Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWAT DARURATAN

KETOASIDOSIS DIABETIK
Untuk memenuh tugasi mata kuliah Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Non-
Trauma
Yang dibina oleh Ibu Sulastiyawati,S.Kep, Ns, M.Kep

Oleh Kelompok 6 :
1. Cintia Tri Wulandari (1601470055)
2. Nino Kharisma Wildan (1601470056)
3. Muhammad Gusti Agung M. (1601470059)
4. Rizky Sulton Najib (1601470072)
5. Nurul Istiqomah (1601470086)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES MALANG
2019
KATA PENGANTAR

Bismillahhirrahmanirrohim
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kenikmatan
kepada penulis khususnya dan umumnya kepada kita semua, karena berkat rahmad
dan hidayah-NYA penulis dapat menyelesaikan makalah ini , shalawat serta salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada junjungan kita yakni Nabi Muhammad
SAW.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dosen yang
telah membimbing didalam penyusunan makalah ini yang berjudul “ASUHAN
KEPERAWATAN KEGAWAT DARURATAN KETOASIDOSIS DIABETIK“.
Materi ini bersumber dari berbagai sumber dari bacaan yang insyaallah tersusun
dengan sistematis dan ringkas, sehingga mudah untuk dipahami dan dimengerti.

Penulis menyadari sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, tentunya


makalah memiliki kesalahan dan kekurangan . Dengan demikian saran dan kritik
yang membangun penulis harapkan demi perbaikan dan kebaikan makalah ini
untuk kedepananya. Semoga materi yang terkait didalamnya dapat bermanfaat
untuk kita semua. Amin ya rabbal’alamin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Malang, 13 Agustus 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah ............................................................................ 1
2.1 Tujuan Penulisan ....................................................................................... 1
3.1 Manfaat Penulisan ..................................................................................... 1

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Ketoasidosis Diabetik…………………………………………..2
2.2 Etiologi KAD ............................................................................................ 2
2.3 Klasifikasi..............................................................................................….3
2.4 Insidensi .................................................................................................... 7
2.5 Prognosis Penyakit…………………………………………………...…..8
2.6 Tanda dan Gejala…………………………………………………………9
2.7 Faktor Resiko……………………………………………………..............
2.8 Pemeriksaan Penunjang…………………………………………..............
2.9 Komplikasi………………………………………………………..............
2.10 Tata Laksana…………………………………………………………….

BAB III : Tinjauan Kasus


Kasus…………………………………………………………………………

BAB IV : Pembahasan
Pembahasan

BAB V : Penutup
5.1 Kesimpulan .............................................................................................
5.2 5.2 Saran ..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolic yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relative. KAD adalah komplikasi
akut metabolic diabetes mellitus yang paling serius dan mengancam jiwa.
Keadaa tersebut dapat terjadi pada Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan tipe 2,
akan tetapi KAD sering dijumpai pada DM tipe 1. KAD mungkin merupakan
manifestasi awal dari DM tipe1 ataumungkin merupakan akibat dari peningkatan
kebutuhan insulin padaDM tipe1 pada keadaan infeksi,trauma,infark miokard,
atau kelainan lainnya. Ketoasidosis diabetic (KAD) adalah suatu kondisi gawat
darurat yang merupakan komplikasi dari diabetis mellitus dengan tanda
hiperglikemia, asidosis dan ketosis.
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa
insiden KAD sebesar 8/1000 pasien DM pertahun untuk semua kelompok umur,
sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4/1000
pasien DM per tahun. Sumber lain menyebutkan insiden KAD sebesar 4,6 –
8/1000 pasien DM pertahun. 4,5 KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih
dari 100.000 pasien yang dirawat per tahun di Amerika Serikat. Walaupun data
komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak
sebanyak di Negara barat, mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah.
Laporan insiden KAD di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit dan
terutama pada pasien DM tipe2.

Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada
banyak senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%. 2 – 10%⁵ atau 9 –
10%. Sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut
angka kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi
pada beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark
miokard akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang
tinggi, uremia dan kadar keasaman darah yang rendah. Kematian pada pasien
KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan
yang tepat dan rasional sesuai dengan patofisiologinya. Pada pasien kelompok
usia lanjut, penyebab kematian lebih sering dipicu oleh factor penyakit
dasarnya.
KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan
peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis
merupakan akibat dari kekurangan atau inefektiftas insulin yang terjadi
bersamaan dengan peningkatan hormone kontra regulator (glukagon,
katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut mengakibatkan
perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisis dan
produksi benda keton. Selanjutnya keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang
tinggi menyebabkan diuresis osmotic yang akan mengakibatkan hipovolemia
dan penurunan glomerular filtration rate. Keadaan yang terakhir akan
memperburuk hiperglikemia.
KAD dapat terjadi beberapa kali pada pasien diabetes atau yang disebut
sebagai KAD berulang. Kejadian KAD akan selalu memiliki kemungkinan untuk
terjadiya komplikasi, baik komplikasi akibat KAD maupun terapi untuk KAD.
Komplikasi akan menambah beban penyakit pasien lebih lanjut. KAD yang
berulang juga akan menambah jumlah perawatan yang memperberat biaya
yang harus dikeluarkan.
Mengingat pentingnya penatalaksanaan, pengobatan rasional dan tepat
untuk menghindari kematian pada pasien KAD, maka tulisan ini akan
membicarakan tentang penatalaksanaan KAD disertai dengan komplikasi
akibat penatalaksanaannya.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui penatalaksanaan Ketoasidosis diabetik (KAD)

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi komplikasi dari Ketoasidosis diabetik (KAD)

b. Menganalisa resiko dari Ketoasidosis diabetik (KAD)


1.3 Manfaat Penulisan
Hasil penulisa ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi mahasiswa

lain dibidang keperawatan tentang komplikasi serta resiko dari Ketoasidosis diabetik

(KAD).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Ketoasidosis Diabetik
KAD adalah suatu keadaan darurat akibat berkurangnya insulin absolut atau
relatif yang disertai dengan meningkatnya kadar hormonhormon counter
regulatory (katekolamin, glukagon, kortisol dan hormon pertumbuhan). Adapun
tanda- tanda dari KAD adalah hiperglikemia dengan gula darah > 200mg/dl, PH
< 7,3, bikarbonat < 15 mmol/l, disertai dengan adanya ketonemia dan ketonuria.
(Soewondo, 2006 dan Gotera, 2011).
Penderita KAD membutuhkan rehidrasi yang sesuai dan pemberian
insulin drip untuk mengoreksi asidosis dan menghilangkan ketosis.
Keterlambatan atau kesalahan dalam penatalaksanaan pasien KAD bisa
mengakibatkan terjadinya edema serebri yang kalau tidak ditangani dengan baik
dapat menyebabkan terjadinya kematian.
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes melitus
yang serius, suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi. KAD
memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat, mengingat angka kematiannya
yang tinggi. Pencegahan merupakan upaya penting untuk menghindari
terjadinya KAD.
Ketoasidosis diabetik merupakan akibat dari defisiensi berat insulin dan
disertai gangguan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Keadaan ini
terkadang disebut “akselerasi puasa” dan merupakan gangguan metabolisme
yang paling serius pada diabetes ketergantungan insulin.
2.2Etiologi
Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM) atau diabetes melitus
tergantung insulin disebabkan oleh destruksi sel B pulau langerhans akibat
proses autoimun. Sedangkan non insulin dependen diabetik melitus (NIDDM)
atau diabetes melitus tidak tergantung insulin disebabkan kegagalan relatif sel B
dan resistensi insulin. Resistensu insulin adalah turunnya kemampuan insulin
untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel B tidak mampu mengimbangi
resistensi insulin ini sepenuhnya. Artinya terjadi defisiensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada
perangsangan sekresi insulin, berarti sel B pankreas mengalami desensitisasi
terhadap glukosa.
Ketoasidosis diabetik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu akibat
hiperglikemia dan akibat ketosis, yang sering dicetuskan oleh faktor-faktor :
1. Infeksi
2. Stress fisik dan emosional; respons hormonal terhadap stress mendorong
peningkatan proses katabolik . Menolak terapi insulin

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM American Diabetes Assosiation (1997) sesuai anjuran
perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah :
1. Diabetes tipe 1 (destruksi sel B ), umumnya menjurus ke definisi insulin
absolut :
 Autoimun
 Idiopatik
2. Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai terutama dominan risestensi insulin
disertai definisi insulin relatif sampai terutama defek sekresi insulin
disertai resistensi insulin)
3. Diabetes tipe lain
a. Defek generik fungsi sel B
 Maturity Onset Diabetes Of The Young (MODY) 1,2,3
 DNA mitokondria
b. Defek generik kerja insulin
c. Penyakit eksoskrin pankreas
 Pankreastitis
 Tumor / pankreatektomi
 Pankreatopati fibrokalkulus
d. Endokrinopati : Akromegali, Syndrom Cushing, Feokromositoma dan
hipertiroidisme.
e. Karena obat / zat kimia.
 Vacor, pentamidin, asam nikotinat
 Glukokortikoid, hormon tiroid
 Tiazid, dilatin, interferon α, dll.
f. Infeksi : Rubela kongenital, sitomegalovirus.
g. Penyebab imunologi yang jarang ; antibodi ; antiinsulin.
h. Syndrom generik lain yang berkaitan dengan DM : Sindrom Down,
Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner, dll.
i. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)

2.4 Insidensi
Secara umum di dunia terdapat 15 ka-sus per 100.000 individu pertahun
yang men-derita DM tipe 1. Tiga dari 1000 anak akan menderita IDDM pada
umur 20 tahun nantinya. Insiden DM tipe 1 pa-da anak-anak di dunia tentunya
berbeda. Terdapat 0.61 kasus per 100.000 anak di Cina, hingga 41.4 kasus per
100.000 anak di Finlandia. Angka ini sangat ber-variasi, terutama tergantung
pada ling-kungan tempat tinggal. Ada kecenderung-an semakin jauh dari
khatulistiwa, angka kejadiannya akan semakin tinggi. Meski belum ditemukan
angka kejadian IDDM di Indonesia, namun angkanya cenderung le-bih rendah
dibanding di negara-negara eropa.
Lingkungan memang mempengaruhi ter-jadinya IDDM, namun berbagai
ras da-lam satu lingkungan belum tentu memi-liki perbedaan. Orang-orang kulit
putih cende-rung memiliki insiden paling tinggi, se-dangkan orang-orang cina
paling rendah. Orang-orang yang berasal dari daerah de-ngan insiden rendah
cenderung akan le-bih berisiko terkena IDDM jika bermigrasi ke daerah
penduduk dengan insiden yang lebih tinggi. Penderita laki-laki lebih ba-nyak
pada daerah dengan insiden yang ting-gi, sedangkan perempuan akan lebih
be-risiko pada daerah dengan insiden yang rendah.
Secara umum insiden IDDM akan me-ningkat sejak bayi hingga mendekati
pu-bertas, namun semakin kecil setelah pu-bertas. Terdapat dua puncak masa
kejadian IDDM yang paling tinggi, yakni usia 4-6 tahun serta usia 10-14 tahun.
Ka-dang-kadang IDDM juga dapat terjadi pa-da tahun-tahun pertama
kehidupan, mes-ki-pun kejadiannya sangat langka. Diag-no-sis yang telat
tentunya akan menimbul-kan kematian dini. Gejala bayi dengan IDDM ialah
napkin rash, malaise yang ti-dak jelas penyebabnya, penurunan berat ba-dan,
senantiasa haus, mun-tah, dan de-hidrasi.
Insulin merupakan kom-ponen vital da-lam metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein. In-su-lin menurunkan kadar glu-ko-sa darah dengan ca-ra
memfasilitasi ma-suk-nya glukosa ke dalam sel, terutama otot serta
mengkonversi glukosa menjadi glikogen (glikoge-nesis) sebagai cadangan
energi. Insulin juga menghambat pe-le-pas-an glukosa dari glikogen hepar
(gli-ko-ge-nolisis) dan memperlambat pemecah-an lemak menjadi tri-gliserida,
asam lemak be-bas, dan keton. Selain itu, insulin juga menghambat
pe-mecahan protein dan le-mak untuk memproduksi glukosa (glukoneogenesis)
di he-par dan ginjal. Bisa di-ba-yangkan betapa vitalnya peran insulin da-lam
metabolisme.
Defisiensi insulin yang dibiarkan akan menyebabkan tertumpuknya
glukosa di da-rah dan terjadinya glukoneogenesis te-rus-menerus sehingga
menyebabkan ka-dar gula darah sewaktu (GDS) meningkat drastis. Batas nilai
GDS yang sudah di-ka-te-gorikan sebagai diabetes mellitus ialah 200 mg/dl atau
11 mmol/l. Kurang dari itu dikategorikan normal, sedangkan ang-ka yang lebih
dari itu dites dulu dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) untuk
me-nentukan benar-benar IDDM atau ka-tegori yang tidak toleran terhadap
glu-kosa oral.

2.5 Prognosis Penyakit


Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu
tinggi dan kadar hormon insulin yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak
untuk sumber energi.
Pemecahan lemak tersebut akan menghasilkan benda-benda keton dalam
darah (ketosis). Ketosis menyebabkan derajat keasaman (pH) darah menurun
atau disebut sebagai asidosis. Keduanya disebut sebagai ketoasidosis.
Pasien dengan KAD biasanya memiliki riwayat masukan kalori (makanan)
yang berlebihan atau penghentian obat diabetes/insulin.
2.6 Tanda dan Gejala
Gejala dan tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pasien KAD adalah:
1. Kadar gula darah tinggi (> 240 mg/dl)
2. Terdapat keton di urin
3. Banyak buang air kecil sehingga dapat dehidrasi
4. Sesak nafas (nafas cepat dan dalam)
5. Nafas berbau aseton
6. Badan lemas
7. Kesadaran menurun sampai koma
8. KU lemah, bisa penurunan kesadaran
9. Polidipsi, poliuria
10. Anoreksia, mual, muntah, nyeri perut
11. Bisa terjadi ileus sekunder akibat hilangnya K+ karena diuresis osmotik
12. Kulit kering
13. Keringat <<<
14. Kussmaul ( cepat, dalam ) karena asidosis metabolik

2.7 Faktor Resiko yang dapat menyebabkan KAD


 Infeksi, stres akut atau trauma
 Penghentian pemakaian insulin atau obat diabetes
 Dosis insulin yang kurang

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
 Glukosa.
Kadar glukosa dapat bervariasi dari 300 hingga 800 mg/dl. Sebagian pasien
mungkin memperlihatkan kadar gula darah yang lebih rendah dan sebagian
lainnya mungkin memiliki kadar sampai setinggi 1000 mg/dl atau lebih yang
biasanya bergantung pada derajat dehidrasi.
Harus disadari bahwa ketoasidosis diabetik tidak selalu
berhubungan dengan kadar glukosa darah. Sebagian pasien dapat
mengalami asidosis berat disertai kadar glukosa yang berkisar dari 100 –
200 mg/dl, sementara sebagian lainnya mungkin tidak memperlihatkan
ketoasidosis diabetikum sekalipun kadar glukosa darahnya mencapai 400-
500 mg/dl.
 Natrium.
Efek hiperglikemia ekstravaskuler bergerak air ke ruang intravaskuler. Untuk
setiap 100 mg / dL glukosa lebih dari 100 mg / dL, tingkat natrium serum
diturunkan oleh sekitar 1,6 mEq / L. Bila kadar glukosa turun, tingkat
natrium serum meningkat dengan jumlah yang sesuai.
 Kalium.
Ini perlu diperiksa sering, sebagai nilai-nilai drop sangat cepat dengan
perawatan. EKG dapat digunakan untuk menilai efek jantung ekstrem di
tingkat potasium.
 Bikarbonat.
Kadar bikarbonat serum adalah rendah, yaitu 0- 15 mEq/L dan pH yang rendah
(6,8-7,3). Tingkat pCO2 yang rendah ( 10- 30 mmHg) mencerminkan
kompensasi respiratorik (pernapasan kussmaul) terhadap asidosisi
metabolik. Akumulasi badan keton (yang mencetuskan asidosis)
dicerminkan oleh hasil pengukuran keton dalam darah dan urin. Gunakan
tingkat ini dalam hubungannya dengan kesenjangan anion untuk menilai
derajat asidosis.
 Sel darah lengkap (CBC).
Tinggi sel darah putih (WBC) menghitung (> 15 X 109 / L) atau ditandai
pergeseran kiri mungkin menyarankan mendasari infeksi.
 Gas darah arteri (ABG).
pH sering <7.3. Vena pH dapat digunakan untuk mengulang pH measurements.
Brandenburg dan Dire menemukan bahwa pH pada tingkat gas darah vena
pada pasien dengan KAD adalah lebih rendah dari pH 0,03 pada ABG.
Karena perbedaan ini relatif dapat diandalkan dan bukan dari signifikansi
klinis, hampir tidak ada alasan untuk melakukan lebih menyakitkan ABG.
Akhir CO2 pasang surut telah dilaporkan sebagai cara untuk menilai
asidosis juga.
 Keton.
Diagnosis memadai ketonuria memerlukan fungsi ginjal. Selain itu, ketonuria
dapat berlangsung lebih lama dari asidosis jaringan yang mendasarinya.
 β-hidroksibutirat.
Serum atau hidroksibutirat β kapiler dapat digunakan untuk mengikuti respons
terhadap pengobatan. Tingkat yang lebih besar dari 0,5 mmol / L dianggap
normal, dan tingkat dari 3 mmol / L berkorelasi dengan kebutuhan untuk
ketoasidosis diabetik (KAD).
 Urinalisis (UA)
Cari glikosuria dan urin ketosis. Hal ini digunakan untuk mendeteksi infeksi
saluran kencing yang mendasari.
 Osmolalitas
Diukur sebagai 2 (Na +) (mEq / L) + glukosa (mg / dL) / 18 + BUN (mg / dL) /
2.8. Pasien dengan diabetes ketoasidosis yang berada dalam keadaan
koma biasanya memiliki osmolalitis > 330 mOsm / kg H2O. Jika osmolalitas
kurang dari > 330 mOsm / kg H2O ini, maka pasien jatuh pada kondisi
koma.
 Fosfor
Jika pasien berisiko hipofosfatemia (misalnya, status gizi buruk, alkoholisme
kronis), maka tingkat fosfor serum harus ditentukan.
 Tingkat BUN meningkat.
Anion gap yang lebih tinggi dari biasanya.
 Kadar kreatinin
Kenaikan kadar kreatinin, urea nitrogen darah (BUN) dan Hb juga dapat terjadi
pada dehirasi. Setelah terapi rehidrasi dilakukan, kenaikan kadar kreatinin
dan BUN serum yang terus berlanjut akan dijumpai pada pasien yang
mengalami insufisiensi renal.
Tabel 1. Sifat-sifat penting dari tiga bentuk dekompensasi (peruraian)
metabolik pada diabetes.
Hyperosmolar
non
Diabeticketoacidosis Asidosis
ketoticcom
(KAD) laktat
a
(HONK)
Glukosa
Tinggi Sangat tinggi Bervariasi
plasma
Ketone Ada Tidak ada Bervariasi
Asidosis Sedang/hebat Tidak ada hebat
Dehidrasi Dominan dominan bervariasi
Hiperventilasi Ada Tidak ada ada

Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik untuk ketoasidosis diabetik dapat dilakukan dengan cara:
 Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl).
Biasanya tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar glukosa
meningkat dibawah kondisi stress.
 Gula darah puasa normal atau diatas normal.
 Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
 Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
 Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan
ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada
terjadinya aterosklerosis.

2.9 Komplikasi
Komplikasi dari ketoasidoisis diabetikum dapat berupa:
1. Ginjal diabetik ( Nefropati Diabetik )
Nefropati diabetik atau ginjal diabetik dapat dideteksi cukup dini. Bila
penderita mencapai stadium nefropati diabetik, didalam air kencingnya
terdapat protein. Dengan menurunnya fungsi ginjal akan disertai naiknya
tekanan darah. Pada kurun waktu yang lama penderita nefropati diabetik
akan berakhir dengan gagal ginjal dan harus melakukan cuci darah. Selain
itu nefropati diabetik bisa menimbulkan gagal jantung kongesif.
2. Kebutaan ( Retinopati Diabetik )
Kadar glukosa darah yang tinggi bisa menyebabkan sembab pada
lensa mata. Penglihatan menjadi kabur dan dapat berakhir dengan
kebutaan.
3. Syaraf ( Neuropati Diabetik )
Neuropati diabetik adalah akibat kerusakan pada saraf. Penderita
bisa stres, perasaan berkurang sehingga apa yang dipegang tidak dapat
dirasakan (mati rasa).
4. Kelainan Jantung.
Terganggunya kadar lemak darah adalah satu faktor timbulnya
aterosklerosis pada pembuluh darah jantung. Bila diabetesi mempunyai
komplikasi jantung koroner dan mendapat serangan kematian otot jantung
akut, maka serangan tersebut tidak disertai rasa nyeri. Ini merupakan
penyebab kematian mendadak.
5. Hipoglikemia.
Hipoglikemia terjadi bila kadar gula darah sangat rendah. Bila
penurunan kadar glukosa darah terjadi sangat cepat, harus diatasi dengan
segera. Keterlambatan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul
mulai dari rasa gelisah sampai berupa koma dan kejang-kejang.
6. Hipertensi.
Karena harus membuang kelebihan glokosa darah melalui air seni,
ginjal penderita diabetes harus bekerja ekstra berat. Selain itu tingkat
kekentalan darah pada diabetisi juga lebih tinggi. Ditambah dengan
kerusakan-kerusakan pembuluh kapiler serta penyempitan yang terjadi,
secara otomatis syaraf akan mengirimkan signal ke otak untuk menambah
takanan darah.
2.10 Tata Laksana

Algoritma Tatalaksana Ketoasidosis Diabetic


Anamnesis Pemeriksaan fisik
 Poliuria  Tentukan derajat dehidrasi Laboratotium
 Polidipsia  Nafas cepat& dalam(kusmaul)  Ketonuria
 Nafas bau keton 
 Penurunan BB Hipoglikemia>300 mg/dl
 Lethargy&muntah
 Nyeri perut  Asidosis metabolic
 Lemas/lemah  Pemeriksaan lain:
 Muntah-muntah Elektrolit darah,BUN
 pusing Diabetes ketoasidosis

 Syok+dehidrasi berat
Dehidrasi >5%
 Penurunan kesadaran -krisis sedang
Asidosis(hiperventilas
i) -bisa
Syok makan/min
Resusitasi: muntah um
-Airway/nasogastric tube
IVFD: -Berikan
-Berikan oksigen masker
-Tentukan kebutuhan
100% insulin sc
cairan+deficit
-Terapi syok: NS -Koreksi deficit dalam 48 jam -Rehidrasi oral
20ml/kg(bisa diulang) -Menggunakan normal salin
-EKG Tidak ada
-Tambahan KCL 40 mmol/L
perbaikan
cairan

Insulin IV:o,1 u/kg/jam(0,05 u/kg/jam


bila<2th)
Observasi ketat:
-kadar gula darah setiap 1
jam Kesadaran
-balans cairan setiap 1jam menurun,sakit
Asidosis -status neurologis kepala,penurunan
-elektrolit darah HR,irritable/gelisah,i
tidak -EKG:perubahan gel T nkontinensia,specifi
membai c neurological sign
k
KGD 200-300mg/dl. Atau -Pastikan bukan
Evaluasi kembali:
Penurunan hipoglikemia
-balans cairan?
KGD>100mg/dl/jam -Edema cerebri
-
insulin:dosis,ma
cet? IVFD:
-konsul neurologi
-ganti cairan dengan D5 0,45 salin
-infeksi,sepsis -pertimbangan:Manitol 1g/kg
-turunkan dosisulin(jangan<0,05
u/kg/jam BB
-periksa elektrolit darah koreksi -Restraksi cairan 50%
bila perlu
Krisis membaik,bisa makan/minum per-oral

Perubahan insulin:berikan insulin scstop insulin iv 60 menit


kemudian
BAB III
TINJAUAN KASUS
Seorang anak laki-laki remaja usia empat belas tahun sembilan bulan,
dibawa ke unit gawat darurat rumah sakit kami dengan keluhan utama
penurunan kesadaran sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
disertai pernapasan Kusmaul. Pasien mengalami muntah-muntah sebelum
kesadarannya menurun. Pasien juga terlihat lemah pada dua hari sebelum
masuk rumah sakit. Sejak dua bulan terakhir, pasien terlihat lebih banyak
makan, minum, dan bangun malam hari untuk buang air kecil. Meskipun
pasien mengalami peningkatan selera makan, akan tetapi terjadi penurunan
berat badan. Keluhan tidak disertai demam, kejang, batuk, atau bengkak
pada tubuh. Keadaan seperti ini baru pertama kali dialami oleh pasien.
Riwayat tubuh berkeringat, jantung berdebar, sering buang air besar, tangan
gemetar, perubahan emosi, dan preferensi di tempat yang dingin tidak ada.
Pasien dikatakan oleh orang tua jarang sakit dan baru kali ini dirawat di
rumah sakit. Tidak ada riwayat keluarga diabetes melitus dalam keluarga.
Pemeriksaan fisis pada pasien menunjukkan keadaan umum sakit kritis,
tingkat kesadaran somnolen, takikardi, takipne (36 kali/menit), suhu 37,00C,
saturasi oksigen perifer 99% dengan suplementasi oksigen nasal, pengisian
kapiler masih baik. Hasil temuan laboratorium awal menunjukkan hemoglobin
14,2 g/dL, hematokrit 42,8%, hiperglikemia (serum glukosa 407 mg/dL),
analisis gas darah menunjukkan asidosis (pH 7,197), hipokapnea (15,9
mmHg), dan bikarbonat rendah (6,2 mmol/L). Hasil pemerikaan urin
menunjukkan proteinuria (protein +2), glikosuria (glukosa +3), dan ketonuria
(keton +3). Hasil pemeriksaan kalium awal saat masuk ke UGD adalah 3,2
mEq/L, namun pada hari pertama perawatan di ruang rawat anak, kadar
kalium mencapai titik terendah yakni 2,4 mEq/L sehingga pasien mendapat
koreksi cepat kalium. Temuan elektrokardiografi awal didapatkan irama
sinus, denyut jantung 125 kali/menit, aksis normal, tidak ada kelainan
gelombang T.
Pasien ini didiagnosis sebagai ketoasidosis diabetikum (KAD) dan diabetes
melitus tipe 1. Pasien mendapat suplementasi oksigen, cairan parenteral
yang terdiri dari rehidrasi dan rumatan dengan tambahan kalium, dan infus
insulin. Insulin diberikan 2 jam setelah pemberian cairan dimulai. Balans
cairan dipantau dan pasien dijadwalkan untuk pemeriksaan laboratorium
diantarnya pemeriksaan glukosa darah rutin, hematologi rutin, analisis gas
darah, ureumkreatinin, dan juga urinalisis. Saat penanganan di UGD, secara
bersamaan kami melakukan 3 evaluasi klinis untuk mengonfirmasi diagnosis
dan mencari faktor pencetus infeksi. Pasien mendapat tata laksana selama
±48 jam di unit gawat darurat, pasien mengalami perbaikan secara klinis,
kesadaran pulih, tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 96 kali/menit
dengan kualitas nadi baik, laju pernapasan 20 kali/menit, dan diuresis 3
mL/kg/jam. Setelah kondisi pasien stabil dan membaik, insulin tetesan
kontinyu diubah menjadi regimen basal bolus 40 unit per hari, diberikan
secara subkutan. Hasil laboratorium sebelum pasien dipindahkan ke ruang
perawatan anak menunjukkan perbaikan, hasil pemeriksaan glukosa darah
153 mg/dL, analisis gas darah menunjukkan pH 7,341, pCO2 22,8 mmHg,
dan kadar bikarbonat 14,4 mmol/L. Urinalisis tidak menunjukkan adanya
glikosuria. Setelah mengalami perbaikan klinis dan stabil, pasien dipindahkan
ke ruang perawatan anak.
Selama hari perawatan awal, pasien masih merasa lemas, tetapi sudah
mampu makan dan minum dengan baik. Berat badan 44,8 kilogram, tanda
vital normal, diuresis baik, tidak didapatkan tanda dehidrasi. Hasil
pemeriksaan kalium 2,5 mEq/L, natrium 127 mEq/L (hasil yang dikoreksi 130
mEq/L). Analisis gas darah menunjukkan perbaikan dengan pH 7,371 dan
bikarbonat 15,0 mmol/L. Elektrokardiogram menunjukkan gelombang T yang
normal tetapi ditemukan gelombang U. Regimen insulin basal bolus
dilanjutkan dengan kebutuhan kalori 2600 kkal per hari, dan pasien
mendapat suplementasi kalium per oral. Kami melakukan investigasi
laboratorium lebih lanjut dengan uji antibodi C-peptida dan pemeriksaan
asam glutamat dekarboksilase/glutamic acid decarboxylase (GAD). Selama
hari perawatan berikutnya, pasien dapat tidur nyenyak, tidak ada keluhan
badan lemas, makan dan minum seperti biasa, dan dapat menyuntikkan
insulin sendiri. Berat badan 45 kg, tanda vital normal, diuresis baik, dan tidak
ada tanda dehidrasi. Hasil pemeriksaan C-peptida yaitu 1,5 ng/mL (rentang
normal: 0,9–7,1 ng/mL). Urinalisis hanya menunjukkan glikosuria (+3) dan
parameter urin lainnya dalam batas normal. Selama hari perawatan terakhir,
pasien tidak menyampaikan keluhan dan tanda vital dalam batas normal.
Hasil laboratorium sebelum pasien dipulangkan antara lain hemoglobin 13,4
g/dL, hematokrit 39,2%, lekosit 4.780/mm3 , dan trombosit 278.000/mm3 .
Kadar natrium serum kembali ke nilai normal yaitu 136 mEq/L dan kadar
kalium meski masih rendah tetapi membaik menjadi 3,1 mEq/L. Hasil
pemeriksaan GAD menunjukkan nilai yang masih berada dalam kisaran
normal.
BAB IV
PEMBAHASAN
Ketoasidosis diabetikum terjadi akibat defisiensi insulin dalam sirkulasi dan
peningkatan kadar hormon kontra-insulin seperti katekolamin, glukagon, kortisol,
dan hormon pertumbuhan. Defisiensi insulin berat terjadi pada DM tipe 1 yang
sebelumnya tidak terdiagnosis atau pada pasien yang menjalani pengobatan namun
tidak menggunakan insulin yang seharusnya digunakan, terutama komponen insulin
kerja-panjang sebagai bagian dari regimen. Defisiensi insulin relatif terjadi apabila
hormon kontra-insulin secara nyata meningkat sebagai respons terhadap stres pada
keadaan tertentu seperti sepsis, trauma, atau gangguan gastrointestinal yang
disertai diare atau muntah, yang mengganggu homeostatis hormon insulin dan
kontrainsulin sehingga terjadi dekompensasi metabolik walaupun pasien sudah
menggunakan dosis yang tepat.
Ketoasidosis diabetikum didefinisikan dengan adanya semua kriteria berikut pada
pasien dengan diabetes, sebagaimana diuraikan dalam konsensus dari International
Society for Pediatric and Adolescent Diabetes (ISPAD) pada tahun 2018, yaitu: 1)
Hyperglikemia-kadar gula darah >200 mg/dL (11 mmol/L); 2) Asidosis metabolik-pH
vena 3 mmol/L beta-hidroksibutirat) atau badan keton urin.9 Pada pasien ini, semua
manifestasi klinis yang konsisten dengan diabetes disertai dengan semua kriteria
KAD yaitu hiperglikemia (kadar gula darah 407 mg/dL), asidosis 4 (pH 7,197), dan
bikarbonat rendah (6,2 mmol/L). Urinalisis menunjukkan glikosuria (glukosa +3) dan
ketonuria (keton +3).
Ketoasidosis diabetikum ditandai dengan defisit cairan dan elektrolit pada
kompartemen intraseluler dan ekstraseluler. Meskipun tubuh mengalami dehidrasi,
pasien umumnya tetap memiliki tekanan darah normal, hal ini disebabkan oleh
peningkatan konsentrasi katekolamin, peningkatan sekresi hormone antidiuretik
(ADH) sebagai respons terhadap keadaan hiperosmolalitas, yang pada akhirnya
meningkatkan tekanan darah melalui reseptor vasopresin, disamping faktor-faktor
lain. Produksi urin akan dipertahankan melalui mekanisme glikosuria dan akan
mengalami oligouria/anuria apabila terjadi penurunan volume yang sangat ekstrim.
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan konsekuensi dari hiperglikemia,
hiperosmolalitas, dan asidosis. Meskipun yang sesungguhnya terjadi adalah
penurunan kalium total, akan tetapi hiperkalemia serum sering didapatkan pada
pasien dengan KAD yang belum mendapat resusitasi cairan. Hiperkalemia serum
terjadi ketika ion kalium bergeser dari ruang intraseluler ke ekstraseluler akibat
asidosis dan penurunan sekresi kalium melalui tubulus ginjal. Penurunan
konsentrasi serum fosfat dan magnesium juga terjadi melalui mekanisme
pergeseran ion. Hiponatremia terjadi karena efek dilusi, ketika air secara bebas
berpindah dari ruang intraseluler ke ruang ekstraseluler. Dalam melakukan
interpretasi kadar natrium, perlu dilakukan perhitungan kadar natrium yang
dikoreksi (menyesuaikan kadar natrium dengan faktor 1,6 mEq/L untuk setiap
peningkatan kadar gula darah sebesar 100 mg/Dl), yang menggambarkan kadar
natrium sesungguhnya pada keadaan tanpa hiperglikemia. Perubahan kadar natrium
ini pun perlu dipantau selama proses terapi.7,8,11 Pada umumnya pasien KAD
mengalami defisit cairan ekstraseluler sebesar 5–10%. Estimasi klinis defisit cairan
pada keadaan KAD bersifat subyektif; oleh karena itu digunakan kesepakatan
berdasarkan konsensus, pada KAD moderat gunakan defisit cairan sekitar 5–7% dan
pada KAD berat defisit cairan sekitar 7–10%. Osmolalitas efektif ditentukan dengan
persamaan [2x(Na serum) + glukosa serum (mmol/L)] dan umumnya berada dalam
kisaran 300–350 mmol/kg.
Presentasi klinis DM dapat bervariasi dari presentasi tidak darurat hingga gawat
darurat. Beberapa pasien memiliki onset gejala yang cepat dan perburukan klinis
terjadi dalam hitungan hari pada keadaan KAD; namun beberapa anak lainnya
memiliki onset yang perlahan dalam hitungan bulan. Pengukuran glukosa darah
>200 mg/Dl mengonfirmasi diagnosis DM pada keadaan KAD.
Manifestasi gawat-darurat pada KAD anak atau remaja antara lain dehidrasi berat,
muntah, poliuria, penurunan berat badan karena kehilangan cairan maupun
kehilangan jaringan otot dan lemak, muntah disertai nyeri perut, yang sering
disalahartikan sebagai gastroenteritis, napas berbau aseton, hiperventilasi (napas
Kussmaul) ditandai dengan laju pernapasan cepat dan volume tidal yang besar pada
setiap napas, perubahan kesadaran (disorientasi, stupor, atau koma), gangguan
sirkulasi perifer disertai denyut nadi cepat, dan bahkan syok yang disertai sianosis
(pada fase lanjut).4,7,13,14 Pasien ini mengalami manifestasi klinis yang serius
antara lain dehidrasi, muntah-muntah, penurunan berat badan, napas Kussmaul,
dan penurunan kesadaran. Meskipun dehidrasi yang dialami masuk dalam kategori
dehidrasi berat, akan tetapi pasien tidak sampai jatuh ke dalam keadaan syok atau
gagal sirkulasi.
Manifestasi klinis tidak gawat darurat yang umum dijumpai pada anak adalah
poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan, yang disertai glikosuria dan
ketonuria, dan peningkatan kadar gula darah sesuai kriteria diagnosis. Jika badan
keton ditemukan dalam darah atau urin, maka perlu penanganan lebih lanjut, dan
anak harus dirujuk segera pada hari yang sama ke sarana pelayanan kesehatan
untuk memantau dan mencegah terjadinya ketoasidosis.13-15 Pada pasien ini,
gejala dan tanda yang khas dari DM telah muncul selama ± 2 bulan sebelum masuk
rumah sakit, akan tetapi orang tua tidak memeriksakan anaknya lebih lanjut.
Kejadian KAD. Pemeriksaan urin dipstick untuk glukosuria dan ketonuria, atau
pengukuran kadar gula darah menggunakan bedside glucometer, merupakan alat
sederhana untuk skrining. Setelah diketahui adanya peningkatan kadar glukosa
darah >200 mg/dl, maka rujukan segera ke pusat pelayanan kesehatan dengan
fasilitas perawatan anak dan diabetes perlu dilakukan segera untuk mencegah
terjadinya ketoasidosis.4,15 Pada pasien ini, ketidaktahuan orang tua terkait kondisi
medis anak mungkin menjadi faktor predisposisi keterlambatan diagnosis dan terapi
sehingga pasien jatuh dalam keadaan KAD.
Sebagian besar kasus DM tipe 1 terutama disebabkan oleh destruksi sel beta
pankreas yang dimediasi sel T, pada derajat yang bervariasi. Diabetes preklinis
(tahap 1-3) mengacu pada kurun waktu bulan sampai dengan tahunan sebelum
manifestasi klinis DM tipe 1 muncul ketika antibodi dapat terdeteksi sebagai
penanda autoimun sel beta pankreas, penanda autoimun tersebut antara lain: (1)
Glutamic acid decarboxylase 65 autoantibodies (GAD); (2) Tyrosine phosphataselike
insulinoma antigen 2 (IA2) and islet cell antibody 512 (ICA512); (3) Insulin
autoantibodies (IAA); (4) β-cell-specific zinc transporter 8 autoantibodies (ZnT8).15
Pada pasien ini, dilakukan pemeriksaan antibodi GAD dengan metode enzyme-
linked immunosorbent assay (ELISA) namun hasilnya masih berada dalam kisaran
normal (< 5 IU/ml).
Pemeriksaan kadar C-peptida, dengan atau tanpa pemeriksaan autoantibodi DM,
dapat dipertimbangkan pada pasien anak untuk menilai fungsi sel beta pankreas.
Tingkat degradasi C-peptida dalam tubuh lebih lambat dibandingkan insulin (waktu
paruh 20-30 menit, dibandingkan waktu paruh insulin 3-5 menit), sehingga
memberikan uji diagnostik yang lebih stabil terhadap fluktuasi. Kadar C-peptida
berhubungan dengan tipe diabetes dan lamanya penyakit. Secara spesifik kadar C-
peptida kurang dari 0,2 nmol/L (0,6 ng/Ml) memiliki korelasi dengan diagnosis DM
tipe 1.16,17 Sebuah penelitian terkini mendukung kegunaan diagnostik C-peptida
dan merekomendasikan penggunaannya sebagai ukuran baseline defisiensi insulin.
Kadar C-peptida yang diambil dalam beberapa tahun pertama diagnosis mungkin
berguna untuk memastikan diagnosis DM tipe 1 apabila didapatkan hasil yang
rendah. Namun demikian, hasil yang lebih tinggi harus ditafsirkan dengan hati-hati
dan mungkin mencerminkan sekresi insulin yang dapat diamati pada periode
‘honeymoon’ DM tipe 1. Pada situasi seperti ini, pemeriksaan ulang kadar C-peptida
dapat dilakukan. 18 Hasil pemeriksaan kadar C-peptida yaitu 1,5 ng/Ml (rentang
normal 0,9-7,1 ng/Ml), temuan ini mendukung diagnosis yang mengarah pada DM
tipe 1.
Setelah diagnosis DM tipe 1 ditegakkan, insulin dapat diberikan untuk mencegah
dekompensasi metabolik atau KAD. Perlu diperhatikan insulin harus selalu tersedia
untuk penderita DM anak maupun remaja. Remaja yang sudah cukup dewasa
diajarkan agar mampu menyuntikkan insulin di daerah perut, paha, atau lengan
pada waktu yang telah dijadwalkan, dan menghindari penyuntikan berulang di titik
yang sama untuk mencegah lipodistrofi.19 Saat pasien dirawat di ruang perawatan
anak, kadar gula darah harian dipantau dan penyuntikan insulin dilakukan oleh
perawat, namun seiring berjalannya waktu, pasien dan orang tua dijelaskan
mengenai cara persiapan dan penyuntikan insulin.
Dukungan nutrisi sangat diperlukan untuk semua anak dan remaja dengan DM tipe
1. Implementasi jadwal makan yang dikelola secara individual disertai pemberian
insulin yang tepat dapat meningkatkan kontrol glikemik. Asupan energi dan nutrisi
bertujuan untuk mempertahankan berat badan ideal, pertumbuhan dan
perkembangan yang baik.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Presentasi klinis diabetes dapat bervariasi dari manifestasi tidak gawat-
darurat hingga yang berat seperti dehidrasi, syok, dan ketoasidosis
diabetikum. Beberapa pasien memiliki gejala yang cepat dan perburukan
klinis terjadi dalam hitungan hari pada keadaan ketoasidosis diabetikum.
Pada umumnya sebagian besar pasien baru DM tipe 1 didiagnosis saat
terjadi kegawatan pada saat pertama kali datang ke rumah sakit.Anak dan
remaja dengan KAD harus mendapat tata laksana adekuat untuk mendapat
luaran yang baik. Beberapa hal yang perlu digarisbawahi untuk tata laksana
KAD antara lain resusitasi cairan, identifikasi dan pengenalan faktor
presipitasi yang mencetuskan, pemberian insulin, pemantauan penanda
biokimia ketoasidosis, dan pencegahan komplikasi akibat penurunan
osmolalitas serum. Asupan nutrisi yang adekuat, ketersediaan insulin, dan
kepatuhan pengobatan merupakan suatu keharusan untuk mencapai luaran
kontrol glikemik yang optimal, pasien secara rutin kontrol ke poliklinik rawat
jalan anak untuk pemantauan dan follow up.
5,2 Saran
Selama perawatan di rumah sakit, pasien seharusnya mendapat
dukungan nutrisi dan pengaturan diet yang adekuat. Saat pasien
direncanakan untuk pulang dari rawat inap, pasien dan keluarga harus
dipastikan untuk memahami tentang kondisi DM beserta cara penangannya.
DAFTAR PUSTAKA
http://scholar.unand.ac.id/38234/2/BAB%20I%20upload.pdf, diakses pada 13
Agustus2019
https://www.researchgate.net/publication/334593612_Laporan_Kasus_DM_tipe_1_Se
marang_6_Juli_2019, diakses pada 13 Agustus 2019

Anda mungkin juga menyukai