Anda di halaman 1dari 25

Chronic Kidney Disease (CKD)

A. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kemunduran fungsi dari ginjal ireversibel
yang terjadi beberapa bulan atau tahun. Keadaan ini mengakibatkan
ketidakmampuan dalam mempertahankan keseimbangan substansi tubuh atau
akumulasi cairan dan produk sisa dengan menggunakan penanganan konservatif
(Rustandi, Tranado, & Pransasti, 2018). Gagal Ginjal Kronis merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah) (Nuari & Widayati, 2017).

B. Anatomi Fisiologi
Anatomi ginjal menurut Wijaya dan Putri (2013) ginjal merupakan organ yang
berada di rongga abdomen, berada di belakang peritoneum, dan terletak di kanan
kiri kolumna vertebralis sekitar vertebra T12 hingga L3.13 Ginjal pada orang
dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, berbentuk
seperti biji kacang dengan lekukan mengahadap ke dalam, dan berukuran kira-
kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1%
berat seluruh tubuh atau kurang lebih antara 120-150 gram.

Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak yaitu lemak pararenal dan lemak
perirenal yang dipisahkan oleh sebuah fascia yang disebfascia gerota. Dalam
potongan frontal ginjal, ditemukan dua lapisan ginjal di distal sinus renalis, yaitu
korteks renalis (bagian luar) yang berwarna coklat gelap dan medulla renalis
(bagian dalam) yang berwarna coklat terang. Di bagian sinus renalis terdapat
bangunan berbentuk corong yang merupakan kelanjutan dari ureter dan disebut
pelvis renalis. Masing-masing pelvis renalis membentuk dua atau tiga kaliks
mayor dan masing-masing kaliks mayor tersebut akan bercabang lagi menjadi
dua atau tiga kaliks minor.
Gambar Anatomi Ginjal

Menurut Price & Wilson (2012), ginjal merupakan alat tubuh yang strukturnya
amat rumit, berperan penting dalam pengelolaan berbagai faal utama tubuh yaitu :
a. Regulasi volume dan osmolalitas cairan tubuh
b. Regulasi keseimbangan elektrolit
c. Regulasi keseimbangan asam basa
d. Ekskresi produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea, asam
urat dan kreatinin
e. Fungsi endokrin (Pengaturan produksi 1,25-dihidroksi vitamin D3, partisipasi
dalam eritropoiesis, pengatur tekanan arteri, sintesa glukosa)
f. Memproduksi renin yang berperan dalam pengaturan tekanan darah.
g. Pembentukan urine

Terdapat 3 proses penting yang berhubungan dengan proses pembentukan urine,


yaitu :
a. Filtrasi (penyaringan) :
Proses pertama dalam pembentukan urine adalah proses filtrasi yaitu proses
perpindahan cairan dari glomerulus menuju ke kapsula bowman dengan
menembus membrane filtrasi. Membran filtrasi terdiri dari tiga bagian utama
yaitu: sel endothelium glomerulus, membrane basiler, epitel kapsula bowman.
Di dalam glomerulus terjadi proses filtrasi sel-sel darah, trombosit dan protein
agar tidak ikut dikeluarkan oleh ginjal. Hasil penyaringan di glomerulus akan
menghasilkan urine primer yang memiliki kandungan elektrolit, kritaloid, ion
Cl, ion HCO3, garam-garam, glukosa, natrium, kalium, dan asam amino.
Setelah terbentuk urine primer maka didalam urine tersebut tidak lagi
mengandung sel-sel darah, plasma darah dan sebagian besar protein karena
sudah mengalami proses filtrasi di glomerulus.

b. Reabsorbsi (penyerapan kembali)


Reabsorpsi merupakan proses yang kedua setelah terjadi filtrasi di
glomerulus. Reabsorpsi merupakan proses perpindahan cairan dari tubulus
renalis menuju ke pembuluh darah yang mengelilinginya yaitu kapiler
peitubuler. Sel-el tubulus renalis secara selektif mereabsorpsi zat-zat yang
terdapat pada urine primer dimana terjadi reabsorpsi tergantung dengan
kebutuhan. Zat-zat makanan yang terdapat di urine primer akan direabsorpsi
secara keseluruhan, sedangkan reabsorpsi garam-garam anorganik
direabsorpsi tergantung jumlah garam-garam anorganik di dalam plasma
darah. Proses reabsorpsi terjadi dibagian tubulus kontortus proksimal yang
nantinya akan dihasilkan urine sekunder setelah proses reabsorpsi selesai.
Proses reabsorpsi air di tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus
distal. Proses reabsorpsi akan terjadi penyaringan asam amino, glukosa, asam
asetoasetat, vitamin, garam-garam anorganik dan air. Setelah pembentukan
urine sekunder maka di dalam urine sekunder sudah tidak memiliki
kandungan zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh lagi sehingga nantinya urine
yang dibuang benar-benar memiliki kandungan zat yang tidak dibutuhkan
tubuh manusia.

c. Ekskesi (pengeluaran)
Urine sekunder yang dihasilkan tubulus proksimal dan lengkung Henle akan
mengalir menuju tubulus kontortus distal. Urine sekunder akan melalui
pembuluh kapiler darah untuk melepaskan zat-zat yang sudah tidak lagi
berguna bagi tubuh. Selanjutnya, terbentuklah urine yang sesungguhnya.
Urine ini akan mengalir dan berkumpul di tubulus kolektivus (saluran
pengumpul) untuk kemudian bermuara ke rongga ginjal.
C. Klasifikasi
Sehubungan dengan progresivitas kerusakan ginjal penurunan faal ginjal dan
untuk menentukan berat ringannya atau derajat / tingkat kerusakan dari penyakit
ginjal kronik dapat dilihat berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju Filtration
Glomerulus) dengan menghitung nilai dari LFG nya, dimana nilai normalnya
adalah 125 ml/min/1,73m² dengan rumus kockrof – gault (Jainurakhma, et al.,
2021).
ml
min 2 ( 140−umur ) x berat badan
LFG ( m )=
1,73 mg
72 x kreatinin plasma( )
dl
Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik sesuai dengan derajatnya

Derajat Penjelasan LFG (ml/min/1,73 m²)

1. Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥9

2. Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60-89

3. Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30-59

4. Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15-29

5. Gagal ginjal <15 atau dialisis

Sumber : (Jainurakhma, et al., 2021).

D. Etiologi
Beberapa jenis gangguan kesehatan yang menyebabkan gagal ginjal kronis
(Jainurakhma, et al., 2021) :
1. Glomerulonefritis
Penyakit inflamasi atau non inflamasi pada glomerulus yang menyebabkan
perubahan permeabilitas, perubahan struktur, dan fungsi glomerulus.
2. Proteinuria
Adanya protein di dalam urine tubuh yang melebihi nilai normalnya yaitu
lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m².
3. Penyakit Ginjal Diabetik
Pada pasien diabetes, berbagai gangguan pada ginjal dapat terjadi, seperti
terjadinya batu saluran kemih, infeksi saluran kemih, pielonefritis, yang selalu
disebut sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien diabetes.
4. Amiloidosis Ginjal
Penyakit dengan karakteristik penimbunan polimer protein di ekstraseluler
dan gambaran dapat diketahui dengan histokimia dan gambaran ultrastruktur
yang khas.
5. Diabetes Mellitus
Penyebab utama dan terjadi lebih 30% pasien yang menerima dialisis
hipertensi adalah penyebab utama.

Disamping penyakit-penyakit tersebut, ada pula sejumlah faktor risiko yang dapat
meningkatkan kemungkinan seseorang mengidap gagal ginjal kronis. Faktor-
faktor risiko tersebut meliputi :
1. Kadar kolesterol yang tinggi
2. Merokok
3. Obesitas atau berat badan berlebih
4. Riwayat keluarga dengan penyakit ginjal
5. Struktur ginjal yang tidak normal
6. Usia lanjut, terutama diatas 65 tahun
7. Ras Indian, Afrika, Amerika dan Asia

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut (Nuari & Widayati, 2017), adalah sebagai berikut :
1. Gangguan Kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac
dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan
edema.
2. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
3. Gangguan Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan
perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
4. Gangguan Muskuloskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan), burning
feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki), tremor,
miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas.
5. Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
6. Gangguan Endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi
dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan
vitamin D.
7. Gangguan Cairan Elektrolit dan Keseimbangan Asam dan Basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium
dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
8. Sistem Hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga
rangsangan eritopoesis pada sum-sum tulang berkurang, hemolisis akibat
berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga
terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

F. Patofisiologi
Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronik dimulai pada fase awal gangguan,
keseimbangan caran, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih
bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal
turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin
minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang
rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi dan
sekresinya, serta mengalami hipertrofi.

Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa
menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak
dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan
tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein.
Pada saat penyusutan proresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut
dan aliran darah ginjal akan berkurang. Pelepasan renin akan meningkat bersama
dengan kelebihan beban cairan sehingga dapat menyebabkan hipertensi.
Hipertensi akan memperburuk kondisi ginjal, dengan tujuan agar terjadi
peningkatan filtrasi protein-protein plasma. Kondisi akan bertambah buruk
dengan semakin banyak terbentuk jaringan parut sebagai respon dari kerusakan
nefron dan secara progresif fungsi ginjal menurun secara drastis dengan
manifestasi penumpukan metabolit-metabolit yang seharusnya dikeluarkan dari
sirkulasi sehingga akan terjadi sindrom uremia berat yang memberikan banyak
manifestasi pada setiap organ tubuh (Muttaqin & Sari, 2014).

G. Komplikasi
Menurut (Jainurakhma, et al., 2021) seperti penyakit kronis dan lama lainnya,
penderita CKD akan mengalami beberapa komplikasi antara lain :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan
masukan diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan temponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Muttaqin & Sari, 2014) pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
penderita gagal ginjal kronik antara lain :
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Laju Endap Darah : meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan
hipoalbuminemia, dan jumlah retikulosit yang rendah.
b. Ureum dan Kreatinin : meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20 : 1. Perbandingan ini bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan
obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang : ureum lebih kecil
dari kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes klirens kreatinin yang
menurun.
c. Hiponatremi : umumnya karena kelebihan cairan.
d. Hiperkalemia : biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunnya diuresis.
e. Hipokalsemia dan Hiperfosfatemia : terjadi karena berkurangnya sintesis
vitamin D pada GGK.
f. Phosphate Alkalin : meninggi akibat gangguan metabolisme tulang ,
terutama isoenzim fosfatase tulang.
g. Hipoalbuminemia dan Hipokolesterolemia : umumnya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein.
h. Peningkatan Gula Darah : akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada
gagal ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
i. Hipertrigliserida : akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan
peningkatan hormon insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
j. Asidosis Metabolik : dengan kompensasi respirasi menunjukkan Ph yang
menurun, BE yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya disebabkan
retensi asam-basa organik pada gagal ginjal.
k. Pemeriksaan Urine
- Volume : biasanya kurang dari 400 ml/24 jam atau tidak ada urin.
- Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh
pus, bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, Mioglobin, porfirin.
- Berat Jenis : kurang dari 1,010 menunjukkan kerukasan ginjal berat.
- Osmoalitas : kurang dari 350 mOsm/kg, menunjukkan kerusakan ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1.
- Natrium : lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorspi natrium.
- Protein : derajat proteinuria (kurang lebih 3-4) secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau
adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal oleh
sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
b. Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan
tertentu misalnya usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
c. USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal , anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung
kemih dan prostat.
d. Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vaskular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
e. EKG untuk melihat kemungkinan : hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).
f. Endoskopi ginjal untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria, dan
pengangkatan tumor selektif.
g. Arteriogam ginjal untuk mengkaji sirkulaisi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular masa ginjal.

I. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Utami, 2021), tujuan penatalaksanaan medis adalah menjaga
keseimbangan cairan elektrolit dan mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut :
a. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan dengan mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hyperkalemia, pericarditis dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan dan
membantu penyembuhan luka. Dialisis atau dikenal dengan nama cuci darah
adalah suatu metode terapi yang bertujuan untuk menggantikan fungsi/kerja
ginjal yaitu membuang zat-zat sisa dan kelebihan cairan dari tubuh. Terapi ini
dilakukan apabila fungsi kerja ginjal sudah sangat menurun (lebih dari 90%)
sehingga tidak lagi mampu untuk menjaga kelangsungan hidup individu,
maka perlu dilakukan terapi.
b. Koreksi Hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal pertama yang harus diingat adalah
jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah,
hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dam EKG. Bila terjadi
hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium,
pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
c. Koreksi Anemia
Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi faktor defisiensi, kemudian
mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengendalian
gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb, Transfusi darah
hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya ada infusiensi
coroner.
d. Koreksi Asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natrium
bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 100 mEq
natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperlukan dapat
diulang. Hemodialisis dan dialisis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
e. Pengendalian Hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa dan vasodilatator dilakukan.
Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati
karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
J. Pathway

Penyebab gagal ginjal kronik

Kerusakan fungsi ginjal

Penurunan GFR

Penurunan fungsi ginjal

Hipertofi nefron

Aliran darah ginjal kurang

GFR < 5%

GGK

Edema paru  Sekresi eritropoetin  Aliran darah ke ginjal  metabolisme Tekanan


darah
Kapiler paru  Kadar Hb   HCL menurun
Kerja ginjal 
Kelemahan
Pertukaran gas inadekuat tonus otot
Retensi Na+H2O
atau AGD  Oksihemoglobin  Mual, Muntah,
Anoreksia Kelemahan
Kelebihan vol. cairan fisik
Transport O2 
Kerusakan
pertukaran gas Perubahan nutrisi Intoleransi
Pola Nafas kurang dari kebutuhan aktifitas
Tidak efektif
K. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera
masalahaktual/potensial dari kondisi life threatening (berdampak terhadap
kemampuan pasien untuk mempertahankan hidup).
Pengkajian tetap berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi jika hal tersebut memungkinkan. Prioritas penilaian dilakukan
berdasarkan :
A = Airway dengan kontrol servikal
Kaji : - Bersihan jalan nafas
- Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas-
- Distress pernafasan
- Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring

B = Breathing dan ventilasi


Kaji : - Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada
- Suara pernafasan melalui hidung atau mulut
- Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
C = Circulation
Kaji : - Denyut nadi karotis
- Tekanan darah
- Warna kulit, kelembaban kulit
- Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
D = Disability
Kaji : - Tingkat kesadaran
- Gerakan ekstremitas
- GCS atau pada anak tentukan respon :
A = Alert
V = Verbal,
P = Pain/respon nyeri
U = Unresponsive
- Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya.
E = Eksposure
Kaji : - Tanda-tanda trauma yang ada
2. Pengkajian Sekunder (secondary survey)
Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah ABC yang ditemukan
pada pengkajian primer diatasi. Pengkajian sekunder meliputi pengkajian
obyektif dan subyektif dari riwayat keperawatan (riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit terdahulu, riwayat pengobatan, riwayat keluarga) dan
pengkajian dari kepala sampai kaki.
a) Pengkajian Riwayat Penyakit :
 Keluhan utama dan alasan pasien datang ke rumah sakit
 Lamanya waktu kejadian samapai dengan dibawa ke rumah sakit
 Tipe cedera, posisi saat cedera dan lokasi cedera
 Gambaran mekanisme cedera dan penyakit yang ada (nyeri)
 Waktu makan terakhir
 Riwayat pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi sakit
sekarang,imunisasi tetanus yang dilakukan dan riwayat alergi klien.
Metode pengkajian yang sering dipakai untuk mengkaji riwayat klien :
S  (signs and symptoms)
 tanda dan gejala yang di observasi dan dirasakan klien
A  (Allergis)
 alergi yang dimiliki klien
M  (medications)
 tanyakan obat yang telah diminum klien untuk mengatasi keluhan
P  (pertinent past medical hystori)
 riwayat penyakit yang di derita klien
L  (last oral intakesolid or liquid)
 makan/minum terakhir, jenis makanan
E  (event leading toinjury or illnes)
 pencetus/kejadian penyebab keluhan

Metode yang sering dipakai untuk mengkaji nyeri :


P  (provoked) :
 pencetus nyeri, tanyakan hal yang menimbulkan dan
mengurangi nyeri
Q  (quality)
 kualitas nyeri
R  (radian)
 arah perjalan nyeri
S  (Skala)
 skala nyeri 1-10
T  (Time)
 lamanya nyeri sudah dialami klien

b) Pemeriksaan Fisik
1) Kepala: edema muka terutama daerah orbita, mulut bau khas urine
2) Dada : pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada
3) Perut : adanya edema anasarka (ascites)
4) Ekstremitas : edema pada tungkai, spatisitas otot
5) Kulit : sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun
c) Pemeriksaan diagnostic
1) Pemeriksaan Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml / 24 jam atau urine tak ada
(anuria)
- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh
pus bakteri, lemah, partikel koloid, fosfat atau urat.
- Berat jenis : Kurang dari 1,05 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
- Osmolaritas : Kurang dari 300 mosm / kg menunjukkan kerusakan
tubular dan rasio urine serum sering 1 : 1.
- Klirens Kreatinin : Mungkin agak menurun.stadium satu CCT(40-
70ml/menit), stadium kedua, CCT (20-40ml/menit) dan stadium
ketiga, CCT(5 ml/menit)
- Natrium : Lebih besar dari 40 g/dl, karena ginjal tidak mampu
mereabsorpsi natrium. (135-145 g/dL)
- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3 – 4 + ) secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga
ada.
2) Darah
- BUN/Kreatinin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi,
kadar kreatinin 10 mg/dl. Diduga batas akhir mungkin rendah
yaitu 5
- Hitung darah lengkap  : Ht  namun pula adanya anemia Hb : kurang
dari 7 – 8 9/dl, Hb untuk perempuan (13-15 g/dL), laki-laki (13-16
g/dL)
- SDM : Waktu hidup menurun pada defesiensi eriropoetin  seperti
pada azotemia.
3) GDA   :   
- PH : penurunan asidosis (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekskresi hidrogen dan
amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun
PCo2 menurun natrium serum mungkin rendah (bila ginjal
”kehabisan” natrium atau normal  (menunjukkan status difusi
hipematremia)
- Kalium : Peningkatan normal (3,5- 5,5 g/dL) sehubungan dengan
rotasi sesuai dengan perpindahan selular (asidosis) atau
pengeluaran jaringan (hemolisis SDM) pada tahap akhir
pembahan EKG mungkin tidak terjadi sampai umum gas
mengolah lebih besar.
- Magnesium / fosfat meningkat di intraseluler : (27 g/dL), plasma
(3 g/dL), cairan intersisial (1,5 g/dL).
- Kalsium : menurun. Intra seluler (2 g/dL), plasma darah (5 g/dL),
cairan intersisial (2,5 g/dL)
- Protein (khususnya albumin 3,5-5,0 g/dL) : kadar semua
menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine
pemindahan cairan penurunan pemasukan atau penurunan
sintesis karena asam amino esensial.
- Osmolalitas serum : lebih besar dari 285 mos m/kg. Sering sama
dengan urine Kub Foto : menunjukkan ukuran ginjal / ureter /
kandug kemih dan adanya obstruksi (batu)
- Pielogram retrograd  : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal
dan ureter
4) Arteriogram ginjal :
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravakuler massa.
Sistrouretrografi berkemih : menunjukkan ukuran kandung kemih,
refiuks kedalam ureter, rebonsi.
5) Ultrasono ginjal :
Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa. Kista obstruksi pada
saluran kemih bagian atas.
6) Biopsi ginjal :
mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan pelvis ginjal :
keluar batu hematuria dan pengangkatan tumor selektif 
7) EKG :
Mungkin abnormal menunjukan ketidak keseimbangan elektrolit
asam/basa.
8) Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal, dan tangan : Dapat menunjukkan
deminarilisasi, kalsifikasi.

L. Analisa Data

No Analisa Data Etiologi Diagnosa


keperawatan

1. Ds : Penyebab gagal ginjal Pola Nafas


- Pasien mengatakan kronik Tidak Efektif
sesak nafas 
Kerusakan fungsi
Do : ginjal
- Penggunaan otot 
bantu pernafasan Penurunan GFR
- Takipnea 
- Tekanan ekspirasi Penurunan fungsi
menunun ginjal
- Tekanan inspirasi

menurun
Hipertrofi nefron

Aliran darah ke ginjal
kurang

GFR < 5 %

Gagal Ginjal Kronik

Sekresi eritropoietin
menurun

Oksihemoglobin
meningkat

Hiperventilasi

Pola Nafas Tidak


Efektif

2. Ds : Gagal ginjal kronik Hipervolemia


- Pasien mengatakan 
sesak nafas Aliran darah ke ginjal
Do : menurun
- Edema 
- Berat badan Kerja ginjal menurun
meningkat 
Terdengar suara nafas Retensi Na, H2O
tambahan

Edema

Hipervolemia

3. Ds : Gagal ginjal kronis Defisit Nutrisi


- Pasien mengatakan

mual
↑ metabolisme
Do :

- Berat badan
menurun minimal ↑ HCL
10% dibawah

rentang ideal

Mual, Muntah

Defisit Nutrisi

4. Ds : Gagal ginjal kronis Intoleransi


- Pasien mengatakan  Aktivitas
mengeluh lelah dan Tekanan darah
lemas meningkat

Do : Kelemahan tonus otot



- Tekanan darah
Kelemahan fisik
berubah >20% dari

kondisi istirahat
Intoleransi aktivitas
- Tidak dapat
melakukan aktivitas
sendiri
- Frekuensi jantung
meningkat
M. Diagnosa Keperawatan

1. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan

2. Hipervolemia berhubungan dengan kelebihan volume cairan

3. Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien

4. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan


RENCANA KEPERAWATAN

No Diagnosa Keperawatan Perencanaan

Tujuan & kriteria hasil Intervensi Rasional

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Nafas Tindakan
dengan kelemahan otot pernafasan keperawatan selama 1 x 24 Observasi
jam, maka pola nafas  Monitor pola nafas
membaik dengan kriteria (frekuensi)
hasil :  Monitor bunyi nafas
 Dispnea menurun tambahan (gurgling)
 Penggunaan otot  Monitor sputum (jumlah,
bantu nafas menurun warna, aroma)
 Frekuensi nafas Terapeutik
membaik
 Posisikan semi fowler
atau fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
 Berikan oksigen, jika
perlu
Kolaborasi

Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspetoran,
mukolitik, jika perlu

2. Hipervolemia berhubungan dengan setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipervolemia Tindakan


keperawatan selama 1 x 24 Observasi
kelebihan volume cairan
jam, maka keseimbangan  Periksa tanda dan gejala
cairan membaik dengan hipervolemia
kriteria hasil :  Identifikasi penyebab
 Edema menurun hipervolemia
 Tekanan darah  Monitor intake dan
membaik output cairan
 Monitor efek samping
diuretik
Terapeutik

 Timbang berat badan


setiap hari pada waktu
yang sama
 Tinggikan kepala tempat
tidur 30 - 40°
Edukasi

 Ajarkan cara mengukur


dan mencatat asupan dan
haluaran cairan
 Ajarkan cara membatasi
cairan
Kolaborasi

Kolaborasi pemberian diuretik

3. Defisit Nutrisi berhubungan dengan setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi Tindakan
keperawatan selama 1 x 24 Observasi
ketidakmampuan mengabsorbsi
jam, maka Status Nutrisi - Identifikasi status nutrisi
nutrien
membaik dengan Kriteria - Identifikasi makanan
Hasil: yang disukai
- Identifikasi kebutuhan
 Nafsu makan meningkat
kalori dan jenis nutrient
 Tidak terjadi penurunan
- Monitor asupan makanan
BB
 Masukan nutrisi adekuat
 Menghabiskan porsi Terapeutik

makan - Sajikan makanan secara

 Hasil lab normal menarik dan suhu yang

(albumin, kalium) sesuai


- berikan suplemen
makanan

Kolaborasi

kolaborasi dengan ahli gizi


untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrient yang
dibutuhkan

4. Intoleransi Aktivitas berhubungan setelah dilakukan tindakan Manajemen Energi Tindakan


keperawatan selama 1 x 24 Observasi
dengan kelemahan
jam, maka toleransi  Identifikasi gangguan
aktivitas meningkat dengan fungsi tubuh
kriteria hasil : mengakibatkan kelelahan
 Kelelahan lelah  Monitor kelelahan fisik
menurun  Monitor lokasi dan
 Dispnea saat ketidaknyamanan selama
aktivitas menurun melakukan aktivitas
 Dispnea setelah Terapeutik
aktivitas
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
Edukasi

Ajarkan strategi koping untuk


mengurangi kelelahan
REFERENSI

Jainurakhma, J., Koerniawan, D., Supriadi, E., Frisca, S., Perdani, Z. P., Zuliani, . . .
Yudianto, A. (2021). Dasar-Dasar Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam Dengan
Pendekatan Klinis. Medan: Yayasan Kita Menulis.

Muttaqin , A., & Sari, K. (2014). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika.

Nuari, N. A., & Widayati, D. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: Deepublish.

PPNI, T. S. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan


Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

PPNI, T. S. (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan


Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

PPNI, T. S. (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan


Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Rustandi, H., Tranado, H., & Pransasti, T. (2018). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kualitas Hidup Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) Yang Menjalani Hemodialisa.
Jurnal Keperawatan Silampari, 32-46.

Utami, N. S. (2021). Chronic Kidney Disease. 1-15.

Anda mungkin juga menyukai