Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN


ETIOLOGI INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) YANG MENJALANI
HEMODIALISA DI POLI HEMODIALISA RSD dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH:
Regita Prameswari, S.Kep
NIM 182311101114

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
A. Anatomi Fisiologi Urologi
Sistem urinaria merupakan sistem organ yang memproduksi, menyimpan, dan
mengalirkan urin. Komponen sistem urinaria pada manusia, terdiri dari :
a. Dua ginjal : penghasil urin
b. Dua ureter, membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih)
c. Kandung kemih : tempat urin dikumpulkan
d. Dua otot sphincter, dan
e. Uretra : tempat dikeluarkannya urin dari vesika urinaria ke luar tubuh.
Hartono (2008) mengatakan bahwa ginjal merupakan salah satu organ yang
tergabung dalam sistem perkemihan. Sistem perkemihan terdiri dari 2 buah ginjal,
dua ureter, kantong kemih, dan uretra. Ginjal berbentuk seperti biji buah kacang
merah yang jumlahnya ada 2 buah terletak dibagian kiri dan kanan. Berat ginjal
pada orang dewasa ± 200 gram dan ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal
perempuan yang berperan homeostasis tubuh dalam mempertahankan
keseimbangan, termasuk keseimbangan fisika dan kimia yang terletak di
retroperitoneal (di belakang selaput peritoneum) melekat pada dinding belakang
(posterior) rongga abdomen (Nuari dan Widayati, 2017). Lokasi ginjal berada
pada bagian dari kavum abdominalis area retropertoneal bagian atas pada kedua
sisi vertebra lumbalis III dan melekat langsung pada dinding abdomen. Menurut
Faiz & Moffat (2010) posisi ginjal kanan lebih rendah 1 cm dari ginjal kiri.
Panjang tiap ginjal sekitar 10-12 cm yang terdiri atas tiga bagian yaitu kulit
(korteks), sumsum ginjal (medula), dan bagian rongga ginjal (pelvis renalis).
Korteks terdapat bagian yang bertugas untuk melaksanakan penyaringan darah
yang disebut nefron.
Struktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan satuan
fungsional ginjal yang terdapat ± 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal. Nefron
terdiri dari glomerolus, tubulus, dan (duktus kolektifus) yang merupakan suatu
bagian dari nefron. Dalam korteks terdapat jutaan glomerolus, dalam medulla
terdapat tubulus. Glomerolus memiliki fungsi untuk menyaring dan
mempertahankan zat yang masih berguna di dalam darah seperti protein dan
membuang zat sisa berupa ureum, asam urat, dan kreatinin. Dalam glomerolus
terdapat kapsula bowman yang mengelilingi kapiler bersifat permiabel terhadap
zat tertentu. Ada dua macam kapiler yang berada di dalam glomerolus yaitu vasa
aferen (masuk) dan vasa eferen (keluar). Setiap menitnya kurang lebih 1,5 liter
(1/3 dari curah jantung) yang disaring oleh 2 juta glomerolus yang berbeda di
dalam ginjal (Hartono, 2008).

Tubulus ginjal memiliki fungsi untuk mengeksresikan elektrolit serta air yang
berlebih (fungsi ekskresi) dan menyerap kembali zat yang masih berguna yang
turut terbuang seperti natrium serta kalium (fungsi reabsorbsi). Elektrolit seperti
natrium dan kalium bersama dengan ion-ion lain seperti hidrogen sangat penting
sebagai pengaturan asam basa tubuh. Bikarbonat merupakan hasil dari fungsi
ginjal yang penting dalam rangka menetralisir keasaman darah jika terjadi
asidosis metabolik (Hartono, 2008). Ginjal mempunya beberapa fungsi untuk
tubuh yaitu menjalankan fungsi ekskresi cairan dan elektrolit, berfungsi sebagai
filtrasi (menyaring darah), sekresi hormone (ADH), mengatur keseimbangan
elektrolit (tubulus), mengatur keseimbangan asam basa, mengekskresi sisa
metabolik, toksin, dan zat asing serta juga memiliki fungsi yang tidak kalah
pentingnya yaitu mengaktifkan vitamin D3 menjadi kalsitriol (1,25-dihidroksi-
vitamin D3) dan memproduksi eritropoetin yaitu hormon yang merangsang
sumsum tulang membentuk sel darah merah (Hartono, 2008).

Alur aliran darah dari aorta (setinggi L2) masuk ke arteri renalis (1/3 dari curah
jantung ke ginjal) lalu menuju 5 hilus dan berlanjut ke cabang lobaris,
interlobaris, arkuata, dan kortikal radial. Cabang kortikal radial bercabang lagi
menjadi arteriol aferen yang memasok darah ke glomerolus dan melanjutkan
sebagai arteiol eferen dan kembali menuju jantung melalui pembuluh vena.

Ginjal punya dua peranan penting yaitu sebagai organ eskresi dan non eskresi.
Sebagai sistem eskresi ginjal bekerja sebagai filtran senyawa yang sudah tidak
dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain dalam bentuk urin,
maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin. Selain sebagai sistem ekresi
ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan bekerja sebagai penyeimbang asam
basa, cairan dan elektrolit tubuh serta fungsi hormonal. Ginjal mengekresi
hormon renin yang mempunyai peran dalam mengatur tekanan darah (sistem
renin angiotensin aldosteron), pengatur hormon eritropoesis sebagai hormon
pengaktif sumsum tulang untuk menghasilkan eritrosit. Disamping itu ginjal juga
menyalurkan hormon dihidroksi kolekalsi feron (vitamin D aktif), yang
dibutuhkan dalam absorsi ion kalsium dalam usus.

Urin berasal dari darah yang dibawa oleh arteri renalis masuk ke dalam ginjal.
Darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah merah dan bagian plasma
darah kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorbsi, dan
eksresi.

1) Proses Filtrasi
Proses ini terjadi di glomerolus dan terjadi karena tekanan permukaan aferen
lebih besar daripada permukaan eferen sehingga terjado penyerapan darah.
Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein.
Cairan yang disaring disimpan dalam simpai bownman yang terdiri dari
glukosa, air, natrium, klorida sulfat, bikarbonat, dan lain-lain yang diteruskan
ke tubulus ginjal.
2) Proses Reabsorbsi
Proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besari dari glukosa, natrium,
klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal
dengan proses obligator. Proses reabsorbsi ini terjado pada tubulus proksimal
sedangkan pada tubulus dista; terjadi penyerapan kembali natrium dan ion
bikarbonat bila diperlukan. Penyarapan ini terjadi secara aktif dengan
reabsorbsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis. Reabsorpsi zat
tertentu dapat terjadi secara transpor aktif dan difusi. Sebagai contoh pada sisi
tubulus yang berdekatan dengan lumen tubulus renalis terjadi difusi ion Na+,
sedangkan pada sisi sel tubulus yang berdekatan dengan kapiler terjadi transpor
aktif ion Na+. Adanya transpor aktif Na+ di sel tubulus ke kapiler
menyebabkan menurunnya kadar ion Na+ di sel tubulus renalis, sehingga difusi
Na+ terjadi dari lumen sel tubulus renalis. Pada umumnya zat yang penting
bagi tubuh direabsorpsi secara transpor aktif. Zat-zat penting bagi tubuh yang
secara aktif direabsorpsi adalah protein, asam amino, glukosa, dan vitamin.
Zat-zat tersebut direabsorpsi secara aktif di tubulus proksimal, sehingga tidak
ada lagi di lengkung Henle.

3) Proses ekresi atau augmentasi


Sisa dari penyerapan urin yang terjadi pada tubulus akan diteruskan ke piala
ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke fesika urinaria.

Bagian dan fungsi utama nefron


Kapsula Filtrasi: ultrafiltrasi dan plasma masuk ke dalam kapsula
Bowman Bowman dan mengalir ke tubulus kontortus proksimal
Tubulus Obligatory rearbsorption(66% dari filtrat glomeruli):
kontortus natrium, kalium, klorida, bikarbonat, dan elektrolit.
proksimal Lainnya: glukosa, asam amino, air, dan urea. Sekresi: ion
hidrogen, obat, dan toksin
Ansa Henle Reabsorpsi (25% dari filtrat glomeruli): klorida, natrium,
ion kalsium, air, dan urea
Tubulus Facilitatory rearbsorption (9% dari filtrat glomeruli):
kontortus distal natrium, klorida, bikarbonat, air, dan urea. Sekresi:
hidrogen, kalium, dan amonia
Duktus Facilitatory rearbsorption: air dan urea
koligentes

B. Definisi Infeksi Saluran Kemih (ISK) dan Gagal Ginjal Kronik (GGK)
1. Gagal Ginjal Kronik (GGK)

Chronic kidney disease (CKD) dapat didefinisikan sebagai kerusakan


berkelanjutan pada parenkim ginjal yang mengarah pada penurunan fungsi ginjal
kronis yang secara bertahap dapat berkembang menjadi penyakit ginjal stadium
akhir (ESRD). ESRD dapat menyebabkan kematian tanpa terapi penggantian
ginjal (dialisis atau transplantasi ginjal). Istilah CKD adalah kondisi pada sebuah
kontinum dengan derajat kerusakan ginjal yang berbeda daripada keadaan
kerusakan ginjal yang akut.. Meskipun transplantasi ginjal merevolusi perawatan
pasien dengan ESRD, kebanyakan anak-anak dengan ginjal yang
ditransplantasikan saat ini memiliki berbagai tingkat cedera atau disfungsi
allograft (CKD dari ginjal yang ditransplantasikan). Sepanjang hidup mereka,
individu dengan CKD onset pediatrik dapat berulang kali beralih antara predialisis
CKD, berbagai modalitas dialisis, dan transplantasi ginjal. Transplantasi ginjal
mengarah pada kelangsungan hidup dan kualitas hidup yang lebih baik daripada
dialisis. Namun, komplikasi dan kebutuhan untuk perawatan suportif yang ketat
masih secara signifikan membatasi kualitas hidup penerima transplantasi ginjal
pediatrik (Karam dkk., 2019).

Penyakit parenkim ginjal adalah hasil dari berbagai kerusakan akut dan kronis
yang dapat menyebabkan hilangnya nefron diikuti oleh hiperfiltrasi adaptif pada
nefron yang tersisa. Hyperfiltration adaptif ini menghasilkan kerusakan
glomerular jangka panjang yang menyebabkan proteinuria dan hilangnya fungsi
ginjal secara progresif. Penurunan awal fungsi ginjal tidak menunjukkan gejala,
dan manifestasi klinis gagal ginjal terjadi pada akhir perjalanan penyakit.
Kehilangan fungsi ginjal, bagaimanapun, adalah variabel dan dapat tanpa henti
meskipun terapi medis yang optimal. Definisi penyakit ginjal karenanya berfokus
pada GFR dan ukuran kerusakan (proteinuria, kelainan anatomi) (Shafi dan
Coresh, 2015).

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai dengan
abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan.
PGK ditandai dengan satu atau lebih tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria,
abnormalitas sedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal, ataupun adanya
riwayat transplantasi ginjal, juga disertai penurunan laju filtrasi glomerulus
(Aisara dkk., 2018). Penyakit ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi
ginjal dalam beberapa bulan atau tahun. penyakit ginjal kronis didefinisikan
sebagai kerusakan ginjal dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR)
kurang dari 60mL/min/1,73 m selama minimal 3 bulan. Kerusakan ginjal adalah
setiap kelainan patologis atau penanda keruasakan ginjal, termasuk kelainan darah
maupun urin (RI, 2017).

2. Infeksi Saluran Kemih (ISK)

ISK dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan adanya kelainan fungsional


atau struktural. Klasifikasi ini penting, karena evaluasi dan perawatan tergantung
pada penilaian yang akurat. Infeksi kandung kemih mendefinisikan sistitis akut
atau ISK saluran bawah. Pielonefritis, yang paling umum terjadi ketika bakteri
naik ke ginjal dari kandung kemih, adalah presentasi paling umum dari ISK
bagian atas. Gejala biasanya lebih parah, meskipun biasanya dimulai dengan
sistitis sederhana. Tidak diobati, pielonefritis memiliki potensi dalam beberapa
kasus untuk berkembang menjadi syok dan kematian septik (Long dan Koyfman,
2018).

ISK tanpa komplikasi, atau sistitis, terjadi pada wanita premenopause yang muda
dan sehat. Wanita-wanita ini tidak hamil dan tidak memiliki kelainan saluran
kemih struktural atau fungsional. Infeksi tanpa komplikasi pada saluran kemih
bagian bawah beresiko rendah untuk kegagalan pengobatan dan biasanya tidak
berhubungan dengan organisme yang resisten antibiotik, meskipun tingkat
resistensi terus meningkat. Semua pasien lain memenuhi kriteria untuk infeksi
yang rumit, definisi yang heterogen. Infeksi yang rumit beresiko untuk organisme
yang resistan terhadap obat dan mungkin memerlukan evaluasi lebih lanjut dan
perawatan yang lebih luas (Long dan Koyfman, 2018).

C. Etiologi Gagal Ginjal Kronik (GGK) (Faktor Pencetus Infeksi Saluran


Kemih (ISK))

Menurut laporan data tahunan Sistem Data Ginjal Amerika Serikat 2017,
penyebab utama ESRD pada anak-anak selama 2011 hingga 2015, mirip dengan
tahun-tahun sebelumnya, adalah kelainan bawaan ginjal dan saluran kemih (22%),
penyakit glomerulus primer (21,8%) ), gangguan kistik / herediter / kongenital
(12,5%), dan penyakit / vaskulitidi sekunder glomerulus. . Diagnosis individu
yang paling umum yang terkait dengan ESRD pediatrik termasuk
glomerulosklerosis segmental fokus (11,6%), hipoplasia / displasia ginjal (10%),
uropati obstruktif kongenital (9,7%), dan lupus erythematosus sistemik (6,3%). 1
Distribusi ini sangat berbeda dari CKD pada orang dewasa, yang di negara-negara
maju paling sering dikaitkan dengan diabetes mellitus atau hipertensi (Akchurin,
2019).

CKD dapat terjadi akibat penyakit ginjal yang mendasarinya yang disebabkan
oleh cedera ginjal akut atau penyakit ginjal yang progresif perlahan. Risiko ESRD
yang lebih tinggi terlihat pada jenis kelamin laki-laki, usia yang lebih tua,
proteinuria, diabetes mellitus, pencapaian pendidikan yang lebih rendah, ras
Afrika-Amerika, tekanan darah yang lebih tinggi, indeks massa tubuh, dan tingkat
kreatinin serum (Shafi dan Coresh, 2015).

ISK dapat menjadi salah satu penyebab dari GGK. Infeksi saluran kemih adalah
keadaan yang ditandai dengan adanya bakteri dalam urin dan pada pemeriksaan
biakan mikroorganisme didapatkan jumlah bakteri sebanyak 100,000 koloni per
milliliter urin atau lebih yang dapat disertai dengan gejala-gejala (simtomatik)
atau tidak (asimtomatik). Pasien dengan simtom ISK, jumlah bakteri dikatakan
signifikan jika lebih besar dari 100,000 per milliliter urin. Wanita adalah yang
paling banyak terinfeksi dan setiap wanita diperkirakan akan mengalami gejala-
gejala ISK sebanyak 5 kali dalam siklus hidupnya dan jarang terjadi pada pria
tetapi jika terjadi bisa menyebabkan komplikasi yang serius (Moresco dkk.,
2018).

Urin biasanya berada dalam keadaan yang steril. Infeksi berlaku apabila bakteri
atau mikroorganisme patogen yang lain masuk ke dalam urin dan mulai membiak.
Infeksi saluran kemih umumnya dibagi dalam dua kategori : Infeksi saluran kemih
bagian bawah (uretritis, sistitis, prostatis) dan infeksi saluran kencing bagian atas
(pielonepritis akut). Sistitis kronik dan pielonepritis dan infeksi saluran kencing
bagian ginjal tahap akhir pada anak-anak. Lokasi infeksi biasanya bermula pada
bukaan uretra, didapat dari daerah anus dan bergerak naik ke atas melalui traktus
urinari dan bisa menginfeksi kandung kemih. Ini mungkin disebabkan oleh
kebersihan diri yang kurang atau hubungan seksual. Jika bakteri sampai ke ginjal,
dapat mengakibatkan infeksi ginjal atau pyelonephritis yang bisa mengakibatkan
komplikasi yang serius jika tidak dilakukan tindakan intervensi yang tepat
(Moresco dkk., 2018).

GGK juga dapat menyebabkan ISK, alasan yang mendasari untuk risiko ISK yang
lebih tinggi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis dianggap sebagai reaksi
host yang berubah dan gangguan anatomi dan fungsional saluran kemih.
Perubahan fungsi pelindung inang diperkirakan disebabkan oleh (Tandogdu dkk.,
2016):

a. Kehilangan sifat antibakteri urin


b. Imunosupresi ringan pada uraemia
c. Penghambatan produksi pelindung mukosa di urothelium

Bukti korelasi antara penyakit ginjal kronis dan risiko ISK yang lebih tinggi
paling kuat untuk penyakit ginjal polikistik dominan autosom (ADPKD) dan
penyakit ginjal kronis yang terkait dengan penyakit batu. ISK adalah salah satu
skenario klinis penyajian yang paling umum di ADPKD. Selama hidup mereka,
21-75% dari pasien mengembangkan ISK, yang harus menjadi diagnosis banding
pertama pada pasien dengan demam. Infeksi saluran kemih bagian atas pada
ADPKD disubklasifikasi menjadi pyonephrosis, infeksi bakteri interstitial akut,
dan pyocysts (infeksi kista). Patogen penyebab untuk ISK pada pasien dengan
ADPKD mirip dengan yang untuk populasi umum. Kriteria diagnostik juga sama,
tetapi piokista dapat menimbulkan tantangan diagnostik. Dalam kasus ini, gejala
khas pielonefritis (PN-1 atau PN-2) mungkin ada tanpa pertumbuhan dalam kultur
urin. Pencitraan dan dalam beberapa kasus pertumbuhan kultur darah mungkin
bersifat diagnostik. Pencitraan awal biasanya dilakukan dengan menggunakan
ultrasonografi. Sel darah putih dan 18-fluorodeoxyglucose PET / computerized
tomography (CT) lebih unggul daripada CT standar dan pencitraan resonansi
magnetik dalam mendiagnosis piokista. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk membuktikan efektivitas PET / CT yang sebenarnya (Tandogdu dkk.,
2016).

Berikut ini adalah beberapa yang memiliki risiko mengalami ISK (Tandogdu
dkk., 2016) :

a. Pasien batu ginjal yaitu individu yang mengalami obstruksi saluran kemih.
b. Pasien yang mengalami gangguan pengosongan kandung kemih seperti
kerusakan pada syaraf spinalis dan wanita yang menopause.
c. Pasien imunosupresan seperti pada penderita diabetes dan HIV.
d. Pada pasien wanita yang mempunyai aktif seksualnya.
e. Pasien yang mengalami pembesaran prostat karena ini akan melambatkan
pengosongan kandung kemih sehingga infeksi terjadi.
f. Pemakaian kateter untuk pengosongan kandung kemih akan menyebabkan
infeksi saluran kemih 1-2%, hal ini karena pada waktu pemasangan kateter
tersebut kemungkinan kuman yang ada dalam uretra akan terdorong ke dalam
kandung kemih sehingga dapat menimbulkan infeksi.
D. Epidemiologi Gagal Ginjal Kronik (GGK)

World Health Organization (WHO) merilis data pertumbuhan jumlah penderita


gagal ginjal kronik di dunia pada tahun 2013 meningkat sebesar 50% dari tahun
sebelumnya dan di Amerika angka kejadian gagal ginjal kronik meningkat sebesar
50% pada tahun 2014 dan setiap tahun 200.000 orang Amerika menjalani
hemodialisis. Angka kejadian gagal ginjal di dunia secara global lebih dari 500
juta orang dan yang harus menjalani hemodialis sekitar 1,5 juta orang.
Diperkirakan jumlah penderita PGK di Indonesia sekitar 70.000 orang dan yang
menjalani hemodialisis 10.000 orang (Hasneli, 2017).

Penyakit Ginjal kronis, biasanya timbul secara perlahan dan sifatnya menahun.
Data Global Burden of Disease tahun 2010 menunjukkan, Penyakit Ginjal Kronis
merupakan penyebab kematian ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi
urutan ke 18 pada tahun 2010. Lebih dari 2 juta penduduk di dunia mendapatkan
perawatan dengan dialisis atau transplantasi Ginjal dan hanya sekitar 10% yang
benar-benar mengalami perawatan tersebut. Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi penduduk Indonesia
yang menderita Gagal Ginjal sebesar 0,2% atau 2 per 1000 penduduk dan
prevalensi Batu Ginjal sebesar 0,6% atau 6 per 1000 penduduk. Prevalensi
Penyakit Gagal Ginjal tertinggi ada di Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 0,5%.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi gagal Ginjal pada laki-laki (0,3%) lebih
tinggi dibandingkan dengan perempuan (0,2%). Berdasarkan karakteristik umur
prevalensi tertinggi pada kategori usia di atas 75 tahun (0,6%), dimana mulai
terjadi peningkatan pada usia 35 tahun ke atas. Berdasarkan strata pendidikan,
prevalensi gagal Ginjal tertinggi pada masyarakat yang tidak sekolah (0,4%).
Sementara Berdasarkan masyarakat yang tinggal di pedesaan (0,3%) lebih tinggi
prevalensinya dibandingkan di perkotaan (0,2%). Berdasarkan Indonesian Renal
Registry (IRR) tahun 2016, sebanyak 98% penderita gagal Ginjal menjalani terapi
Hemodialisis dan 2% menjalani terapi Peritoneal Dialisis (PD). Penyebab
penyakit Ginjal kronis terbesar adalah nefropati diabetik (52%), hipertensi (24%),
kelainan bawaan (6%), asam urat (1%), penyakit lupus (1%) dan lain-lain
(Registry, 2018).

E. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik (GGK)

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Infeksi saluran kemih (ISK) didefinisikan dengan tumbuh dan
berkembang biaknya bakteri atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah
bermakna. Gejala klinis ISK sangat bervariasi, dapat berupa ISK asimtomatik
hingga gejala yang berat yang dapat menimbulkan infeksi sistemik. Oleh karena
manifestasi klinis yang sangat bervariasi dan sering tidak spesifik, penyakit ini
sering tidak terdeteksi hingga menyebabkan komplikasi gagal ginjal.

Ginjal mempunyai kemampuan untuk beradaptasi, pengurangan massa ginjal


mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa
(surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang di perantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, kemudian terjadi proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya
sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-
aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-
angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor β (TGF-β) Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemi, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulo intersitial (Maw dan
Fried, 2013).

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, gejala klinis yang serius belum
muncul, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan
dimana basal LGF masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan, tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%,
mulai terjadi keluhan pada penderita antara lain penderita merasakan letih dan
tidak bertenaga, susah berkonsentrasi, nafsu makan menurun dan penurunan berat
badan, susah tidur, kram otot pada malam hari, bengkak pada kaki dan
pergelangan kaki pada malam hari, kulit gatal dan kering, sering kencing terutama
pada malam hari. Pada LFG di bawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan
tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.
Selain itu pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran cerna, maupun infeksi saluran nafas. Sampai pada LFG di bawah 15%
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal (Maw dan Fried, 2013).

F. Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik (GGK) dengan Etiologi Infeksi


Saluran Kemih (ISK)
Penyakit CKD akan menimbulkan gangguan pada berbagai sistem atau organ
tubuh.
a. Gangguan secara umum
Fatigue, malaise, gagal tumbuh.
b. Gangguan sistem pernapasan
Hiperventilasi asidosis, edema paru, efusi pleura.
c. Gangguan pada sistem kardiovaskuler
Smeltzer & Bare (2010) menyatakan bahwa gangguan kardiovaskuler pada
GGK mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron), gagal jantung kongestif, dan edema
pulmoner (akibat cairan berlebih), dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan
perikardial oleh toksin uremik).
d. Gangguan pada sistem gastrointestinal
1) Anoreksia dan nause yang berhubungan dengan gangguan metabolisme
protein dalam usus dan terbentuknya zat–zat toksik akibat metabolisme
bakteri usus seperti ammonia dan metal guanidine, serta sembabnya mukosa
usus.
2) Ureum yang berlebihan pada air liur yang diubah oleh bakteri dimulut
menjadi amonia oleh bakteri sehingga nafas berbau amonia. Akibat yang
lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis.
3) Cegukan yang belum diketahui penyebabnya.

e. Gangguan pada sistem hematologi


1) Anemia, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor lain.
2) Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan eritropoiesis pada
sumsum tulang menurun.
3) Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia
toksik.
4) Defisiensi besi dan asam folat akibat nafsu makan yang berkurang
5) Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit.
6) Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisma sekunder.
7) Gangguan fungsi trombosit dan trombosotopenia yang mengakibatkan
perdarahan.
8) Gangguan fungsi leukosit, di mana fagositosis dan kemotaksis berkurang,
fungsi limfosit menurun sehingga imunitas juga menurun.
f. Gangguan pada meuromuskular
1) Restless leg syndrome, di mana pasien merasa pegal pada kakinya sehingga
selalu digerakkan.
2) Feet syndrome, yaitu rasa semutan dan seperti terbakar terutama di telapak
kaki.
3) Ensefalopati metabolic, yang menyebabkan lemah, tidak bisa tidur,
gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang
4) Miopati, yaitu kelemahan dan hipotrofi otot-otot terutama otot-otot
ekstremitas proksimal.
g. Gangguan pada sistem endokrin
1) Gangguan seksual: libido, fertilitas dan penurunan seksual pada laki-laki,
pada wanita muncul gangguan menstruasi.
2) Gangguan metabolisme glukosa: resistensi insulin yang menghambat
masuknya glukosa ke dalam sel dan gangguan sekresi insulin.GGK disertai
dengan timbulnya intoleransi glukosa.
3) Gangguan metabolisme lemak: biasanya timbul hiperlipidemia yang
bermanifestasi sebagai hipertrigliserida, peninggian VLDL (Very Low
Density Lipoprotein) dan penurunan LDL (Low Density Lipoprotein). Hal
ini terjadi karena meningkatnya produksi trigliserida di hepar akibat
menurunnya fungsi ginjal.
4) Gangguan metabolisme vitamin Dmenyebabkan gangguan penyerapan usus
terhadap kalsium dan hipokalsemia. Kalsium plasma yang rendah
menyebabkan kompensasi hiperplasia paratiroid dan peningkatan sekresi
hormon paratiroid (Chandrasoma, 2005).
h. Gangguan dermatologi
1) Rasa gatal yang parah (pruritus). Butiran uremik merupakan suatu
penumpukan kristal urea dikulit (Smeltzer & Bare, 2010).
2) Kulit berwarna pucat akibat anemia dan gatal-gatal akibat toksin uremik dan
pengendapan kalsium di pori-pori kulit.
i. Gangguan pada tulang
Metabolisme kalsium dan fosfat yang abnormal menyebabkan perubahan
tulang (osteodistrofi ginjal) dan kalsifikasi metastatik. Osteodistrofi ginjal
adalah suatu kombinasi kompleks osteomalasia dengan efek hiperparatiroid
(osteitis fibrosa kistik). Kalsifikasi metastasik pada dinding pembuluh darah
kecil dapat menyebabkan perubahan iskemik pada jaringan yang terkena
(Chandrasoma, 2005).
j. Gangguan metabolik
Kegagalan ekskresi ion hidrogen menyebabkan pengumpulan asam di dalam
darah (tubuh menghasilkan asam berlebihan selama metabolisme sel)
menyebabkan asidosis metabolik (Chandrasoma, 2005).
k. Gangguan cairan-elektrolit
Gangguan asam-basa mengakibatkan kehilangan natrium sehingga terjadi
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipermagnesemia, dan hipokalsemia.
l. Ketidakmampuan pemekatan urine
Ketidakmampuan ini merupakan suatu manfestasi klinis awal GGK. Keadaan
ini menyebabkan poliuria (peningkatan jumlah keluaran urine), nokturia (urine
berlebihan pada malam hari), dan isotenuria (keluaran urine hanya bervariasi
sedikit dari berat jenis 1,010). Poliuria sering menyebabkan dehidrasi
(Chandrasoma, 2005).
m. Gangguan fungsi psikososial
Perubahan kepribadian dan perilaku serta perubahan proses kognitif.
Menurut Mansjoer (2000), manifestasi klinis pasien gagal ginjal kronik :
a. Umum : fatique, malaise, gagal tumbuh, debil
b. Kulit : mudah lecet, rapuh, leukonika.
c. Kepala dan leher : fetor uremik, lidah kering dan berselaput
d. Mata : fundus hipersensitif, mata merah
e. Kardiovaskuler : hipertensi, kelebihan cairan, gagal jantung, perikarditis
uremik, penyakit vaskuler
f. Pernafasan : hiperventilasi asidosis, edema paru, efusi pleurag.
g. Gastrointestinal : anoreksia, nausea, gastritis, ulkus peptikum, kolik
uremik, diare yang disebabkan oleh anti biotik.
h. Kemih : nokturia, poliuria, haus, proteinuria
i. Reproduksi : penurunan libido, impotensi, amenore, infertilitas,
ginekomastia, galaktore.
j. Syaraf : latergi, malaise, anoreksia, tremor, ngantuk, kebingungan, flap,
mioklonus, kejang, koma.
k. Tulang : hiperparatiroidisme, defisit vitamin D
l. Sendi : gout, pseudo gout, klasifikasi ekstra tulang
m. Hematologi : anemia, defisit imun, mudah mengalami pendarahann.
n. Endokrin : multiple
o. Farmakologi : obat-obatan yang diekskresi oleh ginjal
Gejalanya menurut Anggota IKAPI (2008) adalah perubahan frekuensi
kencing, sering ingin berkemih pada malam hari pembengkakan pada bagian
pergelangan kaki, kram otot pada malam hari, lemah dan lesu, kurang berenergi,
nafsu makan turun, mual, dan muntah, sulit tidur, bengkak seputar mata pada pagi
waktu bangun pagi hari atau mata merah dan berair (uremic red eyes) karena
deposit garam kalsium fosfat yang dapat menyebabkan iritasi hebat pada selaput
lendir mata, kulit gatal dan kering.

Pada bahasan kali ini akan dibahas gagal ginjal kronik yang disebabkan
oleh infeksi saluran kemih secara lebih mendalam. Berdasarkan ada tidaknya
komplikasi, ISK dibagi menjadi ISK simpleks dan kompleks. ISK simpleks/
sederhana/uncomplicated UTI adalah terdapat infeksi pada saluran kemih tetapi
tanpa penyulit (lesi) anatomis maupun fungsional saluran kemih. ISK kompleks/
dengan komplikasi/complicated UTI adalah terdapat infeksi pada saluran kemih
disertai penyulit (lesi) anatomis maupun fungsional saluran kemih misalnya
sumbatan muara uretra, refluks vesikoureter, urolithiasis, parut ginjal, buli-buli
neurogenik, dan sebagainya. Berdasarkan letaknya, ISK dibagi menjadi ISK atas
dan bawah. ISK atas adalah infeksi pada parenkim ginjal atau ureter, lazimnya
disebut sebagai pielonefritis. ISK bawah adalah infeksi pada vesika urinaria
(sistitis) atau uretra. Batas antara atas dan bawah adalah vesicoureteric junction.

Sekitar 50% ISK disebabkan Escherichia coli, penyebab lain adalah Klebsiella,
Staphylococcus aureus, coagulase-negative staphylococci, Proteus dan
Pseudomonas sp. dan bakteri gram negatif lainnya. Terdapat beberapa faktor
predisposisi terjadinya ISK kompleks, diantaranya adalah:

1. Outflow obstruction
a. Striktur uretra
b. Pelviureteric junction
c. Posterior urethral valves
d. Bladder neck obstruction

2. Batu/tumor
a. Neuropathic bladder
b. Kista ginjal
3. Kelainan ginjal
a. Parut ginjal
b. Refluks vesikoureter
c. Displasia ginjal
d. Ginjal dupleks
4. Benda asing
a. Indwelling catheter
b. Batu
c. Selang nefrostomi
5. Metabolik
a. Imunosupresi
b. Gagal ginjal
6. Diabetes

G. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik (GGK)


CKD didefinisikan sebagai adanya kerusakan ginjal selama minimal 3 bulan.
Kerusakan ginjal juga bisa (Shafi dan Coresh, 2015):

1. Kelainan patologis ginjal seperti adanya penyakit ginjal polikistik


2. Adanya penanda kerusakan ginjal seperti proteinuria
3. GFR kurang dari 60 ml / menit / 1,73 m2 tanpa ada bukti kerusakan ginjal

Terdapat sistem lima tahap untuk klasifikasi CKD. Tahapan 1 dan 2 didefinisikan
oleh adanya penanda kerusakan ginjal dan dibedakan satu sama lain dengan tidak
adanya (stadium 1) atau adanya (tahap 2) GFR yang berkurang ringan. Tahapan 3
hingga 5 hanya didasarkan pada tingkat GFR. Sistem pementasan mewakili beban
azotemik yang meningkat ketika GFR menurun dan mengenali manifestasi umum
dari penurunan fungsi ginjal seperti anemia dan hiperparatiroidisme yang dapat
terjadi terlepas dari etiologi penyakit ginjal yang mendasarinya (seperti
glomerulonefritis atau hipertensi nefrosklerosis). Pada setiap tahap CKD, rencana
tindakan diusulkan dengan tujuan meningkatkan hasil pada pasien dan
mengurangi angka kematian berdasarkan bukti terbaik, tetapi sering terbatas,
tersedia. Sistem klasifikasi K / DOQI melengkapi sistem klasifikasi tradisional
yang didasarkan pada fitur klinis (seperti sindrom nefrotik) atau mekanisme
patofisiologis (seperti nefropati imunoglobulin A (IgA) pada biopsi ginjal) (Shafi
dan Coresh, 2015).

Kontribusi utama dari pedoman K / DOQI adalah penekanan pada pendefinisian


CKD berdasarkan estimasi GFR (eGFR). GFR tetap merupakan indeks
keseluruhan fungsi ginjal terbaik, tetapi pengukuran aktual GFR rumit dan
dicadangkan untuk situasi khusus. K / DOQI merekomendasikan penggunaan
persamaan untuk memperkirakan GFR dari kreatinin serum menggunakan
persamaan Cockcroft-Gault atau Modifikasi Diet di Penyakit Ginjal (MDRD)
Persamaan studi pada orang dewasa dan persamaan Schwartz dan Counahan-
Barratt pada anak-anak. Persamaan Cockcroft-Gault memperkirakan GFR dengan
menghitung clearance kreatinin yang tidak disesuaikan. Persamaan ini
dikembangkan dalam sampel 249 pria. Ini digunakan untuk perhitungan
pembersihan kreatinin pada wanita dengan menggunakan faktor penyesuaian
teoritis untuk massa otot yang lebih rendah pada wanita. Kreatinin secara aktif
dikeluarkan oleh tubulus proksimal, dan sekresi meningkat ketika GFR menurun.
Akibatnya, bersihan kreatinin melebih-lebihkan GFR, terutama pada kisaran GFR
yang lebih rendah pada pasien dengan CKD lanjut. Persamaan CockcroftGault
juga cenderung meremehkan GFR pada lansia dan melebih-lebihkannya pada
pasien edema atau obesitas. Akhirnya, kalibrasi kreatinin serum untuk persamaan
tidak pasti, dan standardisasi untuk luas permukaan tubuh memerlukan langkah
terpisah. Persamaan Studi MDRD dikembangkan dalam sampel dari 1.628 pasien
dengan CKD yang diskrining untuk pendaftaran dalam Studi MDRD. Persamaan
ini memperkirakan GFR disesuaikan dengan luas permukaan tubuh dan
memperhitungkan generasi kreatinin dengan menyesuaikan usia, jenis kelamin,
dan ras. Meskipun perhitungan estimasi GFR oleh persamaan MDRD secara
matematis kompleks, telah sangat disederhanakan oleh ketersediaan hampir
universal dari berbagai "kalkulator" dalam pengaturan kesehatan dan oleh inisiatif
K / DOQI untuk memiliki eGFR yang dilaporkan oleh laboratorium yang
mengukur kreatinin serum. Persamaan MDRD telah banyak digunakan dan
divalidasi secara independen di beberapa populasi, termasuk penerima
transplantasi (Shafi dan Coresh, 2015).

Sumber: (Shafi dan Coresh, 2015).

Price & Wilson (2005) membagi penyebab CKD atas dasar etiologi menjadi
delapan kelas:.
Klasifikasi Penyakit Penyakit

Penyakit peradangan Glomerulonefritis

- Glomerulonefritis adalah penyakit yang mengenai


glomeruli kedua ginjal. Faktor penyebabnya antara
lain reaksi imunologis (lupus eritematosus sistemik,
infeksi streptokokus, cedera vaskular [hipertensi],
dan penyakit metabolik [diabetes melitus]).
Penyakit vaskular Nefrosklerosis benigna
hipertensif
- Pada nefrosklerosis benigna, pembuluh darah arteri
ginjal tampak tebal, lumen menyempit, dan ada
kapiler glomerular yang sklerotik dan kempis.
Perubahan vaskular ini dapat menyebabkan suplai
darah ke ginjal berkurang. Tubulus ginjal juga
mengalami atrofi. Tanda dan gejala juga ringan
seperti proteinuria ringan. Nokturia dapat terjadi
karena kemampuan tubula untuk mengonsentrasi
urine juga berkurang. Walaupun insufisiensi ginjal
yang terjadi ringan, pasien memiliki risiko tinggi
untuk mengalami gagal ginjal akut.
Nefrosklerosis maligna

- Pada nefrosklerosis maligna, perubahan besarnya


adalah nekrosis dan penebalan arteriola, kapiler
glomerular, serta atrofi tubula yang tersebar. Selain
itu, terjadi hematuria makroskopik proteinuria berat
dan peningkatan kreatinin plasma. Nefrosklerosis
maligna adalah kondisi kedaruratan medis. Tekanan
darah yang tinggi harus diturunkan untuk
menghindari kerusakan ginjal yang permanen dan
kerusakan organ tubuh yang vital, misalnya otak dan
jantung. Tanda dan gejala sama dengan gagal ginjal
kronik. Stenosis arteria renalis
Gangguan jaringan - Lupus eriternatosus sistemik
ikat - Poliarteritis nodosa
- Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital - Penyakit ginjal polikistik
dan herediter - Asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolic - Diabetes melitus
- Gout
- Hiperparatiroidisme
- Amiloidosis
Nefropati toksik - Penyalahgunaan analgesic
- Nefropati timah
Nefropati obstruktif - Traktus urinarius bagian atas: batu, neoplasma,
fibrosis retroperitoneal
- Traktus urinarius bagian bawah: hipertrofi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital leher vesika
urinaria dan uretra
Sumber: (Price, S. A., dan Wilson, 2005)

Penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan menurut 2 hal yaitu, menurut


diagnosis etiologi dan menurut derajat (stage) penyakit. Menurut diagnosis
etiologi, penyakit ginjal kronik dapat di golongkan menjadi penyakit ginjal
diabetes, penyakit ginjal non diabetes, dan penyakit pada transplantasi sebagai
berikut :

Penyakit Tipe Mayor


Penyakit ginjal Diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit Ginjal non Diabetes Penyakit Glomerular (penyakit
autoimun, infeksi sistemik, obat,
neoplasia)
Penyakit vascular (penyakit pembuluh
darah besar, hipertensi,
mikroangiopati) Penyakit
tubulointerstisial (pielonefritis kronik,
obstruksi, keracunan obat) Penyakit
kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik Keracunan Obat
Penyakit recurrent

Sesuai rekomendasi The National Kidney Foundation Kidney Disease Improving


Global Outcomes (NKF-KDIGO) tahun 2012, Klasifikasi PGK menurut derajat
penyakit di kelompokan menjadi 5 derajat, dikelompokan atas penurunan faal
ginjal berdasarkan LFG. Klasifikasi atas dasar penyakit dibuat berdasar LFG
(Laju Filtrasi Glomerulus) yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-
Gault.
(140−umur) x berat badan∗)
LFG (ml/mnt/1.73 m2) = 𝑚𝑔
72 𝐾𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 ( )
𝑑𝑙

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Derajat LFG (mL/meit/1,73 m2)


G1 >90
G2 60-89
G3a 45-59
G3b 30-44
G4 15-29
G5 <15
H. Pemeriksaan Penunjang Gagal Ginjal Kronik (GGK)
a. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urine. Prosedur ini memeriksa
sedimen setelah urine disentrifugasi. Urine yang normal hampir tidak
mengandung sedimen (Baradero, dkk, 2008).
b. Darah
Penilaian CKD dengan ganguan yang serius dapat dilakukan dengan
pemerikasaan laboratorium, seperti: kadar serum sodium/natrium dan
potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit, kadar urea
nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin urin, urinalisis. Hb:
menurun pada adanya anemia
1. Sedimen: sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan hidup.
2. pH: asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan
kemam
3. puan ginjal untuk mengekresikan hidrogen dan hasil akhir metabolisme.
4. BUN/kreatinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein),
perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin meningkat pada kerusakan
glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal
dan perkembangan penyakit. Biasanya meningkat pada proporsi rasio 10:1.
5. Osmolalitas serum: labih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan urine.
6. Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan
seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
7. Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
8. pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
9. Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat.
10. Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan protein
melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan penurunan sintesis
karena kekurangan asam amino esensial (Doenges, 2000).
c. Pemeriksaan EKG

Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan
gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia). Pemeriksaan ini menilai besar
dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system
pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostate.

d. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi
dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada,
pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa pemeriksaan
radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui gangguan fungsi ginjal antara
lain:

1. Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika urinaria


untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari ginjal. Pada
gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang mungkin disebabkan
karena adanya proses infeksi.
2. Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara jelas
struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras atau tanpa
kontras.
3. Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan fungsi
ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus gangguan ginjal
yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali kongental, kelainan prostat,
calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta obstruksi saluran kencing.
4. Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena, dan
kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras. Pemeriksaan ini biasanya
dilakukan pada kasus renal arteri stenosis, aneurisma ginjal, arterovenous fistula,
serta beberapa gangguan bentuk vaskuler.
5. Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus
yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada ginjal serta
post transplantasi ginjal.
f. Biopsi Ginjal

Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil jaringan


ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus golomerulonepritis,
neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan perencanaan transplantasi
ginjal.
g. Gas darah arteri

Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah arteri,
pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam pemeriksaan ini
diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri femoralis, radialis, atau
brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah diberi heparin untuk mencegah
pembekuan darah sebelum dilakukan uji laboratorium. Pada pemeriksaan gas
darah arteri pada penderita gagal ginjal akan ditemukan hasil yaitu asidosis
metabolik dengan nilai PO2 normal,PCO2 rendah, pH rendah, dan defisit basa
tinggi (Grace dan Borley, 2006).

I. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik (GGK)

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan


homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada CKD dan faktor
yang dapat dipulihkan (misal obstruksi) diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer &
Bare, 2001). Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga
yaitu sebagai berikut.
a. Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
5) Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1. Asidosis metabolic
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3. Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5. Kelainan neuromuscular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
6. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

1. Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan
biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan
dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah
satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan
hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis
dilakukan pada klien GGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute
Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal.
2. Dialisis Peritoneal
Dialisisperitoneal merupakan alternatif hemodialisis pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Dialisis peritoneal dilakukan
dengan menginfuskan 1-2 L cairan dialisis ke dalam abdomen melalui
kateter. Dialisat tetap berada dalam abdomen untuk waktu yang berbeda-
beda (waktu tinggal) dan kemudian dikeluarkan melalui gaya gravitasi
ke dalam wadah yang terletak di bawah pasien. Setelah drainase selesai,
dialisat yang baru dimasukkan dan siklus berjalan kembali. Pembuangan zat
terlarut dicapai melalui difusi, sementara ultrafiltrasi dicapai melalui
perbedaan tekanan osmotik dan bukan dari perbedaan tekanan hidrostatik
seperti pada hemodialisis
3. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai
oleh pasien gagal ginjal stadium akhir, meskipun sebagian pasien
mungkin tetap memilih dialisis di rumah mereka sendiri sesudah
mendapatkan latihan dari perawat khusus. Tindakan standar dalam
transplantasi ginjal dengan merotasikan ginjal donor dan meletakannya pada
fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian terletak di sebelah anterior
pembuluh darah ginjal ke dalam kemih resipien. Arteria renalis
beranastomosis end-to-end pada arteri iliaka interna, dan vena renalis
beranastomosis dengan vena iliaka komunis atau eksternal. Pertimbangan
program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

KONSEP DASAR HEMODIALISA

a. Pengertian
Nursalam (2006) mengatakan bahwa hemodialisa adalah proses pembersihan
darah oleh akumulasi sampah buangan. Hemodialisa digunakan bagi pasien
dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan
dialisis waktu singkat. Bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisa akan
mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak menyembuhkan atau
memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas
metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal
serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2002).
Tujuan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid,
2009).
Prinsip yang mendasari hemodialisa adalah pada hemodialysis aliran darah yang
penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer
tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh
pasien. Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata atau ginjal serat
artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan bekerja
sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut
sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari
darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel
tubulus (Brunner & Suddarth, 2002).

Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan
dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua
elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat
dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari
daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih
rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat di tingkatkan melalui penambahan
tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan
negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan
memfasilitasi pengeluaran air (Suharyanto dan Madjid, 2009).

Akses pada sirkulasi darah pasien adalah sebagai berikut (Suharayanto dan
Madjid, 2009):

1) Kateter subklavikula dan femoralis


Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat
dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara.
Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis
untuk pemakaian segera dan sementara.
2) Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya
dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau
menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side
(dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut
membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap
digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula
pulih dan segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat
menerima jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke
dalam pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir
melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan
kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis.
3) Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis, sebuah
tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh arteri atau
vena, material Gore-tex (heterograft) atau tandur vena safena dari pasien
sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri
tidak cocok untuk dijadikan fistula.

b. Tujuan

Tujuan dari hemodialisis yaitu untuk mengeluarkan zat nitrogen yang toksik di
dalam darah dan mengurangi cairan yang berlebihan dari dalam tubuh.
Hemodialisis dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus segera
dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen dan menghindari kematian.
Hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan (Smeltzer
dan Bare, 2010).

c. Indikasi
1) Indikasi absolute
a) Keadaan umum buruk dan gejala klinisnya nyata seperti mual, dan
muntah, diare
b) Perikarditis uremik
c) Ensefalopati atau neuropati uremik
d) Edema paru akut dengan overhydration refrakter terhadap diuretika (tidak
bisa ditanggulangi dengan obat diuretika)
e) Kreatinin >10mg %
f) Ureum darah lebih > 200 mg/dl atau kenaikan ureum darah lebih dari 100
mg/dl per hari (hiperkatanolisme)
g) Hiperkalemia (K serum > 6mEq/L)
h) Asidosis dengan bikarbonat serum kurang dari 10 mEq/L atau pH < 1,75
i) Anuria berkepanjangan (>5 hari)
2) Indikasi elektif
a) LFG < 15 ml/menit/1,73
b) Mual, anoreksia, muntah dan atau asthenia
c) Asupan protein menurun spontan < 0,7 gr/kg/hari
d. Kontraindikasi
Kontraindikasi proses hemodialisa diantaranya hipotensi yang tidak
responsive terhadap presor, penyakit terminal, sindroma otak organik, sindrom
hepatorenal, sirosis hati dengan ensepalopati, instabilitas hemodinamik dan
koagulasi, akses vaskular yang sulit, serta Alzheimer
e. Prinsip Hemodialisa
Prinsip yang mendasari kerja hemodialisa menurut Smeltzer dan Bare
(2010) yaitu:
1) Difusi
Toksin dan limbah dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi yaitu
dengan cara mengalirkan darah yang memiliki konsentrasi tinggi menuju
cairan dialisat yang berkonsentrasi rendah. Cairan dialisat berisi cairan
elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar
elektrolit darah dapat dikendalikan dengan rendaman dialisat (dialysate bath)
secara tepat. Pori-pori kecil dalam membran semipermeabel tidak
memungkinkan lolosnya sel darah merah dan protein.
2) Osmosis
Air yang berlebih dari dalam tubuh dikeluarkan melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan
pengaturan gradient tekanan (yaitu dengan mengalirkan air dari yang
bertekanan tinggi atau dari tubuh pasien ke tekanan yang rendah atau cairan
dialisat).
3) Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialisis dikenali sebagai ultrafiltrasi
artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga
tipe dari tekanan dapat terjadi pada membran:
a) Tekanan positif merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan
dalam membran. Pada dialisis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan
resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan positif
mendorong cairan menyeberangi membran.
b) Tekanan negatif merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membran
oleh pompa pada sisi dialisat dari membran tekanan negatif yang menarik
cairan keluar darah.
c) Tekanan osmotik merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut.
Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari
larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan membran
permeabel terhadap air. Pada proses ultrafiltrasi tekanan yang digunakan
adalah tekanan negatif yang diterapkan pada alat sebagai kekuatan
pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air karena pasien
tidak dapat mengeluarkan cairan sehingga tercapai isovolemi atau
keseimbangan cairan.
f. Proses Hemodialisa
Sebelum dilakukan hemodialisa harus dilakukan pengkajian pradialisis,
dilanjutkan dengan menghubungkan klien dengan mesin hemodialisa dengan
memasang blood line dan jarum ke akses vaskuler pasien yaitu akses jalan keluar
darah ke dialiser dan akses masuk darah ke dalam tubuh. Arterio Venous (AV)
fistula adalah akses vaskuler yang direkomendasikan karena cenderung lebih
aman dan nyaman bagi pasien (Thomas dalam Farida, 2010).
Setelah blood line dan akses vaskuler terpasang proses hemodialisa
dimulai. Saat dialisis darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di dalam dialiser.
Darah mulai mengalir dibantu pompa darah. Cairan normal salin diletakkan
sebelum pompa darah untuk mengantisipasi adanya hipotensi intradialisis. Infus
heparin diletakkan sebelum atau sesudah pompa tergantung peralatan yang
digunakan. Darah mengalir dari tubuh ke akses arterial menuju ke dialiser
sehingga terjadi pertukaran darah dan zat sisa. Darah masuk dan keluar tubuh
pasien dengan kecepatan 200/400 ml/menit (Price & Wilson, 2005).
Proses selanjutnya darah akan meninggalkan dialiser. Darah yang
meninggalkan dialiser akan melewati detektor udara. Darah yang sudah disaring
kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh pasien melalui akses venosa. Dialisis
diakhiri dengan menghentikan darah dari pasien, membuka selang normal salin
dan membilas selang untuk mengembalikan darah pasien. Pada akhir dialisis, sisa
akhir metabolisme dikeluarkan, keseimbangan elektrolit tercapai dan buffer
sistem telah diperbaharui (Lemis, Smeltzer, Hudak dalam Farida, 2010).
g. Perangkat Hemodialisa
1) Perangkat Khusus
a) Mesin hemodialisa
Ginjal buatan (dializer) yaitu : alat yang digunakan untuk mengeluarkan
sisa metabolisme atau zat toksin lain dari dalam tubuh. Didalamnya
terdapat 2 ruangan atau kompartemen yang meliputi kompartemen darah
dan kompartemen dialisat.
b) Blood lines: selang yang mengalirkan darah dari tubuh ke dializer dan
kembali ke tubuh. Mempunyai 2 fungsi yakni untuk mengeluarkan dan
menampung cairan serta sisa-sisa metabolisme serta untuk mencegah
kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialysis.
c) Alat-alat kesehatan
1. Tempat tidur fungsional
2. Timbangan BB
3. Pengukur TB
4. Stetoskop
5. Termometer
6. Peralatan EKG
7. Set O2 lengkap
8. Suction set
9. Meja tindakan.
d) Obat-obatan dan cairan
1) Obat-obatan hemodialisa: heparin, frotamin, lidocain untuk anestesi.
2) Cairan infuse : NaCl 0,9%, Dex 5% dan Dex 10%.
3) Dialisat
4) Desinfektan : alcohol 70%, Betadin, Sodium hypochlorite 5%
5) Obat-obatan emergency.

h. Pedoman Pelaksanaan Hemodialisa


1) Perawatan sebelum hemodialisa
a) Sambungkan selang air dari mesin hemodialisa.
b) Kran air dibuka.
c) Pastikan selang pembuka air dan mesin hemodialisis sudah masuk
keluar atau saluran pembuangan.
d) Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak.
e) Hidupkan mesin.
f) Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit.
g) Matikan mesin hemodialysis.
h) Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat.
i) Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin
hemodialisis.
j) Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap).
2) Menyiapkan sirkulasi darah
a) Bukalah alat-alat dialisat dari setnya.
b) Tempatkan dialiser pada holder (tempatnya) dan posisi ‘inset’ (tanda
merah) diatas dan posisi ‘outset’ (tanda biru) dibawah.
c) Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung ‘inset’ dari dialiser
d) Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung ‘outset’ adri dialiser
dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah.
e) Set infuse ke botol NaCl 0,9%-500 cc.
f) Hubungkan set infuse ke slang arteri.
g) Bukalah klem NaCl 0,9%. Isi slang arteri sampai keujung selang lalu
klem.
h) Memutarkan letak dialiser dengan posisi ‘inset’ dibawah dan ‘ouset’
diatas, tujuannya agar dialiser bebas dari udara
i) Tutup klem dari selang untuk tekanan arteri, vena, heparin.
j) Buka klem dari infuse set ABL, UBL.
k) Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/mnt,
kemudian naikkan secara bertahap sampai 200 ml/mnt.
l) Isi buble tap dengan NaCl 0,9% sampai 3/4 cairan.
m) Memberikan tekanan secara intermitten pada UBL untuk mengalirkan
udara dari dalam dialiser, dilakukan sampai dengan dialiser bebas
udara (tekanan tidak lebih dari 200 mmHg).
n) Melakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak
500 cc yang terdapat pada botol (kalf). Sisanya ditampung pada gelas
ukur.
o) Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru.
p) Sambungkan ujung biru UBL dengan ujung merah ABL dengan
menggunakan konektor.
q) Menghidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dialiser baru 15-
20 menit, untuk dialiser reuse dengan aliran 200-250 ml/mnt.
r) Mengembalikan posisi dialiser ke posisi semula dimana ‘inset’ diatas
dan ‘outset’ dibawah.
s) Menghubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10
menit siap untuk dihubungkan dengan pasien (soaking).
3) Persiapan pasien
a) Menimbang BB.
b) Mengatur posisi pasien.
c) Observasi KU.
d) Observasi TTV.
e) Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya
mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti dibawah ini:
1. Dengan interval A-V Shunt/fistula simino
2. Dengan eksternal A-V Shunt/schungula
3. Tanpa 1-2 (vena pulmonalis)

i. Komplikasi
Hipotensi, dapat terjadi selama terapi dialysis cairan dikeluarkan karena
terlalu banyak darah dalam sirkulasi mesin, ultrafiltrasi berlebihan,
obat-obatan anti hipertensi.
1) Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja
terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
2) Mual dan muntah dapat muncul akibat gangguan saluran
gastrointestinal, ketakutan, reaksi obat, hipotensi.
3) Demam disertai menggigil, akibat dari reaksi fibrogen, reaksi transfuse,
kontaminasi bakteri pada sirkulasi darah.
4) Nyeri dada, dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah dari luar tubuh.
5) Pruritus dapat terjadi selama terapi dialysis ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit.
6) Gangguan keseimbangan dialysis, terjadi karena perpindahan cairan
serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini
kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang
berat.
7) Kram otot yang nyeri, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel.
J. Pathway Gagal Ginjal Kronik (GGK) dengan Etiologi Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Penumpukan kuman dan bakteri dalam waktu lama pada saluran kemih dan terjadi pielonefritis

GAGAL GINJAL KRONIS

muskuloskeletal integumen Neuro eritopoitin Gastrointesti Perkemihan respirasi kardiovaskuler Imun:


+sensori terganggu nal
Urea asam Edema dalam
hipokalsemia Uremik Eliminasi urin hiperkalemia Imun
menumpuk GI Asidosis
encepalopati Diafragma
Hbrendah: metaboli terdesak
Nyeri otot Oliguri+anuria k cairan
Anoreksia, disritmia penurunan
dan tulang Pruritus: Perubahan
Anemia mual , produksi
gatal kesadaran
muntah antibodi
Kelebihan hiperventilasi
Nyeri volume cairan Penurunan curah
Koma kejang Fatigue
Pola napas tidak jantung
Resiko
kerusakan efektif infeksi
Mual
Gangguan rasa integritas Gangguan
nyaman kulit perfusi Nutrisi kurang dari kebutuhan
jaringan otak tubuh
Gangguan citra tubuh

HEMODIALISIS
HEMODIALISIS

Pra-Hemodialisis
Pra-Hemodialisis Intra-Hemodialisis Post-Hemodialisis

Proses Ultrafiltrasi
Kecemasan menghadapi Pemberian terapi Tindakan invasif saat Penggunaan cairan
terapi hemodialisa heparin pemasangan fistula & dialisat asetat
AV Shunt Penarikan cairan ↑penyaringan &
Terapi antikoagulan
berlebih & cepat ke pemasukan Ca
Ansietas dalam dializer
Adanya jalur masuk Bersifat asam a
Menghambat faktor – mikroorganisme asetat
Depolarisasi Ca
faktor pembekuan darah
↓volume cairan
tubuh
Resiko infeksi Gangguan Kontraksi otot terus
Mudah terjadi hemodinamik (hipovolemi) menerus
pendarahan
Meningkatkan Resiko syok
produksi asam Menimbulkan suasana Kram otot
Resiko lambung asam dalam darah
pendarahan
Merangsang pusat
mual di medula Penumpukan asam
laktat pada otot

Mual
Nyeri pada otot Nyeri
a. Pengkajian/Assesment
1. Identitas Pasien
Identitas meliputi data demografi klien yang terdiri dari nama, umur, jenis
kelamin, agama, pendidikan, alamat, No.RM, pekerjaan, status perkawinan,
tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Adanya keluhan yang umum dirasakan pasien GGK yang akan mengalami
hemodialisa adalah nyeri pada pinggang, buang air kecil sedikit, bengkak/edema
pada ekstremitas, perut kembung, sesak.
3. Riwayat Kesehatan
Pengkajian riwayat kesehatan dapat difokuskan untuk mengidentifikasi adanya
kemungkinan yang mengarah pada ketidakpatuhan pasien terhadap program
terapi. Karakteristik pasien perlu dikaji walaupun umumnya belum menjadi
indikator ketidakpatuhan. Perlu dikaji riwayat penyakit, riwayat mulai
dilakukannnya hemodialisis, pengalaman pasien dilakukan hemodialisis, adanya
masalah-masalah pre-HD, intra HD maupun post HD. Penting juga untuk dikaji
riwayat pemenuhan pola kebiasaan hidup sehari-hari, terutama berkaitan dengan
diet, cairan, konsistensi pengobatan aktifitas, dll.
Eksplorasi mendalam yang dilakukan oleh perawat dengan menggunakan
komunikasi terapeutik mampu menggali masalah kepatuhan pasien. Mengkaji
riwayat kepatuhan atau kemampuan untuk mengikuti rencana diet, regimen
latihan, terapi farmakologi. Gaya hidup, budaya, keadaan psikososial serta faktor
ekonomi yang dapat mempengaruhi pengobatan klien CKD, efek dari dialysis
atau komplikasinya terhadap fungsi tubuh. Dikaji pula seberapa sering pasien
melewatkan sesi hemodialisisnya, mengabaikan program terapi, pemahaman
pasien dan keluarga terhadap penyakitnya saat ini, program terapi serta resiko-
resiko yang mungkin terjadi. Pengalaman pasien dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan, fasilitas hemodialisis, serta kepuasan pasien terhadap profesionalitas
petugas kesehatan seperti dokter, perawat, petugas gizi dapat mempengaruhi gaya
hidup pasien dalam program terapi.
a) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan GGk biasanya akan mengalami bengkak, kesulitan dalam eliminasi
urin nyeri pinggang klonik yang mengganggu kemudian baru menjangkau tenaga
kesehatan, GGK biasanya juga disertai penyakit penyerta seperti batu ginjal, atau
ISK. Informasi sejak timbulnya keluhan sampai dirawat dirumah sakit. Berkaitan
dengan keluhan utama yang dijabarkan dengan PQRST yang meliputi hal-hal
yang meringankan dan memberatkan. Kualitas dan kuantitas dari keluhan,
penyebaran serta tingkat kegawatan atau skala dan waktu.

b) Riwayat Penyakit Dahulu


Penyakit yang dapat menjadi faktor utama terjadinya GGK seperti penyakit
infeksi dan non infeksi. Penyakit infeksi seperti ISK, . Penyakit non infeksi
berupa penyakit jantung, DM, vaskuler hipertensif, gangguan saluran
penyambung, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati
toksik dan neropati obstruktif..

c) Riwayat Penyakit Keluarga


Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit herediter
seperti hipertensi atau DM, serata penyakit Tb Paru.
4. Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan Gordon
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Bagaimana persepsi dan pendapat klien terkait dengan penyakit yang
dideritanya, serta penanganan pertama dalam mengatasi masalah
kesehatannya.Riwayat merokok, minum alkohol, dan penggunaan obat-
obatan. Kemungkinan pasien GGK memiliki kebiasaan berisiko seperti
minum alkohol dan kurang minum air putih, dan Penggunaan obat laksatif,
diamox, vitamin D, antacid, aspirin dosis tinggi, personal hygiene kurang,
konsumsi toxik, konsumsi makanan tinggi kalsium, purin, oksalat, fosfat,
protein, kebiasaan minum suplemen, control tekanan darah dan gula darah
tidak teratur pada penderita tekanan darah tinggi dan diabetes mellitus.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Bagaimana pola pemenuhan nutrisi setiap harinya. Perawat perlu
melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui
status nutrisi pasien. Pasien dengan GGK perlu dikaji adanya mual,
muntah, anoreksia, intake cairan inadekuat, peningkatan berat badan cepat
(edema), penurunan berat badan (malnutrisi), nyeri ulu hati, rasa metalik
tidak sedap pada mulut (pernafasan amonia), penggunanan diuretik,
demam karena sepsis dan dehidrasi.
c) Pola eliminasi
Perawat perlu menanyakan mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan
sesudah sakit. Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut), abdomen kembung, diare konstipasi, perubahan warna urin.
d) Pola aktivitas dan latihan
Perawat perlu untuk terus mengkaji status pernapasan pasien, karena
akibat dari sesak napas. Disamping itu pasien juga akan mengurangi
aktivitasnya akibat adanya nyeri punggung dan untuk memenuhi
kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan
keluarganya. Kemungkinan klien akan mengalami intoleransi aktivitas.
Klien juga akan memiliki masalah fatigue dan malaise.
e) Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri pinggang, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur, istitahat dan sering
terbangun jika nyeri, klien bisa mengalami insomnia, gangguan pola tidur
atau depriviasai tidur.
f) Pola hubungan dan peran
Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami perubahan
peran, misalkan pasien seorang laki-laki sebagai kepala rumah tangga,
tidak dapat menjalani fungsinya untuk menafkahi istri dan anaknya.
Disamping itu, peran pasien di masyarakat pun juga mengalami perubahan
dan semua itu mempengaruhi hubungan interpersonal pasien.

g) Pola persepsi dan konsep diri


Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya sehat,
tiba-tiba mengalami sakit. Sebagai pasien mungkin akan beranggapan
bahwa penyakitnya adalah penyakit mematikan. Dalam hal ini pasien
mungkin akan kehilangan gambaran positif terhadap dirinya.
h) Pola sensori dan kognitif
Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan otot,
perubahan tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala, kram/nyeri kaki
(memburuk pada malam hari), perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah,
penglihatan kabur, kejang, sindrom “kaki gelisah”, rasa kebas pada telapak
kaki, kelemahan khusussnya ekstremitas bawah (neuropati perifer),
gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau. Gangguan
status mental, contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran,
strupor, koma. Penurunan DTR. Tanda chvostek dan trosseau positif,
kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
i) Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual pasien akan terganggu untuk sementara waktu karena
pasien berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya masih lemah.
j) Pola managemen stress dan koping
Pasien yang tidak mengtahui penyabab dan proses dari penyakitnya akan
mengalami stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya pada perawat
dan dokter yang merawatnya atau orang yang mungkin dianggap lebih
tahu mengenai penyakitnya.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya kepada
Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu cobaan dari
Tuhan.

5. Pengkajian Fisik
Pemeriksaan fisik dinilai keadaan umum dan status nutrisi yang baik, tanda-tanda
vital dalam batas normal. Dikaji status cairan apakah ada peningkatan BB karena
overload, dihitung IDWG (BB kering), adanya tanda-tanda anemia, fatigue, tonus
otot menurun, tanda-tanda adanya komplikasi pre HD, intra HD dan post HD.
Pemeriksaan yang menyeluruh dilakukan dengan melakukan pengkajian pada
status hidrasi, penilaian keadaan kardiovaskular, penilaian system saraf pusat dan
tepi, penilaian keadaan kulit, tekanan darah, nadi, suhu, dan laju pernafasan,
tanda-tanda uremia, berat badan dan status nutrisi. Adanya gangguan system
gastrointestinal, hematologi, endokrin serta musculoskeletal. Identifikasi faktor
penyebab dari tanda-tanda yang muncul apakah manifestasi yang muncul terkait
dari faktor-faktor ketidakpatuhan pasien terhadap program terapi. (Smeltzer,
2008).
a) Keadaan umum
Pasien tampak sesak nafas
b) Tingkat kesadaran: Komposmentis
c) TTV
RR : takipnea
N : takikardi
S : bisa hipertermi
TD : bisa hipertensi
d) Kepala:
Ins: Rambut kepala tipis, dan mudah rontok tidak terdapat masa (benjolan),
persebaran rambut rata, tidak terdapat lesi, tidak terdapat hiperpigmentasi pada
kepala, wajah simetris, tidak terdapat lesi pada wajah.
Pal: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
e) Mata:
Ins: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur, edema
periorbital.
Pal: ada nyeri tekan
f) Telinga:
Ins: Tidak terdapat lesi atau serumen yang keluar dari telinga. Bentuk daun telinga
normal dan simetris, tidak ada nyeri tekan pada tragus, tidak ada gangguan
pendengaran, tidak menggunakan alat bantu pendengaran, tidak ada benjolan dan
tanda-tanda peradangan pada
g) telinga.
Ins: tidak terdapat lesi dan kealinan
Pal: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
h) Hidung:
Ins: Bentuk hidung simetris, terdapat pernafasan cuping hidung, penggunaan
oksigen binasal, tidak ada serumen atau sekret yang keluar dari hidung.
Pal: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
i) Mulut:
Ins: ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia, mual,muntah serta cegukan,
peradangan gusi.
Pal: tidak ada nyeri tekan.
j) Leher:
Ins: pembesaran vena jugularis
Pal: tidak ada nyeri tekan, teraba nadi karotis
k) Dada:
Ins: penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal dan kusmaul serta
krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema pulmoner, friction rub perikardial.
Pal: tidak ada nyeri tekan, tidak ada krepitasi/benjolan, ictus cordis teraba, tidak
ada tenderness, vokal vremitus menurun pada bagian sinistra.
Per: perkusi paru sonor atau redup atau pekak
Aus: terdengar suara ronkhi, suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada suara jantung
abnormal.
l) Abdomen:
Ins: nyeri area pinggang, asites
Aus: peristaltik normal 5-20x/m
Per: hipertimpani
Pal: ada nyeri tekan area punggung
m) Urogenital:
Kesulitan BAK, warna urine berubah, nyeri saat BAK, atropi testikuler, amenore.
n) Ekstremitas:
Ekstremitas atas
Pasien dapat menggerakkan ekstremitas atas, terpasang infus pada bagian tangan
sebelah kiri, kekuata normal (5)
Ekstremitas bawah
Bentuk ekstremitas bawah normal, simetris, pasie dapat menggerakkan
ekstremitas bawah, kekuatan otot (5)
Kulit dan kuku:
Kulit: ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu, mengkilat atau
hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar (purpura), edema
Kuku: kuku tipis dan rapuh.

b. Diagnosa Keperawatan

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan luaran urine dan


retensi cairan dan natrium.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
inadekuat sekunder terhadap mual, muntah, anoreksia.
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
suplai O2 dan nutrisi ke jaringan sekunder terhadap penurunan COP.
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik
dalam kulit dan gangguan turgor kulit (uremia).
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, kelelahan otot,
anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisis.
6. Ansietas berhubungan dengan ancaman status terkini (cemas dengan
prognosis penyakit dan tindakan HD).
7. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya paparan informasi
tentang proses HD.
8. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya prosedur invasif akses
Vaskular tindakan fistula Arteri dan vena.
9. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (luka akibat prosedur
invasif akses Vaskular tindakan fistula Arteri dan vena) dan agen cedera
biologi (metabolisme an aerob menyebabkan penumpukan asam laktat).
10. Hipertermi berhubungan dengan reaksi pirogen endogen akibat pemakaian
cairan dialisat terlalu panas dan terdapat bakteri masuk ke dalam darah.
11. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan Penarikan cairan berlebih
dan cepat ke dalam dialiser akibat adanya ultrafiltrasi yang cepat dan
volume tinggi.
Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA NOC NIC
Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x... jam klien Manajemen elektrolit/cairan (2080)
berhubungan dengan dapat menunjukkan perubahan ditandai dengan: 1. Jaga pencatatan intake/asupan dan
penurunan luaran urine dan Keseimbangan cairan (0601) output yang akurat
retensi cairan dan natrium. Skor yang ingin 2. pantau adanya tanda dan gejala
Skor
No Indikator dicapai retensi cairan
Awal 1 2 3 4 5 3. batasi cairan yang sesuai
060101 Tekanan darah √ 4. siapkan pasien untuk dialisis
060107 Keseimangan √ Monitor cairan ( 4130)
input outpur 1. tentukan jumlah dan jenis intake
dalam 24 jam dan output serta kebiasaan
060109 Berat badan stabil √ eliminasi
060116 Turgor kulit √ 2. periksa turgor kulit
060117 Kelembapan √ 3. monitor berat badan
membran mukosa 4. monitor nilai kadar serum dan
060118 Serum elektrolit √ elektrolit urin
060119 Hematokrit √
1: sangat terganggu
2: banyak terganggu
3: cukup terganggu
4: sedikit terganggu
5: tidak terganggu
Skor yang ingin
Skor
No Indikator dicapai
Awal 1 2 3 4 5
060115 Kehausan √
060123 Kram otot √
060124 Pusing √
1: berat
2: cukup berat
3: sedang
4: ringan
5: tidak ada
Tanda-tanda vital (0802)
Skor yang ingin
Skor
No Indikator dicapai
Awal 1 2 3 4 5
08020 Suhu tubuh √
Denyut nadi √
080203
radial
Tingkat √
080204
pernafasan
Tekanan darah √
080205
sistolik
080206 Tekanan darah √
diastolik
1:deviasi berat dari kisaran normal
2: deviasi yang cukup berat dari kisaran normal
3: deviasi sedang dari kisaran normal
4: deviasi ringan dari kisaran normal
5: tidak ada deviasi dari kisaran normal
Ketidakefektifan pola nafas NOC NIC

Status Pernafasan (0415) Monitor Pernafasan (3350)


Tujuan 1. Monitor tingkat, irama kedalaman
No. Indikator Awal dan kesulitan bernafas;
1 2 3 4 5
2. Catat pergerakan dada,
1. Frekuensi pernafasan 3 √
kesimetrisan, dan penggunaan
2. Irama pernafasan 3 √
otot bantu pernafasan;
3. Kedalaman inspirasi 3 √
3. Monitor suara nafas tambahan;
Suara auskultasi
4. 3 √ 4. Monitor pola nafas;
nafas
5. Auskultasi suara nafas;
Kepatenan jalan
5. 2 √ 6. Buka jalan napas;
nafas
7. Berikan terapi oksigen.
Penggunaan otot
6. 3 √
bantu pernafasan
Terapi Oksigen (3320)
Pernafasan bibir 1. Pertahankan kepatenan jalan
7. dengan mulut 4 √
nafas;
mengerucut 2. Berikan oksigen seperti yang
8. Dyspnea saat 4 √ diperintahkan;
istirahat 3. Monitor aliran oksigen;
Dyspnea dengan 4. Periksa perangkat (alat)
9. 3 √
aktivitas ringan pemberian oksigen secara berkala
Pernafasan cuping untuk memastikan bahwa
10. 2 √
hidung konsentrasi (yang telah)
Keterangan: ditentukan telah diberikan;
5. Monitor peralatan oksigen untuk
1. Keluhan ekstrime memastikan bahwa alat tersebut
2. Keluhan berat tidak mengganggu upaya pasien
3. Keluhan sedang untuk bernapas.
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan Manajemen Jalan Nafas (3140)
1. Posisikan pasien semi fowler;
2. Motivasi pasien untuk melakukan
batuk efektif;
3. Auskultasi suara nafas,
mendengarkan ada atau tidak ada
adanya suara tambahan;
4. Berikan pendidikan kesehatan
mengenai fisioterapi dada.
Nutrisi: kurang dari Terapi nutrisi (1120)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x... jam klien
kebutuhan tubuh 1. Lengkapi pengkajian nutrisi sesuai
dapat menunjukkan perubahan ditandai dengan:
berhubungan dengan intake kebutuhan
Status nutrisi : Asupan Makanan dan Cairan (1009)
inadekuat sekunder terhadap 2. Monitor asupan makanan harian
No Indikator Skor Skor yang
3. Motivasi klien untuk
mual, muntah, anoreksia. ingin dicapai mengkonsumsi makanan dan
Awal 1 2 3 4 5 minuman yang bernutrisi, tinggi
Asupan √ protein, kalori dan mudah
100801 makanan dikonsumsi serta sesuai kebutuhan
secara oral Monitor nutrisi (1160)
Asupan cairan √ 1. Timbang berat badan pasien
100803 2. Identifikasi penurunan berat badan
secara oral
Asupan cairan √ terakhir
100804 3. Tentukan pola makan
intravena
Keterangan: Terapi menelan (1860)
1: Tidak Adekuat 1. ediakan/gunakan alat bantu sesuai
2: Sedikit Adekuat kebutuhan.
3: Cukup Adekuat 2. Hindari penggunaan sedotan
4: Sebagian Besar Adekuat untuk minum.
5: Sepenuhnya Adekuat 3. Bantu pasien untuk berada pada
Status Menelan (1010) posisi duduk selama 30 menit
Skor yang setelah makan.
Skor 4. Instruksikan klien untuk tidak
No Indikator ingin dicapai
Awal 1 2 3 4 5 berbicara selama makan.
101001 Mempertahankan √ 5. Sedikan perawatan mulut sesuai
makanan di kebutuhan.
mulut
101003 Produksi ludah √
101004 Kemampuan √
mengunyah
101008 Jumlah menelan √
sesuai dengan
ukuran atau
tekstur bolus
101009 Durasi makan √
sesuai dengan
jumlah yang
dikonsumsi
Keterangan:
1: Tidak Adekuat
2: Sedikit Adekuat
3: Cukup Adekuat
4: Sebagian Besar Adekuat
5: Sepenuhnya Adekuat
Kerusakan integritas kulit NOC NIC

Status Kerusakan integritas kulit (00046) Menejemen tekanan


Tujuan 1. Anjurkan pasien untuk
No. Indikator Awal
1 2 3 4 5 menggunakan pakaian yang
Suhu, elastisitas longgar
1. hidrasi dan 3 √ 2. Hindari kerutan pada tempat tidur
sensasi 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap
2. Perfusi jaringan 3 √ bersih dan kering
4. Mobilisasi pasien (ubah posisi
3. Keutuhan kulit 3 √ pasien) setiap 2 jam sekali
Eritema kulit 5. Monitor kulit akan adanya
4. 1 √
sekitar kemerahan
Luka berbau 6. Oleskan lotionatau minyak/baby
5. 3 √
busuk oil pada daerah yang tertekan
6. Granulasi 2 √ 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi
Pembentukan pasien
7. 4 √ 8. Monitor status nutrisi pasien
jaringan parut
8. Penyusutan luka 3 √ 9. Memandikan pasien dengan sabun
Keterangan: dan air hangat

1. Keluhan ekstrime
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan

Mual NOC NIC

Kontrol Mual dan muntah Menejemen mual

No Indikator Awal Tujuan 1. Dorong pasien untuk memantau


pengalaman diri terhadap mual
1 2 3 4 5 2. Bantu pasien untuk belajar
strategi mengatasi mual sendiri
1. Mengenali onset 3  3. Observasi tanda-tanda nonverbal
mual adanya ketidaknyamanan
4. Evaluasi pengalaman masa lalu
2. Mendeskripsikan 3  individu terhadap mual
faktor-faktor
5. Dapatkan riwayat lengkap
penyebab
perawatan sebelumnya
3. Mengendalikan 3  6. Dapatkan riwayat diet seperti
pencetus yang disukai pasien
stimulasi muntah 7. Berikan informasi mengenai
mual
4. Menggunakan 4  8. Dorong penggunaan teknik non
langkah-langkah farmakologi sebelum mual
pencegahan meningkat atau terjadi

5. Menghindari 3 
faktor-faktor
penyebab bila
mungkin

6. Melaporkan 3 
kegagalan
pengobatan
emetik
7. Menggunakan 3 
emetik sesuai
yang dianjurkan

8. Melaporkan efek 3 
samping
penggunaan
emetik

Keterangan:

1. Keluhan ekstrime
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan
Gangguan citra tubuh NOC NIC

Citra tubuh (1200) Peningkatan citra tubuh (5220)


Tujuan
No. Indikator Awal 1. Tentukan harapan citra diri
1 2 3 4 5
pasien didasarkan kepada tahap
Gambaran internal
1. 2 √ perkembangan
diri
2. Gunakan bimbingan antisipasif
2. Kesesuaian antara 2 √
realitas tubuh dan menyiapkan pasien terkait
ideal tubuh dengan perubahan citra tubuh
penampilan tubuh 3. Kaji secara verbal dan nonverbal
Deskripsi bagian respon klien terhadap tubuhnya
3. 2 √
tubuh yang terkena 4. Bantu pasien mendiskusikan
Sikap terhadap perubahan terhadap tubuh akibat
4. menyentuh bagian 2 √ penyakit dan pembedahan
yang kena dampak 5. Bantu pasien mendiskusikan
Sikap terhadap perubahan akibat penuaan yang
strategi untuk tepat
5. 3 √ 6. Ajarkan pada pasien mengenai
meningkatkan
penampilan perubahan normal yang terjadi
Kepuasan dengan dalam tubuh terkait tahap proses
6. 2 √ penuaan
penampilan tubuh
Sikap terhadap 7. Identifikasi dampak dari budaya,
penggunaan strategi agama, ras, jenis kelamin, dan
7. 1 √ usia terkait citra diri
untuk meningkatkan
fungsi tubuh 8. Monitor frekuensi mengkritik
Kepuasan dengan dirinya
8. 2 √ 9. Monitor pernyataan yang
fungsi tubuh
Penyesuaian terhadap mengidentifikasi citra tubuh
9. perubahan 1 √ mengenai ukuran dan berat
penampilan fisik badan
10. Penyesuaian terhadap 2 √ 10. Jelaskan tentang pengobatan,
perawatan, kemajuan dan
perubahan fungsi prognosis penyakit
tubuh 11. Dorong klien mengungkapkan
Penyesuaian terhadap perasaannya
11. perubahan status 2 √ 12. Bantu pasien mengidentifikasi
kesehatan bagian dari tubuhnya yang
Penyesuaian terhadap memiliki persepsi positif
12. perubahan tubuh 3 √ 13. Identifikasi arti pengurangan
akibat cidera melalui pemakaian alat bantu
Penyesuaian terhadap (rambut palsu, kosmetik,
13. perubahan tubuh 3 √ pakaian)
akibat pembedahan 14. Fasilitasi kontak dengan individu
Penyesuaian terhadap lain dalam kelompok kecil
perubahan tubuh 15. Bantu pasien untuk
14. 2 √ mengidentifikasi tindakan-
akibat proses
penuaan tindakan yang akan
Keterangan: meningkatkan penampilan
16. Gunakan latihan membuka diri
1. Tidak pernah positif dengan kelompok
2. Jarang positif
3. Kadang-kadang positif
4. Sering positif
5. Secara konsisten positif
Evaluasi
Merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatam evaluasi ini
adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi
keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan. Perawatan
mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan tercapai:
a) Berhasil: perilaku pasien sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau tanggal
yang ditetapkan di tujuan
b) Tercapai sebagian: pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak sebaik yang
ditentukan dalam pernyataan tujuan
c) Belum tercapai: pasien tidak mampu sama asekali menunjukkan perilaku
yang diharapkan sesuai dengan pernyataan tujuan

Discharge Planning
Pemberian informasi pada klien dan keluarga tentang:
1. Obat: beritahu klien dan kelurga tentang daftar nama obat dosis, waktu
pemberian obat. Jangan mengonsumsi obat-obatan tradisional dan vitamin
tanpa instruksi dokter. Konsumsi obat secara teratur. Jika merasakan ada efek
samping dari obat segera cek ke rumah sakit. Perhatikan aktivitas ketika
selesai meminum obat yang memiliki efek samping mengantuk.
2. Diet: pertahankan diet seperti yang dianjurkan petugas kesehatan seperti
mengkonsusmsi makanan tinggi kalori dan rendah protein. Hal ini
daikarenakan protein dipecah oleh asam amino dengan bantuan enzim
kemudian diproses oleh ginjal. Semakin banyak protein yang dicerna maka
semakin banyak asam amino yng disaring oleh ginjal sehingga membuat
ginjal bekerja lebih berat. Kebutuhan kalori harus dipenuhi guna mencegah
terjadinya pembakaran protein tubuh dan merangsang pengeluaran insulin.
Banyak mengonsumsi makanan rendah natrium dan kalium. Hal ini
disebabkan karena natrium berhubungan dengan peningkatan tekanan darah.
Rendah kalium guna mencegah timbulnya kegawatan jantung karena
hiperkalemia.
3. Latihan: Melatih membuat jantung lebih kuat, menurunkan tekanan darah,
dan membantu membuat klien tetap sehat. Cara terbaik untuk mulai
berolahraga perlahan-lahan dan lakukan lebih berat untuk membuat klien
lebih kuat.
DAFTAR PUSTAKA

Aisara, S., S. Azmi, dan M. Yanni. 2018. Artikel penelitian gambaran klinis
penderita penyakit ginjal kronik yang. Artikel Penelitian. 7(1):42–50.

Akchurin, O. M. 2019. Chronic kidney disease and dietary measures to improve


outcomes. Pediatric Clinics of North America. 66(1):247–267.

Hasneli, Y. 2017. Hubungan lama menjalani hemodialisis dengan inter-dialytic


weight gain ( idwg ) pada pasien hemodialisis long-term relationship in
hemodialysis with inter-dialytic weight gain ( idwg ) on hemodialysis
patients. Jurnal Keperawatan Universitas Padjajaran. 5(3):242–248.

Karam, M. R. A., M. Habibi, dan S. Bouzari. 2019. Urinary tract infection:


pathogenicity, antibiotic resistance and development of effective vaccines
against uropathogenic escherichia coli. Molecular Immunology. 108(69):56–
67.

Long, B. dan A. Koyfman. 2018. The emergency department diagnosis and


management of urinary tract infection. Emergency Medicine Clinics of North
America. 36(4):685–710.

Maw, T. T. dan L. Fried. 2013. Chronic kidney disease in the elderly. Clinics in
Geriatric Medicine. 29(3):611–624.

Moresco, R. N., G. V. Bochi, C. S. Stein, J. A. M. De Carvalho, B. M. Cembranel,


dan Y. S. Bollick. 2018. Urinary kidney injury molecule-1 in renal disease.
Clinica Chimica Acta. 487(February):15–21.

Price, S. A., dan Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.

Registry, R. I. 2018. 10 th report of indonesian renal registry 2017 10 th report of


indonesian renal registry 2017. Kemenkes RI. 1(1)

RI, K. K. 2017. Situasi penyakit ginjal kronis. ISSN 2442-7659

Shafi, T. dan J. Coresh. 2015. Chronic Kidney Disease: Definition, Epidemiology,


Cost, and Outcomes. Edisi 3. Elsevier Inc. Chronic Kidney Disease, Dialysis,
and Transplantation.
Tandogdu, Z., T. Cai, B. Koves, F. Wagenlehner, dan T. E. Bjerklund-Johansen.
2016. Urinary tract infections in immunocompromised patients with diabetes,
chronic kidney disease, and kidney transplant. European Urology Focus.
2(4):394–399.

Anda mungkin juga menyukai