Anda di halaman 1dari 36

Case Report

KETOASIDOSIS DIABETIKUM

Oleh:
dr. Yohana Aprilia Manurung

Pembimbing:
dr. H.M Amin Yunus Sp.PD

PROGRAM INTERNSIP DOKTER

INDONESIA RSUD INDRASARI


RENGAT 2024
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena atas
kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul
“KETOASIDOSIS DIABETIKUM”. Makalah ini dibuat sebagai salah satu
program dokter intersip. Selain itu, besar harapan penulis dengan adanya
makalah ini mampu menambah pengetahuan para pembaca mengenai
Ketoasidosis Metabolik mulai dari definisi hingga penatalaksananya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
dr.H.M Amin Yunus Sp.PD selaku pembimbing yang telah memberikan
masukan yang berguna dalam proses penyusunan makalah ini. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi isi, susunan bahasa
maupun sistematika penulisan makalah ini. Kritik dan saran pembaca sangat
penulis harapkan.
Akhir kata penulis berharap kiranya makalah ini dapat menjadi masukan
yang berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain
yang terkait dengan masalah kesehatan khususnya mengenai “Ketoasidosis
Diabetikum”.

Pematang Reba, Januari 2024

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................................4
1.1. Latar Belakang................................................................................................1
1.2. Batasan masalah..............................................................................................4
1.3. Tujuan Penulisan.............................................................................................4
1.4. Metode penulisan.............................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................5
2.1 Definisi..............................................................................................................5
2.2 Klasifikasi.........................................................................................................6
2.3 Faktor resiko....................................................................................................7
2.4 Kriteria Diagnosis...........................................................................................9
2.5 Komplikasi.....................................................................................................13
2.6 Patofiiologi.....................................................................................................15
2.7 Diagnosis........................................................................................................17
2.8 Pemeriksaan Penunjang...............................................................................19
2.9 Diagnosis Banding.........................................................................................19
2.10 Tatalaksana....................................................................................................19
2.11 Komplikasi.....................................................................................................22
2.12 Prognosis........................................................................................................22
BAB 3 LAPORAN KASUS.........................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................31
BAB 1

PENDAHULUA

1.1 Latar Belakang

Ketoasidosis diabetik ( KAD ) adalah kasus kedaruratan endokrinologi

yang ditandai oleh trias hiperglikemi, asidosis dan ketosis, terutama

disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut. Ketoasidosis diabetik

juga merupakan komplikasi akut diabetes mellitus yang ditandai dengan

dehidrasi, kehilangan elektrolit, dan asidosis. Ketoasidosis diabetik ini

diakibatkan oleh defisiensi berat insulin dan disertai gangguan metabolisme

protein, karbohidrat dan lemak. Keadaan ini merupakan gangguan

metabolisme yang paling serius pada diabetes ketergantungan insulin

(Pradana Soewondo 2006)

Ketoasidosis terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin. Karena

dipakainya jaringan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, maka akan

terbentuk keton. Bila hal ini dibiarkan terakumulasi, darah akan menjadi asam

sehingga jaringan tubuh akan rusak dan bisa menderita koma. Hal ini

biasanya terjadi karena tidak mematuhi perencanaan makan, menghentikan

sendiri suntikan insulin, tidak tahu bahwa dirinya sakit diabetes mellitus,

mendapat infeksi atau penyakit berat lainnya seperti kematian otot jantung

dan stroke ( Arief Mansjoer ,2000 )

Ketoasidosis diabetik merupakan akibat dari defisiensi insulin berat yang

menyebabkan gangguan metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak.

Peningkatan secara bersamaan hormon pengatur keseimbangan seperti


1
2

hormon pertumbuhan, kortisol, epinefrin dan glukagon memperburuk kondisi,

yang menyebabkan hiperglikemia dan hiperosmolalitas lebih berat,

ketoasidosis, dan penurunan volume cairan. ( Patricia Gonce Morton,dkk,

2012)

Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel

akan berkurang juga. Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak

terkendali. Kedua faktor ini akan menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya

untuk menghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan

mengekskresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit seperti natrium dan

kalium. Diuresis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan poliuri

akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangna elektrolit. Penderita ketoasidosis

diabetik yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400

hingga 500 mEq natrium, kalium serta klorida selama periode waktu 24 jam.

Akibat defisiensi insulin yang lain adalah pemecahan lemak lipolisis menjadi

asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi

badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diebetikum terjadi produksi badan

keton yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara

normal akan mencegah timbulnya keadaan tersebut. Badan keton bersifat

asam, dan bila bertumpuk dalam sirkulasi darah, badan keton akan

menimbulkan asidosis metabolik. (Soeparman, 2000)

Surveillance Diabetes Nasional Program Centers for Disease Control

(CDC) memperkirakan bahwa ada 115.000 pasien pada tahun 2003 di

Amerika Serikat, sedangkan pada tahun 1980 jumlahnya 62.000. Di sisi lain,

kematian KAD per 100.000 pasien diabetes menurun antara tahun 1985 dan
3

2002 dengan pengurangan kematian terbesar di antara mereka yang berusia

65 tahun atau lebih tua dari 65 tahun. Kematian di KAD terutama disebabkan

oleh penyakit pengendapan yang mendasari dan hanya jarang komplikasi

metabolik hiperglikemia atau ketoasidosis. Prevalensi DM KAD di Indonesia

sebesar 1,5 – 2,3 % pada penduduk usia diatas 15 tahun. Berdasarkan atas

prevalensi 1,5% dapatlah diperkirakan bahwa jumlah minimal penderita DM

KAD di Indonesia pada tahun 2000 : 4 juta, tahun 2010 : 5 juta tahun 2011 :

5,4 juta, dan tahun 2012 : 6,5 juta. (Hendromartono, 2004).

Angka kejadian Ketoasidosis Diabetikum di Ruang ICU RSI Darus Syifa’

Benowo Surabaya pada Januari sampai Juni 2015 ada 6 kasus.

Untuk melaksanakan Asuhan Keperawatan diperlukan upaya upaya yang

bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Peran perawat dalam

tindakan promotif adalah memberikan penyuluhan kepada klien maupun

keluarga klien tentang KAD, karena penyakit KAD berasal dari DM dan

berhubungan dengan gaya hidup. Tindakan preventif adalah pencegahan

KAD yaitu dengan cara latihan jasmani dan perencanaan makanan (diet)

untuk mengatur glukosa darah serta mencegah timbulnya komplikasi.

Tindakan kuratif adalah memberikan perawatan secara intensiv dan

kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi. Tindakan rehabilitatif

adalah istirahat yang cukup, minum obat secara teratur dan kontrol gula darah

secara rutin.

Perawatan pada pasien yang mengalami KAD antara lain meliputi regulasi

gula darah dengan insulin, rehidrasi, pemberian kalium lewat infus, dan

pemberian antibiotika bila ada infeksi. Beberapa komplikasi yang mungkin


4

terjadi selama pengobatan KAD adalah edema paru, hipertrigliseridemia,

infark miokard akut, dan komplikasi iatrogenik. Komplikasi iatrogenik

tersebut ialah hipoglikemia, hipokalemia, edema otak, dan hipokalsemia.

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi,

patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosa, diagnosa banding, tatalakasana,

komplikasi, prognosis, serta laporan kasus dari Ketoasidosis Diabetikum.

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan tentang

Ketoasidosis Diabetikum .

1.4 Metode Penulisan

Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan

merujuk keberbagai literatur.


5

BAB 2

PEMBAHASA

2.1 Definisi dan Klasifikasi

Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan

karakteristik hiperglikemia karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduannya.

Hiperglikemik kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,

disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan

pembuluh darah.(5,6)

Beberapa proses patogenik terlibat dalam perkembangan diabetes. Mulai dari

autoimun yang menghancurkan sel β pankreas yang mengakibatkan defisiensi insulin

sampai keabnormalitasan yang menyebabkan resistensi insulin. Dasar dari

abnormalitasan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein pada diabetes adalah karena

kurangnya kerja insulin di target jaringan. Kurangnya kerja insulin karena kurang

adekuatnya sekresi insulin dan/atau rendahnya respon oleh jaringan atau satu atau lebih

poin di jalur komplek kerja hormon.

Gejala dan tanda hiperglikemia termasuk polyuria, polydipsia,penurunan berat

badan, polyphagia, dan gangguan penglihatan. Gangguan pertumbuhan dan kerentanan

berbagai macam infeksi juga beriringan dengan kronik hiperglikemia. Konsekuensi akut

yang mengancam jiwa dengan diabetes tak terkontrol biasanya adalah hiperglikemia

dengan ketoasidosis atau nonketotic hyperosmolar syndrome. Sedangkan komplikasi

jangka panjang diabetes meliputi retinopathy dengan kemungkinan kehilangan

penglihatan; nephropathy menuju gagal ginjal; peripheral neuropathy dengan resiko

ulkus, amputasi, dan charcot joints; dan autonomic neurophaty penyebab gejala

gastrointestinal, genitourinary, dan cardiovascular dan disfungsi sexual. (5)


6

2.1 Klasifikasi

Diabetes dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori:

2.1.1 Diabetes tipe 1 (rusaknya sel β, biasanya sangat membutuhkan insulin


eksogen/ insulin-dependent)

Immune-mediated diabetes. Tipe ini hanya berkisar 5-10% dari seluruh

penderita diabetes. Diabetes tipe 1 atau juga disebut juvenile-onset

diabetes timbul karena proses autoimmune (selular-mediated autoimmune)

yang merusak sel β pankreas. Pada tipe ini produksi insulin sangat sedikit

atau bahkan tidak ada, biasanya terlihat dari rendahnya atau tidak

terdeteksinya kadar C-peptide plasma.(4,8) Immune mediated diabetes ini

lebih sering diderita anak-anak dan remaja, namun tipe ini juga dapat

diderita semua usia, termasuk dekade ke 8 dan 10 kehidupan. Pasien

diabetes ini biasanya juga cenderung menderita kelainan autoimun lainya

seperti Graves’ disease, Hashimoto’s thyroiditis, Addison’s disease,

vitiligo, celiac sprue, autoimmune hepatitis, myasthenia gravis dan

pernicious anemia.

Idiopathic diabetes. Merupakan bentuk lain tipe 1 diabetes, namun

penyebabnya tidak diketahui. Pasien diabetes ini biasanya menderita

insulinopenia permanen dan cenderung ketoasidosis. Tipe ini sangat

jarang, namun jika ada biasanya pada ras Afrika dan Asia. (5)

2.1.2 Diabetes tipe 2 (resistensi insulin dikarenakan gangguan sekresi insulin)

Tipe ini berkisar 90-95% dari seluruh penderita diabetes dan lebih sering

pada wanita. Dikenal juga sebagai non-insulin dependent atau diabetes

onset dewasa. (5)


7

Kebanyakan penderita diabetes ini mengalami obesitas, karena

obesitas itu sendiri dapat menyebabkan resisten insulin. Pasien diabetes

tipe 2 biasanya tidak terdiagnosis karena hiperglikemia berkembang secara

bertahap dan pada tahap awal biasanya tidak parah sehingga pasien sulit

untuk menyadari gejala-gejala klasik diabetes.(5,7)

Pada penderita diabetes ini kadar insulin dapat normal atau

meningkat, peningkatan gula darah pada penderita dikarenakan walaupun

kadar insulin tinggi dari fungsi sel β yang normal, namun sekresi insulin

tersebut tidak dapat mengkompensasi resistensi insulin itu sendiri. Faktor

resiko perkembangan diabetes ini meningkat dengan bertambahnya usia,

obesitas, dan kurangnya aktifitas fisik. (5,8)

2.1.3 Diabetes mellitus tipe Spesifik

Dikarenakan penyebab lain seperti monogenic diabetes syndrome (

neonatal diabetes and maturity-onset diabetes of the young [MODY]),

penyakit kelenjar eksokrin pancreas (cystic fibrosis), dan obat atau

diabetes dikarenakan bahan kimia ( contohnya pada pasien HIV/AIDS

yang sedang menjalani pengobatan atau pada orang pasca transplantasi

organ) (5)

2.1.4 Gestational diabetes mellitus (GDM)

Diabetes didiagnosis pada kehamilan trimester kedua atau ketiga dengan

penyebab diabetes yang tidak jelas.(4,10) Biasanya faktor resiko meningkat

pada kehamilan dengan peningkatan berat badan berlebihan.(9)


8

2. Faktor Resiko Diabetes Melitus(5):

1. Obesitas (kegemukan) Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan

kadar glukosa darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat

menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.

2. Hipertensi Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat

dengan tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya

tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.

3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus Seorang yang menderita Diabetes

Mellitus diduga mempunyai gen diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes

merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot dengan gen

resesif tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.

4. Dislipedimia Universitas Sumatera Utara Adalah keadaan yang ditandai

dengan kenaikan kadar lemak darah (Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat

hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35

mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.

5. Umur Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus

adalah > 45 tahun.

6. Riwayat persalinan Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau

berat badan bayi > 4000 gram.


9

3. Kriteria Diagnostik

Selama ini, diabetes militus didiagnosis berdasarkan kriteria pengukuran

gula darah yaitu ketika kadar GDP ≥126mg/dl (7.0 mmol/l) atau ≥200mg/dL

(11.1 mmol/l) 75-g TTGO. Pada orang dengan gejala hiperglikemik, kadar gula

darah sewaktu (GDS) 200mg/dL (11.1mmol/l) juga dapat digunakan sebagai

(5,10,11)
diagnosis

Sebelum 2010 semua asosiasi diabetes merekomendasikan analisis gula

darah sebagai metode eksklusif untuk mediagnosis diabetes. Namun, beberapa

tahun belakangan banyak dokter yang mulai menggunakan hemoglobin A1C

(HbA1c) untuk pemeriksaan penyaring (screening) dan mendiagnosis diabetes. (10)

2.2.1 Tes Gula Darah Puasa (GDP)

Tes GDP adalah tes untuk mengukur kadar gula darah pada orang yang

tidak makan atau puasa paling tidak selama 8 jam, tes ini sering digunakan untuk

mendiagnosis diabetes karena mudah dan murah. Akan tetapi tes ini dapat

melewatkan beberapa diabetes atau pre-diabetes yang dapat dideteksi dengan

TTGO. Test GDP ini memberikan hasil yang lebih dipercaya pada saat pagi hari.
(10,11)

Baik American Diabetes Association (ADA) maupun World Health

Organization (WHO) memiliki setandar nilai tes GDP yang sama pada orang

diabetes yaitu ≥126 mg/dl (7.0 mmol/l) dan 110-125 mg/dl (6.1-6.9 mmol/l) pada

orang dengan gula darah puasa terganggu (GDPT), walaupun kemudian nilai

GDPT diturunkan oleh ADA menjadi 100-125 mg/dl (5.6-6.9 mmol/l) untuk

meningkatkan sensitifitas pada orang beresiko tinggi diabetes.


10

Walaupun demikian, hal ini tidak diikuti oleh WHO. Orang dengan GDPT

memiliki kemungkinan 5 sampai 10 kali lebih besar menderita diabetes dibanding

orang dengan GDP/ TTGO normal. (10,11,12)

2.2.2 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

TTGO lebih sensitif dibanding Tes GDP untuk mediagnosis

pre-diabetes, namun lebih susah diolah. Sebelum melakukan

TTGO pasien diharuskan puasa setidaknya 8 jam. Kadar Glukosa

darah diukur tepat sebelum dan 2 jam setelah pasien meminum air

mengadung 75 gram gula. Jika gula darah 140-199 mg/dl dua jam

setelah minum air gula, maka orang tersebut merupakan pre-

diabetes atau toleransi glukosa terganggu (TGT). Jika setelah 2 jam

minum kadar glukosa darah ≥200 mg/ dl, tes ulang pada hari lain,

dan jika hasilnay sama berarti orang tersebut menderita diabetes.

(10,11,)

2.2.3 Tes Glukosa Sewaktu (GS)

Orang dapat dikatakn diabetes bila kadar TGS ≥200mg/dl

disertai dengan munculnya gejala-gejala hiperglikemia.(5,10)

2.2.4 Tes Hemoglobin A1c (HbA1c)

HbA1c diidentifikasi sebagai abnormal hemoglobin pada

penderita diabetes sejak 40 tahun yang lalu Pemeriksaaan HbA1c


11

dapat dilakukan kapan saja tanpa harus memerlukan persiapan

seperti puasa Selain itu juga dapat mendiagnosis penderita diabetes

yang bahkan terlewatkan atau tidak terdeteksi oleh pemeriksaan

lain. (13)

Pada tes HbA1c ini, ADA dan WHO menetapakan bahwa kadar

≥48 mmol/mol (≥6.5%) sebagai kadar diagnostik diabetes. Hal ini

didasarkan pada bahwa kadar 6.5% telah terbukti akurat dalam

mengidetifikasi resiko retinophaty. Selain itu ADA juga

menetapkan kadar 5.7-6.4% sebagai resiko tinggi atau pre-diabetes.

(10)

HBA1C (%) NORMAL/ABNORMAL GULA DARAH

4-6.5 Normal, tidak menderita 3-8 mmol/l


diabetes

6.5-7.5 Penderita diabetes 8-10 mmol/l

8-9.5 Tinggi 11-14 mmol/l

>9.5 Sangat tinggi ≥15 mmol/l

Kadar Diagnostik HbA1c untuk Diabetes(10)


12

Kriteria Mayor Diagnostik untuk Diabetes dan pre-Diabetes atau Resiko Tinggi(11)
Pemeriksaan American World Health Organization
Diabetes
Association
Diabetes Pre-Diabetes Diabetes Regulasi glukosa
terganggu
Gula Darah Puasa ≥126 mg/dl 100-125 ≥126 mg/dl 110-125 mg/dl
mg/dl (GDPT)
(GDPT)
Tes Toleransi ≥200 mg/dl 140-199 ≥200 mg/dl 140-199 mg/dl
Glukosa Oral mg/dl (TGT) (TGT)
Gula Darah ≥200 mg/dl ≥200 mg/dl
Sewaktu
HbA1c ≥6.5% ≥5.7-6.4% ≥6.5%
13

4. Komplikasi Diabetes Mellitus

 Komplikasi Akut
A. Hipoglikemia

Hipoglikemia didefinisikan sebagai keadaan di mana kadar glukosa

plasma lebih rendah dari 45 mg/dl– 50 mg/dl.2 Bauduceau, dkk

mendefinisikan hipoglikemia sebagai keadaan di mana kadar gula darah di

bawah 60 mg/dl disertai adanya gelaja klinis pada penderita. Pasien

diabetes yang tidak terkontrol dapat mengalami gejala hipoglikemia pada

kadar gula darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal,

sedangkan pada pasien diabetes dengan pengendalian gula darah yang

ketat (sering mengalami hipoglikemia) dapat mentoleransi kadar gula

darah yang rendah tanpa mengalami gejala hipoglikemia.

B. Hiperglikemia

Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi

pada Diabetes Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut

merupakan komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM

yang terkontrol baik. Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk

ketoasidosis diabetik, status hiperosmolar hiperglikemik atau kondisi yang

mempunyai elemen kedua keadaan diatas. Diabetes keto asidosis adalah

keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan

keton yang berlebihan, sedangkan koma hyperosmolar hiperglikemik

ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang

biasanya lebih tinggi dari diabetes keto asidosis murni


14

Hiperglikemia terdiri dari:

 Keto Asidosis Diabetes (KAD)

Diabetes Ketoasidosis (KAD) adalah keadaan dekompensasi-

kekacauan metabolik yang ditandai dengan trias yaitu: hiperglikemia,

asidosis dan ketosis.

 Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HONK)

Sindrom KHHNK ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa

disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat,

hiperglikemia berat dan sering kali disertai ganguan neurolis dengan

atau tanpa adanya ketosis (14).

 Komplikasi kronis

o Makroangiopati

 Pembuluh darah jantung : penyakit jantung koroner

 Pembuluh darah tepi : penyakit arteri perifer yang

sering terjadi pada penyandang DM. Gejala tipikal yang

biasa muncul pertama kali adalah nyeri pada saat

beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio

intermittent), namun sering juga tanpa disertai gejala.

o Mikroangiopati

 Retinopati diabetik

Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan

mengurangi risiko atau memperlambat progresi dari

retinopati.
15

 Nefropati diabetik

Untuk penyakit ginjal diabetik, menurunkan asupan

protein sampai dibawah 0.8 gram/kgBB/hari tidak

direkomendasikan karena tidak memperbaiki risiko

kardiovaskuler dan dapat menurunkan GFR.

 Neuropati diabetik
Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal

merupakan faktor penting yang berisiko tinggi untuk

terjadinya ulkus kaki yang meningkatkan risiko

amputasi. Gejala yang sering dirasakan berupa kaki

terasa terbakar, bergetar sendiri dan terasa lebih sakit di

malam hari.

5. Patofisiologi

Pada semua krisis hiperglikemi, hal yang mendasarinya adalah

defisiensi insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi

insulin yang meningkat. Kadar insulin tidak adekuat untuk

mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan untuk

mensupres ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat

melemahkan kapasitas sekresi insulin dan menambah berat resistensi

insulin sehingga membentuk lingkaran setan dimana hiperglikemia

bertambah berat dan produksi insulin makin kurang. Pada ketoasidosis

diabetik dan hyperosmolar hiperglikemik, disamping kurangnya

insulin yang efektif dalam darah, terjadi juga peningkatan hormon

kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol, dan hormon

pertumbuhan.
16

Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh

ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang

mengakibatkan hyperglikemia dan perubahan osmolaritas extracellular.

Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon

kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan penglepasan/release asam

lemak bebas dari jaringan adipose (lipolysis) ke dalam aliran darah dan

oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (ß- hydroxybutyrate [ß-

OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan

ketonemia dan asidosis metabolik. Pada sisi lain, SHH mungkin

disebabkan oleh konsentrasi hormon insulin plasma yang tidak cukup

untuk membantu ambilan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap

insulin, tetapi masih cukup adekuat ( dibuktikan dengan C-peptide) untuk

mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis; akan tetapi bukti-bukti

untuk teori ini masih lemah. KAD dan hyperosmolar hiperglikemik

berkaitan dengan glikosuria, yang menyebabkan diuresis osmotik,

sehingga air, natrium, kalium, dan elektrolit lain keluar(8)


17

6. FAKTOR PENCETUS

Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada

keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia

ini antara lain :

1. Infeksi : meliputi 20 – 55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan

oleh Infeksi. Infeksinya dapat berupa : Pneumonia Infeksi traktus

urinarius Abses Sepsis Lain-lain.

2. Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler Infark miokard akut

Emboli paru Thrombosis V.Mesenterika

3. Trauma, luka bakar, hematom subdural.

4. Heat stroke

5. Kelainan gastrointestinal: Pankreatitis akut Kholesistitis akut Obstruksi

intestinal

6. Obat-obatan : Diuretika Steroid Lain-lain

Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang

bersangkutan menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya

tidak adekuat. Keadaan ini terjadi pada 20-40% kasus KAD. Pada

pasien muda dengan DM tipe 1, permasalahan psikologis 5 yang

diperumit dengan gangguan makan berperan sebesar 20% dari seluruh

faktor yang mencetuskan ketoasidosis. Faktor yang bisa mendorong

penghentian suntikan insulin pada pasien muda meliputi ketakutan

akan naiknya berat badan pada keadaan kontrol metabolisme yang

baik, ketakutan akan jatuh dalam hypoglikemia, pemberontakan

terhadap otoritas, dan stres akibat penyakit kronis.


18

7. DIAGNOSIS

Presentasi klinik Keadaan dekompensasi metabolik akut biasanya didahului oleh

gejala diabetes yang tidak terkontrol. Gejala-gejalanya antara lain lemah badan,

pandangan kabur, poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan. KAD berkembang

dengan cepat dalam waktu beberapa jam. Bau nafas seperti buah mengindikasikan adanya

aseton yang dibentuk dengan ketogenesis. Mungkin terjadi pernafasan Kussmaul sebagai

mekanisme kompensasi terhadap asidosis metabolik.. Hipotermia, jika ada, adalah suatu

petanda buruknya prognosis.(6)

Nyeri abdomen lebih sering terjadi pada KAD dibandingkan dengan hiperosmolar

hiperglikemik. Diperlukan perhatian khusus untuk pasien yang mengeluh nyeri abdomen,

sebab gejala ini bisa merupakan akibat ataupun faktor penyebab (terutama pada pasien

muda) KAD. Evaluasi 6 lebih lanjut harus dilakukan jika keluhan ini tidak berkurang

dengan perbaikan dehidrasi dan asidosis metabolic(15)

Parameter KAD ringan KAD sedang KAD berat


Glukosa darah >250 >250 >250
Osmolaritas Bervariasi Bervariasi Bervariasi
serum
Keton darah/urin Positif Positif Positif
PH arteri 7.25 – 7.30 7.00 – 7.24 <7,00
Bikarbonat 15 – 18 10 – 15 <10
Anion gap >10 >12 >12
Status mental Sadar Apatis Stupor atau koma
19

8. PEMERIKSAAN LABORATORIK

Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD meliputi

penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit,

osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan dipstik, analisa gas darah

pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung jenis, dan elektrokardiogram. Kultur

bakteri dari air seni, darah, dan tenggorokan dan lain-lain harus dilakukan dan

antibiotik yang sesuai harus diberikan jika dicurigai ada infeksi. A1c mungkin

bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut ini adalah akumulasi dari

suatu proses evolusiner yang tidak didiagnosis atau DM yang tidak terkontrol

,atau suatu episode akut pada pasien yang terkendali dengan baik. Foto thorax

harus dikerjakan jika ada indikasi. Pada mayoritas pasien DKA kadar amilase

meningkat, tetapi ini mungkin berkaitan dengan sumber nonpankreatik. Serum

lipase bermanfaat untuk menentukan diagnosa banding dengan pankreatitis. Nyeri

abdominal dan peningkatan kadar amilase dan enzim hati lebih sering terjadi pada

(15)
DKA

9. TATA LAKSANA

Kebehasilan pengobatan KAD dan HONK membutuhkan koreksi

dehidrasi, hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi

komorbid yang merupakan faktor presipitasi; dan yang sangat penting adalah

perlu dilakukan monitoring pasien yang ketat. Faktor presipitasi diobati, serta

langkah-langkah pencegahan rekurensi perlu dilaksanakan dengan baik.


20

Terapi cairan: Pasien Orang dewasa. Terapi cairan pada awalnya ditujukan

untuk memperbaiki volume intravascular dan extravascular dan mempertahankan

perfusi ginjal. Terapi cairan juga akan menurunkan kadar glukosa darah tanpa

bergantung pada insulin, dan menurunkan kadar hormon kontra insulin (dengan

demikian memperbaiki sensitivitas terhadap insulin).

Pada keadaan tanpa kelainan jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak 15–

20 ml/kg berat badan/jam. Pilihan yang berikut untuk mengganti cairan tergantung

pada status hidrasi, kadar elektrolit darah, dan banyaknya urin. Secara umum,

NaCl 0.45% diberikan sebanyak 4–14 ml/kg/jam jika sodium serum meningkat

atau normal; NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang sama jika Na serum

rendah. Selama fungsi ginjal diyakinkini baik, maka perlu ditambahkan 20–30

mEq/l kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat diberikan

secara oral. Keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan

hemodinamik (perbaikan dalam tekanan darah), pengukuran input/output cairan,

dan pemeriksaan fisik. Penggantian cairan diharapkan dapat mengkoreksi defisit

dalam 24 jam pertama. Pasien berusia < 20 tahun Terapi cairan pada awalnya

ditujukan untuk memperbaiki volume intravascular dan extravascular ,dan

mempertahankan perfusi ginjal. Kebutuhan untuk mempertahankan volume

vaskuler harus disesuaikan untuk menghindari risiko edema cerebral karena

pemberian cairan yang terlalu cepat. Dalam 1 jam pertama cairan yang bersifat

isotonik (NaCl 0.9%) sebanyak 10–20 ml/kgbb/jam. Pada pasien dengan dehidrasi

berat, pemberian ini perlu diulang, tetapi awal pemberian kembali mestinya tidak

melebihi 50 ml/kg pada 4 jam pertama therapy.


21

Terapi Cairan selanjutnya untuk menggantikan defisit cairan dilakukan

dalam 48 jam. Secara umum NaCl, 0.45–0.9% ( tergantung pada kadar sodium

serum) diberikan dengan kecepatan 1.5 kali dari kebutuhan pemeliharaan selama

24-h ( 5 ml/kg/jam) akan mencukupi kebutuhan rehidrasi, dengan penurunan 9

osmolaritas tidak melebihi 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1. Sekali lagi jikTa fungsi

ginjal diyakini baik dan kalium serum diketahui, maka perlu diberikan 20–40

mEq/l kalium ( 2/3 KCl atau potassium-acetate dan 1/3 KPO4).

Jika glukosa serum mencapai 250 mg/dl, cairan harus diubah menjadi
(16)
dextrose 5% dan NaCl 0.45–0.75%, dengan kalium seperti diuraikan di atas.

Pengelolaan juga meliputi pemantauan status mental agar dapat dengan cepat

mengidentifikasi perubahan apabila terjadi overload yang iatrogenik, yang dapat

mengakibatkan edema cerebral.

Terapi Insulin Pada keadaan KAD ringan , insulin reguler diberikan

dengan infus intravena secara kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa,

jika tidak ada hipokalemia ( K+ < 3.3 mEq/l, maka pemberian insulin intravena

secara bolus dengan dosis 0.15 unit/kg bb, diikuti pemberian insulin reguler secara

infus intravena yang kontinu dengan dosis 0.1 unit· kg-1· h-1 ( 5–7 unit/jam pada

orang dewasa). Dosis insulin rendah ini pada umumnya dapat menurunkan

konsentrasi glukosa plasma sebanyak 50–75 mg(16)·


22

10. KOMPLIKASI

Seringnya komplikasi terjadi karena ketoasidosis itu sendiri ataupun dari terapi

yang diberikan.

1. Oedem cerebral

Walaupun mekanisme dari edema cerebral tidak diketahui, diduga

diakibatkan oleh perubahan osmolaritas dari air pada sistem saraf pusat

dimana terjadi penurunan osmolaritas dengan cepat pada terapi ketosis.

2. Hipoglikemia dalam kaitan dengan pemberian insulin yang berlebihan,

3. Hipokalemia dalam kaitan dengan pemberian insulin berlebihan

11. PROGNOSIS

Prognosis pasien biasanya tergantung dari early diagnosis dan kecepatan danketepatan

dari tatalaksana yang diberikan pasien. Apabila diagnosis dan tatalaksana telah benar

maka dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien dengan ketoasidosis.
23

BAB 3

ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Musilah


Usia : 52 tahun
Status Pernikahan : Menikah
Jenis Kelamin :
Perempuan Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Desa batu Ampar ,Indragiri
Hilir Tanggal Masuk : 28 Desember 2023
Tanggal Keluar : 3 Januari 2024

B. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis dan
Alloanamnesis Tanggal : 29 Maret 2017
Pukul : 06.00 WIB

Keluhan Utama
Pasien datang diantar oleh keluarganya ke IGD RSUD Indrasari Rengat dengan

keluhan Penurunan Kesadaran 4 jam SMRS.Awalnya pasien Masih beraktifitas

seperti biasa namun sejak bangun pagi pasien merasakan badannya lemas dan hanya

mampu untuk berbaring .Pasien juga mengeluhkan kepala terasa pusing ,Nyeri ulu

hati dan mual Muntah. Pasien Muntah sebanyak 2 kali , berisi makanan dan air .

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu, diabetes melitus sejak 2

tahun yang lalu, asma sejak usia 21 tahun dan TB paru tahun 2014.
24

Riwayat Penyakit Dahulu

Ibu pasien memiliki riwayat Diabetes Melitus dan asma. Ayah pasien memiliki

riwayat Hipertensi.

Riwayat Pengobatan
Pasien menggunakan Obat Metformin 3 x 500 mg untuk mengontrol gula
darah,namun sering tidak diminum
Pasien menggunakan Amlodipin 10 mg untuk mengontrol tekanan darah.

Anamnesis menurut sistem


a. Umum : Lemas (+), demam (+), polidipsi (+)
b. Kepala : Pusing (-), trauma (-), rambut rontok (-)
c. Hidung : trauma (-), nyeri (-), secret (-) epistaksis (-), sumbatan (-)
d. Telinga : nyeri (-), secret (-), perdarahan (-), tinnitus (-),
gangguan pendengaran (-)
e. Mulut : mukosa kering (-), gusi berdarah (-), lidah kotor (-),
Sariawan (-), gangguan kecap (-)
f. Tenggorokan : dysphagia (-) serak (-)
g. Leher : benjolan (-) nyeri (-)
h. Thoraks : Jantung: berdebar (-), nyeri dada (+)
Paru: sesak (+), batuk (+),hemaptoe (-), orthopnoe (-),
PND (-)
i. Abdomen : kembung (-), mual (+), muntah (+), darah (-),
Nyeri (-), nyeri kolik (-), perut membesar (-), mencret (-),
tinja berdarah (-), tinja hitam (-)
j. Sal. Kemih : nyeri BAK (-), poliuria (+), hematuria (-)
k. Ekstremitas atas : kulit kering (-), bengkak (-), deformitas (-), sianosis (-),
kebas (+)
l. Ekstremitas bawah: kulit kering (-), bengkak (-), nyeri sendi (-), deformitas (-),
sianosis (-), kebas (+)
25

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis (GCS: E4V5M6)
Cara bicara : Normal
Cara berbaring : Semi fowler
Cara duduk : Tegap
Penampilan : Penampilan rapi dan bersih
Keadaan khusus : Sesak (+) sianosis (-) oedem (-) ikterik (-)
Tanda Vital : Tekanan darah 160/100 mmHg
: Nadi 100 x/menit
: Pernapasan 26 x/menit
: Suhu 37,0o C
Status Generalis
Kulit
Warna kulit sawo matang, pucat (-), sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit baik, kulit
kering (-), efloresensi bermakna (-)
Kepala
 Normosefali, bentuk lonjong tidak ada deformitas, rambut hitam, distribusi
merata, tidak mudah dicabut.
 Telinga : daun telinga bentuk normal simetris (normotia), nyeri tarik atau nyeri
lepas (-/- ), liang telinga lapang (+/+), serumen (-/-)
 Hidung : ukuran normal, tidak ada deformitas / septum deviasi, tidak terdapat
sekret, tidak ada pernapasan cuping hidung, kavum nasi tampak lapang (+/+)
 Mata : konjungtiva anemis (-/- ), sklera ikterik (-/- ), pupil isokor (+/+), refleks
cahaya langsung (+/+), reflek cahaya tidak langsung (+/+)
 Mulut : sianosis (-), bibir kering (-), mukosa mulut kering (-), tidak ada
efloresensi yang bermakna, oral hygine baik, uvula letak di tengah, tidak
hiperemis, arkus faring tidak hiperemis dan tidak tampak detritus, tonsil T2/T2,
lidah tampak kotor (-)
26

Leher
 Inspeksi : bentuk dan ukuran proporsional, tidak tampak benjolan KGB dan
kelenjar tiroid

 Palpasi : Kelenjar getah bening tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar, letak trakea normal tidak ada deviasi

Thorax
Inspeksi : Tidak tampak efloresensi yang bermakna, gerak pernafasan simetris,
tulang iga tidak terlalu vertikal maupun horizontal, retraksi otot-otot pernapasan (-
)
Palpasi : gerakan nafas kanan – kiri simetris, vocal fremitus simetris. Ictus cordis
teraba setinggi ICS 5 1 cm dari garis midclavicula kiri.
Perkusi
 didapatkan perkusi sonor pada paru kiri maupun kanan.

 batas paru dan hepar : setinggi ICS 5 linea midclavicula kanan dengan
suara redup dan ditemukan peranjakan (+) ± 2 jari pemeriksa.

 batas paru dan jantung kanan : setinggi ICS 3 hingga 5 linea sternalis
kanan dengan suara redup.

 batas paru dan jantung kiri : setinggi ICS 5 ± 1 cm linea midclavicula kiri
dengan suara redup.

 batas atas jantung : setinggi ICS 3 linea parasternalis kiri.

 batas paru dan lambung : setingi ICS 7 linea aksilaris anterior kiri dengan
suara timpani.

Auskultasi
 Paru : suara napas vesikuler +/+, wheezing -/- , ronchi +/+

 Jantung : Bunyi jantung I & II regular, murmur (-) gallop (-).


27

Abdomen
Inspeksi
 Bentuk abdomen normal, mendatar dan simetris.

 Warna kulit sawo matang, pucat (-), ikterik (-), kemerahan (-), spider navy (-),
tidak tampak efloresensi yang bermakna

 Gerak dinding simetris, tipe pernapasan abdominothorakal.

Auskultasi
 Bising usus (+) 1-3 x/menit.

 Tidak terdengar arterial bruit ataupun venous hum.

Perkusi
 Pada keempat kuadran didapatkan suara timpani

 Batas bawah hepar didapatkan setinggi ICS 7 garis midklavikula kanan


dengan suara pekak.

 Batas atas hepar didapatkan setinggi ICS 5 linea midclavicula kanan dengan
suara redup

Palpasi
 Dinding abdomen rata, supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas tekan (-), turgor kulit
normal

 Tidak teraba pembesaran hepar ataupun lien.

Ekstremitas
 Bentuk dan proporsi ukuran terhadap tubuh baik.

 Inspeksi : Simetris, tidak tampak efloresensi yang bermakna, oedem


(--/--), palmar eritema (-/- ).

 Palpasi : kulit kering (-), akral hangat, oedem (--/--).


28

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium (28/12/2023)
JENIS HASIL NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Leukosit 25.58 ribu/µL 3.8 – 10.6
Eritrosit 4.53 juta/µL 4.4 – 5.9
Hemoglobin 12.8 g/dL 13.2 – 17.3
Hematokrit 38.3 % 40 – 52
Trombosit 472 ribu/µL 150 – 440
Kimia Klinik
Ureum 37 mg/dL 17 – 49
Kreatinin 1.10 mg/dL < 1.2
Glukosa Sewaktu 756 mg / dl 60-140
SGOT 27.1 <32
SGPT 25.7 <33
ELEKTROLIT
Natrium 124 mmol/L 135 – 155
Kalium 5.9 mmol/L 3.6 – 5.5
Chlorida 108 mmol/L 98 – 109
29

3.3 Diagnosis kerja

Penurunan Kesadaran EC Ketoasidosis Diabetikum dd Koma Hiperosmolar

Non Ketotik

Hiponatremia

3.4 Tata Laksana

-Tirah Baring

-IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm

-Inf.Metronidazole 3 x 500 mg

-Inj.Meropenem 3 x 1

-Inj.Pantoprazole 2 x 40 mg

-Inj.Ondansentron 3 x 8 mg

-SP.Novorapid 5u/ Jam

-Cek GDS / JAM


30

DISKUSI

Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan keadaan akhir pada kelainan metabolik akibat

defisiensi insulin berat. KAD juga dapat terjadi akibat gangguan efektivitas kerja insulin, misalnya

pada keadaan stres, ketika terjadi sekresi hormon counter- regulatory yang menghambat kerja

insulin.

Dari anamnesis didapatkan gejala diabetes melitus: polidipsia, poliuria, polifagia, nokturia,

enuresis, dan lemas (malaise); riwayat penurunan berat badan dalam beberapa waktu terakhir yang

tidak dapat dijelaskan sebabnya. Selain itu, juga dapat ditemukan nyeri perut, mual, muntah tanpa

diare, jamur mulut atau jamur pada alat kelamin, dan keputihan, dehidrasi, hiperpnea, napas berbau

aseton, syok dengan atau tanpa koma.Dicurigai KAD apabila ditemukan dehidrasi berat namun

masih terjadi poliuria.(2,5,6)Pada pemeriksaan fisis pasien dengan KAD, dapat ditemui gejala asidosis,

dehidrasi dengan atau tanpa syok; pernapasan Kussmaul (pada kasus yang berat dapatterjadi depresi

napas); mual, muntah, dan sakit perut seperti akut abdomen; penurunan kesadaran hingga koma;

demam; napas berbau aseton; serta peningkatan produksi urin.(2,5,6)Ada kasus pasien ini, diagnosis

diabetes melitus tipe 1 dengan riwayat KAD ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang. Pasien adalah seorang anak perempuan usia 14 tahun yang dibawa ke

rumah sakit dengan keluhan lemas yang semakin memberat sejak satu minggu SMRS. Gejala yang

dialami pasien sesuai dengan gejala klinis KAD. Pasien tidak memiliki riwayat klinis DM, tetapi

dari data epidemiologi KAD terjadipada 20-40% kasus DM awitan baru. Pasien juga mengeluhkan

polidipsia, puliuria, nokturia, malaise, dan penurunan berat badan, yang merupakan gejala khas

DM. Pasien ini juga mengeluhkan nyeri perut, mual, dan muntah tanpa diare, yang menyokong

diagnosis DM.(1-6)
31

DAFTAR PUSTAKA

1. Inouye SK. Delirium in older persons. N Engl J Med. 2006; 354: 1157-65.
2. Wass S, Webster PJ, Nair BR. Delirium in the elderly: A review. Oman Med J. 2008;
23(3): 150-7.
3. Fong TG, Tulebaev SR, Inouye SK. Delirium in elderly adults: Diagnosis, prevention
and treatment. Nat Rev Neurol. 2009; 5(4): 210-20. doi: 10.1038/nrneurol.2009.24
4. Soejono CH. Sindrom delirium. In: Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata

MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: Interna
Publishing; 2009. p. 907-12.
5. Flinn DR, Diehl KM, Seyfried LS, Malani PN. Prevention, diagnosis, and
management of postoperative delirium in older adults. J Am Coll Surg. 2009; 209(2):
261-8. doi: 10.1016/j. amcollsurg.2009.03.008
6. Lorenzi S, Fusgen I, Noachtar S. Acute confusional states in the elderly- diagnosis
and treatment. Dtsch Arztebl Int. 2012; 109(21): 391-400.
7. Mattar I, Chan MF, Childs C. Risk factors for acute delirium in critically ill adult
patients: A systematic review. ISRN Critical Care 2013: 1-10. doi:
10.5402/2013/910125
8. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental

disorders. 5th ed. Arlington, VA: American Psychiatric Publishing; 2013.


9. Wei LA, Fearing MA, Sternberg EJ, Inouye SK. The confusion assessment method:
A systematic review of current usage. J Am Geriatr Soc. 2008; 56: 823-30.
10. McNicoll L, Inouye SK. Delirium. In: Landefeld CS, Palmer RM, Johnson MA,

Johnston CB, Lyons WL, editors. Current geriatric diagnosis and treatment. 1 st ed.
McGraw-Hill: New York; 2004.
11. Flaherty JH, Gonzales JP, Dong B. Antipsychotics in the treatment of delirium in
older hospitalized adults: A systematic review. J Am Geriatr Soc. 2011; 59: 269-76.
12. Campbell N, Boustani MA, Ayub A, Fox GC, Munger SL, Ott C, et al.
Pharmacological management of delirium in hospitalized adults- a systematic
evidence review. J Gen Intern Med. 2009; 24(7): 848-53. doi: 10.1007/s11606-009-
0996-7
32

13. Fatimah Restyana N. Diabetes Melitus Tipe 2. J Majority. 2015; vol 4 (5); 93-101
14. Willian T, Bakris G, Blonde L, Andrew B, et al. Standards of medical care in
diabetes 2015. American Diabetes Association. Diabetes care; January 2015; vol 38
(1); S70-S85
15. Soelistijo S, Novida H, Soewondo P, Suastika K, et al. Konsensus pengelolaan dan
pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia. PERKENI; Juli 2015.

Anda mungkin juga menyukai