b. Fisiologi ginjal
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak
(sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah menyaring atau
membersihkan darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700
liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit
(170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam Tubulus sehingga
akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.
Fungsi ginjal adalah sebagai berikut :
1) memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun,
2) mempertahankan keseimbangan cairan tubuh,
3) mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan
4) mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan
amoniak.
5) Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang.
6) Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah.
7) Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah
merah.
Tahap pembentukan urine adalah sebagai berikut :
1) Filtrasi Glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus,
seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat
impermiabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permabel
terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino,
glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow)
adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar
seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui
glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus
(GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman’s
disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat
antara kapiler glomerulus dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah
dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan
oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan
osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh
tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding
kapiler.
2) Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non
elektrolit, elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi
selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.
3) Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran
darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak
terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang
secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-
ion hidrogen.
Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga
telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan
ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya
bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular “perjalanannya
kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau
kalium harus disekresi dan sebaliknya.
Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan
ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan
tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita
memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya.
Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat
menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi
penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara
theurapeutik.
3. Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen-antibodi.
Umumnya etiologi dibagi menjadi :
1) Sindrom nefrotik primer
Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh
karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada
glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering
dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom
nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak
anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer
dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of
Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan
melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan
dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi.
Klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah
dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney
Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971) :
a. Kelainan minimal (KM)
b. Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
c. Glomerulonefritis proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
d. Glomerulopati membranosa (GM)
e. Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa
sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.
2) Sindrom nefrotik sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah :
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
4. Tanda dan Gejala
1) Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab, yang
tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab
timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk.
Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak
pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal,
daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh
dan masif (anasarka). Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering
tampak sebagai sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian
menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat
lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan
sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya
tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau
GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih
hebat pada pasien SNKM.
2) Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom
nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan
sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang
meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang
kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh
karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun
karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi
berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat
menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani. Oleh karena adanya distensi
abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka pernapasan sering
terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi
dengan pemberian infus albumin dan diuretik.
3) Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit
berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak
yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah
merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga
dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu
sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi
terganggu.
4) Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah sembab, didapatkan pada
95% penderita. Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik
tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada
daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita,
skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan pitting. Asites
umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan
mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea. Akibat
sembab kulit, anak tampak lebih pucat. Hipertensi dapat dijumpai pada semua
tipe sindrom nefrotik. Penelitian International Study of Kidney Disease in
Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik
dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.
5) Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40
mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam, biasanya berkisar antara 1-10 gram per
hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-
pasien dengan tipe yang lain. Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua.
Kadar albumin serum < 2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada
sindrom nefrotik, dan umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin
serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol
HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi
sempurna dari proteinuria. Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada
sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan
berbagai tipe sindrom nefrotik.1,5
6) Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit.
Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum
biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.
7) Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal
tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak
langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites.
USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai
pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.
5. Fatofisiologi
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan
akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar
albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai
perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara
spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid
kembali normal.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul
sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan
intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran
plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada
akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu
rentetan aktivitas aksi renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium
dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium
rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan
bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena
hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan
fenomena tersebut.
Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan
volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron,
sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi
renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak
tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer
mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan
edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial.
Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar
renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis
penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih
dari satu.
6. Pemeriksaan Penunjang
1) Uji urine
Protein urin : meningkat (+3 sampai +4)
Urinalisis : cast hialin dan granular, hematuria
Dipstick urin : positif untuk protein dan darah
Berat jenis urin : meningkat
2) Uji darah
Albumin serum : menurun
Kolesterol serum : meningkat
Hemoglobin dan hematokrit : meningkat (hemokonsetrasi)
Laju endap darah (LED) : meningkat
Elektrolit serum : bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan.
3) Uji diagnostik
Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan secara rutin. (Betz,
Cecily L, 2002)
7. Komplikasi
a. Penurunan volume intra vaskuler (syok hipovolemik)
b. Kemampuan koagulasi yang berlebihan (trombosis vena)
c. Perburuhan nafas (berhubungan dengan retensi cairan).
d. Kerusakan kulit
e. Infeksi
f. Peritonitis (berhubungan dengan ascites)
g. Efek samping steroid yang tidak diinginkan.
8. Penatalaksanaan
1) Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang
lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan
menghindar makanan yang diasinkan. Diet protein 2 – 3 gram/kgBB/hari.
2) Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan
diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya
edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan
hididroklortiazid (25 – 50 mg/hari), selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan
intravaskuler berat.
3) Pengobatan kortikosteroid yang diajukan Internasional Coopertive Study of
Kidney Disease in Children (ISKDC), sebagai berikut :
a. Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari luas
permukaan badan (1bp) dengan maksimum 80 mg/hari.
b. Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan
dosis 40 mg/hari/1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis
maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respon selama pengobatan, maka
pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.
4) Cegah infeksi. Antibiotik hanya dapat diberikan bila ada infeksi.
5) Pungsi asites maupun hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital.
(Arif Mansjoer, 2000)
9. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1) Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6
tahun.
2) Disertai oleh hipertensi.
3) Disertai hematuria.
4) Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5) Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi
respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di
antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi
dengan pengobatan steroid.
Hipoproteinemia / Hipoalbuminemia
Hipovolemia
Volume plasma meningkat Sintesis protein hepar
Penatalaksanaan
Hospitalisasi
Diet Tirah baring
Ketidakpatuhan
Kecemasan Kurang
pengetahuan,
kondisi prognosis
program perawatan Resti gangguan pemeliharaan
Intoleransi aktifitas
kesehatan
C. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
Umumnya 90% dijumpai pada kasus anal. Enam kasus pertahun setiap
100.000 anak terjadi usia kurang dari 14 tahun. Rasio laki-laki dan perempuan
yaitu 2 : 1. Pada daerah endemik malaria banyak mengalami komplikasi nefrotik
syndrome.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Badan bengkak, muka sembab, nafsu makan menurun.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Edema masa neonatus, malaria, riwayat GNA dan GNK, riwayat alergi,
bahan kimia.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Karena kelainan gen autosamal resesif.
c. Pemeriksaan fisik
1. Sistem pernafasan
Frekuensi 15-32 x/menit, efusi pleura karena distensi abdomen
2. Sistem kardiovaskuler
Nadi 70-110 x/menit, tekanan darah 95/65 – 100/60 mmHg, hipertensi
ringan bisa dijumpai.
3. Sistem persarafan
Dalam batas normal
4. Sistem perkemihan
Urine 600-700 ml/24 jam, haematuri, proteinuria, aliguri.
5. Sistem pencernaan
Diare, nafsu makan menurun, anorexia, hepatomegali, nyeri daerah perut,
malnutrisi berat, hernia umbilikus, prolaps ani.
6. Sistem muskuloskeletal
Dalam batas normal.
7. Sistem integumen
Edema periorbital, ascites.
8. Sistem endokrin
Dalam batas normal.
9. Sistem reproduksi
Dalam batas normal.
Perubahan nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Catat intake output makanan secara 1. Monitoring asupan nutrisi bagi tubuh.
kurang dari kebutuhan keperawatan selama ......x24 jam, akurat. 2. Gangguan nutrisi dapat terjadi secara
berhubungan dengan kebutuhan nutrisi akan terpenuhi, 2. Kaji adanya anorexia, perlahan. Diare sebagai reaksi edema
malnutrisi, sekunder dengan kriteria hasil : hipoproteinemia, diare. intestinal.
terhadap kehilangan Nafsu makan baik 3. Pastikan pasien mendapat makanan 3. Mencegah status nutrisi menjadi buruk.
protein dan penurunan Tidak terjadi hipoproteinemia dengan diet yang cukup.
nafsu makan. Edema dan ascites tidak ada.
Diagnosis
Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
Resiko tinggi infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. Lindungi pasien dari agent infeksi 1. Meminimalkan masuknya organisme.
berhubungan dengan keperawatan selama ........x24 jam, melalui pembatasan pengunjung.
penurunan imunitas tidak terjadi infeksi dengan kriteria 2. Tempatkan pasien di ruangan non 2. Mencegah infeksi nosokomial.
tubuh manusia. hasil : infeksi.
Tanda-tanda infeksi tidak ada 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah
3. Memutus mata rantai penyebaran infeksi
Tanda vital dalam batas normal tindakan.
Ada perilaku keluarga dalam 4. Lakukan tindakan invasif secara 4. Mencegah masuknya bakteri ke dalam
melakukan perawatan. aseptik. tubuh.
Perubahan proses Setelah dilakukan tindakan perawatan 1. Kenali kekhawatiran dan kebutuhan 1. Dapat menurunkan stress
keluarga berhubungan selama .........x24 jam, terjadi orang tua untuk informasi dan
dengan hospitalisasi pengurangan ansietas keluarga, dengan dukungan
anak kriteria hasil : 2. Gali perasaan dan masalah seputar 2. Memudahkan dalam pemilihan intervensi
Kecemasan keluarga berkurang hospitalisasi dan penyakit anak
Secara verbal keluarga mengatakan 3. Berikan informasi seputar kesehatan 3. Untuk menurunkan ansietas yang dialami
cemas berkurang anak keluarga
4. Berikan dukungan sesuai kebutuhan 4. Meningkatkan kemampuan koping
5. Anjurkan perawatan yang berpusat 5. Meningkatkan pemahaman keluarga
pada keluarga dan anjurkan anggota
keluarga agar terlibat dalam
perawatan.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang dilakukan
perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan (PPNI, 2018).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan
yang berguna untuk mengetahui apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang telah
dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain. Evaluasi keperawatan mengukur
keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan
dalam memenuhi kebutuhan pasian. Penilaian adalah tahap yang menentukan apakah
tujuan tercapai. (Dinarti, 2017)
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily L dan Sowden, Linda L. Keperawatan Pediatrik, Edisi 3. EGC : Jakarta.
2002.
Depkes RI. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang Anak Ditingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Depkes RI : Jakarta. 2005.
Mansjoer Arif. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2. Media Aesculapius : Jakarta. 2000.
Smeltzer, Suzanne C. Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, edisi 8, Volume .
EGC : Jakarta. 2001.
Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Anak, Edisi 1, Fajar Interpratama : Jakarta.
2001.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, Edisi 1,
Dewan Pengurus Pusat Pesatuan Perawat Nasional Indonesia, Jakarta Selatan
Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2017), Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Edisi 1,
Dewan Pengurus Pusat Pesatuan Perawat Nasional Indonesia, Jakarta Selatan
Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2017), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Edisi 1,
Dewan Pengurus Pusat Pesatuan Perawat Nasional Indonesia, Jakarta Selatan
Wong,L. Donna. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi 4, EGC : Jakarta. 2004.