Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

Gagal Ginjal Kronik Dan Hemodialisa


Perceptor : Ani Mashunatul Mahmudah, S.Kep, Ns., M. Kep

Disusun oleh :
Nida Rahmawati
24201427

PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI


ILMU KESEHATAN STIKES SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2021
A. Konsep Dasar Gagal Gijal Kronik
1. Definisi Gagal Ginjal Kronik

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel dan progresif
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia (Black & Hawk dalam Dwy Retno
Sulystianingsih, 2018).

Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu derajat dimana memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis 14 atau transplantasi ginjal. Salah satu sindrom klinik
yang terjadi pada gagal ginjal adalah uremia. Hal ini disebabkan karena menurunnya
fungsi ginjal (Rahman,dkk, 2013).

Secara definisi, gagal ginjal kronis disebut juga sebagai ”Chronic Kidney Disease
(CKD)” adalah penurunan fungsi ginjal kronis yang bersifat progresif dan ireversibel
yang ditandai dengan penurunan atau keruksakan struktur serta fungsi ginjal selama lebih
dari 3 bulan (Pernefri, 2012).

National Kidney Foundation (di Amerika Serikat) mendefinisikan gagal ginjal


kronik sebagai adanya kerusakan ginjal atau penurunan laju filtrasi glomerulus ≤ 90
mL/min/1,73 m2 selama lebih dari 3 bulan (Lewis & Dirksen, 2014).
2. Anatomi Dan Fisiologi

Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi
kolumna vertebralis.Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena
tertekan kebawah oleh hati.Kutub atasnya terletak setinggi iga ke 12, sedangkan kutub
atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas.
Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum, di
depan dua iga terakhir, dan tiga otot besar transversus abdominis, kuadratus lumborum,
dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang
tebal.Ginjal terlindung dengan baik dari trauma langsung, disebelah posterior (atas)
dilindungi oleh iga dan otototot yang meliputi iga, seangkan di anterior (bawah)
dilindungi oleh bantalan usus yang tebal.Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan
duodenum, sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejunum dan
kolon.
a. Struktur Ginjal terdiri atas:
1) Struktur Makroskopik Ginjal Pada orang dewasa , panjang ginjal adalah sekitar
12 sampai 13 cm (4,7 hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm
(1 inci), dan beratnya sekitar 150 gram. Secara anatomik ginjal terbagi dalam dua
bagian, yaitu korteks dan medula ginjal.
b. Ginjal terdiri dari :
1) Bagian dalam (internal) medula.
Substansia medularis terdiri dari pyramid renalis yang jumlahnya antara 18-16
buah yang mempunyai basis sepanjang ginjal, sedangkan apeksnya mengahadap
ke sinus renalis. Mengandung bagian tubulus yang lurus, ansa henle, vasa rekta
dan diktus koligens terminal.
2) Bagian luar (eksternal) korteks.
Substansia kortekalis berwarna coklat merah.konsistensi lunak dan
bergranula.Substansia ini tepat dibawah tunika fibrosa, melengkung sapanjang
basis piramid yang berdekatan dengan garis sinus renalis, dan bagian dalam
diantara pyramid
dinamakan kolumna renalis.Mengandung glomerulus, tubulus proksimal dan
distal yang berkelok-kelok dan duktus koligens.
c. Struktur Mikroskopik Ginjal
1) Nefron
Tiap tubulus ginjal dan glomerolusnya membentuk satu kesatuan
(nefron).Ukuran ginjal terutama ditentukan oleh jumlah nefron yang
membentuknya.Tiap ginjal manusia memiliki kira-kira 1.3 juta nefron Setiap
nefron bisa membentuk urin sendiri.Karena itu fungsi satu nefron dapat
menerangkan fungsi ginjal.
2) Glomerulus
Setiap nefron pada ginjal berawal dari berkas kapiler yang disebut glomerulus,
yang terletak didalam korteks, bagian terluar dari ginjal.Tekanan darah
mendorong sekitar 120 ml plasma darah melalui dinding kapiler glomerular
setiap menit.Plasma yang tersaring masuk ke dalam tubulus.Sel-sel darah dan
protein yang besar dalam plasma terlalu besar untuk dapat melewati dinding dan
tertinggal.
3) Tubulus kontortus proksimal
Berbentuk seperti koil longgar berfungsi menerima cairan yang telah disaring
oleh glomerulus melalui kapsula bowman.Sebagian besar dari filtrat glomerulus
diserap kembali ke dalam aliran darah melalui kapiler-kapiler sekitar tubulus
kotortus proksimal.Panjang 15 mm dan diameter 55μm.
4) Ansa henle
Berbentuk seperti penjepit rambut yang merupakan bagian dari nefron ginjal
dimana, tubulus menurun kedalam medula, bagian dalam ginjal, dan kemudian
naik kembali kebagian korteks dan membentuk ansa. Total panjang ansa henle 2-
14 mm.
5) Tubulus kontortus distalis.
Merupakan tangkai yang naik dari ansa henle mengarah pada koil longgar
kedua.Penyesuaian yang sangat baik terhadap komposisi urin dibuat pada tubulus
kontortus. Hanya sekitar 15% dari filtrat glomerulus (sekitar 20 ml/menit)
mencapai tubulus distal, sisanya telah diserap kembali dalam tubulus proksimal.
6) Duktus koligen medulla
Merupakan saluran yang secara metabolik tidak aktif.Pengaturan secara halus
dari ekskresi natrium urin terjadi disini.Duktus ini memiliki kemampuan
mereabsorbsi dan mensekresi kalsium.
d. Fungsi Ginjal
Beberapa fungis ginjal adalah :
1) Mengatur volume air (cairan) dalan tubuh
Kelebihan air dalam tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urine yang
encer dalam jumlah besar. Kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urin
yang dieksresikan jumlahnya berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga
susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahankan relatif normal.
2) Mengatur keseimbangan osmotic dan keseimbangan ion.
Fungsi ini terjadi dalam plasma bila terdapat pemasukan dan pengeluaran yang
abnormal dari ion-ion. Akibat pemasukan garam yang berlebihan atau penyakit
perdarahan, diare, dan muntahmuntah, ginjal akan meningkatkan sekresi ion-ion
yang penting seperti Na, K, Cl, dan fosfat.
3) Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh.
Tergantung pada apa yang dimakan, campuran makanan, (mixed diet) akan
menghasilkan urin yang bersifat asam, pH kurang dari 6. Hal ini disebabkan oleh
hasil metabolisme protein. Apabila banyak memakan sayuran, urin akan bersifat
basa, pH urine bervariasi antara 4,8-8,2. Ginjal menyekresi urine sesuai dengan
perubahan pH darah.
4) Ekskresi sisa-sisa metabolisme makanan (Ureum, asam urat, dan kreatinin).
Bahan-bahan yang dieskresikan oleh ginjal antara lain zat toksik, obat-obatan,
hasil metabolisme hemoglobin, dan bahan kimia lain (pestisida).
5) Fungsi hormonal dan metabolism
Ginjal menyekresi hormon renin yang mempunyai peranan penting dalam
mengatur takanan darah (sistem rennin-angiotensinaldosteron) yaitu untuk
memproses pembentukan sel darah merah (eritropoiesis). Ginjal juga membentuk
hormon dihidroksi kolekalsifero (vitamin D aktif) yang diperlukan untuk absorbsi
ion kalsium di usus.
6) Pengaturan tekanan darah dan memproduksi enzim rennin, angiotensin dan
aldosteron yang bersungsi meningkatkan tekanan darah.
7) Pengeluaran zat beracun Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan makanan,
obat-obatan atau zat kimia asing lain dari tubuh (Muttaqin, 2011).
3. Etiologi

Gagal ginjal kronis sering kali menjadi penyakit komplikasi penyakit lainnya,
sehingga merupakan penyakit sekunder (Secondary illness). Penyebab yang sering adalah
diabetes melitus dan hipertensi. Selain itu, ada beberapa penyebab lainnya dari gagal
ginjal kronis, yaitu (Robinson, 2013):

a. Glomerulonefritis; Glomerulonefritis adalah penyakit inflamasi atau non inflamasi


pada glomerulus yang menyebabkan perubahan permeabilitas, perubahan stuktur, dan
fungsi glomerulus (Sudoyono, 2014).
b. Polikistik ginjal; Penyakit ginjal polikistik adalah gangguan turun temurun dimana
kristik seperti anggur berisi cairan serosa, darah, atau rine menggantikan jaringan
ginjal normal (Black 2014).
c. Nefropati diabetik Nefropati diabetik adalah kadar gula darah yang tidak terkontrol
pada pasien diabetes bisa memicu kerusakan glomerulus (pembuluh darah halus yang
merusakan tempat penyaringan darah di ginjal). Kondisi ini jika dibiarkan terus bisa
menyebabkan ginjal kehilangan kemampuan menyaring darah sehingga terjadi gagal
ginjal. Selain menyebabkan fungsinya terganggu, kerusakan tersebut juga membuat
protein yang disebut albumin terbuang ke urine dan tidak diserap kembali. Selain
kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia) dan tekanan darah tinggi (hipertensi)
yang tidak terkontrol, faktor lain yang dapat meningkatkan risiko nefropati diabetik
adalah:
1) Merokok.
2) Menderita diabetes tipe 1 sebelum usia 20 tahun.
3) Menderita kolesterol tinggi.
4) Memiliki berat badan berlebih.
5) Memiliki riwayat diabetes dan penyakit ginjal dalam keluarga.
6) Menderita komplikasi diabetes lain, seperti neuropati diabetik.
d. Hipertensi Hipertensi didefiniikan sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg atau
lebih atau tekanan diastolik 90 mmHg atau lebih,berdasarkan rata-rata 3 kali
pengukuran atau lebih yang diukur secara terpisah (Priscilla LeMone, 2015).
e. Obstuksi oleh karena batu Batu ginjal merupakan keadaan tidak normal didalam
ginjal, dan mengandung komponen kristal serta matriks organik. (Sudoyono, 2014).
Perkumpulan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2012 menjelaskan etiologi
dari GGK adalah:
Tabel Etiologi GGK

Penyebab Insiden
Penyakit ginjal hipertensi 35% 35 %
Nefropati diabetika 26% 26%
Glomerulopati primer 12% 12%
Nefropati obstruksi 8% 8%
Pielonefritis kronik 7% 7%
Nefropati asam urat 2% 2%
Nefropati lupus/SLE 1% 1%
Ginjal polikistis 1% 1%
Tidak diketahui 2% 2%
Lain-lain 6%
4. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit gagal ginjak kronik dasar derajat penyakit
Tabel klasifikasi Gagal ginjal kronik :
Kategori Penjelasan Nilai LFGH (ml/min/1,73 m²)
LFG
1 Kerusakan ginjal dengan LFG ≥ 90
normal atau peningkatan
2 Kerusakan ginjal dengan LFG 60 – 89
penurunan ringan
3 Kerusakan ginjal dengan LFG 30 – 59
penurunan sedang
4 Kerusakan ginjal dengan LFG 15 – 29
penurunan berat
5 Gagal ginjal ≤ 15
Sumber : Suwitra dalam Sudoyo aru 2009
Tahap CKD (Pradeep, 2013; Choka 2009; The Kidney Disease Outcotnes Quality
Initiative [KDOQI] of the Natonal Kidney Foundation [NKF], 2015
a. Tahap 1
1) GFR dapat normal atau sedikit lebih tinggi dari normal (> 90 mL/menit/1,73 m2 )
2) Terdapat disfungsi ginjal; bagaimanapun, hal tersebut mungkin tidak terdiagnosis
akibat sedikitnya gejala –rasio nitrogen urea darah/kreatinin (BUN/Cr) normal
dan kehilangan nefron kurang dari 75 %
b. Tahap 2
1) GFR sedikit menurun (60 hinggal 89 mL/menit/1,73 m2 ), sedikit meningkat
pada BUN/Cr
2) Klien dapat asimtomatis atau mengalami hipertensi
3) Terdapat poliuria dan nokturia – gagal haluarann tinggi
c. Tahap 3
1) Penurunan sedang pada GFR (30 hingga 59 mL/menit/1,73 m2 )
2) Terdapat abnormalitas cairan dan elektrolit serta komplikasi lain
3) Klien dapat asimtomatis atau mengalami hipertensi.
d. Tahap 4
1) Penurunan berat pada GFR (155 hingga 29 mL/menit/1,73 m2 )0 dan/atau
albuminuria sangat tinggi (>300 mg/24jam).
2) Klien mengalami kekacauan endokrin/mettabolik atau gangguan keseimbangan
cairan atau elektrolit, malnutrisi energi-protein, kehilangan massa tubuh tanpa
lemak, kelemahan otot; edema perifer dan pulmonal 3) Waktunya merujuk ke
nefrologis ketika lajuu filtrasi glomerulus mencapai 30 mL/menit/1,73 m2 yang
diyakni meningkatkan hasil ESRD dan pemilihan modaliitas dialisis yang tepat.
e. Tahap 5
1) GFR < 15 mi/menit/1,73 m² atau pada dialysis
2) Klien mengalami asidosis metabolic, komplikasi kardiovaskuler seperti
pericarditis, ensefalopati, neuropati, dan banyak manifestasi lain yang
menunjukan penyakit tahap akhir.
5. Manifestasi Klinik
Pasien GGK stadium 1 sampai 3 (dengan GFR ≥ 30 mL/menit/1,73 m2 ) biasanya
memiliki gejala asimtomatik. Pada stadium-stadium ini masih belum ditemukan
gangguan elektrolit dan metabolik. Sebaliknya, gejala-gejala tersebut dapat ditemukan
pada GGK stadium 4 dan 5 (dengan GFR < 30 mL/menit/1,73 m2 ) bersamaan dengan
poliuria, hematuria, dan edema. Selain itu, ditemukan juga uremia yang ditandai dengan
peningkatan limbah nitrogen di dalam darah, gangguan keseimbangan cairan elektrolit
dan asam basa dalam tubuh yang pada keadaan lanjut akanmenyebabkan gangguan fungsi
pada semua sistem organ tubuh (Rahman,dkk, 2013).
Menurut Smelzer dan Bare (2002), manifestasi gagal ginjal kronik terbagi
menjadi beberapa sistem yaitu :

Sistem Manifestasi klinis


Kardiovaskuler Hipertensi, friction rub pericardial,
pembesaran vena leher edema periorbotal,
pitting edema (kaki, tangan, secrum).
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit
kering bersisik, pruritus, ekimosis, kuku
tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
Pulmoner Cruckels, sputum kental dan kiat, nafas
dangkal.
Gastrointestinal Nafas berbau ammonia, ulserasi dan
pendarahan lewat mulut, anoreksia, mual
dan muntah, konstipasi dan diare,
pendarahan dari saluran gastrointestinal.
Neuro Kelemahan dan keletihan, konfusi
disorientasi, kejang, kelemahan pada
tungkai.
Muskoloskeletal Kram otot dan kekuatan otot hilang,
fraktur tulang, edema pada ektereminitas.
Reproduksi Amenore
Perkemihan Oliguria, anuria, dan proteinuria.
Sumber : Smeltzer dan Bare 2002,

6. Patofisiologi

Patofisiologi Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk


glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat
disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode
adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak.
Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron
yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana
timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas
kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini
fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih
rendah itu. Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan semakin berat.
7. Phatway

8. Komplikasi
Komplikasi potensial gagal ginjal kronik menurut Brunner dan Suddarth (2002) :
a. Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme dan
masukan diet berlebih.
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-
angiotensin aldosterone.
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna kehilangan drah selama
hemodialisa.
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium.
1) pemeriksaan penurunan fungsi ginjal.
a) Ureum kreatinin
b) Asam urat serum.
2) Identifikasi etiologi gagal ginjal.
a) Analisis urin rutin
b) Mikrobiologi urin
c) Kimia darah
d) Elektrolit
e) Imunodiagnosis

3) Identifikasi perjalanan penyakit


Nilai normal :
a) Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau0,93 - 1,32 mL/detik/m2.
b) Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau 0,85 - 1,23 mL/detik/m2.
c) Hemopoesis : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan.
d) Elektrolit : Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+
e) Endokrin : PTH dan T3,T4.
f) Pemeriksaan lain: berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk ginjal,
misalnya: infark miokard. B
4) Diagnostik
a) Etiologi CKD dan terminal
Foto polos abdomen, USG, Nefrotogram, Pielografi retrograde, Pielografi
antegrade., Mictuating Cysto Urography (MCU).
b) Diagnosis pemburuk fungsi ginjal
RetRogram, USG.
10. Penatalaksanaan
a. Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal Desease
(CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun (Dilakukan
pemeriksaan lab.darah dan urin, Observasi balance cairan, Observasi adanya odema
dan Batasi cairan yang masuk).
b. Asidosis metabolik Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan
serum K+ (hiperkalemia ) :
1) Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.
2) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama dengan 7,35 atau
serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L. c
c. Anemia
1) Anemia Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon eritropoetin
(ESF: Eritroportic Stimulating Faktor). Anemia ini diterapi dengan pemberian
Recombinant Human Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian 30-530 U per
kg BB.
2) Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan adalah membuang
toksin asotemia dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis.
3) Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran cerna dan
kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti hemodialisis).
B. Konsep Dasar Hemodialisa
1. Definisi Hemodialisa
Terapi hemodialisa merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia
seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui
membran semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan
dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Brunner & Suddarth, 2013).
Dializer merupakan suatu membran atau selaput semi permiabel. Membran ini dapat
dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dialisis yaitu proses
berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permiabel (Pardede, 2009).
2. Tujuan Hemodialisa
Tujuan hemodialisa adalah untuk memindahkan produk-produk limbah yang
terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikeluarkan ke dalam mesin dialysis (Muttaqin &
Sari, 2011).
Menurut Nurdin (2009), sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa
mempunyai tujuan :
a) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat.
b) Membuang kelebihan air.
c) Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
d) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e) Memperbaiki status kesehatan penderita.
3. Prinsip Hemodialisa
Menurut Muttaqin & Sari (2011) disebutkan bahwa ada tiga prinsip yang mendasari
kerja hemodialisa, yaitu :
a) Difusi
Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di
dalam darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat.
b) Osmosis
Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi yaitu
perbedaan osmolalitas dan dialisat.
c) Ultrafiltrasi
Proses Ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena perbedaan
hidrostatik di dalam darah dan dialisat.
4. Indikasi Hemodialisa
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada penyakit ginjal kronis adalah
laju filtrasi glomerulus (LFG) sudah kurang dari 5 mL/menit, sehingga dialisis dianggap
baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah (Sylvia & Wilson,
2015):
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata.
b. K serum > 6 mEq/L.
c. Ureum darah > 200 mg/Dl.
d. pH darah < 7,1.
e. Anuria berkepanjangan ( > 5 hari ).
f. Fluid overloaded.
5. Kontraindikasi Hemodialisis
Menurut PERNEFRI (2013), kontraindikasi dari hemodialisa adalah tidak
mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas
hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah
penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut
dengan ensefalopati dan keganasan lanjut.
6. Komplikasi Hemodialisa
Hemodialisis merupakan intervensi untuk mengganti sebagian dari fungsi ginjal.
Intervensi ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal tahap akhir stadium akhir.
Walaupun intervensi hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat,
namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani
hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani hemodialisis
adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan
dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat hemodialisis. Hipotensi intradialitik
terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani hemodialisis regular, namun sekitar 5-15%
dari responden hemodialisis tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut
hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (Agarwal dkk dalam Mahmudah,
2017).
a. Komplikasi Akut
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram
otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan
menggigil.
b. Komplikasi kronik
Komplikasi kronik yang terjadi pada responden hemodialisis yaitu penyakit jantung,
malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, Renal osteodystrophy,
Neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan,
infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease (Bieber dkk dalam
Mahmudah, 2013).
7. Prinsip Kerja Hemodialisa
Mesin hemodialisis memiliki spesialisasi filter disebut dialyzer (juga disebut
ginjal tiruan) untuk membersihkan darah. Darah dialirkan ke dialyzer dengan dibuat
akses oleh ahli bedah pada pembuluh darah melalui operasi minor biasanya pada tangan.
Terdapat 2 jenis akses untuk jangka panjang yaitu dibuat fistula arteriovenosa (AV) atau
graft AV. Adapun untuk penggunan jangka pendek terdapat akses dengan kateter. AV
Fistula dibuat dengan menggabungkan arteri ke pembuluh darah terdekat di bawah kulit
sehingga terbuatlah pembuluh darah yang lebih besar. Fistula merupakan jenis akses
yang lebih diutamakan karena memiliki lebih sedikit kendala dan bertahan lebih lama.
Responden harus dievaluasi secara khusus oleh ahli bedah vaskular paling tidak enam
bulan sebelum dilakukan dialisis sehingga ada banyak waktu untuk menyembuhkan dan
fistula pun telah siap pada saat akan dialisis.
Jika pembuluh darah responden tidak sesuai dengan fistula maka akan dilakukan
pemasangan AV graft yang melibatkan arteri bergabung dengan vena terdekat dengan
tabung lembut kecil yang terbuat dari bahan sistetis, kemudian diletakkan dibawah kulit.
Setelah fistula atau graft disembuhkan, baru setelah beberapa bulan dapat digunakan
untuk dialisis. Setelah itu, responden akan ditusuk dengan 2 jarum yang dihubungkan ke
plastik tabung. Satu tabung membawa darah ke dialyzer untuk dibersihkan dan tabung
lainnya mengembalikan darah yang telah dibersihkan.
Setelah itu, ada akses jenis ketiga yaitu hd kateter. Hd kateter adalah tabung
lembut yang dimasukkan ke dalam vena besar di leher atau dada Anda. Jenis akses ini
umumnya digunakan bila dialisis diperlukan hanya untuk periode singkat atau digunakan
sebagai akses permanen ketika fistula atau graft tidak dapat dipasang. Kateter bisa
dihubungkan langsung ke tabung dialisis tanpa menggunakan jarum. Di dalam dialyzer
atau filter, terdapat dua sisi yaitu untuk darah dan untuk cairan yang disebut dialisat. Dua
sisi tersebut dipisahkan oleh selaput tipis yang juga menyebabkan sel darah, protein dan
hal penting lain tetap ada dalam darah. Hal ini disebabkan karena sel darah, protein dan
hal penting lain tersebut terlalu besar untuk dilewati melalui membran permeabilitas
(Cahyaningsih, 2014).
8. Durasi Hemodialisa
Waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap
hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya
dilakukan 10–15 jam/minggu dengan QB 200–300 mL/menit. Hemodialisa regeluer
dikatakan cukup bila dilaksanakan secara teratur, berkesinambungan, selama 9-12 jam
setiap minggu (Suwitra, 2010). Menurut Nugraha dalam Mahmudah (2017), klien baru
(bila <1 tahun), dank lien lama (bila>1tahun).
Dosis minimum durasi HD yang ditetapkan oleh KDOQI adalah 2,5 - 4,5 jam, dan
dilakukan 3x seminggu (NKF, 2006). Akan tetapi untuk pengobatan awal, terutama
ketika kadar blood urea nitrogen (BUN) sangat tinggi (mis: diatas 125 mg/dL), durasi
dialisis dan kecepatan aliran darah harus dikurangi. URR harus ditargetkan ˂ 40%. Hal
ini berarti menggunakan laju aliran darah hanya 250 mL/menit dengan durasi dialysis
selama 2 jam. Durasi dialisis yang lebih lama pada keadaan akut dapat menyebabkan
disequilibrium syndrome, yang dapat menyebabkan kejang atau koma selama/ setelah
dialisis, hal ini diakibatkan pembuangan zat terlarut dalam darah yang terlalu cepat
(Daugirdas, 2007).
Setelah melewati terapi awal, responden dapat dievaluasi kembali dan untuk
durasi dialisis selanjutnya dapat ditingkatkan menjadi 3 jam, asalkan kadar BUN
predialisis ˂ 100 mg/dL. Durasi dialisis selanjutnya dapat dilakukan selama yang
diperlukan, tetapi panjang pengobatan dialisis tunggal jarang melebihi 6 jam kecuali
tujuan dialisis adalah pengobatan overdosis obat (Daugirdas, 2007).
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas Pasien
Terdiri dari nama, nomor rekam medis, umur (lebiha banyak terjadi pada usia 30-60
tahun), agama, jenis kelamin (pria lebih beresiko daripada wanita), pekerjaan, status
perkawinan, alamat, tanggal masuk, pihak yang mengirim, cara masuk RS, diagnosa
medis, dan identitas penanggung jawab meliputi : Nama, umur, hubungan denga
pasien, pekerjaan dan alamat.
b) Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan hal-hal yang dirasakan oleh pasien sebelum masuk ke
Rumah sakit. Pada pasien gagal ginjal kronik biasanya didapatkan keluhan utama
bervariasi, mulai dari urin keluar sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai
penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual, muntah, mulut terasa
kering, rasa lelah, nafas bau (ureum) dan gatal pada kulit (Muttaqin, 2011).
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien mengalami penurunan frekuensi urin, penurunan kesadaran,
perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya nafas
berbau amoniak, rasa sakit kepala, nyeri panggul, penglihatan kabur, perasaan
tidak berdaya dan perubahan pemenuhan nutrisi (Muttaqin, 2011).
3) Riwayat Kesehatan Dahulu Biasanya pasien berkemungkinan mempunyai riwayat
penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung, penggunaan
obat-obat nefrotoksik, penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan
berulang, penyakit diabetes melitus, hipertensi pada masa sebelumnya yang
menjadi prdisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian
obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat kemudian
dokumentasikan (Muttaqin, 2011).
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya pasien mempunyai anggota keluarga yang pernah menderita penyakit
yang sama dengan pasien yaitu gagal ginjal kronik, maupun penyakit diabetes
melitus dan hipertensi yang bisa menjadi faktor pencetus terjadinya penyakit
gagal ginjal kronik.
c) Pengakajian Pola Persepsi dan Penanganan Kesehatan.
1) Persepsi Terhadap Penyakit
Biasanya persepsi pasien dengan penyakit ginjal kronik mengalami
kecemasan yang tinggi. Biasanya pasien mempunyai kebiasaan merokok, alkohol,
dan obat-obatan dalam kesehari-hariannya.
2) Pola Nutrisi/Metabolisme
 Pola Makan
Biasanya terjadi peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat
badan (malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual dan muntah.
 Pola Minum
Biasnya pasien minum kurang dari kebutuhan tubuh akibat rasa metalik tak
sedap pada mulut (pernafasan ammonia).
3) Pola Eliminasi
 BAB Biasanya abdomen kembung, diare atau konstipasi.
 BAK Biasanya terjadi penurunan frekuensi urin < 400 ml/hari sampai anuria,
warna urin keruh atau berwarna coklat, merah dan kuning pekat.
4) Pola Aktivitas/Latihan
Biasanya kemampuan perawatan diri dan kebersihan diri terganggu dan biasanya
membutuhkan pertolongan atau bantuan orang lain. Biasnya pasien kesulitan
menentukan kondisi, contohnya tidak mampu bekerja dan mempertahankan
fungsi, peran dalam keluarga.
5) Pola Istirahat Tidur
Biasanya pasien mengalami gangguan tidur, gelisah adanya nyeri panggul, sakit
kepala, dan kram otot/kaki (memburuk pada malam hari).
6) Pola Kognitif-Persepsi
Biasanya tingkat ansietas pasien mengalami penyakit ginjal kronik ini pada
tingkat ansietas sedang sampai berat.
7) Pola Peran Hubungan
Biasanya pasien tidak bisa menjalankan peran atau tugasnya seharihari karena
perawatan yang lama.
8) Pola Seksualitas/reproduksi
Biasanya terdapat masalah seksual berhubugan dengan penyakit yang diderita
pasien.
9) Pola Persepsi Diri/Konsep Diri
 Bdody Image/Gambaran Diri Biasanya mengalami perubahan ukuruan fisik,
fungsi alat terganggu, keluhan karena kondisi tubuh, pernah operasi,
kegagalan fungsi tubuh, prosedur pengobatan yang mengubah fungsi alat
tubuh.
 Role/peran Biasanya mengalami perubahan peran karena penyakit yang
diderita
 Identity/identitas diri
Biasanya mengalami kurang percaya diri, merasa terkekang, tidak mampu
menerima perubahan, merasa kurang mampu memiliki potensi.
 Self Esteem/Harga Diri Biasanya mengalami rasa bersalah, menyangkal
kepuasan diri, mengecilkan diri, keluhan fisik.
 Self Ideal/Ideal
Biasanya mengalami masa depan suram, terserah pada nasib, merasa tidak
memiliki kemampuan, tidak memiliki harapan, merasa tidak berdaya.
10) Pola Koping-Toleransi Stres
Biasanya pasien mengalami faktor stres, contoh finansial, perasaan tidak berdaya,
tidak ada harapan, tidak ada kekuatan, menolak, ansietas, takut, marah, mudah
tersinggung, perubahan kepribadian dan perilaku serta perubahan proses kognitif.
11) Pola Keyakinan Nilai
Biasanya tidak terjadi gangguan pola tata nilai dan kepercayaan.
d) Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum dan tanda-tanda vital
 Keadaan umum pasien lemah, letih dan terlihat sakit berat.
 Tingkat kesadaran pasien menurun sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat
mempengaruhi sistem syaraf pusat.
 TTV : RR meningkat, TD meningkat.
2) Kepala
 Rambut : biasanya pasien bermbut tipis dan kasar, pasien sering sakit kepala,
kuku rapuh dan tipis.
 Wajah : biasanya pasien berwajah pucat.
 Mata : biasanya mata pasien memerah, penglihatan kabur, konjungtiva anemis
dan sklera ikterik.
 Hidung : biasanya tidak ada pembengkakan polip dan pasien bernafas pendek.
 Bibir : biasanya terdapat peradangan mukosa mulut, ulserasi gusi, perdarahan
gusi dan nafas berbau.
 Gigi : biasanya tidak terdapat karies pada gigi.
 Lidah : biasanya tidak terjadi perdarahan.
 Leher : biasanya tidak terjadi pembesaran kelenjar tiroid atau kelenjar getah
bening.
 Dada/Thorak
Inspeksi : biasanya pasien dengan nafas pendek, kusmaul (cepat/dalam).
Palpasi : biasanya fremitus kiri dan kanan.
Perkusi : biasanya sonor.
Auskultasi : biasanya vesikuler.
 Jantung
Inspeksi : biasanya ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : biasanya ictus cordis teraba di ruang intercostal 2 linea dekstra
sinistra Perkusi : biasanya ada nyeri
Auskultasi : biasanya terdapat irama jantung yang cepat
 Perut/Abdomen
Inspeksi : biasanya terjadi distensi abdomen, acites atau penumpukan cairan,
pasien tampak mual dan muntah.
Palpasi : biasanya acites, nyeri tekan pada bagian pinggang, dan adanya
pembesaran hepar pada stadium akhir.
Perkusi : biasanya terdengar pekak karena terjadinya acites.
Auskultasi : biasanya bising usus normal, antara 5-35 kali/menit.
 Genitourinaria
Biasanya terjadi penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria, distensi abdomen,
diare atau konstipasi, perubahan warna urin menjadi kuning pekat.
 Ekstremitas.
Biasanya didapatkan nyeri panggul, edema pada ekstremitas, kram otot,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki dan keterbatasan gerak
sendi.
 Sistem Integumen.
Biasanya warna kulit abu-abu, kulit gatal, kering dan bersisik, adanya area
ekimosis pada kulit.
 Sistem Neurologi
Biasanya terjadi gangguan status mental seperti penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan konsentrasi, kehilangan memori, penurunan tingkat
kesadaran,disfungsi serebral, seperti perubahan proses fikir dan disorientasi.
Pasien sering didapati kejang, dan adanya neuropati perifer.
2. Diagnose keperawatan
a) Ketidakefektifan pola nafas b/d ansietas, hiperventilasi, keletihan, nyeri, obesitas,
posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru dan sindrom hipoventilasi.
b) Kelebihan volume cairan b/d gangguan mekanisme regulasi, kelebihan asupan cairan
dan kelebihan asupan natrium.
c) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d faktor biologis, faktor
ekonomi, gangguan psikososial, ketidakmampuan makan, ketidakmampuan mencerna
makan, ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient.
d) Gangguan rasa nyaman b/d gejala terkait penyakit (gatal), program pengobatan.
e) Kerusakan integritas kulit b/d gejala penyakit (pruritus/gatal).
f) Gangguan pola tidur b/d proses penyakit.
3. Intervensi

No. Tgl/jam Dx Kep NOC NIC Ttd


1. Ketidak efektifan Setelah dilakukan tindakan Manajeman jalan nafas
pola nafas b/d keperawatan diharapkan pola 1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
ansietas, nafas menjadi efektif dengan 2. Monitor frekuensi dan irama
hiperventilasi, kriteria hasil : pernapasan.
keletihan, nyeri, 1. Mendemonstrasikan batuk 3. Monitor suara paru.
obesitas, posisi efektif dan suara nafas yang 4. Buka jalan nafas, guanakan teknik
tubuh yang bersih, tidak ada sianosis dan chin lift atau jaw thrust bila perlu.
menghambat dyspneu (mampu 5. Posisikan pasien untuk
ekspansi paru dan mengeluarkan sputum, mampu memaksimalkan ventilasi.
sindrom bernafas dengan mudah, tidak 6. Auskultasi suara nafas, catat adanya
hipoventilasi. ada pursed lips). suara tambahan.
2. Menunjukkan jalan nafas yang 7. Berikan pengertian untuk
paten (klien tidak merasa pertahankan jalan napas yang paten.
tercekik, irama nafas, 8. Kolaborasi dengan tim medis perlu
frekuensi pernafasan dalam adanya pemasanagan alat jalan nafas
rentang normal, tidak ada buatan.
suara nafas abnormal).
3. Tanda Tanda vital dalam
rentang normal (tekanan
darah, nadi, pernafasan)
2. Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor berat badan
Kelebihan volume
keperawatan diharapkan volume 2. Monitor elektrolit
cairan b/d
cairan dapat stabil dengan kriteria 3. Monitor tanda dan gejala dari
gangguan
hasil : odema
mekanisme
1. Terbebas dari edema, efusi, 4. Pasang kateter bila perlu
regulasi,
anaskara. 5. Catat intake dan output
kelebihan asupan
2. Bunyi nafas bersih, tidak ada 6. Kolaborasi pemberian obat.
cairan dan
dyspneu/ortopneu.
kelebihan asupan
3. Terbebas dari distensi vena
natrium.
jugularis,
4. Memelihara tekanan vena
sentral, tekanan kapiler paru,
output jantung dan vital sign
DBN
5. Terbebas dari kelelahan,
kecemasan atau bingung
Intoleransi Setelah dilakukan tindakan Observasi adanya pembatasan klien
aktivitas b/d keperawatan diharapkan dalam melakukan aktivitas
ketidak berkativitas dengan kriteria hasil : 1. Kaji adanya faktor yang
seimbangan 1. Berpartisipasi dalam aktivitas menyebabkan kelelahan
antara suplai dan fisik tanpa disertai 2. Monitor nutrisi dan sumber energi
kebutuhan peningkatan tekanan darah, yang adekuat
oksigen. nadi dan RR 3. Monitor pasien akan adanya
2. Mampu melakukan aktivitas kelelahan fisik dan emosi secara
sehari hari (ADLs) secara berlebihan
mandiri 4. Monitor respon kardivaskuler
3. Keseimbangan aktivitas dan terhadap aktivitas (takikardi,
istirahat disritmia, sesak nafas, diaporesis,
pucat, perubahan hemodinamik)
5. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
6. Kolaborasikan dengan Tenaga
Rehabilitasi Medik dalam
merencanakan progran terapi yang
tepat.
7. Bantu klien untuk mengidentifikasi
aktivitas yang mampu dilakukan
Kerusakan Setelah dilakukan tindakan 1. Anjurkan pasien untuk
integritas kulit b/d keperawatan diharapkan menggunakan pakaian yang longgar
gejala penyakit kerusakan dapat terobati dengan .
(pruritus/gatal) kriteria hasil : 2. Hindari kerutan pada tempat tidur 
1. Integritas kulit yang baik bisa 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap
dipertahankan (sensasi, bersih dan kering
elastisitas, temperatur, hidrasi, 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi
pigmentasi) pasien) setiap dua jam sekali
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit 5. Monitor kulit akan adanya
3. Perfusi jaringan baik kemerahan
6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil
pada daerah yang tertekan
7. Implementasi
Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat. Hal-
hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah intervensi yang
dilaksanakan sesuai rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan
interpersonal, intelektual dan teknikal, intervensi harus dilakukan dengan cermat dan
efesien dan situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologi dilindungi dan didokumentasi
keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan
a. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah mengkaji respon pasien setelah dilakukan intervensi
keperawatan dan mengkaji ulang asuhan keperawatan yang telah diberikan (Deswani,
2009). Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk
menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan
dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana keperawatan (Manurung, 2011).
Penilaian keberhasilan Penilaian adalah tahap yang menentukan apakah tujuan
tercapai. Evaluasi selalu berkaitan dengan tujuan, apabila dalam penilaian ternyata tujuan
tidak tercapai, maka perlu dicari penyebabnya. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa
faktor :

a. Tujuan tidak realistis.


b. Tindakan keperawatan yang tidak tepat.
c. Terdapat faktor lingkungan yang tidak dapat diatasi. Alasan pentingnya penilaian
sebagai berikut :
1) Menghentikan tindakan atau kegiatan yang tidak berguna.
2) Untuk menambah ketepatgunaan tindakan keperawatan.
3) Sebagai bukti hasil dari tindakan perawatan.
4) Untuk pengembangan dan penyempurnaan praktik keperawatan.
Daftar Pustaka

Bare & Smeltzer.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &


Suddart (Alih bahasa Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta :EGC
Black, Joyce. M. & Hawks, Jane. Hokanson. 2014. Keperawatan Medikal Bedah :
Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Edisi 8. Buku 2. Singapura : Elsevier
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Cahyaningsih, N.D. (2008). Hemodialisis (Cuci Darah) Panduan Praktis
Perawatan Gagal Ginjal. Yogyakarta : Mitra Cendikia
Daugirdas, J. T. (2007). Physiologic Principles and Urea Kinetic Modeling . In J.
T. Daugirdas, P. G. Blake, & T. S. Ing, Handbook of Dialysis fourth edition (pp. 25-58).
Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins.
Jitowiyono, S dan Kristiyanasari, W. 2012. Asuhan Keperawatan Post Operasi
Dengan Pendekatan Nanda, NIC, NOC. Yogyakarta: Nuha Medika.
M. Bulechek, G. (2016). edisi enam Nursing interventions classification ( N I C ).
singapore: elsevier Global rights.
LeMone, Priscilla., Burke, Karen. M., & Bauldoff, Gerene.(2016). Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Lewis. Sharon L. Dirksen. Shannon R, Heitkemper. Margaret M., Buncher.
Linda., Camera. Medical Surgical Management of Clinical Problems, Eighth Edition
volume: 2. United States of America: ELSEVIER MOSBY.
Muttaqin Arif, Sari Kumala. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kidney Disease: Evaluation, Clasification and Stratification. Am J Kidney
Dis[internet].2002[ cited 2014 Dec 24];39:S1-S266. Available from: www.kidney.org
NANDA. 2013-2015. Panduan Diagnosa Keperawatan (Terjemahan). Jakarta: EGC.

Nurdin. (2009), Hemodialisa (online), http://www. annurhospital.com /web/index.


php? Option=com_content&view=a ticle&id=55&Itemid=84
PERNEFRI. (2012). Fifth Report Of Indonesian Renal Registry 2012. Diakses
http://www.pernefri.inasn.org/gallery.html

Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Pradeep, A.M. 2010. Chronic Kidney Disease. Canada : Division of Nephrology
University of Manitoba. www.emedicine.medscape.com (22 September 2012).
Rahman, ARA, Rudiansyah, M Triawanti 2013, ‘’Hubungan antara adekuasi hemodialisis

dan kualitas hidup pasien di RSUD Ulin Banjarmasin’’.

Retno, Dwy, 2014. ‘Efektivitas Training Efikasi Diri Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Dalam
Meningkatkan Kepatuhan Terhadap Intake Cairan’. [Online] Jurnal. Dari Jurnal.
Media.Neliti.Com/Media/Publications/219966-None.Pdf (26 Desember 2018).
Robinson JM, (2013). Professional Guide to Disease Tenth Edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins
Sudoyo, AW. PGK. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. 6th ed. 2014. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai