OLEH:
Regita Prameswari, S.Kep
NIM 182311101114
Tubulus ginjal memiliki fungsi untuk mengeksresikan elektrolit serta air yang
berlebih (fungsi ekskresi) dan menyerap kembali zat yang masih berguna yang
turut terbuang seperti natrium serta kalium (fungsi reabsorbsi). Elektrolit seperti
natrium dan kalium bersama dengan ion-ion lain seperti hidrogen sangat penting
sebagai pengaturan asam basa tubuh. Bikarbonat merupakan hasil dari fungsi
ginjal yang penting dalam rangka menetralisir keasaman darah jika terjadi
asidosis metabolik (Hartono, 2008). Ginjal mempunya beberapa fungsi untuk
tubuh yaitu menjalankan fungsi ekskresi cairan dan elektrolit, berfungsi sebagai
filtrasi (menyaring darah), sekresi hormone (ADH), mengatur keseimbangan
elektrolit (tubulus), mengatur keseimbangan asam basa, mengekskresi sisa
metabolik, toksin, dan zat asing serta juga memiliki fungsi yang tidak kalah
pentingnya yaitu mengaktifkan vitamin D3 menjadi kalsitriol (1,25-dihidroksi-
vitamin D3) dan memproduksi eritropoetin yaitu hormon yang merangsang
sumsum tulang membentuk sel darah merah (Hartono, 2008).
Alur aliran darah dari aorta (setinggi L2) masuk ke arteri renalis (1/3 dari curah
jantung ke ginjal) lalu menuju 5 hilus dan berlanjut ke cabang lobaris,
interlobaris, arkuata, dan kortikal radial. Cabang kortikal radial bercabang lagi
menjadi arteriol aferen yang memasok darah ke glomerolus dan melanjutkan
sebagai arteiol eferen dan kembali menuju jantung melalui pembuluh vena.
Ginjal punya dua peranan penting yaitu sebagai organ eskresi dan non eskresi.
Sebagai sistem eskresi ginjal bekerja sebagai filtran senyawa yang sudah tidak
dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain dalam bentuk urin,
maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin. Selain sebagai sistem ekresi
ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan bekerja sebagai penyeimbang asam
basa, cairan dan elektrolit tubuh serta fungsi hormonal. Ginjal mengekresi
hormon renin yang mempunyai peran dalam mengatur tekanan darah (sistem
renin angiotensin aldosteron), pengatur hormon eritropoesis sebagai hormon
pengaktif sumsum tulang untuk menghasilkan eritrosit. Disamping itu ginjal juga
menyalurkan hormon dihidroksi kolekalsi feron (vitamin D aktif), yang
dibutuhkan dalam absorsi ion kalsium dalam usus.
Urin berasal dari darah yang dibawa oleh arteri renalis masuk ke dalam ginjal.
Darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah merah dan bagian plasma
darah kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorbsi, dan
eksresi.
1) Proses Filtrasi
Proses ini terjadi di glomerolus dan terjadi karena tekanan permukaan aferen
lebih besar daripada permukaan eferen sehingga terjado penyerapan darah.
Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein.
Cairan yang disaring disimpan dalam simpai bownman yang terdiri dari
glukosa, air, natrium, klorida sulfat, bikarbonat, dan lain-lain yang diteruskan
ke tubulus ginjal.
2) Proses Reabsorbsi
Proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besari dari glukosa, natrium,
klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal
dengan proses obligator. Proses reabsorbsi ini terjado pada tubulus proksimal
sedangkan pada tubulus dista; terjadi penyerapan kembali natrium dan ion
bikarbonat bila diperlukan. Penyarapan ini terjadi secara aktif dengan
reabsorbsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis. Reabsorpsi zat
tertentu dapat terjadi secara transpor aktif dan difusi. Sebagai contoh pada sisi
tubulus yang berdekatan dengan lumen tubulus renalis terjadi difusi ion Na+,
sedangkan pada sisi sel tubulus yang berdekatan dengan kapiler terjadi transpor
aktif ion Na+. Adanya transpor aktif Na+ di sel tubulus ke kapiler
menyebabkan menurunnya kadar ion Na+ di sel tubulus renalis, sehingga difusi
Na+ terjadi dari lumen sel tubulus renalis. Pada umumnya zat yang penting
bagi tubuh direabsorpsi secara transpor aktif. Zat-zat penting bagi tubuh yang
secara aktif direabsorpsi adalah protein, asam amino, glukosa, dan vitamin.
Zat-zat tersebut direabsorpsi secara aktif di tubulus proksimal, sehingga tidak
ada lagi di lengkung Henle.
B. Definisi Infeksi Saluran Kemih (ISK) dan Gagal Ginjal Kronik (GGK)
1. Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Penyakit parenkim ginjal adalah hasil dari berbagai kerusakan akut dan kronis
yang dapat menyebabkan hilangnya nefron diikuti oleh hiperfiltrasi adaptif pada
nefron yang tersisa. Hyperfiltration adaptif ini menghasilkan kerusakan
glomerular jangka panjang yang menyebabkan proteinuria dan hilangnya fungsi
ginjal secara progresif. Penurunan awal fungsi ginjal tidak menunjukkan gejala,
dan manifestasi klinis gagal ginjal terjadi pada akhir perjalanan penyakit.
Kehilangan fungsi ginjal, bagaimanapun, adalah variabel dan dapat tanpa henti
meskipun terapi medis yang optimal. Definisi penyakit ginjal karenanya berfokus
pada GFR dan ukuran kerusakan (proteinuria, kelainan anatomi) (Shafi dan
Coresh, 2015).
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai dengan
abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan.
PGK ditandai dengan satu atau lebih tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria,
abnormalitas sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, ataupun adanya
riwayat transplantasi ginjal, juga disertai penurunan laju filtrasi glomerulus
(Aisara dkk., 2018). Penyakit ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi
ginjal dalam beberapa bulan atau tahun. penyakit ginjal kronis didefinisikan
sebagai kerusakan ginjal dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR)
kurang dari 60mL/min/1,73 m selama minimal 3 bulan. Kerusakan ginjal adalah
setiap kelainan patologis atau penanda keruasakan ginjal, termasuk kelainan darah
maupun urin (RI, 2017).
ISK tanpa komplikasi, atau sistitis, terjadi pada wanita premenopause yang muda
dan sehat. Wanita-wanita ini tidak hamil dan tidak memiliki kelainan saluran
kemih struktural atau fungsional. Infeksi tanpa komplikasi pada saluran kemih
bagian bawah beresiko rendah untuk kegagalan pengobatan dan biasanya tidak
berhubungan dengan organisme yang resisten antibiotik, meskipun tingkat
resistensi terus meningkat. Semua pasien lain memenuhi kriteria untuk infeksi
yang rumit, definisi yang heterogen. Infeksi yang rumit beresiko untuk organisme
yang resistan terhadap obat dan mungkin memerlukan evaluasi lebih lanjut dan
perawatan yang lebih luas (Long dan Koyfman, 2018).
Menurut laporan data tahunan Sistem Data Ginjal Amerika Serikat 2017,
penyebab utama ESRD pada anak-anak selama 2011 hingga 2015, mirip dengan
tahun-tahun sebelumnya, adalah kelainan bawaan ginjal dan saluran kemih (22%),
penyakit glomerulus primer (21,8%) ), gangguan kistik / herediter / kongenital
(12,5%), dan penyakit / vaskulitidi sekunder glomerulus. . Diagnosis individu
yang paling umum yang terkait dengan ESRD pediatrik termasuk
glomerulosklerosis segmental fokus (11,6%), hipoplasia / displasia ginjal (10%),
uropati obstruktif kongenital (9,7%), dan lupus erythematosus sistemik (6,3%). 1
Distribusi ini sangat berbeda dari CKD pada orang dewasa, yang di negara-negara
maju paling sering dikaitkan dengan diabetes mellitus atau hipertensi (Akchurin,
2019).
CKD dapat terjadi akibat penyakit ginjal yang mendasarinya yang disebabkan
oleh cedera ginjal akut atau penyakit ginjal yang progresif perlahan. Risiko ESRD
yang lebih tinggi terlihat pada jenis kelamin laki-laki, usia yang lebih tua,
proteinuria, diabetes mellitus, pencapaian pendidikan yang lebih rendah, ras
Afrika-Amerika, tekanan darah yang lebih tinggi, indeks massa tubuh, dan tingkat
kreatinin serum (Shafi dan Coresh, 2015).
ISK dapat menjadi salah satu penyebab dari GGK. Infeksi saluran kemih adalah
keadaan yang ditandai dengan adanya bakteri dalam urin dan pada pemeriksaan
biakan mikroorganisme didapatkan jumlah bakteri sebanyak 100,000 koloni per
milliliter urin atau lebih yang dapat disertai dengan gejala-gejala (simtomatik)
atau tidak (asimtomatik). Pasien dengan simtom ISK, jumlah bakteri dikatakan
signifikan jika lebih besar dari 100,000 per milliliter urin. Wanita adalah yang
paling banyak terinfeksi dan setiap wanita diperkirakan akan mengalami gejala-
gejala ISK sebanyak 5 kali dalam siklus hidupnya dan jarang terjadi pada pria
tetapi jika terjadi bisa menyebabkan komplikasi yang serius (Moresco dkk.,
2018).
Urin biasanya berada dalam keadaan yang steril. Infeksi berlaku apabila bakteri
atau mikroorganisme patogen yang lain masuk ke dalam urin dan mulai membiak.
Infeksi saluran kemih umumnya dibagi dalam dua kategori : Infeksi saluran kemih
bagian bawah (uretritis, sistitis, prostatis) dan infeksi saluran kencing bagian atas
(pielonepritis akut). Sistitis kronik dan pielonepritis dan infeksi saluran kencing
bagian ginjal tahap akhir pada anak-anak. Lokasi infeksi biasanya bermula pada
bukaan uretra, didapat dari daerah anus dan bergerak naik ke atas melalui traktus
urinari dan bisa menginfeksi kandung kemih. Ini mungkin disebabkan oleh
kebersihan diri yang kurang atau hubungan seksual. Jika bakteri sampai ke ginjal,
dapat mengakibatkan infeksi ginjal atau pyelonephritis yang bisa mengakibatkan
komplikasi yang serius jika tidak dilakukan tindakan intervensi yang tepat
(Moresco dkk., 2018).
GGK juga dapat menyebabkan ISK, alasan yang mendasari untuk risiko ISK yang
lebih tinggi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis dianggap sebagai reaksi
host yang berubah dan gangguan anatomi dan fungsional saluran kemih.
Perubahan fungsi pelindung inang diperkirakan disebabkan oleh (Tandogdu dkk.,
2016):
Bukti korelasi antara penyakit ginjal kronis dan risiko ISK yang lebih tinggi
paling kuat untuk penyakit ginjal polikistik dominan autosom (ADPKD) dan
penyakit ginjal kronis yang terkait dengan penyakit batu. ISK adalah salah satu
skenario klinis penyajian yang paling umum di ADPKD. Selama hidup mereka,
21-75% dari pasien mengembangkan ISK, yang harus menjadi diagnosis banding
pertama pada pasien dengan demam. Infeksi saluran kemih bagian atas pada
ADPKD disubklasifikasi menjadi pyonephrosis, infeksi bakteri interstitial akut,
dan pyocysts (infeksi kista). Patogen penyebab untuk ISK pada pasien dengan
ADPKD mirip dengan yang untuk populasi umum. Kriteria diagnostik juga sama,
tetapi piokista dapat menimbulkan tantangan diagnostik. Dalam kasus ini, gejala
khas pielonefritis (PN-1 atau PN-2) mungkin ada tanpa pertumbuhan dalam kultur
urin. Pencitraan dan dalam beberapa kasus pertumbuhan kultur darah mungkin
bersifat diagnostik. Pencitraan awal biasanya dilakukan dengan menggunakan
ultrasonografi. Sel darah putih dan 18-fluorodeoxyglucose PET / computerized
tomography (CT) lebih unggul daripada CT standar dan pencitraan resonansi
magnetik dalam mendiagnosis piokista. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk membuktikan efektivitas PET / CT yang sebenarnya (Tandogdu dkk.,
2016).
Berikut ini adalah beberapa yang memiliki risiko mengalami ISK (Tandogdu
dkk., 2016) :
a. Pasien batu ginjal yaitu individu yang mengalami obstruksi saluran kemih.
b. Pasien yang mengalami gangguan pengosongan kandung kemih seperti
kerusakan pada syaraf spinalis dan wanita yang menopause.
c. Pasien imunosupresan seperti pada penderita diabetes dan HIV.
d. Pada pasien wanita yang mempunyai aktif seksualnya.
e. Pasien yang mengalami pembesaran prostat karena ini akan melambatkan
pengosongan kandung kemih sehingga infeksi terjadi.
f. Pemakaian kateter untuk pengosongan kandung kemih akan menyebabkan
infeksi saluran kemih 1-2%, hal ini karena pada waktu pemasangan kateter
tersebut kemungkinan kuman yang ada dalam uretra akan terdorong ke dalam
kandung kemih sehingga dapat menimbulkan infeksi.
D. Epidemiologi Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Penyakit Ginjal kronis, biasanya timbul secara perlahan dan sifatnya menahun.
Data Global Burden of Disease tahun 2010 menunjukkan, Penyakit Ginjal Kronis
merupakan penyebab kematian ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi
urutan ke 18 pada tahun 2010. Lebih dari 2 juta penduduk di dunia mendapatkan
perawatan dengan dialisis atau transplantasi Ginjal dan hanya sekitar 10% yang
benar-benar mengalami perawatan tersebut. Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi penduduk Indonesia
yang menderita Gagal Ginjal sebesar 0,2% atau 2 per 1000 penduduk dan
prevalensi Batu Ginjal sebesar 0,6% atau 6 per 1000 penduduk. Prevalensi
Penyakit Gagal Ginjal tertinggi ada di Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 0,5%.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi gagal Ginjal pada laki-laki (0,3%) lebih
tinggi dibandingkan dengan perempuan (0,2%). Berdasarkan karakteristik umur
prevalensi tertinggi pada kategori usia di atas 75 tahun (0,6%), dimana mulai
terjadi peningkatan pada usia 35 tahun ke atas. Berdasarkan strata pendidikan,
prevalensi gagal Ginjal tertinggi pada masyarakat yang tidak sekolah (0,4%).
Sementara Berdasarkan masyarakat yang tinggal di pedesaan (0,3%) lebih tinggi
prevalensinya dibandingkan di perkotaan (0,2%). Berdasarkan Indonesian Renal
Registry (IRR) tahun 2016, sebanyak 98% penderita gagal Ginjal menjalani terapi
Hemodialisis dan 2% menjalani terapi Peritoneal Dialisis (PD). Penyebab
penyakit Ginjal kronis terbesar adalah nefropati diabetik (52%), hipertensi (24%),
kelainan bawaan (6%), asam urat (1%), penyakit lupus (1%) dan lain-lain
(Registry, 2018).
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Infeksi saluran kemih (ISK) didefinisikan dengan tumbuh dan
berkembang biaknya bakteri atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah
bermakna. Gejala klinis ISK sangat bervariasi, dapat berupa ISK asimtomatik
hingga gejala yang berat yang dapat menimbulkan infeksi sistemik. Oleh karena
manifestasi klinis yang sangat bervariasi dan sering tidak spesifik, penyakit ini
sering tidak terdeteksi hingga menyebabkan komplikasi gagal ginjal.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, gejala klinis yang serius belum
muncul, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan
dimana basal LGF masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan, tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%,
mulai terjadi keluhan pada penderita antara lain penderita merasakan letih dan
tidak bertenaga, susah berkonsentrasi, nafsu makan menurun dan penurunan berat
badan, susah tidur, kram otot pada malam hari, bengkak pada kaki dan
pergelangan kaki pada malam hari, kulit gatal dan kering, sering kencing terutama
pada malam hari. Pada LFG di bawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan
tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.
Selain itu pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran cerna, maupun infeksi saluran nafas. Sampai pada LFG di bawah 15%
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal (Maw dan Fried, 2013).
Pada bahasan kali ini akan dibahas gagal ginjal kronik yang disebabkan
oleh infeksi saluran kemih secara lebih mendalam. Berdasarkan ada tidaknya
komplikasi, ISK dibagi menjadi ISK simpleks dan kompleks. ISK simpleks/
sederhana/uncomplicated UTI adalah terdapat infeksi pada saluran kemih tetapi
tanpa penyulit (lesi) anatomis maupun fungsional saluran kemih. ISK kompleks/
dengan komplikasi/complicated UTI adalah terdapat infeksi pada saluran kemih
disertai penyulit (lesi) anatomis maupun fungsional saluran kemih misalnya
sumbatan muara uretra, refluks vesikoureter, urolithiasis, parut ginjal, buli-buli
neurogenik, dan sebagainya. Berdasarkan letaknya, ISK dibagi menjadi ISK atas
dan bawah. ISK atas adalah infeksi pada parenkim ginjal atau ureter, lazimnya
disebut sebagai pielonefritis. ISK bawah adalah infeksi pada vesika urinaria
(sistitis) atau uretra. Batas antara atas dan bawah adalah vesicoureteric junction.
Sekitar 50% ISK disebabkan Escherichia coli, penyebab lain adalah Klebsiella,
Staphylococcus aureus, coagulase-negative staphylococci, Proteus dan
Pseudomonas sp. dan bakteri gram negatif lainnya. Terdapat beberapa faktor
predisposisi terjadinya ISK kompleks, diantaranya adalah:
1. Outflow obstruction
a. Striktur uretra
b. Pelviureteric junction
c. Posterior urethral valves
d. Bladder neck obstruction
2. Batu/tumor
a. Neuropathic bladder
b. Kista ginjal
3. Kelainan ginjal
a. Parut ginjal
b. Refluks vesikoureter
c. Displasia ginjal
d. Ginjal dupleks
4. Benda asing
a. Indwelling catheter
b. Batu
c. Selang nefrostomi
5. Metabolik
a. Imunosupresi
b. Gagal ginjal
6. Diabetes
Terdapat sistem lima tahap untuk klasifikasi CKD. Tahapan 1 dan 2 didefinisikan
oleh adanya penanda kerusakan ginjal dan dibedakan satu sama lain dengan tidak
adanya (stadium 1) atau adanya (tahap 2) GFR yang berkurang ringan. Tahapan 3
hingga 5 hanya didasarkan pada tingkat GFR. Sistem pementasan mewakili beban
azotemik yang meningkat ketika GFR menurun dan mengenali manifestasi umum
dari penurunan fungsi ginjal seperti anemia dan hiperparatiroidisme yang dapat
terjadi terlepas dari etiologi penyakit ginjal yang mendasarinya (seperti
glomerulonefritis atau hipertensi nefrosklerosis). Pada setiap tahap CKD, rencana
tindakan diusulkan dengan tujuan meningkatkan hasil pada pasien dan
mengurangi angka kematian berdasarkan bukti terbaik, tetapi sering terbatas,
tersedia. Sistem klasifikasi K / DOQI melengkapi sistem klasifikasi tradisional
yang didasarkan pada fitur klinis (seperti sindrom nefrotik) atau mekanisme
patofisiologis (seperti nefropati imunoglobulin A (IgA) pada biopsi ginjal) (Shafi
dan Coresh, 2015).
Price & Wilson (2005) membagi penyebab CKD atas dasar etiologi menjadi
delapan kelas:.
Klasifikasi Penyakit Penyakit
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan
gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia). Pemeriksaan ini menilai besar
dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system
pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostate.
d. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi
dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada,
pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa pemeriksaan
radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui gangguan fungsi ginjal antara
lain:
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah arteri,
pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam pemeriksaan ini
diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri femoralis, radialis, atau
brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah diberi heparin untuk mencegah
pembekuan darah sebelum dilakukan uji laboratorium. Pada pemeriksaan gas
darah arteri pada penderita gagal ginjal akan ditemukan hasil yaitu asidosis
metabolik dengan nilai PO2 normal,PCO2 rendah, pH rendah, dan defisit basa
tinggi (Grace dan Borley, 2006).
1. Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan
biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan
dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah
satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan
hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis
dilakukan pada klien GGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute
Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal.
2. Dialisis Peritoneal
Dialisisperitoneal merupakan alternatif hemodialisis pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Dialisis peritoneal dilakukan
dengan menginfuskan 1-2 L cairan dialisis ke dalam abdomen melalui
kateter. Dialisat tetap berada dalam abdomen untuk waktu yang berbeda-
beda (waktu tinggal) dan kemudian dikeluarkan melalui gaya gravitasi
ke dalam wadah yang terletak di bawah pasien. Setelah drainase selesai,
dialisat yang baru dimasukkan dan siklus berjalan kembali. Pembuangan zat
terlarut dicapai melalui difusi, sementara ultrafiltrasi dicapai melalui
perbedaan tekanan osmotik dan bukan dari perbedaan tekanan hidrostatik
seperti pada hemodialisis
3. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai
oleh pasien gagal ginjal stadium akhir, meskipun sebagian pasien
mungkin tetap memilih dialisis di rumah mereka sendiri sesudah
mendapatkan latihan dari perawat khusus. Tindakan standar dalam
transplantasi ginjal dengan merotasikan ginjal donor dan meletakannya pada
fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian terletak di sebelah anterior
pembuluh darah ginjal ke dalam kemih resipien. Arteria renalis
beranastomosis end-to-end pada arteri iliaka interna, dan vena renalis
beranastomosis dengan vena iliaka komunis atau eksternal. Pertimbangan
program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
a. Pengertian
Nursalam (2006) mengatakan bahwa hemodialisa adalah proses pembersihan
darah oleh akumulasi sampah buangan. Hemodialisa digunakan bagi pasien
dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan
dialisis waktu singkat. Bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisa akan
mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak menyembuhkan atau
memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas
metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal
serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2002).
Tujuan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid,
2009).
Prinsip yang mendasari hemodialisa adalah pada hemodialysis aliran darah yang
penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer
tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh
pasien. Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata atau ginjal serat
artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan bekerja
sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut
sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari
darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel
tubulus (Brunner & Suddarth, 2002).
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan
dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua
elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat
dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari
daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih
rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat di tingkatkan melalui penambahan
tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan
negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan
memfasilitasi pengeluaran air (Suharyanto dan Madjid, 2009).
Akses pada sirkulasi darah pasien adalah sebagai berikut (Suharayanto dan
Madjid, 2009):
b. Tujuan
Tujuan dari hemodialisis yaitu untuk mengeluarkan zat nitrogen yang toksik di
dalam darah dan mengurangi cairan yang berlebihan dari dalam tubuh.
Hemodialisis dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus segera
dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen dan menghindari kematian.
Hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan (Smeltzer
dan Bare, 2010).
c. Indikasi
1) Indikasi absolute
a) Keadaan umum buruk dan gejala klinisnya nyata seperti mual, dan
muntah, diare
b) Perikarditis uremik
c) Ensefalopati atau neuropati uremik
d) Edema paru akut dengan overhydration refrakter terhadap diuretika (tidak
bisa ditanggulangi dengan obat diuretika)
e) Kreatinin >10mg %
f) Ureum darah lebih > 200 mg/dl atau kenaikan ureum darah lebih dari 100
mg/dl per hari (hiperkatanolisme)
g) Hiperkalemia (K serum > 6mEq/L)
h) Asidosis dengan bikarbonat serum kurang dari 10 mEq/L atau pH < 1,75
i) Anuria berkepanjangan (>5 hari)
2) Indikasi elektif
a) LFG < 15 ml/menit/1,73
b) Mual, anoreksia, muntah dan atau asthenia
c) Asupan protein menurun spontan < 0,7 gr/kg/hari
d. Kontraindikasi
Kontraindikasi proses hemodialisa diantaranya hipotensi yang tidak
responsive terhadap presor, penyakit terminal, sindroma otak organik, sindrom
hepatorenal, sirosis hati dengan ensepalopati, instabilitas hemodinamik dan
koagulasi, akses vaskular yang sulit, serta Alzheimer
e. Prinsip Hemodialisa
Prinsip yang mendasari kerja hemodialisa menurut Smeltzer dan Bare
(2010) yaitu:
1) Difusi
Toksin dan limbah dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi yaitu
dengan cara mengalirkan darah yang memiliki konsentrasi tinggi menuju
cairan dialisat yang berkonsentrasi rendah. Cairan dialisat berisi cairan
elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar
elektrolit darah dapat dikendalikan dengan rendaman dialisat (dialysate bath)
secara tepat. Pori-pori kecil dalam membran semipermeabel tidak
memungkinkan lolosnya sel darah merah dan protein.
2) Osmosis
Air yang berlebih dari dalam tubuh dikeluarkan melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan
pengaturan gradient tekanan (yaitu dengan mengalirkan air dari yang
bertekanan tinggi atau dari tubuh pasien ke tekanan yang rendah atau cairan
dialisat).
3) Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialisis dikenali sebagai ultrafiltrasi
artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga
tipe dari tekanan dapat terjadi pada membran:
a) Tekanan positif merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan
dalam membran. Pada dialisis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan
resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan positif
mendorong cairan menyeberangi membran.
b) Tekanan negatif merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membran
oleh pompa pada sisi dialisat dari membran tekanan negatif yang menarik
cairan keluar darah.
c) Tekanan osmotik merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut.
Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari
larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan membran
permeabel terhadap air. Pada proses ultrafiltrasi tekanan yang digunakan
adalah tekanan negatif yang diterapkan pada alat sebagai kekuatan
pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air karena pasien
tidak dapat mengeluarkan cairan sehingga tercapai isovolemi atau
keseimbangan cairan.
f. Proses Hemodialisa
Sebelum dilakukan hemodialisa harus dilakukan pengkajian pradialisis,
dilanjutkan dengan menghubungkan klien dengan mesin hemodialisa dengan
memasang blood line dan jarum ke akses vaskuler pasien yaitu akses jalan keluar
darah ke dialiser dan akses masuk darah ke dalam tubuh. Arterio Venous (AV)
fistula adalah akses vaskuler yang direkomendasikan karena cenderung lebih
aman dan nyaman bagi pasien (Thomas dalam Farida, 2010).
Setelah blood line dan akses vaskuler terpasang proses hemodialisa
dimulai. Saat dialisis darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di dalam dialiser.
Darah mulai mengalir dibantu pompa darah. Cairan normal salin diletakkan
sebelum pompa darah untuk mengantisipasi adanya hipotensi intradialisis. Infus
heparin diletakkan sebelum atau sesudah pompa tergantung peralatan yang
digunakan. Darah mengalir dari tubuh ke akses arterial menuju ke dialiser
sehingga terjadi pertukaran darah dan zat sisa. Darah masuk dan keluar tubuh
pasien dengan kecepatan 200/400 ml/menit (Price & Wilson, 2005).
Proses selanjutnya darah akan meninggalkan dialiser. Darah yang
meninggalkan dialiser akan melewati detektor udara. Darah yang sudah disaring
kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh pasien melalui akses venosa. Dialisis
diakhiri dengan menghentikan darah dari pasien, membuka selang normal salin
dan membilas selang untuk mengembalikan darah pasien. Pada akhir dialisis, sisa
akhir metabolisme dikeluarkan, keseimbangan elektrolit tercapai dan buffer
sistem telah diperbaharui (Lemis, Smeltzer, Hudak dalam Farida, 2010).
g. Perangkat Hemodialisa
1) Perangkat Khusus
a) Mesin hemodialisa
Ginjal buatan (dializer) yaitu : alat yang digunakan untuk mengeluarkan
sisa metabolisme atau zat toksin lain dari dalam tubuh. Didalamnya
terdapat 2 ruangan atau kompartemen yang meliputi kompartemen darah
dan kompartemen dialisat.
b) Blood lines: selang yang mengalirkan darah dari tubuh ke dializer dan
kembali ke tubuh. Mempunyai 2 fungsi yakni untuk mengeluarkan dan
menampung cairan serta sisa-sisa metabolisme serta untuk mencegah
kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialysis.
c) Alat-alat kesehatan
1. Tempat tidur fungsional
2. Timbangan BB
3. Pengukur TB
4. Stetoskop
5. Termometer
6. Peralatan EKG
7. Set O2 lengkap
8. Suction set
9. Meja tindakan.
d) Obat-obatan dan cairan
1) Obat-obatan hemodialisa: heparin, frotamin, lidocain untuk anestesi.
2) Cairan infuse : NaCl 0,9%, Dex 5% dan Dex 10%.
3) Dialisat
4) Desinfektan : alcohol 70%, Betadin, Sodium hypochlorite 5%
5) Obat-obatan emergency.
i. Komplikasi
Hipotensi, dapat terjadi selama terapi dialysis cairan dikeluarkan karena
terlalu banyak darah dalam sirkulasi mesin, ultrafiltrasi berlebihan,
obat-obatan anti hipertensi.
1) Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja
terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
2) Mual dan muntah dapat muncul akibat gangguan saluran
gastrointestinal, ketakutan, reaksi obat, hipotensi.
3) Demam disertai menggigil, akibat dari reaksi fibrogen, reaksi transfuse,
kontaminasi bakteri pada sirkulasi darah.
4) Nyeri dada, dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah dari luar tubuh.
5) Pruritus dapat terjadi selama terapi dialysis ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit.
6) Gangguan keseimbangan dialysis, terjadi karena perpindahan cairan
serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini
kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang
berat.
7) Kram otot yang nyeri, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel.
J. Pathway Gagal Ginjal Kronik (GGK) dengan Etiologi Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Penumpukan kuman dan bakteri dalam waktu lama pada saluran kemih dan terjadi pielonefritis
HEMODIALISIS
HEMODIALISIS
Pra-Hemodialisis
Pra-Hemodialisis Intra-Hemodialisis Post-Hemodialisis
Proses Ultrafiltrasi
Kecemasan menghadapi Pemberian terapi Tindakan invasif saat Penggunaan cairan
terapi hemodialisa heparin pemasangan fistula & dialisat asetat
AV Shunt Penarikan cairan ↑penyaringan &
Terapi antikoagulan
berlebih & cepat ke pemasukan Ca
Ansietas dalam dializer
Adanya jalur masuk Bersifat asam a
Menghambat faktor – mikroorganisme asetat
Depolarisasi Ca
faktor pembekuan darah
↓volume cairan
tubuh
Resiko infeksi Gangguan Kontraksi otot terus
Mudah terjadi hemodinamik (hipovolemi) menerus
pendarahan
Meningkatkan Resiko syok
produksi asam Menimbulkan suasana Kram otot
Resiko lambung asam dalam darah
pendarahan
Merangsang pusat
mual di medula Penumpukan asam
laktat pada otot
Mual
Nyeri pada otot Nyeri
a. Pengkajian/Assesment
1. Identitas Pasien
Identitas meliputi data demografi klien yang terdiri dari nama, umur, jenis
kelamin, agama, pendidikan, alamat, No.RM, pekerjaan, status perkawinan,
tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Adanya keluhan yang umum dirasakan pasien GGK yang akan mengalami
hemodialisa adalah nyeri pada pinggang, buang air kecil sedikit, bengkak/edema
pada ekstremitas, perut kembung, sesak.
3. Riwayat Kesehatan
Pengkajian riwayat kesehatan dapat difokuskan untuk mengidentifikasi adanya
kemungkinan yang mengarah pada ketidakpatuhan pasien terhadap program
terapi. Karakteristik pasien perlu dikaji walaupun umumnya belum menjadi
indikator ketidakpatuhan. Perlu dikaji riwayat penyakit, riwayat mulai
dilakukannnya hemodialisis, pengalaman pasien dilakukan hemodialisis, adanya
masalah-masalah pre-HD, intra HD maupun post HD. Penting juga untuk dikaji
riwayat pemenuhan pola kebiasaan hidup sehari-hari, terutama berkaitan dengan
diet, cairan, konsistensi pengobatan aktifitas, dll.
Eksplorasi mendalam yang dilakukan oleh perawat dengan menggunakan
komunikasi terapeutik mampu menggali masalah kepatuhan pasien. Mengkaji
riwayat kepatuhan atau kemampuan untuk mengikuti rencana diet, regimen
latihan, terapi farmakologi. Gaya hidup, budaya, keadaan psikososial serta faktor
ekonomi yang dapat mempengaruhi pengobatan klien CKD, efek dari dialysis
atau komplikasinya terhadap fungsi tubuh. Dikaji pula seberapa sering pasien
melewatkan sesi hemodialisisnya, mengabaikan program terapi, pemahaman
pasien dan keluarga terhadap penyakitnya saat ini, program terapi serta resiko-
resiko yang mungkin terjadi. Pengalaman pasien dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan, fasilitas hemodialisis, serta kepuasan pasien terhadap profesionalitas
petugas kesehatan seperti dokter, perawat, petugas gizi dapat mempengaruhi gaya
hidup pasien dalam program terapi.
a) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan GGk biasanya akan mengalami bengkak, kesulitan dalam eliminasi
urin nyeri pinggang klonik yang mengganggu kemudian baru menjangkau tenaga
kesehatan, GGK biasanya juga disertai penyakit penyerta seperti batu ginjal, atau
ISK. Informasi sejak timbulnya keluhan sampai dirawat dirumah sakit. Berkaitan
dengan keluhan utama yang dijabarkan dengan PQRST yang meliputi hal-hal
yang meringankan dan memberatkan. Kualitas dan kuantitas dari keluhan,
penyebaran serta tingkat kegawatan atau skala dan waktu.
5. Pengkajian Fisik
Pemeriksaan fisik dinilai keadaan umum dan status nutrisi yang baik, tanda-tanda
vital dalam batas normal. Dikaji status cairan apakah ada peningkatan BB karena
overload, dihitung IDWG (BB kering), adanya tanda-tanda anemia, fatigue, tonus
otot menurun, tanda-tanda adanya komplikasi pre HD, intra HD dan post HD.
Pemeriksaan yang menyeluruh dilakukan dengan melakukan pengkajian pada
status hidrasi, penilaian keadaan kardiovaskular, penilaian system saraf pusat dan
tepi, penilaian keadaan kulit, tekanan darah, nadi, suhu, dan laju pernafasan,
tanda-tanda uremia, berat badan dan status nutrisi. Adanya gangguan system
gastrointestinal, hematologi, endokrin serta musculoskeletal. Identifikasi faktor
penyebab dari tanda-tanda yang muncul apakah manifestasi yang muncul terkait
dari faktor-faktor ketidakpatuhan pasien terhadap program terapi. (Smeltzer,
2008).
a) Keadaan umum
Pasien tampak sesak nafas
b) Tingkat kesadaran: Komposmentis
c) TTV
RR : takipnea
N : takikardi
S : bisa hipertermi
TD : bisa hipertensi
d) Kepala:
Ins: Rambut kepala tipis, dan mudah rontok tidak terdapat masa (benjolan),
persebaran rambut rata, tidak terdapat lesi, tidak terdapat hiperpigmentasi pada
kepala, wajah simetris, tidak terdapat lesi pada wajah.
Pal: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
e) Mata:
Ins: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur, edema
periorbital.
Pal: ada nyeri tekan
f) Telinga:
Ins: Tidak terdapat lesi atau serumen yang keluar dari telinga. Bentuk daun telinga
normal dan simetris, tidak ada nyeri tekan pada tragus, tidak ada gangguan
pendengaran, tidak menggunakan alat bantu pendengaran, tidak ada benjolan dan
tanda-tanda peradangan pada
g) telinga.
Ins: tidak terdapat lesi dan kealinan
Pal: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
h) Hidung:
Ins: Bentuk hidung simetris, terdapat pernafasan cuping hidung, penggunaan
oksigen binasal, tidak ada serumen atau sekret yang keluar dari hidung.
Pal: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
i) Mulut:
Ins: ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia, mual,muntah serta cegukan,
peradangan gusi.
Pal: tidak ada nyeri tekan.
j) Leher:
Ins: pembesaran vena jugularis
Pal: tidak ada nyeri tekan, teraba nadi karotis
k) Dada:
Ins: penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal dan kusmaul serta
krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema pulmoner, friction rub perikardial.
Pal: tidak ada nyeri tekan, tidak ada krepitasi/benjolan, ictus cordis teraba, tidak
ada tenderness, vokal vremitus menurun pada bagian sinistra.
Per: perkusi paru sonor atau redup atau pekak
Aus: terdengar suara ronkhi, suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada suara jantung
abnormal.
l) Abdomen:
Ins: nyeri area pinggang, asites
Aus: peristaltik normal 5-20x/m
Per: hipertimpani
Pal: ada nyeri tekan area punggung
m) Urogenital:
Kesulitan BAK, warna urine berubah, nyeri saat BAK, atropi testikuler, amenore.
n) Ekstremitas:
Ekstremitas atas
Pasien dapat menggerakkan ekstremitas atas, terpasang infus pada bagian tangan
sebelah kiri, kekuata normal (5)
Ekstremitas bawah
Bentuk ekstremitas bawah normal, simetris, pasie dapat menggerakkan
ekstremitas bawah, kekuatan otot (5)
Kulit dan kuku:
Kulit: ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu, mengkilat atau
hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar (purpura), edema
Kuku: kuku tipis dan rapuh.
b. Diagnosa Keperawatan
1. Keluhan ekstrime
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan
5. Menghindari 3
faktor-faktor
penyebab bila
mungkin
6. Melaporkan 3
kegagalan
pengobatan
emetik
7. Menggunakan 3
emetik sesuai
yang dianjurkan
8. Melaporkan efek 3
samping
penggunaan
emetik
Keterangan:
1. Keluhan ekstrime
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan
Gangguan citra tubuh NOC NIC
Discharge Planning
Pemberian informasi pada klien dan keluarga tentang:
1. Obat: beritahu klien dan kelurga tentang daftar nama obat dosis, waktu
pemberian obat. Jangan mengonsumsi obat-obatan tradisional dan vitamin
tanpa instruksi dokter. Konsumsi obat secara teratur. Jika merasakan ada efek
samping dari obat segera cek ke rumah sakit. Perhatikan aktivitas ketika
selesai meminum obat yang memiliki efek samping mengantuk.
2. Diet: pertahankan diet seperti yang dianjurkan petugas kesehatan seperti
mengkonsusmsi makanan tinggi kalori dan rendah protein. Hal ini
daikarenakan protein dipecah oleh asam amino dengan bantuan enzim
kemudian diproses oleh ginjal. Semakin banyak protein yang dicerna maka
semakin banyak asam amino yng disaring oleh ginjal sehingga membuat
ginjal bekerja lebih berat. Kebutuhan kalori harus dipenuhi guna mencegah
terjadinya pembakaran protein tubuh dan merangsang pengeluaran insulin.
Banyak mengonsumsi makanan rendah natrium dan kalium. Hal ini
disebabkan karena natrium berhubungan dengan peningkatan tekanan darah.
Rendah kalium guna mencegah timbulnya kegawatan jantung karena
hiperkalemia.
3. Latihan: Melatih membuat jantung lebih kuat, menurunkan tekanan darah,
dan membantu membuat klien tetap sehat. Cara terbaik untuk mulai
berolahraga perlahan-lahan dan lakukan lebih berat untuk membuat klien
lebih kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Aisara, S., S. Azmi, dan M. Yanni. 2018. Artikel penelitian gambaran klinis
penderita penyakit ginjal kronik yang. Artikel Penelitian. 7(1):42–50.
Maw, T. T. dan L. Fried. 2013. Chronic kidney disease in the elderly. Clinics in
Geriatric Medicine. 29(3):611–624.