Anda di halaman 1dari 17

A.

Pengertian
Gagal ginjal kronis (Chronic Renal Failure) adalah kerusakan ginjal progresif
yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya
yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau
transplantasi ginjal), (Nursalam, 2006).
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. ( Smeltzer, Suzanne C,
2002).
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan
pada umumnya berakhir dengan gagal gijal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversible, pada suatu derajat
yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal (Suwitra, 2006). Berikut ini adalah kriteria PGK : Kelainan ginjal berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan manifestasi klinis dan kerusakan ginjal
secara laboratorik atau kelainan pada pemeriksaan radiologi, dengan atau tanpa
penurunan fungsi ginjal atau penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang
berlangsung > 3 bulan. Penurunan LFG < 60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan
tubuh selama > 3 dengan atau tanpa kerusakan ginjal (National Kidney Foundation,
2002).
B. Etologi

Penyebab PGK pada pasien hemodialisis dari data tahun 2011 didapatkan sebagai
berikut, E1 (Glomerulopati Primer/GNC) 14%, E2 (Nefropati Diabetika) 27%, E3
(Nefropati Lupus/SLE) 1%, E4 (Penyakit Ginjal Hipertensi) 34%, E5 (Ginjal
Polikistik) 1%, E6 (Nefropati Asam Urat) 2%, E7 (Nefropati obstruksi) 8%, E8
(Pielonefritis kronik/PNC) 6%, dan E9 (Lain-lain) 6%, E10 (Tidak Diketahui) 1%.
Penyebab terbanyak adalah penyakit ginjal hipertensi dengan 34 % , hal ini tidak
sesuai dengan data epidemiologi dunia yang menempatkan nefropati diabetika sebagai
penyebab terbanyak (Penefri, 2011).
CRF dapat disebabkan oleh penyakit sistemik diantaranya adalah sebagai berikut:
Glomerulonefritis, Nefropati analgesic, Nefropati refluks, Ginjal polikistik, Nefropati
diabetic, Hipertensi. (Mansjoer, dkk 2000 : 532)
C. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi ginjal

Anatomi ginjal menurut price dan Wilson (2005) dan Smletzer dan Bare (2001),
ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak pada kedua sisi
kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena
tekanan ke bawah oleh hati. Katub atasnya terletak setinggi iga kedua belas.
Sedangkan katub atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas. Ginjal dipertahankan
oleh bantalan lemak yang tebal agar terlindung dari trauma langsung, disebelah
posterior dilindungi oleh iga dan otot-otot yang meliputi iga, sedangkan anterior
dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. Ginjal kiri yang berukuran normal biasanya
tidak teraba pada waktu pemeriksaan fisik karena dua pertiga atas permukaan anterior
ginjal tertutup oleh limfa, namun katub bawah ginjal kanan yang berukuran normal
dapat diraba secara bimanual.
Ginjal terbungkus oleh jaringan ikat tipis yang dikenal sebagai kapsula renis.
Disebelah anterior ginjal dipisahkan dari kavum abdomen dan isinya oleh lapisan
peritoneum. Disebelah posterior organ tersebut dilindungi oleh dinding toraks bawah.
Darah dialirkan kedalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari dalam
ginjal melalui vena renalis. Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis dan vena
renalis membawa darah kembali kedalam vena kava inferior.
Pada orang dewasa panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7-5,1 inci)
lebarnya 6 cm (2,4 inci) tebalnya 2,5 cm (1 inci) dan beratnya sekitar 150 gram.
Permukaan anterior dan posterior katub atas dan bawah serta tepi lateral ginjal
berbentuk cembung sedangkan tepi lateral ginjal berbentk cekung karena adanya
hilus. Gambar anatomi ginjal dapat dilihat dalam gambar. 2

Apabila dilihat melalui potongan longitudinal, ginjal terbagi menjadi dua bagian
yaitu korteks bagian luar dan medulla di bagian dalam. Medulla terbagi-bagi menjadi
biji segitiga yang disebut piramid, piranidpiramid tersebut diselingi oleh bagian
korteks yang disebut kolumna bertini. Piramid-piramid tersebut tampak bercorak
karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papilla
(apeks) dari piramid membentuk duktus papilaris bellini dan masukke dalam
perluasan ujung pelvis ginjal yang disebut kaliks minor dan bersatu membentuk kaliks
mayor, selanjutnya membentuk pelvis ginjal. Gambar penampang ginjal dapat dilihat
pada gambar. 3
Ginjal tersusun dari beberapa nefron. Struktur halus ginjal terdiri atas banyak
nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal, jumlahnya sekitar satu juta pada
setiap ginjal yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Setiap
nefron terdiri dari kapsula bowmen yang mengintari rumbai kapiler glomerulus,
tubulus kontortus proksimal, 12 lengkung henle dan tubulus kontortus distal yang
mengosongkan diri ke duktus pengumpul. Kapsula bowman merupakan suatu
invaginasi dari tubulus proksimal.
Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan kapsula
bowman dan ruang yang mengandung urine ini dikenal dengan nama ruang bowmen
atau ruang kapsular. Kapsula bowman dilapisi oleh sel - sel epitel. Sel epitel parielalis
berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula, sel epitel veseralis jauh
lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi bagian luar dari
rumbai kapiler. Sel viseral membentuk tonjolan - tonjolan atau kaki - kaki yang
dikenal sebagai pedosit, yang bersinggungan dengan membrana basalis pada jarak -
jarak tertentu sehingga terdapat daerah-daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel.
Daerah - daerah yang terdapat diantara pedosit biasanya disebut celah pori - pori.
Vaskilari ginjal terdiri dari arteri renalis dan vena renalis.setiap arteri renalis
bercabang waktu masuk kedalam hilus ginjal. Cabang tersebut menjadi arteri
interlobaris yang berjalan diantara pyramid dan selanjutnya membentuk arteri
arkuata yang melengkung melintasi basis pyramid-piramid ginjal. Arteri arkuata
kemudian membentuk arteriolaarteriola interlobaris yang tersusun oleh parallel
dalam korteks, arteri ini selanjutnya membentuk arteriola aferen dan berakhir pada
rumbai-rumbai kapiler yaitu glomerolus. Rumbai-rumbai kapiler atau glomeruli
bersatu membentuk arteriola eferen yang bercabang-cabang membentuk sistem
portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan kapiler peritubular.

Darah yang mengalir melalui system portal akan dialirkan ke dalam jalinan
vena menuju vena intelobaris dan vena renalis selanjutnya mencapai vena kava
inferior. Ginjal dilalui oleh darah sekitar 1.200 ml permenit atau 20%-25% curah
jantung (1.500 ml/menit).

2. Fisiologi Ginjal
a. Fungsi ginjal
1) Mengekresikan sebagian terbesar produk akhir metabolisme tubuh( sisa
metabolisme dan obat obatan).
2) Mengontrol sekresi hormon- hormon aldosteron dan ADH dalam mengatur
jumlah cairan tubuh
3) Mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D.
4) Menghasilkan beberapa hormon antara lain
a) Eritropoetin yangberfungsi sebagai pembentukan sel darah merah.
b) Renin yang berperan dalam mengatur tekanan darah serta hormon
prostaglandin.
b. Proses pembentukan urine
Ada 3 tahap proses pembentukan urine :
1) Proses filtrasi : Terjadi di glumelurus, proses ini terjadi karena permukaan
aferent lebih besar dari permukan aferent maka terjadi penyerapan darah,
sedangkan bagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali
protein, cairan yang tertampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari
glukosa air sodium klorida sulfat bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus
ginjal.
2) Proses reabsobsi : Pada proses ini penyerapan kembali sebagian besar dari
glukosa, sodium, klorida,fosfat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya
terjadi secara pasif yang dikenal dengan obligator reabsopsi terjadi pada
tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali
penyerapan dari sodium dan ion bikarbonat , bila diperlukan akan diserap
kembali ke dalam tubulus bagian bawah, penyerapanya terjadi secara aktif
dikenal dengan reabsorpsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papil
renalis.
3) Proses sekresi : Sisanya penyerapan kembali yang terjadi pada tubulus dan
diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan ke luar
D. Konsep maps
E. Tanda dan Gejala
Pada penyakit ginjal kronis terjadi kerusakan regional glomerolus dan penurunan
GFR yang dapat berpengaruh terhadap pengaturan cairan tubuh, keseimbangan asam
basa, keseimbangan elektrolit, sistem hematopoesis dan hemodinamik, fungsi ekskresi
dan fungsi metabolik endokrin. Sehingga menyebabkan munculnya 11 beberapa
gejala klinis secara bersamaan, yang disebut sebagai sindrom uremia (Suwitra, 2006).
Pasien GGK stadium 1 sampai 3 (dengan GFR 30 mL/menit/1,73 m2) biasanya
memiliki gejala asimtomatik. Pada stadium-stadium ini masih belum ditemukan
gangguan elektrolit dan metabolik. Sebaliknya, gejala-gejala tersebut dapat ditemukan
pada GGK stadium 4 dan 5 (dengan GFR < 30 mL/menit/1,73 m2) bersamaan dengan
poliuria, hematuria, dan edema. Selain itu, ditemukan juga uremia yang ditandai
dengan peningkatan limbah nitrogen di dalam darah, gangguan keseimbangan cairan
elektrolit dan asam basa dalam tubuh yang pada keadaan lanjut akan menyebabkan
gangguan fungsi pada semua sistem organ tubuh (Arora, 2014).
Kelainan hematologi juga dapat ditemukan pada penderita ESRD. Anemia
normositik dan normokromik selalu terjadi, hal ini disebabkan karena defisiensi
pembentukan eritropoetin oleh ginjal sehingga pembentukan sel darah merah dan
masa hidupnya pun berkurang (Arora, 2014).
1. Klasifikasi Stadium Gagal Ginjal
Penyakit ini didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan kemampuan
ginjal dalam menjalankan fungsinya. Klasifikasi ini ditujukan untuk memfasilitasi
penerapan pedoman praktik klinis, pengukuran kinerja klinis dan peningkatan
kualitas pada evaluasi, dan juga manajemen CKD (National Kidney Foundation,
2002). Berikut adalah klasifikasi stadium CKD:
Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang dimiliki oleh
pasien sekaligus sebagai dasar penentuan terapi oleh dokter. Semakin parah CKD
yang dialami, maka nilai GFRnya akan semakin kecil (National Kidney
Foundation, 2010).
Chronic Kidney Disease stadium 5 disebut dengan gagal ginjal. Perjalanan
klinisnya dapat ditinjau dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin
dengan GFR sebagai presentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin serum
dan kadar blood urea nitrogen (BUN) (Wilson, 2005). Kadar BUN dapat diukur
dengan rumus berikut (Hosten, 1990):

Perjalanan klinis gagal ginjal dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama
merupakan stadium penurunan cadangan ginjal dimana pasien tidak menunjukkan
gejala dan kreatinin serum serta kadar BUN normal. Gangguan pada fungsi ginjal
baru dapat terdeteksi dengan pemberian beban kerja yang berat seperti tes
pemekatan urin yang lama atau melakukan tes GFR yang teliti (Wilson, 2005).
Stadium kedua disebut dengan insufisiensi ginjal. Pada stadium ini, ginjal sudah
mengalami kehilangan fungsinya sebesar 75%. Kadar BUN dan kreatinin serum
mulai meningkat melebihi nilai normal, namun masih ringan. Pasien dengan
insufisiensi ginjal ini menunjukkan beberapa gejala seperti nokturia dan poliuria
akibat gangguan kemampuan pemekatan. 9 Tetapi biasanya pasien tidak
menyadari dan memperhatikan gejala ini, sehingga diperlukan pertanyaan-
pertanyaan yang teliti (Wilson, 2005). Stadium akhir dari gagal ginjal disebut
juga dengan endstage renal disease (ESRD). Stadium ini terjadi apabila sekitar
90% masa nefron telah hancur, atau hanya tinggal 200.000 nefron yang masih
utuh. Peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum sangat mencolok. Bersihan
kreatinin mungkin sebesar 5-10 mL per menit atau bahkan kurang. Pasien
merasakan gejala yang cukup berat dikarenakan ginjal yang sudah tidak dapat
lagi bekerja mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit. Pada berat jenis
yang tetap sebesar 1,010, urin menjadi isoosmotis dengan plasma. Pasien
biasanya mengalami oligouria (pengeluran urin < 500mL/hari). Sindrom uremik
yang terjadi akan mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh dan dapat
menyebabkan kematian bila tidak dilakukan RRT (Wilson, 2005).
F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Suyono, S., (2001) untuk memperkuat diagnosis diperlukan pemeriksaan
penunjang, diantaranya :
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pemerikasaan laboratorium dilakukan untuk menetapkan adanya gagal ginjal
kronik, menetapkan ada tidaknya kegawatan, menetukan derajat gagal ginjal
kronik, menetapkan gangguan sistem dan membantu menetapkan etiologi. Dalam
menetapkan ada atau tidaknya gagal ginjal, tidak semua faal ginjal perlu diuji.
Untuk keperluan praktis yang paling lazim diuji adalah laju filtrasi glomerulus
(LFG)
2) Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis
(misalnya voltase rendah), aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemia,
hipokalsemia).
3) Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal,
anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostat.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya faktor yang reversible seperti
obstruksi oleh karena batu atau massa tumor, juga untuk menilai apakah proses
sudah lanjut (ginjal yang lisut). USG ini sering dipakai karena merupakan
tindakan yang non-invasif dan tidak memerlukan persiapan khusus.
4) Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi dapat memperburuk fungsi ginjal.
Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
5) Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat penumpukan cairan (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikardial
G. Komplikasi
1. Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diit berlebih.
2. Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah uremik
dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
reninangiotensin-aldosteron
4. . Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum rendah,
metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium
6. Asidosis metabolik, Osteodistropi ginjal Sepsis, Neuropati perifer, Hiperuremia.
H. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 2 (dua) tahap, yaitu tindakan
konservatif dan dialysis atau transplantasi ginjal :
1. Pengaturan diet protein, Kalium, Natrium dan Cairan
2. Pencegahan dan Pengobatan Komplikasi
a) Hipertensi
Hipertensi dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan cairan. Pemberian
obat antihipertensi : metildopa (aldomet), propranolol, klonidin (catapres)
b) Hiperkalemia
Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena,
yang akan memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan pemberian kalsium
Glukonat 10%.
3. . Dialisis dan Transplantasi
a. Hemodialisa
1) Definisi
Hemodialisis adalah suatu proses pembersihan darah dengan
menggunakan ginjal buatan (dializer), dari zat-zat yang konsentrasinya
berlebihan di dalam tubuh. Zat-zat tersebut dapat berupa zat yang terlarut
dalam darah, seperti toksin ureum dan kalium, atau zat pelarutnya, yaitu
air atau serum darah (Suwitra, 2006).
Hemodialisis (HD) adalah suatu proses menggunakan mesin HD dan
berbagai aksesorisnya dimana terjadi difusi partikel terlarut (salut) dan air
secara pasif melalui darah menuju kompartemen cairan dialisat melewati
membran semipermeabel dalam dializer (Price dan Wilson, 2005).
2) Fungsi Hemodialisa
Hemodialisa berfungsi untuk mengambil zat-zat nitrogen dan toksin dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada hemodialisa,
aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialirkan dari
tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien (Smeltzer & Bare, 2002).
3) Indikasi
Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih. Pasien-pasien tersebut
dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi :
- BUN > 100 mg/dl (BUN = 2,14 x nilai ureum )
- Ureum > 200 mg% dan keadaan gawat pasien uremia, asidosis
metabolik berat, hiperkalemia, perikarditis, efusi, edema paru ringan
atau berat.
- Kreatinin > 100 mg %
- Hiperkalemia > 17 mg/liter
- Asidosis metabolic dengan pH darah < 72
- Preparat (gagal ginjal dengan kasus bedah )
- Sindrom kelebihan air
- Intoksidasi obat jenis barbiturat
Indikasi Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt.
Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama,
sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari
hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):

a) GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis


b) Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c) adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d) Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e) Komplikasi metabolik yang refrakter.
4) Komplikasi pada hemodialisa
Komplikasi terapi hemodialisa menurut Smeltzer & Bare (2002) mencakup
hal hal sebagai berikut :
a) Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan
b) Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja
terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien
c) Nyeri dada dapat terjadi karena PCo2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh
d) Pruritas dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit
e) Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan
serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini
memungkinkan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang
berat
f) Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel
g) Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi
5) Prinsip kerja
Prinsip kerja fisiologis dari hemodialisis adalah filtrasi, difusi,
osmosis dan ultrafiltrasi. Filtrasi adalah proses lewatnya suatu zat melalui
filter untuk memisahkan sebagian zat itu dari zat yang lain. 14 Difusi
merupakan proses perpindahan molekul dari larutan dengan konsentrasi
tinggi ke daerah dengan larutan berkonsentrasi rendah sampai tercapai
kondisi seimbang melalui membran semipermeabel. Proses terjadinya
difusi dipengaruhi oleh suhu, visikositas dan ukuran dari molekul.
Osmosis terjadi berdasarkan prinsip bahwa zat pelarut akan bergerak
melewati membran untuk mencapai konsentrasi yang sama di kedua sisi,
dari daerah dengan konsentrasi lebih rendah ke konsentrasi yang lebih
tinggi. Dengan ini zat-zat terlarut tidak ikut melewati membran. Ini
merupakan proses pasif. Saat darah dipompa melalui dialiser maka
membran akan mengeluarkan tekanan positifnya, sehingga tekanan
diruangan yang berlawanan dengan membran menjadi rendah. Hal ini
mengakibatkan cairan dan larutan dengan ukuran kecil bergerak dari
daerah yang bertekanan tinggi menuju daerah yang bertekanan rendah
(tekanan hidrostatik). Karena adanya tekanan hidrostatik tersebut maka
cairan dapat bergerak menuju membran semipermeabel. Proses ini disebut
dengan ultrafiltrasi (Ocallaghan, 2009).
I. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian focus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita gagal ginjal
kronik menurut Doeges (1999), Le Mone & Burke (2000) dan Smeltzer dan Bare
(2001) ada berbagai macam, meliputi :
1. Demografi
Tingkungan yang tercemar oleh timah, cadmium, merkuri, kromium dan sumber
air tinggi kalsium beresiko untuk gagal ginjal kronik, kebanyakan menyerang
umur 20-50 tahun, jenis kelamin lebih banyak perempuan, kebanyakan ras kulit
hitam.
2. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat infeksi saluran kemih, penyakit peradangan, vaskuler hipertensif,
gangguan saluran penyambung, gangguan kongenital dan herediter, penyakit
metabolik, nefropati toksik dan neropati obstruktif.
3. Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik, riwayat menderita
penyakit gagal ginjal kronik.

Pola kesehatan fungsional:

a. Pemeliharaan kesehatan
Penggunaan obat laksatif, diamox, vitamin D, antacid, aspirin dosis tinggi,
personal hygiene kurang, konsumsi toxik, konsumsi makanan tinggi kalsium,
purin, oksalat, fosfat, protein, kebiasaan minum suplemen, control tekanan darah
dan gula darah tidak teratur pada penderita tekanan darah tinggi dan diabetes
mellitus.
b. Pola nutrisi dan metabolik
Perlu dikaji adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan inadekuat, peningkatan
berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi), nyeri ulu hati, rasa
metalik tidak sedap pada mulut (pernafasan amonia), penggunanan diuretic,
demam karena sepsis dan dehidrasi.
c. Pola eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut), abdomen
kembung, diare konstipasi, perubahan warna urin.
d. Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan ekstrim, kelemahan, malaise, keterbatsan gerak sendi.
e. Pola istirahat dan tidur
Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)
f. Pola persepsi sensori dan kognitif
Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan otot, perubahan
tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala, kram/nyeri kaki (memburuk pada
malam hari), perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah, penglihatan kabur, kejang,
sindrom kaki gelisah, rasa kebas pada telapak kaki, kelemahan khusussnya
ekstremitas bawah (neuropati perifer), 30 gangguan status mental, contoh
penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori,
kacau.
g. Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, menolak, ansietas,
takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian, kesulitan menentukan
kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran.
h. Pola reproduksi dan seksual
Penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi dan atropi testikuler.
J. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan Volume Cairan
2. Penurunan Curah Jantung
3. ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
K. Intervensi Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan
Noc : Keseimbangan Cairan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan keseimbangan
cairan ditingkatkan dari level 2 ( banyak terganggu) kelevel 4 ( sedikit terganggu)
dengan kriteria hasil :
- Tekanan darah
- Denyut perifer
- Pusing
- Turgor kulit.

Nic : Manajamen Cairan

a) Monitor manifestasi ketidakseimbangan elektrolit


b) Instruksikan klien dan keluarga mengenai diet yang sesifik
c) Monitor dengan tepat terkait dengan adanya serum pottasium pada pasien yang
mengonsumsi obat digitaslis/ diurerik
2. Penurunan Curah Jantung
Noc :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 kali 24 jam diharapkan
perawatan jantung ditingkatkan dari level 2 ( deviasi yang cukup besar dari
kisaran normal ) kel level 4 ( deviasi ringan dari kisaran normal) dengan kriteria
hasil :
- Tekanan darah sistol
- Tekanan darah diastol
- Urin output
Nic : perawatan jantung
1) Monitor TTV pasien secara rutin
2) Pastikan aktivitas pasien tidak membahayakan curah jantung/ memprovokasi.
3) ,onitor toleransi aktivitas pasien
3. Resiko Ketidakefektifan Perfusi Ginjal
Noc : Perfusi Jaringan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 kali 24 jam diharapkan perfusi
jaringan ditingkatkan dari level 2 ( deviasi yang cukup besar dari kisaran normal )
ke level 4 ( deviasi ringan dari kisaran normal)
- Aliran darah melalui pembuluh darah ginjal
Nic : Pengaturan Hemodinamik
1) Lakukan penilaian komprehensif terhadap status hemodinamik ( yaitu,
memeriksa tekanan tekanan darah , denyut jantung, denyut nadi, tekanan vena
jugularis)
2) Arahkan pasien dan keluarga mengenai pemantauan hemodinamik (misalnya,
obat-obatan, terapi, tujuan peralatan)
3) Evaluasi efek dari terapi cairan
4) Berkolaborasi dengan dokter, sesuai indikasi.
Daftar Pustaka

1. Herdman, T.H. (2015). NANDA International Diagnosa Keperawatan Definisi


dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
2. Dochter, Joanne closkey, Phd dkk. (2013). Nursing Intervention Classificsation.
Jakarta: Mosby Elseiver
3. Moorhead, Sue dkk. (/2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). Jakarta:
Mosby Elseiver
4. Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius
5. Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo(dkk), EGC, Jakarta.
6. Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine M. C, 2006, Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Vol 2, Alih bahasa, Brahm U. Pendit,
Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
7. OCallaghan Chris, 2007, At a Glance Sistem Ginjal, Edisi 2, Alih bahasa dr.
Elizabeth Yasmine, Penebit Erlangga, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai