Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CHRONIC KIDNEY

DESEASE
DI RUANG CEMPAKA RSUD PROF. DR. JOHANES KUPANG

OLEH:
Jerny M Koa

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS CITRA BANGSA
KUPANG
2024
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep Teori Penyakit Ginjal Kronik
1. Pengertian CKD
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai
dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3
bulan yang ditandai dengan satu atau lebih tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria,
abnormalitas sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, ataupun adanya
riwayat transplantasi ginjal, juga disertai penurunan laju filtrasi glomerulus (Aisara et
al, 2018). PGK berarti kondisi dimana ginjal mengalami kerusakan dan tidak dapat
dapa menyaring darah sebagaimana fungsinya (National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Diseases, 2018).
Penyakit ginjal kronik juga biasa disebut Chronic Kidney Disease (CKD)/ gagal
ginjal kronik adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme
serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif
dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) ke dalam darah
(Muttaqin, 2012).
2. Klasifikasi CKD
Pengukuran fungsi ginjal terbaik adalah dengan mengukur Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG). Melihat nilai laju filtrasi glomerulus ( LFG ) baik secara
langsung atau melalui perhitungan berdasarkan nilai pengukuran kreatinin, jenis
kelamin dan umur seseorang. Pengukuran LFG tidak dapat dilakukan secara langsung,
tetapi hasil estimasinya dapat dinilai melalui bersihan ginjal dari suatu penanda
filtrasi. Salah satu penanda tersebut yang sering digunakan dalam praktik klinis adalah
kreatinin serum (Muttaqin & Sari, 2011).
National Kidney Foundation (2011) dalam Price & Wilsom (2012) membagi 5
(lima) stadium penyakit ginjal kronik yang ditentukan melalui perhitungan nilai
GlomerularFiltrationRate(GFR) meliputi:
a. Stadium I
Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat (>90ml/min/1,73 m2 ).
Fungsi ginjal masih normal tapi telah terjadi abnormalitas patologi dan komposisi
dari darah dan urine.
b. Stadium II
Kerusakan ginjal. Fungsi ginjal menurun ringan dan ditemukan abnormalitas
patologi dan komposisi dari darah dan urine.
c. Stadium III
Penurunan GFR Moderat (30-59ml/min/1,73 m2 ). Tahapan ini terbagi lagi
menjadi tahapan IIIA (GFR 45-59) dan tahapan IIIB (GFR 30-44). Pada tahapan
ini telah terjadi penurunan fungsi ginjal sedang.
d. Stadium IV
Penurunan GFR Severe (15-29 ml/min/1,73 m2 ). Terjadi penurunan fungsi ginjal
yang berat. Pada tahapan ini dilakukan persiapan untuk terapi pengganti ginjal.
e. Stadium V
End Stage Renal Disease (GFR<15 ml/min/ 1, 73 m 2), merupakan kegalan ginjal
tahap terakhir. Terjadi penurunan ginjal yang sangat berat dan dilakukan terapi
pengganti ginjal secara permanen.
3. Anatomi dan Fisiologi Ginjal
a. Struktur Ginjal
Ginjal terletak di dinding posterior abdomen, di daerah lumbal, kanan dan kiri
tulang belakang, terbungkus lapisan lemak yang tebal, diluar rongga peritoneum
karena itu ginjal berada di belakang peritoneum. Ginjal kanan memiliki posisi
yang lebih rendah dari ginjal kiri karena terdapat hati yang mengisi rongga
abdomen sebelah kanan dengan panjang masing-masing ginjal 6-7,5 cm dan tebal
1,5-2,5 cm dengan berat sekitar 140 gram pada dewasa (Pearce, 2013).
b. Bagian – Bagian Ginjal
Menurut Haryono (2013) ginjal memiliki 3 bagian, yaitu:
1) Kulit ginjal (korteks) yang terdapat nefron sebanyak 1-1,5 juta yang bertugas
menyaring darah karena memiliki kapiler-kapiler darah yang tersusun secara
bergumpal yang disebut glomerulus yang dikelilingi oleh Simpai Bownman,
dan gabungan dari glomerulus dan Simpai Bownman disebut malphigi yang
merupakan tempat terjadinya penyaringan darah
2) Sumsum ginjal (medula) terdapat piramid renal yang dasarnya menghadap
korteks dan puncaknya (apeks/papilla renis) mengarah ke bagian dalam ginjal.
Diantara bagian piramid terdapat jaringan korteks yang disebut kolumna renal
yang menjadi tempat berkumpulnya ribuan pembuluh halus yang mengangkut
urin hasil penyaringan darah dalam badan malphigi setelah diproses yang
merupakan lanjutan dari Simpai Bownman.
3) Rongga ginjal (pelvis renalis) merupakan ujung ureter yang berpangkal di
ginjal, berbentuk corong lebar. Pelvis renalis bercabang menjadi dua atau tiga
yang disebut kaliks mayor yang masing-masing membentuk beberapa kaliks
minor yang menampung urine yang keluar dari papila. Dari kaliks minor urin
ke kaliks mayor lalu ke pelvis renis kemudian ke ureter hingga akhirnya
ditampung di vesika urinaria.
c. Fungsi Ginjal
Ginjal memiliki beberapa fungsi menurut Haryono (2013) yaitu:
1) Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh melalui pengeluaran jumlah urin
2) Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan keseimbangan ion
yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit) apabila ada pengeluaran
ion yang abnormal ginjal akan meningkatkan ekskresi ion yang penting
(natrium, kalium, kalsium).
3) Mengatur keseimbangan asam basa dengan mensekresi urin sesuai dengan pH
darah yang berubah
4) Mengekskresikan sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) obat-
obatan, zat toksik dan hasil metabolisme pada hemoglobin
5) Mengatur fungsi hormonal seperti mensekresi hormone renin untuk mengatur
tekanan darah dan metabolisme dengan membentuk eritropoiesis yang
berperan dalam proses pembentukan sel darah merah.

4. Etiologi CKD
Price & Wilson (2012) mengkategorikan ada delapan kelas yang menjadi
penyebab tersering dari penyakit CKD yaitu :
a. Penyakit infeksi tubulointerstitial : Pielonefritis kronik atau refluks nefropati.
b. Penyakit peradangan glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah penyebab gagal ginjal pada sepertiga pasien yang
membutuhkan dialisis atau transplantasi. Glomerulonefritis adalah peradangan
ginjal bilateral, biasanya timbul pasca infeksi streptococcus.
c. Penyakit vaskuler hipertensif seperti nefrosklerosis benigna, nefroklerosis
maligna, dan stenosis arteri renalis.
d. Gangguan jaringan ikat seperti lupus eritematosus sistemik, poliarterites nodosa,
dan sklerosis sistemik progresif.
e. Penyakit kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan asidosis
tubulus ginjal.
f. Gangguan metabolik yang dapat mengakibatkan CKD antara lain diabetes melitus,
gout, hiperparatiroidisme dan amiloidosis.
g. Netropati toksik akibat penyalahgunaan analgesik dan nefropati timah.
Nefropati obstruksi Traktus urinarius bagian atas: batu, neoplasma, fibrosis
retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah: hipertrofi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra.
Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases
(2018) Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penyakit ginjal kronis meliputi:
a. Diabetes
b. Tekanan darah tinggi
c. Penyakit jantung (kardiovaskular)
d. Kebiasaan merokok
e. Kegemukan
f. Riwayat keluarga dengan penyakit ginjal
g. Struktur ginjal yang tidak normal
h. Usia yang lebih tua
i. Sering menggunakan obat-obatan yang dapat merusak ginjal
5. Patofisiologi CKD
Patofisiologi penyakit CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Penyakit CKD dimulai pada fase awal gangguan, keseimbangan cairan,
penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung
pada ginjal yang sakit (Muttaqin & Sari, 2011).
Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab yaitu infeksi,
vaskuler, zat toksik, obstruksi saluran kemih yang pada akhirnya akan terjadi
kerusakan nefron sehingga menyebabkan penurunan GFR dan menyebabkan CKD,
yang mana ginjal mengalami gangguan dalam fungsi eksresi dan fungsi non-eksresi.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka
gejala akan semakin berat. Banyak masalah muncul pada CKD sebagai akibat dari
penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan kliresn
(substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal). Menurunnya filtrasi
glomerulus (akibat tidak berungsinya gromeruli) klirens kreatinin akan menurun dan
kadar kreatinin serum akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN)
juga meningkat (Smeltzer & Bare, 2015).
Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin
secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir. Terjadi penahanan cairan dan natrium,
sehingga beresiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin-angiotensin dan kerjasama
keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Sindrom uremia juga bisa menyebabkan
asidosis metabolik akibat ginjal tidak mampu menyekresi asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekrsi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu menyekresi ammonia
(NH3-) dan megapsorbsi natrium bikarbonat (HCO3-). Penurunan eksresi fosfat dan
asam organik yang terjadi, maka mual dan muntah tidak dapat dihindarkan (Smeltzer
& Bare, 2015).
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme.
Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah
satunya meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi
melaui glomerulus ginjal maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan sebaliknya,
kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi
parathhormon dari kelenjar paratiroid, tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat merspons
normal terhadap peningkatan sekresi parathormon sehingga kalsium ditulang
menurun, menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang. Selain itu,
metabolit aktif vitamin D yang secara normal dibuat di ginjal menurun seiring dengan
berkembangnya gagal ginjal (Smeltzer & Bare, 2015).
7. Manifestasi Klinis CKD
Tanda dan gejala penyakit ginjal kronis berkembang dari waktu ke waktu jika
kerusakan ginjal berlangsung lambat. Hilangnya fungsi ginjal dapat menyebabkan
penumpukan cairan atau limbah tubuh atau masalah elektrolit. Tergantung pada
seberapa parahnya, hilangnya fungsi ginjal dapat menyebabkan menurut Mayo Clinic
(2021) yaitu: mual muntah, kehilangan selera makan, kelelahan dan kelemahan,
masalah tidur, buang air kecil lebih atau kurang, ketajaman mental menurun, kram
otot, pembengkakan kaki dan pergelangan kaki, kulit kering dan gatal, tekanan darah
tinggi (hipertensi) yang sulit dikendalikan, sesak napas, jika cairan menumpuk di
paru-paru, nyeri dada, jika cairan menumpuk di sekitar lapisan jantung.
Menurut Haryono (2013) & Robinson (2013) CKD memiliki tanda dan gejala
persistem sebagai berikut:
a. Ginjal dan gastrointestinal biasanya muncul hiponatremi maka akan muncul
hipotensi karena ginjal tidak bisa mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
dan gangguan reabsorpsi menyebabkan sebagian zat ikut terbuang bersama urine
sehingga tidak bisa menyimpan garam dan air dengan baik. Saat terjadi uremia
maka akan merangsang reflek muntah pada otak.
b. Kardiovaskuler biasanya terjadi aritmia, hipertensi, kardiomiopati, pitting edema,
pembesaran vena leher.
c. Respiratory system akan terjadi edema pleura, sesak napas, nyeri pleura, nafas
dangkal, kusmaull, sputum kental dan liat.
d. Integumen maka pada kulit akan tampak pucat, kekuning-kuningan
kecoklatan,biasanya juga terdapat purpura, petechie, timbunan urea pada kulit,
warna kulit abu-abu mengilat, pruritus, kulit kering bersisik, ekimosis, kuku tipis
dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
e. Neurologis biasanya ada neuropathy perifer, nyeri, gatal pada lengan dan kaki,
daya memori menurun, apatis, rasa kantuk meningkat.
f. Endokrin maka terjadi infertilitas dan penurunan libido, gangguan siklus
menstruasi pada wanita, impoten, kerusakan metabolisme karbohidrat.
g. Sistem muskulosekeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang.
h. Sistem reproduksi: amenore, atrofi testis.
Tanda dan gejala lain yang muncul menurut Sari (2016) pada pasien dengan
CKD yaitu edema. Untuk menentukan derajat edema maka dilakukan penilaian
pitting edema, yaitu bentuk cekungan pada daerah bengkak yang ditekan dan dapat
ditentukan sebagai berikut:
a. Derajat I : pitting sedikit atau lekukan kedalaman 2 mm, menghilang dengan
cepat.
b. Derajat II : pitting lebih dalam dengan kedalaman 4 mm dan menghilang dalam
waktu 10-15 detik.
c. Derajat III : lubang dengan kedalaman 6 mm dan menghilang dalam waktu 1
menit.
d. Derajat IV : lubang yang sangat dalam atau 8 mm dan berlangsung 2-5 menit.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada klien CKD, yaitu:
a. Pemeriksaan pada urine yang meliputi:
1) Volume urine pada orang normal yaitu 500-3000 ml/24 jam atau 1.200 ml
selama siang hari sedangkan pada orang CKD produksi urine kurang dari 400
ml/24 jam atau sama sekali tidak ada produksi urine (anuria) (Debora, 2017).
2) Warna urine pada temuan normal transparan atau jernih dan temuan pada
orang CKD didapatkan warna urine keruh karena disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan karena ada darah, Hb,
myoglobin, porfirin (Nuari & Widayati, 2017).
3) Berat jenis untuk urine normal yaitu 1.010-1.025 dan jika <1.010
menunjukkan kerusakan ginjal berat (Nuari & Widayati, 2017).
4) Klirens kreatinin kemungkinan menurun dan untuk nilai normalnya menurut
Verdiansah (2016), yaitu:
a) Laki-laki: 97 mL/menit-137 mL/menit per 1,73 m2
b) Perempuan; 88 mL/menit-128 mL/menit per 1.73 m2
5) Protein
Derajat tinggi proteinuria (3-4+) menunjukkan kerusakan glomerulus bila
SDM dan fragmen ada. Normalnya pada urine tidak ditemukan kandungan
protein.
b. Pemeriksaan darah pada penderita CKD menurut Nuari & Widayati (2017)
1) BUN meningkat dari keadaan normal 10.0-20.0 mg/dL, kreatinin meningkat
dari nilai normal 0,95 mg/dL, ureum lebih dari nilai normal 21-43 mg/dL
2) Hb biasanya < 7-8 gr/dl
3) SDM menurun dari nilai normal 4.00-5.00, defisiensi eritopoetin
4) BGA menunjukkan asidosis metabolik, pH <7,2
5) Natrium serum rendah dari nilai normal 136-145 mmol/L
6) Kalium meningkat dari nilai normal 3,5-5 mEq/L atau 3,5-5 mmol/L
7) Magnessium meningkat dari nilai normal 1,8-2,2 mg/dL
8) Kalsium menurun dari nilai normal 8,8-10,4 mg/dL
9) Protein (albumin menurun dari nilai normal 3,5-4,5 mg/dL
c. Pielografi intravena bisa menunjukkan adanya abnormalitas pelvis ginjal dan
ureter. Pielografi retrograde dilakukan bila muncul kecurigaan adanya obstruksi
yang reversibel. Arteriogram ginjal digunakan untuk mengkaji sirkulasi ginjal dan
mengidentifikasi ekstravaskular massa (Haryono, 2013).
d. Ultrasono ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal serta ada atau
tidaknya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas (Nuari &
Widayati, 2017)
e. Biopsi ginjal dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis (Haryono, 2013).
9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan CKD adalah menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan
mencegah komplikasi. Ada 2 penatalaksanaan CKD yaitu secara farmakologis dan
nonfarmakologis.
a. Farmakologis
Suharyanto & Madjid (2009) dalam Rahmadani (2017) pengobatan pasien CKD
dapat dilakukan dengan tindakan konservatif dan dialisis atau transplatansi ginjal.
1) Tindakan konservatif
Tindakan konservatif merupakan tindakan yang bertujuan untuk meredakan
atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif. Tindakan yang
dilakukan dapat berupa:
a) Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan. Intervensi diet perlu
pada gangguan fungsi renal dan mencakup pengaturan yang cermat
terhadap masukan protein, masukan cairan untuk mengganti cairan yang
hilang, masukan natrium untuk mengganti natrium yang hilang dan
pembatasan kalium.
b) Pencegahan dan pengobatan komplikasi seperti hipertensi, hiperkalemia,
anemia, asidosis, diet rendah fosfat, dan pengobatan hiperurisetemia.
2) Dialisis dan transplatansi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit CKD stadium 5, yaitu pada
GR kurang dari 15ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa dialisis
atau transplantasi ginjal. Dialisis dapat digunakan untuk mempertahankan
penderita dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal.
b. Nonfarmakologi
Menurut Smeltzer (2016) penatalaksanaan keperawatan pada pasien CKD yaitu :
1) Mengkaji status cairan dan mengidentifikasi sumber potensi ketidak
seimbangan cairan pada pasien.
2) Menetap program diet untuk menjamin asupan nutrisi yang memadai dan
sesuai dengan batasan regimen terapi.
3) Mendukung perasan positif dengan mendorong pasien untuk meningkatkan
kemampuan perawatan diri dan lebih mandiri.
4) Memberikan penjelasan dan informasi kepada pasien dan keluarga terkait
penyakit CKD, termasuk pilihan pengobatan dan kemungkinan komplikasi.
5) Memberi dukungan emosional.
10. Komplikasi dari CKD
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smletzer dan Bare (2015) yaitu:
a. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diet berlebihan.
b. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin-
angiostensin-aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialisis.
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar
alumunium.

B. Konsep Asuhan Keperawatan CKD


1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Biasanya lansia usia di atas 65 tahun memiliki resiko lebih besar mengalami CKD
dibanding usia muda (Dianti, 2020), secara klinik laki-laki mempunyai resiko
mengalami gagal ginjal kronik 2 kali lebih besar dari pada perempuan (Pranandari
& Supadmi, 2015).
b. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan hal-hal yang dirasakan oleh pasien sebelum masuk ke
rumah sakit. Pada pasien dengan gagal ginjal kronik biasanya didapatkan keluhan
utama yang bervariasi, mulai dari urine keluar sedikit sampai tidak dapat BAK,
gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas bau (amonia), dan gatal pada kulit
(Muttaqin& Sari, 2011).
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien mengalami penurunan frekuensi urine, penurunan kesadaran,
perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya nafas
berbau amonia, rasa sakit kepala, dan perubahan pemenuhan nutrisi (Muttaqin &
Sari, 2011).
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya pasien berkemungkinan mempunyai riwayat penyakit gagal ginjal akut,
infeksi saluran kemih, payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik, penyakit
batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit diabetes
mellitus, dan hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi
penyebab (Muttaqin & Sari, 2011).
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik, riwayat menderita
penyakit gagal ginjal kronik.
f. Pola Pemenuhan Kebutuhan Sehari-hari
1) Aktivitas dan Istirahat
Biasanya pasien mengalami kelelahan ekstrim, kelemahan, malaise, gangguan
tidur (insomnia/gelisah atau samnolen), penurunan rentang gerak (Haryono,
2013).
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Biasanya pasien mual, muntah, anoreksia, intake cairan inadekuat,
peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi),
nyeri ulu hati, rasa metalik tidak sedap pada mulut (pernafasan amonia)
(Haryono, 2013).
3) Pola Eliminasi Biasanya pada pasien terjadi penurunan frekuensi urine,
oliguria, anuria (gagal tahap lanjut), abdomen kembung, diare konstipasi,
perubahan warna urin (Haryono, 2013).
g. Pemeriksaan Fisik
1) Keluhan umum dan tanda-tanda vital
Keadaan umum pasien lemah dan terlihat sakit berat. Tingkat kesadaran
menurun sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat mempengaruhi system
saraf pusat. Pada hasil pemeriksaan vital sign, sering didapatkan adanya
perubahan pernafasan yang meningkat, suhu tubuh meningkat serta terjadi
perubahan tekanan darah dari hipertensi ringan hingga menjadi berat
(Muttaqin & Sari, 2011).
2) Pengukuran antropometri
Penurunan berat badan karena kekurangan nutrisi, atau terjadi peningkatan
berat badan karena kelebihan cairan.

3) Kepala
Mata, konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur, edema
periorbital; rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar; hidung: biasanya
ada pernapasan cuping hidung; mulut: nafas berbau amonia, mual, muntah
serta cegukan, peradangan mukosa mulut; leher : terjadi pembesaran vena
jugularis.
4) Dada dan toraks: penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal dan
kusmaul serta krekels, pneumonitis, edema pulmoner, friction rub pericardial.
5) Abdomen: nyeri area pinggang, asites.
6) Genital: atropi testikuler, amenore.
7) Ekstremitas: capitally revil time > 3 detik, kuku rapuh dan kusam serta tipis,
kelemahan pada tungkai, edema, akral dingin, kram otot dan nyeri otot, nyeri
kaki, dan mengalami keterbatasan gerak sendi.
8) Kulit: ekimosis, kulit kering, bersisik, warna kulit abu-abu, mengkilat atau
hiperpigmentasi, gatal (pruritus), kuku tipis dan rapuh, memar (purpura),
edema.
2. Diagnosa
Dalam menentukan diagnosa keperawatan kita mengacu PPNI (2017) yaitu:
a. Resiko Perfusi Renal Tidak Efektif
1) Faktor Resiko
Kekurangan volume cairan, embolisme vaskular, vaskulitis, hipertensi,
disfungsi ginjal, hiperglikemia, keganasan, pembedahan jantung, bypass
kardiopulmonal, hipoksemia, hipoksia, asidosis metabolik, trauma, sindrom
kompartemen abdmomen, luka kabar, sepsis, sindrome respon inflamasi,
sistemik, lanjut usia, merokok, dan penyalahgunaan zat.
b. Hipervolemia
1) Penyebab
Gangguan mekanisme regulasi, kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan
natrium, gangguan aliran balik vena, efek agen farmakologis.
2) Gejala Mayor dan Minor
Pasien mengeluh ortopnea, dispnea, PND (Paroximal Noctural Dyspnea),
edema anasarka atau edema perifer, BB meningkat dalam waktu singkat, JVP
atau CVP meningkat, refleks hepatojugular positif, distensi vena jugularis,
terdengar suara napas tambahan, hepatomegali, kadar Hb/ Ht menurun,
oliguria, intake lebih banyak dari output dan kongesti paru.
3. Intervensi
Intervensi keperawatan merupakan suatu susunan rencana tindakan keperawatan yang
disusun oleh perawat dengan tujuan untuk memudahkan perawat dalam melakukan
asuhan keperawatan guna untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Cahyanti,
2018). Intervensi disusun berdasarkan diagnosa yang muncul. Intervensi dibuat dalam
bentuk tabel berdasarkan PPNI (2018) sebagai berikut:
Masalah SLKI SIKI
Resiko Perfusi Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Syok:
Renal Tidak keperawatan selama 3 x 24 Obervasi
Efektif jam, maka Perfusi Renal a. Monitor status kardiopulmonal
Meningkat dengan ktriteria (frekuensi dan kekuatan nadi, RR, TD,
MAP)
hasil:
b. Monitor status oksgenasi (oksometri,
a. Jumlah urine normal nadi, AGD)
b. Nyeri abdomen c. Monitor status cairan (masukan dan
menurun haluaran, turgor kulit, CRT)
c. Mual muntah menurun d. Monitor tingkat kesadaran dan respon
d. Distensi abdomen pupil
menurun e. Periksa riwayat alergi
e. Kadar urea nitrogen Terapeutik
darah membaik a. Berikan oksigen untuk
f. Kadar kreatini membaik mempertahankan saturasi oksigen
>94%
g. TD membaik b. Persiapkan intubasi dan ventilasi
mekanik
c. Pasang jalur IV
d. Pasang kateter urine untuk menilai
produksi urine
e. Lakukan skin test untuk mencegah
reaksi alergi
Edukasi
a. Jelaskan penyebab atau faktor resiko
syok
b. Jelaskan tanda dan gejala syok
c. Anjurkan melapor jika
menemukan/merasakan tanda dan
gejala awal syok
d. Anjurkan memperbanyak asupan
cairan total
e. Anjurkan menghindari alergen
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian IV
b. Kolaborasi pemberian tranfusi darah
c. Kolaborasi pemberian antiinflamasi
Hipervolemia Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipervolemia
keperawatan selama 3 x 24 Observasi
jam, maka Keseimbangan a. Periksa tanda dan gejala hipervolemia
Cairan Meningkat dengan (misalnya ortopnea, dispnea, edema,
JVP/CVP meningkat, refleks
ktriteria hasil:
hepatojugular positif, suara napas
a. Asupan cairan meningkat
tambahan
b. Haluaran urine meningkat
b. Identifikasi penyebab hipervolemia
c. Kelembaban membran
c. Monitor status hemodinamik (misalnya
mukosa meningkat
frekuensi jantung, TD, MAP, CVP,
d. Edema menurun
PAPA, PCWP, CO, CI)
e. Dehidrasi menurun
d. Monitor intake dan output cairan
f. TD membaik
e. Monitor tanda hemokonsentrasi
g. Turgor kulit membaik
(misalnya kadar natrium, BUN, Ht,
berat jenis urine)
f. Monitor tanda peningkatan tekanan
onkotik plasma (misalnya kadar
protein dan albumin meningkat
g. Monitor kecepatan infus secara ketat
h. Monitor efek samping diuretik
Terapeutik
a. Timbang berat badan setiap hari pada
waktu yang sama
b. Batasi asupan cairan dan garam
c. Tinggikan kepala tempat tidur 30-400
Edukasi
a. Anjukan melapor jika haluaran urine <
0,5 mL/kb/jam dalam 6 jam
b. Anjurkan melapor jika BB bertambah
> 1 kg dalam sehari
c. Anjurkan cara mengukur dan mencatat
asupan dan haluaran urine
d. Anjurkan cara membatasi cairan
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian diuretik
b. Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat diuretik
c. Kolaborasi pemberian CRRT
4. Implementasi
Implementasi adalah tahap dimana perawat melaksanakan intervensi yang
sudah disusun berdasarkan masalah yang muncul. Kegiatan yang dilakukan pada
tahap ini yaitu memvalidasi data, mendokumentasikan tindakan yang dilakukan
meliputi tanggal dan jam serta menyertakan paraf dan nama perawat yang melakukan
tindakan tersebut. Tujuan yang diinginkan dicapai pada tahap ini meliputi
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi
koping. (Rahmadani, 2017).
5. Evaluasi
Rahmadani (2017) menjelaskan evaluasi adalah tahap akhir dari proses
keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistemastis dan terencana antara
hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan.
a) Evaluasi Formatif
Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon pasien segera pada saat setelah
dilakukan tindakan keperawatan. Ditulis pada catatan perawatan, dilakukan setiap
selesai melakukan tindakan keperawatan.
b) Evaluasi Sumatif (SOAP)
Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan sesuai
waktu pada tujuan. Ditulis pada catatan perkembangan yang merupakan rekapan
akhir secara paripurna, catatan naratif, penderita pulang atau pindah.
Daftar Pustaka
Aisara, S., Azmi, S., & Yanni, M. (2018). Gambaran klinis penderita penyakit ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas, 7(1), 42-50. https://doi.org/10.25077/jka.v7i1.778

Dianti, T. N. (2020). Pentingnya Mengetahui Faktor Resiko, Pencegahan dan Penanganan


Gagal Ginjal Kronik. Airlangga Nursing Journalist.

Haryono, Y. (2013). Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Rapha


Publishing

Muttaqin, A. & Sari, K. (2011). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

NIDDK. (2018). Chronic Kidney Disease (CKD). National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Diseases

Nuari & Widayati. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan & Penatalaksanaan
Keperawatan. Yogyakarta: Deepublish

PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI

Pranandri, R., & Supadmi,W. (2015). Risk Factors Cronic Renal Failure On HD Unit In
RSUD Wates Kulon Progo.11 (2). 316-320

Price & Wilson. 2012. Patofisioologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC

Rahmadani, W. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Chronic Kidney Desease
(CKD) Di Ruang Penyakit Dalam Pria Rsup Dr. M. Djamil Padang. Kti: Politeknik
Kesehatan Kemenkes Padang

Sari, L. R. (2016). Upaya Mencegah Kelebihan Volume Cairan Pada Pasien CKD di RSUD
Dr. Soehadi Prijonegoro. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

Smeltzer & Bare. (2015). Buku Ajar Keperawatan medikal-bedah Brunner & Suddarth
edisi.8. Vol 2. Jakarta: EGC
Smeltzer. (2016). Keperawatan medical-bedah Brunner & Suddarth edisi 12. Jakarta: EGC
Verdiansah. 2016. Pemeriksaan Fungsi Ginjal.Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi
Klinik Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia. CKD-237 Vol. 43 No.2

Anda mungkin juga menyukai