Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE dan TERAPI PENGGANTI GINJAL

MUHAMMAD FARHAN RAMADHAN


30140121012

PROGRAM DIPLOMA TIGA KEPERAWATAN

FAKULTAS VOKASI, UNIVERSITAS SANTO BORROMEUS

2023
BAB I
KONSEP DASAR PIELONEFRITIS KRONIS

1.1 Definisi Pielonefritis Kronis


Pielonefritis didefinisikan sebagai peradangan pada parenkim ginjal dan berasal dari
kata Yunani 'pyelo'(panggul), 'nefros' (ginjal) dan 'itis' (peradangan). Penyakit ini bisa
bersifat akut dan ditandai dengan gambaran peradangan dan kadang-kadang disertai trias
demam, nyeri sudut kostovertebral, dan mual (atau muntah). Penyakit ini juga dapat muncul
sebagai Pielonefritis Kronis yang bermanifestasi dengan episode akut berulang atau terjadi
secara diam-diam selama beberapa tahun dan hanya ditemukan sebagai penyakit ginjal
stadium akhir. Istilah pielonefritis kronis mencakup varian yang tidak ditentukan seperti
pielonefritis xanthogranulomatous dan pielonefritis emfisematous (Ademola et al., 2020).
Di seluruh dunia, Pielonefritis Kronis menyumbang sekitar 4% –6% pasien yang
memerlukan dialisis untuk penyakit ginjal stadium akhir. Meskipun data kejadian dan
prevalensi penyakit ini sedikit, literatur yang tersedia memperkirakan bahwa Pielonefritis
Kronis terjadi pada tingkat sekitar 1–2/1000 perempuan dan di bawah 0,5/1000 laki-laki
(Ademola et al., 2020)
Chronic pyelonephritis (CP) atau pielonefritis kronik dikarakteristikkan sebagai
inflamasi interstisial kronik akibat infeksi ginjal berulang yang menyebabkan terjadinya
pembentukan jaringan parut (scarring), atrofi ginjal, serta destruksi dari nefron, yang pada
akhirnya menyebabkan insufisiensi renal. Gejala pielonefritis pada CP biasanya tidak muncul
tanpa adanya insufisiensi renal dan biasanya bersifat asimtomatik di awal perjalanan
penyakit, ssehingga diagnosisnya ditegakkan berdasarkan pemeriksaan radiologis atau
patologis daripada presentasi klinis. Meskipun pasien CP umumnya tidak memiliki gejala,
kebanyakan pasien dapat memiliki riwayat infeksi saluran kemih berulang. Pemeriksaan
penunjang dapat mulai diinisiasi apabila telah muncul gejala komplikasi yang berhubungan
dengan insufisiensi renal seperti hipertensi, gangguan penglihatan, nyeri kepala, fatigue, dan
polyuria (Hamzah, 2022).
Temuan radiologis yang khas pada pielonefritis kronis adalah bekas luka fokal di daerah
kutub ginjal dengan distorsi kalises, dilatasi panggul, dan atrofi global yang disebabkan oleh
berkurangnya pertumbuhan ginjal akibat penyakit kronis; hipertrofi kompensasi ginjal
kontralateral sering terjadi. Diagnosis banding pielonefritis kronis meliputi lobulasi janin dan
infark lobar. Lobari janin digambarkan seperti cekungan yang terletak di antara kaliks dan
bukan di atasnya, sedangkan infark lobar dapat dibedakan karena keterlibatan kortikal yang
khas dengan hematnya kaliks (Vernuccio et al., 2020).

1.2 Anatomi Fisiologi


Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium (retroperitoneal),
didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus abdominis, kuadratus
lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior) ginjal
terdapat kelenjaradrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar
vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7
cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal
kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram.

Ginjal Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke dalam.
Jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada
umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal kanan biasanya
terletak sedikit ke bawah dibandingkan ginjal kiri untuk memberi tempat lobus hepatis
dexter yang besar. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang
tebal. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal)
yang membantu meredam guncangan. Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang
disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap,
dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex.
Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi
menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis. Hilum adalah
pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh
limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima urin yang
diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis majores yang masing-masing
akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis minores. Medulla terbagi menjadi
bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian
korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau
apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan
bagian terminal dari banyak duktus pengumpul.
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada
tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman,
tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus
kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus pengumpul. (Price, 1995) Unit nephron
dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan disebut Glomerulus,
darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentuk filtrat (urin
yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui
pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter, kandung
kencing, kemudian ke luar melalui Uretra. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat
terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian
mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan
lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme
pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin
(Administrator, 2015).
Fisiologi Ginjal
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak (sangat vaskuler)
tugasnya memang pada dasarnya adalah “menyaring/membersihkan” darah. Aliran darah ke
ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan
filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam
Tubulus sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.
Fungsi Ginjal
Fungsi ginjal adalah
a) memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun,
b) mempertahankan keseimbangan cairan tubuh,
c) mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan
d) mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.
e) Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang.
f) Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah.
g) Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah merah
(Administrator, 2015).
Pembentukan Urine
1) Filtrasi Glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler
tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel terhadap protein
plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti
elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal
Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar
seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula
bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate).
Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari
perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula bowman’s,
tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan
ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan
osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan
koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.
2) Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan
air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi
zat-zat yang sudah difiltrasi.
3) Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui
tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah
dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh
termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen. Pada tubulus distalis, transfor aktif
natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium
tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan
tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular “perjalanannya
kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus
disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi
cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang
pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa
hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti
mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada
awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara
theurapeutik (Administrator, 2015).

1.3 Etiologi
Pielonefritis kronis adalah akibat dari pielonefritis akut yang berulang atau tidak diobati.
Etiologi yang mendasari paling sering adalah kelainan struktural seperti kelainan kongenital
pada ginjal dan saluran kemih, yang terlihat pada anak-anak, yang mungkin unilateral atau
bilateral, atau obstruksi didapat seperti yang terlihat pada batu, hipertrofi prostat,
limfadenopati atau fibrosis retroperitoneal, atau kandung kemih neurogenik. E. coli tetap
menjadi agen etiologi yang paling umum, seperti pada pielonefritis akut (Fogo et al., 2016).
Pielonefritis kronis dikaitkan dengan jaringan parut ginjal yang progresif, yang dapat
menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir Misalnya, pada refluks nefropati, refluks
intrarenal dari urin yang terinfeksi diduga menyebabkan cedera ginjal, yang kemudian
sembuh dengan pembentukan bekas luka. Dalam beberapa kasus, bekas luka dapat terbentuk
di dalam rahim pada pasien dengan displasia ginjal dengan kelainan perfusi. Infeksi tanpa
refluks cenderung menyebabkan cedera. Displasia juga dapat disebabkan oleh obstruksi.
Bekas luka akibat refluks tekanan tinggi dapat terjadi pada orang-orang dari segala usia.
Dalam beberapa kasus, pertumbuhan normal dapat menyebabkan penghentian refluks secara
spontan pada usia 6 tahun (Lohr et al., 2023).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi patogenesis pielonefritis kronis adalah sebagai
berikut: (1) jenis kelamin pasien dan aktivitas seksualnya; (2) kehamilan, yang dapat
menyebabkan kerusakan ginjal yang progresif dan hilangnya fungsi ginjal; (3) faktor genetik;
(4) faktor virulensi bakteri; dan (5) disfungsi kandung kemih neurogenik. Dalam kasus
obstruksi, ginjal mungkin terisi rongga abses (Lohr et al., 2023).

1.4 Patofisiologi
Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra. Flora
normal fekal seperti Eschericia coli, Streptococus fecalis, Pseudomonas aeruginosa, dan
Staphilococus aureus adalah bakteri paling umum yang menyebabkan pielonefritis akut. E.
Coli menyebabkan sekitar 85% infeksi. Organisme juga dapat sampai ke ginjal melalui aliran
darah atau aliran getah bening, tetapi cara ini jarang sekali terjadi. Obstruksi aliran kemih dan
refluks vesikoureter dapat menjadi faktor predisposisi dalam perkembangan infeksi saluran
kemih. Obstruksi saluran kemih dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam
pelvis ginjal dan ureter. Hal tersebut dapat mengakibatkan atrofi pada parenkim ginjal, di
samping itu obstruksi yang terjadi di bawah kandung kemih sering disertai refluks
vesikoureter dan infeksi pada ginjal. Aliran balik (refluks) dari kemih yang terinfeksi
memasuki parenkim ginjal mengakibatkan terjadinya jaringan parut ginjal (Price & WIlson,
2013)
Bakteri dari saluran kemih bagian bawah ke arah ginjal, hal ini akan mempengaruhi
fungsi ginjal. Abses dapat di jumpai pada kapsul ginjal dan pada taut kortikomedularis. Pada
akhirnya, atrofi dan kerusakan tubulus serta glomerulus terjadi. Kerusakan pada ginjal akan
menyebabkan meregangnya kapsul ginjal (dipersarafi medulla spinalis segmen Thorakal 11
sampai Lumbal 2) yang menimbulkan rasa nyeri disekitar bagian pinggang atau flank pain
(Snell, 2006).
Demam terjadi diawali oleh adanya infeksi atau invasi mikroorganisme (misalnya bakteri
atau virus) ke dalam tubuh hingga ke sistema peredaran darah. Keberadaan mikroorganisme
dalam tubuh memacu aktivasi makrofag yang merupakan usaha pertahanan tubuh terhadap
masuknya benda asing. Makrofag kemudian menghasilkan suatu zat kimia, pyrogen endogen,
yang nantinya akan melepaskan prostaglandin di hypothalamus. Peningkatan jumlah
prostaglandin ini mengubah set point suhu normal tubuh yang diatur oleh hypothalamus
sebagai thermoregulator menjadi lebih tinggi daripada normal (Sherwood, 2013).

PATHWAY PIELONEFRITIS

Penyebab Adanya Refluksi Penurunan


Kehamilan
(Bakteri Obstruksi Vesikoureter Imunitas
E.Coli)

Penekanan pada
Masuk Ke Terjadi Inflamasi Membawa urin Tubuh rentang
vesika dan
uretera dan bakteri dari terinfeksi
saluran kemih
kandung kemih
Kuman kembali ke ginjal
Terjadi Inflamasi menempel dan Bakteri
berkolonisasi berkembang
biark
Bakteri Resisten

Kuman
mengendap di
Penyebaran
diindin saluran
secara assenden
kemih

PIELONEFRITIS

Aktivitas Makrofag Menekan saraf vagus Reaksi Inflamasi Gangguan


Fungsi Ginjal

Makrofag Mual, muntah Iritasi Saluran


menghasilkan Kemih Hematuria,
pyrogen endogen disuria, piura

Nafsu makan turun


Ginjal Membesar
Melepaskan MK : Gangguan
prostaglandin di Eliminasi Urin
hyopothalamus MK : MK : Ketidak
Kekurangan seimbangan MK : Nyeri
Volume Nutrisi Kurang
Peningkatan Cairan dari Keburuhan
jumlah
prostaglandin
Demam MK : Hipertermi

1.5 Tanda dan Gejala


Pielonefritis kronis tidak menunjukkan gejala pada tahap awal. Gejala umum yang
ditimbulkan mirip dengan infeksi ginjal atau penyakit ginjal kronis, seperti:
- Rasa panas saat buang air kecil
- Sulit buang air kecil,
- Nyeri panggul (di salah satu sisi ginjal yang terkena) atau nyeri punggung dan perut,
- Ingin buang air kecil di malam hari
- Riwayat ISK kambuhan sejak kecil
- Pergelangan kaki bengkak
- Lelah, letih,
- Gatal, Demam tinggi, menggigil, dan nyeri flank tanpa adanya simtom lower urinary tract
infections (LUTIs)
Anak-anak dengan Pielonefritis kronis juga dapat gejala-gejala berikut :
- Demam, Mual, Kelesuan, Gagal tumbuh,
- Tekanan darah tinggi,
- Nyeri pada bagian samping tubuh
Jika Pielonefritis Kronis telah berkembang ke tahap akhir, pasien akan mengalami
insufisiensi ginjal dan hipertensi (Jeannette, 2022).

1.6 Komplikasi
Pielonefritis kronis bilateral yang parah menyebabkan hipertensi arteri, anemia, dan gejala
uremia (Manski, 2023). Sekitar 5% hingga 6% anak-anak dengan pielonefritis kronis akibat
refluks vesikoureteral mengalami komplikasi jangka panjang seperti hipertensi, dan sekitar
2% dapat berkembang menjadi gagal ginjal. Sebaliknya, pielonefritis kronis dapat
menyebabkan 20% penyakit ginjal stadium akhir yang terjadi pada anak-anak (Fogo et al.,
2016) Komplikasi pielonefritis kronis juga dapat mencakup hal-hal berikut :
- Proteinuria, Glomerulosklerosis fokal
- Jaringan parut ginjal progresif yang menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir
- Pielonefritis Xanthogranulomatous (XPN), Dapat terjadi pada sekitar 8,2% kasus dan
pada 25% pasien dengan pionefrosi
- Pionefrosis, dapat terjadi pada kasus obstruksi
- Jaringan parut ginjal progresif (refluks nefropati) (Lohr et al., 2023).

1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Urinalisis
Test dipstick urine, urinalisis mikroskopis, atau keduanya umumnya digunakan dalam
mendiagnosis ISK, termasuk pielonefritis akut. Sebagian besar wanita dengan
pielonefritis kut telah menandai piuria atau tes leukosit positif esterase, yang sering
disertai dengan hematuria mikroskopis atau tes dipstick heme positif. Sebaliknya,
hematuria berat jarang terjadi pada pasien dengan pielonefritis akut dan lebih sering
terjadi pada pasien dengan sistitis akut tanpa komplikasi. Kehadiran gips sel darah putih
menunjukkan piuria yang berasal dari ginjal, mendukung diagnosis pielonefritis akut,
tetapi gips jarang terlihat.
2. Kultur Urin
Semua pasien dengan dugaan pielonefritis akut harus dilakukan kultur urin dan uji
kepekaan antimikroba sebagai acuan dalam pemilihan regimen antibiotik yang sesuai dan
pemilihan terapi oral bertahap untuk pasien yang diobati dengan intravena. Spesimen urin
yang biasa digunakan adalah urin porsi tengah (VB2). Lebih dari 95 wanita dengan
pielonefritis akut uncomlicated akan memiliki lebih dari 105 unit pembentuk koloni
organisme gram negatif tunggal per mL urin.
3. Radiologi
Sebagian besar wanita dengan pielonefritis akut tidak memerlukan studi pencitraan
kecuali gejala tidak membaik atau ada kekambuhan. Tujuan pencitraan adalah untuk
mengidentifikasi kelainan struktural yang mendasari, seperti obstruksi okultisme dari
batu atau abses. Meskipun ultrasonografi ginjal dan pencitraan resonansi magnetik
kadangkadang digunakan, computed tomography dengan media kontras dianggap sebagai
modalitas pencitraan pilihan untuk wanita tidak hamil. Tomografi abdominal dengan
media kontras intravena pada pasien dengan pielonefritis akut menunjukkan abses
perinefrik kanan yang besar yang diidentifikasi dengan panah (Hamzah, 2022).

1.8 Penatalaksanaan
Pengobatan pada pielonefritis kronis adalah terapi antibiotik pada infeksi saluran kemih
dan pengobatan semua faktor risiko yang disebutkan di atas (refluks vesikoureteral, disfungsi
kandung kemih neurogenik, hipertensi arteri). Pertimbangkan pengobatan antibiotik jangka
panjang dosis rendah dengan nitrofurantoin, trimetoprim, atau sefalosporin oral. Indikasi
nefroureterektomi: untuk pielonefritis kronis satu sisi dengan disfungsi organ parah untuk
mengendalikan infeksi saluran kemih berulang atau hipertensi arteri (Manski, 2023).
Terdapat tiga pilar penatalaksanaan pyelonephritis, yaitu terapi suportif meliputi
resusitasi cairan dan obat simtomatik, terapi antimikroba yang bergantung pada kemungkinan
organisme penyebab, dan kontrol sumber yang dievaluasi 24-48 jam setelah terapi (Anggitha,
2023).

Perawatan Gawat Darurat dan Indikasi Rawat Inap


Pada pasien yang telah terdiagnosis pyelonephritis akut, perlu dilakukan pemeriksaan
apakah terdapat indikasi klinis untuk rawat inap segera, seperti keadaan sepsis atau syok
sepsis, hemodinamik tidak stabil, pasien imunokompromis, pasien hamil, atau tidak
ada pemilihan antibiotik oral yang sesuai.
Pada kasus pasien yang datang dengan keadaan sepsis, diperlukan resusitasi cairan yang
agresif (30 ml/kgBB kristaloid isotonik seperti cairan salin normal dalam waktu 3 jam) serta
pemberian antibiotik empiris yang disesuaikan dengan kondisi pasien.
Apabila tidak terdapat indikasi klinis untuk rawat inap segera, lakukan observasi di unit
gawat darurat selama 24 jam. Pasien yang mengalami mual muntah yang persisten,
dehidrasi, instabilitas hemodinamik, atau pasien merasa sangat sakit, pasien harus dirawat
inap. Namun, jika terdapat perbaikan klinis setelah penanganan di unit gawat darurat, pasien
dapat dipulangkan dengan peresepan antibiotik oral dengan obat simptomatik sesuai dengan
keluhan. Pasien rawat inap yang telah mengalami perbaikan klinis dalam waktu 3 hari dan
dapat mengonsumsi obat per oral, pasien dapat dipulangkan (Anggitha, 2023).

Terapi Suportif
Obat-obatan simtomatik berupa antipiretik, analgesik, dan antiemetik dapat digunakan
sesuai gejala yang ada. Pada pasien yang terdapat demam dan nyeri dapat
diberikan paracetamol atau obat-obatan antiinflamasi nonsteroid seperti ibuprofen dan
diklofenak. Pemberian omeprazole dan domperidone dapat membantu mengurangi keluhan
mual dan muntah.
Apabila intake oral pasien kurang baik, hidrasi intravena diperlukan. pada keadaan ini, dapat
diberikan cairan intravena 1 L dekstrose 5% untuk mencegah atau mengatasi ketosis. Setelah
itu dapat dilanjutkan dengan pemberian cairan salin normal (Anggitha, 2023).

Terapi Antimikroba
Pemilihan antimikroba bergantung pada kemungkinan organisme penyebab dan resistensi
mikroba berdasarkan data epidemiologis dan faktor risiko individual (Anggitha, 2023).

Terapi Hemodialisa

Terapi hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air,
natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi
permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses
difusi, osmosis dan ultra filtrasi. Hemodialisa merupakan sebuah metode untuk membuang sisa-
sisa metabolisme tubuh yang tidak terpakai dari dalam darah pada kondisi tertentu seperti
penurunan fungsi ginjal hingga gagal ginjal akut maupun kronis. Terapi pengganti ginjal dengan
hemodialisa menggunakan mesin hemodialisis dan dialiser. Dialisis dilakukan secara intermitten
yaitu antara 4-6 jam/kali, 3 sampai 6 kali/minggu. Efek yang kurang menguntungkan dari
hemodialisa adalah hemodinamik yang tidak stabil. Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani
hemodialisa, seringkali mengalami hipotensi atau gangguan hemodinamik lainnya setelah
hemodialisa berlangsung.[33-35]
 Contoh Gambar terapi hemodialisa

tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :


1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme
dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.\

2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan
sebagai urin saat ginjal sehat.

3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.

4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

Frekuensi Hemodialisa, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, tetapi sebagian
besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3 kali/minggu. Program dialisa dikatakan berhasil
jika:
1 ) Penderita kembali menjalani hidup normal.
2 ) Penderita kembali menjalani diet yang normal.
3 ) Jumlah sel darah merah dapat ditoleransi.
4 ) Tekanan darah normal.
5 ) Tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif
Dialisa bisa digunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal ginjal kronis atau sebagai
pengobatan sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal. Pada gagal ginjal akut,
dialisa dilakukan hanya selama beberapa hari atau beberapa minggu, sampai fungsi ginjal
kembali normal.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian Keperawatan
1) Identitas
Anak wanita dan wanita dewasa mempunyai insidens infeksi saluran kemih yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pria. Hal ini dikarenakan posisi anatomis dan uretra wanita
serta secara anatomis uretra wanita lebih pendek.
2) Status kesehatan saat ini
a. KeluhanUtama
Biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri punggung dibawah dandisuria
b. Alasan Masuk RumahSakit
Pasien mengalami nyeri punggung dibawah dan disuria.
c. RiwayatPenyakitSekarang
Masuknya bakteri ke kandung kemih sehingga menyebabkan infeksi.
3) Riwayat kesehatan terdahulu
a. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pada pielonefritis kronis, kemungkinan merupakan berkelanjutan dari pielonefritis
akut.
b. Riwayat Penyakit Keluarga
ISK bukanlah penyakit yang bisa diturunkan melalui genetik.
4) Riwayat Pengobatan
Penggunaan antibiotik, antikolinergik, dan antispasmodic.
5) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
1) Kesadaran
Pada pasien pielonefritis kesadaran komposmentis, nadi lemah serta nyeri panggul
disertai disuria sehingga pasien mengalami keterbatasan aktivitas.
 Tanda-tanda vital
TD : meningkat yang merupakan dampak dari edema
Nadi : normal/meningkat
Respirasi : normal/meningkat
Temperatur : meningkat dampak dari proses inflamasi.
2) Body system
 System pernafasan
Pada pemeriksaan sistem pernafasan biasanya terjadi dyspnoe akibat
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan, orthopnoe, suara pasien
abnormal (rales atau crakles).
 Sistem kardiovaskuler
Pada pemeriksaan sistem kardiovaskuler biasanya pasien mengalami sakit sakit
kepala, timbul hipertensi, dan terjadi perubahan frekuensi jantung bersuara S III.
 System persarafan
Pada pemeriksaan sistem persarafan biasanya terjadi penurunan kesadaran,
disfungsi serebral seperti hambatan untuk berpikir dan penurunan interaksi
dengan orang maupun lingkungan sekitarnya.
 Sistem perkemihan
Pada sistem perkemihan biasanya pasien akan mengalami oliguria sampai dengan
anuria.
 Sistem pencernaan
Pada pemeriksaan sistem pencernaan pasien biasanya mengalami penurunan
selera makan karena nyeri yang terjadi pada bagian CVA.
 Sistem integument
Pada pemeriksaan sistem integument pasien biasanya tampak pucat dan turgor
kulitnya buruk akibat dehidrasi serta ketidakmampuan atau penurunan untuk
berkeringat.
 Sistem muskuloskletal
Pada pemeriksaan sistem muskuloskletal biasanya pasien mengalami nyeri
didaerah costovertebral.
 Sistem endokrin
Tidak ada gangguan dalam sistem endokrin karena penyakit ini hanya menyerang
sistem perkemihan.
 Sistem reproduksi
Tidak ada gangguan dalam sistem reproduksi karena penyakit ini hanya
berhubungan dengan ginjal dan sistem perkemihan.
 Sistem pengindraan
Pada pasien pielonefritis terjadi dilatasi pupil, mata kurang bercahaya karena
disebabkan rasa nyeri.
 Sistem imun
Tidak ada gangguan dalam sistem imun karena pada penyakit ini disebabkan oleh
bakteri yang membantu proses pencernaan manusia dan tidak berkaitan dengan
sistem imun dalam tubuh manusia .
(Prabowo & Pranata, 2014; TOTO, 2009)

2.2 Diagnosis Keperawatan


Menurut (PPNI, 2018a) diagnosa keperawatan pielonefritis kronis yang muncul
antara lain :
1) Nyeri Kronis (D.0078)
Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat dan konstan, yang berlangsung lebih dari 3 bulan.
Batasan Karakteristik :.Penekanan saraf, infeksi saluran kemih
Faktor yang berhubungan : mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah, tidak mampu
menuntaskan aktivitas
2) Hipertermi (D. 0013)
Definisi : Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal tubuh
Batasan Karakteristik : Proses penyakit (mis. infeksi, kanker)
Faktor berhubungan : Takikardi, kulit terasa panas, dehidrasi.
3) Gangguan Eliminasi Urin (D. 0040)
Definisi : Disfungsi eliminasi urin
Batas Karakteristik: Hematuria, disuria, piura
Faktor yang berhubungan : obstruksi anatomi, Gangguan sensorik, infeksi saluran kemih
2.3 Intervensi Keperawatan (PPNI, 2018b, 2018c)
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1. Nyeri Kronis Setelah dilakukan 1. Observasi Observasi
tindakan keperawatan a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, a) Untuk mengetahui lokasi nyeri
selama 3 x 24 jam, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan skala yang muncul saat
diharapkan tingkat nyeri b) Identifikasi skala nyeri nyeri
menurun, dengan criteria c) Identifikasi respon nyeri secara verbal b) untuk mengetahui seberapakah
hasil : d) Identifikasi faktor yang memperberat dan rasa nyeri yang dialami oleh
1. Keluhan nyeri memperingan nyeri pasien.
menurun e) Monitor keberhasilan terapi c) Untuk mengetahui mimik wajah
2. Meringis, gelisah, komplementer yang sudah diberikan yang diperlihatkan pasien saat
kesulitan tidur 2. Terapeutik nyeri muncul.
menurun a) Berikan teknik non farmakologis untuk d) Untuk mengetahui apa saja yang
3. Fungsi berkemih mengurangi rasa nyeri (terapi musik, dan memperburuk dan memperingan
membaik relaksasi napas dalam) keadaan nyerinya
4. Frekuensi nadi b) Fasilitasi istirahat dan tidur Terapeutik
membaik 3. Edukasi a) Untuk mengurangi rasa nyeri
5. Pola napas dan a) Jelaskan penyebab, periode dan penyebab yang dirasakan pasien dan
tekanan dara nyeri memberikan kenyamanan.
membaik b) Jelaskan strategi meredakan nyer b) Untuk mengurangi rasa nyeri
c) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri yang dirasakan pasien.
d) Anjurkan menggunakan analgetik secara Edukasi
tepat a) Untuk memberikan pemahaman
4. Kolaborasi Kolaborasi pemberian obat agar pasien tidak gelisah saat
nyeri timbul
Kolaborasi
a) Untuk membantu proses
penyembuhan pasien pasca
operasi/untuk mengurangi nyeri
2. Hipertemia Setelah dilakukan 1. Observasi Observasi
tindakan keperawatan a) Identifikasi penyebab hipertermia (mis. a) Untuk mengetahui status
selama 3 x 24 jam, Dehidrasi, terpapar lingkungan panas, hipertermia
diharapkan suhu tubuh penggunaan incubator). b) Agar tidak terjadi dehidrasi
tetap dalam batas normal, b) Monitor suhu tubuh. c) Untuk mengetahui adakah
dengan criteria hasil : c) Monitor komplikasi akibat hipertermia. komplikasi dari demam yang
1. Mengigil menurun 2. Terapeutik timbul
2. Takikardi menurun a) Kompres pasien pada lipat paha dan Terapeutik
3. Suhu tubuh membaik aksila a) Untuk membantu menurunkan
4. Suhu kulit membaik b) Berikan anti piretik suhu tubuh melalui proses
5. Kadar glukosa darah 3. Edukasi evaporasi
membaik a) Anjurkan tirah baring b) Untuk mengatai penyebab
6. Tekanan darah 4. Kolaborasi terjadinya demam akibat
membaik Kolaborasi pemberian cairan dan elekrolit bakteri
intravena, jika perlu c) Untuk mencegah komplikasi
perforasi usus atau perdarahan
usus.
Kolaborasi
a) Untuk mencegah terjadinya
dehidrasi dan syok
3. Gangguan Setelah dilakukan 1. Observasi Observasi
Eliminasi Urin tindakan keperawatan a) Identifikasi tanda dan gejala retensi atau a) Untuk mengetahui masalah
selama 3 x 24 jam, inkontinensia urin yang terjadi pada pasien
diharapkan pengosongan b) Monitor eliminasi urin (mis. Frekuensi, b) Mengetahui karakteristik dari
kandung kemih lengkap, konsistensi, aroma, volume, dan warna. urin
dengan criteria hasil : 2. Terapeutik Terapeutik
1. Sensasi berkemih a) Catat waktu-waktu dan haluaran Mengetahui jadwal waktu
meningkat berkemih. berkemih dari pasien
2. Berkemih tidak tuntas 3. Edukasi . Edukasi
menurun a) Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran a) Memberikan informasi kepada
3. Disuria menurun kemih pasien terkait masalah yang
4. Distensi kandung b) Ajarkan minum yang cukup, jika tidak dialami pasien.
kemih menurun ada kontraindikasi b) Agar kebutuhan carian pasien
5. Frekuensi BAK terpenuhi
membaik
DAFTAR PUSTAKA
Ademola, B. L., Atanda, A. T., Aji, S. A., & Abdu, A. (2020). Clinical , Morphologic and
Histological Features of Chronic Pyelonephritis : An 8 - Year Review. Nigerian
Postgraduate Medical Journal, 37–41. https://doi.org/10.4103/npmj.npmj
Administrator. (2015, January 24). Anatomi Fisiologi Ginjal. RS Muhammadiyah Bandung.
http://rsmb.co.id/2015/01/24/p2652/
Anggitha, G. R. (2023). Patofisiologi Pyelonephritis. Alomedika.com.
https://www.alomedika.com/penyakit/nefrologi/pyelonephritis/patofisiologi#:~:text=Patofis
iologi pyelonephritis atau pielonefritis adalah,bawah ataupun penyebaran secara hematogen.
Fogo, A. B., Lusco, M. A., Najafian, B., & Alpers, C. E. (2016). AJKD Atlas of Renal
Pathology: Chronic Pyelonephritis Agnes. American Journal of Kidney Diseases, 68(4),
e23–e25. https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2016.08.001
Hamzah, N. (2022). PIELONEFRITIS. JURNAL SYNTAX FUSION, 2(02).
Jeannette. (2022, November 18). Chronic Pyelonephritis – What Is It And How To Treat It?
FAMILY MEDICINE AUSTIN (FMA). https://familymedicineaustin.com/what-is-chronic-
pyelonephritis/
Lohr, J. W., Gowda, A., & Batuman, V. (2023, June 19). Chronic Pyelonephritis. Medscape.
Manski, D. (2023). Chronic Pyelonephritis: Causes, Diagnosis and Treatment. Urology-
Textbook.com. https://www.urology-textbook.com/chronic-pyelonephritis.html
PPNI. (2018a). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik
(1st ed.). DPP PPNI.
PPNI. (2018b). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan
Keperawatan (1 (ed.)). DPP PPNI.
PPNI. (2018c). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil (1st ed.).
DPP PPNI.
Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Nuha Medika. http://opacperpus.jogjakota.go.id/index.php/home/detail_koleksi?
kd_buku=028422&id=1&kd_jns_buku=SR
Price, S. A., & WIlson, L. M. (2013). PATOFISIOLOGI (4 (ed.)).
Sherwood, L. (2013). Human physiology : from cells to systems. Belmont, CA.
Snell, R. (2006). Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6 (6th ed.). Jakarta Buku
Kedokteran EGC.
TOTO, S. (2009). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem perkemihan (1st
ed.). TIM. http://inlislite3.perpus.deliserdangkab.go.id/inlislite3/opac/detail-opac?id=3268
Vernuccio, F., Patt, D., Cannella, R., Salvaggio, G., & Midiri, M. (2020). CT imaging of acute
and chronic pyelonephritis : a practical guide for emergency radiologists. Federica
Vernuccio.

Anda mungkin juga menyukai