan
malpighi akan mempermudah proses filtrasi. Dalam glomerulus, sel-sel
darah, trombosit, dan sebagian besar protein plasma disaring dan diikat
agar tidak ikut dikeluarkan. Hasil penyaringan tersebut berupa urin primer
(filtrat glomerulus). Filtrat glomerulus mengandung zat yang hampir sama
dengan cairan yang menembus kapiler menuju ruang antarsel. Dalam
keadaan normal, urin primer tidak mengandung eritrosit, tetapi
mengandung protein yang kadarnya kurang dari 0,03%. Kandungan
elektrolit dan kristaloid (kristal halus yang terbentuk dari protein) dari urin
primer juga hampir sama dengan cairan jaringan. Kadar anion di dalam
urin primer termasuk ion Cl- dan ion HCO3- , lebih tinggi 5% dari pada
kadar anion plasma, sedangkan kadar kationnya lebih rendah 5% dari pada
kadar kation plasma. Selain itu, urin primer mengandung glukosa, garamgaram mineral, natrium, kalium, dan asam amino (Aryulina, et al., 2004).

b. Reabsorpsi
Reabsorpsi merupakan proses perpindahan cairan dari tubulus renalis
menuju pembuluh darah yang mengelilinginya, yaitu kapiler peritubuler.
Sel-sel tubulus renalis secara selektif mereabsorpsi zat-zat yang terdapat
dalam urin primer. Reabsorpsi tergantung dari kebutuhan akan zat-zat
yang terdapat di dalam urin primer. Nutrisi akan direabsorpsi, sedangkan
reabsorpsi garam organik bervariasi tergantung dari kadar zat tersebut di
dalam plasma. Setelah reabsorpsi, kadar urea menjadi lebih tinggi dan zatzat yang dibutuhkan tidak ditemukan lagi. Urin yang dihasilkan setelah
proses reabsorpsi disebut urin sekunder (filtrat tubulus) (Aryulina, et al.,
2004).
Pada keadaan normal, hampir 99% dari air yang menembus membran
filtrasi akan direabsorpsi sebelum mencapai ureter. Persentase air yang
diserap di bagian tubulus kontortus proksimal yaitu 80%, lengkung henle
6%, tubulus distal 9%, dan saluran penampung 4%. Reabsorpsi di tubulus
kontortus proksimal dilakukan dengan proses osmosis yang disebut
dengan reabsorpsi obligat. Sebaliknya reabsorpsi air di tubulus kontortus
distal disebut dengan reabsorpsi fakultatif, yaitu reabsorpsi yang terjadi
tergantung dari kebutuhan. Jadi, jika tubuh terlalu banyak mengandung air,
tidak terjadi reabsorpsi. Sedangkan jika tubuh mengandung air dengan
jumlah sedikit, terjadilah reabsorpsi (Aryulina, et al., 2004).

Gambar 5. Mekanisme reabsorpsi air dalam ginjal

Reabsorpsi zat tertentu dapat terjadi secara transpor aktif dan difusi.
Sebagai contoh pada sisi tubulus yang berdekatan dengan lumen tubulus
renalis terjadi difusi ion Na+, sedangkan pada sisi sel tubulus yang
berdekatan dengan kapiler terjadi transpor aktif ion Na+. Adanya transpor
aktif Na+ di sel tubulus ke kapiler menyebabkan menurunnya kadar ion Na+
di sel tubulus renalis, sehingga difusi Na+ terjadi dari lumen sel tubulus
renalis. Pada umumnya zat yang penting bagi tubuh direabsorpsi secara
transpor aktif. Zat-zat penting bagi tubuh yang secara aktif direabsorpsi
adalah protein, asam amino, glukosa, dan vitamin. Zat-zat tersebut
direabsorpsi secara aktif di tubulus proksimal, sehingga tidak ada lagi di
lengkung Henle (Aryulina, et al., 2004).

Gambar 6. Mekanisme pembentukan urin dan proses filtrasi

c. Augmentasi
Augmentasi (sekresi tubular) adalah proses penambahan zat-zat
yang tidak diperlukan oleh tubuh dari kapiler peritubular ke lumen tubular
yang terjadi di tubulus distal. Sel-sel tubulus mengeluarkan zat-zat tertentu
yang mengandung ion hidrogen dan ion kalium kemudian menyatu dengan

urin sekunder. Penambahan ion hidrogen sangat penting karena membantu


menjaga kesetimbangan pH dalam darah. Jika pH dalam darah mulai
menurun, sekresi ion hidrogen akan meningkat sampai berada pada
keadaan pH normal (7,35-7,45) dan urin yang dihasilkan memiliki pH
dengan kisaran 4,5-8,5. Urin yang terbentuk akan disimpan sementara di
vesika urinaria untuk selanjutnya dibuang melalui uretra (Aryulina, et al.,
2004).
d. Miksi
Miksi (mengeluarkan urine) adalah suatu proses sensori-motorik yang
kompleks. Urine mengalir dari pelvis ginjal, kemudian kedua ureter dengan
gerakan peristalsis. Rasa ingin berkemih akan timbul apabila kandung kemih
berisi urine sebanyak 200-300 ml. Saat dinding kandung kemih mengencang,
baroseptor (saraf sensori yang distimulasi oleh tekanan) akan membuat kandung
kemih berkontraksi. Otot sfingter eksternal berelaksasi dan urine keluar. Otot
sfingter eksternal dapat dikendalikan secara volunter sehingga urine tetap tidak
keluar walaupun dinding kandung kemih sudah berkontraksi (Baradero et al,
2008).

B. Konsep Teori CKD


1. Pengertian
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah
gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irevesibel dimana
kemampuan tubuh ginjal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2001). Gagal ginjal
kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan ireversibel.
Gagal ginjal terminal adalah ketidakmampuan renal berfungsi dengan adekuat
untuk keperluan tubuh (harus dibantu dengan dialisis atau transplantasi)
(Mansjoer, et al 2001).

Gambar 7. Perbedaan Ginjal Normal dengan Ginjal dengan GGK

Kriteria penyakit GGK menurut National Kidney Foundation (2002)


yaitu sebagai berikut.
a. Terjadi kerusakan ginjal selama 3 bulan atau lebih yang ditandai oleh
abnormalitas struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (GFR), yang dimanifestasikan oleh abnormalitas
patologis atau tanda kerusakan ginjal, meliputi abnormalitas komposisi
darah atau urin, atau abnormalitas hasil tes
b. GFR< 60 ml/mnt/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal (National Kidney Foundation, 2002).

2. Epidemiologi
Di dunia, sekitar 2.622.000 orang telah menjalani pengobatan End-Stage
Renal Disease (ESRD, penyakit ginjal tahap akhir) pada akhir tahun 2010.
77% diantaranya menjalani pengobatan dialisis dan 23% menjalani
transplantasi ginjal. Prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%,
yang berarti terdapat 18 juta orang dewasa di Indonesia menderita penyakit
ginjal kronik (Siallagan, et al., 2012).
3. Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi
terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%),
hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%).
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada glomerulus yang
diakibatkan karena adanya pengendapan kompleks antigen antibodi.
Reaksi peradangan di glomerulus menyebabkan pengaktifan komplemen,
sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas
kapiler glomerulus dan filtrasi glomerulus. Protein-protein plasma dan sel
darah merah bocor melalui glomerulus. Glomerulonefritis dibagi menjadi
dua yaitu glomerulonefritis akut dan kronis (Price, 2005).
b. Hipertensi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg.
Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan
hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak
ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan
hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit atau keadaan seperti
feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma
Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat
(Bakri, 2008)

Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut JNC VII

c. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis


tubulus ginjal)
Penyakit ginjal polikistik (PKD) adalah suatu kondisi dominan autosomal
dimana gagal ginjal terjadi akibat degenerasi kistik progresif ginjal yang
ditandai dengan kista-kista multiple, bilateral, dan berekspansi yang
lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal
akibat penekanan. Semakin lama ginjal tidak mampu mempertahankan
fungsi ginjal, sehingga ginjal akan menjadi rusak (GGK). Pasien datang
dengan keluhan utama hipertensi, nyeri perut, hematuria, atau gagal ginjal
kronis (Price, 2005).
1) Agenesis Ginjal
Agenesis ginjal adalah keadaan tidak ditemukan jaringan ginjal pada
satu sisi atau keduanya.
2) Hipoplasia Ginjal
istilah yang digunakan untuk ginjal berukuran kecil yang terjadi akibat
defisiensi perkembangan jumlah atau ukuran nefron. Ginjal kecil
dangan parenkim normal (ginjal kerdil) sering unilateral dan sering
kali ditemukan bersama kelainan kongenital lain.
3) Hidronefrosis
Hidonefrosis merupakan suatu keadaan pelebaran dari pelvis ginjal dan
kalises. Peningkatan tekanan ureter menyebabkan perubahan pada
filtrasi glomerular, fungsi tubular, dan aliran darah ginjal. Laju filtrasi
glomerulus (GFR) menurun secara signifikan dalam beberapa jam
setelah obstruksi akut.

4) Hipospadia
Hipospadia adalah kelainan kongenital yang meatusnya mempunyai
posisi abnormal di sebelah proksimal ujung glans.
5) Hidrokel
Hidrokel adalah akumulasi cairan di dalam tunika vaginalis dan tunika
albuginea yang membungkus testis.
d. Penyakit

metabolik

(Diabetes

Mellitus,

gout,

hiperparatiroidisme,

Amiloidosis). Diabetes mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam


bentuk nefropati diabetik yaitu semua lesi yang terjadi di ginjal pada
diabetes mellitus (Price, 2005).
4. Klasifikasi
CKD dapat diklasifikasikan atas dasar derajat (stage) penyakit.
Klasifikasi atas dasar penyakit dibuat berdasar GFR yang dihitung dengan
menggunakan rumus Kockcroft-Gault. Berdasarkan persentase laju filtrasi
glumerolus (LFG) yang tersisa, Gagal Ginjal diklasifikasikan menjadi 4
tingkatan yaitu :
a. Gagal ginjal dini
Pada tingkat ini ditandai dengan berkurangnya sejumlah nefron sehingga
fungsi ginjal yang ada sekitar 50-80% dari normal (100 ml/menit/1,73
m2). Dengan adanya adaptasi ginjal dan respon metabolik untuk
mengkompensasi penurunan faal ginjal maka tidak tampak gangguan
klinis.
b. Insufisiensi ginjal kronik
Pada tingkat ini fungsi ginjal berkisar antara 25-50% dari normal. Gejala
mulai dengan adanya gangguan elektrolit, gangguan pertumbuhan dan
keseimbangan kalsium dan fosfor. Pada tingkat ini LFG berada di bawah
89 ml/menit/1,73 m2.
c. Gagal ginjal kronik
Pada tingkat ini fungsi ginjal berkurang hingga 25% dari normal dan telah
menimbulkan berbagai gangguan seperti asidosis metabolik, osteodistrofi

ginjal, anemia, hipertensi dan sebagainya. LFG pada tingkat ini telah
berkurang menjadi di bawah 30ml/menit/1,73m2.
d. Gagal ginjal terminal
Pada tingkat ini fungsi ginjal tinggal 12% dari normal. LFG menurun
sampai <10 ml/menit/1,73 m2 dan pasien telah memerlukan terapi dialysis
atau transplantasi ginjal.
National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (K/DOQI) juga mengklasifikasikan CKD berdasar derajat penyakit
yang ditunjukkan pada tabel 1 (National Kidney Foundation, 2002).
GFR (ml/mnt/1.73 m2) =

(140-umur) x berat badan*)


72 x kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85


Tabel 2. Klasifikasi CKD
Derajat
1
2
3
4
5

Klasifikasi CKD berdasarkan derajat penyakit


Penjelasan
GFR (ml/mnt/1.73 m2)
Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau
90
Kerusakan ginjal dengan GFR ringan
60-89
Kerusakan ginjal dengan GFR sedang
30-59
Kerusakan ginjal dengan GFR berat
15-29
Gagal ginjal
< 15 atau dialisis

Sumber: National Kidney Foundation (2002)

5. Tanda dan Gejala


Manifestasi klinik menurut Smeltzer dan Bare, (2001) antara lain:
hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem reninangiotensin-aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat
cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh
toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang,
perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi). Tanda dan gejala
penyakit gagal ginjal kronis menurut Chandrasoma (2005) adalah sebagai
berikut.
a. Keseimbangan Na+ dan status volume
Kelebihan Na+ dan air dalam derajat sedang dapat terjadi tanpa disertai
tanda-tanda objektif kelebihan CES (Cairan Ekstrasel). Namun, ingesti
Na+ yang berlebihan akan menyebabkan gagal ginjal kongestif, hipertensi,
asites, edema perifer, dan penambahan berat badan. Kehilangan mendadak
Na+ dapat mengalami deplesi CES, kolaps vaskuler dan syok. Tanda dan
gejala keringnya selaput lendir, pusing, pingsan, takikardia, dan penurunan
pengisian vena jugularis (Chandrasoma, 2005).
b. Keseimbangan K+
Hiperkalemia adalah masalah serius pada gagal ginjal kronik, khususnya
pada pasien dengan GFR yang telah menurun di bawah 5 mL/mnt
(Chandrasoma, 2005).
c. Asidosis Metabolik
Berkurangnya kemampuan

pasien

gagal

ginjal

kronik

dalam

mengekskresikan asam dan membentuk penyangga menyebabkan asidosis


metabolik. Turunnya pH darah pada para pasien dapat dikoreksi dengan
20-30 mmol (2-3 g) natrium bikarbonat per oral setiap hari (Chandrasoma,
2005).
d. Mineral dan tulang
Pada gagal ginjal kronik, terjadi beberapa gangguan metabolisme fosfat,
Ca2+ dan tulang. Hipofosfatemia dan hipermagnesemia dapat terjadi akibat
pemakaian berlebihan zat pengikat fosfat dan antasid yang mengandung
magnesium. Hiperfosfatemia ikut berperan dalam terjadinya hipokalsemia
sehingga

berfungsi

sebagai

faktor

pemicu

tambahan

terjadinya

hiperparatiroidisme dan peningkatan kadar PTH darah (Chandrasoma,


2005).
e. Kelainan kardiovaskular dan paru
Gagal jantung kongestif dan edema paru paling sering disebabkan oleh
kelebihan cairan dan garam. Hipertensi juga terjadi akibat kelebihan cairan
dan garam, hipereninemia (Chandrasoma, 2005).
f. Kelainan hematologik
Pasien dengan gagal ginjal kronik memperlihatkan kelainan pada sel darah
merah, sel darah putih, dan trombosit. Gambaran yang sering ditemukan
adalah anemia normokromik normositik dengan gejala gelisah, mudah
lelah serta hemotokrit dalam kisaran 20-25%. Pasien gagal ginjal
memperlihatkan kelainan hemostasis yang bermanisfestasi mudah memar,
peningkatan perdarahan saat pembedahan. Uremia dilaporkan berkaitan
dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi, yang disebabkan oleh
supresi leukosit oleh toksin uremik (Chandrasoma, 2005).
g. Kelainan neuromuskular
Gejala dan tanda SSP dapat berkisar dari gangguan tidur ringan, serta
penurunan konsentrasi mental, berkurangnya daya ingat, kesalahan dalam
melakukan penilaian, dan iritabilitas neuromuskular (Chandrasoma, 2005).
h. Kelainan saluran cerna
Pasien dengan uremia mengalami penyakit tukak peptik, gastroenteritis
uremik. Temuan GI non-sfesifik pada pasien uremik mencakup anoreksia,
cegukan, mual, muntah, dan divertikulosis (Chandrasoma, 2005).
i. Kelainan endokrin dan metabolik
Wanita dengan uremia memperlihatkan kadar estrogen yang rendah
sehingga terjadi peningkatan insidens amenorea dan berkurangnya
kemampuan pasien untuk hamil. Kadar testosteron yang rendah,
impotensi, ologospermia, dan dysplasia sel benih sering ditemukan pada
pria dengan gagal ginjal kronik (Chandrasoma, 2005).
j. Kelainan kulit
Pasien dengan gagal ginjal kronik mungkin tampak pucat karena anemia,
memperlihatkan

perubahan

waran

kulit

yang

berkaitan

dengan

penimbunan metabolit berpigmen atau kulit menjadi keabuan akibat


hemokromatosis terkait transfusi, mengalami ekimosis, dan hematoma

akibat kelainan pembekuan, serta mengidap pruritus dan ekskoriasi akibat


pengendapan Ca2+ oleh hiperparatiroidisme (Chandrasoma, 2005).
6. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang
peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Selanjutnya oleh hormon,
renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang
terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua
aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik
(ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan
bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang
pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah (Levanita, 2011).
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada
ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya
konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume
cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan
darah. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi berkembang menjadi
hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri
kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat (Levanita, 2011).

Gambar 7. Mekanisme RAAS


Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahanperubahan stuktur pada arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan
hialinisasi (sklerosis) di dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah
jantung, otak, ginjal, dan mata. Hipertensi merupakan faktor pemicu utama
terjadinya penyakit ginjal akut maupun penyakit ginjal kronik. Bahkan, hipertensi
merupakan penyebab kejadian gagal ginjal tahap akhir kedua terbanyak setelah
diabetes mellitus. Penyakit ginjal yang disebabkan karena hipertensi disebut
nefropati hipertensi (nefrosklerosis hipertensi) adalah penyakit ginjal yang
disebabkan karena terjadinya kerusakan vaskularisasi di ginjal oleh adanya
peningkatan tekanan darah akut maupun kronik. Nefropati hipertensi terbagi
menjadi dua yakni nefropati hipertensi benigna (nefroskelerosis benigna) dan
nefropati hipertensi maligna (nefrosklerosis maligna) (Price, 2005).
Nefropati hipertensi benigna (nefroskelerosis benigna) adalah kerusakan
vaskularisasi pada ginjal yang disebabkan karena peningkatan tekanan darah yang
menetap (hipertensi stage 2) baik primer maupun sekunder dalam kurun waktu
lebih dari 3 bulan dengan GFR <60 ml/menit/1,73m2 sehingga dapat
menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik yang disebabkan karena hipertensi.
Pada nefrosklerosis benigna, pembuluh darah arteri ginjal tampak tebal, lumen

menyempit, dan terdapat kapiler glomerular yang sklerotik dan kempis.


Perubahan vaskular ini dapat menyebabkan suplai darah ke ginjal berkurang dan
tubulus ginjal juga mengalami atrofi. Hipertensi yang berlangsung lama dapat
mengakibatkan perubahan struktur pada arteriol, ditandai dengan fibrosis dan
hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah. Arterioskelerosis akibat hipertensi
lama dapat menyebabkan nefrosklerosis, gangguan ini merupakan akibat langsung
iskemia karena penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Ginjal menjadi
mengecil, biasanya simetris, permukaan berlubang-lubang, dan berglanula. Secara
histologi lesi yang esensial adalah sklerosis arteri-arteri kecil serta arteriol yang
paling nyata pada arteriol eferen. Penyumbatan arteri dan arteriola akan
menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron
rusak terjadilah gagal ginjal kronik (Price, 2005).
Nefropati hipertensi maligna (nefrosklerosis maligna) adalah kerusakan
pada vaskular ginjal yang disebabkan karena peningkatan tekanan darah yang
mendadak (hipertensi emergensi/ maligna). Kerusakan organ ginjal terjadi setelah
kenaikan tekanan darah dalam hitungan menit hingga jam dan hal ini dapat
menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut akibat hipertensi. Pada nefrosklerosis
maligna, perubahan besarnya adalah nekrosis dan penebalan arteriola, kapiler
glomerular, serta atrofi tubula yang tersebar. Selain itu, terjadi hematuria
makroskopik proteinuria berat dan peningkatan kreatinin plasma. Nefrosklerosis
malignan adalah kondisi kedaruratan medis. Tekanan darah yang tinggi harus
diturunkan untuk menghindari kerusakan ginjal yang permanen dan kerusakan
organ tubuh yang vital, misalnya otak dan jantung (Suwitra, 2006).
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephorns) sebagai upaya
konpensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini mengakibatkan terjadi hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang

masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan
aktivitas aksis rennin angiotensin aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, skelorosis dan progresifitas tersebut.
7. Prognosis dan Komplikasi
Gagal ginjal kronik adalah penyakit yang mempunyai prognosis buruk
dimana akan terjadi penurunan fungsi ginjal secara bertahap. Pada tahap awal
penderita mungkin tidak merasakan keluhan tetapi setelah beberapa tahun atau
beberapa puluh tahun penyakit ginjal ini sering berkembang cepat menjadi gagal
ginjal terminal dimana akan membutuhkan terapi renal seperti dialisis atau
transplantasi untuk memperpanjang usianya.
Komplikasi CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006)
antara lain sebagai berikut.
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diet berlebih
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
f.
g.
h.
i.

anorganik
Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia
Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian antihipertensif,

eritropoietin, suplemen besi, agens pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Pasien
juga perlu mendapat penanganan dialisis yang adekuat untuk menurunkan kadar
produk sampah uremik dalam darah.

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada penyakit gagal ginjal kronis tidak jauh beda
dengan prosedur pemeriksaan diagnosis, perbedaannya terletak pada beberapa hal
atau poin dari hasil pemeriksaan.
a. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urin. Prosedur ini memeriksa
sedimen setelah urin disentrifugasi. Urin yang normal hampir tidak
mengandung sedimen (Baradero, et al., 2009). Pemeriksaan urin mencakup
evaluasi hal-hal berikut.
1. Observasi warna dan kejernihan urin
2. Pengkajian bau urin
3. Pengukuran keasaman dan berat jenis urin
4. Tes untuk memeriksa keberadaan protein, glukosa, dan badan keton
dalam urin.
5. Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin sesudah melakukan pemusingan
(centrifuging) untuk medeteksi sel darah merah (hematuria), sel darah
putih, silinder (silindruria), kristal (kristaluria), pus (piuria) dan bakteri
(bakteriuria).
Urinalisis dapat mendeteksi dan menunjang diagnosa penyakit ginjal dengan
menemukan protein urin, eritrosit dan leukosit dan dengan menemukan
berbagau silinder dalam sedimen urin (Speicher, 2006). Hal-hal yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan urinalisis pada gagal ginjal akut dan kronis,
yaitu sebagai berikut.
1. Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri), yang terjadi
setelah ginjal rusak, pada gagal ginjal kronis juga dapat dihasilkan urin
tak ada (anuria).
2. Warna: pada gagal ginjal akut dan kronis urin berwarna kotor atau
keruh, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin
dan porfirin. Pada penderita gagal ginjal kronis juga didapatkan
kekeruhan urin yang mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak,
partikel koloid, fosfat atau urat.
3. Berat jenis: pada penderita gagal ginjal akut berat jenis urin kurang dari
1,020 dapat menunjukkan penyakit ginjal, contoh glomerulonefritis,
pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk memekatkan,

sedangkan pada gagal ginjal kronis adalah kurang dari 1,015 dan akan
menetap pada 1,010 yang menunjukkan kerusakan ginjal.
4. Osmolalitas: gagal ginjal akut dan kronis memiliki nilai intrepretasi
yang sama yaitu kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
ginjal, dan rasio urin/serum 1:1.
5. Klirens kreatinin:pada gagal ginjal akut dan kronik secara bermakna
menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukkan peningkatan
bermakna.
6. Natrium: pada gagal ginjal akut nilai atau jumlah dari natrium dapat
menurun sedangkan pada gagal ginjal kronis dapat menunjukkan jumlah
yang lebih dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mengabsorpsi
natrium dengan baik.
7. Protein: pada gagal ginjal akut jumlah atau nilai proteinuria pada derajat
rendah (1-2+) dan sedimen dapat menunjukkan infeksi atau nefritis
interstisial. Sedangkan pada gagal ginjal kronis derajat protenuria
terletak pada derajat tinggi (3-4+) menunjukkan kerusakan glomerulus
bila terdapat sedimen dan perubahan warna.
(Doenges, 2000)
b. Darah
Penilaian CKD dapat dilakukan dengan pemerikasaan laboratorium seperti:
kadar serum sodium/natrium dan potassium/kalium, pH, kadar serum phospor,
kadar Hb, hematokrit, kadar urea nitrogen dalam darah (BUN), serum dan
konsentrasi kreatinin urin, urinalisis. Pada stadium yang cepat pada insufisiesi
ginjal, analisa urin dapat menunjang dan sebagai indikator untuk melihat
kelainan fungsi ginjal. Analisa urin rutin dilakukan pada stadium gagal ginjal
dengan produksi urin yang tidak normal. Analisa urin juga dapat menunjukkan
kadar protein, glukosa, RBCs/eritrosit, dan WBCs/leukosit serta penurunan
osmolaritas urin. Pada gagal ginjal yang progresif dapat terjadi output urin
yang kurang dan frekuensi urin yang menurun. Monitor kadar BUN dan kadar
kreatinin sangat penting bagi pasien dengan gagal ginjal. Urea nitrogen adalah
produk akhir dari metabolisme protein serta urea yang harus dikeluarkan oleh
ginjal. Normal kadar BUN dan kreatinin sekitar 20:1. Peningkatan BUN

mengindikasikan adanya dehidrasi dan kelebihan intake protein (Doenges,


2000).
1. Hb: menurun pada adanya anemia
2. Sedimen: sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan
hidup.
3. pH: asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan
kemampuan ginjal untuk mengekresikan hidrogen dan hasil akhir
metabolisme.
4. BUN/kreatinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan
protein), perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin
meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum
bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan
penyakit. Biasanya meningkat pada proporsi rasio 10:1.
5. Osmolalitas serum: labih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan
urin.
6. Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel
darah merah).
7. Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
8. pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
9. Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat.
10. Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urin, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan
penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial
(Doenges, 2000)
c. Pemeriksaan EKG dilakukan untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri,
tanda

perikarditis,

aritmia,

dan

gangguan

elektrolit

(hiperkalemi,

hipokalsemia).
d. Pemeriksaan USG dilakukan untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal
korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih serta prostat.
e. Pemeriksaan Radiologi seperti Renogram,

Intravenous

Pyelography,

Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI,


Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto
polos abdomen. Berberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunakan untuk

mengetahui gangguan fungsi ginjal antara lain sebagai berikut (Doenges,


2000).
1. Flat-plat radiografi/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi
dari ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang
mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
2. Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara
jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai
kontras atau tanpa kontras.
3. Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan
fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus
gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali
kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses/batu ginjal, serta
obstruksi saluran kencing.
4. Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri,
vena, dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis,
aneurisma ginjal, arterovenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk
vaskuler.
5. Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi
kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada
ginjal serta post transplantasi ginjal.
(Doenges, 2000)

f. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mendiagnosa kelainan ginjal dengan mengambil jaringan
ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus glomerulonefritis,
sindrom nefrotik, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan perencanaan transplantasi
ginjal.
g. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah
arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri
femoralis, radialis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah
diberi heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum dilakukan uji
laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada penderita gagal ginjal
akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolik dengan nilai PO 2 normal, PCO2
rendah, pH rendah, dan defisit basa tinggi
(Grace dan Borley, 2006)
9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada CKD dan faktor
yang dapat dipulihkan (misal obstruksi) diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer &
Bare, 2001). Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga
yaitu sebagai berikut.
a. Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. Gejala-gejala seperti
mual, muntah, dan letih mungkin dapat membaik. Pembatasan asupan
protein telah terbukti menormalkan kembali kelainan ini dan

memperlambat terjadinya gagal ginjal.

Asupan rendah protein

mengurangi

menurunkan

beban

ekskresi

sehingga

hiperfiltrasi

glomerulus, tekanan intraglomerulus, dan cedera sekunder pada nefron


intak. Selain itu, tindakan yang harus dilakukan adalah dengan tidak
memberikan obat-obatan atau makanan yang tinggi kandungan kalium.
Makanan atau obat-obatan tersebut mengandung tambahan garam (yang
mengandung amonium klorida dan kalium klorida), ekspektoran, kalium
sitrat, dan makanan seperti sup, pisang, dan jus buah murni. Pengaturan
natrium dalam diet memiliki arti penting dalam gagal ginjal. Jumlah
natrium yang biasanya diperbolehkan adalah 40 hingga 90 mEq/hari (12 gr natrium), tetapi asupan natrium yang optimal harus ditentukan
secara individual pada setiap pasien untuk mempertahankan hidrasi yang
baik (Price & Wilson, 2005).
2. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat
dengan tujuan utama yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi, dan memelihara status gizi.
3. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 liter per hari.
4. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari GFR dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bikarbonat) harus
segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20
mEq/L.
2. Anemia

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3. Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi Hemodialisa
reguler yang adekuat, medikamentosa, atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
6. Hipertensi dengan pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada GFR kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
Hemodialisa, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1. Hemodialisa
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien CKD yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (GFR).

Gambar 8. Hemodialisa
2. Dialisis peritoneal
Ditanamkan sampai 2 liter larutan glukosa isotonik atau hipertonik
dalam rongga peritoneal pasien melalui membran peritoneal seluas 2 m2
dengan darah di kapiler peritoneum. Setelah beberapa jam cairan yang
mengandung sisa buangan toksik ditarik keluar. Prosedur ini diulangi
tiga atau empat kali sehari. Kelebihan cairan diambil oleh larutan
hipertonik. Komplikasi utama adalah peritonitis, biasanya akibat
Staphylococcus epidermidis atau S. Aureus.

Gambar 9. Dialisis peritoneal


3. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu sebagai berikut.

Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh


(100%) faal ginjal, sedangkan Hemodialisa hanya mengambil alih
70-80% faal ginjal alamiah.

Kualitas hidup normal kembali.

Masa hidup (survival rate) lebih lama.

Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan


dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.

Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.

Gambar 10. Transplantasi ginjal


10. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan
yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular yaitu sebagai berikut (National Kidney Foundation, 2002).
a. Pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko
penurunan fungsi ginjal)
b. Pengendalian gula darah, lemak darah, dan anemia
c. Penghentian merokok
d. Peningkatan aktivitas fisik
e. Pengendalian berat badan

C. Konsep Teori Hemodialisa


1. Pengertian
Hemodialisa berasal dari kata hemo dan dialisa. Hemo adalah darah
sedangkan dialisa adalah pemisahan atau filtrasi. Pada prinsipnya hemodialisa
menempatkan darah berdampingan dengan cairan dialisat atau pencuci yang
dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semi permeabel. Membran ini
dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut
dialysis yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi
permeabel (Price, 2005).
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter
khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang
digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh
penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa
memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan
buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan.
Dializer juga dapat digunakan untuk memindahkan sebagian besar volume
cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan
hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan
perbandingan sedikit larutan) melalui membran (NKF, 2006).
Dialisis adalah suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan proses yang harus dilaksanakan oleh ginjal.Hemodialisis
digunakan untuk mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisis
tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal.
Hemodialisis tidak dapat mengembalikan aktivitas metabolik atau
endokrin yang dilaksanakan ginjal yang rusak dan hemodialisis juga tidak
dapat menghilangkan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap
kualitas hidup pasien. Pasien dengan gagal ginjal kronis (GGK) harus
menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya (biasanya 3 kali seminggu
selama paling sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi) atau sampai mendapat

ginjal baru melalui operasi pencangkokan yang berhasil. Pasien


memerlukan terapi dialisis yang kronis kalau terapi ini diperlukan untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala
uremia (Smeltzer dan Bare, 2001).

Gambar 11. Hemodialis


2. Tujuan
Tujuan Hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik
dari dalam darah, mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam
basa, mengembalikan beberapa manifestasi kegagalan ginjal yang ireversibel.
Walaupun Hemodialisa dapat mencegah kematian, namun Hemodialisa tidak
menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal, tidak mampu mengimbangi
hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan oleh ginjal dan
dampak dari gagal ginjal (Smeltzer & Bare, 2001).
3. Indikasi
Hemodialisa biasanya dimulai apabila kadar kreatinin serum diatas 6
mg/100 ml pada pria sedangkan pada wanita diatas 4 mg/100 ml. Selain itu, nilai
kadar glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Menurut
PERNEFRI (2003) secara ideal semua pasien dengan GFR kurang dari 15

ml/menit, GFR kurang dari 10 ml/menit dengan gejala uremia atau malnutrisi dan
GFR kurang dari 5 ml/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis.
Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila
terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik
berulang, dan nefropatik diabetik.(4,5,14)
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis
adalah GFR kurang dari < 15 mL/menit (Tabel 1), sehingga dialisis dianggap
perlu dimulai bila dijumpai pemeriksaan tanda dan gejala serta pemeriksaan
laboratorium, sebagai berikut.
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
Pasien dapat mengalami gangguan kesadaran. Adanya gangguan asidosis
metabolik dan atau gejala sindrom uremia seperti mual, muntah dan
anoreksia. Tanda-tanda overload cairan seperti edem, sesak napas akibat
edema paru, serta adanya gangguan jantung. Pasien juga dapat mengeluhkan
sulit kencing (anuria) lebih dari 5 hari.
b. Pemeriksaan laboratorium ditemukan :

Kreatinin serum > 8 mg/dL


Ureum darah > 200 /dL
Hiperkalemi (K serum > 6mEq/L)
pH darah < 7,1 atau Asidosis dengan bikarbonat serum kurang dari 10
mEq/L

Sukandar (2006) menyebutkan bahwa indikasi tindakan terapi dialisis yaitu


terdiri dari indikasi absolut dan indikasi elektif.
Indikasi Absolut

Perikarditis

Ensefalopati/neuropati azotemik

Bendungan paru dan kelebihan cairan yang


tidak responsif dengan diuretik

Hipertensi refrakter

Muntah persisten

Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg%

Kreatinin > 10 mg%

Indikasi elektif
GFR antara 5 dan 8
ml/menit/1,73m
Mual dan muntah
Anoreksia
Astenia berat

Tabel 3. Indikasi Hemodialisa

4. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox, kontraindikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontraindikasi dari
hemodialisa adalah tidak didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses
vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik, dan koagulasi. Kontraindikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi
infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut (PERNEFRI, 2003)
5. Keuntungan
Keuntungan dari tindakan Hemodialisa adalah pasien tidak perlu
menyiapkan peralatan sendiri, kondisi pasien lebih terpantau karena tindakan ini
dilakukan di rumah sakit oleh perawat dan dokter yang sudah terlatih dan jumlah
protein yang hilang selama pada proses lebih sedikit. Meskipun sebagai terapi
pengganti ginjal (renal replacement therapy), tetapi tindakan dialisis ini tidak
mampu menyebabkan beberapa abnormalitas klinis uremia dapat dihilangkan.
Selain keuntungan, Hemodialisa juga memiliki beberapa komplikasi, yaitu
terjadinya kram dan hipotensi intradialisis (Brenner, 2004).
6. Prinsip Hemodialisa
Tujuan Hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik
dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada Hemodialisa, aliran
darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien
ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke
tubuh pasien. Sebagian besar dialiser merupakan lempengan rata atau ginjal serat
artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus yang bekerja
sebagai membrane semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut
sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari
darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membran semipermeabel
tubulus (Rosdiana, 2011).

Ada tiga prinsip yang mendasari kerja Hemodialisa, yaitu: difusi, osmosis
dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke
cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari
semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar
elektrolit darah dapat dikendalikan dengan mengatur rendaman dialisat (dialysat
bath) secara tepat. Sel darah merah dan protein tidak dapat melewati pori-pori
kecil dalam membran semipermiabel (Rosdiana, 2011).

Gambar 12. Proses difusi pada Hemodialisa


Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient tekanan, yaitu
air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke
daerah dengan tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat
ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai
ultrafiltrasi pada mesin dialisis (Rosdiana, 2011).
Proses ultrafiltrasi ini terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik dan osmotik
(Rosdiana, 2011).
a. Ultrafiltrasi hidrostatik
1) Transmembrane pressure (TMP)

TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan


kompartemen dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut didalamnya
berpindah dari darah ke dialisat melalui membran semipermiabel akibat
perbedaan tekanan hidrostatik antara kompartemen darah dan
kompartemen dialisat. Kecepatan ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan
tekanan yang melewati membran.

TO WASTE

LOW PRESS

HIGH PRESS

Gambar 13. Proses ultrafiltrasi

2) Koefisien ultrafiltrasi (KUf)


Besarnya permeabilitas membran dializer terhadap air bervariasi
tergantung besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah
cairan (ml/jam) yang berpindah melewati membran per-mmHg
perbedaan tekanan (pressure gradient) atau perbedaan TMP yang
melewati membran.
b. Ultrafiltrasi osmotik
Berpindahnya air karena tenaga kimiawi yang terjadi akibat adanya
perbedaan tekanan osmotik (osmolalitas) darah dan dialisat. Perpindahan
tersebut sekaligus membawa zat -zat terlarut didalamnya yang berukuran
kecil dan permiabel terhadap membran, sehingga akhirnya konsentrasi zat
terlarut pada kedua bagian menjadi sama (Rosdiana, 2011).

Sistem dapar (buffer system) tubuh dipertahankan dengan penambahan


asetat yang akan berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan
mengalami metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah
dibersihkan kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh vena
pasien. Pada akhir terapi dialisis, banyak zat limbah telah dikeluarkan,
keseimbangan elektrolit sudah dipulihkan dan sistem dapar juga telah
diperbaharui (Rosdiana, 2011).
7. Proses Hemodialisa
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu
saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk
menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa
metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa
diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke
dalam mesin hemodialisa. Hemodialisa dilakukan pada penyakit gagal ginjal
terminal yaitu dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan
(dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dialirkan
dan dipompa ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput permiabel buatan
(artificial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialairi cairan
dialysis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit yang sama
dengan serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan
dialysis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena
zar terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah
sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses
dialysis, air juga berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan
dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen
cairan dialisat. Perpindahan air disebut dengan ultrafiltrasi (Rahardjo, et al.,2006)
Cairan dialysis adalah cairan yang digunakan pada proses hemodialisa,
terdiri dari campuran air dan elektrolit yang mempunyai konsentrasi hampir sama
dengan serum normal dan mempunyai tekanan osmotik yang sama dengan darah.
Fungsi cairan dialysis adalah mengeluarkan dan menampung cairan serta sisa-sisa

metabolisme dari tubuh, serta mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama
dialisa. Cairan dialysis mengandung macam-macam garam, elektrolit, dan atau zat
antara lain sebagai berikut (Rahardjo, et al.,2006).
1. NaCl / Sodium Chloride.
2. CaCl2 / Calium Chloride.
3. MgCl2 / Magnesium Chloride.
4. NaC2H3O2 3H2O / acetat atau NaHCO3 / Bilkarbonat.
5. KCl / potassium chloride, tidak selalu terdapat pada dialisat.
6. Dextrose.

Gambar 14. Cairan dialisat


Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa
berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran
darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya
termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi
antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan
untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi
dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan
aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan (PERNEFRI, 2003).
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain
untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah dialisat
ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan

sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler
halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung
kecil ini, dan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan
kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung
kapiler (Price, 2005)

Gambar 15. Dializer


Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter
masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran

semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan
darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi.
Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke
dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt) (Ganong, 2002)
Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi
untuk dialisat. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur
arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui
jalur vena. Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan
sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan
perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa.
Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di
luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara
darah dan dialisat terjadi sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer
melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi (Price, 2005)

Gambar 16. Sirkuit


Komposisi dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi
ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan
cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang umum
terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl- , asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat
dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke dalam dialisat karena

unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat. Natrium asetat yang lebih tinggi
konsentrasinya dalam dialisat, akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan
menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis penderita uremia. Asetat
dimetabolisme oleh tubuh pasien menjadi bikarbonat. Glukosa dalam konsentrasi
yang rendah ditambahkan ke dalam dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke
dalam dialisat yang dapat menyebabkan kehilangan kalori dan hipoglikemia. Pada
hemodialisa tidak dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi, karena
pembuangan cairan dapat dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik
antara darah dengan dialisat (Price, 2005).
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan
hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat
dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah
dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan
menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur
tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga
meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi
dengan larutan garam atau NaCl 0,9%, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi
penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui
sirkuit ekstrakorporeal (diluar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa
darah untuk membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400
ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus
dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan
darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien.
Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan
monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (NKF, 2006;
Price, 2005).
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 45 jam dengan frekuensi
2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 1015 jam/minggu dengan QB
200300 mL/menit. Pada akhir interval 23 hari diantara hemodialisa,

keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut
berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam
proses hemodialisa. Price (2005) menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh
akan meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan
hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien meninggal.
Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan kebocoran kecil atau masif
dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat. Hemodialisa rumatan
biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama pengobatan berkisar dari 4
sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa yang digunakan dan keadaan
pasien.
8. Komponen Hemodialisa
Komponen Hemodialisa terdiri atas alat khusus dan alat tambahan. Perangkat
khusus, yaitu:
a. Mesin hemodialisa
Mesin hemodialisa memompa darah dari pasien ke dialyzer sebagai
membran semipermiabel dan memungkinkan terjadi proses difusi, osmosis
dan ultrafiltrasi (Misra, 2005).
b. Ginjal buatan (dialyzer)
Dialyzer atau ginjal buatan adalah tabung yang bersisi membran
semipermiabel dan mempunyai dua bagian yaitu bagian untuk cairan
dialysate dan bagian yang lain untuk darah (Misra, 2005).
c. Dialisat
Dialysate adalah cairan elektrolit yang mempunyai komposisi seperti cairan
plasma yang digunakan pada proses Hemodialisa (Misra, 2005).
d. Blood line (bl) atau saluran darah
Blood line untuk proses hemodialisa terdiri dari dua bagian yaitu bagian
arteri berwarna merah dan bagian vena berwarna biru yang berfungsi
menghubungkan dan mengalirkan darah pasien ke dialyzer selama proses
hemodialisa (Misra, 2005).
e. Fistula Needles

Fistula Needles atau jarum fistula sering disebut sebagai Arteri Vena Fistula
(AV Fistula) merupakan jarum yang ditusukkan ke tubuh pasien yang akan
menjalani hemodialisa. Jarum fistula mempunyai dua warna yaitu warna
merah untuk bagian arteri dan biru untuk bagian vena (Misra, 2005).
Alat tambahan yaitu berupa alat-alat kesehatan sebagai berikut.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Tempat tidur fungsional


Timbangan BB
Pengukur TB
Stetoskop
Termometer
Peralatan EKG
Set O2 lengkap
Suction set
Obat-obatan dan cairan
1) Obat-obatan hemodialisa: heparin, frotamin, lidocain untuk anestesi.
2) Cairan infuse : NaCl 0,9%, Dex 5% dan Dex 10%.
3) Dialisat
4) Desinfektan : alcohol 70%, Betadin, Sodium hypochlorite 5%
5) Obat-obatan emergency

9. Pedoman Pelaksanaan Hemodialisa


a. Perawatan sebelum hemodialisa
1) Sambungkan selang air dari mesin hemodialisa.
2) Kran air dibuka.
3) Pastikan selang pembuka air dan mesin hemodialisis sudah masuk
4)
5)
6)
7)
8)
9)

keluar atau saluran pembuangan.


Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak.
Hidupkan mesin.
Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit.
Matikan mesin hemodialisis.
Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat.
Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin

hemodialisis.
10) Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap).
b. Menyiapkan sirkulasi darah.
1) Bukalah alat-alat dialisat dari setnya.
2) Tempatkan dialiser pada holder (tempatnya) dan posisi inset (tanda
merah) diatas dan posisi outset (tanda biru) dibawah.
3) Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung inset dari dialiser.
4) Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung outset adri dialiser
dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah.
5) Set infuse ke botol NaCl 0,9%-500 cc.

6) Hubungkan set infuse ke slang arteri.


7) Bukalah klem NaCl 0,9%. Isi slang arteri sampai keujung selang lalu
klem.
8) Memutarkan letak dialiser dengan posisi inset dibawah dan ouset
diatas, tujuannya agar dialiser bebas dari udara.
9) Tutup klem dari selang untuk tekanan arteri, vena, heparin.
10) Buka klem dari infuse set ABL, UBL.
11) Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/mnt,
kemudian naikkan secara bertahap sampai 200 ml/mnt.
12) Isi buble tap dengan NaCl 0,9% sampai 3/4 cairan.
13) Memberikan tekanan secara intermitten pada UBL untuk mengalirkan
udara dari dalam dialiser, dilakukan sampai dengan dialiser bebas
udara (tekanan tidak lebih dari 200 mmHg).
14) Melakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak
500 cc yang terdapat pada botol (kalf). Sisanya ditampung pada gelas
ukur.
15) Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru.
16) Sambungkan ujung biru UBL dengan ujung merah ABL dengan
menggunakan konektor.
17) Menghidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dialiser baru 1520 menit, untuk dialiser reuse dengan aliran 200-250 ml/mnt.
18) Mengembalikan posisi dialiser ke posisi semula dimana inset diatas
dan outset dibawah.
19) Menghubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10
menit siap untuk dihubungkan dengan pasien (soaking).
c. Persiapan pasien.
1) Menimbang BB
2) Mengatur posisi pasien.
3) Observasi KU
4) Observasi TTV
5) Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan

sirkulasi,

biasanya mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti


dibawah ini:
a) dengan interval A-V Shunt/fistula simino
b) dengan eksternal A-V Shunt/schungula.
c) tanpa 1-2 (vena pulmonalis).
10. Komplikasi

Hemodialisa sangat penting untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak


tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum berupa hipertensi (2030% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan muntah (5-15% dari
dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-5% dialisis), sakit tulang
belakang (2- 5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari dialisis) dan demam pada anakanak (<1% dari dialisis). Sedangkan komplikasi serius yang paling sering terjadi
adalah sindrom disequilibrium, arrhythmia, tamponade jantung, perdarahan
intrakaranial, hemolisis dan emboli paru. Komplikasi akut Hemodialisa adalah

komplikasi yang terjadi selama Hemodialisa berlangsung. Komplikasi yang sering


terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala,
sakit dada, sakit punggung, gatal, demam dan menggigil (PERNEFRI, 2003)
Tabel 4. Komplikasi yang sering muncul pada pasien Hemodialisa
Komplikasi
Cardiovascular

Infection

Mecahnical

Hemodialisa

Metabolic

Pulmonary
Miscellaneous

Air embolism
Angina
Aritmia
Tamponade jantung
Hipotensi*
Bacterimia
Colonization of temporary central venous cateters
Endocarditis
Meningitis
Osteomyelitis
Sepsis
Vascular access celulitis or absess
Obstruksi pada arterivena, terbentuk fistul trombosis atau
infeksi
Stenosis atau trombosis pada vena subklavia atau superior
vena cava dan intern vena jugular
Hipoglikemi pada orang diabetik yang memakai insulin
Hipokalemi
Hiponatremi dan hipernatremi
Dispnea sampai reaksi anafilasis oleh membran hemodialisa
Hipoksia
Deposit amiloid
Hemorragic cateter
Demam yang disebabkan oleh bakterimia, pirogen, atau panas
dialisate
Perdarahan (GI, Intrakranial, retroperitonel, intraocular)
Insomnia

Komplikasi

Hemodialisa

Pruritus
Keram otot
Restlessness
Kejang
*Komplikasi yang paling sering terjadi

C. Clinical Pathway
Kelainan kongenital hidronefrosis, agenesis,
hipoplasi, hipospadia, hidrokel
Peningkatan tekanan ureter

Penurunan GFR

Gangguan
keseimbangan
Gangguan
asam basa
keseimbangan
asam basa

D. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a. Demografi
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga
yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh
berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan
sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan
lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian
CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama
dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum atau
mengandung banyak senyawa/zat logam dan pola makan yang tidak
sehat.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine
output sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan
kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual muntah, mulut terasa
kering, rasa lelah, napas berbau (urea) dan gatal pada kulit
c. Riwayat penyakit sekarang
Kaji onset penurunan urin output, penurunan kesadaran, perubahan
pola napas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya napas
berbau ammonia dan perubahan pemenuhan nutrisi. Kaji sudah
kemana saja klien meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya
dan mendapat pengobatan apa
d. Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit gagal ginjal akut, hipertensi, infeksi
saluran kemih, payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik,
benign prostatic hyperplasia (BPH) dan prostatektomi, penyakit batu
saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit
diabetes melitus, dan penyakit terdahulu yang dapat menjadi penyebab
GGK

e. Pemeriksaan fisik (B1-B6)


Setelah melakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik dilakukan secara persistem
(B1-B6) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari
pasien (Muttaqin, 2009). Keadaan umum pasien lemah dan terlihat
sakit berat. Tingkat kesadaran menurun sesuai dengan tingkat uremia
dimana dapat mempengaruhi sistem saraf pusat. Pada TTV sering
didapatkan adanya perubahan RR meningkat dan tekanan darah terjadi
perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.
B1 (Breathing)
Pasien bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering didapatkan
pada fase ini. Respon uremia didapatkan adanya pernapasan
Kussmaul. Pola napas cepat dan dalam merupakan upaya untuk
melakukan pembuangan karbondioksida yang menumpuk di sirkulasi.
B2 (Blood)
Pada kondisi uremia berat, saat auskultasi akan ditemukan adanya
friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial, terdapat
tanda dan gejala gagal jantung kongestif, TD meningkat, akral dingin,
CRT >3 detik, palpitasi, nyeri dada atau angina, sesak napas,
gangguan irama jantung, edema penurunan perfusi perifer sekunder
dari penurunan curah jantung akibat hiperkalemi, dan gangguan
konduksi elektrikal otot ventrikel. Pada sistem hematologi sering
didapatkan adanya anemia. Anemis sebagai akibat dari penurunan
produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel
darah merah dan kehilangan darah, biasanya dari saluran GI,
kecenderungan mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia.
B3 (Brain)
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti
perubahan proses pikir dan disorientasi. Pasien sering didapatkan
adanya kejang, adanya neuropati perifer, burning feet syndrome,
restless leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot.
B4 (Bladder)

Penurunan urin output <400 ml/hari sampai anuri, terjadi penurunan


libido berat.
B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder
dari bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut dan ulkus saluran
cerna sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari
kebutuhan.
B6 (Bone)
Didapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
(memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi,
pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), petekie, area ekomosis pada kulit,
fraktur tulang, defosit fosfat kalsium pada kulit, jaringan lunak dan
gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum
sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi
f. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien CKD untuk
mengetahui penyebab dan daerah yang terkena menurut Doenges
(2000) adalah sebagai berikut :

Urin : volume kurang dari 40 ml/24 jam (oliguria), warna keruh,


berat jenis kurang dari 1.015, osmolalitas kurang dari 350
m.osn/kg, klirens kreatinin agak menurun kurang 10 ml/menit,

natrium lebih dari 40 mEq/L, proteinuria.


Darah: BUN/kreatinin meningkat lebih dari 10 mg/dl, Ht
menurun, Hb kurang dari 78 gr/dl, SDM waktu hidup menurun,
AGD (pH menurun dan terjadi asidosis metabolik (kurang dari
7,35), natrium serum rendah, kalium meningkat 6,5 mEq atau
lebih besar, magnesium/fosfat meningkat, kalsium menurun,

protein khususnya albumin menurun.


Osmolalitas serum: lebih besar dari 285 nOsm/kg
KUB (Kidney Ureter Bladder) Foto: menunjukkan ukuran
finjal/ureter/kandung kemih dan adanya obstruksi (batu).

Elektrokardiografi

(EKG):

untuk

melihat

kemungkinan

hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan

gangguan elektrolit (hiperkalemia dan hipokalsemia).


Ultrasonografi (USG): Menilai bentuk dan besar ginjal, tebal
korteks ginjal, kepadatan paremkim ginjal, ureter proximal,
kandung kemih serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mencari adanya faktor yang reversibel, juga menilai apakah

proses sudah lanjut.


Foto polos abdomen: Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi
akan memperburuk fungsi ginjal, menilai bentuk dan besar ginjal

dan apakah ada batu atau obstruksi lain.


Pemeriksaan pielografi retrograd: dilakukan bila dicurigai ada

obstruksi yang reversibel.


Pemeriksaan foto dada: dapat terlihat tandatanda bendungan
paru akibat kelebihan cairan (fluid overload), efusi pleura,

kardiomegali dan efusi perikardial.


Pemerikasaan kardiologi tulang: mencari osteoditrofi (terutama
tulang atau jari) dan klasifikasi metastatik.

2) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway adalah
sebagai berikut (NANDA, 2013).
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan produksi
hemoglobin akibat anemia
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan peningkatan natrium dan
kalium dalam darah
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan nausea, vomiting akibat peningkatan asam lambung
d. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritus
f. Intoleran aktivitas berhubungan dengan peningkatan beban kerja jantung,
penurunan suplai oksigen dalam darah
g. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gatal akibat pruritus

3) Rencana Tindakan Keperawatan


No
1

Diagnosa

Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)

Intervensi (NIC)

Ketidakefektifan
NOC :
a. Atur posisi pasien untuk
pola napas
a. Respiratory status : Ventilation
memaksimalkan ventilasi
berhubungan dengan b. Respiratory status : Airway
b. Anjurkan bernafas yang
penurunan produksi
patency
pelan dan dalam
hemoglobin akibat
c. Vital sign Status
c. Auskultasi suara nafas,
anemia
Setelah dilakukan tindakan
catat area penurunan atau
keperawatan ....x 24jam pola napas
ketiadaan ventilasi dan
kembali efektif dengan kriteria hasil:
adanya suara nafas
a. Mendemonstrasikan batuk efektif
tambahan
dan suara nafas yang bersih,
d. Monitor respirasi dan
tidak ada sianosis dan dyspneu
oksigenasi
(mampu mengeluarkan sputum,
e. Kolaborasi pemberian
mampu bernafas dengan mudah,
oksigen yang sudah
tidak ada pursed lips)
terhumidifikasi
b. Menunjukkan jalan nafas yang
paten (klien tidak merasa
tercekik, irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang
normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
c. Tanda Tanda vital dalam rentang
normal (tekanan darah (sistole
110-130mmHg dan diastole 7090mmHg), nad (60-100x/menit)i,
pernafasan (18-24x/menit))
Kelebihan volume
NOC :
Fluid management
cairan berhubungan
a. Electrolit and acid base balance
a. Ukur masukan dan

Rasional
a.

b.
c.

d.

e.

Memudahkan ekspansi paru


dan menurunkan adanya
kemungkinan lidah jatuh
yang menyumbat jalan napas
Membantu keefektifan
pernafasan pasien
Perubahan dapat
menandakan awitan
komplikasi pulmonal atau
menandakan lokasi/ luasnya
keterlibatan otak
Menentukan kecukupan
pernapasan, keseimbangan
asam basa dan kebutuhan
akan terapi
Memaksimalkan oksigen
pada darah arteri dan
membantu dalam pencegahan
hipoksia

a. Menunjukkan status volume

No

Diagnosa
dengan peningkatan
natrium dan kalium
dalam darah

Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)


b. Fluid balance
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan ....x 24jam volume
cairan tubuh seimbang dengan
kriteria hasil:
a. Terbebas dari edema, efusi,
anaskara
b. Bunyi nafas bersih, tidak ada
dyspneu/ortopneu
c. Terbebas dari distensi vena
jugularis, reflek hepatojugular (+)
d. Memelihara tekanan vena sentral,
tekanan kapiler paru, output
jantung dan vital sign dalam batas
normal
e. Terbebas dari kelelahan,
kecemasan atau kebingungan
f. Menjelaskan indikator kelebihan
cairan

Intervensi (NIC)

b.
c.
d.

e.
f.

Rasional

haluaran, catat
sirkulasi, terjadinya atau
keseimbangan positif
perbaikan perpindahan cairan,
(pemasukan melebihi
dan respon terhadap terapi.
pengeluaran). Timbang
Keseimbangan
berat badan tiap hari, dan
positif/peningkatan berat
catat peningkatan lebih dari
badan sering menunjukkan
0,5 kg/hari.
retensi cairan. Mengetahui
pemasukan dan pengeluaran
Awasi tekanan darah dan
dari cairan
CVP. Catat JVD/Distensi
b.
Peningkatan tekanan darah
vena.
biasanya berhubungan dengan
Auskultasi paru, catat
kelebihan volume cairan.
penurunan dan terjadinya
Distensi juguler eksternal dan
bunyi tambahan
vena abdominal sehubungan
Awasi disritmia jantung.
dengan kongesti vaskuler
Auskultasi bunyi jantung,
catat terjadinya irama gallop c. Peningkatan kongesti
pulmonal mengakibatkan
S3/S4.
konsolidasi, gangguan
Kaji derajat perifer atau
pertukaran gas, dan komplikasi
edema
seperti edema paru
Kolaborasikan dengan tim
d. Mungkin disebabkan oleh
medis pemberian diuretic
GJK, penurunan perfusi arteri
koroner, dan
ketidakseimbangan elektrolit.
e. Edema terjadi akibat retensi
natrium dan air, penurunan
albumin, dan penurunan ADH
f. Mengontrol edema dan asites

No

Diagnosa

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan dengan
nausea, vomiting
akibat peningkatan
asam lambung

Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)

Intervensi (NIC)

NOC :
Nutrition Management
Nutritional Status : food and Fluid 1. Kaji status nutrisi pasien
2. Ukur masukan diet harian
Intake
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama .......x24 jam
diharapkan pasien mempertahankan
status nutrisi adekuat dengan kriteria
hasil:
1. Adanya peningkatan berat badan
2. Berat badan ideal sesuai dengan
tinggi badan
3. Mampu mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
4. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
5. Menunjukkan peningkatan fungsi
pengecapan dari menelan
6. Tidak terjadi penurunan berat
badan yang berarti

dengan jumlah kalori


3. Bantu dan dorong pasien
untuk makan, jelaskan
alasan tipe diet. Beri makan
pasien bila pasien mudah
lelah atau biarkan orang
terdekat membantu pasien.
Pertimbangkan pemilihan
makanan yang disukai.
4. Berikan makanan sedikit
tapi sering
5. Berikan makanan halus,
hindari makanan kasar
sesuai indikasi.
6. Timbang BB tiap hari.
7. Lakukan perawatan mulut,
berikan penyegar mulut.
8. Awasi pemeriksaan
laboratorium (contoh:
glukosa serum, albumin,
total protein, amonia).

Rasional
1. Mengetahui status nutrisi
pasien
2. Memberikan informasi tentang
kebutuhan
pemasukan/defisiensi
3. Diet yang tepat penting untuk
penyembuhan. Pasien mungkin
makan lebih baik bila keluarga
terlibat dan makanan yang
disukai sebanyak mungkin.
4. Membantu meningkatkan
nafsu makan pasien
5. Perdarahan dari varises
esofagus dapat terjadi pada
serosis berat.
6. Membantu pasien untuk
mendapatkan BB ideal/normal.
7. Kebersihan dan kesegaran
mulut dapat meningkatkan
nafsu makan pasien.
8. Glukosa menurun karena
gangguan glikogenesis,
penurunan simpanan glikogen
atau masukan tak adekuat.
Protein menurun karena
gangguan metabolisme,
penurunan sistesis hepatik,
atau kehilangan ke rongga

No

Diagnosa

Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)

Intervensi (NIC)

Rasional
peritoneal (asites).
Peningkatan kadar amonia
perlu pembatasan masukan
protein untuk mencegah
komplikasi serius.

DAFTAR PUSTAKA
Aryulina, D et al. 2004. Biologi SMA dan MA untuk Kelas XI (Jilid 2). Jakarta:
Erlangga.
Baradero, M et al. 2009. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC.
Chandrasoma, P. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Doengoes, M. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi Ketiga. Jakarta: EGC.
Ganong, W. F. 2002. Buku Ajar: Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Muttaqin, A. 2009. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.
National Kidney Foundation. 2002. Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kideny Disease: Evaluation, Classification and Stratification. New York:
National Kidney Foundation, Inc.
NKF. 2006. Hemodialysis. [serial online] http://www.kidneyatlas.org [22 April
2016].
Price, SA. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi Keenam.
Jakarta: EGC.
Purnomo B. 2012. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto.
Rahardjo P. et al.. 2006. Hemodialisa: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.
Siallagan, H et al. 2012. Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Kronik yang
Dirawat Inap di RS Martha Friska Medan Tahun 2011.
http://download.portalgaruda.org/ [22 April 2016].
Sloane, E. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S., dan Bare, BG. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC.
Sukandar, E. 2006. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: FK UNPAD.
Suwitra, K. 2006. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai