Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN RESUME KASUS HEMODIALISA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HEMODIALISA DI


RUANG HEMODIALISA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUMEDANG

Naoval Meilandi Nurjaman


220112160526

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXXIII


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2017
A. Gagal Ginjal Kronik
1. Anatomi dan Fisiologi Ginjal
a. Anatomi Ginjal

Secara normal, manusia memiliki dua ginjal (ginjal kanan dan kiri) setiap ginjal
memiliki panjang 12 cm, lebar 7 cm, dan tebal maksimum 2,5 cm, dan terletak pada
bagian belakang abdomen, posterior terhadap peritoneum, pada cekungan yang
berjalan disepanjang sisi corpus vertebrae. Lemak perinefrik adalah lemak yang
melapisi ginjal. Ginjal kanan terletak agak lebih rendah dari pada ginjal kiri karena
adanya hepar pada sisi kanan. Sebuah glandula adrenalis terletak pada bagian atas
setiap ginjal.
1) Dua ginjal
Sepasang organ keunguan-coklat terletak di bawah tulang rusuk ke arah
tengah punggung. Fungsi mereka adalah untuk menghilangkan limbah cair dari
darah dalam bentuk urin, menjaga keseimbangan stabil garam dan zat lain
dalam darah, dan menghasilkan eritropoietin, suatu hormon yang membantu
pembentukan sel darah merah.
Ginjal menghilangkan urea dari darah melalui unit penyaringan kecil
yang disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari sebuah bola yang dibentuk dari
kapiler kecil darah, yang disebut glomerulus, dan tabung kecil yang disebut
tubulus ginjal. Urea, bersama dengan air dan zat limbah lainnya, membentuk
urin saat melewati nefron dan turun ke tubulus ginjal dari ginjal.
2) Dua ureter
Tabung sempit yang membawa urin dari ginjal ke kandung kemih. Otot
di dinding ureter terus mengencangkan dan rileks memaksa urin ke bawah, jauh
dari ginjal. Jika urin tersumbat, atau diperbolehkan untuk berdiri diam, infeksi
ginjal bisa berkembang. Rentang setiap 10 sampai 15 detik, sejumlah kecil urin
dikosongkan ke kandung kemih dari ureter.
3) kandung kemih
Berbentuk segitiga, organ berongga yang terletak di perut bagian bawah.
Kandung kemih merupakan salah satu organ yang berperan dalam sistem
ekskresi yakni sistem pengeluaran yang berupa urin. Makanan dan minuman
yang masuk kedalam tubuh akan di olah kemudian diserap oleh tubuh. Hasil
sari makanan dan makanan yang berupa padatan akan dikeluarkan melalui anus
berupa feses, sedangkan sari makanan dan minuman yang tidak berguna bagi
tubuh akan di keluarkan melalui saluran kencing berupa urin..
4) Dua otot sfingter
Otot melingkar yang membantu menjaga urin dari kebocoran dengan
menutup erat seperti karet gelang di sekitar pembukaan kandung kemih.
5) Saraf di kandung kemih
Mengingatkan seseorang ketika saatnya untuk buang air kecil, atau
mengosongkan kandung kemih.
6) Uretra
Uretra adalah saluran yang menghubungkan kantung kemih ke
lingkungan luar tubuh. Uretra berfungsi sebagai saluran pembuang baik pada
sistem kemih atau ekskresi dan sistem seksual. Pada pria, berfungsi juga dalam
sistem reproduksi sebagai saluran pengeluaran air mani.
b. Fungsi Ginjal
Fungsi utama ginjal terbagi menjadi :
1. Fungsi Ekskresi
Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan
mengubah ekskresi air.
Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan
H+ dan membentuk kembali (HCO3)+
Mempertahankan kadar masing-masimg elektrolit plasma dalam renntang
normal.
Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein terutama
urea, asam urat dan kreatinin.
Mengekskresikan berbagai senyawa asing, seperti : obat, pestisida, toksin,
& berbagai zat eksogen yang masuk kedalam tubuh.
2. Fungsi Non Ekskresi
Menghasilkan renin yang penting untuk mengatur tekanan darah
Menghasilkan kalikrein, suatu enzim proteolitik dalam pembentukan kinin,
yang merupakan suatu vasodilator.
Menghasilkan eritropoietin yaitu suatu faktor yang penting dalam stimulasi
produk sel darah merah oleh sumsum tulang.
Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
Sintesis glukosa dari sumber non-glukosa (glukoneogenesis) saat puasa
berkepanjangan.
Menghancurkan/menginaktivasi berbagai hormon, seperti : Angiotensin II,
glukagon, insulin dan paratiroid.
Degradasi insulin.
Menghasilkan prostaglandin.
2. Pengertian Gagal Ginjal Kronik
PGK adalah bila ginjal mengalami penurunan fungsi laju filtrasi glomerulus
dibawah 60 mL/min/1.73m dengan atau tanpa kerusakan ginjal (NKF DOQI, 2002).
Penyakit Ginjal Kronik menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes
(KDIGO) adalah abnormalitas fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3
bulan dengan implikasi pada kesehatan yang ditandai dengan adanya satu atau lebih
tanda kerusakan ginjal.seperti yang terdapat pada Tabel di bawah ini (KDIGO, 2013).
3. Etiologi Gagal Ginjal Kronik
Penyebab PGK menurut National Kidney Foundation / NKF (2010) adalah :
Diabetes militus dan Hipertensi
Diabetes militus menyebabkan kerusakan pada banyak organ dan otot dalam tubuh,
termasuk ginjal dan jantung, serta pembuluh darah, saraf, dan mata karena kadar
gula yang melebihi kadar normal. Hipertensi yang tidak dikontrol dengan baik, bisa
menjadi penyebab serangan jantung, stroke dan PGK.
Glomerulonefritis
Glomerulonefritis menyebabkan peradangan dan kerusakan unit penyaringan
ginjal. Glomerulonefritis dan nefritis interstitial merupakan penyebab ketiga
penyakit gagal ginjal kronis.
Polikistik Ginjal
Polikistik ginjal merupakan penyakit ginjal bawaan sejak lahir yaitu kelainan
pembuluh darah ginjal. Keadaan ini mengakibatkan kista pada ginjal yang akan
merusak jaringan disekitarnya.
Lupus.
Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE),
yaitu ketika penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal
manusia.
Malformasi pada saluran perkemihan
Adanya sumbatan karena tumor, batu ginjal atau sumbatan karena ada pembesaran
kelenjar prostat pada pria
Infeksi kronik dari traktus urinariusyang berulang.
Etiologi lainnya menurut (price,1995)

Infeksi seperti pielonefritis kronik.


Penyakit metabolik seperti diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme, dan
amiloidosis.
Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri renalis.
Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit polikistik ginjal, dan asidosis
tubulus.
4. Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes mellitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan
riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga
(National Kidney Foundation, 2009).
5. Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi
Pitting edema
Edema periorbital
Pembesaran vena leher
Friction sub pericardial
b. Sistem Pulmoner
Krekel
Nafas dangkal
Kusmaull
Sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal
Anoreksia, mual dan muntah
Perdarahan saluran GI
Ulserasi dan pardarahan mulut
Nafas berbau amonia
d. Sistem muskuloskeletal
Kram otot
Kehilangan kekuatan otot
Fraktur tulang
e. Sistem Integumen
Warna kulit abu-abu mengkilat
Pruritis
Kulit kering bersisik
Ekimosis
Kuku tipis dan rapuh
Rambut tipis dan kasar
f. Sistem Reproduksi
Amenore
Atrofi testis
6. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik
Menurut Brunner dan Suddarth (2002), Slamet Suyono (2001) dan Sylvia A.
Price, (2000) adalah sebagai berikut : Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis
kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel dari berbagai penyebab diantaranya
infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskular hipertensif, gangguan jaringan
penyambung, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik (DM,
Hipertiroidisme), Nefropati toksik (penyalahgunaan analgesik), nefropati obstruktif
(saluran kemih bagian atas dan saluran kemih bagian bawah).
Pada saat fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein yang
normalnya di ekskresikan kedalam urine menjadi tertimbun didalam darah, sehingga
terjadinya uremia dan mempengaruhi sistem sistem tubuh, akibat semakin banyaknya
tertimbun produk sampah metabolik, sehingga kerja ginjal akan semakin berat.
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dan penurunan jumlah
glomeruli yang dapat menyebabkan penurunan klirens. Substansi darah yang
seharusnya dibersihkan, tetapi ginjal tidak mampu untuk memfiltrasinya. Sehingga
mengakibatkan kadar kreatinin serum, nitrogen, urea darah (BUN) meningkat. Ginjal
juga tidak mampu mengencerkan urine secara normal. Sehingga tidak terjadi respon
ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehingga terjadi
tahanan natrium dan cairan. (Brunner & Suddarth, 2002).
Asidosis metabolik dapat terjadi karena ketidakmampuan ginjal
mengekspresikan muatan asam yang berlebihan terutama amoniak (NH3) dan
mengabsorpsi bikarbonat.
Anemia, terjadi akibat berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga
rangsangan eritropoisis pada sumsum tulang menurun, hemolisis akibat berkurangnya
masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, defisiensi besi, asam folat dan lain-
lain akibat nafsu makan yang berkurang, perdarahan paling sering pada saluran cerna
dan kulit. (Slamet Suyono, 2001)
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat terjadi karena gangguan dalam
metabolismenya. Dengan menurunnya filtrasi glomerulus dapat mengakibatkan
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Sehingga
menyebabkan perubahan bentuk tulang. Penyakit tulang dan penurunan metabolisme
aktif vitamin D karena terjadi perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan
parathormon sehingga menyebabkan osteodistrofi (penyakit tulang uremik)
7. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Tahapan Penyakit Ginjal Kronik (NKF DOQI, 2002; Levey,dkk., 2007)
Tahap 1 : Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau GFR > 90ml/min/1.73m2.
Tahap 2 : Kerusakan ginjal ringan dengan GFR 60- 89ml/min/1.73m2
Tahap 3 : Kerusakan ginjal sedang dengan GFR 30- 59ml/min/1.73m2.
Tahap 4 : Kerusakan ginjal berat dengan GFR 15- 29ml/min/1.73m2.
Tahap 5 : Gagal ginjal, GFR <15ml/min/1.73m2. Tahap ini sering disebut End Stage
Renal Disease (ESRD) dan perlu tindakan hemodialisis.
Sedangkan menurut (KDIGO, 2013) ada 6 stage pada penyakit gagal ginjal kronik
yaitu:
Untuk menilai LFG dapat digunakan dengan rumus :

( ) ( )
Clearance creatinin ( ml/ menit ) =

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

8. Komplikasi Gagal Ginjal Kronik


Komplikasi dari chronik kidney disease yaitu : hiperkalemia perikarditis, efusi
perikardial, hipertensi, anemia dan penyakit tulang.
9. Pemeriksaan Diagnostik Gagal Ginjal Kronik
a. Urine
Volume : Biasanya kurang dari 400ml/jam (oliguria) atau urine
tak ada (anuria).
Warna : Secara normal urine mungkin disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan
adanya darah Hb, miglobin, porfirin
Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
tubular, rasio urine:ureum sering 1:1.
Kliren kreatinin : Mungkin agak menurun.
Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsopsi natrium.
Protein : Derajat tinggi proteinuria (3 - 4+) secara kuat
menunjukkan kerusakan glumerulus bila SDM dan fregmen juga ada.
b. Darah
BUN/kreatinin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi.kadar
kreatinin 10mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
Hitung darah lengkap : Ht : menurun pada anemia. Hb biasanya kurang dari 7-
8 g/dL.
SDM : Waktu hidup menurun pada defesiensi eritropoetin seperti pada
azotemia.
GDA: pH; penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen dan amonia atau
hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2 menurun.
Natrium serum : Mungkin rendah (bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukkan status dilusi hipernatremia)
Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
selular (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolysis SDM). Pada tahap akhir,
perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5mEq atau lebih besar.
Magnesium: Fosfat meningkat
Kalsium : Menurun
Protein (khuusnya albumin): Kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan,
atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
c. Osmolalitas serum : Lebih besar dari 285 mosm/kg; sering sama dengan urine.
d. Ultrasono ginjal: Menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas.
e. Biopsi Ginjal: Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk mementukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis
f. Endoskopi ginjal: Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
g. EKG: Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan.elektrolit dan asam
basa.
h. KUB foto: Menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan adanya
obstruksi (batu).
i. Arteriogram ginjal: Mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi ekstravaskuler,
massa.
j. Pielogram retrograde: Menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
k. Sistouretrogram berkemih: Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluk kedalam
ureter, retensi. (Doenges, 1999)
10. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostatis
selama mungkin. Pengobatan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 2 tahap yaitu
tindakan konservatif dan dialisis atau transplantasi ginjal (Nursalam, 2011; IPD, 2007).
1. Tindakan Konservatif
Tujuannya adalah untuk meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal
progesif. Pengobatannya, meliputi:
a. Pengaturan diet protein, Kalium, Natrium, dan cairan.
Pembatasan Protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga
mengurangi asupan Kalium dan Fosfat, serta mengurangi produksi ion
hidrogen yang berasal dari protein. Pembatasan asupan protein telah terbukti
menormalkan kembali kelainan ini dan memperlambat terjadinya gagal
ginjal (Zeller dan Jacobus, 1989).
Pembasatasan protein berdasarkan nilai GFR (Nursalam & Fransisca, 2008)

LFG ml/mnt Pembatasan protein (g)


10 40
5 25-30
3 atau < 20 20

Jumlah kebutuhan protein biasanya dilebihkan sampai 60-80 g/hari, apabila


penderita mendapatkan pengobatan dialisis teratur.
Pembasatasan protein dan fosfat berdasarkan nilai GFR (IPD, 2007)
LFG ml/mnt Asupan protein (g/kg/hari) Fosfat (g/kg/hari)
> 60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8 kg/hari, termasuk 10 g
0,35 gr/kg/hari nilai biologi
tinggi.
5-25 0,6-0,8 kg/hari, termasuk 10 g
0,35 gr/kg/hari nilai biologi
tinggi atau tambahan 0,3
asam amino esensial atau
asam keton.
< 60 0,8 kg/hari (+ 1 gr protein/g 9 g
(Sindrom Nefrotik) proteinuria atau 0,3 g/kg
tambahan asam amino
esensial atau asam keton)
Diet Rendah Kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan
Kalium dikurangi. Diet yang dianjurkan adala 40-80 mEq/hari. Penggunaan
makanan dan obat-obatan yang tinggi kadar Kaliumnya dapat menyebabkan
Hiperkalemia.
Diet Rendah Natrium
Diet Na yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 gNa). Asupan Natrium
yang terlalu berlebihan dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer,
edema paru, hipertensi, dan gagal ginjal kongestif.
Pengaturan Cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi
dengan seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asuoan dan
pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan
harian.
Asupan yyang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan
dan edema. Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi,
hipotensi dan gangguan fungsi ginjal. Aturan yang dipakai untuk
menentukan banyaknya asupan cairan adalah:

Jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir+500 ml (IWL)

Misalnya: jika jumlah urin yang dikeluarkan dalam waktu 24 jam adalah 400
ml, maka asupan cairan total dalam sehari adalah 400 ml+500 ml = 900 ml.

b. Pencegahan dan Pengobatan Komplikasi


1) Hipertensi
Hipertensi dapat dikontrol dengan pembatasan Natrium dan Cairan.
Pemberian obat abtihipertensi: metildopa (aldomet), propranolol,
klonididn (catapres).
Apabila penderita sedang mengalami terapi hemodialisa, pemberian
antihipertensi dihentikan karena dapat mengakibatkan hipotensi dan
syok yang diakibatkan oleh keluanya cairan intravaskuler melalui
ultrafiltrasi.
Pemberian diuretik: furosemid (Lasix)
2) Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan komplikasi yang paling serius, karena bila K+
serum mencapai 7 mEq/L dapat menyebabkan aritmia dan henti jantung.
Hiperkalemia dapat diatasi dengan pemberian gluosa dan insulin intravena
yang akan memasukkan K+ ke dalam sel atau dengan pemberian Kalsium
Glukonat 10%.

3) Anemia
Anemia pada GGK diakibatkan penurunan sekresi eritropoeitin oleh ginjal.
Pengobatannya adalah pemberian hormon eritropoeitin yaitu rekombinan
eritropoeitin (r-EPO) (Eschbach et al, 1987), selain dengan pemberian
vitamin dan asam folat, besi dan tranfusi darah.

4) Asidosis
Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO3- plasma turun dibawah
angka 15 mEq/L. Bila asidosis berat akan dikoreksi dengan pemberian Na
HCO3- (Natrium Bikarbonat) parenteral. Koreksi Ph darah yang berlebihan
dapat mempercepat timbulnya tetani, maka harus dimonitor dengan
seksama.
5) Diet rendah Fosfat
Diet rendah Fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat Fosfat di
dalam usus. Gel yang dapat mengikat Fosfat dimakan bersama dengan
makanan.
6) Pengobatan Hiperurisemia
Obat pilihan untu mengobati hiperurisemia pada penyakit ginjal lanjut
adalh pemberian alopurinol. Obat ini mengurangi kadar asam urat dengan
menghambat biosintesis sebagian asam urat total yang dihasilkan tubuh.

2. Dialisis dan transplantasi


Pengobatan gagal ginjal stadium akhir adalah dialisis dan transplantasi
ginjal. Dialisis dapat digunakan untuk mempertahankan penderita dalam keadaan
klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal.
Dialisis dilakukan apabila kadar kreatinin serum biasanya > 6 mg/100 ml
pada laki-laki atau 4 ml/100 ml pada wanita dan GFR < dari 4 ml/menit.
Ada dua teknik utama yang digunakan dalam dialisis, yaitu Hemodialisis dan
dialisis peritoneal. Prinsip dasar kedua teknik itu sama yaitu difusi zat terlarut dan
air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons terhadap perbedaan konsentrasi
atau tekanan tertentu.

a. Hemodialisa
Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi
ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan
pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi
pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).

Skema Mekanisme Kerja Hemodialisis


(Bieber dan Himmelfarb, 2013)

Terapi hemodialisa merupakan teknologi tinggi sebagai terapi


pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolism atau racun tertentu dari
peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin,
asam urat dan zat-zat lain melalui membrane semi permeable sebagai pemisah
darah dan cairan dialist pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis
dan ultra filtrasi (Brunner & Suddart, 2001)
Tujuan dari hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang
toksik dari dalam darah pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan
dan kemudian dikembalikan ketubuh pasien. Ada tiga prinsip yang mendasari
kerja hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Bagi penderita gagal
ginjal kronis, hemodialisa akan mencegah kematian. Namun demikian,
hemodialisa tidak menyebabkan penyembuhan atau pemulihan penyakit ginjal
dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin
yang dilaksanakan ginjal dan tampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap
kualitas hidup pasien (Cahyaningsih, 2009).

a) Indikasi
Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K
>6,5 mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.
Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien
yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis
dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di
bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
b) Kontra Indikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal,
dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra
indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler
pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan
koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah
penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis
hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).

c) Komplikasi
1. Komplikasi Akut
Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan,
terapi anti hipertensi, infark jantung,
tamponade, reaksi anafilaksi
Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi
yang tidak adekuat
Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung,
heparin, besi, lateks
Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan
cairan yang terlalu cepat, obat anti
aritmia yang terdialisis
Kram otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan
elektrolit
Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis disequilibirium Perpindahan osmosis antara intrasel
dan ekstrasel menyebabkan sel
menjadi bengkak, edema serebral.
Penurunan konsentrasi urea plasma
yang terlalu cepat
Kontaminasi bakteri/ Demam, mengigil, hipotensi oleh
endotoksin karena kontaminasi dari dialisat
maupun sirkuti air

2. Komplikasi Kronik
Penyakit Jantung
Malnutrisi
Hipertensi
Anemia
Renal osteodystrophy
Neurophaty
Disfungsi reproduksi
Gangguan perdarahan
Infeksi
Amiloidosis
Acquired cystic kidney disease
(Bieber dan Himmelfarb, 2013)
b. Dialisis peritoneal
Peritoneal dialisis merupakan salah satu tipe dialisis, dimana darah dibersihkan
di dalam tubuh. Dokter akan melakukan pembedahan untuk memasang akses
berupa catheter di dalam abdomen penderita. Pada saat tindakan, area abdominal
pasien akan secara perlahan diisi oleh cairan dialisat melalui catheter. Ada dua
macam peritoneal dialysis yaitu continous peritoneal dialysis (CAPD) dan
Continonus Cycling Peritoneal Dialysis (CCPD). Untuk Indonesia CAPD lebih
lazim digunakan daripada CCPD. Pada CAPD penderita melakukan sendiri
tindakan medis tanap bantuan mesin dan biasanya berlangsung 4 kali sehari
masing masing selama 30 menit.
c. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi penggantian ginjal yang melibatkan
pencangkokan ginjal dari orang hidup atau mati kepada orang yang
membutuhkan. Transplantasi ginjal menjadi terapi pilihan untuk sebagian
besar pasien dengan gagal ginjal dan penyakit ginjal stadium akhir.
Transplantasi ginjal menjadi pilihan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Ginjal transplan biasanya tidak ditempatkan di tempat asli ginjal yang sudah
rusak, kebanyakan difossa iliaka, sehingga diperlukan pasokan darah yang
berbeda, seperti arteri renalis yang dihubungkan ke arteri iliaka
eksterna dan vena renalis yang dihubungkan ke vena iliaka eksterna.
Terdapat sejumlah komplikasi (penyulit) setelah transplantasi, seperti rejeksi
(penolakan), infeksi,sepsis, gangguan proliferasi limfa pasca-transplantasi,
ketidakseimbangan elektrolit, dsb.
Donor Ginjal
Untuk transplantasi ginjal, ada dua jenis donor yaitu donor yang masih hidup
dan donor yang sudah meninggal. Donor yang masih hidup biasanya berasal
dari anggota keluarga atau teman dekat. Sedangkan ginjal dari donor yang sudah
meninggal berasal dari seseorang yang sudah meninggal namun memiliki ginjal
yang sehat. Untuk ginjal yang berasal dari donor yang sudah meninggal
biasanya akan ada daftar tunggu karena lebih banyak pasien yang membutuhkan
daripada ginjal yang tersedia.
Kecocokan
Meskipun sudah ada ginjal yang berasal dari donor baik yang masih hidup atau
sudah meninggal, namun masih diperlukan kecocokan antara pasien dan donor.
Ginjal donor harus cocok dengan jenis darah dan jaringan tubuh penerima ginjal
(pasien). Beberapa tes dan pemeriksaan kesehatan harus dilakukan baik pada
pasien maupun donor potensial untuk menentukan apakah ginjal akan cocok
atau tidak.

Gambar: Ginjal donor biasanya ditempatkan lebih rendah daripada lokasi


anatomisnya yang normal.
3. Pencegahan
Pencegahan kerusakan ginjal dan mengubah perjalanan penyakit juga tidak kalah
pentingnya melalui terapi sejak awal dan pengawasan progresifitas penyakit.
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
pemaparan terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit ginjal
(pencegahan paparan infeksi, konseling genetik, pencegahan obesitas, dan lain
- lain).
Pencegahan sekunder dilakukan dengan menjaga agar progresifitas CKD tidak
terus berlanjut dengan penanganan yang tepat pada setiap stadium CKD.
Pencegahan tersier difokuskan pada penundaan komplikasi jangka panjang,
disabilitas atau kecacatan akibat CKD melalui terapi penggantian ginjal
(dialysis atau transplantasi ginjal). (Mahesa, 2010)
DAFTAR PUSTAKA

Aru, dkk. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam: FKUI

Baughman, Diane C. (2002). Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku Dari Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC

Doenges, M. E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

K/DOQI. (2006). Clinical Practice Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agent in


Chronic Kidney Disease.

KDIGO. (2013). Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic
Kidney Disease. Kid Int Supplements.

Lubis. H. R., d. (2008). In Hipertensi dan Ginjal. Medan: USU Press.

Mahessa, D.R. (2010). Penyakit Ginjal Kronis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran.

Muttaqin, Arif. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba
Medika.

Nursalam, & Fransisca. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Reeves, dkk. (2001). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika

Smeltzer. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Suwitra, K. (2006). In Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Sudoyo, A.W.,dkk.,Editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Departeman Ilmu
Penyakit Dalam FK-UI.

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Wilkinson, Judith M. (2011). Buku saku diagnosa keperawatan: diagnosis NANDA. Jakarta.
EGC

Anda mungkin juga menyukai