PENDAHULUAN
1.4 Manfaat
BAB II
TINJAUAN TEORI
Kecepatan ekskresi berbagai zat dalam urine menunjukkan jumlah ketiga proses ginjal
yaitu filtrasi glomerulus, reabsorpsi zat dari tubulus renal ke dalam darah, dan sekresi zat dari
darah ke tubuluus renal. Pembentukan urine dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan
yang bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula bowmen. Kebanyakan zat dalam
plasma, kecuali untuk protein, difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat
glomerulus dalam kapsula bowmen hampir sama dengan dalam plasma. Ketika cairan yang
telah difiltrasi ini meninggalkan kapsula bowmen dan mengalir melewati tubulus, cairan
diubah oleh reabsorpsi air dan zat terlarut spesifik yang kembali ke dalam darah atau oleh
sekresi zat – zat lain dari kapiler peritubulus ke dalam tubulus. Kemudian disekresi dari
peritubulus ke epitel tubulus dan menuju cairan tubulus. Sekresi merupakan proses penting
sebab filtrasi tidak mengeluarkan seluruh material yang dibuang dari plasma.
Uretra muncul dari kandung kemih , pada laki-laki uretra berjalan lewat penis dan
pada wanita bermuara tepat di sebelah anterior vagina. Pada laki-laki, kelenjar prostat yang
terletak tepat di bawwah leher kandung kemih mengelilingi uretra di sebelah posterior
dan lateral. Sfingter urinarius eksterna merupakan otot volunter yang bulat untuk
mengendalikan proses awal urinasi (Smeltzer, 2002).
Menurut Smeltzer (2008), system urinarius secara fisiologis terdapat pada fungsi
utama ginjal yaitu mengatur cairan serta elektrolit dan komposisi asam basa cairan tubuh,
mengeluarkan produk akhir metabolik dari dalam darah dan mengatur tekanan darah. Di
bawah ini beberapa fungsi dari ginjal antara lain adalah sebagai berikut :
Biasanya lebih banyak asam yang harus dieliminasi dari dalam tubuh jika
dibandingkan dengan jumlah yang dapat diekskresikan langsung sebagai asam bebas
dalam urin. Pekerjaan ini dilaksanakan melalui ekskresi renal asam yang terikat pada zat
pendapar kimiawi. Asam (H+) disekresikan oleh sel-sel tubulus ginjal ke dalam filtrat
dan disini dilakukan pendaparan terutama oleh ion-ion fosfat serta amonia (ketika
didapar dengan asam, amonia akan berubah menjadi amonium). Fosfat terdapat
dalam filtrat glomerulus dan amonia dihasilkan oleh sel-sel tubulus ginjal serta
disekresikan ke dalam cairan tubuler. Melalui proses pendaparan, ginjal dapat
mngekskresikan sejumlah besar asam dalam bentuk yang terikat tanpa menurunkan lebih
lanjut nilai pH urin.
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolism
serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif
dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah
(Muttaqin,2011).
Sedangkan menurut Smeltzer (2008), gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir
(ERSD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Ini
dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus; glomerulonefritis kronis;
pielonefritis; hipertensi yang tidak dapat dikontrol; obstruksi traktus urinarius; lesi herideter,
seperti penyakit ginjal polikistik; gangguan vaskuler; infeksi; medikasi; atau agens toksik.
Lingkungan dan agens berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis mencakup timah,
cadmium, merkuri, dan kromium. Dialysis atau transplantasi ginjal kadang-kadang
diperlukan untuk kelangsungan hidup pasien.
Gagal ginjal kronik menurut Muttaqin (2011) selalu berkaitan dengan penurunan
progresif GFR. Stadium-stadium gagal ginjal kronik didasarkan pada tingkat GFR yang
tersisa dan meliputi hal-hal berikut :
1. Penurunan cadangan ginjal, yang terjadi apabila GFR turun 50% dari normal.
2. Insufisinensi ginjal, yang terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35% dari normal. Nefron-
nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya
beban yang mereka terima.
3. Gagal ginjal, yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal. Semakin banyak nefron
yang mati.
4. Gagal ginjal terminal, yang terjadi apabila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal.
Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Pada seluruh ginjal ditemukan jaringan
parut dan atrofi tubulus. Sedangkan dalam buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/
SMF Ilmu Penyakit Dalam(2008), gagal ginjal kronik diklasifikasikan menjadi 5 stadium
berdasarkan kemapuan :
Terdapat berbagai macam teknik untuk menghitung laju GFR seseorang, yang paling
mudah adalah dengan menggunakan kalkukator GFR yang telah tersedia dan dapat diakses
secara online. Namun, untuk menghitung GFR, diperlukan nilai kadar kreatinin darah yang
bisa didapatkan dengan pemeriksaan laboratorium darah. Sehingga penurunan fungsi ginjal
dapat diketahui ketika pemeriksaan ditingkat pratama dilakukan, dan tidak menunggu
keputusan dokter spesialis.
2.4 Etiologi
Menurut Muttaqin (2011), banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya
gagal ginjal kronik, akan tetapi, apapun sebabnya, respons yang terjadi adalah penurunan
fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan
GGK bisa disebabkan dari ginjal dan diluar ginjal :
Menurut Smeltzer (2008) manifestasi klinis gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut:
2.6 Patofisiologi
Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronis dimulai pada fase awal gangguan,
keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan
bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25%
normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa
yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa menigkatkan
kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi. Seiring dengan
makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi tugas yang
semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari
siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk
meningkatkan reabdorpsi protein. Pada saat penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi
pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal akan berkurang yang menyebabkan
penurunan fungsi renal (Muttaqin, 2011).
Fungsi renal menurun karena produk akhir metabolism protein tertimbun dalam darah,
sehingga mengakibatkan terjadinya uremia dan memengaruhi seluruh system tubuh.
Semakin banyak timbunan produksi sampah maka gejala semaklin berat. Gangguan
clearance renal terjadi akibat penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi. Penurunan laju
filtrasi glomerulus dideteksi dengan memeriksa clearance kreatinin urin tamping 24 jam
yang menunjukkan penurunan clearance kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum
(Nursalam, 2009).
Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum
merupakan indicator yang paling sensitive dari fungsi renal karena substansi ini
diproduksi seacra konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal,
tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan
medikasi seperti steroid (Smeltzer, 2008).
Menurut Muttaqin (2011), terdapat beberapa respons gangguan pada GGK :
1. Ketidak seimbangan cairan
Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu memekatkan urin
(hipothenuria) dan kehilangan airan yang berlebihan (polioria). Hipothenuria tidak
disebabkan atau berhubungan dengan penuruna jumlah nefron, tetapi oleh peningkatan
beban zat tiap nefron. Hal terjadi karena keutuhan nefron yang membawa zat tersebut
dan kelebihan air untuk nefron-nefron tersebut tidak dapat berfungsi lama. Terjadi
osmotic diuretic, menyebabkan seseorang menjadi dehidrasi.
Jika jumlah nefron yang tidak berfungsi meningkat, maka ginjal tidak mampu
menyaring urin (isothenuria). Pada tahap ini glomerulus menjadi kaku dan plasma tidak
dapat difilter dengan mudah melalui tubulus, maka akan terjadi kelebihan cairan dengan
retensi air dan natrium.
2. Ketidakseimbangan natrium
Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius di mana ginjal dapat
mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq setiap hari atau dapat meningkat sampai 200 mEq
per hari. Variasi kehilangan natrium berhubungan dengan intact nephron theory. Dengan
kata lain, bila terjadi kerusakan nefron, maka tidak terjadi pertukaran natrium. Nefron
menerima kelebihan natrium sehingga menyebabkan GFR menurun dan dehidrasi.
Kehilangan natrium lebih meningkat pada gangguan gastrointestinal, terutama
muntah dan diare. Keadaan ini memperburuk hiponatremia dan dehidrasi. Pada GGK
yang berat keseimbangan natrium dapat dipertahankan meskipun terjadi kehilangan yang
fleksibel pada nilai natrium. Orang sehat dapat pula meningkat di atas 500 mEq/hari.
Bila GFR menurun di bawah 25-30 ml/menit, maka eksresi natrium kurang dari 25
mEq/hari, maksimal eksresinya 150-200 mEq/hari. Pada keadaan ini natrium dalam diet
dibatasi yaitu sekitar 1-1,5 gram/hari.
3. Ketidakseimbangan kalium
Jika keseimbangan cairan dan asidosis metabolic terkontrol, maka hyperkalemia
jarang terjadi sebelum stadium IV. Keseimbangan kalium berhubungan dengan sekresi
aldosterone. Selama urin output dipertahankan, kadar kalium biadanya terpelihara.
Hyperkalemia terjadi karena pemasukan kalium yang berlebihan, dampak pengobatan,
hiperkatabolik (infeksi), atau hiponatremia. Hyperkalemia juga merupakan
karakteristik dari tahap uremia.
Hypokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat, pada penyakit tubuler
ginjal, dan penyakit nefron ginjal, di mana kondisi ini akan menyebabkan ekskresi
kalium meningkat. Jika hypokalemia persisten, kemungkinan GFR menurun dan
produksi NH3 meningkat; HCO3 menurun dan natrium bertahan.
4. Ketidakseimbangan asam basa
Asidosis metabolic terjadi karena ginjal tidak mampu mengekskresikan ion
hydrogen untuk menjaga pH darah normal. Disfungsi renal tubuler mengakibatkan
ketidakmampuan pengeluaran ion H dan pada umumnya penurunan ekskresi H+
sebanding dengan penurunan GFR. Asam yang secara terus-menerus dibentuk oleh
metabolisme dalam tubuh dan tidak difiltrasi secara efektif, NH3 menurun dan sel
tubuler tidak berfungsi. Kegagalan pembentukan bikarbonat memperberat
ketidakseimbangan. Sebagian kelebihan hydrogen dibuffer oleh mineral tulang.
Akibatnya asidosis metabolic memungkinkan terjadinya osteodistrofi.
5. Ketidakseimbangan magnesium
Magnesium pada tahap awal GGK adalah normal, tetapi menurun secara progresif
dalam ekskresi urin sehingga menyebabkan akumulasi. Kombinasi penurunan ekskresi
dan intake yang berlebihan pada hipermagnesiema dapat mengakibatkan henti napas dan
jantung.
2.7
2.8 Pemeriksaan Penunjang Gagal Ginjal Kronik
Dalam Mutaqin (2011) disebutkan ada pengkajian diagnostik pada pasien dengan GGK yaitu
:
1. Laboratorium
a. Laju endap darah : meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan
hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom dan jumlah retikulosit yang
rendah.
b. Ureum dan kreatinin : meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 30 : 1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan obstruksi
saluran kemih. Perbandingan ini berkurang : ureum lebih kecil dari kreatinin pada
diet rendah protein, dan tes klirens kreatinin yang menurun.
c. Hiponatremi : umumnya karena kelebihan cairan.
d. Hiperkalemia : biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunnya diuresis.
e. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia : terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin D
pada GGK.
f. Phosphate alkalin meninggi akibat gangguan metabolisme tulang , terutama
isoenzim fosfatase lindi tulang.
g. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia, umumnya disebabkan gangguan
metabolisme dan diet rendah protein.
h. Peningkatan gula darah akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal
ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
i. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan peningkatan
hormon insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
j. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan Ph yang menurun,
BE yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya disebabkan retensi asam-basa
organik pada gagal ginjal.
2. Radiologi
a. Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau adanya
suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal oleh sebab itu
penderita diharapkan tidak puasa.
b. Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu
misalnya usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
c. USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal , anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih dan
prostat.
d. Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vaskular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
e. EKG untuk melihat kemungkinan : hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).
2.9 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis
selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada gagal ginjal tahap akhir dan faktor yang
dapat dipulihkan (mis. Obstruksi) diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer, 2008).
1. Terapi Pengganti Ginjal (TPG)/ Replacement Renal Teraphy (RRT)
1) Dialysis
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanankan proses
tersebut (Smeltzer, 2008). Menurut Muttaqin (2008) dialysis dapat dilakukan
untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yand serius, seperti hyperkalemia,
pericarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki abnormalitas biokimia;
menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas;
menghilangkan kecenderungan perdarahan; dan membantu penyembuhan luka.
Pemberian dialysis juga diklasifikasikan oleh Smeltzer (2008) menurut waktu
pemberiannya yaitu dialysis akut dan dialysis kronik.
a. Dialysis akut
Dialysis akut diperlukan bila kadar kalium yang tinggi atau yang meningkat
(kalium serum > 6 mEq/L),
b. Dialysis Kronik
Sedangkan dialysis kronik dibutuhkan pada GGK (penyakit ginjal stadium
terminal) dalam keadaan sebagai berikut : terjadinya tanda-tanda dan gejala
uremia (ureum darah > 200 mg/L) yang mengenai seluruh sistem tubuh (mual,
serta muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi, konfusi mental), kadar kalium
serum meningkat (> 6 mEq/L),
Berdasarkan metode, dialysis dibagi menjadi dua yaitu (smeltzer, 2008) :
a) Hemodialysis (HD)
b) Peritoneal Dialisis (PD)
2) Transplantasi Ginjal
Dijelaskan dalam Smeltzer (2008) bahwa transplantasi ginjal telah menjadi
terapi pilihan bagi mayoritas pasien dengan penyakit renal tahap akhir. Pasien
memilih transplantasi ginjal dengan berbagai alasan, seperti keinginan untuk
menghindari dialisis atau untuk memperbaiki perasaan sejahtera dan harapan hidup
untuk hidup secara normal. Selain itu, biaya transplantasi ginjal yang sukses
dibandingkan dialisis adalah sepertiganya. Transplantasi ginjal melibatkan
menanamkan ginjal dari donor hidup yang sesuai dan cocok bagi pasien (mereka
dengan antigen ABO dan HLA yang cocok) akan lebih baik daripada transplan yang
berasal dari donor kadaver. Nefrektomi terhadap ginjal asli pasien dilakukan untuk
transplantasi. Ginjal transplan diletakkan di fosa iliaka anterior sampai krista
iliaka pasien. Ureter dari ginjal transplan ditanamkan ke kandung kemih atau
dianastomosikan ke ureter resipien.
1) Pre-operatif
(1) Tujuan
Mengembalikan status metabolik pasien ke kadar normal sedekat mungkin.
(2) Persiapan
Pemeriksaan fisik lengkap, sampel jaringan, sampel darah dan skrining
antibosi untuk menentukan kecocokan jaringan dari donor dan resipien.Tes
diagnostik dan traktus urinarius bawah perlu diteliti untuk mengkaji fungsi
leher kandung kemih dan mendeteksi refluk ureteeral.Pastikan pasien
bebas dari infeksi, koreksi juka ada penyakit gingiva dan karies gigi. Kaji
mekanisme koping, riwayat sosial dan sumber finansial. Riwayat psikiatrik
juga perlu dikaji.
(3) Intervensi
Penyuluhan preoperatif meliputi informasi higiene pulmoner pascaoperatif,
penatalksanaan nyeri, pembatasan diet, jalur intravena dan arteri, selang dan
ambulasi dini.
2) Post operatif
(1) Tujuan
Mepertahankan homeostasis sampai ginjal transplan berfungsi dengan baik.
Ginjal yang dapat berfungsi merupakan tanda prognosis yang
menggembirakan.
(2) Penatalasanaan
Terapi imunosupresif dan antisipasi rejeksi tandur.
(3) Intervensi
Mengkaji rejeksi dan infeksi, memantau fungsi urinarius dan mencegah
komplikasi seperti ulserasi GI dan perdarahan akibat steroid, kolonissi
jamur di traktus GI (mulut) dan kandung kemih akibat kortikosteroid dan
antibiotik, penyakit kardiovaskuler dan kemungkinan timbulnya tumor atau
malignansi.
Asupan protein dibatasi 0,6-0,8 gram/kgBB/hari. Rata-rata kebutuhan protein sehari pada
penderita GGK adalah 20-40 gram. Kebutuhan kalori minimal 35 kcal/kgBB/hari.
Diet rendah protein tinggi kalori akan memperbaiki keluhan mual, menurunkan BUN dan
akan memperbaiki gejala. Selain itu diet rendah protein akan menghambat progresivitas
penurunan faal ginjal (PDDT, 2008).
Sedangkan menurut keluarga sehat hospital, diet rendah protein diberikan untuk pasien
penyakit ginjal kronik sebelum hemodialisis (pre-dialisis) dengan jumlah protein yang boleh
dikonsumsi adalah 0,6-0,75 g/kgberat badan/hari. Asupan garam yang dianjurkan
sebelum dialysis antara 2,5 – 5 gr garam/hari, pembatasan asupan kalium dianjurkan bila
kadar kalium dalam darah > 5,5 meq dan asupan kalium yang dianjurkan adalah 40
mg/kgBB/hari. Bahan makanan yang tinggi kalium berupa umbi, buah-buahan, kacang-
kacangan, tidak dianjurkan mengkonsumsi : kentang, alpokat, pisang, mangga, tomat, daun
singkong, rebung, bayam.
4. Pengelolaan hipertensi
Berbeda dengan pengendalian hipertensi pada umumnya, pada PGK masalah pembatasan
cairan mutlak dilakukan. Target tekanan darah 125/75 mmHg diperlukan untuk menghambat
laju progresivitas penurunan faal ginjal. Penghambat ACE dan ARB diharapkan akan
mengahambat progresivitas PGK. Pemantauan faal ginjal secara serial perlu dilakukan
pada awal pengobatan hipertensi jika digunakan penghambat ACE dan ARB. Apabila
dicurigai adanya stenosis arteria renal, penghambat ACE merupakan kontraindikasi (PPDT,
2008).
5. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada PGK adalah hyperkalemia dan asidosis.
Hyperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah mengancam jiwa. Perubahan
gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hyperkalemia membahayakan jiwa. Pencegahan
meliputi :
a. Diet rendah kalium : menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta sayuran berlebih.
b. Menghindari penggunaan diuretic K-sparring : furosemide, spironolactone. Pengobatan
hyperkalemia tergantung derajat kegawatannya
Gawat : glukonas calcicus intravena (10-20 ml 10% Ca gluconate); glukosa intravena (25-
50 %); insulin 10-20 unit; natrium bikarbonat intravena (25-100 ml 8,4 % NaHCO3); dapat
digunakan juga insulin kerja cepat 2 U yang dicampur dextrose 40%
25 cc, diberikan bolus IV. Meningkatkan : Furosemid
Ekskresi kalium : K-exchange resin; dialysis
2.10 Komplikasi
Komplikasi gagal ginjal kronis yang perlu menjadi perhatian perawat dan
memerlukan pendekatan kolaboratif untuk perawatan meliputi :
1. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, metabolisme asidosis, katabolisme, dan
asupan yang berlebihan (diet, obat-obatan, cairan).
2. Perikarditis pada PD, efusi perikardial, dan tamponade perikardial karena retensi
produk limbah uremic dan dialisis tidak memadai.
3. Hipertensi akibat retensi natrium dan air dan kerusakan sistem renin-angiotensin-
aldosteron system.
4. Anemia akibat penurunan produksi erythropoietin, penurunan RBC umur, perdarahan
di saluran pencernaan dari racun menjengkelkan dan pembentukan ulkus, dan kehilangan
darah selama hemodialysis.
5. Penyakit tulang dan kalsifikasi metastatik dan vaskular karena retensi fosfor, kalsium
serum rendah tingkat, metabolisme vitamin D abnormal, dan tinggi tingkat aluminium
b) Makanan
Rasional : Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat
diidentifikasi
Intervensi :
b) pengukuran antropometrik
c) nilai laboratorium (elektrolit serum, BUN, kreatinin, protein,
transferin dan kadar besi).
b) makanan kesukaan
c) hitung kalori.
fosfat)
Kriteria Hasil :
2) Akral hangat
4) Nilai laboratorium dalam batas normal (kalium 3,5-5,1 mmol/L, urea 15-
39 mg/dl)
Intervensi :
1) Auskultasi bunyi jantung dan paru, evaluasi adanya edema perifer atau
kongesti vaskuler dan keluhan dispnea, awasi tekanan darah, perhatikan
postural misalnya : duduk, berbaring dan berdiri.
2) Evaluasi bunyi jantung akan terjadi friction rub, tekanan darah, nadi
perifer, pengisisan kapiler, kongesti vaskuler, suhu tubuh dan mental.
Rasional : Mengkaji adanya kedaruratan medik.
Kriteria hasil :
5) Nilai laboratorium dalam batas normal (ureum) 15-39 mg/dl, kreatinin 0,6-1,3
mg/dl)
Intervensi :
40
Rasional : Memberikan perbandingan untuk mengevaluasi perkembangan atau
perbaikan gangguan.
41
Rasional : Perbaikan hipoksia dapat mempengaruhi kognitif.
Kriteria Hasil :
Intervensi :
42
1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor dan perhatikan adanya
kemerahan, ekimosis, purpura.
43
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
a) Anemia
d) Depresi
44
Rasional : Mendorong latitan dan aktivitas dalam batas-batas yang dapat
ditoleransi dan istirahat yang adekuat.
Kriteria Hasil :
45
3) Menunjukkan ekspresi rileks dan tidak cemas.
Intervensi :
1) Diskusikan tentang manifestasi klinik yang mungkin muncul pada klien dan cara
perawatannya.
3) Kaji ulang pembatasan diet, termasuk fosfat (contoh : produk susu, unggas,
jagung, kacang) dan magnesium (contoh : produk gandum, polong-polongan).
Rasional : Pembatasan fosfat merangsang kelenjar paratiroid untuk
pergeseran kalsium dari tulang (osteodistrofi ginjal) dan akumulasi
magnesium dapat mengganggu fungsi neurologis dan mental.
46
2.12 Asuhan keperawatan Kasus CKD
47