LAPORAN PENDAHULUAN
disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan Profesi Ners (P3N)
Stase Keperawatan Medikal Bedah (KMB)
oleh
Ratna Lauranita Anggraeni, S. Kep
NIM 112311101029
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gagal Ginjal Kronik
dengan penyebab Kelainan Ginjal di Ruang Rawat Jalan Hemodialisa RSD dr.
Soebandi Jember yang telah disetujui dan disahkan pada:
tanggal:
tempat: Ruang Rawat Jalan Hemodialisa
Jember,
Pembimbing Klinik
..
NIP.
Pembimbing Akademik
..
NIP.
..
NIP.
adalah korpus, tubulus renal, dan tubulus koligentes. Korpus ginjal terdiri atas
glomerulus dan kapsul Bowman yang membentuk ultrafiltrat dari darah. Tubulus
renal terdiri atas tubulus kontortus proksimal, ansa Henle, dan tubulus kontortus
distal. Ketiga tubulus renal ini berfungsi dalam reabsorpsi dan sekresi dengan
mengubah volume dan komposisi ultrafiltrat sehingga terbentuk produk akhir,
yaitu urin (Baradero, et al., 2009).
dapat berfungsi sebagai katup untuk menghindari refluks urin ke dalam ureter
ketika kandung kemih berkontraksi (Baradero, et al., 2009).
Fungsi ginjal menurut Sloane (2004) yaitu sebagai berikut.
1) Pengeluaran zat sisa organik
Ginjal mensekresi urea, asam urat, kreatinin, dan produk penguraian
hemoglobin dan hormon. Sisa metabolik diekskresikan dalam filtrat
glomerular. Kreatinin diekskresikan ke dalam urine tanpa diubah. Sisa
yang lain seperti urea, menagalami reabsorpsi waktu melewati nefron.
Biasanya obat dikeluarkan melalui ginjal atau diubah dulu di hepar ke
dalam bentuk inaktif, kemudian diekskresi oleh ginjal.
2) Pengaturan konsentrasi ion-ion penting
Ginjal mensekresi ion kalium, natrium, kalsium, magnesium, sulfat,
dan fosfat. Ekskresi ion-ion ini seimbang dengan asupan dan
ekskresinya melalui rute lain, seperti pada saluran gastrointestinan
atau kulit. Salah satu fungsi penting ginjal adalah mengatur kalsium
serum dan fosfor. Kalsium sangat penting untuk pembentukan tulang,
pertumbuhan sel, pembekuan darah, respons hormon, dan aktivitas
listrik selular. Ginjal adalah pengatur utama keseimbangan kalsiumfosfor. Ginjal melakukan hal ini dengan mengubah vitamin D dalam
usus (dari makanan) ke bentuk yang lebih aktif, yaitu 1,25dihidrovitamin D3. Ginjal meningkatkan kecepatan konversi vitamin D
jika kadar kalsium atau fosforus serum menurun. Vitamin D molekul
yang aktif (1,25-dihidrovitamin D3), bersama hormon paratiroid dapat
meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfor oleh usus.
3) Pengaturan keseimbangan asam basa tubuh
Ginjal mengandalikan ekskresi ion hidrogen (H+), bikarbonat (HCO3-),
dan amonium (NH4+), serta memproduksi urin asam atau basa,
tergantung pada kebutuhan tubuh. Agar sel dapat berfungsi normal,
perlu juga dipertahankan pH plasma 7,35 untuk darah vena dan pH
7,45 untuk darah arteri. Keseimbangan ini dapat dicapai dengan
mempertahankan rasio darah bikarbonat dan karbondioksida pada
20:1. Ginjal dan paru-paru bekerja lama untuk mempertahankan rasio
ini. Paru-paru bekerja dengan menyesuaikan jumlah karbon dioksida
dehidrasi).
Aldosteron
Korteks
membuat
ginjal
adrenal
mengeluarkan
menahan
natrium
aldosteron.
yang
dapat
uretra posterior. Pada dasar buli-buli, kedua muara ureter dan meatus
uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum bulibuli. Secara anatomis buli-buli terdiri dari tiga permukaan, yaitu
permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum,
permukaan inferoinferior, dan permukaan posterior (Muttaqin, 2009).
b. Reabsorpsi
Reabsorpsi merupakan proses perpindahan cairan dari tubulus renalis
menuju pembuluh darah yang mengelilinginya, yaitu kapiler peritubuler.
Sel-sel tubulus renalis secara selektif mereabsorpsi zat-zat yang terdapat
dalam urin primer. Reabsorpsi tergantung dari kebutuhan akan zat-zat
yang terdapat di dalam urin primer. Nutrisi akan direabsorpsi, sedangkan
reabsorpsi garam organik bervariasi tergantung dari kadar zat tersebut di
dalam plasma. Setelah reabsorpsi, kadar urea menjadi lebih tinggi dan zatzat yang dibutuhkan tidak ditemukan lagi. Urin yang dihasilkan setelah
proses reabsorpsi disebut urin sekunder (filtrat tubulus) (Aryulina, et al.,
2004).
Pada keadaan normal, hampir 99% dari air yang menembus membran
filtrasi akan direabsorpsi sebelum mencapai ureter. Persentase air yang
diserap di bagian tubulus kontortus proksimal yaitu 80%, lengkung henle
6%, tubulus distal 9%, dan saluran penampung 4%. Reabsorpsi di tubulus
kontortus proksimal dilakukan dengan proses osmosis yang disebut
dengan reabsorpsi obligat. Sebaliknya reabsorpsi air di tubulus kontortus
distal disebut dengan reabsorpsi fakultatif, yaitu reabsorpsi yang terjadi
tergantung dari kebutuhan. Jadi, jika tubuh terlalu banyak mengandung air,
tidak terjadi reabsorpsi. Sedangkan jika tubuh mengandung air dengan
jumlah sedikit, terjadilah reabsorpsi (Aryulina, et al., 2004).
Reabsorpsi zat tertentu dapat terjadi secara transpor aktif dan difusi.
Sebagai contoh pada sisi tubulus yang berdekatan dengan lumen tubulus
renalis terjadi difusi ion Na+, sedangkan pada sisi sel tubulus yang
berdekatan dengan kapiler terjadi transpor aktif ion Na+. Adanya transpor
aktif Na+ di sel tubulus ke kapiler menyebabkan menurunnya kadar ion Na+
di sel tubulus renalis, sehingga difusi Na+ terjadi dari lumen sel tubulus
renalis. Pada umumnya zat yang penting bagi tubuh direabsorpsi secara
transpor aktif. Zat-zat penting bagi tubuh yang secara aktif direabsorpsi
adalah protein, asam amino, glukosa, dan vitamin. Zat-zat tersebut
direabsorpsi secara aktif di tubulus proksimal, sehingga tidak ada lagi di
lengkung Henle (Aryulina, et al., 2004).
c. Augmentasi
Augmentasi (sekresi tubular) adalah proses penambahan zat-zat
yang tidak diperlukan oleh tubuh dari kapiler peritubular ke lumen tubular
yang terjadi di tubulus distal. Sel-sel tubulus mengeluarkan zat-zat tertentu
yang mengandung ion hidrogen dan ion kalium kemudian menyatu dengan
2. Epidemiologi
Di dunia, sekitar 2.622.000 orang telah menjalani pengobatan End-Stage
Renal Disease (ESRD, penyakit ginjal tahap akhir) pada akhir tahun 2010.
77% diantaranya menjalani pengobatan dialisis dan 23% menjalani
transplantasi ginjal. Prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%,
yang berarti terdapat 18 juta orang dewasa di Indonesia menderita penyakit
ginjal kronik (Siallagan, et al., 2012).
3. Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi
terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%),
hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%).
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada glomerulus yang
diakibatkan karena adanya pengendapan kompleks antigen antibodi.
Reaksi peradangan di glomerulus menyebabkan pengaktifan komplemen,
sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas
kapiler glomerulus dan filtrasi glomerulus. Protein-protein plasma dan sel
darah merah bocor melalui glomerulus. Glomerulonefritis dibagi menjadi
dua yaitu glomerulonefritis akut dan kronis (Price, 2005).
b. Hipertensi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg.
Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan
hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak
ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan
hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit atau keadaan seperti
feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma
Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat
(Bakri, 2008)
4) Hipospadia
Hipospadia adalah kelainan kongenital yang meatusnya mempunyai
posisi abnormal di sebelah proksimal ujung glans.
5) Hidrokel
Hidrokel adalah akumulasi cairan di dalam tunika vaginalis dan tunika
albuginea yang membungkus testis.
d. Penyakit
metabolik
(Diabetes
Mellitus,
gout,
hiperparatiroidisme,
ginjal, anemia, hipertensi dan sebagainya. LFG pada tingkat ini telah
berkurang menjadi di bawah 30ml/menit/1,73m2.
d. Gagal ginjal terminal
Pada tingkat ini fungsi ginjal tinggal 12% dari normal. LFG menurun
sampai <10 ml/menit/1,73 m2 dan pasien telah memerlukan terapi dialysis
atau transplantasi ginjal.
National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (K/DOQI) juga mengklasifikasikan CKD berdasar derajat penyakit
yang ditunjukkan pada tabel 1 (National Kidney Foundation, 2002).
GFR (ml/mnt/1.73 m2) =
pasien
gagal
ginjal
kronik
dalam
berfungsi
sebagai
faktor
pemicu
tambahan
terjadinya
perubahan
waran
kulit
yang
berkaitan
dengan
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan
aktivitas aksis rennin angiotensin aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, skelorosis dan progresifitas tersebut.
7. Prognosis dan Komplikasi
Gagal ginjal kronik adalah penyakit yang mempunyai prognosis buruk
dimana akan terjadi penurunan fungsi ginjal secara bertahap. Pada tahap awal
penderita mungkin tidak merasakan keluhan tetapi setelah beberapa tahun atau
beberapa puluh tahun penyakit ginjal ini sering berkembang cepat menjadi gagal
ginjal terminal dimana akan membutuhkan terapi renal seperti dialisis atau
transplantasi untuk memperpanjang usianya.
Komplikasi CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006)
antara lain sebagai berikut.
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diet berlebih
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
f.
g.
h.
i.
anorganik
Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia
Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian antihipertensif,
eritropoietin, suplemen besi, agens pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Pasien
juga perlu mendapat penanganan dialisis yang adekuat untuk menurunkan kadar
produk sampah uremik dalam darah.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada penyakit gagal ginjal kronis tidak jauh beda
dengan prosedur pemeriksaan diagnosis, perbedaannya terletak pada beberapa hal
atau poin dari hasil pemeriksaan.
a. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urin. Prosedur ini memeriksa
sedimen setelah urin disentrifugasi. Urin yang normal hampir tidak
mengandung sedimen (Baradero, et al., 2009). Pemeriksaan urin mencakup
evaluasi hal-hal berikut.
1. Observasi warna dan kejernihan urin
2. Pengkajian bau urin
3. Pengukuran keasaman dan berat jenis urin
4. Tes untuk memeriksa keberadaan protein, glukosa, dan badan keton
dalam urin.
5. Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin sesudah melakukan pemusingan
(centrifuging) untuk medeteksi sel darah merah (hematuria), sel darah
putih, silinder (silindruria), kristal (kristaluria), pus (piuria) dan bakteri
(bakteriuria).
Urinalisis dapat mendeteksi dan menunjang diagnosa penyakit ginjal dengan
menemukan protein urin, eritrosit dan leukosit dan dengan menemukan
berbagau silinder dalam sedimen urin (Speicher, 2006). Hal-hal yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan urinalisis pada gagal ginjal akut dan kronis,
yaitu sebagai berikut.
1. Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri), yang terjadi
setelah ginjal rusak, pada gagal ginjal kronis juga dapat dihasilkan urin
tak ada (anuria).
2. Warna: pada gagal ginjal akut dan kronis urin berwarna kotor atau
keruh, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin
dan porfirin. Pada penderita gagal ginjal kronis juga didapatkan
kekeruhan urin yang mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak,
partikel koloid, fosfat atau urat.
3. Berat jenis: pada penderita gagal ginjal akut berat jenis urin kurang dari
1,020 dapat menunjukkan penyakit ginjal, contoh glomerulonefritis,
pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk memekatkan,
sedangkan pada gagal ginjal kronis adalah kurang dari 1,015 dan akan
menetap pada 1,010 yang menunjukkan kerusakan ginjal.
4. Osmolalitas: gagal ginjal akut dan kronis memiliki nilai intrepretasi
yang sama yaitu kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
ginjal, dan rasio urin/serum 1:1.
5. Klirens kreatinin:pada gagal ginjal akut dan kronik secara bermakna
menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukkan peningkatan
bermakna.
6. Natrium: pada gagal ginjal akut nilai atau jumlah dari natrium dapat
menurun sedangkan pada gagal ginjal kronis dapat menunjukkan jumlah
yang lebih dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mengabsorpsi
natrium dengan baik.
7. Protein: pada gagal ginjal akut jumlah atau nilai proteinuria pada derajat
rendah (1-2+) dan sedimen dapat menunjukkan infeksi atau nefritis
interstisial. Sedangkan pada gagal ginjal kronis derajat protenuria
terletak pada derajat tinggi (3-4+) menunjukkan kerusakan glomerulus
bila terdapat sedimen dan perubahan warna.
(Doenges, 2000)
b. Darah
Penilaian CKD dapat dilakukan dengan pemerikasaan laboratorium seperti:
kadar serum sodium/natrium dan potassium/kalium, pH, kadar serum phospor,
kadar Hb, hematokrit, kadar urea nitrogen dalam darah (BUN), serum dan
konsentrasi kreatinin urin, urinalisis. Pada stadium yang cepat pada insufisiesi
ginjal, analisa urin dapat menunjang dan sebagai indikator untuk melihat
kelainan fungsi ginjal. Analisa urin rutin dilakukan pada stadium gagal ginjal
dengan produksi urin yang tidak normal. Analisa urin juga dapat menunjukkan
kadar protein, glukosa, RBCs/eritrosit, dan WBCs/leukosit serta penurunan
osmolaritas urin. Pada gagal ginjal yang progresif dapat terjadi output urin
yang kurang dan frekuensi urin yang menurun. Monitor kadar BUN dan kadar
kreatinin sangat penting bagi pasien dengan gagal ginjal. Urea nitrogen adalah
produk akhir dari metabolisme protein serta urea yang harus dikeluarkan oleh
ginjal. Normal kadar BUN dan kreatinin sekitar 20:1. Peningkatan BUN
perikarditis,
aritmia,
dan
gangguan
elektrolit
(hiperkalemi,
hipokalsemia).
d. Pemeriksaan USG dilakukan untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal
korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih serta prostat.
e. Pemeriksaan Radiologi seperti Renogram,
Intravenous
Pyelography,
f. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mendiagnosa kelainan ginjal dengan mengambil jaringan
ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus glomerulonefritis,
sindrom nefrotik, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan perencanaan transplantasi
ginjal.
g. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah
arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri
femoralis, radialis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah
diberi heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum dilakukan uji
laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada penderita gagal ginjal
akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolik dengan nilai PO 2 normal, PCO2
rendah, pH rendah, dan defisit basa tinggi
(Grace dan Borley, 2006)
9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada CKD dan faktor
yang dapat dipulihkan (misal obstruksi) diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer &
Bare, 2001). Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga
yaitu sebagai berikut.
a. Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. Gejala-gejala seperti
mual, muntah, dan letih mungkin dapat membaik. Pembatasan asupan
protein telah terbukti menormalkan kembali kelainan ini dan
mengurangi
menurunkan
beban
ekskresi
sehingga
hiperfiltrasi
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3. Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi Hemodialisa
reguler yang adekuat, medikamentosa, atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
6. Hipertensi dengan pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada GFR kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
Hemodialisa, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1. Hemodialisa
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien CKD yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (GFR).
Gambar 8. Hemodialisa
2. Dialisis peritoneal
Ditanamkan sampai 2 liter larutan glukosa isotonik atau hipertonik
dalam rongga peritoneal pasien melalui membran peritoneal seluas 2 m2
dengan darah di kapiler peritoneum. Setelah beberapa jam cairan yang
mengandung sisa buangan toksik ditarik keluar. Prosedur ini diulangi
tiga atau empat kali sehari. Kelebihan cairan diambil oleh larutan
hipertonik. Komplikasi utama adalah peritonitis, biasanya akibat
Staphylococcus epidermidis atau S. Aureus.
ml/menit, GFR kurang dari 10 ml/menit dengan gejala uremia atau malnutrisi dan
GFR kurang dari 5 ml/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis.
Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila
terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik
berulang, dan nefropatik diabetik.(4,5,14)
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis
adalah GFR kurang dari < 15 mL/menit (Tabel 1), sehingga dialisis dianggap
perlu dimulai bila dijumpai pemeriksaan tanda dan gejala serta pemeriksaan
laboratorium, sebagai berikut.
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
Pasien dapat mengalami gangguan kesadaran. Adanya gangguan asidosis
metabolik dan atau gejala sindrom uremia seperti mual, muntah dan
anoreksia. Tanda-tanda overload cairan seperti edem, sesak napas akibat
edema paru, serta adanya gangguan jantung. Pasien juga dapat mengeluhkan
sulit kencing (anuria) lebih dari 5 hari.
b. Pemeriksaan laboratorium ditemukan :
Perikarditis
Ensefalopati/neuropati azotemik
Hipertensi refrakter
Muntah persisten
Indikasi elektif
GFR antara 5 dan 8
ml/menit/1,73m
Mual dan muntah
Anoreksia
Astenia berat
4. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox, kontraindikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontraindikasi dari
hemodialisa adalah tidak didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses
vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik, dan koagulasi. Kontraindikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi
infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut (PERNEFRI, 2003)
5. Keuntungan
Keuntungan dari tindakan Hemodialisa adalah pasien tidak perlu
menyiapkan peralatan sendiri, kondisi pasien lebih terpantau karena tindakan ini
dilakukan di rumah sakit oleh perawat dan dokter yang sudah terlatih dan jumlah
protein yang hilang selama pada proses lebih sedikit. Meskipun sebagai terapi
pengganti ginjal (renal replacement therapy), tetapi tindakan dialisis ini tidak
mampu menyebabkan beberapa abnormalitas klinis uremia dapat dihilangkan.
Selain keuntungan, Hemodialisa juga memiliki beberapa komplikasi, yaitu
terjadinya kram dan hipotensi intradialisis (Brenner, 2004).
6. Prinsip Hemodialisa
Tujuan Hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik
dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada Hemodialisa, aliran
darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien
ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke
tubuh pasien. Sebagian besar dialiser merupakan lempengan rata atau ginjal serat
artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus yang bekerja
sebagai membrane semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut
sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari
darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membran semipermeabel
tubulus (Rosdiana, 2011).
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja Hemodialisa, yaitu: difusi, osmosis
dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke
cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari
semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar
elektrolit darah dapat dikendalikan dengan mengatur rendaman dialisat (dialysat
bath) secara tepat. Sel darah merah dan protein tidak dapat melewati pori-pori
kecil dalam membran semipermiabel (Rosdiana, 2011).
TO WASTE
LOW PRESS
HIGH PRESS
metabolisme dari tubuh, serta mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama
dialisa. Cairan dialysis mengandung macam-macam garam, elektrolit, dan atau zat
antara lain sebagai berikut (Rahardjo, et al.,2006).
1. NaCl / Sodium Chloride.
2. CaCl2 / Calium Chloride.
3. MgCl2 / Magnesium Chloride.
4. NaC2H3O2 3H2O / acetat atau NaHCO3 / Bilkarbonat.
5. KCl / potassium chloride, tidak selalu terdapat pada dialisat.
6. Dextrose.
sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler
halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung
kecil ini, dan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan
kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung
kapiler (Price, 2005)
semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan
darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi.
Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke
dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt) (Ganong, 2002)
Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi
untuk dialisat. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur
arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui
jalur vena. Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan
sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan
perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa.
Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di
luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara
darah dan dialisat terjadi sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer
melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi (Price, 2005)
unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat. Natrium asetat yang lebih tinggi
konsentrasinya dalam dialisat, akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan
menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis penderita uremia. Asetat
dimetabolisme oleh tubuh pasien menjadi bikarbonat. Glukosa dalam konsentrasi
yang rendah ditambahkan ke dalam dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke
dalam dialisat yang dapat menyebabkan kehilangan kalori dan hipoglikemia. Pada
hemodialisa tidak dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi, karena
pembuangan cairan dapat dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik
antara darah dengan dialisat (Price, 2005).
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan
hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat
dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah
dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan
menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur
tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga
meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi
dengan larutan garam atau NaCl 0,9%, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi
penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui
sirkuit ekstrakorporeal (diluar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa
darah untuk membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400
ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus
dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan
darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien.
Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan
monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (NKF, 2006;
Price, 2005).
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 45 jam dengan frekuensi
2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 1015 jam/minggu dengan QB
200300 mL/menit. Pada akhir interval 23 hari diantara hemodialisa,
keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut
berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam
proses hemodialisa. Price (2005) menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh
akan meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan
hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien meninggal.
Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan kebocoran kecil atau masif
dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat. Hemodialisa rumatan
biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama pengobatan berkisar dari 4
sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa yang digunakan dan keadaan
pasien.
8. Komponen Hemodialisa
Komponen Hemodialisa terdiri atas alat khusus dan alat tambahan. Perangkat
khusus, yaitu:
a. Mesin hemodialisa
Mesin hemodialisa memompa darah dari pasien ke dialyzer sebagai
membran semipermiabel dan memungkinkan terjadi proses difusi, osmosis
dan ultrafiltrasi (Misra, 2005).
b. Ginjal buatan (dialyzer)
Dialyzer atau ginjal buatan adalah tabung yang bersisi membran
semipermiabel dan mempunyai dua bagian yaitu bagian untuk cairan
dialysate dan bagian yang lain untuk darah (Misra, 2005).
c. Dialisat
Dialysate adalah cairan elektrolit yang mempunyai komposisi seperti cairan
plasma yang digunakan pada proses Hemodialisa (Misra, 2005).
d. Blood line (bl) atau saluran darah
Blood line untuk proses hemodialisa terdiri dari dua bagian yaitu bagian
arteri berwarna merah dan bagian vena berwarna biru yang berfungsi
menghubungkan dan mengalirkan darah pasien ke dialyzer selama proses
hemodialisa (Misra, 2005).
e. Fistula Needles
Fistula Needles atau jarum fistula sering disebut sebagai Arteri Vena Fistula
(AV Fistula) merupakan jarum yang ditusukkan ke tubuh pasien yang akan
menjalani hemodialisa. Jarum fistula mempunyai dua warna yaitu warna
merah untuk bagian arteri dan biru untuk bagian vena (Misra, 2005).
Alat tambahan yaitu berupa alat-alat kesehatan sebagai berikut.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
hemodialisis.
10) Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap).
b. Menyiapkan sirkulasi darah.
1) Bukalah alat-alat dialisat dari setnya.
2) Tempatkan dialiser pada holder (tempatnya) dan posisi inset (tanda
merah) diatas dan posisi outset (tanda biru) dibawah.
3) Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung inset dari dialiser.
4) Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung outset adri dialiser
dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah.
5) Set infuse ke botol NaCl 0,9%-500 cc.
sirkulasi,
Infection
Mecahnical
Hemodialisa
Metabolic
Pulmonary
Miscellaneous
Air embolism
Angina
Aritmia
Tamponade jantung
Hipotensi*
Bacterimia
Colonization of temporary central venous cateters
Endocarditis
Meningitis
Osteomyelitis
Sepsis
Vascular access celulitis or absess
Obstruksi pada arterivena, terbentuk fistul trombosis atau
infeksi
Stenosis atau trombosis pada vena subklavia atau superior
vena cava dan intern vena jugular
Hipoglikemi pada orang diabetik yang memakai insulin
Hipokalemi
Hiponatremi dan hipernatremi
Dispnea sampai reaksi anafilasis oleh membran hemodialisa
Hipoksia
Deposit amiloid
Hemorragic cateter
Demam yang disebabkan oleh bakterimia, pirogen, atau panas
dialisate
Perdarahan (GI, Intrakranial, retroperitonel, intraocular)
Insomnia
Komplikasi
Hemodialisa
Pruritus
Keram otot
Restlessness
Kejang
*Komplikasi yang paling sering terjadi
C. Clinical Pathway
Kelainan kongenital hidronefrosis, agenesis,
hipoplasi, hipospadia, hidrokel
Peningkatan tekanan ureter
Penurunan GFR
Gangguan
keseimbangan
Gangguan
asam basa
keseimbangan
asam basa
D. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a. Demografi
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga
yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh
berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan
sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan
lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian
CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama
dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum atau
mengandung banyak senyawa/zat logam dan pola makan yang tidak
sehat.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine
output sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan
kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual muntah, mulut terasa
kering, rasa lelah, napas berbau (urea) dan gatal pada kulit
c. Riwayat penyakit sekarang
Kaji onset penurunan urin output, penurunan kesadaran, perubahan
pola napas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya napas
berbau ammonia dan perubahan pemenuhan nutrisi. Kaji sudah
kemana saja klien meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya
dan mendapat pengobatan apa
d. Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit gagal ginjal akut, hipertensi, infeksi
saluran kemih, payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik,
benign prostatic hyperplasia (BPH) dan prostatektomi, penyakit batu
saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit
diabetes melitus, dan penyakit terdahulu yang dapat menjadi penyebab
GGK
Elektrokardiografi
(EKG):
untuk
melihat
kemungkinan
2) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway adalah
sebagai berikut (NANDA, 2013).
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan produksi
hemoglobin akibat anemia
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan peningkatan natrium dan
kalium dalam darah
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan nausea, vomiting akibat peningkatan asam lambung
d. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritus
f. Intoleran aktivitas berhubungan dengan peningkatan beban kerja jantung,
penurunan suplai oksigen dalam darah
g. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gatal akibat pruritus
Diagnosa
Intervensi (NIC)
Ketidakefektifan
NOC :
a. Atur posisi pasien untuk
pola napas
a. Respiratory status : Ventilation
memaksimalkan ventilasi
berhubungan dengan b. Respiratory status : Airway
b. Anjurkan bernafas yang
penurunan produksi
patency
pelan dan dalam
hemoglobin akibat
c. Vital sign Status
c. Auskultasi suara nafas,
anemia
Setelah dilakukan tindakan
catat area penurunan atau
keperawatan ....x 24jam pola napas
ketiadaan ventilasi dan
kembali efektif dengan kriteria hasil:
adanya suara nafas
a. Mendemonstrasikan batuk efektif
tambahan
dan suara nafas yang bersih,
d. Monitor respirasi dan
tidak ada sianosis dan dyspneu
oksigenasi
(mampu mengeluarkan sputum,
e. Kolaborasi pemberian
mampu bernafas dengan mudah,
oksigen yang sudah
tidak ada pursed lips)
terhumidifikasi
b. Menunjukkan jalan nafas yang
paten (klien tidak merasa
tercekik, irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang
normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
c. Tanda Tanda vital dalam rentang
normal (tekanan darah (sistole
110-130mmHg dan diastole 7090mmHg), nad (60-100x/menit)i,
pernafasan (18-24x/menit))
Kelebihan volume
NOC :
Fluid management
cairan berhubungan
a. Electrolit and acid base balance
a. Ukur masukan dan
Rasional
a.
b.
c.
d.
e.
No
Diagnosa
dengan peningkatan
natrium dan kalium
dalam darah
Intervensi (NIC)
b.
c.
d.
e.
f.
Rasional
haluaran, catat
sirkulasi, terjadinya atau
keseimbangan positif
perbaikan perpindahan cairan,
(pemasukan melebihi
dan respon terhadap terapi.
pengeluaran). Timbang
Keseimbangan
berat badan tiap hari, dan
positif/peningkatan berat
catat peningkatan lebih dari
badan sering menunjukkan
0,5 kg/hari.
retensi cairan. Mengetahui
pemasukan dan pengeluaran
Awasi tekanan darah dan
dari cairan
CVP. Catat JVD/Distensi
b.
Peningkatan tekanan darah
vena.
biasanya berhubungan dengan
Auskultasi paru, catat
kelebihan volume cairan.
penurunan dan terjadinya
Distensi juguler eksternal dan
bunyi tambahan
vena abdominal sehubungan
Awasi disritmia jantung.
dengan kongesti vaskuler
Auskultasi bunyi jantung,
catat terjadinya irama gallop c. Peningkatan kongesti
pulmonal mengakibatkan
S3/S4.
konsolidasi, gangguan
Kaji derajat perifer atau
pertukaran gas, dan komplikasi
edema
seperti edema paru
Kolaborasikan dengan tim
d. Mungkin disebabkan oleh
medis pemberian diuretic
GJK, penurunan perfusi arteri
koroner, dan
ketidakseimbangan elektrolit.
e. Edema terjadi akibat retensi
natrium dan air, penurunan
albumin, dan penurunan ADH
f. Mengontrol edema dan asites
No
Diagnosa
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan dengan
nausea, vomiting
akibat peningkatan
asam lambung
Intervensi (NIC)
NOC :
Nutrition Management
Nutritional Status : food and Fluid 1. Kaji status nutrisi pasien
2. Ukur masukan diet harian
Intake
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama .......x24 jam
diharapkan pasien mempertahankan
status nutrisi adekuat dengan kriteria
hasil:
1. Adanya peningkatan berat badan
2. Berat badan ideal sesuai dengan
tinggi badan
3. Mampu mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
4. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
5. Menunjukkan peningkatan fungsi
pengecapan dari menelan
6. Tidak terjadi penurunan berat
badan yang berarti
Rasional
1. Mengetahui status nutrisi
pasien
2. Memberikan informasi tentang
kebutuhan
pemasukan/defisiensi
3. Diet yang tepat penting untuk
penyembuhan. Pasien mungkin
makan lebih baik bila keluarga
terlibat dan makanan yang
disukai sebanyak mungkin.
4. Membantu meningkatkan
nafsu makan pasien
5. Perdarahan dari varises
esofagus dapat terjadi pada
serosis berat.
6. Membantu pasien untuk
mendapatkan BB ideal/normal.
7. Kebersihan dan kesegaran
mulut dapat meningkatkan
nafsu makan pasien.
8. Glukosa menurun karena
gangguan glikogenesis,
penurunan simpanan glikogen
atau masukan tak adekuat.
Protein menurun karena
gangguan metabolisme,
penurunan sistesis hepatik,
atau kehilangan ke rongga
No
Diagnosa
Intervensi (NIC)
Rasional
peritoneal (asites).
Peningkatan kadar amonia
perlu pembatasan masukan
protein untuk mencegah
komplikasi serius.
DAFTAR PUSTAKA
Aryulina, D et al. 2004. Biologi SMA dan MA untuk Kelas XI (Jilid 2). Jakarta:
Erlangga.
Baradero, M et al. 2009. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC.
Chandrasoma, P. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Doengoes, M. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi Ketiga. Jakarta: EGC.
Ganong, W. F. 2002. Buku Ajar: Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Muttaqin, A. 2009. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.
National Kidney Foundation. 2002. Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kideny Disease: Evaluation, Classification and Stratification. New York:
National Kidney Foundation, Inc.
NKF. 2006. Hemodialysis. [serial online] http://www.kidneyatlas.org [22 April
2016].
Price, SA. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi Keenam.
Jakarta: EGC.
Purnomo B. 2012. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto.
Rahardjo P. et al.. 2006. Hemodialisa: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.
Siallagan, H et al. 2012. Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Kronik yang
Dirawat Inap di RS Martha Friska Medan Tahun 2011.
http://download.portalgaruda.org/ [22 April 2016].
Sloane, E. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S., dan Bare, BG. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC.
Sukandar, E. 2006. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: FK UNPAD.
Suwitra, K. 2006. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.