Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. DEFINISI

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penurunan fungsi ginjal progresif


yang ireversibel ketika ginjal tidak mampu mempertahankan keseimbangan metabolik,
cairan, dan elektrolit yang menyebabkan terjadinya uremia dan azotemia (Bayhakki,
2017).
Chronic Kidney Disease adalah kemunduran fungsi ginjal yang progresif dan
ireversibel dimana terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan
keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang mengakibatkan uremia atau
azotemia (Wijaya dan Putri, 2017).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Chronic
Kidney Disease adalah suatu keadaan klinis yang terjadi penurunan fungsi ginjal
dengan ditandai terjadinya penurunan GFR selama >3 bulan yg bersifat progresif dan
irreversibel, ginjal tidak dapat mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan, dan
elektrolit yang menyebabkan terjadinya uremia dan azotemia.

B. ANATOMI FISIOLOGI
1. Anatomi
Ginjal adalah dua buah organ berbentuk menyerupai kacang merah yang
berada di kedua sisi tubuh bagian belakang atas, tepatnya dibawah tulang rusuk
manusia. Ginjal sering disebut bawah pinggang. Bentuknya seperti kacang dan
letaknya di sebelah belakang rongga perut, kanan kiri dari tulang punggung.
Ginjal kiri letaknya lebih tinggi dari ginjal kanan, berwarna merah keunguan.
Setiap ginjal panjangnya 12-13 cm dan tebalnya 1,5-2,5 cm. Pada orang dewasa
beratnya kira-kira 140 gram. Pembuluh-pembuluh ginjal semuanya masuk dan
keluar pada hilus (sisi dalam). Di atas setiap ginjal menjulang sebuah kelenjar
suprarenalis (Irianto, 2013).
Struktur ginjal dilengkapi selaput membungkusnya dan membentuk
pembungkus yang halus. Di dalamnya terdapat struktur-struktur ginjal. Terdiri 7
atas bagian korteks dari sebelah luar dan bagian medula di sebelah dalam. Bagian
medula ini tersusun atas 15 sampai 16 massa berbentuk piramida yang disebut
piramis ginjał. Puncak-puncaknya langsung mengarah ke hilus dan berakhir di
kalises. Kalises ini menghubungkannya dengan pelvis ginjal (Irianto, 2013).
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan mengkilat yang disebut
kapsula fibrosa (true capsule) ginjal melekat pada parenkim ginjal. Di luar kapsul
fibrosa terdapat jaringan lemak yang bagian luarnya dibatasi oleh fasia gerota.
Diantara kapsula fibrosa ginjal dengan kapsul gerota terdapat rongga perirenal. Di
sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal atau
disebut juga kelenjar suprarenal yang berwarna kuning. Di sebelah posterior,
ginjal dilindungi oleh berbagai otot punggung yang tebal serta tulang rusuk ke XI
dan XII, sedangkan disebelah anterior dilindungi oleh organ intraperitoneal.
Ginjal kanan dikelilingi oleh hati, kolon, dan duodenum, sedangkan ginjal kiri
dikelilingi oleh limpa, lambung, pankreas, jejenum, dan kolon (Basuki, 2011).
2. Fisiologi
Mekanisme utama nefron adalah untuk membersihkan atau menjernihkan
plasma darah dari zat-zat yang tidak dikehendaki tubuh melalui
penyaringan/difiltrasi di glomerulus dan zat-zat yang dikehendaki tubuh
direabsropsi di tubulus. Sedangkan mekanisme kedua nefron adalah dengan
sekresi (prostaglandin oleh sel dinding duktus koligentes dan prostasiklin oleh
arteriol dan glomerulus). Beberapa fungsi ginjal adalah sebagai berikut
(Syaifuddin, 2011):
a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh
Kelebihan air dalam tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urin
yang encer dalam jumlah besar. Kekurangan air (kelebihan keringat)
menyebabkan urin yang diekskresikan jumlahnya berkurang dan
konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat
dipertahankan relatif normal.
b. Mengatur keseimbangan osmotik dan keseimbangan ion
Fungsi ini terjadi dalam plasma bila terdapat pemasukan dan
pengeluaran yang abnormal dari ion-ion. Akibat pemasukan garam yang
berlebihan atau penyakit perdarahan, diare, dan muntah-muntah, ginjal akan
meningkatkan ekskresi ion-ion yang penting misalnya Na, K, Cl, Ca, dan
fosfat.
c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh
Tergantung pada apa yang dimakan, campuran makan (mixed diet)
akan menghasilkan urin yang bersifat agak asam, pH kurang dari enam. Hal
ini disebabkan oleh hasil akhir metabolisme protein. Apabila banyak makan
sayur-sayuran, urin akan bersifat basa, pH urin bervariasi antara 4,8 sampai
8,2. Ginjal mengekskresikan urin sesuai dengan perubahan pH darah.
d. Ekskresi sisa-sisa hasil metabolisme (ureum, kreatinin, dan asam urat)
Nitrogen nonprotein meliputi urea, kreatinin, dan asam urat.
Nitrogen dan urea dalam darah merupakan hasil metabolisme protein.
Jumlah ureum yang difiltrasi tergantung pada asupan protein. Kreatinin
merupakan hasil akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan
kecepatan yang hampir konstan dan diekskresi dalam urin dengan kecepatan
yang sama. Peningkatan kadar ureum dan kreatinin yang meningkat disebut
azotemia (zat nitrogen dalam darah). Sekitar 75% asam urat diekskresikan
oleh ginjal, sehingga jika terjadi peningkatan konsentrasi asam urat serum
akan membentuk kristalkristal penyumbat pada ginjal yang dapat
menyebabkan gagal ginjal akut atau kronik.
e. Fungsi hormonal dan metabolisme
Ginjal mengekskresikan hormon renin yang mempunyai peranan
penting dalam mengatur tekanan darah (system rennin-angiotensis-
aldesteron), yaitu untuk memproses pembentukan sel darah merah
(eritropoesis). Disamping itu ginjal juga membentuk hormon dihidroksi
kolekalsiferol (vitamin D aktif) yang diperlukan untuk absorbsi ion kalsium
di usus.
f. Pengeluaran zat beracun
Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan makanan, obat-obatan,
atau zat kimia asing lain dari tubuh.

C. ETIOLOGI
1. Gangguan pembuluh darah ginjal : Berbagai jenis lesi vaskular dapat
menyebabkan iskemik ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling sering
adalah aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan kontriksi skleratik
progresif pada pembuluh darah hiperplasia fibromuskular pada satu atau lebih
arteri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh darah nefrosklerosis
yaitu saatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak diobati,
dikarakteristikan oleh penebalan, hilangnya elastisitas sistem, perubahan darah
ginjal mengakibatkan penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.
2. Gangguan imunologis: Seperti glomerulonefritis & SLE
3. Infeksi : Dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E. Coli yang
berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini mencapai
ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara asceden dari traktus
urinarius bagian bawah lewat ureter ke ginjal sehingga dapat menimbulkan
kerusakan irreversibel ginjal yang disebut plenlonefritis.
4. Gangguan metabolik : seperti DM (Diabetes Melitus) yang menyebabkan
mobilisasi lemak meningkat sehingga terjadi penebalan membran kapiler dan di
ginjal dan berkelanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefripati
amiliodosis yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada
dinding pembuluh darah secara serius merusak membran glomerulus.
5. Gangguan tubulus primer : terjadi nefrotoksis akibat analgesik atau logam berat.
6. Obstruksi taktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan kontriksi
uretra.
7. Kelainan kongenetal dan herediter: penyakit polikistik = kondisi keturunan yang
dikarakteristik oleh terjadinya kista/kantong berisi cairan di dalam ginjal dan
organ lain, serta tidak adanya jar. Ginjal yang bersifat kongenetal (hipoplasia
renalis) serta adanya asidosis.

D. PATOFISIOLOGI
Fungsi renal menurun, produksi akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengarui
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka grjala akan
semakin berat. Dan banyak gejala uremia membaik setelah dialisis (Wijaya dan putri,
2017)
Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit glomerulus
baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis interstisial, obstruksi
saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan 2 mekanisme
kerusakan : (1) mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan selanjutnya
seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat
toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme kerusakan progresif
yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa.
Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki kontribusi
terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperti yang telah
dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan untuk
mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat yang tersisa ini akan
mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan akan
menyebabkan hipertensi sistemik dalam glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus
ini akan menyebabkan  hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme kompensasi.
Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia
akibat ekskresi Na melalui urin meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan
menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi dari
gagal ginjal. Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan kerusakan
langsung terhadap jalur lisosomal intraselular, meningkatkan stres oksidatif,
meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan faktor kemotaktik yang
pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel melalui
pengambilan dan aktivasi makrofag.

Gambar 1 Piramid Iskemik dan Sklerosis Arteri dan Arteriol pada Patogan lintang
Ginjal (McAlexander, 2015)

Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis matriks
ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen tubulointerstitiel
yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel, dan atropi tubuler
akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang dan akan menghentikan
siklus progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi
ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal.  Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal antara
lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan reabsorbsi Na pada tubuli, penurunan
ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan ekskresi hidrogen.
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan mengubah bentuk
inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO), menurunkan fungsi
insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan sistem reproduksi.
Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan intraglomerular.
Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di ginjal dan merupakan
vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan intraglomerular dengan cara
meningkatkan irama arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu stres oksidatif yang
pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan,
sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD.
Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan karena banyak
sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D atau kalsitriol,
yang akan menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi
penurunan absorbsi Ca. Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan hipokalsemia
dan osteodistrofi. Pada CKD akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi
karena hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal terhadapPTH. Kalsium dan
kalsitriol merupakan feedback negatif inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia akan
menstimulasi sintesis dan sekresi PTH.
Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk
mengekskresikan zat – zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia.
Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor ini akan menyebabkan
inhibisi 1- α  hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena
inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi resistensi
terhadap vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi
peningkatan hormon parathormon. Akhirnya akan timbul hiperparatiroidisme sekunder.
Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan depresi pada sumsum tulang sehingga
akan menurunkan pembentukan eritropoetin yang pada akhirnya akan menyebabkan
anemia. Selain itu hiperparatiroidisme sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi
yang diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone
disorder, dan mixed osteodistrofi. Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air
sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi
kalium juga terjadi terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5.
Penuruan ekskresi ini akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko
terjadinya kardiak arrest pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi adanya
anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap.  Pada CKD, ginjal tidak mampu
membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk mengekskresikan asam
endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium. Peningkatan anion gap biasanya
terjadi pada CKD stadium 5. Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan
anion – anion lain yang tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD
dapat menyebabkan gangguan metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga
merupakan salah satu faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal.
Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa nitrogen
dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea nitrogen akan
meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat. Uremia yang bersifat
toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai sistem saraf perifer dan
sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan
memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan meningkatkan resiko
perdarahan spontan terutama pada GIT, dan dapat berkembang menjadi anemia bila
penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di kulit akan menyebabkan pasien
merasa gatal – gatal.
Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi lipid,
gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin menurun, maka
gula darah akan meningkat. Peningkatan produksi lipid akan memicu timbulnya
aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung.
Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada hiperparatiroidisme
sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu anemia dapat terjadi juga
karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat pengaruh dari sindrom uremia,
anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi (Kirana, 2015).
E. PATHWAY

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac
dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme terjadinya
hipertensi pada CKD oleh karena penimbunan garam dan air, atau sistem renin
angiostensin aldosteron (RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang sering
dijumpai akibat kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang
disertai efusi perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan
elektrolit.
2. Gangguan pulmoner
Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekles.
3. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein
dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan
mulut, nafas bau ammonia. akibat metabolisme protein yang terganggu oleh
bakteri usus sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut.
Disamping itu sering timbul stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas
penyebabnya. Gastritis erosif hampir dijumpai pada 90 % kasus CKD, bahkan
kemungkinan terjadi ulkus peptikum dan kolitis uremik.
4. Gangguan muskuluskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan),
burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki),
tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas. Penderita sering
mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak (restlesslessleg syndrome), kadang
tersa terbakar pada kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa kelemahan, gangguan
tidur, gangguan konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan kesadaran atau
koma.
5. Gangguan integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom. Gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh. Kulit
berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan gatal
akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.
6. Gangguan endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak
dan vitamin D.
7. Sistem hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopetin, sehingga
rangsangan eritopoesis pada sum-sum tulang berkurang, hemodialisi akibat
berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi
gangguan fungsi trombosit dan trombositopeni. selain anemi pada CKD sering
disertai pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula disertai
trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu sehingga
pertahanan seluler terganggu, sehingga pada penderita CKD mudah terinfeksi,
oleh karena imunitas yang menurun.
8. Gangguan lain
Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan
elektrolit dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik,
hiperkalemia, hiperforfatemi, hipokalsemia. (Wijaya dan Putri, 2017)
Pasien dengan stadium I atau II tidak memiliki gejala atau gangguan
metabolik seperti asidosis, anemia, dan penyakit tulang. Selain itu, pengukuran
yang paling umum dari gangguan fungsi ginjal yaitu serum kreatininmungkin
hanya sedikit meningkat pada tahap awal CKD . akibatnya, estimasi GFR sangat
penting bagi pengenalan tahap awal CKD. Karena tahap awal CKD sering tidak
terdeteksi, dibutuhkan diagnosis pada pasien dengan tingkat kecurigaan yang
tinggi yaitu yang mengalami kondisi kronis seperti hipertensi dan diabetes militus.
Tanda dan gejala terkait dengan CKD menjadi lebih umum pada stage III,
IV, V. Anemia, kelainan metabolisme kalsium dan fosfor (hiperparatiroidisme
sekunder), malnutrisi, abnormalitas cairan dan elektrolit menjadi lebih umum
seiring fungsi ginjal memburuk. Umumnya pada pasien CKD stadium V juga
mengalami gagal-gagal, intoleransi dingin, berat badan menurun, neuropati perifer
(Joy et al, 2008).
G. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta
Suwitra (2006) antara lain adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan
masukan diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
a. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
b. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
c. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
d. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa.
2. Foto Polos Abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.
3. Pielografi Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal
ginjal pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
4. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi sistem
pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem
pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
5. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan (vaskuler, parenkhim)
serta sisa fungsi ginjal
6. Pemeriksaan Radiologi Jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
7. Pemeriksaan radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi metatastik
8. Pemeriksaan radiologi Paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
9. Pemeriksaan Pielografi Retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible
10. EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
11. Biopsi Ginjal
Dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau
perlu untuk mengetahui etiologinya.
12. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal
a. Laju endap darah
b. Urin
Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak ada
(anuria).
Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus /
nanah,
bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan
ginjal berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular,
amrasio
urine / ureum sering 1:1.
c. Ureum dan Kreatinin
Ureum:
Kreatinin: Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL
diduga
tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
d. Hiponatremia
e. Hiperkalemia
f. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
g. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
h. Gula darah tinggi
i. Hipertrigliserida
j. Asidosis metabolik

I. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK adalah untuk mempertahankan
fungsi ginjal yang tersisa dan homeostasis tubuh selama mungkin serta mencegah atau
mengobati komplikasi (Smeltzer, 2001; Rubenstain dkk, 2007). Terapi konservatif tidak
dapat mengobati GGK namun dapat memperlambat progres dari penyakit ini karena
yang dibutuhkan adalah terapi penggantian ginjal baik dengan dialisis atau transplantasi
ginjal.
Lima sasaran dalam manajemen medis GGK meliputi :
1. Untuk memelihara fungsi renal dan menunda dialisis dengan cara mengontrol
proses penyakit melalui kontrol tekanan darah (diet, kontrol berat badan dan obat-
obatan) dan mengurangi intake protein (pembatasan protein, menjaga intake
protein sehari-hari dengan nilai biologik tinggi < 50 gr), dan katabolisme
(menyediakan kalori nonprotein yang adekuat untuk mencegah atau mengurangi
katabolisme)
2. Mengurangi manifestasi ekstra renal seperti pruritus , neurologik, perubahan
hematologi, penyakit kardiovaskuler;
3. Meningkatkan kimiawi tubuh melalui dialisis, obat-obatan dan diet;
4. Mempromosikan kualitas hidup pasien dan anggota keluarga
(Black & Hawks, 2005)
Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan dialisi tetap
atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya GFR sekitar 5-10 ml/mnt. Dialisis juga
diiperlukan bila :
1. Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
2. Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
3. Overload cairan (edema paru)
4. Ensefalopati uremic, penurunan kesadaran
5. Efusi perikardial
6. Sindrom uremia ( mual,muntah, anoreksia, neuropati) yang memburuk.
J. PENCEGAHAN
1. Rajin beraktivitas fisik dan berolahraga agar badan tetap bugar
2. Menjaga kadar gula darah tetap normal
3. Menjaga tekanan darah tetap normal
4. Menjaga berat badan ideal
5. Minum air putih 8-10 gelas perhari
6. Tidak merokok
7. Periksa fungsi ginjal secara berkala
8. Tidak mengonsumsi obat anti nyeri dalam jangka panjang tanpa anjuran dokter.

K. ASUHAN KEPERAWATAN ( KONSEP TEORI )


1. Pengkajian
a. Data Biografi :identitas pasien, nama, umur, jenis kelamin, agama, status
perkawinan, pendidikan, suku/bangsa, pekerjaan, alamat, ruang, identitas
penaggung jawab, hubungan dengan pasien, no telepon, asuransi kesehatan
(jika ada).
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama/alasan masuk Rumah sakit
2) Riwayat kesehatan sekarang : dimulai dri akhir masa sehat, ditulis dengan
kronologis sesuai urutan waktu, dicatat perkembangan dan perjalanan
penyakitnya seperti : faktor pencetus, sifat keluhan (mendadak/berlahan-
lahan/terus menerus/hilang timbul atau berhubungan dengan waktu,
lokalisasi dan sifarnya ( menjalar /menyebar/berpindah/menetap), bearat
ringannya keluhan (menetap/cenderung bertambah atau berkurang),
lamanya keluhan, upaya yang dilakukan untuk mengatasi, keluhan saat
pengkajian, diagnosa medik
3) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit yang pernah dialami (jenis penyakit, lama dan upaya untuk
mengatasi, riwayat masuk RS), Alergi, Obat-obatan yang pernah
digunakan.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit menular/tidak menular/keturunan dalam keluarga, disertai
genogram.
5) Pengkajian lingkungan
Pengkajian lingkungan rumah, lingkungan klien bekerja, fokus pada upaya
keamanan klien, informasi tentang lingkungan rumah dan tempat bekerja
meliputi:tata ruang, kebersihan, resiko cidera, paparan polusi,
pencahayaan, susasana rumah,
c. Pengkajian Primer
1) Airway
Kaji: bersihan jalan nafas, ada/tidaknya sumbatan pada jalan nafas, distress
pernafasan, tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring

2) Breathing
Kaji: frekuensi nafas, usaha, dan pergerakan dinding dada, suara
pernafasan melalui hidung dan mulut, udara yang dikeluarkan dari jalan
nafas
3) Circulation
Kaji: denyut nadi karotis, tekanan darah, warna dan kelembaban kulit,
tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
4) Disability
Kaji: tingkat kesadaran, gerakan ekstremitas, GCS, ukuran pupil dan
responnya terhadap cahaya
5) Exposure
Kaji: tanda-tanda trauma yang ada
d. Pola fungsional gordon
1) Pola management kesehatan/persepsi kesehatan
Persepsi terhadap penyakit yang dialaminya, Riwayat penggunaan
tembakau, alkohol, alergi (obat-obatan, makanan, reaksi alergi), mengatur
dan menjaga kesehatannya, pengetahuan dan praktik pencegahan penyakit.
2) Pola nutrisi dan metabolik
Kebiasaan klien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi sebelum dan
sesudah sakit meliputi : jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi,
frekuensi makan dan minum, porsi makan, makanan yang disukai, nafsu
makan (normal,meningkat, menurun), pantangan atau alergi, penurunan
sensasi kecap, mual-muntah, stomatitis, kesulitan menelan (disfagia).
riwayat masalah kulit/penyembuhan (ruam, kering, keringat berlebihan,
penyembuhan abnormal, jumlah minum/24 jam dan jenis (kehausan yang
sangat), mengkaji ABCD yaitu :A (Antropometri) : BB, TB, sebelum
dan sesudah sakit fluktuasi BB 6 bulan terakhir (naik/turun), B
(Biocemicle): Hemoglobin, Leukosit, Trombosit, Hematoktit (cairan),
Albumin edema, C (Clinicel) : turgor kulit, konjungtiva, CRT, D (Diet) :
diet/suplment khusus, Instruksi diet sebelumnya.
3) Pola eliminasi
Buang air besar (BAB) : Frekuensi, waktu, Warna, konsistensi,
Kesulitan (diare, konstipasi, inkontinensia), Buang Air Kecil (BAK) :
Frekuensi, Kesulitan/keluhan (disuria, noktiria, hematuria, retensia,
inkontinensia).
4) Pola aktivitas dan kebersihan diri kemampuan perawatan diri
0 : Mandiri
1 : dengan alat bantu
2 : dibantu orang lain
3 : dibantu orang lain dan peralatan
4 : ketergantian / ketidakmampuan
5) Pola istirahat dan tidur
Lama tidur : (jam/malam, tidur siang , tidur sore), waktu kebiasaan
menjelang tidur, masalah tidur (insomnia, terbangun dini, mimpi buruk),
perasaan setelah bangun (merasa segar / tidak setelah tidur).
6) Pola kognitif dan Persepsi sensori
Status mental (sadar / tidak, orientasi baik atau tidak ), bicara: normal,
genap, aphasia ekspresif, kemampuan berkomunikasi, kemampuan
memahami, tingkat ansietas , Pendengaran: DBN, Tuli, tinitis, alat bantu
dengar, Penglihatan (DBN, Buta, katarak, kacamata, lensa kontak, dll),
vertigo, ketidaknyamanan/nyeri /akut/ kronis, penatalaksaan nyeri
7) Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan klien tentang dirinya, gambar dirinya, ideal dieinya, harga
dirinya, peran dirinya, ideal dirinya.
8) Pola hubungan peran
Pekerjaan, sistem pendukung : (pasangan, tetangga, keluarga serumah,
keluarga tinggal berjauhan, maslah keluarga berkenaan dengan perawatan
RS, kegiatan sosial : bagaimana hubungan dengan masyarakat.
9) Pola seksual dan reproduksi
Tanggal Menstruasi Terakhir (TMA), masalah-masalah dalam pola
reproduksi, Pap smear terakhir, kepuasan dan tidak puasan klien dalam
pola seksualitas, kesulitan dalam pola seksualitas, masalah seksual B. D
penyakit
10) Pola koping dan toleransi stres
Perawat mengkaji kemampuan klien dalam mengelola stess,
Kehilangan/perubahan besar dimasa lalu, Hal yang dilakukan saat ada
masalah, Pengguanaan obat saat menghilangkan stres, Keadaan emosi
dalam sehari-hari (santai/tegang), keefektifan dalam mengelola stress.

11) Pola nilai dan Keyakinan


Keyakinan Agama, budaya, Pengaruh agama dalam kehidupan.
e. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum: Kesadaran, Klien tampak sehat/ sakit/sakit berat
2) Tanda –tanda vital : TD, ND, RR, S
3) Kulit : Warna kulit (sianosis, ikterus, pucat eritema), Kelembaban, Turgor
kulit, Ada/tidaknya edema
4) Kepala/rambut : Inspeksi, Palpasi
5) Mata : Fungsi penglihatan, Ukuran pupil, Konjungtiva, Lensa/iris, Odema
palpebra, Palpebra, Sklera
6) Telinga : Fungsi pendengaran, Kebersihan, Daun telinga, Fungsi
keseimbangan, Sekret, Mastoid
7) Hidung dan sinus : Inspeksi, Fungsi penciuman, Pembengkakan,
Kebersihan, Pendarahan, Sekret
8) Mulut dan tenggorokan : Membran mukosa, Keadaan gigi, Tanda radang
(gigi,lidah,gusi), Trismus, Kesulitan menelan, Kebersihan mulut
9) Leher : Trakea simetris atau tidak, Kartoid bruid, JVP, Kelenjar limfe,
Kelenjar tiroid, Kaku kuduk
10) Thorak atau paru : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
11) Jantung : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
12) Abdomen : Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi
13) Ekstremitas : Vaskuler perifer, Capilari refil, Clubbing, Perubahan warna
14) Neurologis : Status mental/GCS, Motorik, Sensori, Tanda rangsangan
meningkat, Saraf kranial, Reflek spikologis, Reflek patologis
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko Ketidak efektifan perfusi jaringan ginjal (00203)
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme regulasi (00026)
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan metabolisme
(00046)
d. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor bologis (00002)
e. Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen (00092)
f. Pola nafas tidak efektif berhubungan hiperventilasi (00032)(Heardman et al,
2015)
3. Intervensi

No. DX Tujuan & KH Intervensi Keperawatan Rasional


1. Tujuan : Circulatory Care
Setelah dilakukan 1. Lakukan penilaian secara 1. Sebagai data dasar
tindakan keperawatan komprehensif fungsi untuk menentukan
selama 3x24 jam sirkulasi perifer. (cek nadi intervensi selanjutnya
resiko ketidak priper,oedema, kapiler
efektifan perfusi refil, temperatur
ginjal adekuat. ekstremitas).
2. Kaji nyeri 2. Mengetahui persepsi
Kriteria Hasil: dan tingkatan nyeri
Circulation Status yang dirasakan klien
1. Membran mukosa 3. Inspeksi kulit dan Palpasi 3. Mengetahui adanya
merah muda anggota badan edema ekstremitas
2. Conjunctiva tidak 4. Atur posisi pasien, 4. Posisi tersebut dapat
anemis ekstremitas bawah lebih memperbaiki sirkulasi
3. Akral hangat rendah untuk memperbaiki
4. TTV dalam batas sirkulasi.
normal. 5. Monitor status cairan 5. Mengetahui balance
5. Tidak ada edema intake dan output cairan
6. Evaluasi nadi, oedema 6. Mengetahui tingkatan
edema pada klien dan
kondisi klien
7. Berikan therapi 7. Terapi antikoagulan
antikoagulan. dapat mencegah
terjadinya
penggumpalan darah
klien.

2. Tujuan: Fluid Management


Setelah dilakukan 1. Kaji status cairan : 1. Mengetahui adanya
asuhan keperawatan timbang berat kelebihan volume cairan
selama 3x24 jam badan,keseimbangan pada klien
volume cairan masukan dan haluaran,
seimbang. turgor kulit dan adanya
edema
Kriteria Hasil: 2. Timbang popok/pembalut 2. Mengetahui output cairan
Fluid Balance jika diperlukan klien
1. Terbebas dari
edema, efusi, 3. Pertahankan catatan intake 3. Mengetahui status balance
anasarka dan output yang akurat cairan klien
2. Bunyi nafas 4. Batasi masukan cairan 4. Mencegah adanya edema
bersih,tidak 5. Pasang urin kateter jika 5. Pemasangan kateter dapat
adanya dipsnea diperlukan melancarkan output urine
3. Memilihara klien
tekanan vena 6. Monitor hasil lab yang 6. Hasil lab
sentral, tekanan sesuai dengan retensi menginterpretasikan status
kapiler paru, cairan (BUN , Hematokrit, cairan dan elektrolit klien
output jantung osmolalitas urin  )
dan vital sign
normal. 7. Monitor vital sign 7. Mengetahui kondisi umum
4. Pasien dapat klien
menjelaskan 8. Monitor indikasi retensi / 8. Indikasi retensi/kelebihan
indikator kelebihan cairan (kreacles, cairan dapat menentukan
kelebihan cairan CVP , edema, distensi intervensi yang tepat bagi
vena leher, asietes) klien

9. Kaji lokasi dan drajat 9. Lokasi dan derajat edema


edema dapat menentukan seberapa
berat kelebihan volume
cairan klien
10. Berikan diuretik sesuai 10. Diuretic dapat meningkatkan
interuksi output cairan klien
11. Kolaborasi dokter jika 11. Dapat dilakukan terapi yang
tanda cairan berlebih tepat pada klien
muncul memburuk
12. Jelaskan pada pasien dan 12. Mencegah klien dari
keluarga rasional kelebihan cairan dan
pembatasan cairan keluarga dapat memantau
asupan cairan klien
13. Menjelaskan cara diit 13. Klien dapat mengetahui diit
pasien yang tepat untuk menjaga
kondisinya
14. Kolaborasi pemberian 14. Pemberian cairan yang tepat
cairan sesuai terapi. dapat mencegah klien dari
kelebihan cairan

Fluid Monitoring
1. Tentukan riwayat jumlah 1. Sebagai data dasar dalam
dan tipe intake cairan dan menentukan intervensi
eliminasi selanjutnya
2. Tentukan kemungkinan 2. Untuk mengetahui tindakan
faktor resiko dari ketidak yang tepat untuk mengatasi
seimbangan cairan masalah
(hipertermia, terapi
diuretik, kelainan renal,
gagal jantung, diaporesis,
disfungsi hati, dll )
3. Monitor berat badan 3. Mengetahui adakah
keleibihan volume cairan
4. Monitor serum dan 4. Mengetahui kadar cairan dan
elektrolit urine elektrolit
5. Monitor adanya distensi 5. Mengetahui adanya
leher, rinchi, eodem kelebihan volume cairan
perifer dan penambahan
BB
6. Monitor tanda dan gejala 6. Edema dapat menjadi tanda
dari odema kelebiihan cairan
Hemodialysis therapy
1. Bekerja secara 1. Terapi hemodialisa sesuai
kolaboratif dengan pasien prosedur dapat mengurangi
untuk menyesuaikan kelebihan cairan dan sisa
panjang dialisis, metabolism di tubuh
peraturan diet,
keterbatasan cairan dan
obat-obatan untuk
mengatur cairan dan
elektrolit pergeseran
antara pengobatan.
3. Tujuan : Pressure management
Setelah dilakukan 1. Monitor kulit akan adanya 1. Kemerahan dapat
asuhan keperawatan kemerahan menjadi tanda
selama 3x24 jam kerusakan integritas
diharapkan gangguan kulit.
integritas kulit 2. Monitor tanda dan gejala 2. Infeksi dapat
teratasi dengan infeksi pada area insisi menjadikan integritas
kulit menjadi rusak
Kriteria Hasil: 3. Anjurkan pasien 3. Pakaian yang longgar
1. Tidak ada tanda – menggunakan pakaian dapat mengurangi rasa
tanda infeksi yang longgar nyeri pada kulit yang
2. Ketebalan dan rusak
teksture jaringan 4. Hindari kerutan pada 4. Kerutan di tempat tidur
normal tempat tidur dapat menyebabkan
3. Menunjukan nyeri pada kulit yang
pemahaman rusak
dalam proses 5. Jaga kebersihan kulit agar 5. Menjaga integritas kulit
perbaikan kulit tetap bersih dan kering agar tetap bagus
dan mencegah 6. Mobilisasi pasien (ubah 6. Mobilidsasi rutin dapat
terjadinya cidera posisi pasien setiap dua mencegah dekubitus
berulang jam sekali)
4. Menunjukan 7. Oleskan lotion atau 7. Lotion dapat
terjadinya proses minyak baby oil pada melembabkan kulit
penyembuhan daerah yang tertekan.
luka
4. Tujuan : Nutritional Management
Setelah dilakukan 1. Monitor adanya mual dan 1. Mual dan muntah dapat
asuhan keperawatan muntah menjadi data untuk
selama 3x24 jam menentukan status
nutrisi seimbang dan nutrisi
adekuat. 2. Monitor status nutrisi. 2. Mengetahui adanya
gangguan nutrisi pada
Kriteria Hasil: klien
Nutritional Status 3. Monitor adanya 3. Sebagai data penguat
1. Nafsu makan kehilangan berat badan untuk mengetahui
meningkat dan perubahan status adanya gangguan nutrisi
2. Tidak terjadi nutrisi.
penurunan BB 4. Monitor albumin, total 4. Hasil lab dapat menjadi
3. Masukan nutrisi protein, hemoglobin, dan data pendukung
adekuat hematocrit level yang menentukan intervensi
4. Menghabiskan menindikasikan status
porsi makan nutrisi dan untuk
5. Hasil lab normal perencanaan treatment
(albumin, kalium) selanjutnya.
5. Monitor intake nutrisi dan 5. Intake nutrisi yang
kalori klien. adekuat dapat
meningkatkan status
nutrisi
6. Berikan makanan sedikit 6. Makanan sedikit tapi
tapi sering sering dapat
meningkatkan nafsu
makan klien
7. Berikan perawatan mulut 7. Perawatan mulut dapat
sering meningkatkan nafsu
klien
8. Kolaborasi dengan ahli 8. Diet yang sesuai dapat
gizi dalam pemberian diet menyeimbangkan status
sesuai terapi nutrisi klien
9. Monitor masukan 9. Masukan makanan yang
makanan / cairan dan adekuat dapat
hitung intake kalori harian meningkatkan status
nutrisi klien

5 Tujuan: Activity Therapy


Setelah dilakukan 1. Bantu klien untuk 1. Mengetahui tingkat
tindakan keperawata mengidentifikasi aktivitas aktivitas yang mampu
selema 2x24 jam yang mampu dilakukan. dilakukan klien
pasien diharapkan 2. Bantu untuk mendapatkan 2. Alat bantu dapat
masalah intoleransi alat bantuan aktivitas membantu aktivitas
aktivitas dapat seperti kursi roda, krek. klien
teratasi dengan 3. Bantu pasien dan keluarga 3. Kekurangan aktivitas
untuk mengidentivikasi klien dapat menjadi data
Kriteria Hasil : kekurangan dalam untuk menentukan
1. Mampu beraktivitas intervensi yang tepat
melakukan 4. Bantu klien untuk 4. Motivasi diri dapat
aktivitas sehari mengembangkan motivasi meningkatkan
hari (ADLS) diri dan penguat kepercayaan diri klien
secara mandiri 5. Kolaborasikan dengan 5. Terapi yang tepat dapat
2. Berpartipasi tenaga medik dalam meningkatkan kondisi
dalam aktivitas merencanakan program klien
fisik tampa terapi yang tepat.
disertai
peningkatan
tekanan darah,
nadi dan RR
3. Status respirasi :
pertukaran gan
dan ventilasi
adekuat
4. Mampu
berpindah :
dengan atau
tampa bantuan
alat

6. Tujuan : Respiratory Monitoring


Setelah dilakukan 1. Monitor rata – rata, 1. Menjadi data dasar
asuhan keperawatan kedalaman, irama dan dalam menentukan
selama 1x24 jam pola usaha respirasi intervensi yang tepat
nafas adekuat. 2. Catat pergerakan 2. Mengetahui adanya
dada,amati kesimetrisan, gangguan pola nafas
Kriteria Hasil: penggunaan otot klien
Respiratory Status tambahan, retraksi otot
1. Peningkatan supraclavicular dan
ventilasi dan intercostal
oksigenasi yang 3. Monitor pola nafas : 3. Mengetahui adanya
adekuat bradipena, takipenia, gangguan pernafasan
2. Bebas dari tanda kussmaul, hiperventilasi, pada klien
tanda distress 4. Auskultasi suara nafas, 4. Mengetahui adanya
pernafasan catat area penurunan / suara nafas tambahan
3. Suara nafas yang tidak adanya ventilasi dan
bersih, tidak ada suara tambahan
sianosis dan
dyspneu (mampu Oxygen Therapy
mengeluarkan 1. Auskultasi bunyi nafas, 1. Mengetahui adanya
sputum, mampu catat adanya crakles gangguan pola nafas
bernafas dengan klien
mudah, tidak ada 2. Ajarkan pasien nafas 2. Nafas dalam dapat
pursed lips) dalam meningkatkan
4. Tanda tanda vital oksigenasi klien
dalam rentang 3. Atur posisi senyaman 3. Memberikan rasa
normal mungkin nyaman dan rileks
4. Batasi untuk beraktivitas 4. Aktivitas yang
berlebihan dapat
menyebabkan pasien
kelelahan dan dispnea
5. Kolaborasi pemberian 5. Pemberian oksigen
oksigen dapat meningkatkan
oksigenasi klien
Tabel 2.5 NIC (Gloria et al, 2015), NOC (Moorhead, 2016)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Akses Pembuluh Darah, diakses tanggal 20 juni 2018,melalui


<https://www.sahabatginjal.com/penting-bagi-anda/hemodialisis>
Bayhakki. 2013. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta: EGC
Heardman. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017. EGC: Jakarta
Huddak and Gallo 2010, Fahmi 2016. Pengaruh Self Management Dietary Counseling
Terhadap Self Care Dan Status Cairan Pada Pasien Hemodialisa, Tesis,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Ika 2015.Laporan Pendahuluan “Chronic Kidney Disease (CKD)”dilihat 4 Mei 2018,
melalui <http://repository.lppm.unila.ac.id/1391/1/49-54-IKA-A.pdf>
Joy et al (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishig
Kirana 2015. Laporan pendahuluan Asuhan Keperawatan pada pasien Chronic Kidney
Disease diakses pada tanggal 4 mei 2018 melalui
<https://www.academia.edu/31553378/CHRONIC_KIDNEY_DEASES
McAlexcander 2016,Faruq 2017, Upaya Penurunan Volume Cairan Pada Pasien Gagal
Ginjal Kronis, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Oscar 2017,Situasi Penyakit Ginjal Kronikdiakses pada tanggal 25 Mei 2018,
melalui<http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/
infodatin/infodatin%20ginjal%202017.pd>
Sudoyo et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Interna Publishing
Suharyanto, T. Madjid A, 2009.Asuhan Keperewatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan . Jakarta: Penerbit Trans Info Media
Syaifudin. 2011. Anatomi Fisiologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk Keparawatan &
Kebidanan Ed 4 Jakarta: EGC
Wijaya dan Putri. 2017. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Teori dan
Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika
Wilson 2012, Fahmi 2016. Pengaruh Self Management Dietary Counseling Terhadap Self
Care Dan Status Cairan Pada Pasien Hemodialisa, Tesis, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) PADA NY. S

DI RUANG FLAMBOYAN

RSUD UNDATA PALU


DI SUSUN OLEH :
NOVLIN MALOMPA
2022032029

CI LAHAN CI INSTITUSI

Suparmi, STr.Kep.,Ns Ns. Abd.Rahman, S.Kep., MH.Kes


NIP. 197207262003122004 NIK. 890700020

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA
2023

Anda mungkin juga menyukai