DESEASE
DI RUANG CEMPAKA RSUD PROF. DR. JOHANES KUPANG
OLEH:
Jerny M Koa
4. Etiologi CKD
Price & Wilson (2012) mengkategorikan ada delapan kelas yang menjadi
penyebab tersering dari penyakit CKD yaitu :
a. Penyakit infeksi tubulointerstitial : Pielonefritis kronik atau refluks nefropati.
b. Penyakit peradangan glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah penyebab gagal ginjal pada sepertiga pasien yang
membutuhkan dialisis atau transplantasi. Glomerulonefritis adalah peradangan
ginjal bilateral, biasanya timbul pasca infeksi streptococcus.
c. Penyakit vaskuler hipertensif seperti nefrosklerosis benigna, nefroklerosis
maligna, dan stenosis arteri renalis.
d. Gangguan jaringan ikat seperti lupus eritematosus sistemik, poliarterites nodosa,
dan sklerosis sistemik progresif.
e. Penyakit kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan asidosis
tubulus ginjal.
f. Gangguan metabolik yang dapat mengakibatkan CKD antara lain diabetes melitus,
gout, hiperparatiroidisme dan amiloidosis.
g. Netropati toksik akibat penyalahgunaan analgesik dan nefropati timah.
Nefropati obstruksi Traktus urinarius bagian atas: batu, neoplasma, fibrosis
retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah: hipertrofi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra.
Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases
(2018) Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penyakit ginjal kronis meliputi:
a. Diabetes
b. Tekanan darah tinggi
c. Penyakit jantung (kardiovaskular)
d. Kebiasaan merokok
e. Kegemukan
f. Riwayat keluarga dengan penyakit ginjal
g. Struktur ginjal yang tidak normal
h. Usia yang lebih tua
i. Sering menggunakan obat-obatan yang dapat merusak ginjal
5. Patofisiologi CKD
Patofisiologi penyakit CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Penyakit CKD dimulai pada fase awal gangguan, keseimbangan cairan,
penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung
pada ginjal yang sakit (Muttaqin & Sari, 2011).
Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab yaitu infeksi,
vaskuler, zat toksik, obstruksi saluran kemih yang pada akhirnya akan terjadi
kerusakan nefron sehingga menyebabkan penurunan GFR dan menyebabkan CKD,
yang mana ginjal mengalami gangguan dalam fungsi eksresi dan fungsi non-eksresi.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka
gejala akan semakin berat. Banyak masalah muncul pada CKD sebagai akibat dari
penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan kliresn
(substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal). Menurunnya filtrasi
glomerulus (akibat tidak berungsinya gromeruli) klirens kreatinin akan menurun dan
kadar kreatinin serum akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN)
juga meningkat (Smeltzer & Bare, 2015).
Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin
secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir. Terjadi penahanan cairan dan natrium,
sehingga beresiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin-angiotensin dan kerjasama
keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Sindrom uremia juga bisa menyebabkan
asidosis metabolik akibat ginjal tidak mampu menyekresi asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekrsi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu menyekresi ammonia
(NH3-) dan megapsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan eksresi fosfat dan
asam organik yang terjadi, maka mual dan muntah tidak dapat dihindarkan (Smeltzer
& Bare, 2015).
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme.
Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah
satunya meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi
melaui glomerulus ginjal maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan sebaliknya,
kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi
parathhormon dari kelenjar paratiroid, tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat merspons
normal terhadap peningkatan sekresi parathormon sehingga kalsium ditulang
menurun, menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang. Selain itu,
metabolit aktif vitamin D yang secara normal dibuat di ginjal menurun seiring dengan
berkembangnya gagal ginjal (Smeltzer & Bare, 2015).
7. Manifestasi Klinis CKD
Tanda dan gejala penyakit ginjal kronis berkembang dari waktu ke waktu jika
kerusakan ginjal berlangsung lambat. Hilangnya fungsi ginjal dapat menyebabkan
penumpukan cairan atau limbah tubuh atau masalah elektrolit. Tergantung pada
seberapa parahnya, hilangnya fungsi ginjal dapat menyebabkan menurut Mayo Clinic
(2021) yaitu: mual muntah, kehilangan selera makan, kelelahan dan kelemahan,
masalah tidur, buang air kecil lebih atau kurang, ketajaman mental menurun, kram
otot, pembengkakan kaki dan pergelangan kaki, kulit kering dan gatal, tekanan darah
tinggi (hipertensi) yang sulit dikendalikan, sesak napas, jika cairan menumpuk di
paru-paru, nyeri dada, jika cairan menumpuk di sekitar lapisan jantung.
Menurut Haryono (2013) & Robinson (2013) CKD memiliki tanda dan gejala
persistem sebagai berikut:
a. Ginjal dan gastrointestinal biasanya muncul hiponatremi maka akan muncul
hipotensi karena ginjal tidak bisa mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
dan gangguan reabsorpsi menyebabkan sebagian zat ikut terbuang bersama urine
sehingga tidak bisa menyimpan garam dan air dengan baik. Saat terjadi uremia
maka akan merangsang reflek muntah pada otak.
b. Kardiovaskuler biasanya terjadi aritmia, hipertensi, kardiomiopati, pitting edema,
pembesaran vena leher.
c. Respiratory system akan terjadi edema pleura, sesak napas, nyeri pleura, nafas
dangkal, kusmaull, sputum kental dan liat.
d. Integumen maka pada kulit akan tampak pucat, kekuning-kuningan
kecoklatan,biasanya juga terdapat purpura, petechie, timbunan urea pada kulit,
warna kulit abu-abu mengilat, pruritus, kulit kering bersisik, ekimosis, kuku tipis
dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
e. Neurologis biasanya ada neuropathy perifer, nyeri, gatal pada lengan dan kaki,
daya memori menurun, apatis, rasa kantuk meningkat.
f. Endokrin maka terjadi infertilitas dan penurunan libido, gangguan siklus
menstruasi pada wanita, impoten, kerusakan metabolisme karbohidrat.
g. Sistem muskulosekeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang.
h. Sistem reproduksi: amenore, atrofi testis.
Tanda dan gejala lain yang muncul menurut Sari (2016) pada pasien dengan
CKD yaitu edema. Untuk menentukan derajat edema maka dilakukan penilaian
pitting edema, yaitu bentuk cekungan pada daerah bengkak yang ditekan dan dapat
ditentukan sebagai berikut:
a. Derajat I : pitting sedikit atau lekukan kedalaman 2 mm, menghilang dengan
cepat.
b. Derajat II : pitting lebih dalam dengan kedalaman 4 mm dan menghilang dalam
waktu 10-15 detik.
c. Derajat III : lubang dengan kedalaman 6 mm dan menghilang dalam waktu 1
menit.
d. Derajat IV : lubang yang sangat dalam atau 8 mm dan berlangsung 2-5 menit.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada klien CKD, yaitu:
a. Pemeriksaan pada urine yang meliputi:
1) Volume urine pada orang normal yaitu 500-3000 ml/24 jam atau 1.200 ml
selama siang hari sedangkan pada orang CKD produksi urine kurang dari 400
ml/24 jam atau sama sekali tidak ada produksi urine (anuria) (Debora, 2017).
2) Warna urine pada temuan normal transparan atau jernih dan temuan pada
orang CKD didapatkan warna urine keruh karena disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan karena ada darah, Hb,
myoglobin, porfirin (Nuari & Widayati, 2017).
3) Berat jenis untuk urine normal yaitu 1.010-1.025 dan jika <1.010
menunjukkan kerusakan ginjal berat (Nuari & Widayati, 2017).
4) Klirens kreatinin kemungkinan menurun dan untuk nilai normalnya menurut
Verdiansah (2016), yaitu:
a) Laki-laki: 97 mL/menit-137 mL/menit per 1,73 m2
b) Perempuan; 88 mL/menit-128 mL/menit per 1.73 m2
5) Protein
Derajat tinggi proteinuria (3-4+) menunjukkan kerusakan glomerulus bila
SDM dan fragmen ada. Normalnya pada urine tidak ditemukan kandungan
protein.
b. Pemeriksaan darah pada penderita CKD menurut Nuari & Widayati (2017)
1) BUN meningkat dari keadaan normal 10.0-20.0 mg/dL, kreatinin meningkat
dari nilai normal 0,95 mg/dL, ureum lebih dari nilai normal 21-43 mg/dL
2) Hb biasanya < 7-8 gr/dl
3) SDM menurun dari nilai normal 4.00-5.00, defisiensi eritopoetin
4) BGA menunjukkan asidosis metabolik, pH <7,2
5) Natrium serum rendah dari nilai normal 136-145 mmol/L
6) Kalium meningkat dari nilai normal 3,5-5 mEq/L atau 3,5-5 mmol/L
7) Magnessium meningkat dari nilai normal 1,8-2,2 mg/dL
8) Kalsium menurun dari nilai normal 8,8-10,4 mg/dL
9) Protein (albumin menurun dari nilai normal 3,5-4,5 mg/dL
c. Pielografi intravena bisa menunjukkan adanya abnormalitas pelvis ginjal dan
ureter. Pielografi retrograde dilakukan bila muncul kecurigaan adanya obstruksi
yang reversibel. Arteriogram ginjal digunakan untuk mengkaji sirkulasi ginjal dan
mengidentifikasi ekstravaskular massa (Haryono, 2013).
d. Ultrasono ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal serta ada atau
tidaknya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas (Nuari &
Widayati, 2017)
e. Biopsi ginjal dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis (Haryono, 2013).
9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan CKD adalah menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan
mencegah komplikasi. Ada 2 penatalaksanaan CKD yaitu secara farmakologis dan
nonfarmakologis.
a. Farmakologis
Suharyanto & Madjid (2009) dalam Rahmadani (2017) pengobatan pasien CKD
dapat dilakukan dengan tindakan konservatif dan dialisis atau transplatansi ginjal.
1) Tindakan konservatif
Tindakan konservatif merupakan tindakan yang bertujuan untuk meredakan
atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif. Tindakan yang
dilakukan dapat berupa:
a) Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan. Intervensi diet perlu
pada gangguan fungsi renal dan mencakup pengaturan yang cermat
terhadap masukan protein, masukan cairan untuk mengganti cairan yang
hilang, masukan natrium untuk mengganti natrium yang hilang dan
pembatasan kalium.
b) Pencegahan dan pengobatan komplikasi seperti hipertensi, hiperkalemia,
anemia, asidosis, diet rendah fosfat, dan pengobatan hiperurisetemia.
2) Dialisis dan transplatansi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit CKD stadium 5, yaitu pada
GR kurang dari 15ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa dialisis
atau transplantasi ginjal. Dialisis dapat digunakan untuk mempertahankan
penderita dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal.
b. Nonfarmakologi
Menurut Smeltzer (2016) penatalaksanaan keperawatan pada pasien CKD yaitu :
1) Mengkaji status cairan dan mengidentifikasi sumber potensi ketidak
seimbangan cairan pada pasien.
2) Menetap program diet untuk menjamin asupan nutrisi yang memadai dan
sesuai dengan batasan regimen terapi.
3) Mendukung perasan positif dengan mendorong pasien untuk meningkatkan
kemampuan perawatan diri dan lebih mandiri.
4) Memberikan penjelasan dan informasi kepada pasien dan keluarga terkait
penyakit CKD, termasuk pilihan pengobatan dan kemungkinan komplikasi.
5) Memberi dukungan emosional.
10. Komplikasi dari CKD
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smletzer dan Bare (2015) yaitu:
a. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diet berlebihan.
b. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin-
angiostensin-aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialisis.
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar
alumunium.
3) Kepala
Mata, konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur, edema
periorbital; rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar; hidung: biasanya
ada pernapasan cuping hidung; mulut: nafas berbau amonia, mual, muntah
serta cegukan, peradangan mukosa mulut; leher : terjadi pembesaran vena
jugularis.
4) Dada dan toraks: penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal dan
kusmaul serta krekels, pneumonitis, edema pulmoner, friction rub pericardial.
5) Abdomen: nyeri area pinggang, asites.
6) Genital: atropi testikuler, amenore.
7) Ekstremitas: capitally revil time > 3 detik, kuku rapuh dan kusam serta tipis,
kelemahan pada tungkai, edema, akral dingin, kram otot dan nyeri otot, nyeri
kaki, dan mengalami keterbatasan gerak sendi.
8) Kulit: ekimosis, kulit kering, bersisik, warna kulit abu-abu, mengkilat atau
hiperpigmentasi, gatal (pruritus), kuku tipis dan rapuh, memar (purpura),
edema.
2. Diagnosa
Dalam menentukan diagnosa keperawatan kita mengacu PPNI (2017) yaitu:
a. Resiko Perfusi Renal Tidak Efektif
1) Faktor Resiko
Kekurangan volume cairan, embolisme vaskular, vaskulitis, hipertensi,
disfungsi ginjal, hiperglikemia, keganasan, pembedahan jantung, bypass
kardiopulmonal, hipoksemia, hipoksia, asidosis metabolik, trauma, sindrom
kompartemen abdmomen, luka kabar, sepsis, sindrome respon inflamasi,
sistemik, lanjut usia, merokok, dan penyalahgunaan zat.
b. Hipervolemia
1) Penyebab
Gangguan mekanisme regulasi, kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan
natrium, gangguan aliran balik vena, efek agen farmakologis.
2) Gejala Mayor dan Minor
Pasien mengeluh ortopnea, dispnea, PND (Paroximal Noctural Dyspnea),
edema anasarka atau edema perifer, BB meningkat dalam waktu singkat, JVP
atau CVP meningkat, refleks hepatojugular positif, distensi vena jugularis,
terdengar suara napas tambahan, hepatomegali, kadar Hb/ Ht menurun,
oliguria, intake lebih banyak dari output dan kongesti paru.
3. Intervensi
Intervensi keperawatan merupakan suatu susunan rencana tindakan keperawatan yang
disusun oleh perawat dengan tujuan untuk memudahkan perawat dalam melakukan
asuhan keperawatan guna untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Cahyanti,
2018). Intervensi disusun berdasarkan diagnosa yang muncul. Intervensi dibuat dalam
bentuk tabel berdasarkan PPNI (2018) sebagai berikut:
Masalah SLKI SIKI
Resiko Perfusi Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Syok:
Renal Tidak keperawatan selama 3 x 24 Obervasi
Efektif jam, maka Perfusi Renal a. Monitor status kardiopulmonal
Meningkat dengan ktriteria (frekuensi dan kekuatan nadi, RR, TD,
MAP)
hasil:
b. Monitor status oksgenasi (oksometri,
a. Jumlah urine normal nadi, AGD)
b. Nyeri abdomen c. Monitor status cairan (masukan dan
menurun haluaran, turgor kulit, CRT)
c. Mual muntah menurun d. Monitor tingkat kesadaran dan respon
d. Distensi abdomen pupil
menurun e. Periksa riwayat alergi
e. Kadar urea nitrogen Terapeutik
darah membaik a. Berikan oksigen untuk
f. Kadar kreatini membaik mempertahankan saturasi oksigen
>94%
g. TD membaik b. Persiapkan intubasi dan ventilasi
mekanik
c. Pasang jalur IV
d. Pasang kateter urine untuk menilai
produksi urine
e. Lakukan skin test untuk mencegah
reaksi alergi
Edukasi
a. Jelaskan penyebab atau faktor resiko
syok
b. Jelaskan tanda dan gejala syok
c. Anjurkan melapor jika
menemukan/merasakan tanda dan
gejala awal syok
d. Anjurkan memperbanyak asupan
cairan total
e. Anjurkan menghindari alergen
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian IV
b. Kolaborasi pemberian tranfusi darah
c. Kolaborasi pemberian antiinflamasi
Hipervolemia Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipervolemia
keperawatan selama 3 x 24 Observasi
jam, maka Keseimbangan a. Periksa tanda dan gejala hipervolemia
Cairan Meningkat dengan (misalnya ortopnea, dispnea, edema,
JVP/CVP meningkat, refleks
ktriteria hasil:
hepatojugular positif, suara napas
a. Asupan cairan meningkat
tambahan
b. Haluaran urine meningkat
b. Identifikasi penyebab hipervolemia
c. Kelembaban membran
c. Monitor status hemodinamik (misalnya
mukosa meningkat
frekuensi jantung, TD, MAP, CVP,
d. Edema menurun
PAPA, PCWP, CO, CI)
e. Dehidrasi menurun
d. Monitor intake dan output cairan
f. TD membaik
e. Monitor tanda hemokonsentrasi
g. Turgor kulit membaik
(misalnya kadar natrium, BUN, Ht,
berat jenis urine)
f. Monitor tanda peningkatan tekanan
onkotik plasma (misalnya kadar
protein dan albumin meningkat
g. Monitor kecepatan infus secara ketat
h. Monitor efek samping diuretik
Terapeutik
a. Timbang berat badan setiap hari pada
waktu yang sama
b. Batasi asupan cairan dan garam
c. Tinggikan kepala tempat tidur 30-400
Edukasi
a. Anjukan melapor jika haluaran urine <
0,5 mL/kb/jam dalam 6 jam
b. Anjurkan melapor jika BB bertambah
> 1 kg dalam sehari
c. Anjurkan cara mengukur dan mencatat
asupan dan haluaran urine
d. Anjurkan cara membatasi cairan
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian diuretik
b. Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat diuretik
c. Kolaborasi pemberian CRRT
4. Implementasi
Implementasi adalah tahap dimana perawat melaksanakan intervensi yang
sudah disusun berdasarkan masalah yang muncul. Kegiatan yang dilakukan pada
tahap ini yaitu memvalidasi data, mendokumentasikan tindakan yang dilakukan
meliputi tanggal dan jam serta menyertakan paraf dan nama perawat yang melakukan
tindakan tersebut. Tujuan yang diinginkan dicapai pada tahap ini meliputi
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi
koping. (Rahmadani, 2017).
5. Evaluasi
Rahmadani (2017) menjelaskan evaluasi adalah tahap akhir dari proses
keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistemastis dan terencana antara
hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan.
a) Evaluasi Formatif
Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon pasien segera pada saat setelah
dilakukan tindakan keperawatan. Ditulis pada catatan perawatan, dilakukan setiap
selesai melakukan tindakan keperawatan.
b) Evaluasi Sumatif (SOAP)
Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan sesuai
waktu pada tujuan. Ditulis pada catatan perkembangan yang merupakan rekapan
akhir secara paripurna, catatan naratif, penderita pulang atau pindah.
Daftar Pustaka
Aisara, S., Azmi, S., & Yanni, M. (2018). Gambaran klinis penderita penyakit ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas, 7(1), 42-50. https://doi.org/10.25077/jka.v7i1.778
Muttaqin, A. & Sari, K. (2011). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
NIDDK. (2018). Chronic Kidney Disease (CKD). National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Diseases
Nuari & Widayati. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan & Penatalaksanaan
Keperawatan. Yogyakarta: Deepublish
PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI
Pranandri, R., & Supadmi,W. (2015). Risk Factors Cronic Renal Failure On HD Unit In
RSUD Wates Kulon Progo.11 (2). 316-320
Price & Wilson. 2012. Patofisioologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Rahmadani, W. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Chronic Kidney Desease
(CKD) Di Ruang Penyakit Dalam Pria Rsup Dr. M. Djamil Padang. Kti: Politeknik
Kesehatan Kemenkes Padang
Sari, L. R. (2016). Upaya Mencegah Kelebihan Volume Cairan Pada Pasien CKD di RSUD
Dr. Soehadi Prijonegoro. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Smeltzer & Bare. (2015). Buku Ajar Keperawatan medikal-bedah Brunner & Suddarth
edisi.8. Vol 2. Jakarta: EGC
Smeltzer. (2016). Keperawatan medical-bedah Brunner & Suddarth edisi 12. Jakarta: EGC
Verdiansah. 2016. Pemeriksaan Fungsi Ginjal.Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi
Klinik Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia. CKD-237 Vol. 43 No.2