Anda di halaman 1dari 47

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi Ginjal
3.1.1 Makroskopis
Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk kacang (bean shaped), terletak
retroperitoneal, di belakang kavum abdomen. Masing masing ginjal mempunyai panjang 10
-12 cm (antara vertebra TH 12 L3), penampang 5 6 cm, berat 150 gram. Ginjal kanan 1 2
cm lebih rendah daripada ginjal kiri oleh karena adanya hati. Diafragma ada di sebelah atasbelakang ujung atas ginjal (upper pole) sehingga pada saat inspirasi ginjal akan terdorong
kebawah.1

Gambar 3.1 Anatomi Makro Ginjal (Tampak depan)


Pada umumnya ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada ginjal laki-laki lebih
panjang

dari

pada

ginjal

wanita.

Ginjal

dipertahankan dalam

posisi

tersebut

bantalan lemak yang

tebal.

Kedua

dibungkus oleh dua

lapisan lemak (lemak

perirenal dan lemak

pararenal)

membantu meredam

guncangan. 4

oleh
ginjal
yang

23

Gambar 3.2 Anatomi makro ginjal (Tampak belakang)


Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex
renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang
berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang
disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang
kecil disebut papilla renalis. Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu
masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong
yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis majores
yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis minores. Medulla
terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh
bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila
atau apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan
bagian terminal dari banyak duktus pengumpul.5

24

Gambar 3.3 Potongan melintang ginjal

3.1.2 Mikroskopis Ginjal


Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada tiap
ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Pada manusia, pembentukan nefron selesai pada
janin 35 minggu. Nefron baru tidak dibentuk lagi setelah lahir. Perkembangan selanjutnya adalah
hipertrofi dan hiperplasia struktur yang sudah ada disertai maturasi fungsional. Setiap nefron
terdiri dari glomerulus dan kapsula bowman, tubulus. Tubulus terdiri atas tiga bagian utama yaitu
Tubulus Proksimalis, Loop of Henle (lengkungan Henle) dan Tubulus Distalis. Beberapa tubulus
distalis akan bergabung membentuk tubulus kolektivus. Nefron dibedakan atas 2 jenis yaitu :
Nefron Kortikalis yaitu nefron yang glomerulinya terletak pada bagian luar dari korteks dengan
lengkungan henle yang pendek tetapi tetap berada pada korteks atau mengadakan penetrasi
hanya sampai pada zona luar medulla, Nefron Juxta medullaris yaitu nefron yang glomerulinya
terletak pada bagian dalam dari korteks dekat hubungan korteks-medulla dengan lengkungan
henle yang panjang dan turun jauh kedalam sampai zona dalam medulla sebelum berbalik dan
kembali ke korteks. Pada manusia kira-kira 85 % merupakan nefron kortikalis dan 15 %
merupakan nefron Juxta medullaris. Glomerulus bersama dengan kapsula bowman juga disebut

25

badan maplphigi. Meskipun ultrafiltrasi plasma terjadi di glomerulus tetapi peranan tubulus
dalam pembentukan urine tidak kalah pentingnya.5

Gambar 3.4 Unit Nephron


Glomerulus merupakan suatu jaringan kapiler yang saling beranastomosis yang berasal
dari arteriole afferent dan bersatu menuju ke arteiole efferent. Arteriole efferent kemudian
memecah diri menjadi beberapa kapiler peri tubuler yang mengelilingi tubulus. Berdasarkan ultra
struktur dari endotel, dapat dibedakan 3 jenis kapiler : kontinu, fenestrata, diskontinu. Cairan
yang difiltrasi melalui Glomerularis Filtrat Glomeruli. Membrana yang dilalui yaitu Membrana
Glomerularis. Tubulus Proximalis Terdiri dari : Pars konvulata (pada korteks dekat glomerulus),
Pars Recta ( bagian yang lurus melalui korteks menuju medulla) berfungsi mengadakan
reabsorpsi bahan-bahan dari cairan tubuli dan mensekresi bahan-bahan ke dalam tubuli.
Lengkungan Henle (Loop of Henle) terdiri atas : Pars Desendens (bagian yang menurun
menuju medulla), Pars Asendens (Bagian yang naik kembali menuju korteks), Pars Asending
mengadakan kontak yang sangat dekat dengan glomerulus pada kutub vaskuler. JGA (Juxta
26

Glomerular Apparatus) Berfungsi mengadakan reabsorpsi bahan-bahan dari cairan tubuli dan
mensekresi bahan-bahan ke dalam tubuli 25% air dan Na + direabsorpsi dan urea disekresi.
Tubulus Distalis terdiri atas: Tubulus Distalis, Tubulus Konektivus, Tubulus Kolektivus.5
Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan
disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentuk
filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan
melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus Urin ini dialirkan keluar ke saluran ureter, kandung
kencing, kemudian ke luar melalui Uretra. 5
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh
dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih
diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan
dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang
kemudian diekskresikan disebut urin.5
3.1.3 Vaskularisasi dan Persarafan pada Ginjal
Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis II.
Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak disebelah kanan garis
tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri
interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian
membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini
kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus. Ginjal mendapat persarafan dari nervus
renalis (vasomotor), saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam
ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal. 5

27

Gambar 3.5 Vascularisasi ginjal.


3.1.4

Hormonal pada Ginjal


A. Hormon yang bekerja pada ginjal:
Hormon Antidiuretik (ADH atau Vasopresin) : Merupakan peptida yang dihasilkan oleh
kelenjar hipofisis posterior, hormon ini meningkatkan reabsorbsi air pada duktus

kolektivus
Aldosteron : Merupakan hormon steroid yang di produksi oleh korteks adrenal, hormon
ini meningkatkan ekskresi natrium pada duktus kolektivus
Peptida Natriuretik (NP) : Diproduksi oleh sel jantung dan meningkatkan ekskresi
natrium pada duktus kolektivus
Hormon Paratiroid : Merupakan protein yang diproduksi oleh kelenjar paratiroid, hormon
ini meningkatkan ekskresi fosfat, reabsorbsi kalsium, dan produksi vitamin D pada
ginjal.6

B. Hormon yang dihasilkan oleh Ginjal


Renin : Merupakan protein yang dihasilkan oleh apparatus jukstaglomerular, hormon ini
menyebabkan pembentukan angiotensin II. Angiotensin II bekerja langsung pada tubulus
proksimal dan bekerja melalui aldosteron pada tubulus distal untuk meningkatkan retensi
natrium. Hormon ini juga merupakan vasokonstriktor kuat.

28

Vitamin D : Merupakan hormon steroid yang di metabolisme di ginjal menjadi bentuk


aktif 1,23-dihidrosikolekalsiferol, yang terutama berperan meningkatkan absorbsi

kalsium dan fosfat dari usus


Eritropoietin : Merupakan protein yang diproduksi di ginjal, hormon ini meningkatkan
pembentukan sel darah merah di sumsum tulang
Prostaglandin : Di produksi di ginjal, memiliki berbagai efek terutama pada tonus
pembuluh darah ginjal. 6

3.2 Fisiologi Ginjal


Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak (sangat
vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah menyaring/ membersihkan darah. Aliran
darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan
filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam
Tubulus sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari. Selain
itu, fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstrasel dalam
batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus,
reabsorpsi dan sekresi tubulus.4
3.2.1 Fungsi Ginjal
Fungsi ekskresi
Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah ekskresi air,
mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H + dan
membentuk kembali HCO3, mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma
dalam rentang normal,mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein
terutama urea, asam urat dan kreatinin.

Fungsi non ekskresi


Menghasilkan renin yang penting untuk mengatur tekanan darah, menghasilkan eritropoietin
yaitu suatu faktor yang penting dalam stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang,
29

memetabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya, degradasi insulin, menghasilkan


prostaglandin.4
3.3 Definisi
Penyakit ginjal kronis adalah adanya kelainan struktural ATAU fungsional pada ginjal
yang berlangsung minimal 3 bulan dapat berupa :
1.

Kelainan struktural yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium (albuminuria,


sedimen urin, kelainan elekrolit akibat ginjal). Pemeriksaan histologi, pencitraan, atau

2.

riwayat transplantasi ginjal, ATAU


Gangguan fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 ml/menit/1,73m2.2

Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronis didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit,
dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft Gault
sebagai berikut. 2
LFG (ml/menit/1,73m2) =

(140- umur) x berat badan


72 x kretainin plasma (mg/dl)

Stadium PGK diklasifikasikan berdasarkan nilai LFG 7


Stadium

Deskripsi

LFG (ml/menit/1,73m2)

Kerusakan ginjal dengan

90

LFG normal atau meningkat


Kerusakan ginjal dengan

60 89

LFG menurun ringan


Kerusakan ginjal dengan

30 59

LFG menurun sedang


Kerusakan ginjal dengan

15 29

LFG menurun berat


Gagal ginjal

<15 atau dialisis

3.4 Epidemiologi

30

Penyakit ginjal kronis merupakan penyakit yang sering dijumpai pada praktek klinik
sehari hari. Prevalensinya di Negara maju mencapai 10 13 % dari populasi. 5 Di Amerika
serikat, data tahun 1995 1999 menyatakan insidensi penyakit ginjal kronik diperkirakan 100
kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% tiap tahunnya. Di
Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal
pertahunnya.7
Di Negara Negara berkembang lainnya insiden ini diperkirakan sekitar 40 60 kasus
perjuta penduduk pertahun. Sebuah studi yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia
melaporkan sebanyak 12,5% populasi di Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.7

Gambar 3.6 Diagram Penyebab Penyakit Ginjal Kronik di Indonesia


3.5 Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain.
Di Amerika serikat penyebab terbanyak penyakit ginjal kronis adalah diabetes mellitus (44%),
diikuti dengan hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar (27%), glomerulonefritis (10%),
nefritis interstitialis (4%), kista dan penyakit bawaan lain (3%), penyakit sistemik

(2%),

neoplasma (2%), tidak diketahui (4%), penyakit lain (4%).7


Perhimpunan nefrologi di Indonesia tahun 2011 adalah sebagai berikut : Penyakit Ginjal
Hipertensi (34%), Nefropati Diabetika (27%), Glomerulopati Primer/GNC (14%), Nefropati
31

obstruksi (8%), Pielonefritis kronik/PNC (6%), Lain-lain (6%), Nefropati Asam Urat (2%),
Nefropati Lupus/SLE (1%), Ginjal Polikistik (1%), dan E10 Tidak Diketahui (1%). Penyebab
terbanyak adalah penyakit ginjal hipertensi dengan 34 % , hal ini tidak sesuai dengan data
epidemiologi dunia yang menempatkan nefropati diabetika sebagai penyebab terbanyak. 3
Penyakit ginjal kronis merupakan multihit process disease. Sekali mengalami
gangguan fungsi ginjal, banyak faktor yang akan memperberat perjalanan penyakit.
Faktor faktor yang berperan dalam progresivitas Penyakit ginjal kronis :
Tidak dapat dimodifikasi

Dapat dimodifikasi

Usia (usia tua)

Hipertensi

Jenis kelamin (laki laki lebih cepat) Proteinuria


Ras (ras afrika dan amerika lebih

Albuminuria

cepat)
Genetic

Glikemia

Hilangnya massa ginjal

Obesitas
Dislipidemia
Merokok
Kadar asam urat

3.6 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal konik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (survival nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokin dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti
dengan peningkatan tekanan

kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini

berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
32

masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis rennin
angiotensin aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis rennin angiotensin
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor (TGF ).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit
ginjal kronis adalah almuninuria, hipertensi, hiperglikemi, dislipidemia. Terdapat variabilitas
intraindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada
stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve),
pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan
tapi pasti akan terjadi penururunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%,pasien masih belum
merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah,
mual, nafsu makan menurun, dan penurunan berat badan.
Sampai LFG dibawah 30% pasien mulai memperlihatkan gejala uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolism fosfor, dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan cairan seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara
lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara
lain dilaisis, atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal.7
Proteinuria sendiri dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal, sebagaimana dibuktikan
oleh

penelitian

bahwa

pengurangan

proteinuria

dapat

menunjukan

efek

yang

menguntungkan. Protein yang melintasi dinding kapiler glomerulus dapat memberikan efek
toksik langsung dan mendatangkan monosit atau makrofag, hal itu meningkatkan proses
glomerular sclerosis dan tubulointerstitial fibrosis. 8

33

Hipertensi yang tidak terkontrol dapat memperburuk perkembangan penyakit dengan


menyebabkan arteriolar nephrosclerosis disebabkan proses hiperfiltrasi yang sudah dijelaskan
sebelumnya. 8
Hiperfosfatemia dapat meningkatkan perkembangan penyakit karena deposisi kalsiumfosfat di intersitium ginjal dan pembuluh darah. 8
Hiperlipidemia, sebuah kondisi umum pada pasien CKD, dapat merusak fungsi
glomerular melalui oxidant-mediated injury. 8.

34

35

3.7 Manifestasi Klinis


Awal CKD bisaanya tanpa gejala, atau hanya menunjukkan keluhan-keluhan yang tidak
khas seperti sakit kepala, lelah, letargi, nafsu makan menurun, muntah, gangguan
pertumbuhan1.Presentasi CKD sangat bervariasi dan tergantung pada penyakit ginjal yang
mendasarinya.Anak-anak

dan

remaja

dengan

CKD

dari

glomerulonefritis

kronis

(membranoproliferative glomerulonefritis) dapat hadir dengan edema, hipertensi, hematuria,


tanda overload volume cairan ekstraselular dan proteinuria. Bayi dan anak-anak dengan kelainan
bawaan seperti obstruktif uropati, displasia ginjal dapat hadir dalam periode neonatal dengan
gagal tumbuh, dehidrasi poliuria, infeksi saluran kemih, atau insufisiensi renal. Banyak bayi
dengan penyakit ginjal bawaan dapat diidentifikasi dengan USG prenatal, memungkinkan
diagnostik dan intervensi terapeutik awal.8
Pada pemeriksaan fisik pasien tampak pucat dan lemah. Pasien CKD lama yang tidak
diobati dapat dijumpai perawakan yang pendek dan kurus ,disebabkan oleh kelainan osteodistrofi
ginjal.8
Temuan laboratorium terutama terjadi peningkatan BUN, dan serum kreatinin ,dapat juga
dijumpai hiperkalemia, hiponatremia (jika volume berlebihan), asidosis, hipokalsemia,
hiperfosfatemia, dan peningkatan asam urat. Pasien dengan proteinuria berat mungkin memiliki
hipoalbuminemia. Pada pemeriksaan darah lengkap (complete Blood Count / CBC) bisaanya
menunjukkan anemia normositik normokrom. Serum kolesterol dan kadar trigliserida biasanya
tinggi. Anak-anak dengan CKD yang disebabkan oleh glomerulonefritis, dapat ditemui
hematuria dan proteinuria pada urinalisis. Pada anak-anak dengan CKD oleh sebab kongenital
seperti displasia ginjal, maka urine biasanya memiliki berat jenis yang rendah dan kelainan yang
minimal.8
Gangguan ekskresi air, Ginjal adalah pengatur volume cairan tubuh yang utama.Karena
ginjal memiliki kapasitas untuk mengencerkan dan memekatkan urin. Pada CKD,kapasitas ini
terganggu sehingga dapat menyebabkan retensi dari zat sampah maupun overload cairan pada
tubuh.9
Ganguan ekskresi natrium, dalam perjalanan CKD kemampuan nefron untuk mengatur
keseimbangan natrium menjadi terganggu, pada pasien dengan CKD yang stabil jumlah total
natrium dan cairan pada tubuh menigkat,walau kadang tidak begitu terlihat pada pemeriksaan
fisik.Pada berbagai bentuk gangguan ginjal (contoh,Glomerulonefritis),terjadi gangguan pada
glomerulotubular sehingga tidak dapat menjaga keseimbangan dari intake natrium yang berlebih
36

terhadap jumlah yang diekskresikan,hal ini menyebabkan retensi natrium dan ekspansi dari
cairan ekstraselular sehingga terjadi hipertensi,yang dapat semakin menambah kerusakan pada
ginjal. 10.Hiponatremia (dilutional hyponatremia) kadang ditemukan pada penderita CKD, hal ini
disebabkan retensi dari air yang berlebihan,sehingga menyebabkan dilusi pada cairan
intravascular.9
Gangguan ekskresi kalium, ginjal mempunyai kapasitas untuk ekskresi kalium,dan
bisaanya hiperkalemia yang berat terjadi saat GFR <10mL/menit/1.73m 2. Apabila hiperkalemia
terjadi pada GFR >10mL/menit/1.73m2 ,harus dicari penyebab dari hiperkalemia, termasuk
diantaranya : intake kalium yang berlebih, hyporeninemic hypoaldosteronism, asidosis metabolic
yang berat,tranfusi darah, hemolisis, katabolisme protein, penggunaan obat-obatan seperti ACE
inhibitor ,B-blocker, dan aldosteron antagonist.9,10 Hipokalemia juga dapat terjadi namun jarang
ditemukan, hal ini terjadi biasanya karena intake kalium yang rendah,penggunaan diuretic yang
berlebihan, kehilangan kalium dari GIT. Dapat juga terjadi karena terbuangnya kalium yang
berlebihan pada penyakit primer yang mendasari CKD, misalnya fanconi syndrome, renal
tubular asidosis, maupun bentuk kelainan herediter atau yang didapat yang lain. Namun pada
keadaan GFR yang menurun sekali,maka hipokalemia sendiri akan berkurang dan dapat terjadi
hiperkalemia.10
Asidosis metabolik berkembang di hampir semua anak-anak dengan CKD sebagai akibat
penurunan ekskresi asam oleh ginjal dan produksi ammonia.8,10
Anemia, hal ini umum terjadi pada pasien dengan CKD ,terutama disebabkan karena
produksi eritropoietin tidak memadai (dibentuk di korteks ginjal, pada interstitial, tubular atau sel
endotelial) dan biasanya tampak lebih nyata pada pasien dengan CKD tahap 3-4. Faktor lain
yang mungkin menyebabkan anemia termasuk kekurangan zat besi, asam folat atau vitamin B12,
dan penurunan survival-time dari eritrosit. 8,9

37

Gambar 3.7 Pathopysiology anemia pada penyakit kronis


Uremia , walaupun konsentrasi urea serum dan kreatinin digunakan sebagai ukuran
kapasitas ekskresi dari ginjal . akumulasi hanya dari kedua molekul ini tidak bertanggung jawab
atas gejala dan tanda yang karakteristik pada uremic syndrome pada gagal ginjal yang
berat.Ratusan toksin yang berakumulasi pada penderita gagal ginjal berperan dalam uremic
syndrome. Hal ini meliputi water-soluble, hydrophobic, protein-bound, charged, dan uncharged
compound.Sebagai tambahan,produk ekskresi nitrogen termasuk diantaranya guanido, urat,
hippurat, produk dari metabolism asam nukleat, polyamines, mioinositol, fenol, benzoate, dan
indol. Uremia sendiri menyebabkan gangguan fungsi dari setiap sistem organ. Dialisis kronik
dapat mengurangi insiden dan tingkat keparahan dari gangguan ini

10

.Kadar urea yang tinggi

dapat menyebabkan gangguan pada mulut,yaitu kadar urea yang tinggi pada saliva dan
38

menyebabkan rasa yang tidak enak (seperti ammonia), fetor uremikum (bau nafas seperti
ammonia),dan uremic frost .Gangguan pada serebral terjadi pada kadar ureum yang sangat
tinggi,dan dapat menyebabkan coma uremicum.Pada jantung dapat mengakibatkan uremic
pericarditis maupun uremic cardiomyopathy.9
Hipertensi, Anak-anak dengan CKD mungkin memiliki hipertensi berkelanjutan yang
berkaitan dengan kelebihan beban volume intravascular dan atau produksi renin yang berlebihan
berkaitan dengan penyakit glomerular.8
Abnormal hemostasis, pada pasien CKD terjadi waktu perdarahan yang memanjang,
karena menurunnya aktivitas dari platelet factorIII, agregasi platelet yang abnormal, dan
gangguan konsumsi protrombin, dan meningkatnya aktivitas fibrinolitik karena fibrinolisin tidak
tereliminir pada ginjal. 9,10
Gangguan Pertumbuhan, perawakan yang pendek adalah sekuel jangka panjang dari
CKD yang terjadi di masa kanak-kanak. Anak-anak dengan CKD berada dalam keadaan resisten
terhadap growth hormon (GH) walaupun terjadi peningkatan kadar GH namun terjadi penurunan
kadar insulin like growth factor 1(IGF-1) dan abnormalitas dari insulin like growth factor
binding proteins.8
Renal Osteodystrophy atau osteodistrofi ginjal merupakan istilah yang digunakan untuk
menunjukkan suatu spektrum kelainan tulang yang ditemui pada pasien dengan CKD. Kondisi
yang umum ditemukan pada anak-anak dengan CKD adalah gangguan berupa tingginya turnover
pada tulang yang disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder. Temuan patologik ini disebut
osteitis fibrosa cystica. Patofisiologi osteodistrofi ginjal sangat kompleks. Pada awal perjalanan
CKD, ketika GFR menurun kira-kira 50% dari normal, penurunan massa ginjal secara fungsional
menyebabkan penurunan aktivitas hidroksilase-1 ginjal, dengan penurunan produksi vitamin D
aktif (1,25-dihydroxycholecalciferol). Kekurangan bentuk aktif vitamin D ini mengakibatkan
penurunan penyerapan kalsium di usus halus, sehingga terjadi hipokalsemia, dan peningkatan
aktivitas kelenjar paratiroid. Peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH) sebagai upaya untuk
memperbaiki hipokalsemia,dengan meningkatan resorpsi tulang. Kemudian dalam perjalanan
CKD, ketika GFR menurun 20-25% dari normal, mekanisme kompensasi untuk meningkatkan
ekskresi fosfat menjadi tidak memadai, sehingga mengakibatkan hiperfosfatemia yang kemudian
lebih lanjut akan mengakibatkan hipokalsemia dan peningkatan sekresi PTH.
Manifestasi klinis osteodistrofi ginjal termasuk kelemahan otot, nyeri tulang, dan mudah
fraktur akibat trauma ringan. Pada anak-anak yang sedang tumbuh, dapat terjadi perubahan
rakitik, deformitas varus dan valgus pada tulang panjang , dan terselipnya kepala epifisis tulang
39

femur dapat dilihat. Studi laboratorium mungkin menunjukkan penurunan kadar kalsium serum,
peningkatan

tingkat

fosfor

serum,

peningkatan

alkali

fosfatase,

dan

tingkat

PTH

normal. Radiografi dari tangan, pergelangan tangan, dan lutut menunjukkan resorbsi
subperiosteal tulang dengan pelebaran metafisis.
Adynamic Bone Disease (low-turnover bone disease) dapat terjadi pada anak dan orang
dewasa dengan CKD. Temuan patologis yang ditemukan berupa osteomalasia ,hal ini
berhubungan dengan supresi berlebihan dari PTH, mungkin terkait dengan penggunaan calcium
containing-phosphat binder dan analog vitamin D.8
3.8 Pemeriksaan
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronis meliputi, gambaran yang sesuai dengan
penyakit dasarnya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. Kelainan
biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat,
hiperkalemi atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, asidosis metabolic. Dan kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria,
leukosituria, cast, isosteinuria.7
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan pada penyakit ginjal kronis diantaranya
pemeriksaan foto polos abdomen, yang dapat ditemukan adanya batu radio opak, pielografi
intravena, akan tetapi jarang dilakukan karena kontras yang digunakan sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, disamping kekhawatiran pengaruh toksik dari kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan. Pielografi antegard atau retrogard dilakukan sesuai dengan indikasi,
ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan adanya ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis, atau batu ginjal, kista , massa, kalsifikasi. Pemeriksaan
pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.7
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara non invasive tidak bisa ditegakkan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi,
prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsy ginjal merupakan
kontraindikasi dilakukan pad pasien dengan ukuran ginjal yang telah mengecil (contracted
kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.7
40

3.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding untuk penyakit ginjal kronik adalah gagal ginjal akut. Penting untuk
membedakan penyakit ginjal kronik dari gagal ginjal akut karena gagal ginjal akut dapat
reversible. USG abdomen umumnya dilakukan dan dilakukan pengukuran pada ginjal. Pada
gagal ginjal kronik biasanya lebih kecil < 9 cm dari ginjal normal kecuali pada nefropati diabetes
dan penyakit ginjal polikistik. Petunjuk lain yang membedakan antara penyakit ginjal kronik dan
gagal ginjal akut merupakan kenaikan bertahap dalam kreatinin serum lebih dari beberapa bulan
tahun pada penyakit ginjal kronik dan peningkatan mendadak dalam serum kreatinin pada
gagal ginjal akut
3.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan konservatif penyakit ginjal kronik meliputi:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid antara

lain

gangguan

keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas
penyakit dasarnya.
3. Memperlambat progesivitas

penyakit

ginjal

kronik.

Tujuannya

adalah

untuk

mempertahankan kadar LFG dan mencegah penurunan LFG lebihlanjut. Faktor utama
penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasiglomerulus.11
Tujuan terapi konservatif pada penyakit ginjal kronik pre-dialisis antara lain adalah:
1. Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif
2. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
3. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal
4.

Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

Beberapa prinsip terapi konservatif antara lain adalah.11:


1. Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif.

Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik

Hindari gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit


Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi
Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi medis yang kuat
2. Pendekatan terhadap penurunan faal ginjal yang progresif lambat (slowly
41

progresif).
Mengendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular
Mengendalikan infeksi jika terjadi
Diet protein yang proporsional
Mengendalikan hiperfosfatemia
Terapi terhadap hiperurisemia
Terapi keadaan asidosis metabolic

Mengontrol kadar gula darah


3.

Terapi alleviative gejala azotemia.


Pembatasan konsumsi protein hewani
Terapi gatal-gatal pada kulit
Terapi terhadap keluhan gastrointestinal
Terapi terhadap keluhan neuromuskular seperti kebas atau kram otot
Terapi kelainan tulang dan sendi
Terapi anemia

PEMBATASAN ASUPAN PROTEIN


Standar diet pada Penyakit Ginjal Kronik Pre Dialisis dengan terapi konservatif adalah
sebagai berikut.7,12:
a.

Syarat Dalam Menyusun Diet

Kalori (Energi) 30 -35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup
30 kkal/kg BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut:

Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori

Kebutuhan protein sebesar 0,6 g/kg BB dan 50% dianjurkan berasal dari protein
dengan nilai biologis tinggi. Produk kedelai cukup aman untuk selingan pengganti
protein hewani sebagai variasi menu dengan jumlah sesuai anjuran. Susu kacang
kedelai dapat pula digunakan sebagai pengganti susu sapi. Hal positif yang
42

didapat dari protein nabati adalah mengandung phytoestrogen yang disebut


isoflavon yang memberikan banyak keuntungan pada PGK. Penelitian-penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa protein dari kedelai dapat menurunkan
proteinuria, hiperfiltrasi, dan proinflamatory cytokines yang diperkirakan dapat
menghambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut. Penelitian lain mengenai diet
dengan protein nabati pada pasien PGK adalah dapat menurunkan eksresi urea,
serum kolesterol total dan LDL sebagai pencegah kelainan pada jantung yang
sering dialami pada pasien PGK. Pada binatang percobaan dengan penurunan
fungsi ginjal yang diberi casein dibandingkan dengan protein kedelai setelah 1-3
minggu ternyata dapat menunda penurunan fungi ginjal lebih lanjut.

Protein diberikan lebih rendah dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini bisa
disebut diet rendah protein atau low protein diet (LPD) .12,13,14

Diet sangat rendah protein (very low protein diet/VLP) yaitu dengan pemberian
protein 0,3 gr/kg BB/hari yang dilengkapi dengan pemberian asam amino esensial
atau campuran asam amino esensial dan asam keto. Kedua diet ini dapat
mengurangi asupan nitrogen sekaligus memenuhi kebutuhan fisiologis asam
amino esensial dapat terpenuhi.Saat ini dampak diet rendah protein disertai
dengan pemberian asam keto merupakan topik yang banyak dibicarakan maupun
diteliti. Asam keto dimetabolisme oleh tubuh menjadi asam amino esensial dan
dapat mengurangi beban nitrogen pada ginjal, dapat memenuhi kebutuhan protein
tubuh tanpa menyebabkan kelebihan fosfor atau urea.14,15

Teplan melakukan penelitian tentang bagaimana pengaruh jangka panjang diet


rendah protein ditambah asam keto dan ACE-inhibitor terhadap metabolisme dan
proteinuria pada pasien nefropati diabetik. Setelah 12 bulan dijumpai penurunan
proteinuria yang signifikan terkait dengan perbaikan parameter metabolisme
protein dan dapat memperlambat progresi penyakit ginjal terkait dengan
penurunan klirens inulin.16

Dalam penelitian Walser, VLPD (0,3gr/kgBB) dengan suplementasi asam keto


dan dengan pengawasan yang ketat ternyata dapat menunda dialisis dalam kurun
waktu 1 tahun. 17
43

Pada penelitian Bellizi, faktor asupan diet protein sangat penting dalam
pencegahan progresifitas PGK. Dalam penelitian ini ternyata asupan VLPD
disertai suplemen ketoanalog menurunkan proteinuria serta tekanan darah lebih
terkontrol dibandingkan dengan grup yang mendapat asupan LPD. Penelitian ini
memperlihatkan bahwa rasio intake protein nabati pada diet VLPD dengan
ketoanalog lebih tinggi dibandingkan LPD dan ternyata dijumpai efek vasodilatasi
melalui respon dari kadar BCAA (branched chain amino acid) yang
mengakibatkan

penurunan

tekanan

darah

sehingga

dapat

menghambat

progresifitas PGK.18

Keuntungan suplementasi ketoanalog pada metabolism protein dan asam amino


antara lain15:
Mencegah dekarboksilasi asam amino
Mengalami konversi menjadi asam amino
Meningkatkan sintesa protein dan mengurangi pembentukan
nitrogen.

Dosis suplemen asam keto yaitu 1 tablet/5 kgBB/hari (0,1 gr/kgBB/hari)


Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan 30 % diutamakan lemak
tidak jenuh.
Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari ditambah
IWL 500 ml.
Asupan garam <2 gram/hari
Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70 meq/hari
Pasien yang mengalami hipekalemi perlu menghindari buah dan sayur tinggi
kalium dan perlu pengelolaan khusus yaitu dengan cara merendam sayur dan buah
dalam air hangat selama 2 jam, setelah itu air rendaman dibuang, sayur/buah
dicuci kembali dengan air yang mengalir dan untuk buah dapat dimasak.12
Fosfor yang dianjurkan 5-7 mg/kg BB/hari (<800 mg/hari)
Kalsium 1400-1600 mg/hari dan sumber vitamin da mineral
Efek Metabolik Terhadap Asupan Diet Protein
44

Hampir sama dengan pasien dengan penyakit hati atau penyakit herediter metabolisme
nitrogen, pada pasien PGK akan terjadi intoleransi protein ketika mereka makan protein yang
terlalu banyak. Protein yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami metabolisme yaitu
pertama, breakdown protein menghasilkan asam amino yang diperlukan untuk cadangan sintesis
protein tubuh yang baru.
Kedua,

protein

menghasilkan

nitrogen yang merupakan

sisa

metabolime

protein dan harus diekskresikan melalui ginjal, bila terakumulasi akan menyebabkan gejalagejala uremia. Sisa metabolisme protein lainnya seperti guanidine, aromatic/aliphatic
amines akan memberikan efek toksik bila kadarnya tinggi dalam darah. Urea merupakan
metabolit nitrogen yang merupakan petanda adanya akumulasi dari toksin-toksin yang lainnya.
Jika seorang penderita PGK makan makanan yang banyak mengandung protein, maka akan
terakumulasi juga beberapa bahan yang lain seperti phenol, asam urat, asid dan fosfat.
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Hakim dkk tahun 1988 terhadap 911
penderita PGK dengan serum kreatinin > 5 mg/dl yang mendapat perhatian nutrisi minimal
memperlihatkan berbagai kelainan metabolisme antara lain > 30% penderita dengan asidosis
berat (bicarbonate serum < 15 mmol/l), hiperfosfatemia berat ( fosfat serum > 7mg/dl) dan
azotemia berat ( BUN > 120 mg/dl). Asupan tinggi protein juga dapat menyebabkan
hiperurisemia, tidak hanya meningkatkan risiko penyakit gout tetapi juga dapat menyebabkan
sindroma metabolik, hipertensi dan disfungsi endotel dengan penyakit vaskuler.19,20,21,22 Alasan
untuk mengontrol asupan protein pada penderita PGK (Fouque,2007)23.

Adaptasi adekuat terhadap asupan rendah protein

Menurunkan beban nefron yang masih tersisa

Memperbaiki resistensi insulin

Mengurangi stress oksidasi

Mengurangi proteinuria

Menurunkan kadar hormon paratiroid

Memperbaiki profil lipid

Efek aditif pada pemberian ACE inhibitor

Menurunkan angka kematian atau memperlambat inisiasi dialysis sampai 40%

Number needed to treat yang menguntungkan ( 1 pasien akan terhindar dari


45

kematian atau inisiasi dialsis setiap tahun untuk setiap 18 pasien yang
mendapat diet rendah protein )

Tidak adanya alasan objektif yang pasti untuk tidak merekomendasikan diet
rendah protein kepada kebanyakan penderita PGK 23.

Hambatan Implementasi Asupan Rendah Protein


Implementasi diet rendah protein pada pengelolaan PGK sering terlupakan dan nilainya
pada rencana pengelolaan penderita PGK sering diremehkan. Terdapat beberapa hambatan untuk
melaksanaan strategi diet rendah protein ini. Kesulitan pertama adalah hasil dari studi MDRD
yang merekomendasikan asupan protein pada penderita PGK predialisis (K/DOQI,2002):
Rekomendasi asupan protein pada penderita PGK predialisis menurut K/DOQI 2002 24:
Rekomendasi asupan protein pada penderita PGK predialisis berdasarkan K/DOQI 2002
yaitu: untuk individu dengan PGK (LFG < 25 ml/menit) yang tidak menjalani hemodialisis
regular, maka diberikan diet rendah protein 0,60 gr/kgBB/hari. Untuk individu yang tidak dapat
menerima jenis diet tersebut atau tidak dapat mempertahankan asupan diet yang adekuat, perlu
diberikan asupan protein hingga 0,75 gr/kg BB/hari 24.
Bila dapat dilaksanakan dan dapat dimonitor, diet rendah protein, tinggi energi dapat
mempertahankan status nutrisi dan mengurangi potensi terbentuknya metabolik nitrogen yang
toksis, mengurangi gejala uremia dan menurunkan kejadian komplikasi metabolik.
Bukti menunjukkan diet rendah protein dapat menghambat progresifitas gagal ginjal dan
memperlambat kemungkinan terapi dialisis. Paling sedikit 50% asupan protein harus mempunyai
nilai biologis tinggi. Bila penderita gagal ginjal mengkonsumsi nutrisi tidak terkontrol,
penurunan asupan protein dan indikator status nutrisi harus dilakukan 24.
Diet rendah protein dan malnutrisi
Kita ketahui bahwa beberapa penderita PGK dapat kehilangan massa ototnya dan protein,
tetapi dari beberapa laporan hal ini terjadi hanya sebagian kecil saja yang disebabkan oleh
asupan

protein

yang

rendah.

Pada

kenyataannya

telah

banyak

penelitian

yang

membuktikan kegunaan diet restriksi protein seperti yang telah dibahas diatas 12.
Pada perencanaan yang baik pemberian asupan rendah protein diperlukan asupan energi
yang adekuat oleh karena pasien PGK tanpa komplikasi akan mengaktivasi mekanisme protektif
46

maupun adaptif yang sama dengan orang dewasa normal. Untuk alasan ini, pasien PGK tanpa
komplikasi membutuhkan nutrisi yang sama dengan orang dewasa sehat. Malnutrisi
didefinisikan sebagai kelainan yang disebabkan oleh berkurangnya asupan kalori, protein atau
adanya ketidak seimbangan diet, sehingga malnutrisi seharusnya diperbaiki dengan cara
meningkatkan asupan kalori atau diet protein.
Kehilangan otot pada PGK adalah suatu proses katabolisme yang terjadi karena
teraktivasinya jalur seluler yang tidak tergantung terhadap asupan nutrisi. Kesalahan
digunakannya istilah malnutrisi pada PGK disebabkan dua alasan yaitu keyakinan bahwa
hipoalbuminemia disebabkan karena insufisiensi asupan protein dan gambaran klinik PGK mirip
dengan keadaan yang dihubungkan dengan malnutrisi. Hipoalbuminemia sering terdapat pada
pasien PGK. Penurunan serum albumin ini disebabkan adanya sitokin-sitokin di sirkulasi darah
dan inflamasi , bukan karena asupan nutrisi yang tidak adekuat (malnutrisi) 13,25
Penurunan berat badan , kelemahan (fatigue) dan kehilangan massa otot yang terlihat
pada pasien PGK sering didiagnosis sebagai malnutrisi, padahal kelainan tersebut merupakan
konsekuensi proses metabolik yang terjadi pada PGK, bukan karena asupan nutrisi yang kurang.
Meningkatkan asupan protein pada penderita ini hanya akan menimbulkan gangguan
metabolik daripada meningkatkan massa otot. Asupan tinggi protein dapat menimbulkan asidosis
yang akan meningkatkan destruksi protein di otot melalui aktivasi sistim ubiquin-proteasome
proteolytic (UPP). UPP diidentifikasi sebagai sistim proteolitik yang menyebabkan katabolisme
protein di otot pada keadaan tubuh mengalami katabolisme seperti luka bakar atau trauma.
Asidosis metabolik juga menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif dan kehilangan cadangan
protein. Koreksi asidosis dapat mensupresi sistim UPP dan menyebabkan peningkatan berat
badan 19, 25.
Monitoring Asupan Nutrisi
Asupan protein dapat diestimasi dengan memonitor nutrisi yang dimakan dan ekskresi
urea dalam urine pasien PGK predialisis atau memonitor protein nitrogen appearance pada
pasien PGK dengan dialisis. Untuk pasien PGK pre-dialisis dapat digunakan rumus berikut :
Asupan nitrogen (gr/hr) = UNA (gr/hr) + 0,031 X berat badan (kg)
Ket : UNA : urea nitrogen dalam urine 24 jam
asupan protein : 6,25 X asupan nitrogen
47

Compliance diet rendah protein didefinisikan sebagai asupan aktual (yang sebenarnya)
20% asupan yang diresepkan. Pada penelitian-penelitian yang terkontrol baik, asupan aktual
cenderung lebih besar 10-20% dari asupan yang diresepkan, tetapi pada penelitian dengan
kontrol yang kurang baik asupan protein aktual 20-50% diatas diet protein yang diresepkan. Oleh
karena itu sangat penting dukungan nutrisi secara berkesinambungan dan pemeriksaan kadar
urea dalam urine secara teratur13 .
Penanganan terhadap hiperkalemia
Hiperkalemia salah satu komplikasi yang serius pada penderita uremia. Bila K+ serum
mencapai kadar sekitar 7 mEq/L, dapat terjadi disritmia yang serius dan juga henti jantung.
Selain itu, hiperkalemia makin diperberat lagi oleh hipokalsemia, hiponetremia, dan asidosis.
Karena alasan

ini, jantung penderita harus dipantau terus untuk mendeteksi efek

hiperkalemia. Penanganan terhadap kondisi hiperkalemia yaitu:

Stop obat yang dapat meningkatkan kadar kalium seperti anti aldosteron,
penyekat- non selektif, ACE-I, dan ARB.

Stop makanan dan minuman yang mengandung kalium.

Jika kalium serum >6 meq/L maka segera berikan kalsium glukonas 10% 10 ml
secara parenteral selama 2-3 menit atau kalsium chlorida10% 5-10 ml selama 2-3
menit untuk mencegah gangguan ritme jantung.

Berikan Insulin Regular 10U bersamaan dengan pemberian glukosa 40%


sebanyak 50 ml atau hanya glukosa 40% sebanyak 50 ml secara parenteral dapat
menurunkan kadar kalium 0,5-1,5 meq/L. Efek penurunan kalium dapat terlihat
pada menit ke-15, mencapai puncak pada menit ke-60 dan berakhir dalam
beberapa jam.

Pemberian Beta2 - agonis sepeti terbutalin 7 mikrogram/kgBB/subkutan,


Albuterol 10-20 mg secara nebulizer selama 10 menit dimana efek puncak dapat
terlihat dalam 90 menit, atau Albuterol 0,5 mg intravena efek puncak dapat
terlihat dalam 30 menit 26.

Mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria


48

Terapi farmakologis yang dipakai untuk mengurangi hipertensi glomerulus ialah dengan
pengggunaan antihipertensi yang bertujuan untuk memperlambat progresivitas dari kerusakan
ginjal yaitu dengan memperbaiki hipertensi dan hipertrofi intraglomerular. Selain itu terapi ini
juga berfungsi untuk mengontrol proteinuria. Tekanan darah yang meningkat akan meningkatkan
proteinuria yang disebabkan transmisi ke glomerulus pada tekanan sistemik yang meningkat.
Saat ini diketahui secara luas, bahwa proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi
ginjal.
Dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal
pada PGK. Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angotensin
(ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti dapat
memperlambat proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap
obat-obat tersebut dapat diberikan calcium chanel bloker, seperti verapamil dan diltiazem 27.
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler
Hal ini dilakukan karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskuler. Hal-hal yang

termasuk ke dalam pencegahan dan terapi penyakit

kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemi,


pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.19
Penatalaksanaan anemia
Kejadian anemia pada PGK stadium V adalah hampir 100%. Penyebab anemia adalah
multifaktorial antara lain defisiensi besi, defisiensi asam folat, usia sel eritrosit yang memendek,
perdarahan kronik, inflamasi kronik, lingkungan uremik, hiperparatiroid, keracunan aluminium,
dan defisiensi produksi eritropoietin. Anemia mempunyai dampak negatif berupa gangguan
kardiovaskuler, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, maka anemia pada PGK perlu dikelola
dengan baik 28.
Pengobatan anemia dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Jika penyebab anemia adalah
karena defisiensi besi, maka terapinya adalah dengan memberikan preparat besi. Terapi besi pada
49

PGK menurut rekomendasi dari PERNEFRI yaitu: sebelum dimulai terapi besi, terlebih dahulu
dilakukan test dose, dilakukan sebelum mulai terapi besi dengan cara :

Iron sucrose : 20 50 mg (1 - 2,5 mL) diencerkan dengan 50 mL NaCl 0,9% drip


IV, dalam waktu paling cepat 15 menit.

Iron dextran : 25 mg diencerkan dengan 50 mL NaCl 0,9% drip IV, dalam waktu
30 menit

Terapi besi fase koreksi bertujuan untuk mengkoreksi anemia defisiensi besi absolut dan
fungsional sampai status besi cukup, yaitu feritin serum >100g/L dan saturasi transferin >20%.
Cara pemberian:

Iron sucrose ( venofer sediaan 20 mg dan 100 mg): bila dapat ditoleransi 100 mg,
diencerkan dengan 100 ml NaCl 0,9%, drip iv dalam waktu paling cepat 15
menit.

Iron dextran: 100 mg iron dextran diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9% diberikan
1 2 jam pertama HD melalui venous blood line. Cara ini diulang tiap kali HD
(2x seminggu) sampai 10 kali atau dosis mencapai 1000 mg

Dosis besi fase koreksi:

bila serum feritin 30g/L : 6x100 mg dalam 4 minggu

bila serum feritin 31 sampai 100 g/L : 4x100 mg dalam 4 minggu

Dosis besi fase pemeliharaan: 80 mg tiap 2 minggu. Evaluasi status besi dilakukan 1
minggu pasca terapi besi fase koreksi. Bila status besi cukup, dilanjutkan dengan terapi besi fase
pemeliharaan 28. Bila terjadi defisiensi asam folat, diberi pengobatan asam folat dengan dosis 1-5
mg/hari selama 3-4 minggu.
Jika penyebab anemia adalah karena defisiensi eritropoetin, maka dapat diberi terapi
EPO.Indikasi terapi EPO menurut rekomendasi dari PERNEFRI adalah bila Hb < 10 g/dL, Ht <
30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat
pemberian EPO adalah cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin >
20% dan tidak ada infeksi yang berat.
Kontraindikasi pemberian EPO yaitu hipersensitivitas terhadap EPO. Keadaan yang perlu
diperhatikan pada terapi EPO :

Hipertensi tidak terkendali


50

Hiperkoagulasi

Beban cairan berlebih/fluid overload

Terapi EPO ada 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase koreksi bertujuan untuk
mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.

Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4


minggu.

Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 24 % dalam 2-4 minggu.

Hemoglobin dan Hematokrit dipantau tiap 4 minggu.

Bila target respon tercapai: dosis EPO dipertahankan sampai target Hb tercapai (>
10 g/dL)

Bila terget respon belum tercapai dosis EPO dinaikkan 50%.

Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%.

Pemantauan status besi perlu dilakukan selama pemberian EPO.

Terapi EPO fase pemeliharaan:

Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>10 g/dL) dengan dosis 2 atau 1 kali
2000 IU/minggu, Hb dan Ht dipantau setiap bulan, status besi diperiksa setiap 3
bulan.

Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup)
maka dosis EPO diturunkan 25%.
Agar pemberian terapi EPO optimal, perlu diberikan terapi penunjang seperti:
asam folat : 5 mg/hari
vitamin B6: 100-150 mg
Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
Vitamin C : 300 mg IV pada anemia defisiensi besi fungsional yang
mendapat terapi EPO
Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang
diakibatkan terapi besi iv 28.
51

Osteodistrofi ginjal
Salah

satu

tindakan

pengobatan

terpenting

untuk

mencegah

timbulnya

hiperparatiroidisme sekunder dan segala akibatnya adalah diet rendah fosfat dan dengan
pemberian agen yang dapat mengikat fosfat dalam usus. Obat pengikat fosfat ada dua jenis,
yaitu yang mengandung kalsium (calcium containing phosphate binder) sepeti kalsium karbonat
dan kalsium asetat dan yang tidak mengandung kalsium (noncalcium containing phosphate
binder) seperti lantanum karbonat. Pencegahan dan koreksi hiperfosfatemia mencegah urutan
peristiwa yang dapat mengarah pada gangguan kalsium dan tulang. Apabila terjadi keterlibatan
tulang yang parah akibat kurangnya terapi preventif dengan agen pengikat fosfat, maka
diindikasikan terapi vitamin D atau paratiroidektomi. Bila lesi yang dominan adalah
osteomalasia maka perlu harus dimulai terapi vitamin D dengan pengawasan ketat. 21Pilihan
terapi yang dapat diberikan pada keadaan hiperfosfatemia tergantung pada kadar Ca2+ dan [PO43-]
pasien. Koreksi dilakukan dengan pemberian phosphate binders. Jenis Phospate binders yang
tersedia :
Ca based phosphate binders, contoh : kalsium asetat dan kalsium karbonat 3 6
g/hari
Non Ca based phosphate binders, contoh : lanthanum, sevelamer atau
magnesium 2,29.
Neuropati Perifer
Bisaanya neuropati perifer simtomatik tidak timbul sampai gagal ginjal mencapai tahap
yang sangat lanjut. Tidak ada pengobatan yang diketahui untuk mengatasi perubahan tersebut
kecuali dengan dialisis yang dapat menghentikan perkembangannya 11.
Pengobatan segera pada infeksi
Penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap serangan
infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Semua jenis infeksi dapat meningkatkan proses
katabolisme dan mengganggu nutrisi yang adekuat serta keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga infeksi harus segera diobati untuk mencegah gangguan fungsi ginjal lebih lanjut.
Petunjuk untuk pemberian antibiotik:
52

Hindari antibiotik yang bersifat nefrotoksik

Perhatikan golongan antibiotik yang memerlukan penyesuaian dosis.11,30

Penanganan terhadap dislipidemia dan hiperhomosistinemia


Gangguan metabolism lipid merupakan bagian integral untuk modulasi kerusakan
progresif glomerulus. Dari laporan meta analisis dari 13 studi yang telah dipublikasi, Fried dkk
menyimpulkan koreksi farmakologik dislipidemia memperlihatkan penurunan yang lambat
fungsi ginjal walaupun dengan efek minimal. Statin merupakan pilihan utama untuk tujuan
renoprotektif karena mempunyai efek pleiotropik pada vaskuler, mempunyai efek anti inflamasi,
anti oksidan, immunomodulasi, proangiogenik dan anti trombotik. Efek renoprotektif statin telah
didukung dari data post-hoc dari studi CARE. Target. LDL< 100mg/dl. Apabila trigliserida 200
mg/dl, target kolesterol non HDL <130 mg/dl. Kolesterol non HDL adalah kadar kolesterol
total dikurangi kadar HDL.
Terapi selain menggunakan statin seperti yang telah disebutkan diatas, pola makan
rendah lemak jenuh juga dapat dianjurkan. Asupan lemak dianjurkan 25 30% total kalori
dengan lemak jenuh dibatasi < 10%. Apabila terdapat dislipidemia maka asupan kolesterol
dalam makanan dianjurkan <300mg/dl. Pemberian suplemen oral asam folat 15 mg dan vitamin
b12 500g/hari dilakukan untuk mencegah aterosklerosis yang disebabkan oleh adanya
hiperhomosistinemia pada pasien disamping pengaruh lain yang mungkin menyertai.
Terapi Pengganti Ginjal
1. Terdapat 2 jenis terapi pengganti ginjal yaitu :
a. Dialisis yang terdiri dari hemodialisis, dialisis peritoneal dan hemofiltrasi.
b. Transplantasi ginjal yang dapat berasal dari donor hidup atau donor jenazah
(cadaver)
2. Dialisis menurut kebutuhan pemakaian dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
a. Dialisis temporer yang bersifat akut dan perioperatif.
b. Dialisis kronik31.
Edukasi pasien dengan penyakit ginjal kronis Pra Dialisis
53

Pasien penyakit ginjal dan keluarga harus mendapat penjelasan yang lengkap mengenai
perjalanan alamiah penyakitnya dan risiko yang akan timbul di kemudian hari termasuk terapi
dialisis atau transplantasi. Terapi pengganti ginjal merupakan terapi yang dilakukan secara terus
menerus karena itu pasien perlu melakukan persiapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan
tersebut, edukasi pra dialisis berupa penjelasan mengenai riwayat alamiah penyakit ginjal,
perubahan diet, persiapan memasuki tahap gagal ginjal terminal diantranya pembuatan akses
vascular 31.

Saat memulai dialisis (inisiasi)


Secara ideal semua pasien dengan LFG < 15mL/menit dapat mulai menjalani dialisis.
Namun dalam pelaksanaan klinis pedoman yang dapat dipakai adalah sebagai berikut.
1. LFG< 10mL/menit dengan gejala uremia/ malnutrisi.
2. LFG < 5mL/menit walaupun tanpa gejala.
3. Indikasi khusus :
a. Terdapat komplikasi akut (edema paru, hiperkalemia, asidosis metabolic
berulang)
b. Pada pasien nefropati diabetic dapat dilakukan lebih awal

31

Kendala atau kontra indikasi tindakan dialisis :


1. Tidak mungkin didapatkan akses vascular pada HD atau terdapat gangguan di
rongga peritoneum pada CAPD. Tindakan dialisis membutuhkan akses vascular
untuk mengalirkan darah yang cukup untuk proses difusi HD atau

rongga

peritoneum yang baik agar proses difusi berlangsung dengan baik (dilaisis
peritoneal) 31.
2. Dialisis tidak dapat dilakukan pada keadaan :
a. Akses vascular sulit
b. Instabilitas hemodinamik
c. Koagulopati
d. Penyakit Alzheimer
e. Demensia multi infark
54

f. Sindroma hepatorenal
g. Sirosis hati lanjut dengan ensefalopati
h. Keganasan lanjut 31.
Pada keadaan tersebut diatas terdapat kendala medis atau bedah sehingga dilaisis sulit
dilakukan atau bila dilakukan hasilnya tidak maksimal bahkan dapat membahayakan pasien.
Pasien gagal ginjal yang mempunyai penyakit atau gangguan fungsi organ lain yang berat dan
ireversibel atau prognosis buruk, maka tindakan dialisis harus melalui diskusi yang mendalam
dengan keluarga dan dokter spesialis lain. Pada keadaan ini dialisis diragukan akan dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien 31.
Pada dialisis kronik belum ada penelitian yang baik yang menunjukkan kelebihan
hemodialisis daripada dialisis peritoneal atau sebaliknya. Dilaporkan fungsi ginjal sisa
dipertahankan lebih baik pada dialisis peritoneal dibandingkan hemodialisis. Saat ini
hemodialisis lebih ekonomis dibandingkan dengan dialisis peritoneal. Selain yang disebut diatas,
pilihan terapi pengganti ginjal juga melihat segi mobilitas pasien dan penerimaan pasien terhadap
teknik dialisis yang digunakan 31.
Dosis dan Adekuasi HD
a. Setiap pasien HD harus diberikan resep/ perencanaan/ program HD (prescribed
dose)
b. Adekuasi HD (Kt/V) ditentukan dengan pengukuran dosis HD yang terlaksana
(delivery dose)
c. Target Kt/V yang ideal adalah 1,2 (URR 65%) untuk HD 3x per minggu selama 4
jam perkali HD dan 1,8 untuk HD 2x perminggu selama 4 5 jam perkali HD.
d. Frekuensi pengukuran dosis adekuasi HD sebaiknya dilakukan secara berkala

(idealnya 1 kali tiap bulan) minimal tiap 6 bulan 31.


1. Dosis HD yang diresepkan 31 :

a. Tentukan tinggi badan dan berat badan pasien untuk mengukur volume
b. Tentukan volume (V) yang mengacu pada normogram.
c. Tentukan klirens urea dari dialyzer yang dipakai sesuai dengan laju aliran darah
(Qb). Lihat petunjuk pada kemasan dilyzer.
d. Lama dialisis diinginkan dalam jam (t)
55

Kt/V = 1,2 (Untuk HD 3x


seminggu)
2. Dosis HD yang sebenarnya 31 :

(ditentukan setelah hemodilaisis)


Kt/V = - In (R- 0,008t) + (4-3,5R) x { (BB pra dialisis BB pasca
dialisis) : BB pasca dialisis }

In

: Logaritma natural

: Ureum pasca dialisis : ureum pra dialisis

: Lama dialisis (jam)

BB

: berat badan

UF/W : { (BB pra dialisis BB pasca dialisis) : BB pasca dialisis }


Rumus lain :
URR = 100 x {1
(C1 : C0)}

URR : Urea reduction ratio


C1

: BUN pasca HD

C0

: BUN pra HD

Metode Pengambilan Sampel Ureum

Pengambilan sampel ureum harus dilakukan pra dan pasca HD pada sesi yang
sama.

Sampel darah pra-HD diambil dari jarum arteri sebelum HD tanpa kontaminasi
garam atau heparin.

Sampel darah pasca HD diambil dari jalur arteri 2 menit setelah Qb diturunkan
menjadi 50 ml/menit pada sesi yang sama 31.

Pengambilan sampel darah pada jalur arteri untuk pengukuran ureum pra dialisis
diperlukan untuk mengukur keabsahan dosis dialisis. Pengambilan sampel darah pasca dialisis
dilakukan 2 -3 menit setalah Qb diturunkan untuk menghindari kemungkinan retikulasi 31.
Durasi HD disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap HD dilakukan 4 5 jam dengan
frekuensi 2 x per minggu. Frekuensi HD dapat diberikan 3x per minggu dengan durasi selama 4
56

5 jam. Idealnya 10 15 jam/ minggu. Berdasarkan pengalaman selama ini, frekuensi 2x per
minggu telah menghasilkan nilai Kt/V yang mencukupi (> 1,2) dan pasien juga merasa lebih
nyaman. Selain itu, dana asuransi kesehatan yang tersedia juga terbatas dan hanya dapat
menanggung HD dengan frekuensi rata rata 2 kali per minggu. Oleh karena itu di Indonesia
bisaa dilakukan HD 2 kali/minggu selama 4 5 jam dengan memperhatikan kebutuhan
individual 31.
Akses vaskular yang adekuat (baik) adalah akses vaskular yang dapat memberikan aliran
darah minimal 200 300 mL/menit. Akses tersebut memerlukan perawatan agar bebas dari
infeksi, stenosis tromboembolik dan aneurisma. Terdapat 2 macam akses vaskular yaitu akses
vascular permanen dan akses vascular temporer (apabila akses vascular permanen belum
tersedia/ matur/ bermasalah). Akses vascular temporer yaitu akses melalui vena femoralis, vena
jugularis interna dan vena subklavia. Teknik kalulasi akses vascular dapat langsung melalui
pembuluh darah besar seperti vena femoralis, sefalika, radialis atau kanulasi dengan lumen ganda
yang dipasang pada vena femoralis, subklavia dan jugularis 31.
Antikoagulansia
Antikoagulan diberikan pada saat berlangsungnya proses hemodialisis dengan tujuan agar
tidak terjadi pembekuan darah dalam sirkuit ekstrakorporeal. Heparin dengan berat molekul
besar (unfractioned heparine) masih merupakan standar antikoagulasi. Pada keadaan dimana
antikoagulan merupakan ssuatu kontraindikasi bagi pasien, misalnya pasca operasi, pasien
dengan perdarahan aktif gastrointestinal, dapat diupayakan pemberian heparin dengan berat
molekul rendah. Sekarang sudah dapat ddisederhanakan menjadi dua macam pilihan yaitu
antikoagulansi rutin dan antikoagulasi pada pasien dengan resiko 31.
a. Antikoagulansia rutin 31.
Untuk pasien stabil tanpa resiko perdarahan, heparin dapat diberikan secara
kontinyu :

Diberikan dosis awal secara bolus 200 unit

Tunggu 3- 5 menit untuk member kesempatan heparin menyebar merata,


kemudian dialisis dimulai. Dilanjutkan dengan infuse heparin dengan
kecepatan 1000 unit/ jam secara kontinyu (dengan pompa/ syringe pump)

Dilakukan penilaian koagulasi


57

Heparin dpaat diberikan secara bolus yang berulang ulang / intermitten :

Berikan dosis bolus awal : 3000 4000 unit (50 100 unit/kgBB)

Kemudian setiap jam diberikan 1000 2000 unit, tergantung masa


pembekuan. Dilakukan penilaian koagulasi.

Menilai koagulasi sewaktu dialisis 31 :

Secara visual :
o Darah dalam sirkuit ekstrakorporeal berwarna sangat tua
o Dalam dialyzer terlihat garis garis merah.
o Dalam drip chamber terlihat busa dan pembentukan bekuan darah.
o Darah setelah melalui dialiser tak dapat masuk ke venous chamber.
o Terlihat bekuan dalam arterial header dari dialiser.

Tekanan dalam sirkuit ekstrakorporeal

Keadaan dialiser pasca dialisis

Mengukur volume residual dari dialiser.

b. Antikoagulansia pada Pasien Beresiko Perdarahan 31.

Heparinisasi minimal
Pemberian heparin secara ketat (tight/ minimal heparin) dilakukan
untuk pasien beresiko sedang (moderate) untuk mengalami perdarahan.
Heparin minimal dilakukan dengan cara sebagai berikut :
o Target waktu pembekuan (clothing time/CT) sebagai dasar + 40%
o Bolus heparin 500 unit dalam 30 menit
Lebih disukai dengan cara sbb : infuse heparin konstan 250 2000
unit/jam (bisaanya 600 unit/jam), setelah bolus dikurangi atau tidak diberikan
bolus awal (750 unit; dan cek ACT/ activated clotting time setelah3 menit)
o Monitor ACT setiap 30 menit.
o

Pemberian heparin dilakukan sampai akhir dialisis 31.

Dialisis bebas heparin (heparin free dialysis) 31.

58

o Diberikan pada pasien dengan perdarahan aktif, pasien perikarditis,


koagulopati, trombositopenia, perdarahan intraserebral, baru menjalani
operasi atau baru melakukan transplantasi ginjal.
o Pengawasan ketat oleh perawat (hanya 5% risiko untuk pembekuan
sirkuit secara lengkap)
o Cara :
Bilas

sirkuit

dialisis

dengan

NaCl

0,9%

liter

yang

telahdicampur heparin 3000 5000 unit.


Bilas dan keluarkan cairan tersbut diatas (jangan dimasukkan
ke dalam tubuh pasien)
Gunakan secepat mungkin aliran darah (Qb 250 ml/menit)
Bila sirkulasi dialisis tiap 15 30 menit dengan cairan NaCl
0,9% sebanyak 25 200 ml untuk mencegah pembekuan di
jalur arteri.
Naikkan laju filtrasi untuk mengeluarkan NaCl ekstra.
Perhatikan dialiser dan awasi tekanan vena dnegan hati hati
untuk mendeteksi tand a- tanda awal pembekuan darah.
Hindari pemberian transfusi darah.

Pemberian antikoagulansia dengan Low Molecular Weight Heparin 31 :


o Enoxaparin sodium
Dosis : 0,5 1 mg/kg BB, disuntikkan ke dalam jalur arteri
(arterial line) dari sirkuit dialisis pada awal dialisis, akan cukup untuk
dialisis selama 4 jam. Bila tampak cincin fibrin, tambah suntikan 0,5
1 mg/kgBB.
o Nadoparin kalsium
Dosis :
Berat badan < 50 kg : 0,3 ml
BB 50 59 kg

:0,4 ml

BB > 70 kg

: 0,5 ml

59

Disuntikkan ke dalam jalur arteri dari sirkuit dialisis pada awal


hemodialisis.
Dialisis Peritoneal
Nilai target klirens pada dialisis peritoneal / Kt/V mingguan pada CAPD (Continuous
Ambulatory Perotoneal Dialysis) dan dialisis peritoneal otomatis (Automated Peritoneal Dialysis
atau APD) adalah 2,0 dengan nilai minimum 1,7/minggu. Nilai target minimum klirens kreatinin
mingguan adalah 60 L/ minggu pada PET high dan high average, sedangkan pada PET low dan
low voltage, nilai target minimum adalah 50 L/minggu 31.
Pemantauan Pasien Dialisis Peritoneal
1. Kt/V total mingguan dan klirens kreatinin harus diukur 4 minggu setelah program dialisis
dimulai namun tidak lebih cepat dari 2 minggu setelah dialisis.
2. Pengukuran klirens kreatinin dan nilai Kt/V residual harus diulang :
a. Tiap 2 bulan pada pasien APD dan tiap 4 6 jam bulan pada CAPD.
b. Jika terdapat riwayat penurunan volume urin secara bermakna.
c. Jika terdapat overload cairan yang tidak dapat dijelaskan.
d. Jika terdapat perburukan uremia secara klinis maupun biokimia 31.
3. Pengukuran Kt/V total mingguan dan klirens kreatinin harus diulang :
a. Tiap 6 bulan secara berkala
b. Jika terdapat perburukan uremia secara klinis atau biokimia.
c. Dalam waktu 4 minggu setelah perubahan pada resep/ perencanaan/ program
dialisis peritoneal.
4. PET diulang tiap tahun atau jika terdapat tanda perubahan status transport secara klinis
5. Pengukuran dan penilaian urea, kreatinin dan elektrolit sebaiknya dilakukan tiap 2
bulan31.
PET (Peritoneal Equilibration Test) adalah suatu pemeriksaan untuk menilai ultrafiltrasi
peritoneum dan klirens atau bersihan dari zat yang terlarut dalam dialisat peritoneal.
Membran peritoneal sebagai membran transport cairan dialisat dapat berfungsi 31 :
1. High transport (H)
60

2. High Average transporter (HA)


3. Low Average transporter (LA)
4. Low Transporter (L)
Pemilihan Pasien Automated Peritoneal Dialysis (APD) atau CAPD 31.
1. Pasien sebaiknya menggunakan APD jika :
a. Klirens CAPD tidak adekuat
b. Status transport tinggi (high), terutama jika berhubungan dengan ultrafiltrasi
suboptimal.
c. Factor psikososial seperti masalah pekerjaan, sekolah atau fasilitas perawatan pada
usia lanjut atau pasien dengan mental terbelakang.
2. Pasien yang mempunyai karakteristik transport membrane peritoneal low terutama
dengan fungsi ginjal sisa yang rendah tidak cocok untuk memakai APD.
Optimalisasi Klirens pada Dialisis Peritoneal 31.
1. Pemeliharaan fungsi ginjal sisa merupakan aspek penting dalam mempertahankan klirens
yang optimal.
2. Resep/ perencanaan/program dialisis peritoneal dibuat dengan mempertahankan ukuran
tubuh, fungsi ginjal sisa, status transport membrane, kualitas hidup dan gaya hidup.
3. Strategi untuk mencapai niali klirens yang optimal secara empiric adalah sbb :
a. Meningkatkan volume cairan CAPD dari 2,0 menjadi 2,5 atau 3,0
b. Meningkatkan jumlah pertukaran pada CAPD atau siklus overnight pada APD.
c. Menambah odalitas tidal pada transporter high dan high average
d. Menambah satu atau dua kali pertukaran pada siang hari dan APD.
4. Klirens total sebaiknya dinilai ulang segera setelah tiap perubahan pada resep/
perencanaan/ program dialisis.
Transport Peritoneal dan Ultrafiltrasi 31.
1. PET sebaiknya dilakukan 4 minggu setelah inisiasi dialisis peritoneal, namun tidak lebih
cepat dari 2 minggu

61

2. PET sebaiknya diulang tiap tahun atau jika terdapat tanda tanda klinis perubahan pada
transport membrane
3. Deteksi klinis dan pengobatan overload cairan dan hipertensi merupakan aspek penting
dalam optimalisasi adekuasi dialisis pada pasien dialisis peritoneal.

Penanganan Komplikasi pada Dialisis


Penanganan komplikasi akut adalah suatu tindakan yang diberikan kepada pasien karena
adanya tanda atau gejala yang timbul akibat reaksi dialisis. Komplikasi yang sering terjadi antara
lain : hipotensi,hipertensi, mual dan muntah, sakit kepala, kejang, kram, demam disertai dengan
menggigil, nyeri dada, dan gatal gatal 31..
Pemeriksaan untuk Evaluasi Jangka Panjang 31.
1. Setiap pasien baru dilakukan penilaian yang meliputi pemeriksaan fisik lengkap dan
penunjang sebagai berikut :

Darah perifer lengkap

Elektrolit

HBs AG

Anti HCV, (HIV)

Foto thorax

EKG/ekokardiografi

2. Bila tidak ada indikasi khusus, maka dilakukan pemeriksaan sesuai jadwal berikut ini :

Na, K,Ca, P, Ureum (tiap 3 bulan)

SI, TIBC, Ferritin (lihat onsensus anemia)

HBsAg, anti HCV, analisa gas darah, EKG (tiap 6 bulan)

Ekokardiografi (tiap 3 tahun)

3. Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan adalah :

Mg (khusus untuk aritmia) dan PTH tiap tahun

Radiologic, densitometer tulang dan HIV pada keadaan khusus.


62

Target Nilai Hemoglobin, Hematokrit dan Biokimia 31.


1. Kadar serum kalsium total pada sampel darah pra dialisis yang dianjurkan adalah 9 11
mg/dl
2. Kadar fosfat serum pra dialisis harus terkontrol dibawah 4,5 mg/dL
3. Nilai hasil perkalian kalsium dan fosfat setelah dikoreksi dengan albumin tidak boleh
melebihi 70. Pemantauan sebaiknya dilakukan secara berkala pada semua pasien dialisis.
4. Target hormone paratiroid pada pasien HD adalah 2 3 x niali normal
5. Kadar magnesium yang dianjurkan adalah 0,70 1,05 mmol/L
6. Kadar bikarbonat serum yang dianjurkan pad apasien HD adalah 18 20 mmol/L.
sedangkan pada dialisis peritoneal nilai kisarannya adalah 21 23 mmol/L. Pemantauan
sebaiknya dilakukan tiap 3 bulan.
7. Status besi dalam tubuh dikatakan cukup jika ferritin serum > 100 g/L dan saturasi
transferin > 20 %. Pemantauan saturasi transferin dilakukan tiap bulan selama koreksi
besi dan 3 bulan sekali bila koreksi besi telah selesai.
8. Target Hb pada pasien HD sebaiknya > 10g/dL. Pemantauan dilakukan tiap 2 4 minggu
selama terapi koreksi.
Nutrisi pada Hemodialisis 31.
Tujuan pemberian nutrisi pada dialisis adalah untuk :

Mencukupi kebutuhan nutrisi

Menjaga agar akumulasi toksin uremia tidak berlebihan

Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit

Mencegah malnutrisi

Memperbaiki status nutrisi

Mencegah atau memperlambat komplikasi jangka panjang hemodialisis.

Penatalaksanaan dan Evaluasi 31.


63

1. Semua pasien dialisis dilakukan penilaian nutrisi awal (bekerja sama dengan ahli gizi)
2. Nutrien yang diberikan sbb :

Energi : 33 kkal/kg/hari. Pada CAPD energy dari cairan dialisat diperhitungkan.

Protein : 1 1,2 g/kg/hari (HD), 1,3g/kg/hari (CAPD) (50% dari protein bernilai
biologis tinggi)

Karbihidrat : 55 60 % dari total kalori

Lemak : 30% dari total kalori

Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml (kenaikan BB diantara waktu HD < 5% BB


kering). Pada keadaan hiperkalemia asupan kalium dari buah buah dibatasi.

Natrium : individual, umumnya dibatasi 3 5 gram Nacl/hari

Kalium : pada keadaan hiperkalemia asupan kalium dari buah buahan dibatasi.

Kalium dan fosfat : Ca 1000 mg/hari, P 17 mg/hari pengikat P diberikan jika


kadar P diatas nilai normal.

3. Pemantauan dan evaluasi terhadapstatus gizi pasien dinilai tiap 6 bulan melalui
pemeriksaan laboratorium,antropometri, SGA (Subjective Global Assesment) dan riwayat
gizi. Pemantauan dan evaluasi disesuaikan dengan status dan kondisi pasien.
4. Mikronutrien dan atau vitamin (Mg,Zn) diberikan sesuai dengan kebutuhan.
5. Jika terdapat penyakit penyerta lain, kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis
lainnya.
3.11 Komplikasi
Penyakit ginjal kronis mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Beberapa diantara komplikasi tersebut akan
dijelaskan lebih lanjut.tabel dibawah ini adalah beberapa komplikasi yang menunjukkan adanya
komplikasi sesuai dengan penurunan GFR 7.
Derajat
1

Penjelasan
Kerusakan ginjal

LFG (ml/mnt)

Komplikasi

90

dengan LFG normal


2

Kerusakan ginjal
dengan penurunan

60 89

Tekanan darah mulai


meningkat
64

LFG ringan
3

Penurunan LFG

30 59

sedang

Penurunan LFG berat

Gagal ginjal

15 -29

<15

Hiperfosfatemia
Hipokalcemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistinemia
Malnutrisi
Asidosis metabolic
Cenderung
hiperkalemia
Dislipidemia
Gagal jantung
Uremia

BAB IV
KESIMPULAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu kerusakan parenkim ginjal yang dapat / tidak
disertai

menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) ,dimana kerusakan ini bersifat tidak

reversibel dan terbagi dalam 5 stadium sesuai dengan jumlah nefron yang masih berfungsi.
Jumlah penderita PGK pada anak lebih sedikit dibanding pada dewasa. Pada anak-anak PGK
dapat disebabkan oleh berbagai hal, terutama karena kelainan kongenital, glomerulonefritis,
penyakit multisistem, dan lain-lain.
Gejala klinis PGK merupakan manifestasi dari penurunan fungsi filtrasi glomerulus yang
mengakibatkan terjadinya uremia, gangguan keseimbangan cairan-elektrolit dan asam-basa, serta
65

gangguan fungsi endokrin berupa berkurangnya kadar eritropoietin dan vitamin D3. Pada anak
juga sering disertai gangguan pertumbuhan dan penulangan karena metabolism kalsium-fosfat
yang terganggu. Penanganan PGK disesuaikan dengan tahap penurunan laju filtrasi glomerulus,
yang secara prinsip dibagi menjadi terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal (TPG).

66

DAFTAR PUSTAKA
1. Tjokroprawiro, Askandar et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : Airlangga
Univesity Press. 2007
2. Tanto C.,Liwang F., Hanifati S., Pradipta E.A. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.2014. Hal 644 647.
3. PERNEFRI. 4th Report Of Indonesian Renal Registry. 2011. Accessed 21 March 2016.
Available at : http://www.indonesianrenalregistry.org/data/4th%20Annual%20Report
%20Of%20IRR%202011.pdf
4. Guyton, A.C. & Hall, J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 11th ed. Jakarta: EGC. 2008.
5. Price S., Wilson L.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 6. Jakarta:
EGC. 2006
6. Ocallaghan, Chris et al. At a Glance Sistem Ginjal 2nd ed. Jakarta : Erlangga. 2009.
7. Sudoyo.A.W., Setiyohadi.B., Alwi I., Simadibrata.M., Setiati.S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: Internal Publishing. Hal 1035 40.
8. Robert M. Kliegman, MD. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Chapter
535.2 Chronic Kidney Disease. 2007 Saunders, An Imprint of Elsevier.
9. R,Bashoum.Essentials of Clinical Nephrology. University of Mansoura, Mansoura,
Egypt.1996
10. Kasper,L .Braunwald,E. Harrison the principal of internal medicine.17 th edition.chapter
274:Chronic Kidney Disease.2008.The McGraw-Hill Companies, Inc.USA.
11. Sukandar E, Gagal Ginjal Kronis Dan Terminal: Nefrologi Klinik, Edisi III. Bandung.
Penerbit ITB: 2006;465-514.
12. Diet Rendah Protein Dan Penggunaan Protein Nabati pada Penyakit Ginjal Kronik,
accesed
21
March
2016.
available
at:http://gizi.depkes.go.id/makalah/download/diet_rendah_prot-nabati.pdf
13. Should We Still Prescribe A Reduction In Protein Intake for Chronic Kidney Disease
(CKD)
Patients,
accesed
21
March
2016.Aavailable
at
:http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/should_we_still_prescribe_a_redu
ction.pdf

67

14. Bandiara R, Ketoacid Therapy in Pre-Dialysis Patients to Prevent End Stage Renal
Disease: A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension, Annual
meeting of Indonesian Society of Nephrology (InaSn), Balai Penerbit Universitas
Diponegoro: 2010;81-89.
15. Lestariningsih. Ketoacid Proven Therapy To Slowndown The Progression Of CKD:
Kongres Nasional X Pernefri Annual Meeting; Hal 57-63.
16. Teplan V et al. Effect low protein diet suplemented with ketoacids and erythropoetin in
chronic renal failure, long term study. Ann Transpant 2001;6(1):47-53.
17. Walser M, Hill S. Can renal replacement be deferred by a supplemented very low protein
diet. J Am Soc Nephrol 1999;10:110-116.
18. Bellizi V. Very low potein diet supplemented with ketoanalogs improves blood
pressure control in chronic kidney disease. Kidney Int 2007;71:234-51
19. Khosla UM, Mitch WE. Dietary protein restriction in the management of chronic
kidney disease. European Renal Disease 2007;41-45
20. Khosla UM, Zharikov S, Finch JL. Hyperuricemia induces endothelial dysfunction.
Kidney Int 2005;67:1739-42
21. Cirillo P, Sato W, Reungjui S. Uric acid, the metabolic syndrome and renal disease. J
Am Soc Nephrol 2006;17:165-168
22. Nair KS. Amino acid and protein metabolism in chronic renal failure. Journal of
Renal Nutrition 2005;15(1):28-33
23. Fouque D, Aparicio M. Eleven reason to control the protein intake of patients with
chronic kidney disease. Natur Clin Practice Nephrol 2007;3(7):383-92
24. National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative
(K/DOQI) Advisory Board: K/DOQI Clinical practice guideline for chronic kidne
disease: evaluation, classification, and stratification. Kisney Disease Outcome Quality
Initiative. Am J Kidney Dis 39 (Suppl 1): S246, 2000
25. Kuhlmann MK, Kribben A, Wittwer M, Horl WH. OPTA- malnutrition in
chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant 2007;22(Suppl 3):13-19
26. Siregar P, Penatalaksanaan gangguan elektrolit pada penyakit ginjal kronik predialisis:
Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:91-92
27. Roesli RMA, Principles of hypertension management in renal disease: Kongres Nasional
X Pernefri, Annual Meeting:249-255
68

28. Effendi Imam, Anemia pada penyakit ginjal kronik: Kongres Nasional X Pernefri,
Annual Meeting:37-40
29. Lydia A, Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik: terapi Lantanum
Karbonat, A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension, Annual
meeting of Indonesian Society of Nephrology (InaSn). Balai Penerbit Universitas
Diponegoro:133-136.
30. Suhardjono, Inflammation and subclinical infection in chronic kidney disease: JNHC
2007.
31. PERNEFRI. Konsensus dialisis. 2013. Accessed 21 March 2016. Available at :
https://www.scribd.com/doc/211591388/konsensus-Dialisis

69

Anda mungkin juga menyukai