Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal adalah gagalnya ginjal membuang metabolit yang terkumpul dari darah.
Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari
berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal. Gagal ginjal mengakibatkan gangguan
keseimbangan elektrolit, asam basa dan air. Gagal ginjal di klasifikasikan menjadi gagal
ginjal akut dan gagal ginjal kronis (Smeltzer, 2008; Tambayong, 2001).
Keadaan dimana Penurunan cepat/tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal
disebut gagal ginjal akut. Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi
kreatinin serum atau azotemia (peningkatan konsentrasi BUN (blood Urea Nitrogen).
Setelah cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang
menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin, Sedangkan
dimana ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi
cairan tubuh yang berlangsung progresif, lambat, samar dan bersifat irreversible (biasanya
berlangsung beberapa tahun) di sebut dengan gagal ginjal kronik.
Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan masalah
kesehatan dunia dengan peningkatan insidensi, prevalensi serta tingkat morbiditas. Biaya
perawatan penderita CKD mahal dengan “outcome” yang buruk. Pada tahun 1995 secara
nasional terdapat 2.131 pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis dengan beban biaya
yang ditanggung Askes besarnya adalah Rp 12,6 milyar. Pada tahun 2000 terdapat sebanyak
2.617 pasien dengan hemodialisis dengan beban yang ditanggung oleh Askes sebesar Rp 32,4
milyar dan pada tahun 2004 menjadi 6.314 kasus dengan biaya Rp 67,2 milyar. Di banyak
negara termasuk negara berkembang seperti Indonesia, angka kematian akibat CKD atau end
stage renal disease (ESRD) terus meningkat. Data di beberapa bagian nefrologi di Indonesia,
diperkirakan insidensi PGK berkisar 100-150 per 1 juta penduduk dan prevalensi mencapai
200-250 kasus per juta penduduk. Menurut data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri)
tahun 2000, glomerulonefritis merupakan
46,39% penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis, sedangkan diabetes melitus
insidennya 18,65 % di susul obstruksi/ infeksi ginjal 12,85% dan hipertensi 8,46%
(Firmansyah, 2010; Hidayati et al., 2008; Sudoyo, 2007) Jika penyakit ini tidak dilakukan
penatalaksanaan yang tepat maka akan mengarah pada kematian. Dan salah satu
penatalaksanaan yang tepat dalam menangani kasus ini yaitu dengan meninjau secara
konservatif tentang fungsi ginjal sedapat mungkin serta melakukan dialysis atau transplantasi
ginjal (Smeltzer, 2002).
1.2 Rumusan Masalah
1. Anatomi dan Fisiologi Ginjal
2. Definisi CKD
3. Klasifikasi CKD
4. Etiologi CKD
5. Manifestasi klinis CKD
6. Patofisiologi dan WOC dari CKD
7. Fathway CKG
8. Pemeriksaan penunjang CKD
9. Penatalaksanaan CKD
10. Komplikasi CKD
11. Konsep Asuhan Keperawatan CKD
12. Askep Kasus CKD
1.3 Tujuan

1.4 Manfaat

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan


Secara anatomi, kedua ginjal terletak pada sisi dari kolumna tulang belakang antara T12
dan L3. Ginjal kiri terletak agak lebih superior disbanding ginjal kanan. Permukaan anterior
ginjal kiri diselimuti oleh lambung, pancreas, jejunum, dan sisi fleksi kolon kiri. Permukaan
superior setiap ginjal terdapat kelenjar adreanal (Muttaqin, 2011).
Menurut Smeltzer (2008), organ ini terbungkus oleh jaringan ikat tipis yang dikenal
sebagai kapsula renis. Disebelah anterior, ginjal dipisahkan dari kavum abdomen dan isinya
oleh lapisan peritoneum. Di sebelah posterior, organ tersebut dilindungi oleh dinding
torak bawah. Darah dialirkan ke dalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari
dalam ginjal melalui vena renalis. Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis dan vena
renalis membawa darah kembali ke dalam vena kava inferior. Ginjal dengan efisien dapat
membersihkan bahan limbah dari dalam darah dan fungsi ini bisa dilaksanakannya karena
aliran darah yang melalui ginjal jumlahnya sangat besar, 25% dari curah jantung.
Bagian unit fungsional terkecil dari ginjal adalah nefron. Ada sekitar 1 juta nefron pada
setiap ginjal di mana apabila dirangkai akan mencapai panjang 145 km (85 mil). Ginjal tidak
dapat membentuk nefron baru, oleh karena itu pada keadaan trauma ginjal atau proses
penuaan akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap di mana jumlah nefron yang
berfungsi akan menurun sekitar 10% setiap 10 tahun, jadi pada usia 80 tahun jumlah nefron
yang berfungsi 40% lebih sedikit daripada usia 40 tahun. Nefron terdiri atas glomerulus yang
akan dilalui sejumlah cairan untuk difiltrasi dari darah dan tubulus yang panjang di mana
cairan yang difiltrasi diubah menjadi urine dalam perjalanannya menuju pelvis ginjal
(Muttaqin, 2011).

Sumber: Donna (2009) Gambar 2.1 Anatomi Ginjal

Kecepatan ekskresi berbagai zat dalam urine menunjukkan jumlah ketiga proses ginjal
yaitu filtrasi glomerulus, reabsorpsi zat dari tubulus renal ke dalam darah, dan sekresi zat dari
darah ke tubuluus renal. Pembentukan urine dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan
yang bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula bowmen. Kebanyakan zat dalam
plasma, kecuali untuk protein, difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat
glomerulus dalam kapsula bowmen hampir sama dengan dalam plasma. Ketika cairan yang
telah difiltrasi ini meninggalkan kapsula bowmen dan mengalir melewati tubulus, cairan
diubah oleh reabsorpsi air dan zat terlarut spesifik yang kembali ke dalam darah atau oleh
sekresi zat – zat lain dari kapiler peritubulus ke dalam tubulus. Kemudian disekresi dari
peritubulus ke epitel tubulus dan menuju cairan tubulus. Sekresi merupakan proses penting
sebab filtrasi tidak mengeluarkan seluruh material yang dibuang dari plasma.

Sumber: Donna (2009) Gambar 2.2 Anatomi Nefron

Menurut Nursalam (2009), ureter merupakan saluran retroperitoneum yang


menghubungakan ginjal dengan kandung kemih. Kandung kemih berfungsi sebagai
penampung urine. Oragan ini berbentuk seperti buah pir atau kendi. Kandung kemih
terletak di dalam panggul besar, di depan isi lainnya, dan di belakang simpisis pubis.
Sebagian besar dinding kandung kemih tersusun dari otot polos yang dinamakan muskulus
detrusor. Kontraksi otot ini terutama berfungsi untuk mengosongkan kandung kemih pada
saat buang air kecil (urinasi).

Uretra muncul dari kandung kemih , pada laki-laki uretra berjalan lewat penis dan
pada wanita bermuara tepat di sebelah anterior vagina. Pada laki-laki, kelenjar prostat yang
terletak tepat di bawwah leher kandung kemih mengelilingi uretra di sebelah posterior
dan lateral. Sfingter urinarius eksterna merupakan otot volunter yang bulat untuk
mengendalikan proses awal urinasi (Smeltzer, 2002).

Menurut Smeltzer (2008), system urinarius secara fisiologis terdapat pada fungsi
utama ginjal yaitu mengatur cairan serta elektrolit dan komposisi asam basa cairan tubuh,
mengeluarkan produk akhir metabolik dari dalam darah dan mengatur tekanan darah. Di
bawah ini beberapa fungsi dari ginjal antara lain adalah sebagai berikut :

1. Pengaturan ekskresi asam

Katabolisme atau pemecahan protein meliputi produksi senyawa-senyawa yang


bersifat asam, khususnya asam fosfat dan sulfat. Disamping itu, bahan yang asam akan
dikonsumsi dengan jumlah tertentu setiap harinya. Berbeda dengan CO2, bahan ini
merupakan asam non-atsiri dan tidak dapat dieliminasi lewat paru. Karena akumulasinya
dalam darah akan menurunkan nilai PH (bersifat lebih asam) dan menghambat fungsi sel,
maka asam ini harus diekskresikan ke dalam urin. Seseorang dengan fungsi ginjal yang
normal akan mengekskresikan kurang lebih 70 mEq asam setiap harinya. Ginjal dapat
mngeksresikan sebagian asam ini secaralangsung ke dalam urin sehingga mencapai
kadar yang akan menuunkan nilai pH urin sampai 4,5 yaitu 1000 kali lebih asam daripada
darah.

Biasanya lebih banyak asam yang harus dieliminasi dari dalam tubuh jika
dibandingkan dengan jumlah yang dapat diekskresikan langsung sebagai asam bebas
dalam urin. Pekerjaan ini dilaksanakan melalui ekskresi renal asam yang terikat pada zat
pendapar kimiawi. Asam (H+) disekresikan oleh sel-sel tubulus ginjal ke dalam filtrat
dan disini dilakukan pendaparan terutama oleh ion-ion fosfat serta amonia (ketika
didapar dengan asam, amonia akan berubah menjadi amonium). Fosfat terdapat
dalam filtrat glomerulus dan amonia dihasilkan oleh sel-sel tubulus ginjal serta
disekresikan ke dalam cairan tubuler. Melalui proses pendaparan, ginjal dapat
mngekskresikan sejumlah besar asam dalam bentuk yang terikat tanpa menurunkan lebih
lanjut nilai pH urin.

2. Pengaturan ekskresi elektrolit


1) Natrium
Jumlah elektrolit dan air yang harus dieksresikan lewat ginjal setiap harinya sangat
bervariasi menurut jumlah yang dikonsumsi. Seratus delapan puluh liter filtrat yang
terbentuk oleh glomerulus setiap harinya mengandung sekitar 1100 gr natrium
klorida. Seluruh elektrolit dan air kecuali 2 liter air dan 6 hingga 8 gram natrium
klorida, secara normal direabsorbsi oleh ginjal. Air dan filtrat mengikuti natrium yang
direabsorbsi untuk mempertahankan keseimbangan osmotik. Kemudian air, natrium
klorida, elektrolit lain dan produk limbah diekskresikan sebagai urin. Jadi, lebih dari
99% air dan natrium yang disaring pada glomerulus direabsorbsi ke dalam darah pada
saat urin meninggalkan tubuh. Dengan mengatur jumlah natrium yang direabsorbsi
(dan dengan demikian air) ginjal dapat mengatur volume cairan tubuh.
(1) Jika natrium diekskresikan dalam jumlah yang melebihi jumlah natrium yang
dikonsumsi maka pasien akan mengalami dehidrasi.
(2) Jika kalium dieksresikan dalam jumlah yang kurang dari jumlah kalium yang
dikonsumsi pasien akan menahan cairan.
Pengaturan jumlah natirum yang dieksresikan tergantung pada aldosteron yatu
hormon yang disintesis dan dilepas oleh korteks adrenal. Dengan terjadinya
peningkatan kadar aldosteron dalam darah, jumlah natrium yang diekskresikan ke
dalam urin menjadi lebih sedikit mengingat aldoteron meningkatkan reabsorbsi
natrium dalam ginjal.
Pelepasan aldoteron dari korteks adrenal terutama dikendalikan oleh
angiotensin yang merupakan hormon peptida yang dibuat dalam hati dan
diaktifkan dalam paru. Kadar angiotensin lebih lanjut dikendalikan oleh renin, yaitu
hormon yang dilepaskan dari sel-sel ginjal. Sistem yang kompleks ini akan diaktifkan
ketika tekanan di arteriol renal turun hingga di bawah nilai normal. Sistem yang
kompleks ini akan diaktifkan ketika tekanan dalam arteriol renal turun hingga di
bawah normal seperti yang terjadi pada keadaan syok dan dehidrasi. Pengaktivan
sistem ini akan menimbulkan efek peningkatan retensi air dan peningkatan volume
cairan intravaskuler. Hormon adrenokortikotropik juga menstimulasi sekresi
aldosteron tanpa tergantung pada perubahan cairan.
2) Kalium
Elektrolit lain yang konsentrasinya dalam cairan tubuh diatur oleh ginjal adalah
kalium, yaitu ion dengan jumlah yang besar di dalam sel. Ekskresi kalium oleh ginjal
akan meningkat seiring dengan meningkatnya kadar aldosteron sehingga berbeda
dengan efek aldosteron pada ekskresi natrium. Retensi kalium merupakan akibat yang
paling fatal dari gagal ginjal.
3. Pengaturan ekskresi air
Pengaturan jumlah air yang diekskresikan juga merupakan fungsi ginjal yang
penting. Akibat asupan air atau cairan yang besar, urin yang encer harus diekskresikan
dalm jumlah yang besar. Sebaliknya, jika asupan cairannya sedikit, urin yang akan
diekskresikan menjadi lebih pekat.
1) Osmolalitas
Derajat relatif pengenceran atau pemekatan urin dapat diukur dalam pengertian
osmolailtas. Istilah ini mrencerminkan jumlah partikel (elektrolit dan molekul
lainnya) yang larut dalam urin. Filtrat dalam kapiler glomerulus normalnya memiliki
osmolalitas yang sama dengan darah dengan nilai kurang lebih 300 mOsm/L (300
mmol/L). Ketika filtrat melewati tubulus dan saluran pengumpul osmolalitasnya
dapat berkisar dari 50-1200 mOsm/L yang mencerminkan kemampuan pengenceran
dan pemekatan yang maksimal dari ginjal.
Osmolalitas spesimen urin dapat diukur. Dalam pengukuran osmolalitas urin,
yang disebut larutan adalah komponen air dalam urin dan partikelnya yaitu elektrolit
serta produk akhir metabolisme. Apabila individu mengalami dehidrasi atau
kehilangan cairan maka dalam urin biasanya akan terdapat lebih sedikit air dan
secara proporsional lebih banyak partikel (yang menunjukkan osmolalitas yang
tinggi) yang membuat urin menjadi lebih pekat. Kalau seseorang mengekskresikan
air dengan jumlah yang besar ke dalam urin, maka partikel-partikel tersebut akan
diencerkan dan urin akan tampak encer. Substansi tertentu dapat mengubah volume
air yang diekskresikan dan dinamakan sebagai substansi yang osmotik-aktif. Apabila
substansi ini tersaring, substansi tersebut akan menarik air lewat glomerulus serta
tubulus dan meningkatkan volume air. Glukosa dan protein merupakan dua contoh
molekul yang osmotik aktif.
Osmolalitas urin yang normal adalah 30-1100 mOsm/kg; sesudah terjadi retensi
cairan selama 12 jam, osmolalitas urin biasanya akan berkisar dari 500 hingga 850
mOsm/kg. Kisaran nilai-nilai normal yang luas ini membuat pemeriksaan tersebut
hanya berarti dalam situasi ketika kemampuan ginjal untuk memekatkan dan
mengencerkan terganggu.
2) Berat jenis urin
Berat jenis urin tidak begitu tepat dibandingkan osmolalitas urin dan
mencerminkan kuantitas maupun sifat partikel. Oleh karena itu protein, glukosa dan
bahan kontras yang disuntikkan secara intravena akan memberikan pengaruh yang
lebih besar pada berat jenis daripada osmolalitas. Berat jenis normal berkisar dari
1,015 – 1,025 (bila asupannya normal).

3) Hormon Antidiuretik (ADH)


Pengaturan ekskresi air dan pemekatan urin dilaksanakan di dalam tubulus
dengan memodifikasi jumlah air yang direabsorbsi yang berhubungan dengan
reabsorbsi elektrolit. Filtrat glomerulus pada hakekatnya memiliki komposisi
elektrolit yan g sama seperti dalam plasma darah tanpa protein. Jumlah air yag
direabsorbsi berada di bawah kendali hormon antidiuretik (ADH/ vasopresor).
ADH merupakan hormon yang disekresikan oleh bagian posterior kelenjar
hipofisis sebagai respon terhadap perubahan osmolalitas darah. Dengan menurunnya
asupan air, osmolalitas darah cenderung meningkat dan menstimulasi pelepasan
ADH. Kemudian ADH bekerja pada ginjal untuk meningkatkan reabsorbsi air dengan
demikian mengambalikan osmolalitas darah ke keadaan normal. Dengan asupan air
yang berlebihan sekresi ADH oleh kelenjar hipofisis akan ditekan dan dengan
demikian, lebih sedikit air yang akan direabsorbsi oleh tubulus ginjal. Situasi yang
terakhir ini menyebabkan volume air meningkat (diuresis). Kehilangan kemampuan
untuk memekatkan dan mengencerkan urin merupakan manifestasi penyakit ginjal
yang paling dini. Pada keadaan ini akan diekresikan urin yang encer dengan berat
jenis yang tetap atau osmolalitas yang tetap.
4. Otoregulasi tekanan darah
Pengaturan atau regulasi tekanan darah juga merupakan salah satu fungsi sistem
renal. Suatu homron yang dinamakan renin disekresikan oleh sel-sel jukstaglomerular
ketika tekanan darah turun. Suatu enzim akan mengubah renin menjadi angiotensin I yang
kemudian diubah menjadi angiotensin II, yaitu senyawa vasokonstriktor paling kuat.
Vasokonstriksi menyebabkan peningkatan tekanan darah. Aldosteron disekresikan
oleh korteks adrenal sebagai reaksi terhadap stimulasi oleh kelenjar hipofisis dan
pelepasan ACTH sebagai reaksi terhadap perfusi yang jelek atau peningkatan
osmolalitas serum. Akibatnya adalah peningkatan tekanan darah.

2.2 Gagal Ginjal kronis

Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolism
serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif
dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah
(Muttaqin,2011).

Sedangkan menurut Smeltzer (2008), gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir
(ERSD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Ini
dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus; glomerulonefritis kronis;
pielonefritis; hipertensi yang tidak dapat dikontrol; obstruksi traktus urinarius; lesi herideter,
seperti penyakit ginjal polikistik; gangguan vaskuler; infeksi; medikasi; atau agens toksik.
Lingkungan dan agens berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis mencakup timah,
cadmium, merkuri, dan kromium. Dialysis atau transplantasi ginjal kadang-kadang
diperlukan untuk kelangsungan hidup pasien.

2.3 Klasifikasi gagal ginjal kronis

Gagal ginjal kronik menurut Muttaqin (2011) selalu berkaitan dengan penurunan
progresif GFR. Stadium-stadium gagal ginjal kronik didasarkan pada tingkat GFR yang
tersisa dan meliputi hal-hal berikut :

1. Penurunan cadangan ginjal, yang terjadi apabila GFR turun 50% dari normal.
2. Insufisinensi ginjal, yang terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35% dari normal. Nefron-
nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya
beban yang mereka terima.
3. Gagal ginjal, yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal. Semakin banyak nefron
yang mati.
4. Gagal ginjal terminal, yang terjadi apabila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal.
Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Pada seluruh ginjal ditemukan jaringan
parut dan atrofi tubulus. Sedangkan dalam buku Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/
SMF Ilmu Penyakit Dalam(2008), gagal ginjal kronik diklasifikasikan menjadi 5 stadium
berdasarkan kemapuan :

GFR pada ginjal :

Tabel 2.1 : Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik

Category Terms GPR


1 Normal or high >90

2 Mildy decreased 60 –89

3a Mildy to moderately decreased 45 –59

3b Moderately to severely decreased 30 –44

4 Severely decreased 15 –29

5 Kidney failure < 15


Sumber : Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/ SMF Ilmu Penyakit Dalam (2008)

Terdapat berbagai macam teknik untuk menghitung laju GFR seseorang, yang paling
mudah adalah dengan menggunakan kalkukator GFR yang telah tersedia dan dapat diakses
secara online. Namun, untuk menghitung GFR, diperlukan nilai kadar kreatinin darah yang
bisa didapatkan dengan pemeriksaan laboratorium darah. Sehingga penurunan fungsi ginjal
dapat diketahui ketika pemeriksaan ditingkat pratama dilakukan, dan tidak menunggu
keputusan dokter spesialis.

Menghitung laju GFR dapat dilakukan dengan perhitungan berikut :

GFR laki laki = (140 - umur) x kgBB / (72 x serum kreatinin)

GFR perempuan = (140 - umur) x kgBB x 0,85 / (72 x serum kreatinin

2.4 Etiologi

Menurut Muttaqin (2011), banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya
gagal ginjal kronik, akan tetapi, apapun sebabnya, respons yang terjadi adalah penurunan
fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan
GGK bisa disebabkan dari ginjal dan diluar ginjal :

1. Penyakit dari ginjal


1) Kista di ginjal: polcystis kidney
2) Penyakit pada saringan (glomerulus): glomerulonephritis
3) Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteritis
4) Batu ginjal: nefrolitiasis
5) Trauma langsung pada ginjal
6) Keganasan pada ginjal
7) Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/striktur.
2. Penyakit umum di luar ginjal
1) Penyakit sistemik: diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi.
2) Dyslipidemia.
3) SLE.
4) Infeksi: TBC, paru, sifilis, malaria, hepatitis
5) Preeklampsia
6) Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar)
7) Obat-obatan

2.5 Manifestasi klinis

Menurut Smeltzer (2008) manifestasi klinis gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut:

1. Sistem pernapasan (B1/ Breathing)


1) Krekels
2) Sputum kental dan liat
3) Napas dangkal
4) Pernapasan kusmaul
2. Sistem Kardiovaskuler (B2/ Blood)
1) Hipertensi
2) Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
3) Edema periorbital
4) Friction rub pericardial
5) Pembesaran vena leher
3. Sistem neurologi (B3/Brain)
1) Kelemahan dan keletihan
2) Konfusi
3) Disorientasi
4) Kejang
5) Kelemahan pada tungkai
6) Rasa panas pada telapak kaki
7) Perubahan perilaku
4. Sistem Perkemihan
Ditemukan oliguria sampai anuria.
5. Sistem pencernaan
1) Napas berbau ammonia
2) Ulserasi dan perdarahan pada mulut
3) Anoreksia, mual dan muntah
4) Konstipasi dan diare
5) Perdarahan dari saluran GI
6. Sistem integument (B6 /Integumen)
1) Warna kulit abu-abu, mengkilat
2) Kulit kering, bersisik
3) Pruritus
4) Ekimosis
5) Kuku tipis dan rapuh
6) Rambut tipis dan kasar

7. Sistem muskuloskeletal (B6 /Bone)


1) Kram otot
2) Kekuatan otot hilang
3) Fraktur tulang
4) Foot drop
8. Sistem resproduksi
1) Amenore
2) Atrofi testikuler

2.6 Patofisiologi
Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronis dimulai pada fase awal gangguan,
keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan
bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25%
normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa
yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa menigkatkan
kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi. Seiring dengan
makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi tugas yang
semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari
siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk
meningkatkan reabdorpsi protein. Pada saat penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi
pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal akan berkurang yang menyebabkan
penurunan fungsi renal (Muttaqin, 2011).
Fungsi renal menurun karena produk akhir metabolism protein tertimbun dalam darah,
sehingga mengakibatkan terjadinya uremia dan memengaruhi seluruh system tubuh.
Semakin banyak timbunan produksi sampah maka gejala semaklin berat. Gangguan
clearance renal terjadi akibat penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi. Penurunan laju
filtrasi glomerulus dideteksi dengan memeriksa clearance kreatinin urin tamping 24 jam
yang menunjukkan penurunan clearance kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum
(Nursalam, 2009).
Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum
merupakan indicator yang paling sensitive dari fungsi renal karena substansi ini
diproduksi seacra konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal,
tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan
medikasi seperti steroid (Smeltzer, 2008).
Menurut Muttaqin (2011), terdapat beberapa respons gangguan pada GGK :
1. Ketidak seimbangan cairan
Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu memekatkan urin
(hipothenuria) dan kehilangan airan yang berlebihan (polioria). Hipothenuria tidak
disebabkan atau berhubungan dengan penuruna jumlah nefron, tetapi oleh peningkatan
beban zat tiap nefron. Hal terjadi karena keutuhan nefron yang membawa zat tersebut
dan kelebihan air untuk nefron-nefron tersebut tidak dapat berfungsi lama. Terjadi
osmotic diuretic, menyebabkan seseorang menjadi dehidrasi.
Jika jumlah nefron yang tidak berfungsi meningkat, maka ginjal tidak mampu
menyaring urin (isothenuria). Pada tahap ini glomerulus menjadi kaku dan plasma tidak
dapat difilter dengan mudah melalui tubulus, maka akan terjadi kelebihan cairan dengan
retensi air dan natrium.
2. Ketidakseimbangan natrium
Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius di mana ginjal dapat
mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq setiap hari atau dapat meningkat sampai 200 mEq
per hari. Variasi kehilangan natrium berhubungan dengan intact nephron theory. Dengan
kata lain, bila terjadi kerusakan nefron, maka tidak terjadi pertukaran natrium. Nefron
menerima kelebihan natrium sehingga menyebabkan GFR menurun dan dehidrasi.
Kehilangan natrium lebih meningkat pada gangguan gastrointestinal, terutama
muntah dan diare. Keadaan ini memperburuk hiponatremia dan dehidrasi. Pada GGK
yang berat keseimbangan natrium dapat dipertahankan meskipun terjadi kehilangan yang
fleksibel pada nilai natrium. Orang sehat dapat pula meningkat di atas 500 mEq/hari.
Bila GFR menurun di bawah 25-30 ml/menit, maka eksresi natrium kurang dari 25
mEq/hari, maksimal eksresinya 150-200 mEq/hari. Pada keadaan ini natrium dalam diet
dibatasi yaitu sekitar 1-1,5 gram/hari.
3. Ketidakseimbangan kalium
Jika keseimbangan cairan dan asidosis metabolic terkontrol, maka hyperkalemia
jarang terjadi sebelum stadium IV. Keseimbangan kalium berhubungan dengan sekresi
aldosterone. Selama urin output dipertahankan, kadar kalium biadanya terpelihara.
Hyperkalemia terjadi karena pemasukan kalium yang berlebihan, dampak pengobatan,
hiperkatabolik (infeksi), atau hiponatremia. Hyperkalemia juga merupakan
karakteristik dari tahap uremia.
Hypokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat, pada penyakit tubuler
ginjal, dan penyakit nefron ginjal, di mana kondisi ini akan menyebabkan ekskresi
kalium meningkat. Jika hypokalemia persisten, kemungkinan GFR menurun dan
produksi NH3 meningkat; HCO3 menurun dan natrium bertahan.
4. Ketidakseimbangan asam basa
Asidosis metabolic terjadi karena ginjal tidak mampu mengekskresikan ion
hydrogen untuk menjaga pH darah normal. Disfungsi renal tubuler mengakibatkan
ketidakmampuan pengeluaran ion H dan pada umumnya penurunan ekskresi H+
sebanding dengan penurunan GFR. Asam yang secara terus-menerus dibentuk oleh
metabolisme dalam tubuh dan tidak difiltrasi secara efektif, NH3 menurun dan sel
tubuler tidak berfungsi. Kegagalan pembentukan bikarbonat memperberat
ketidakseimbangan. Sebagian kelebihan hydrogen dibuffer oleh mineral tulang.
Akibatnya asidosis metabolic memungkinkan terjadinya osteodistrofi.
5. Ketidakseimbangan magnesium
Magnesium pada tahap awal GGK adalah normal, tetapi menurun secara progresif
dalam ekskresi urin sehingga menyebabkan akumulasi. Kombinasi penurunan ekskresi
dan intake yang berlebihan pada hipermagnesiema dapat mengakibatkan henti napas dan
jantung.

6. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfor


Secara noirmal kalsium dan fosfor dipertahankan oleh paratiroid hormone yang
menyebabkan ginjal mereabsorpsi kalsium, mobilisasi kalsium dari tulang, dan depresi
reabsorpsi tubuler dari fosfor. Bila fungsi ginjal menurun 20-25% dari normal,
hiperfosfatemia dan hipokalsemia terjadi sehingga timbul hiperparathyroidisme
sekunder. Metabolism vitamin D terganggu dan bila hiperparathyroidisme berlangsung
dalam waktu lama dapat mengakibatkan osteorenal dystrophy.
7. Anemia
Penurunan Hb disebabkan oleh hal-hal berikut :
a. Keruskan produksi eritropoetin
b. Masa hidup sel darah merah pendek karena perubahan plasma
c. Peningkatan kehilangan sel darah merah karena ulserasi gastrointestinal, dialysis,
dan pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.
d. Intake nutrisi tidak adekuat
e. Defisiensi folat
f. Defisiensi iron/zat besi
g. Peningkatan hormone paratiroid merangsang jaringan fibrosa atau osteoitis
fibrosis, menyebabkan produksi sel darah di sumsum menurun Menurut Corwin
(2000), kegagalan ginjal membentuk eritropoietin dalam jumlah yang adekuat sering
kali menimbulkan anemia dan keletihan akibat anemia berpengaruh buruk pada
kualitas hidup.
8. Ureum kreatinin
Urea yang merupakan hasil metabolic protein meningkat (terakumulsai) . kadar BUN
bukan indicator yang tepat dari penyakit ginjal sebab peningkatan BUN dapat terjadi
pada penurunan GFR dan peningkatan intake protein. Penilaian kreatinin serum adalah
indicator yang lebih pada gagal ginjal sebab kreatinin diekskresikan sama dengan jumlah
yang diproduksi tubuh.

2.7
2.8 Pemeriksaan Penunjang Gagal Ginjal Kronik
Dalam Mutaqin (2011) disebutkan ada pengkajian diagnostik pada pasien dengan GGK yaitu
:
1. Laboratorium
a. Laju endap darah : meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan
hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom dan jumlah retikulosit yang
rendah.
b. Ureum dan kreatinin : meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 30 : 1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan obstruksi
saluran kemih. Perbandingan ini berkurang : ureum lebih kecil dari kreatinin pada
diet rendah protein, dan tes klirens kreatinin yang menurun.
c. Hiponatremi : umumnya karena kelebihan cairan.
d. Hiperkalemia : biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunnya diuresis.
e. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia : terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin D
pada GGK.
f. Phosphate alkalin meninggi akibat gangguan metabolisme tulang , terutama
isoenzim fosfatase lindi tulang.
g. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia, umumnya disebabkan gangguan
metabolisme dan diet rendah protein.
h. Peningkatan gula darah akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal
ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
i. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan peningkatan
hormon insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
j. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan Ph yang menurun,
BE yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya disebabkan retensi asam-basa
organik pada gagal ginjal.

2. Radiologi
a. Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau adanya
suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal oleh sebab itu
penderita diharapkan tidak puasa.
b. Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu
misalnya usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
c. USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal , anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih dan
prostat.
d. Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vaskular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
e. EKG untuk melihat kemungkinan : hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).

2.9 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis
selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada gagal ginjal tahap akhir dan faktor yang
dapat dipulihkan (mis. Obstruksi) diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer, 2008).
1. Terapi Pengganti Ginjal (TPG)/ Replacement Renal Teraphy (RRT)
1) Dialysis
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanankan proses
tersebut (Smeltzer, 2008). Menurut Muttaqin (2008) dialysis dapat dilakukan
untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yand serius, seperti hyperkalemia,
pericarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki abnormalitas biokimia;
menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas;
menghilangkan kecenderungan perdarahan; dan membantu penyembuhan luka.
Pemberian dialysis juga diklasifikasikan oleh Smeltzer (2008) menurut waktu
pemberiannya yaitu dialysis akut dan dialysis kronik.
a. Dialysis akut
Dialysis akut diperlukan bila kadar kalium yang tinggi atau yang meningkat
(kalium serum > 6 mEq/L),
b. Dialysis Kronik
Sedangkan dialysis kronik dibutuhkan pada GGK (penyakit ginjal stadium
terminal) dalam keadaan sebagai berikut : terjadinya tanda-tanda dan gejala
uremia (ureum darah > 200 mg/L) yang mengenai seluruh sistem tubuh (mual,
serta muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi, konfusi mental), kadar kalium
serum meningkat (> 6 mEq/L),
Berdasarkan metode, dialysis dibagi menjadi dua yaitu (smeltzer, 2008) :
a) Hemodialysis (HD)
b) Peritoneal Dialisis (PD)
2) Transplantasi Ginjal
Dijelaskan dalam Smeltzer (2008) bahwa transplantasi ginjal telah menjadi
terapi pilihan bagi mayoritas pasien dengan penyakit renal tahap akhir. Pasien
memilih transplantasi ginjal dengan berbagai alasan, seperti keinginan untuk
menghindari dialisis atau untuk memperbaiki perasaan sejahtera dan harapan hidup
untuk hidup secara normal. Selain itu, biaya transplantasi ginjal yang sukses
dibandingkan dialisis adalah sepertiganya. Transplantasi ginjal melibatkan
menanamkan ginjal dari donor hidup yang sesuai dan cocok bagi pasien (mereka
dengan antigen ABO dan HLA yang cocok) akan lebih baik daripada transplan yang
berasal dari donor kadaver. Nefrektomi terhadap ginjal asli pasien dilakukan untuk
transplantasi. Ginjal transplan diletakkan di fosa iliaka anterior sampai krista
iliaka pasien. Ureter dari ginjal transplan ditanamkan ke kandung kemih atau
dianastomosikan ke ureter resipien.
1) Pre-operatif
(1) Tujuan
Mengembalikan status metabolik pasien ke kadar normal sedekat mungkin.
(2) Persiapan
Pemeriksaan fisik lengkap, sampel jaringan, sampel darah dan skrining
antibosi untuk menentukan kecocokan jaringan dari donor dan resipien.Tes
diagnostik dan traktus urinarius bawah perlu diteliti untuk mengkaji fungsi
leher kandung kemih dan mendeteksi refluk ureteeral.Pastikan pasien
bebas dari infeksi, koreksi juka ada penyakit gingiva dan karies gigi. Kaji
mekanisme koping, riwayat sosial dan sumber finansial. Riwayat psikiatrik
juga perlu dikaji.
(3) Intervensi
Penyuluhan preoperatif meliputi informasi higiene pulmoner pascaoperatif,
penatalksanaan nyeri, pembatasan diet, jalur intravena dan arteri, selang dan
ambulasi dini.
2) Post operatif
(1) Tujuan
Mepertahankan homeostasis sampai ginjal transplan berfungsi dengan baik.
Ginjal yang dapat berfungsi merupakan tanda prognosis yang
menggembirakan.
(2) Penatalasanaan
Terapi imunosupresif dan antisipasi rejeksi tandur.
(3) Intervensi
Mengkaji rejeksi dan infeksi, memantau fungsi urinarius dan mencegah
komplikasi seperti ulserasi GI dan perdarahan akibat steroid, kolonissi
jamur di traktus GI (mulut) dan kandung kemih akibat kortikosteroid dan
antibiotik, penyakit kardiovaskuler dan kemungkinan timbulnya tumor atau
malignansi.

2. Pengendalian keseimbangan air dan garam


Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urin. Yaitu produksi urin 24 jam ditambah
500 ml. Asupan garam tergantung evaluasi elektroolit, umumnya dibatasi
40-120 mEq (920-2760 mg). Diet normal mengandung rata-rata 150 mEq. Furosemide dosis
tinggi masih dapat digunakan pada awal PGK, akan tetapi pada fase lanjut tidak lagi
bermanfaat dan pada obstruksi merupakan kontraindikasi. Penimbangan berat badan,
pemantauan produksi urin serta pencatatan keseimbangan cairan akan membantu
pengelolaan keseimbanagn cairan dan garam (PDDT, 2008).
Jika transfusi darah diperlukan, maka dapat diberikan selama hemodialysis, sehingga
kelebihan kadar kalium dapat diatasi. Pada penderita dengan anemia hemolitik atau gagal
ginjal yang lama, jika kadar hemoglobin turun sampai di bawah 7 g/L (70 g/L) darah harus
diberikan. Pada penderita hipervolemik, transfuse darah membawa resiko penambahan
volume lebih lanjut, yang dapat menyebabkan hipertensi, gagal jantung kongestif, dan edem
paru. Transfuse lambat (4-6 jam) dengan sel darah merah segar terpampat (untuk
meminimalkan pemberian jumlah kalium) (10 mL/kg) akan mengurangi risiko
hypervolemia. Bila ada hypervolemia berat, anemia harus dikoreksi selama dialysis
(Behrman, 2000)

3. Diet rendah protein dan tinggi kalori

Asupan protein dibatasi 0,6-0,8 gram/kgBB/hari. Rata-rata kebutuhan protein sehari pada
penderita GGK adalah 20-40 gram. Kebutuhan kalori minimal 35 kcal/kgBB/hari.
Diet rendah protein tinggi kalori akan memperbaiki keluhan mual, menurunkan BUN dan
akan memperbaiki gejala. Selain itu diet rendah protein akan menghambat progresivitas
penurunan faal ginjal (PDDT, 2008).
Sedangkan menurut keluarga sehat hospital, diet rendah protein diberikan untuk pasien
penyakit ginjal kronik sebelum hemodialisis (pre-dialisis) dengan jumlah protein yang boleh
dikonsumsi adalah 0,6-0,75 g/kgberat badan/hari. Asupan garam yang dianjurkan
sebelum dialysis antara 2,5 – 5 gr garam/hari, pembatasan asupan kalium dianjurkan bila
kadar kalium dalam darah > 5,5 meq dan asupan kalium yang dianjurkan adalah 40
mg/kgBB/hari. Bahan makanan yang tinggi kalium berupa umbi, buah-buahan, kacang-
kacangan, tidak dianjurkan mengkonsumsi : kentang, alpokat, pisang, mangga, tomat, daun
singkong, rebung, bayam.
4. Pengelolaan hipertensi

Berbeda dengan pengendalian hipertensi pada umumnya, pada PGK masalah pembatasan
cairan mutlak dilakukan. Target tekanan darah 125/75 mmHg diperlukan untuk menghambat
laju progresivitas penurunan faal ginjal. Penghambat ACE dan ARB diharapkan akan
mengahambat progresivitas PGK. Pemantauan faal ginjal secara serial perlu dilakukan
pada awal pengobatan hipertensi jika digunakan penghambat ACE dan ARB. Apabila
dicurigai adanya stenosis arteria renal, penghambat ACE merupakan kontraindikasi (PPDT,
2008).
5. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa

Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada PGK adalah hyperkalemia dan asidosis.
Hyperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah mengancam jiwa. Perubahan
gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hyperkalemia membahayakan jiwa. Pencegahan
meliputi :
a. Diet rendah kalium : menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta sayuran berlebih.
b. Menghindari penggunaan diuretic K-sparring : furosemide, spironolactone. Pengobatan
hyperkalemia tergantung derajat kegawatannya

Gawat : glukonas calcicus intravena (10-20 ml 10% Ca gluconate); glukosa intravena (25-
50 %); insulin 10-20 unit; natrium bikarbonat intravena (25-100 ml 8,4 % NaHCO3); dapat
digunakan juga insulin kerja cepat 2 U yang dicampur dextrose 40%
25 cc, diberikan bolus IV. Meningkatkan : Furosemid
Ekskresi kalium : K-exchange resin; dialysis

Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air-hunger dan drowsiness. Pengobatan


intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada keadaan asidosis berat, sedangkan jika
tidak gawat dapat diberikan secara per-oral (PPDT, 2008).

2.10 Komplikasi
Komplikasi gagal ginjal kronis yang perlu menjadi perhatian perawat dan
memerlukan pendekatan kolaboratif untuk perawatan meliputi :
1. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, metabolisme asidosis, katabolisme, dan
asupan yang berlebihan (diet, obat-obatan, cairan).
2. Perikarditis pada PD, efusi perikardial, dan tamponade perikardial karena retensi
produk limbah uremic dan dialisis tidak memadai.
3. Hipertensi akibat retensi natrium dan air dan kerusakan sistem renin-angiotensin-
aldosteron system.
4. Anemia akibat penurunan produksi erythropoietin, penurunan RBC umur, perdarahan
di saluran pencernaan dari racun menjengkelkan dan pembentukan ulkus, dan kehilangan
darah selama hemodialysis.
5. Penyakit tulang dan kalsifikasi metastatik dan vaskular karena retensi fosfor, kalsium
serum rendah tingkat, metabolisme vitamin D abnormal, dan tinggi tingkat aluminium

2.11 Konsep Asuhan Keperawatan CKD


1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian yang dapat dilakukan pada pasien dengan GGK dalam Muttaqin (2011),
meliputi :
a. Keluhan utama
Keluhan utama yang didapat bisanya bervariasi, mulai dari urine output sedikit
sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan
(anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau ureum dan
gatal pada kulit.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji onset penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas,
kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya nafas berbau amonia, da
perubahan pemenuhan nutrisi. Kaji sudah ke mana saja klien meminta
pertolongan untuk mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatan apa.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit GGA, infeksi saluran kemih, payah jantung,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, BPH, dan prostatekstomi. Kaji adanya riwayat
penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit
DM, penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi
penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa
lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan.
d. Psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan dialisis akan
menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawwatan dan pengobatan menyebabkan pasien
mengalami kecemasan, gangguan konsep diri dan gangguan peran pada keluarga
(self esteem).
e. Pemeriksaan Fisik
a) B1 (Breathing)
Klien bernapas dengan bau urine (fetor amonia) sering didapatkan pada
fase ini. Respon uremia didapatkan adanya adanya pernapasan Kusmaul. Pola
nafas cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan pembuangan
karbondioksida yang menumpuk di sirkulasi.
b) B2 (Blood)
Pada kondisi uremia berat, tindakan auskultasi perawat akan menemukan
adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial. Didapatkan
tanda dan gejala gagal jantung kongestif, TD meningkat, akral dingin,
CRT >3detik, palpitasi, nyeri dada atau angina dan sesak nafas, gangguan
irama jantung, edema penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan
curah jantung akibat hiperkalemia dan gangguan konduksi elektrikal otot
ventrikel.
f. Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji onset penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas,
kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya nafas berbau amonia, da
perubahan pemenuhan nutrisi. Kaji sudah ke mana saja klien meminta
pertolongan untuk mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatan apa.
g. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit GGA, infeksi saluran kemih, payah jantung,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, BPH, dan prostatekstomi. Kaji adanya riwayat
penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit
DM, penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi
penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa
lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan.
h. Psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan dialisis akan
menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawwatan dan pengobatan menyebabkan pasien
mengalami kecemasan, gangguan konsep diri dan gangguan peran pada keluarga
(self esteem).
i. Pemeriksaan Fisik
a) B1 (Breathing)
Klien bernapas dengan bau urine (fetor amonia) sering didapatkan pada fase
ini. Respon uremia didapatkan adanya adanya pernapasan Kusmaul. Pola nafas
cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan pembuangan
karbondioksida yang menumpuk di sirkulasi.
b) B2 (Blood)
Pada kondisi uremia berat, tindakan auskultasi perawat akan menemukan
adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial. Didapatkan
tanda dan gejala gagal jantung kongestif, TD meningkat, akral dingin, CRT
>3detik, palpitasi, nyeri dada atau angina dan sesak nafas, gangguan irama
jantung, edema penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan curah
jantung akibat hiperkalemia dan gangguan konduksi elektrikal otot ventrikel.
Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai
akibat dari penurunan produksi eroteopoetin, lesi GI uremik, penurunan usia
sel darah merah dan kehilangan darah biasanya dari saluran GI, kecenderungan
mengalami
c) B3 (Brain)
Didapatkan penuruunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti proses pikir
dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya kejang, aadanya neuropati
perifer, burning feet syndrome, restless leg syndrome, kram otot dan nyeri otot.
d) B4 (Bladder)
Penurunan urine output <400ml/hr sampai anuria, terjadi penurunan libido
berat.
e) B5 (Bowel)
Didapatkan adnya mual dan muntah, anoreksia dan diare sekunder dari bau mulut
amonia, peradangan mukoa mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga sering
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan perdarahan sekunder dari
trombositopenia.
d. B6 (Bone)
2. Didapatkan adnaya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki (memburuk
saat malm hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi, pruritus, demam(sepsis,
dehidrasi), petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium
pada kulit , jaringan lunak dan keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan
fisik secara umum sekunder dari Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronik menurut Doenges
(2000), dan Smeltzer (2008) adalah :

a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet


berlebihan dan retensi cairan dan natrium.
anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake inadekuat, mual, muntah, anoreksia, pembatasan diet dan
penurunan membrane mukosa mulut.

c. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan


ketidakseimbangan cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja
miokardial dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan frekuensi,
irama, konduksi jantung, akumulasi toksik, kalsifikasi jaringan
lunak.

d. Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan


fisiologis seperti akumulasi toksin (urea, amonia)

e. Resiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi


toksik dalam kulit dan gangguan turgor kulit, gangguan status
metabolik.

f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia,


retensi produk sampah dan prosedur dialisis.

g. Kurang pengetahuan tentang pencegahan dan perawatan penyakit


gagal ginjal kronik berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah
interpretasi informasi dan kurangnya informasi.
3. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronik menurut Doenges

(2000), dan Smeltzer (2008) adalah:

a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet


berlebihan dan retensi cairan dan natrium.

Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.


Kriteria hasil:

1) Menunjukkan perubahan-perubahan berat badan yang lambat.

2) Mempertahankan pembatasan diet dan cairan.

3) Menunjukkan turgor kulit normal tanpa edema.

4) Menunjukkan tanda-tanda vital normal.

5) Menunjukkan tidak adanya distensi vena leher.

6) Melaporkan adanya kemudahan dalam bernafas atau tidak terjadi nafas


pendek.

7) Melakukan hygiene oral dengan sering.


8) Melaporkan penurunan rasa haus.

9) Melaporkan berkurangnya kekeringan pada membrane mukosa mulut.


Intervensi:

1) Kaji status cairan

a) Timbang berat badan harian

b) Keseimbangan masukan dan haluaran


c) Turgor kulit dan adanya edema

d) Distensi vena leher

e) Tekanan darah, denyut dan irama nadi.

Rasional : Pengkajian merupakan dasar berkelanjutan untuk memantau


perubahan dan mengevaluasi intervensi.

2) Batasi masukan cairan

Rasional : Pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal, haluaran


urine dan respons terhadap terapi.

3) Identifikasi sumber potensial cairan

a) Medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan, oral dan


intravena

b) Makanan
Rasional : Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat
diidentifikasi

4) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan.

Rasional : Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam


pembatasan cairan.

5) Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan cairan.

Rasional : Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap pembatasan


diet.

6) Tingkatkan dan dorong hygiene oral dengan sering.

Rasional : Hygiene oral mengurangi kekeringan membran mukosa mulut.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake


inadekuat, mual, muntah, anoreksia, pembatasan diet dan penurunan membrane
mukosa mulut.

Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat


Kriteria hasil :

1) Mengkonsumsi protein yang mengandung nilai biologis tinggi

2) Memilih makanan yang menimbulkan nafsu makan dalam pembatasan diet

3) Mematuhi medikasi sesuai jadwal untuk mengatasi anoreksia dan tidak


menimbulkan rasa kenyang

4) Menjelaskan dengan kata-kata sendiri rasional pembatsan diet dan


hubungannya dengan kadar kreatinin dan urea

5) Mengkonsulkan daftar makanan yang dapat diterima

6) Melaporkan peningkatan nafsu makan

7) Menunjukkan tidak adanya perlambatan atau penurunan berat badan yang


cepat

8) Menunjukkan turgor kulit yang normal tanpa edema, kadar albumin


plasma dapat diterima

Intervensi :

1) Kaji status nutrisi

a) perubahan berat badan

b) pengukuran antropometrik
c) nilai laboratorium (elektrolit serum, BUN, kreatinin, protein,
transferin dan kadar besi).

Rasional : Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan


mengevaluasi intervensi.

2) Kaji pola diet dan nutrisi pasien


a) riwayat diet

b) makanan kesukaan
c) hitung kalori.

Rasional : Pola diet sekarang dan dahulu dapat dipertimbangkan dalam


menyusun menu.

3) Kaji faktor-faktor yang dapat merubah masukan nutrisi :

a) Anoreksia, mual dan muntah

b) Diet yang tidak menyenangkan bagi pasien


c) Depresi

d) Kurang memahami diet


Rasional : Menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat diubah
atau dihilangkan untuk meningkatkan masukan diet.

4) Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batas-batas diet.

Rasional : Mendorong peningkatan masukan diet.

5) Tingkatkan masukan protein yang mengandung nilai biologis tinggi:

telur, produk susu, daging.

Rasional : Protein lengkap diberikan untuk mencapai keseimbangan


nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan penyembuhan.

6) Anjurkan camilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium, diantara


waktu makan.

Rasional : Mengurangi makanan dan protein yang dibatasi dan


menyediakan kalori untuk energi, membagi protein untuk pertumbuhan dan
penyembuhan jaringan.

7) Ubah jadwal medikasi sehingga medikasi ini tidak segera diberikan


sebelum makan.

Rasional : Ingesti medikasi sebelum makan menyebabkan anoreksia dan


rasa kenyang.

8) Jelaskan rasional pembatasan diet dan hubungannya dengan penyakit


ginjal dan peningkatan urea dan kadar kreatinin.

Rasional : Meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan antara diet,


urea, kadar kreatinin dengan penyakit renal.

9) Sediakan jadwal makanan yang dianjurkan secara tertulis dan anjurkan


untuk memperbaiki rasa tanpa menggunakan natrium atau kalium.
Rasional : Daftar yang dibuat menyediakan pendekatan positif terhadap
pembatasan diet dan merupakan referensi untuk pasien dan keluarga yang
dapat digunakan dirumah.

10) Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan.

Rasional : Faktor yang tidak menyenangkan yang berperan dalam


menimbulkan anoreksia

11) Timbang berat badan harian.

Rasional : Untuk memantau status cairan dan nutrisi.

12) Kaji bukti adanya masukan protein yang tidak adekuat :


a) Pembentukan edema

b) Penyembuhan yang lambat


c) Penurunan kadar albumin

Rasional : Masukan protein yang tidak adekuat dapat menyebabkan


penurunan albumin dan protein lain, pembentukan edema dan perlambatan
penyembuhan.

c. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan


cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik,
gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidakseimbangan elektrolit,

hipoksia), akumulasi toksik (urea), kalsifikasi jaringan lunak (deposit Ca+

fosfat)

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan curah jantung dapat


dipertahankan

Kriteria Hasil :

1) Tanda-tanda vital dalam batas normal: tekanan darah: 90/60-130/90


mmHg, nadi 60-80 x/menit, kuat, teratur.

2) Akral hangat

3) Capillary refill kurang dari 3 detik

4) Nilai laboratorium dalam batas normal (kalium 3,5-5,1 mmol/L, urea 15-

39 mg/dl)
Intervensi :
1) Auskultasi bunyi jantung dan paru, evaluasi adanya edema perifer atau
kongesti vaskuler dan keluhan dispnea, awasi tekanan darah, perhatikan
postural misalnya : duduk, berbaring dan berdiri.

Rasional : Mengkaji adanya takikardi, takipnea, dispnea, gemerisik, mengi


dan edema.

2) Evaluasi bunyi jantung akan terjadi friction rub, tekanan darah, nadi
perifer, pengisisan kapiler, kongesti vaskuler, suhu tubuh dan mental.
Rasional : Mengkaji adanya kedaruratan medik.

3) Kaji tingkat aktivitas dan respon terhadap aktivitas.

Rasional : Ketidakseimbangan dapat mengangu kondisi dan fungsi


jantung.
4) Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium yaitu kalium.

Rasional : Menurunkan tahanan vaskuler sistemik.

d. Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis seperti


akumulasi toksin (urea, amonia)

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dapat mempertahankan


tingkat mental atau terjadi peningkatan tingkat mental

Kriteria hasil :

1) Tidak terjadi disorientasi terhadap orang, tempat dan waktu

2) Tidak mengalami gangguan kemampuan dalam mengambil keputusan

3) Tidak terjadi perubahan perilaku misalnya peka, menarik diri, depresi


ataupun psikosis

4) Tidak terjadi gangguan lapang perhatian misalnya, penurunan kemampuan


untuk mengemukakan pendapat

5) Nilai laboratorium dalam batas normal (ureum) 15-39 mg/dl, kreatinin 0,6-1,3
mg/dl)

Intervensi :

1) Kaji luasnya gangguan kemampuan berfikir, memori dan orientasi serta


perhatikan lapang pandang.

40
Rasional : Memberikan perbandingan untuk mengevaluasi perkembangan atau
perbaikan gangguan.

2) Pastikan dari orang terdekat tingkat mental klien biasa.

Rasional : Beberapa perbaikan dalam mental, mungkin diharapkan dengan


perbaikan kadar urea, kreatinin, elektrolit dan pH serum yang lebih normal.

3) Berikan orang terdekat informasi tentang status klien.

Rasional : Dapat membantu menurunkan kekacauan dan meningkatkan


kemungkinan komunikasi dapat dipahami.

4) Komunikasikan informasi dengan kalimat pendek dan sederhana.

Rasional : Perbaikan peningkatan atau keseimbangan dapat mempengaruhi


kognitif atau mental.

5) Tingkatkan istirahat adekuat dan tidak mengganggu periode tidur.

Rasional : Gangguan tidur dapat menganggu kemampuan kognitif lebih lanjut.

6) Awasi pemeriksaan labolatorium misalnya urea dan kreatinin.

41
Rasional : Perbaikan hipoksia dapat mempengaruhi kognitif.

7) Berikan tambahan O2 sesuai indikasi

Rasional : Perbaikan hipoksia dapat mempengaruhi kognitif.

e. Resiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik dalam


kulit dan gangguan turgor kulit(edema, dehidrasi), gangguan status metabolic,
sirkulasi(anemia dengan iskemia jaringan), neuropati perifer

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi integritas kulit

Kriteria Hasil :

1) Klien menunjukkan perilaku atau tehnik untuk mencegah kerusakan atau


cidera kulit

2) Tidak terjadi kerusakan integritas kulit

3) Tidak terjadi edema

4) Gejala neuropati perifer berkurang

Intervensi :

42
1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor dan perhatikan adanya
kemerahan, ekimosis, purpura.

Rasional : Mengetahui adanya sirkulasi atau kerusakan yang dapat


menimbulkan pembentukan dekubitus atau infeksi.

2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa.

Rasional : Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang


mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat seluler.

3) Inspeksi area tubuh terhadap edema.

Rasional : Jaringan edema lebih cenderung rusak atau robek.

4) Ubah posisi dengan sering menggerakkan klien dengan perlahan, beri


bantalan pada tonjolan tulang.

Rasional : Menurunkan tekanan pada edema, meningkatkan peninggian aliran


balik statis vena sebagai pembentukan edema.

5) Pertahankan linen kering, dan selidiki keluhan gatal.

Rasional : Menurunkan iritasi dermal dan resiko kerusakan kulit.

6) Pertahankan kuku pendek

Rasional : Menurunkan resiko cedera dermal.

43
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk

Tujuan : Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi


sampah dan prosedur dialysis.

1) Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu.


Kriteria Hasil :

2) Berpartisipasi dalam program pengobatan.

3) Menunjukkan ekspresi rileks dan tidak cemas.


Intervensi :

1) Kaji faktor yang menyebabkan keletihan :

a) Anemia

b) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit


c) Retensi produk sampah

d) Depresi

Rasional : Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat keletihan

2) Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat


ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi.

Rasional : Meningkatkan aktivitas ringan/sedang dan memperbaiki harga


diri.

3) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.

44
Rasional : Mendorong latitan dan aktivitas dalam batas-batas yang dapat
ditoleransi dan istirahat yang adekuat.

4) Anjurkan untuk beristirahat setelah dialysis.

Rasional : Dianjurkan setelah dialysis, yang bagi banyak pasien sangat


melelahkan.

g. Kurang pengetahuan tentang pencegahan dan perawatan penyakit gagal ginjal


kronik berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah interpretasi informasi dan
kurangnya informasi.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menyatakan pemahaman


tentang kondisi atau proses penyakit dan pengobatan.

Kriteria Hasil :

1) Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu.

2) Berpartisipasi dalam program pengobatan.

45
3) Menunjukkan ekspresi rileks dan tidak cemas.
Intervensi :

1) Diskusikan tentang manifestasi klinik yang mungkin muncul pada klien dan cara
perawatannya.

Rasional : Mengurangi kecemasan klien dan membeikan pemahaman dalam


perawatannya

2) Kaji ulang tentang tindakan untuk mencegah perdarahan dan informasikan


pada klien misalnya penggunaan sikat gigi yang halus, memakai alas kaki atau
sandal jika berjalan-jalan, menghindari konstipasi, olah raga atau aktivitas
yang berlebihan.

Rasional : Menurunkan resiko cedera sehubungan dengan perubahan faktor


pembekuan atau penurunan jumlah trombosit.

3) Kaji ulang pembatasan diet, termasuk fosfat (contoh : produk susu, unggas,
jagung, kacang) dan magnesium (contoh : produk gandum, polong-polongan).
Rasional : Pembatasan fosfat merangsang kelenjar paratiroid untuk
pergeseran kalsium dari tulang (osteodistrofi ginjal) dan akumulasi
magnesium dapat mengganggu fungsi neurologis dan mental.

4) Diskusikan tentang terapi pengobatan yang diberikan.

Rasional : Memberikan pemahaman tentang fungsi obat dan memotivasi klien


untuk menggunakannya

5) Identifikasi keadaan yang memerlukan evaluasi medik segera.

Rasional : Memberi penanganan segera tentang kondisi-kondisi yang


memerlukan penanganan medik.

46
2.12 Asuhan keperawatan Kasus CKD

47

Anda mungkin juga menyukai