Disusun Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Program Sarjana Terapan Keperawatan
& Profesi Ners Stase Keperawatan Medikal Bedah I
Disusun Oleh :
Nama : Nazhira Hafilah Razani
NI
: P20620521050
M
B. Definisi CKD
Chronic Kidney Disease atau Penyakit Ginjal Kronik adalah suatu keadaan yang
ditandai dengan kelaianan dari struktur atau fungsi ginjal yang muncul selama lebih
dari 3 bulan, yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan. Kriteria penyakit ginjal
kronik yaitu, durasi lebih dari 3 bulan, terdapat penurunan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m2, dengan atau tanpa adanya kerusakan ginjal
(NKF-KDIGO, 2013).
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO), penyakit ginjal bisa
akut atau kronis. Penyakit ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan diklasifikasikan
sebagai penyakit ginjal kronis. Ginjal memiliki banyak fungsi, termasuk fungsi
ekskresi, endokrin, dan metabolisme. Laju filtrasi glomerulus (GFR) adalah
komponen fungsi ekskresi. Namun, GFR diterima secara umum sebagai indeks untuk
menilai fungsi ginjal secara keseluruhan. Ini karena GFR umumnya menurun setelah
terjadi kerusakan struktural yang luas. GFR < 60 mL/min/1,73 m2 dapat dideteksi
dengan tes laboratorium rutin. Di sisi lain, kerusakan ginjal dapat terjadi pada
parenkim ginjal,
pembuluh darah, dan sistem kolektif ginjal. Kerusakan ginjal lebih sering diperiksa
menggunakan penanda ginjal dibandingkan dengan pemeriksaan jaringan ginjal
secara langsung. Penanda kerusakan ginjal dapat memberikan informasi lokalisasi
ginjal yang rusak (NKF-KDIGO, 2013).
Jadi dapat disimpulkan bahwa CKD adalah proses fisiologis dengan penyebab
beragam, yang mengarah untuk mengurangi fungsi ginjal progresif dan sering
berakhir dengan gagal ginjal. Selain itu, gagal ginjal adalah kondisi klinis yang
ditandai dengan berkurangnya fungsi ginjal yang tidak dapat dibalik pada tingkat
tertentu membutuhkan terapi penggantian ginjal tetap, dalam bentuk dialisis atau
transplantasi ginjal.
C. Etiologi
Menurut LeMone et al., (2016) etiologi dari penyakit ginjal kronis diantaranya :
a) Penyakit infeksi tubulointerstitial
Penyakit infeksi tubulointerstitial merupakan suatu kondisi yang berhubungan
dengan interstitium dan tubulus. Penyakit ini dapat disebabkan oleh obstruksi
(batu stenosis, kelainan anatomi, benign prostatic hyperplasia), infeksi saluran
kemih, efek obat-obatan dan minuman energi.
b) Penyakit vaskular hipertensi
Penyakit ginjal kronis yang fungsi ginjalnya mengalami kerusakan sehingga
terjadi peningkatan tekanan darah.
c) Gangguan jaringan ikat
Suatu kondisi penyakit yang mengalami penurunan kekebalan tubuh seseorang
atau lebih dikenal penyakit autoimun contohnya lupus eritomatosus sistemik
d) Gangguan kongenital dan herediter
Seperti penyakit polikistik, yang merupakan kondisi bawaan yang ditandai dengan
munculnya kista atau kantung berisi cairan di ginjal dan organ laintidak terdapat
adanya jaringan
e) Penyakit metabolik
Seperti diabetes mellitus yang menyebabkan peningkatan mobilisasi lemak yang
mengarah pada penebalan membran kapiler dan di ginjal berkembang menjadi
disfungsi endotel yang mengarah ke nefropati amiloidosis yang ditandai dengan
pengendapan zat proteinemik abnormal pada dinding pembuluh darah yang
merusak membrane glomerulus secara serius
f) Nefropati toksik
Penyalahgunaan penggunaan analgesik dan nefropati timah.
g) Nefropati obstruksi
Fungsi ginjal yang mengalami gangguan di saluran kemih bagian atas contohnya
batu neoplasma, fibrosis, dan retroperitoneum. Sedangkan di saluran kemih bagian
bawah contohnya hipertrofi prostat, striktura uretra dan kelainan bawaan
E. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronis awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Penurunan massa ginjal menyebabkan hipertrofi struktural dan
fungsional kompensasi dari nefron yang tersisa. Hal ini menyebabkan hiperfiltrasi
diikuti dengan peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
kompensasi ini diikuti oleh proses maladaptif, sklerosis nefron. Ini juga berkontribusi
terhadap hiperfiltrasi, kekakuan dan perkembangan melalui peningkatan aktivitas
sumbu renin-angiotensin-aldosteron (Suwitra, 2014).
Pada tahap awal penyakit ginjal kronis, cadangan ginjal hilang. Kemudian terjadi
hipofungsi nefron, yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum. Pada GFR, 60% pasien masih asimtomatik. Selain itu, pada GFR 30%, pasien
mulai mengalami gejala seperti nokturia, lemas, mual, nafsu makan menurun, dan
penurunan berat badan. Ketika GFR di bawah 30%, pasien datang dengan tanda dan
gejala uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, dan gangguan elektrolit. Gejala dan komplikasi
serius terjadi ketika GFR kurang dari 15%. Pada tahap ini, pasien sudah
membutuhkan terapi pengganti ginjal, antara lain hemodialisis, dialisis peritoneal,
atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2014).
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Tes urin menunjukkan warna kotor, mengungkapkan residu coklat darah, Hb,
mioglobin. Gravitasi spesifik <1,020 menunjukkan adanya ISK, NTA, CKD.
Osmolaritas kurang dari 350 mOsm/kg. Ini menunjukkan kerusakan ginjal dan
rasio urin terhadap serum biasanya 1:1. (DiGiulio, 2014).
2. Mempertimbangkan konsentrasi ureum dan kreatinin
Ada peningkatan urea, laju kenaikannya tergantung pada tingkat katabolisme
(pemecahan protein), aliran darah ginjal dan penyerapan protein. Kreatinin serum
meningkat pada lesi glomerulus. Kadar kreatinin serum membantu memantau
fungsi ginjal dan perkembangan penyakit (Digiulio, 2014).
3. Tes Elektolit
Pasien dengan penurunan laju filtrasi glomerulus tidak dapat melakukan ini
mengeluarkan kalium dan menyebabkan katabolisme protein. Pelepasan seluler
kalium dalam cairan tubuh akan menyebabkan hiperkalemia parah. Hiperkalemia
menyebabkan aritmia dan henti jantung Hati (DiGiulio, 2014).
4. pH
Pasien dengan oliguria akut gagal membersihkan transporter metabolik seperti zat
mirip asam yang dibentuk oleh metabolisme normal. Selain itu, mekanisme
penyangga normal ginjal terganggu. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan kadar
karbon dioksida darah dan pH darah, yang menyebabkan asidosis metabolik
progresif yang berhubungan dengan gagal ginjal (Digiulio, 2014).
G. Pemeriksaan Fisik
1. B1 (Breathing)
Selama ini nafas klien sering berbau pesing (amoniak). Reaksi urea disebabkan
oleh pernapasan yang sangat dalam, cepat, dan lambat secara bertahap. Pola
pernapasan cepat dan dalam merupakan upaya untuk mengeluarkan
karbondioksida yang menumpuk di aliran darah.
2. B2 (Blood)
Dengan anemia berat, perawat mendengarkan jantung dan lihat apakah eksudat
mengeluarkan suara gesekan yang khas dari efusi perikardium. Terdapat tanda dan
gejala gagal jantung. Hipoperfusi perifer sekunder akibat hipertensi, kaki dingin,
CRT lebih dari 3 detik, palpitasi, nyeri dada atau angina dan tekanan, aritmia,
edema, hiperkalemia, dan penurunan curah jantung karena gangguan konduksi
ventrikel. Dalam sistem darah, keberadaan anemia sering dicatat. Anemia akibat
berkurangnya produksi eroteopoietin, mengakibatkan kecenderungan untuk
berdarah trombositopenia.
3. B3 (Brain)
Terjadi penurunan tingkat kesadaran, kelainan fungsi serebral, seperti proses pikir
dan disorientasi, kejang, adanya neuropati perifer, burning feet syndrome, restless
leg syndrome, kram otot dan nyeri otot.
4. B4 (Bladder)
Penurunan urine output< 400ml/hr sampai anuria, terjadi penurunan libido berat.
5. B5 (Bowel)
Mual dan muntah, perubahan pola makan seperti kehilangan nafsu makan dan
diare sekunder akibat bau mulut, mukositis, oral, dan ulserasi gastrointestinal
sering mengakibatkan penurunan asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan.
6. B6 (Bone)
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki (memburuk pada malam hari),
kulit gatal, kekambuhan/infeksi, gatal, demam (septikemia, dehidrasi), noda,
memar, patah tulang, endapan kalsium fosfat di kulit dan jaringan lunak, dan
Penurunan sendi mobilitas. Kelemahan umum akibat anemia dan hipoperfusi
perifer akibat hipertensi
H. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas d.d dispnea
2. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis d.d mengeluh nyeri dan tampak meringis
jam, diharapkan pola nafas - Monitor pola nafas meningkatkan dyspnea dan
Kolaborasi :
- Untuk meredakan pasien
yangmengalami
penyempitan dan
penumpukan lendir atau
dahak disaluran pernapasan.
Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
keperawatan diharapkan
Observasi : Observasi :
tingkat nyeri menurun 1. Identifikasi lokasi, 1. Untuk mengetahui lokasi,
dengan kriteria hasil : karakteristik, durasi, karakteristik durasi,
1. Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas, intensitas frekuensi, kualitas, intensitas
2. Meringis menurun nyeri. nyeri.
3. Gelisah menurun 2. Identifikasi skala nyeri 2. Untuk mengetahui tingkat
4. Kesulitan tidur menurun 3. Identifikasi respon non nyeri yang dirasakan pasien.
5. Mual dan muntah verbal 3. Untuk mengetahui respon
menurun ekspresi dan sikap ketika
6. Nafsu makan membaik Terapeutik :
nyeri terasa
1. Berikan teknik non
farmakologi Terapeutik :
2. Fasilitasi istirahat dan 1. Untuk mengurangi atau
tidur mengalihkan nyeri
3. Pertimbangkan jenis dan 2. Memberikan kebutuhan
sumber nyeri dalam tidur pasien terpenuhi
pemilihan strategi 3. Untuk mengurangi tingkat
meredakan nyeri nyeri yang dirasakan pasien.
Edukasi : Edukasi :
1. Jelaskan 1. Agar pasien dapat
penyebab,periode dan menghindari penyebab dari
pemicu nyeri nyeri yang dirasakan
2. Jelaskan strategi 2. Agar pasien dapat
meredakan nyeri meredakan nyeri secara
3. Anjurkan memonitor mandiri ketika pulang dari
nyeri secara mandiri rumah sakit.
3. Agar keluarga atau tenaga
Kolaborasi : medis tahu dan segera
1. Kolaborasi pemberian mendapat penanganan
segera
obat
Kolaborasi :
1. Agar rasa nyeri yang
dirasakan pasien dapat
dihilangkan atau dikurangi