Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

CHRONIC KIDNEY DISSEASE (CKD) DENGAN PENYEBAB


KELAINAN GINJAL DI POLI HEMODIALISA RS. DR. SOEBANDI
JEMBER

Laporan Pendahuluan

oleh
Mukhammad Syafiudin S. Kep
NIM 142311101162

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA KLIEN
DENGAN CHRONIC KIDNEY DISSEASE (CKD) DENGAN PENYEBAB
KELAINAN GINJAL DI POLI HEMODIALISA RSD dr. SOEBANDI
JEMBER
1. Kasus
Chronic Kidney Dissease (CKD) e.c Kelainan ginjal
2. Proses Terjadinya Masalah
a. Anatomi Ginjal
Ginjal terletak di belakang peritoneum parietal (retro-peritoneal), pada
dinding abdomen posterior. Ginjal juga terdapat pada kedua sisi aorta abdominal
dan vena kava inferior. Hepar menekan ginjal kanan ke bawah sehingga ginjal
kanan lebih rendah daripada ginjal kiri.
Ginjal adalah sepasang organ retroperitoneal yang integral dengan
homeostasis

tubuh

dalam

mempertahankan

keseimbangan,

termasuk

keseimbangan fisika dan kimia. Ginjal menyekresi hormon dan enzim yang
membantu pengaturan produksi eritrosit, tekanan darah, serta metabolisme
kalsium dan fosfor. Ginjal membuang sisa metabolisme dan menyesuaikan
ekskresi air dan pelarut. Ginjal mengatur volume cairan tubuh, asiditas, dan
elektrolit sehingga mempertahankan komposisi cairan yang normal.
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama didaerah lumbal,
disebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal
dibelakang pritonium. Kedudukan gijal dapat diperkirakan dari belakang, mulai
dari ketinggian vertebra torakalis terakhir sampai vertebra lumbalis ketiga. Dan
ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena tertekan oleh hati (Pearce
dan Wilson, 2006).

Gambar 1. Anatomi Ginjal

Setiap ginjal panjangnya antara 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm dan


tebalnya antara 1,5 cm sampai 2,5 cm, pada orang dewasa berat ginjal antara 140
gram sampai 150 gram. Bentuk ginjal seperti kacang dan sisi dalamnya atau hilus
menghadap ketulang belakang, serta sisi luarnya berbentuk cembung. Pembuluh
darah ginjal semuanya masuk dan keluar melalui hilus. Diatas setiap ginjal
menjulang kelenjar suprarenal.
Setiap ginjal dilingkupi

kapsul

tipis

dan

jaringan

fibrus

yang

membungkusnya, dan membentuk pembungkus yang halus serta didalamnya


terdapat struktur-struktur ginjal. Struktur ginjal warnanya ungu tua dan terdiri dari
bagian kapiler disebelah luar, dan medulla disebelah dalam. Bagian medulla
tersusun atas 15 sampai 16 bagian yang berbentuk piramid, yang disebut sebagai
piramid ginjal. Puncaknya mengarah ke hilus dan berakhir di kalies, kalies akan
menghubungkan dengan pelvis ginjal.

Gambar 2. Potongan vertikal ginjal


Struktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan
satuan fungsional ginjal, dan diperkirakan ada 1.000.000 nefron dalam setiap
ginjal. Setiap nefron mulai membentuk sebagai berkas kapiler (Badan
Malpighi/Glomerulus) yang erat tertanam dalam ujung atas yang lebar pada
unineferus. Tubulus ada yang berkelok dan ada yang lurus.
Bagian pertama tubulus berkelok-kelok dan kelokan pertama disebut tubulus
proksimal, dan sesudah itu terdapat sebuah simpai yang disebut simpai henle.
Kemudian tubulus tersebut berkelok lagi yaitu kelokan kedua yang disebut
tubulus distal, yang bergabung dengan tubulus penampung yang berjalan
melintasi kortek dan medulla, dan berakhir dipuncak salah satu piramid ginjal.

Gambar 3. Bagian microscopic ginjal


Selain tubulus urineferus, struktur ginjal juga berisi pembuluh darah yaitu
arteri renalis yang membawa darah murni dari aorta abdominalis ke ginjal dan
bercabang-cabang di ginjal dan membentuk arteriola aferen (arteriola aferentes),
serta masing-masing membentuk simpul didalam salah satu glomerulus.
Pembuluh eferen kemudian tampil sebagai arteriola eferen (arteriola eferentes),
yang bercabang-cabang membentuk jaring kapiler disekeliling tubulus uriniferus.
Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi untuk membentuk vena renalis, yang
membawa darah kevena kava inferior. Maka darah yang beredar dalam ginjal
mempunyai dua kelompok kapiler, yang bertujuan agar darah lebih lama
disekeliling tubulus urineferus, karena fungsi ginjal tergantung pada hal tersebut.
(Pearce dan Wilson, 2006)
Fungsi ginjal antara lain (Sloane, 2003):
1. Pengeluaran zat sisa organik. Ginjal mensekresi urean, asam urat, kreatinin, dan
produk penguraian hemoglobin dan hormon.
2. Pengaturan konsentrasi ion-ion penting. Ginjal mensekresi ion kalian, natrium,
kalsium, magnesium, sulfat, dan fosfat. Ekskresi ion-ion ini seimbang dengan
asupan dan ekskresinya melalui rute

lain, seperti pada saluran

gastrointestinan atau kulit.


3. Pengaturan keseimbangan asam basa tubuh. Ginjal mengandalikan ekskresi ion
hydrogen (H+), bikarbonat (HCO3-), dan ammonium (NH4+), serta
memproduksi urin asam atau basa, bergantung pada kebutuhan tubuh.
4. Pengaturan produksi sel darah merah. Ginjal melepas eritropoietin yang mengatur
produksi sel darah merah dalam susmsum tulang.
5. Pengaturan tekanan darah. Ginjal mengatur volume cairan yang esensial bagi
pengaturan tekanan darah, dan juga memproduksi enzim renin. Renin adalah
komponen penting dalam mekanisme renin angiotensin aldosterone, yang
meningkatkan tekanan darah dan retensi air.
6. Pengendalian terbatas terhadap konsentrasi glukosa darah dan asam amino darah.
Ginjal melalui ekskresi glukosa dan asam amino berlebih bertanggung jawab
atas konsentrasi nutrien dalam darah.
7. Pengeluaran zat beracun. Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambah makanan,
obat-obatan, atau zat kimia asing lain dari tubuh

b. Fisiologi Perkemihan
1) Ultrafiltrasi
Filtrasi adalah proses ginjal dalam menghasilkan urine. Filtrasi plasma terjadi
ketika darah melewati kapiler dari glomerulus. Dari proses ultrafiltrasi ini, filtrat
glomerular kira-kira 180 liter per hari. Volume ini, 99% direabsorpsi oleh ginjal.
Oleh karena kemampuan ginjal yang luar biasa untuk mengabsorpsi, rata-rata
haluaran urine per hari (orang dewasa) hanya 1-2 liter dari volume filtrat
glomerular yang berjumlah 180 liter per hari. Ultrafiltrasi diukur sebagai laju
filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate, GFR). Secara klinis, GFR diartikan
sebagai jumlah filtrat glomerular yang dihasilkan dalam satu menit. GFR pada
orang dewasa kira-kira 125 ml per menit (7,5 liter per jam).
Kedua ginjal menerima sekitar 20% dari curah jantung yang dapat membuat
kecepatan aliran darah ginjal sebanyak 1200 ml per menit. Aliran darah yang
sangat cepat ini memang melampaui kebutuhan oksigen dan metabolik ginjal,
tetapi diperlukan karena memperlancar ekskresi sisa metabolik. Oleh karena itu,
gangguan curah jantung yang berat atau berlangsung lama, atau gangguan perfusi
ginjal dapat mempengaruhi pembentukan urine dan kelangsungan hidup sel yang
berfungsi mempertahankan keseimbangan lingkungan internal tubuh.
Kemampuan ginjal untuk mempertahankan air dan elektrolit (melalui
reabsorpsi) juga sangat penting dalam kelangsungan hidup seseorang. Tanpa
kemampuan ini, seseorang dapat mengalami kekurangan air dan elektrolit dalam
3-4 menit. Tubulus kontortus proksimal mereabsorpsi 85-90% air yang ada dalam
ultrafiltrat, 80% dari natrium; sebagian besar kalium, bikarbonat, klorida, fosfat,
glukosa, dan asam amino. Tubulus kontortus distal dan tubulus koligentes
menghasilkan urine.

Gambar 4. Mekanisme pembentukan urine dan proses filtrasi,


reabsorpsi, dan sekresi di nefron
Mekanisme lain yang dapat mencegah berkurangnya air dan elektrolit adalah
endokrin atau respons hormonal. Hormon antidiuretik (ADH) adalah contoh
klasik bagaimana hormon mengatur keseimbangan air dan elektrolit. ADH adalah
hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus, disimpan dan dikeluarkan oleh kelenjar
hipofisis sebagai respons terhadap perubahan dalam osmolalitas plasma.
Osmolaritas adalah konsentrasi ion dalam suatu larutan. Dalam hal ini, larutannya
adalah darah. Apabila asupan air menjadi kurang atau air banyak yang hilang,
ADH akan dikeluarkan sehingga membuat ginjal menahan air. ADH
mempengaruhi nefron bagian distal untuk memperlancar permeabilitas air

sehingga lebih banyak air yang direabsoprsi dan dikembalikan ke dalam sirkulasi
darah.
Tabel 1. Bagian dan fungsi utama nefron
Bagian dan fungsi utama nefron
Kapsula Bowman

Tubulus
proksimal

kontortus Obligatory rearbsorption (66% dari filtrat


glomeruli): natrium, kalium, klorida,
bikarbonat, dan elektrolit. Lainnya: glukosa,
asam amino, air, dan urea. Sekresi: ion
hidrogen, obat, dan toksin

Ansa Henle
Tubulus
distal

Filtrasi: ultrafiltrasi dan plasma masuk ke


dalam kapsula Bowman dan mengalir ke
tubulus kontortus proksimal

Reabsorpsi (25% dari filtrat glomeruli):


klorida, natrium, ion kalsium, air, dan urea
kontortus Facilitatory rearbsorption (9% dari filtrat
glomeruli): natrium, klorida, bikarbonat, air,
dan urea. Sekresi: hidrogen, kalium, dan
amonia

Duktus koligentes

Facilitatory rearbsorption: air dan urea

2) Keseimbangan elektrolit
Sebagian besar elektrolit yang dikeluarkan dari kapsula Bowman direabsorpsi
dalam tubulus proksimal. Konsentrasi elektrolit yang telah direabsorpsi diatur
dalam tubulus distal di bawah pengaruh hormon aldosteron dan ADH.
Mekanisme yang membuat elektrolit bergerak menyebrangi membran tubula
adalah mekanisme aktif dan pasif. Gerakan pasif terjadi apabila ada perbedaan
konsentrasi molekul. Molekul bergerak dari area yang berkonsentrasi tinggi ke
area yang berkonsentrasi rendah. Gerakan aktif memerlukan energi dan dapat
membuat molekul bergerak tanpa memperhatikan tingkat konsentrasi molekul.
Dengan gerakan aktif dan pasif ini, ginjal dapat mempertahankan keseimbangan
elektrolit yang optimal sehingga menjamin fungsi normal sel.
3) Pemeliharaan keseimbangan asam-basa
Agar sel dapat berfungsi normal, perlu juga dipertahankan pH plasma 7,35
untuk darah vena dan pH 7,45 untuk darah arteria. Keseimbangan ini dapat

dicapai dengan mempertahankan rasio darah bikarbonat dan karbon dioksida


pada 20:1. Ginjal dan paru-paru bekerja lama untuk mempertahankan rasio ini.
Paru-paru bekerja dengan menyesuaikan jumlah karbon dioksida dalam darah.
Ginjal menyekresi atau menahan bikarbonat dan ion hidrogen sebagai respons
terhadap pH darah.
4) Eritropoiesis
Ginjal mempunyai peranan yang sangat penting dalam produksi eritrosit.
Ginjal memproduksi enzim yang disebut faktor eritropoietin yang mengaktifkan
eritropoietin, hormon yang dihasilkan hepar. Fungsi eritropoietin adalah
menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah, terutama sel darah
merah. Tanpa eritropoietin, sumsum tulang pasien penyakit hepar atau ginjal
tidak dapat memproduksi sel darah merah.
5) Regulasi kalsium dan fosfor
Salah satu fungsi penting ginjal adalah mengatur kalsium serum dan fosfor.
Kalsium sangat penting untuk pembentukan tulang, pertumbuhan sel, pembekuan
darah, respons hormon, dan aktivitas listrik selular. Ginjal adalah pengatur utama
keseimbangan kalsium-fosfor. Ginjal melakukan hal ini dengan mengubah
vitamin D dalam usus (dari makanan) ke bentuk yang lebih aktif, yaitu 1,25dihidrovitamin D3. Ginjal meningkatkan kecepatan konversi vitamin D jika kadar
kalsium atau fosforus serum menurun. Vitamin D molekul yang aktif (1,25dihidrovitamin D3), bersama hormon paratiroid dapat meningkatkan absorpsi
kalsium dan fosfor oleh usus.
6) Regulasi tekanan darah
Ginjal mempunyai peranan aktif dalam pengaturan tekanan darah, terutama
dengan mengatur volume plasma dipertahankan melalui reabsorpsi air dan
pengendalian komposisi cairan ekstraselular (mis., terjadi dehidrasi). Korteks
adrenal mengeluarkan aldosteron. Aldosteron membuat ginjal menahan natrium
yang dapat mengakibatkan reabsorpsi air.
7) Ekskresi sisa metabolik dan toksin

Sisa

metabolik

diekskresikan

dalam

filtrat

glomerular.

Kreatinin

diekskresikan ke dalam urine tanpa diubah. Sisa yang lain seperti urea,
menagalami reabsorpsi waktu melewati nefron. Biasanya obat dikeluarkan
melalui ginjal atau diubah dulu di hepar ke dalam bentuk inaktif, kemudian
diekskresi oleh ginjal.
8) Miksi
Miksi (mengeluarkan urine) adalah suatu proses sensori-motorik yang
kompleks. Urine mengalir dari pelvis ginjal, kemudian kedua ureter dengan
gerakan peristalsis. Rasa ingin berkemih akan timbul apabila kandung kemih
berisi urine sebanyak 200-300 ml. Saat dinding kandung kemih mengencang,
baroseptor (saraf sensori yang distimulasi oleh tekanan) akan membuat kandung
kemih berkontraksi. Otot sfingter eksternal berelaksasi dan urine keluar. Otot
sfingter eksternal dapat dikendalikan secara volunter sehingga urine tetap tidak
keluar walaupun dinding kandung kemih sudah berkontraksi (Baradero, 2008).
c.

Definisi CKD
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah

gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irevesibel dimana
kemampuan tubuh ginjal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah). Graber, Toth, dan Herting (2006) menjelaskan bahwa sindrom klinis
gangguan ginjal kronik digolongkan dalam tiga kelompok utama, yaitu cadangan
ginjal yang tidak mencukupi ditandai dengan ketidakmampuan mengkompensasi
pembebanan atau kehilangan cairan atau zat terlarut yang ekstrim, insufisiensi
ginjal yang ditandai dengan peningkatan kadar BUN dan berkurangnya
kemampuan mengatasi fluktuasi zat terlarut dan air tetapi dapat mempertahankan
homeostasis, dan gagal ginjal ditandai dengan peningkatan progresif BUN sampai
menyebabkan uremia serta ketidakseimabangan cairan dan elektrolit (GFR
<6mg/men/m2).
Kriteria penyakit GGK menurut Baradero (2008) yaitu sebagai berikut.

1. Terjadi kerusakan ginjal selama 3 bulan atau lebih yang ditandai oleh
abnormalitas struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (GFR), yang dimanifestasikan oleh abnormalitas patologis
atau tanda kerusakan ginjal, meliputi abnormalitas komposisi darah atau urin,
atau abnormalitas hasil tes
2. GFR< 60 ml/mnt/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa
kerusakan ginja.
d. Etiologi
Baradero, Dayrit, dan Siswadi (2009) menyatakan bahwa penyebab utama
gagal ginjal kronik adalah diabetes melitus (32%), hipertensi (28%), dan kelainan
ginajl (45%). Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi
(20%) dan ginjal polikistik (10%) (Price, 2005).
e.

Klasifikasi
CKD dapat diklasifikasikan atas dasar derajat (stage) penyakit. Klasifikasi

atas dasar penyakit dibuat berdasar LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) yang dihitung
dengan

menggunakan

rumus

Kockcroft-Gault.

NKF-K/DOQI

juga

mengklasifikasikan CKD berdasar derajat penyakit (National Kidney Foundation,


2002).

LFG (ml/mnt/1.73 m2) = (140-umur) x berat badan

*)

72x kreatinin plasma (mg/dl)


*) pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 2. Klasifikasi CKD atas dasar derajat penyakit
Klasifikasi CKD atas Dasar Derajat Penyakit

Deraja
t

Penjelasan

LFG
(ml/mnt/1.73 m2)

Kerusakan ginjal dengan LFG normal


atau

90

Kerusakan ginjal dengan LFG


ringan

60-89

Kerusakan ginjal dengan LFG


sedang

30-59

Kerusakan ginjal dengan LFG berat

15-29

Gagal ginjal

< 15 atau dialisis

Sumber: National Kidney Foundation (2002)


f. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus
dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh mengalami hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi
yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan
GFR/daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi
sampai dari nefronnefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih
besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri
dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri
timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada
pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila
kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80-90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang
demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu
(Smeltzer & Bare, 2001).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah
maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat

melakukan tugas sehari-hari sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul


antara lain mual, muntah, nafsu makan berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan
akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma.
Stadium akhir timbul pada sekitar 90% dari masa nefron telah hancur. Nilai
GFR-nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10
ml/menit atau kurang.

Pada keadaan ini kreatnin serum dan kadar BUN akan

meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup
lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Penderita
biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari karena
kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus
ginjal. Kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan
gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik memepengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal
kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis
(Sudoyo, 2006). Perjalanan umum CKD dapat dibagi menjadi 3 stadium sebagai
berikut.
1. Stadium 1: penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum
normal dan penderita asimptomatik.
2. Stadium 2: insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan telah rusak, Blood
Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
3. Stadium 3: gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
Pada pasien CKD yang memiliki DM, kejadian CKD merupakan suatu
komplikasi penyakit DM yang dimiliki tersebut. Komplikasi ini disebut Nefropati
diabetik (ND). Nefropati diabetik (ND) merupakan komplikasi penyakit diabetes
mellitus yang termasuk dalam komplikasi mikrovaskular, yaitu komplikasi yang
terjadi pada pembuluh darah kecil. Hal ini dikarenakan terjadi kerusakan pada
pembuluh darah halus di ginjal. Kerusakan pembuluh darah menimbulkan
kerusakan glomerulus yang berfungsi sebagai penyaring darah. Tingginya kadar
gula dalam darah akan membuat struktur ginjal berubah sehingga fungsinyapun
terganggu.

Dalam keadaan normal protein tidak tersaring dan tidak melewati glomerolus
karena ukuran protein yang besar tidak dapat melewati lubang-lubang glomerulus
yang kecil. Namun, karena kerusakan glomerolus, protein (albumin) dapat
melewati glomerolus sehingga dapat ditemukan dalam urin yang disebut dengan
mikroalbuminuria.
Gejala nefropati diabetik dibagi menjadi beberapa tahap, yang paling
sederhana adalah 3 tahap, yaitu mikroalbuminuria (berlangsung selama 5-15
tahun), makroalbuminuria (5-10 tahun), dan gagal ginjal terminal (3-6 tahun).
Mogensen membagi ND menjadi 5 tahap dengan menambahkan 2 tahap sebelum
mikroalbuminuria pada DM tipe 1. Tahap pertama adalah pembesaran ginjal
akibat hiperfiltrasi dan tahap kedua adalah silent stage dimana ekskresi albumin
normal tetapi struktur glomerolus berubah.
g. Tanda Gejala
Menurut Baradero (2008)), tanda dan gejala pada gagal ginjal kronik yaitu :
a. Sistem kardiovaskuler: hipertensi, pitting edema, edema periorbital,
pembesaran vena leher, friction sub pericardial
b. Sistem pulmoner: krekel, nafas dangkal, kusmaul, sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal: anoreksia, mual dan muntah, perdarahan saluran GI,
ulserasi dan pardarahan mulut, nafas berbau amonia
d. Sistem muskuloskeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang
e. Sistem integumen: warna kulit abu-abu mengkilat, pruritis, kulit kering
bersisik, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
f. Sistem reproduksi: amenore, attrofi testis
g. Sistem hematologi: anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sumsum tulang berkurang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia
toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.
h. Kemih: nokturia, poliuria, haus, proteinuria, penyakit ginjal yang
mendasarinya.
i. Reproduksi: penurunan libido, impotensi, amenore, infertilitas, ginekomastia,
galaktore, atrofi testikuler.
j. Saraf: kelemahan, keletihan, kelemahan tungkai, rasa panas pada telapak
kaki, konfusi, letargi, malaise, anoreksia, tremor, mengantuk, kebingungan,

flap, mioklonus, kejang, koma, perubahan perilaku, perubahan tingkat


kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi, disorientasi, kedutan otot.
h. Komplikasi
Gagal ginjal kronik adalah penyakit yang mempunyai prognosis buruk
dimana akan terjadi penurunan fungsi ginjal secara bertahap. Pada tahap awal
penderita mungkin tidak merasakan keluhan tetapi setelah beberapa tahun atau
beberapa puluh tahun penyakit ginjal ini sering berkembang cepat menjadi gagal
ginjal terminal dimana akan membutuhkan terapi renal seperti dialisis atau
transplantasi untuk memperpanjang usianya. Komplikasi CKD menurut Smeltzer
dan Bare (2001) serta Suwitra (2006) antara lain sebagai berikut.
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diet berlebih
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
f.
g.
h.
i.
j.

kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik


Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia
Pada gagal ginjal stadium akhir terjadi azotemia dan uremia berat, asidosis
metabolik memburuk yang merangsang percepatan pernafasan (Corwin,

2009).
k. Kardiovaskular, gangguan keseibangan asam basa, cairan dan elektrolit,
osteodistrofi renal, dan anemia (Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi, 2008).
Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian antihipertensif,
eritropoietin, suplemen besi, agens pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Pasien
juga perlu mendapat penanganan dialisis yang adekuat untuk menurunkan kadar
produk sampah uremik dalam darah.

i. Pemeriksaan Penunjang
Dalam melakukan pemeriksaan penunjang pada penyakit gagal ginjal akut dan
kronis tidak jauh beda dalam prosedur pemeriksaan diagnosis, perbedaannya
terletak pada beberapa hal atau point dari hasil pemeriksaan.
1. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urine. Prosedur ini memeriksa
sedimen setelah urine disentrifugasi. Urine yang normal hampir tidak
mengandung sedimen (Baradero, dkk, 2008).
Pemeriksaan urin mencakup evaluasi hal-hal berikut:
a. Observasi warna dan kejernihan urin
b. Pengkajian bau urin
c. Pengukuran keasaman dan berat jenis urin
d. Tes untuk memeriksa keberadaan protein, glukosa dan badan keton dalam
urin.
e. Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin sesudah melakukan pemusingan
(centrifuging) untuk medeteksi sel darah merah (hematuria), sel darah putih,
silinder (silindruria), kristal (kristaluria), pus (piuria) dan bakteri
(bakteriuria).
Urinalisis dapat mendeteksi dan menunjang diagnosa penyakit ginjal
dengan menmukan protein urin, eritrosit dan leukosit dan denan menemukan
berbagau silinder dalam sedimen urin. Hal-hal yang dapat ditemukan pada
pemeriksaan urinalisis pada gagal ginjal akut dan kronis, yaitu:
a. Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri), yang terjadi
setelah ginjal rusak, pada gagal ginjal kronis juga dapat dihasilkan urine tak
ada (anuria).
b. Warna: pada gagal ginjal akut dan kronis urine berwarna kotor atau keruh,
sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin dan
porfirin. Pada penderita gagal ginjal kronis juga didapatkan kekeruhan urine
yang mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat
atau urat.
c. Berat jenis: pada penderita gagal ginjal akut berat jenis urine kurang dari
1,020 dapat menunjukkan penyakit ginjal, contoh glomerulonefritis,

pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk memekatkan, sedangkan


pada gagal ginjal kronis adalah kurang dari 1,015 dan akan menetap pada
1,010 yang menunjukkan kerusakan ginjal.
d. Osmolalitas: gagal ginjal akut dan kronis memiliki nilai intrepretasi yang
sama yaitu kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal, dan
rasio urine/serum 1:1.
e. Klirens kreatinin:pada gagal ginjal akut dan kronik secara bermakna
menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukkan peningkatan
bermakna.
f. Natrium: pada gagal ginjal akut nilai atau jumlah dari natrium dapat
menurun sedangkan pada gagal ginjal kronis dapat menunjukkan jumlah
yang lebih dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mengabsorpsi natrium
dengan baik.
g. Protein: pada gagal ginjal akut jumlah atau nilai proteinuria pada derajat
rendah (1-2+) dan sedimen dapat menunjukkan infeksi atau nefritis
interstisial. Sedangkan pada gagal ginjal kronis derajat protenuria terletak
pada derajat tinggi (3-4+) menunjukkan kerusakan glomerulus bila terdapat
sedimen dan perubahan warna (Doenges, 2000).
2. Darah
Penilaian CKD dengan ganguan yang serius dapat dilakukan dengan
pemerikasaan laboratorium, seperti: kadar serum sodium/natrium dan
potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit, kadar urea
nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin urin, urinalisis.
Pada stadium yang cepat pada insufisiesi ginjal, analisa urine dapat menunjang
dan sebagai indikator untuk melihat kelainan fungsi ginjal. Batas kreatinin urin
rata-rata dari urine tampung selama 24 jam. Analisa urine rutin dilakukan pada
stadium gagal ginjal yang mana dijumpai produksi urin yang tidak normal.
Dengan urin analisa juga dapat menunjukkan kadar protein, glukosa,
RBCs/eritrosit, dan WBCs/leukosit serta penurunan osmolaritas urin. Pada
gagal ginjal yang progresif dapat terjadi output urin yang kurang dan frekuensi
urin menurun. Monitor kadar BUN dan kadar creatinin sangat penting bagi
pasien dengan gagal ginjal. Urea nitrogen adalah produk akhir dari
metabolisme protein serta urea yang harus dikeluarkan oleh ginjal. Normal

kadar BUN dan kreatinin sekitar 20 : 1. Bila ada peningkatan BUN selalu
diindikasikan adanya dehidrasi dan kelebihan intake protein.
a. Hb: menurun pada adanya anemia
b. Sedimen: sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan
hidup.
c.
pH: asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena
penurunan kemampuan ginjal untuk mengekresikan hidrogen dan hasil
d.

akhir metabolisme.
BUN/kreatinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan
protein), perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin
meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum
bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan

penyakit. Biasanya meningkat pada proporsi rasio 10:1.


e. Osmolalitas serum: labih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan
f.

urine.
Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel

darah merah).
g. Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
h. pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
i. Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat.
j. Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan
penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial (Doenges,
2000).
3. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia,
dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
4. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta
prostate.

5. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan
rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa
pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui gangguan
fungsi ginjal antara lain:
a) Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari
ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang
mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
b) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara
jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras
atau tanpa kontras.
c) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan
fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus
gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali
kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta
obstruksi saluran kencing.
d) Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena,
dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras. Pemeriksaan ini
biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis, aneurisma ginjal,
arterovenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk vaskuler.
e) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus
yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada ginjal
serta post transplantasi ginjal.
6. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil
jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus
golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan
perencanaan transplantasi ginjal.
7. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi
darah arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri

femoralis, radialis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah


diberi heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum dilakukan uji
laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada penderita gagal ginjal
akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolik dengan nilai PO 2
normal,PCO2 rendah, pH rendah, dan defisit basa tinggi (Grace dan Borley,
2006).
j. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada CKD dan faktor
yang dapat dipulihkan (misal obstruksi) diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer &
Bare, 2001). Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga
yaitu sebagai berikut.
a. Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. Gejala-gejala seperti
mual, muntah, dan letih mungkin dapat membaik. Pembatasan asupan
protein

telah

terbukti

menormalkan

kembali

kelainan

ini

dan

memperlambat terjadinya gagal ginjal. Asupan rendah protein mengurangi


beban ekskresi sehingga menurunkan hiperfiltrasi glomerulus, tekanan
intraglomerulus, dan cedera sekunder pada nefron intak.

Selain itu,

tindakan yang harus dilakukan adalah dengan tidak memberikan obatobatan atau makanan yang tinggi kandungan kalium. Makanan atau obatobatan tersebut mengandung tambahan garam (yang mengandung
amonium klorida dan kalium klorida), ekspektoran, kalium sitrat, dan

makanan seperti sup, pisang, dan jus buah murni. Pengaturan natrium
dalam diet memiliki arti penting dalam gagal ginjal. Jumlah natrium yang
biasanya diperbolehkan adalah 40 hingga 90 mEq/hari (1-2 gr natrium),
tetapi asupan natrium yang optimal harus ditentukan secara individual
pada setiap pasien untuk mempertahankan hidrasi yang baik (Price &
Wilson, 2005).
2. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat
dengan tujuan utama

yaitu mempertahankan keseimbangan positif

nitrogen, memelihara status nutrisi, dan memelihara status gizi.


3. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 liter per hari.
4. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari GFR dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bikarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
2. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3. Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain

adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi Hemodialisa
reguler

yang

adekuat,

medikamentosa,

atau

operasi

subtotal

paratiroidektomi.
6. Hipertensi dengan pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada GFR kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa Hemodialisa,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1. Hemodialisa
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien CKD yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (GFR).

Gambar 6. Hemodialisa
2. Dialisis peritoneal

Ditanamkan sampai 2 liter larutan glukosa isotonik atau hipertonik dalam


rongga peritoneal pasien melalui membran peritoneal seluas 2 m2 dengan
darah di kapiler peritoneum. Setelah beberapa jam cairan yang mengandung
sisa buangan toksik ditarik keluar. Prosedur ini diulangi tiga atau empat kali
sehari. Kelebihan cairan diambil oleh larutan hipertonik. Komplikasi utama
adalah peritonitis, biasanya akibat Staphylococcus epidermidis atau S.
Aureus.

Gambar 7. Dialisis peritoneal


3. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu sebagai berikut.
Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan Hemodialisa hanya mengambil alih 70

80% faal ginjal alamiah.


Kualitas hidup normal kembali.
Masa hidup (survival rate) lebih lama.
Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan

obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.


Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

Gambar 8. Transplantasi ginjal


k. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah
mulaidilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya
pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular yaitu sebagai berikut (National Kidney Foundation, 2002).
a. Pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko
b.
c.
d.
e.

penurunan fungsi ginjal)


Pengendalian gula darah, lemak darah, dan anemia
Penghentian merokok
Peningkatan aktivitas fisik
Pengendalian berat badan

PATHWAY
Diabetes Mellitus Tipe 1

Sel Langerhans rusak

Diabetes Mellitus tipe 2

Diabetes Tipe Lain

Insensitivitas reseptor insulin

Kegagalan produksi insulin


Reseptor insulin tidak mampu berikatan dengan insulin
Glukosa tidak dapat masuk sel
Glukosa terjebak dalam vaskuler
Peningkatan kadar glukosa (Hiperglikemia)
Peningkatan pengeluaran glukosa dalam urin
Penebalan membran basal
Pelebaran glomerulus
Lesi sklerotik dalam glomerulus
Menghambat aliran darah
Merusak nefron ginjal

Diabetes Gestasional

4. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Pengkajian
a. Demografi
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga
yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh
berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan
sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan
lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian
CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama
dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum atau
mengandung banyak senyawa/zat logam dan pola makan yang tidak
sehat.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine
output sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan
kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual muntah, mulut terasa
kering, rasa lelah, napas berbau (urea) dan gatal pada kulit
c. Riwayat penyakit sekarang
Kaji onset penurunan urin output, penurunan kesadaran, perubahan
pola napas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya napas
berbau ammonia dan perubahan pemenuhan nutrisi. Kaji sudah
kemana saja klien meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya
dan mendapat pengobatan apa
d. Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit gagal ginjal akut, hipertensi, infeksi
saluran kemih, payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik,
benign prostatic hyperplasia (BPH) dan prostatektomi, penyakit batu
saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit
diabetes melitus, dan penyakit terdahulu yang dapat menjadi penyebab
GGK

e. Pemeriksaan fisik (B1-B6)


Setelah melakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik dilakukan secara persistem
(B1-B6) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari
pasien (Muttaqin, 2009). Keadaan umum pasien lemah dan terlihat
sakit berat. Tingkat kesadaran menurun sesuai dengan tingkat uremia
dimana dapat mempengaruhi sistem saraf pusat. Pada TTV sering
didapatkan adanya perubahan RR meningkat dan tekanan darah terjadi
perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.
B1 (Breathing)
Pasien bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering didapatkan
pada fase ini. Respon uremia didapatkan adanya pernapasan
Kussmaul. Pola napas cepat dan dalam merupakan upaya untuk
melakukan pembuangan karbondioksida yang menumpuk di sirkulasi.
B2 (Blood)
Pada kondisi uremia berat, saat auskultasi akan ditemukan adanya
friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial, terdapat
tanda dan gejala gagal jantung kongestif, TD meningkat, akral dingin,
CRT >3 detik, palpitasi, nyeri dada atau angina, sesak napas,
gangguan irama jantung, edema penurunan perfusi perifer sekunder
dari penurunan curah jantung akibat hiperkalemi, dan gangguan
konduksi elektrikal otot ventrikel. Pada sistem hematologi sering
didapatkan adanya anemia. Anemis sebagai akibat dari penurunan
produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel
darah merah dan kehilangan darah, biasanya dari saluran GI,
kecenderungan mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia.
B3 (Brain)
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti
perubahan proses pikir dan disorientasi. Pasien sering didapatkan
adanya kejang, adanya neuropati perifer, burning feet syndrome,
restless leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot.
B4 (Bladder)

Penurunan urin output <400 ml/hari sampai anuri, terjadi penurunan


libido berat.
B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder
dari bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut dan ulkus saluran
cerna sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari
kebutuhan.
B6 (Bone)
Didapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
(memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi,
pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), petekie, area ekomosis pada kulit,
fraktur tulang, defosit fosfat kalsium pada kulit, jaringan lunak dan
gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum
sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi
f. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien CKD untuk
mengetahui penyebab dan daerah yang terkena menurut Doenges
(2000) adalah sebagai berikut :

Urin : volume kurang dari 40 ml/24 jam (oliguria), warna keruh,


berat jenis kurang dari 1.015, osmolalitas kurang dari 350
m.osn/kg, klirens kreatinin agak menurun kurang 10 ml/menit,

natrium lebih dari 40 mEq/L, proteinuria.


Darah: BUN/kreatinin meningkat lebih dari 10 mg/dl, Ht
menurun, Hb kurang dari 78 gr/dl, SDM waktu hidup menurun,
AGD (pH menurun dan terjadi asidosis metabolik (kurang dari
7,35), natrium serum rendah, kalium meningkat 6,5 mEq atau
lebih besar, magnesium/fosfat meningkat, kalsium menurun,

protein khususnya albumin menurun.


Osmolalitas serum: lebih besar dari 285 nOsm/kg
KUB (Kidney Ureter Bladder) Foto: menunjukkan ukuran
finjal/ureter/kandung kemih dan adanya obstruksi (batu).

Elektrokardiografi

(EKG):

untuk

melihat

kemungkinan

hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan

gangguan elektrolit (hiperkalemia dan hipokalsemia).


Ultrasonografi (USG): Menilai bentuk dan besar ginjal, tebal
korteks ginjal, kepadatan paremkim ginjal, ureter proximal,
kandung kemih serta prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mencari adanya faktor yang reversibel, juga menilai apakah

proses sudah lanjut.


Foto polos abdomen: Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi
akan memperburuk fungsi ginjal, menilai bentuk dan besar ginjal

dan apakah ada batu atau obstruksi lain.


Pemeriksaan pielografi retrograd: dilakukan bila dicurigai ada

obstruksi yang reversibel.


Pemeriksaan foto dada: dapat terlihat tandatanda bendungan
paru akibat kelebihan cairan (fluid overload), efusi pleura,

kardiomegali dan efusi perikardial.


Pemerikasaan kardiologi tulang: mencari osteoditrofi (terutama
tulang atau jari) dan klasifikasi metastatik.

b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway adalah
sebagai berikut (NANDA, 2015).
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan produksi
hemoglobin akibat anemia

b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan peningkatan natrium dan


kalium dalam darah
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan nausea, vomiting akibat peningkatan asam lambung
d. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritus
f. Intoleran aktivitas berhubungan dengan peningkatan beban kerja jantung,
penurunan suplai oksigen dalam darah
g. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gatal akibat pruritus

c. Perencanaan Keperawatan
No
1

Diagnosa
Ketidakefektifan pola
napas berhubungan
dengan penurunan
produksi hemoglobin
akibat anemia

Tujuan dan Kriteria Hasil


(NOC)
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan ....x 24jam pola
napas kembali efektif dengan
kriteria hasil:
a) RR normal (1620x/menit)
b) Pergerakan dada normal
c) Penggunaan otot-otot
bantu pernapasan
berkurang

Intervensi (NIC)
Manajemen jalan napas
1) Atur
posisi
pasien
untuk
memaksimalkan ventilasi
2) Anjurkan bernafas yang pelan dan
dalam
3) Auskultasi suara nafas, catat area
penurunan atau ketiadaan ventilasi
dan adanya suara nafas tambahan
4) Monitor respirasi dan oksigenasi
5) Kolaborasi pemberian oksigen
yang sudah terhumidifikasi

Rasional
1)

2)
3)
4)
5)

Kelebihan volume
cairan berhubungan
dengan peningkatan
natrium dan kalium
dalam darah

Setelah dilakukan tindakan


keperawatan ....x 24jam
volume cairan tubuh
seimbang dengan kriteria
hasil:
a) Terbebas dari edema,
efusi, anasarka
b) Bunyi nafas bersih, tidak
ada dyspneu/orthopneu
c) Terbebas dari distensi

Memudahkan ekspansi paru dan


menurunkan adanya kemungkinan
lidah jatuh yang menyumbat jalan
napas
Membantu keefektifan pernafasan
pasien
Perubahan dapat menandakan awitan
komplikasi pulmonal atau menandakan
lokasi/ luasnya keterlibatan otak
Menentukan kecukupan pernapasan,
keseimbangan
asam
basa
dan
kebutuhan akan terapi
Memaksimalkan oksigen pada darah
arteri dan membantu dalam pencegahan
hipoksia

Manajemen cairan

1) Ukur masukan dan haluaran, catat 1) Menunjukkan status volume sirkulasi,


keseimbangan positif (pemasukan
melebihi pengeluaran). Timbang
berat badan tiap hari, dan catat
peningkatan lebih dari 0,5 kg/hari.
2) Awasi tekanan darah dan CVP.
Catat JVD/Distensi vena.
3) Auskultasi paru, catat penurunan
dan terjadinya bunyi tambahan

terjadinya atau perbaikan perpindahan


cairan, dan respon terhadap terapi.
Keseimbangan positif/peningkatan berat
badan sering menunjukkan retensi
cairan. Mengetahui pemasukan dan
pengeluaran dari cairan
2) Peningkatan tekanan darah biasanya
berhubungan dengan kelebihan volume

No

Diagnosa

Tujuan dan Kriteria Hasil


Intervensi (NIC)
(NOC)
vena jugularis, reflek
4) Awasi disritmia jantung. Auskultasi
hepatojugular (+)
bunyi jantung, catat terjadinya
d) Memelihara tekanan vena
irama gallop S3/S4.
sentral, tekanan kapiler
5) Kaji derajat perifer atau edema
paru, output jantung dan 6) Kolaborasikan dengan tim medis
vital sign alam batas
pemberian diuretic
normal

Rasional

3)

4)
5)
6)
3

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan dengan
nausea, vomiting
akibat peningkatan
asam lambung

Setelah dilakukan tindakan


keperawatan selama .......x24
jam diharapkan pasien
mempertahankan status
nutrisi adekuat dengan
kriteria hasil:
1. Adanya peningkatan
berat badan
2. Berat badan ideal sesuai
dengan tinggi badan
3. Mampu mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
4. Tidak ada tanda-tanda

Manajemen nutrisi
1. Kaji status nutrisi pasien
2. Ukur masukan diet harian dengan
jumlah kalori
3. Bantu dan dorong pasien untuk
makan, jelaskan alasan tipe diet.
Beri makan pasien bila pasien
mudah lelah atau biarkan orang
terdekat membantu pasien.
Pertimbangkan pemilihan makanan
yang disukai.
4. Berikan makanan sedikit tapi sering
5. Berikan makanan halus, hindari

cairan. Distensi juguler eksternal dan


vena abdominal sehubungan dengan
kongesti vaskuler
Peningkatan kongesti pulmonal
mengakibatkan konsolidasi, gangguan
pertukaran gas, dan komplikasi seperti
edema paru
Mungkin disebabkan oleh GJK,
penurunan perfusi arteri koroner, dan
ketidakseimbangan elektrolit.
Edema terjadi akibat retensi natrium dan
air, penurunan albumin, dan penurunan
ADH
Mengontrol edema dan asites

1. Mengetahui status nutrisi pasien


2. Memberikan informasi tentang
kebutuhan pemasukan/defisiensi
3. Diet yang tepat penting untuk
penyembuhan. Pasien mungkin makan
lebih baik bila keluarga terlibat dan
makanan yang disukai sebanyak
mungkin.
4. Membantu meningkatkan nafsu makan
pasien
5. Perdarahan dari varises esofagus dapat
terjadi pada serosis berat.

No

Diagnosa

Tujuan dan Kriteria Hasil


Intervensi (NIC)
(NOC)
malnutrisi
makanan kasar sesuai indikasi.
5. Menunjukkan
6. Timbang BB tiap hari.
peningkatan fungsi
7. Lakukan perawatan mulut, berikan
pengecapan dari menelan
penyegar mulut.
6. Tidak terjadi penurunan
8. Awasi pemeriksaan laboratorium
berat badan yang berarti
(contoh: glukosa serum, albumin,
total protein, amonia).

Rasional
6. Membantu pasien untuk mendapatkan
BB ideal/normal.
7. Kebersihan dan kesegaran mulut dapat
meningkatkan nafsu makan pasien.
8. Glukosa menurun karena gangguan
glikogenesis, penurunan simpanan
glikogen atau masukan tak adekuat.
Protein menurun karena gangguan
metabolisme, penurunan sistesis hepatik,
atau kehilangan ke rongga peritoneal
(asites). Peningkatan kadar amonia perlu
pembatasan masukan protein untuk
mencegah komplikasi serius.

DAFTAR PUSTAKA
Aziz, M. F., Witjaksono, J., dan Rasjidi, I. 2008. Panduan Pelayanan Medik:
Model Interdisiplin Penatalaksanaan Kanker Serviks dengan Gangguan
Ginjal. Jakarta: EGC
Baradero, Mary. 2008. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC.Baradero, Mary,
Mary Wilfrid, Yakobus Siswadi. 2009. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC
Bulechek, G. M., dkk. 2015. Nursing Intervention Classification (NIC). Sixth
Edition. United States of America: Elsevier Mosby.Doengoes, Marilynn.
2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi Ketiga. Jakarta: EGC
Corwin, E. J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Edisi 3. Jakarta: EGC
Graber, M. A., Toth, P. P., dan Herting, R. L. 2006. Buku Saku Dokter Keluarga
University of Iowa. Edisi 3. Jakarta: EGC.Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan
Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Grace & Borley.2007.At a Glance Ilmu Bedah. edisi ketiga.Jakarta: Erlangga
Moorhead, S., dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fourth
Edition. United States of America: Mosby Elsevier.
National Kidney Foundation. 2002. Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kideny Disease: Evaluation, Classification and Stratification. New York:
National Kidney Foundation, Inc.
Price, S. A. & Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi
Keenam. Jakarta: EGC
Rahardjo P., Susalit E., Suhardjono. 2006. Hemodialisa: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta
Sudoyo, A. W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FakultasKedokteran
Universtas Indonesia.
Sukandar, E. 2006. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: FK UNPAD.
Suwitra, K. 2006. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai