Ginjal menerima darah sekitar 25% dari curah jantung, dengan rata-rata lebih dari
1 liter darah arteri tiap menit. Cabang arteri renalis dari arteri abdominal memasuki
ginjal, dan secara progresif aliran darah sesuai pada gambar. Susunan dari dua
jaringan kapiler secara berurutan di nefron memungkinkan sebagian besar dari
jumlah filtrasi di glomerulus diserap kembali oleh kapiler peritubulus. Kecepatan
filtrasi glomerulus normal adalah 125 ml/menit, namun karena adanya penyerapan
kembali hasil filtrasi kapiler peritubulus hanya sekitar 1 ml urine dari ginjal tiap
menit. Jika tidak ada penyerapan maka tekanan darah tidak dapat dipertahankan.
Bersamaan dengan kapiler lain, keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik
kapiler (hipotesis starling) menentukan pergerakan transkapiler. Selain itu
pembuluh darah vasa rekta memungkinkan pertukaran arus balik dari larutan dan
memungkin perfusi ke medula renalis yang hipertonik tanpa menganggu gradien
konsentrasi osmotik.
Proses Pembentukan Urin
1. Filtrasi Glomerulus
Filtrasi glomerulus dimulai saat arteriol aferen melewati glomerulus.
Membrane semipermeable glomerulus kemudian menyaring darah secara
selektif, menahan sel darah dan protein, membiarkan air dan molekul-molekul
terlarut lewat. Proses ini menghasilkan filtrasi glomeruli yang komposisinya
mirip dengan plasma. Filtrate ini ditampung oleh kapsula bowman.
Dalam filtrasi glomerulus terdapat beberapa gaya yang berperan yaitu
a. Tekanan darah kapiler glomerulus yang memberi efek mendorong filtrasi
b. Tekanan osmotik koloid plasma yang memberi efek melawan filtrasi.
Penurunan protein plasma menurunkan tekanan onkotik sehingga
meningkatkan laju filtrasi glomerulus.
c. Tekanan hidrostatik kapsula bowman yang memberi efek melawan
filtrasi. Apabila terjadi obstruksi pada kandung kemih maka akan
menyebabkan terbendungnya cairan di belakang obstruksi sehingga
meningkatkan tekanan hidrostatik kapsula bowman (Sherwood, 2016).
Akibatnya cairan dari glomerulus tidak dapat masuk ke kapsula bowman.
2. Reabsorbsi Tubulus Proksimal
Reabsorbsi tubulus terjadi secara aktif dan pasif. Beberapa ion seperti klorin
direabsorbsi secara pasif, sedangkan pada natrium dan molekul nutrient seperti
asam amino dan glukosa direabsorbsi secara aktif. Akan tetapi setiap molekul
memiliki jumah maksimum reabsorbsi (Tm). Setiap bahan yang jumlahnya
melewati Tmnya maka tidak akan direabsorbsi dan dikeluarkan bersamaan
dengan urin.
3. Sekresi Tubular
Sekresi tubular ini merupakan penambahan zat-zat asing atau sisa yang sudah
tidak digunakan lagi oleh tubuh. Bahan-bahan penting yang disekresikan oleh
tubulus adalah ion hydrogen, ion kalium, anion dan kation organic dan
senyawa-seyawa asing tubuh (Sherwood, 2016).
B. Ureter
Ureter merupakan saluran yang mengalirkan urin dari duktus pengumpul ke
kandung kemih. Panjang ueter pada oang dewasa biasanya adalah 25-35 cm (Black
& Hawk, 2014). Ureter memanjang secara vertical sepanjang otot polos menuju
pelvis. Secara anatomis ureter memiliki daerah-daerah yang menyempit yaitu sudut
ureteropelvis, pelvis dan sudut ureterovesikal. Tiga lokasi ini berfungsi untuk
mencegah refluks urin ke ginjal. Karena strukturnya yang menyempit
menyebabkan batu biasanya tertahan dan menyebabkan obstruksi di daerah ini
(Black& Hawk, 2014).
C. Kandung Kemih
Kandung kemih adalah organ kosong yang terletak di separuh anterior pelvis, di
belakang simfisis pubis. Kandung kemih terdri dari lapisan epitel transisional
dengan bebeapa kelenjar penyekresi mucus. Kandung kemih juga tersusun dari tiga
lapisan otot yang disebut otot detrusor yang menyebabkan kandung kemih menjadi
organ yang elastis dan kuat. Volume urin yang mampu ditampung oleh kandung
kemih adalah 250-400 ml (Sherwood, 2016).
D. Uretra
Uretra merupakan saluran yang terakhir yang akan mengeluarkan urin. Uretra pada
perempuan biasanya memiliki panjang 4 cm. hal ini menyebabkan perempuan lebih
sering mengalami infeksi saluran kemih dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki
memiliki panjang saluran uretra mencapai 20 cm (Black & Hawk, 2014).
*
Bila pasien adalah perempuan, maka dikalikan 0,85
Penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus sering menjadi penyakit penyerta CKD.
Selain itu terdapat beberapa faktor risiko yang dapat diubah seperti diabetes melitus
tipe 1 dan 2, hipertensi, kolestrol tinggi (menyebabkan clot dalam pembuluh darah dan
arteriosklerosis sehingga timbul neuropati iskemik), penggunaan obat-obatan
penghilang nyeri, reaksi alergi dan antibiotik seperti ibuprofen (advil, motrin),
naproxen (aleve), atau acetaminophen (Tylenol) dalam jangka waktu yang cukup lama
dapat menyebabkan neuropati analgesik, penyalahgunaan obat-obatan terlarang
(kokain, heroin, dll), dan inflamasi (glomerulonefritis).
Sedangkan faktor risiko tidak dapat diubah diantaranya riwayat keluarga dengan
penyakit ginjal, lahir prematur (sekitar 1 dari 5 bayi prematur (kurang dari 32 minggu
gestasi) mempunyai simpanan kalsium di salam nefron ginjal (nefrosianosis), yang
kemudian hari akan berkembang menjadi masalah ginjal), usia (fungsi ginjal menurun
seiring dengan bertambahnya usia. Semakin tua akan semakin beresiko terkena CKD),
trauma (kecelakaan yang dapat merusak fungsi ginjal) dan penyakit-penyakit tertentu
seperti SLE, sickle cell anemia, HIV/AIDS, hepatitis C, kanker, dan CHF.
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain infeksi saluran kemih (pielonefritis
kronis), penyakit peradangan (glomerulonefritis), penyakit vaskuler hipertensif
(nefrosklerosis, stenosis arteri renalis), gangguan jaringan penyambung (SLE,
poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik), penyakit kongenital dan herediter (penyakit
ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal), nefropati toksik, dan nefropati obstruktif (batu
saluran kemih).
VI. Pengkajian
A. Pemeriksaan Fisik
1. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
pasien dari compos mentis sampai coma.
2. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi rate naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat
dan reguler.
3. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau
terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
4. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan
pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
5. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
6. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot
bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada
paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan
pada jantung.
7. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
8. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat
ulkus.
9. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.
10. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat /
uremia, dan terjadi perikarditis.
11. Integritas ego
Kaji faktor stress (finansial dan hubungan), perasaan butuh bantuan, harapan
dan ketidakampuan. Kien mungkin menunjukan penolakan, kecemasan, rasa
takut, kemarahan, dan perubahan perilaku.
12. Keamanan
Gatal pada kulit, frekuensi garukan, riwayat infeksi, perdarahan. Demam
(sepsis, dehidrasi).
B. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan darah
a. BUN: mengukur hasil sisa metabolisme protein dalam hari yang disaring
oleh ginjal dan dieksresikan dalam urin. ESRD terjadi ketika sekitar 90%
dari nefron hilang dan ditandai dengan elevasi BUN.
b. Kreatinin: produk akhir metabolisme otot dan protein, disaring oleh
ginjal dan dieksresikan dalam urin. Bisa cukup tinggi sebelum gejala
CRF hadir. Nyata meningkat pada akhir tahap.
c. GFR: dihitung dari tingkat serum Cr dan disesuaikan dengan rata-rata
luas permukaan tubuh normal. GFR normal yakni sekitar 90 ml/ menit
pada orang dewasa sehat. GFR digunakan untuk tahap gagal ginjal.
Gejalanya biasanya absen sampai GFR turun di bawah 60 (tahap II).
Klien CRF berat dengan GFR antara 15 dan 29 (tahap IV dan V) yakni
calon dialysis atau transplantasi.
d. Complete Blood Count (CBC): tes yang mencakup Hb, Ht, jumlah,
morfologi, indeks dan indeks distribusi lebar eritrosit, jumlah dan ukuran
trombosit, jumlah dan diferensial sel darah putih. Hb menurun karena
anemia, biasanya kurang dari 7 sampai 8 g/ dL. Anemia berkembang dari
penurunan sintesis ginjal erythropoietin, hormon yang bertanggung
jawab untuk stimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah
merah.
e. Arterial Blood Gas (ABG): menentukan pH dan persentase oksigen,
karbondioksida dan bikarbonat dalam arteri darah. Penurunan pH,
asidosis metabolic (kurang dari 7,2) terjadi karena hilangnya
kemampuan ginjal untuk mengeluarkan hydrogen dan ammonia atau
produk akhir katabolisme protein. Bikarbonat dan PCO2 menurun.
f. Elektrolit
- Sodium: membantu untuk mengevaluasi status hidrasi dan
perkembangan gagal ginjal. Nilainya mungkin rendah jika ginjal
“limbah natrium” atau normal yang mencerminkan keadaan
pengenceran natrium.
- Potasium: fluktuasi kadar ini dapat mengancam jiwa,
mempengaruhi pilihan terapi. Peningkatan yang berhubungan
dengan retensi, dengan penurunan GFR di bawah 20 sampai 25
mL/ menit, pergeseran seluler (asidosis), atau pelepasan jaringan
(hemolysis sel darah merah).
- Fosfor: memiliki dampak langsung pada fungsi paratiroid dan
kesehatan tulang. GFR menurun, fosfat kurang disaring dan
dikeluarkan; namun kadar serum dapat tetap normal pada awalnya
karena peningkatan hormon paratiroid dan peningkatan sekresi
terkait dengan ekskresi ginjal fosfor.
- Kalsium: penting dalam mekanisme umpan balik untuk
menghambat sintesis PTH dan pergantian tulang rangka.
g. Protein: mengevaluasi status gizi dan memprediksi kematian pada klien
yang menerima dialysis. Penurunan level serum mungkin mencerminkan
hilangnya protein melalui urin, penurunan asupan, atau penurunan
sintesis karena malnutrisi.
h. Osmolaritas serum: mengukur jumlah bahan kimia terlarut dalam serum.
Ginjal mengeksresikan atau menyerap air untuk menjaga osmolaritas di
kisaran 285-295 mOsm/ kg. Bahan kimia yang mempengaruhi
osmolaritas serum termasuk natrium, klorida, bikarbonat, protein, dan
glukosa.
Lebih tinggi dari 285 mOsm/ kg, sering sama dengan urin.
2. Urin
a. Volume: merefleksikan penurunan fungsi ginjal. Biasanya kurang dari
400 mL/24 jam (oliguria) atau urin tidak ada (anuria).
b. Warna: perubahan warna atau kejelasan mengindikasikan
berkembangnya komplikasi.
c. Specific gravity: mengukur kepadatan urin dibandingkan dengan air,
dengan kisaran normal 1,005-1,030.
d. Protein (albuminaria): tes dipstick digunakan sebagai alat skrining
untuk mendeteksi cedera glomerulus yang telah menyebabkan
glomeruli kehilangan permeabilitas selektif dan kebocoran protein,
khususnya albumin, yang diekskresikan dalam urin.
e. Total protein Cr (albumin Cr) ratio: Spot pengumpulan urin rasio total
protein-kreatinin.
f. Osmolaritas: mengukur rasio air dan zat terlarut seperti elektrolit, asam,
dan limbah metabolic lainnya yang diproses oleh ginjal dan
dieksresikan dalam urin. Ketika cairan tubuh seimbang, osmolaritas
urin yang normal adalah kisaran 300-900 mOsm/ kg. Kurang dari 350
mOsm/kg merupakan indikasi kerusakan tubular, dan rasio urin/serum
sering 1:1.
g. Cr clearance: menghitung GFR dengan mengukur Cr yang dibersihkan
dari darah dan disaring ke dalam urin dalam 24 jam.
3. Pemeriksaan lain
a. Ultrasound ginjal: teknik pencitraan yang menggunakan frekuensi
tinggi gelombang suara dan computer untuk membuat gambar
pembuluh darah, jaringan dan organ.
b. CT scan: menghasilkan gambar rinci tentang penampang tubuh. Dapat
menunjukkan gangguan pembuluh dan massa ginjal.
c. Biopsi ginjal: biopsy umumnya ditunjukkan ketika gangguan ginjal
atau proteinuria mendekati kisaran adanya nefrotik dan diagnosis masih
belum jelas.
d. EKG: mencerminkan elektrolit dan keseimbangan asam-basa.
Timbang berat badan tiap hari Penimbangan berat badan harian adalah
dengan alat dan pakaian yang sama pengawasan status cairan terbaik.
Peningkatan berat badan lebih dari 0,5
kg/hari diduga adanya retensi cairan.
Kaji kulit, wajah, area tergantung Edema terjadi terutama pada jaringan
untuk edema. Evaluasi derajat edema yang tergantung pada tubuh, contoh
(pada skala +1 sampai +4) tangan, kaki, area lumbosakral. BB
pasien dapat meningkat sampai 4,5 kg
cairan sebelum edema pitting
terdeteksi. Edema periorbital dapat
menunjukkan tanda perpindahan cairan
ini, karena jaringan rapuh ini terdistensi
oleh akumulasi cairan walaupun
minimal.
Kolaborasi
Perbaiki penyebab yang dapat Mampu mengembalikan ke fungsi
kembali, contoh memperbaiki normal dari disfungsi ginjal atau
perfusi ginjal, memaksimalkan curah membatasi efek residu.
jantung, menghilangkan obstruksi
melalui pembedahan
Kolaborasi
Awasi pemeriksaan
laboratorium, contoh:
Elektrolit (kalium, natrium, Ketidakseimbangan dapat menganggu
kalsium, magnesium), konduksi elektrikal dan fungsi jantung.
BUN
Foto dada Berguna dalam mengidentifikasi
terjadinya gagal jatung atau kalsifiksi
jaringan lunak.
Kolaborasi
Awasi pemeriksaan Indikator kebutuhan nutrisi, pembatasan,
laboratorium, contoh BUN, dan kebutuhan efektivitas terapi.
albumin serum, transferin,
natrium, dan kalium
Konsul dengan ahli gizi/tim Menentukan kalori individu dan
pendukung nutrisi lebutuhan nutrisi dalam pembatasan, dan
mengidentifikasi rute paling efektif dan
produknya, contoh tambahan oral,
makanan selang, hiperalimentasi.
DAFTAR PUSTAKA
Black, J.M., and Hawks, J.H. (2014). Medical Surgical Nursing Clinical Management For
Positive Outcomes Volume 3 (8th Ed). Elvesier: St.Louis Missouri.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., Murr, A. C. (2010). Nursing care plans: Guidelines for
individualizing client care across the life span. Philadelphia: F. A. Davis Company.
Sherwood, L. (2016). Human Physiology, From Cells to Systems. Ninth Edition. USA:
Cengage Learning.
Saladin, Kenneth S. (2014). Anatomy & Physiology: The Unity of Form And Function. New
York: McGraw-Hill Education.
Silverthron DU. Human physiologi. 5th ed. US: Pearson Education, Inc; 2010
Smeltzer, S.C., & Bare, B. G. (2010). Brunner & Suddarth's textbook of medical-surgical
nursing volume 1. Philladelphia: Lippincots Willian & Wilkins.
Tortora & Derickson. (2012). Principle of Anatomy and Physiology 13th Edition. United States
: John Wiley & Sons Inc.
Wilkinson J.M. & Ahern N.R. (2012). Buku saku diagnosis keperawatan: Diagnosis NANDA
Internensi NIC Kriteria Hasil NOC (Edisi 9). Jakarta: EGC.