TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi Ginjal
3.1.1 Makroskopis
Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk kacang (bean shaped), terletak
retroperitoneal, di belakang kavum abdomen. Masing masing ginjal mempunyai panjang 10
-12 cm (antara vertebra TH 12 L3), penampang 5 6 cm, berat 150 gram. Ginjal kanan 1 2
cm lebih rendah daripada ginjal kiri oleh karena adanya hati. Diafragma ada di sebelah atasbelakang ujung atas ginjal (upper pole) sehingga pada saat inspirasi ginjal akan terdorong
kebawah.1
dari
pada
ginjal
wanita.
Ginjal
dipertahankan dalam
posisi
tersebut
tebal.
Kedua
pararenal)
membantu meredam
guncangan. 4
oleh
ginjal
yang
23
24
25
badan maplphigi. Meskipun ultrafiltrasi plasma terjadi di glomerulus tetapi peranan tubulus
dalam pembentukan urine tidak kalah pentingnya.5
Glomerular Apparatus) Berfungsi mengadakan reabsorpsi bahan-bahan dari cairan tubuli dan
mensekresi bahan-bahan ke dalam tubuli 25% air dan Na + direabsorpsi dan urea disekresi.
Tubulus Distalis terdiri atas: Tubulus Distalis, Tubulus Konektivus, Tubulus Kolektivus.5
Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan
disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentuk
filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan
melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus Urin ini dialirkan keluar ke saluran ureter, kandung
kencing, kemudian ke luar melalui Uretra. 5
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh
dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih
diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan
dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang
kemudian diekskresikan disebut urin.5
3.1.3 Vaskularisasi dan Persarafan pada Ginjal
Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis II.
Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak disebelah kanan garis
tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri
interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian
membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini
kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus. Ginjal mendapat persarafan dari nervus
renalis (vasomotor), saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam
ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal. 5
27
kolektivus
Aldosteron : Merupakan hormon steroid yang di produksi oleh korteks adrenal, hormon
ini meningkatkan ekskresi natrium pada duktus kolektivus
Peptida Natriuretik (NP) : Diproduksi oleh sel jantung dan meningkatkan ekskresi
natrium pada duktus kolektivus
Hormon Paratiroid : Merupakan protein yang diproduksi oleh kelenjar paratiroid, hormon
ini meningkatkan ekskresi fosfat, reabsorbsi kalsium, dan produksi vitamin D pada
ginjal.6
28
2.
Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronis didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit,
dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft Gault
sebagai berikut. 2
LFG (ml/menit/1,73m2) =
Deskripsi
LFG (ml/menit/1,73m2)
90
60 89
30 59
15 29
3.4 Epidemiologi
30
Penyakit ginjal kronis merupakan penyakit yang sering dijumpai pada praktek klinik
sehari hari. Prevalensinya di Negara maju mencapai 10 13 % dari populasi. 5 Di Amerika
serikat, data tahun 1995 1999 menyatakan insidensi penyakit ginjal kronik diperkirakan 100
kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% tiap tahunnya. Di
Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal
pertahunnya.7
Di Negara Negara berkembang lainnya insiden ini diperkirakan sekitar 40 60 kasus
perjuta penduduk pertahun. Sebuah studi yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia
melaporkan sebanyak 12,5% populasi di Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.7
(2%),
obstruksi (8%), Pielonefritis kronik/PNC (6%), Lain-lain (6%), Nefropati Asam Urat (2%),
Nefropati Lupus/SLE (1%), Ginjal Polikistik (1%), dan E10 Tidak Diketahui (1%). Penyebab
terbanyak adalah penyakit ginjal hipertensi dengan 34 % , hal ini tidak sesuai dengan data
epidemiologi dunia yang menempatkan nefropati diabetika sebagai penyebab terbanyak. 3
Penyakit ginjal kronis merupakan multihit process disease. Sekali mengalami
gangguan fungsi ginjal, banyak faktor yang akan memperberat perjalanan penyakit.
Faktor faktor yang berperan dalam progresivitas Penyakit ginjal kronis :
Tidak dapat dimodifikasi
Dapat dimodifikasi
Hipertensi
Albuminuria
cepat)
Genetic
Glikemia
Obesitas
Dislipidemia
Merokok
Kadar asam urat
3.6 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal konik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (survival nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokin dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti
dengan peningkatan tekanan
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
32
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis rennin
angiotensin aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis rennin angiotensin
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor (TGF ).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit
ginjal kronis adalah almuninuria, hipertensi, hiperglikemi, dislipidemia. Terdapat variabilitas
intraindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada
stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve),
pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan
tapi pasti akan terjadi penururunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%,pasien masih belum
merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah,
mual, nafsu makan menurun, dan penurunan berat badan.
Sampai LFG dibawah 30% pasien mulai memperlihatkan gejala uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolism fosfor, dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan cairan seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara
lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara
lain dilaisis, atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal.7
Proteinuria sendiri dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal, sebagaimana dibuktikan
oleh
penelitian
bahwa
pengurangan
proteinuria
dapat
menunjukan
efek
yang
menguntungkan. Protein yang melintasi dinding kapiler glomerulus dapat memberikan efek
toksik langsung dan mendatangkan monosit atau makrofag, hal itu meningkatkan proses
glomerular sclerosis dan tubulointerstitial fibrosis. 8
33
34
35
dan
remaja
dengan
CKD
dari
glomerulonefritis
kronis
terhadap jumlah yang diekskresikan,hal ini menyebabkan retensi natrium dan ekspansi dari
cairan ekstraselular sehingga terjadi hipertensi,yang dapat semakin menambah kerusakan pada
ginjal. 10.Hiponatremia (dilutional hyponatremia) kadang ditemukan pada penderita CKD, hal ini
disebabkan retensi dari air yang berlebihan,sehingga menyebabkan dilusi pada cairan
intravascular.9
Gangguan ekskresi kalium, ginjal mempunyai kapasitas untuk ekskresi kalium,dan
bisaanya hiperkalemia yang berat terjadi saat GFR <10mL/menit/1.73m 2. Apabila hiperkalemia
terjadi pada GFR >10mL/menit/1.73m2 ,harus dicari penyebab dari hiperkalemia, termasuk
diantaranya : intake kalium yang berlebih, hyporeninemic hypoaldosteronism, asidosis metabolic
yang berat,tranfusi darah, hemolisis, katabolisme protein, penggunaan obat-obatan seperti ACE
inhibitor ,B-blocker, dan aldosteron antagonist.9,10 Hipokalemia juga dapat terjadi namun jarang
ditemukan, hal ini terjadi biasanya karena intake kalium yang rendah,penggunaan diuretic yang
berlebihan, kehilangan kalium dari GIT. Dapat juga terjadi karena terbuangnya kalium yang
berlebihan pada penyakit primer yang mendasari CKD, misalnya fanconi syndrome, renal
tubular asidosis, maupun bentuk kelainan herediter atau yang didapat yang lain. Namun pada
keadaan GFR yang menurun sekali,maka hipokalemia sendiri akan berkurang dan dapat terjadi
hiperkalemia.10
Asidosis metabolik berkembang di hampir semua anak-anak dengan CKD sebagai akibat
penurunan ekskresi asam oleh ginjal dan produksi ammonia.8,10
Anemia, hal ini umum terjadi pada pasien dengan CKD ,terutama disebabkan karena
produksi eritropoietin tidak memadai (dibentuk di korteks ginjal, pada interstitial, tubular atau sel
endotelial) dan biasanya tampak lebih nyata pada pasien dengan CKD tahap 3-4. Faktor lain
yang mungkin menyebabkan anemia termasuk kekurangan zat besi, asam folat atau vitamin B12,
dan penurunan survival-time dari eritrosit. 8,9
37
10
dapat menyebabkan gangguan pada mulut,yaitu kadar urea yang tinggi pada saliva dan
38
menyebabkan rasa yang tidak enak (seperti ammonia), fetor uremikum (bau nafas seperti
ammonia),dan uremic frost .Gangguan pada serebral terjadi pada kadar ureum yang sangat
tinggi,dan dapat menyebabkan coma uremicum.Pada jantung dapat mengakibatkan uremic
pericarditis maupun uremic cardiomyopathy.9
Hipertensi, Anak-anak dengan CKD mungkin memiliki hipertensi berkelanjutan yang
berkaitan dengan kelebihan beban volume intravascular dan atau produksi renin yang berlebihan
berkaitan dengan penyakit glomerular.8
Abnormal hemostasis, pada pasien CKD terjadi waktu perdarahan yang memanjang,
karena menurunnya aktivitas dari platelet factorIII, agregasi platelet yang abnormal, dan
gangguan konsumsi protrombin, dan meningkatnya aktivitas fibrinolitik karena fibrinolisin tidak
tereliminir pada ginjal. 9,10
Gangguan Pertumbuhan, perawakan yang pendek adalah sekuel jangka panjang dari
CKD yang terjadi di masa kanak-kanak. Anak-anak dengan CKD berada dalam keadaan resisten
terhadap growth hormon (GH) walaupun terjadi peningkatan kadar GH namun terjadi penurunan
kadar insulin like growth factor 1(IGF-1) dan abnormalitas dari insulin like growth factor
binding proteins.8
Renal Osteodystrophy atau osteodistrofi ginjal merupakan istilah yang digunakan untuk
menunjukkan suatu spektrum kelainan tulang yang ditemui pada pasien dengan CKD. Kondisi
yang umum ditemukan pada anak-anak dengan CKD adalah gangguan berupa tingginya turnover
pada tulang yang disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder. Temuan patologik ini disebut
osteitis fibrosa cystica. Patofisiologi osteodistrofi ginjal sangat kompleks. Pada awal perjalanan
CKD, ketika GFR menurun kira-kira 50% dari normal, penurunan massa ginjal secara fungsional
menyebabkan penurunan aktivitas hidroksilase-1 ginjal, dengan penurunan produksi vitamin D
aktif (1,25-dihydroxycholecalciferol). Kekurangan bentuk aktif vitamin D ini mengakibatkan
penurunan penyerapan kalsium di usus halus, sehingga terjadi hipokalsemia, dan peningkatan
aktivitas kelenjar paratiroid. Peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH) sebagai upaya untuk
memperbaiki hipokalsemia,dengan meningkatan resorpsi tulang. Kemudian dalam perjalanan
CKD, ketika GFR menurun 20-25% dari normal, mekanisme kompensasi untuk meningkatkan
ekskresi fosfat menjadi tidak memadai, sehingga mengakibatkan hiperfosfatemia yang kemudian
lebih lanjut akan mengakibatkan hipokalsemia dan peningkatan sekresi PTH.
Manifestasi klinis osteodistrofi ginjal termasuk kelemahan otot, nyeri tulang, dan mudah
fraktur akibat trauma ringan. Pada anak-anak yang sedang tumbuh, dapat terjadi perubahan
rakitik, deformitas varus dan valgus pada tulang panjang , dan terselipnya kepala epifisis tulang
39
femur dapat dilihat. Studi laboratorium mungkin menunjukkan penurunan kadar kalsium serum,
peningkatan
tingkat
fosfor
serum,
peningkatan
alkali
fosfatase,
dan
tingkat
PTH
normal. Radiografi dari tangan, pergelangan tangan, dan lutut menunjukkan resorbsi
subperiosteal tulang dengan pelebaran metafisis.
Adynamic Bone Disease (low-turnover bone disease) dapat terjadi pada anak dan orang
dewasa dengan CKD. Temuan patologis yang ditemukan berupa osteomalasia ,hal ini
berhubungan dengan supresi berlebihan dari PTH, mungkin terkait dengan penggunaan calcium
containing-phosphat binder dan analog vitamin D.8
3.8 Pemeriksaan
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronis meliputi, gambaran yang sesuai dengan
penyakit dasarnya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. Kelainan
biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat,
hiperkalemi atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, asidosis metabolic. Dan kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria,
leukosituria, cast, isosteinuria.7
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan pada penyakit ginjal kronis diantaranya
pemeriksaan foto polos abdomen, yang dapat ditemukan adanya batu radio opak, pielografi
intravena, akan tetapi jarang dilakukan karena kontras yang digunakan sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, disamping kekhawatiran pengaruh toksik dari kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan. Pielografi antegard atau retrogard dilakukan sesuai dengan indikasi,
ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan adanya ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis, atau batu ginjal, kista , massa, kalsifikasi. Pemeriksaan
pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.7
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara non invasive tidak bisa ditegakkan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi,
prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsy ginjal merupakan
kontraindikasi dilakukan pad pasien dengan ukuran ginjal yang telah mengecil (contracted
kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.7
40
lain
gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas
penyakit dasarnya.
3. Memperlambat progesivitas
penyakit
ginjal
kronik.
Tujuannya
adalah
untuk
mempertahankan kadar LFG dan mencegah penurunan LFG lebihlanjut. Faktor utama
penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasiglomerulus.11
Tujuan terapi konservatif pada penyakit ginjal kronik pre-dialisis antara lain adalah:
1. Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif
2. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
3. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal
4.
progresif).
Mengendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular
Mengendalikan infeksi jika terjadi
Diet protein yang proporsional
Mengendalikan hiperfosfatemia
Terapi terhadap hiperurisemia
Terapi keadaan asidosis metabolic
Kalori (Energi) 30 -35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup
30 kkal/kg BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut:
Kebutuhan protein sebesar 0,6 g/kg BB dan 50% dianjurkan berasal dari protein
dengan nilai biologis tinggi. Produk kedelai cukup aman untuk selingan pengganti
protein hewani sebagai variasi menu dengan jumlah sesuai anjuran. Susu kacang
kedelai dapat pula digunakan sebagai pengganti susu sapi. Hal positif yang
42
Protein diberikan lebih rendah dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini bisa
disebut diet rendah protein atau low protein diet (LPD) .12,13,14
Diet sangat rendah protein (very low protein diet/VLP) yaitu dengan pemberian
protein 0,3 gr/kg BB/hari yang dilengkapi dengan pemberian asam amino esensial
atau campuran asam amino esensial dan asam keto. Kedua diet ini dapat
mengurangi asupan nitrogen sekaligus memenuhi kebutuhan fisiologis asam
amino esensial dapat terpenuhi.Saat ini dampak diet rendah protein disertai
dengan pemberian asam keto merupakan topik yang banyak dibicarakan maupun
diteliti. Asam keto dimetabolisme oleh tubuh menjadi asam amino esensial dan
dapat mengurangi beban nitrogen pada ginjal, dapat memenuhi kebutuhan protein
tubuh tanpa menyebabkan kelebihan fosfor atau urea.14,15
Pada penelitian Bellizi, faktor asupan diet protein sangat penting dalam
pencegahan progresifitas PGK. Dalam penelitian ini ternyata asupan VLPD
disertai suplemen ketoanalog menurunkan proteinuria serta tekanan darah lebih
terkontrol dibandingkan dengan grup yang mendapat asupan LPD. Penelitian ini
memperlihatkan bahwa rasio intake protein nabati pada diet VLPD dengan
ketoanalog lebih tinggi dibandingkan LPD dan ternyata dijumpai efek vasodilatasi
melalui respon dari kadar BCAA (branched chain amino acid) yang
mengakibatkan
penurunan
tekanan
darah
sehingga
dapat
menghambat
progresifitas PGK.18
Hampir sama dengan pasien dengan penyakit hati atau penyakit herediter metabolisme
nitrogen, pada pasien PGK akan terjadi intoleransi protein ketika mereka makan protein yang
terlalu banyak. Protein yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami metabolisme yaitu
pertama, breakdown protein menghasilkan asam amino yang diperlukan untuk cadangan sintesis
protein tubuh yang baru.
Kedua,
protein
menghasilkan
sisa
metabolime
protein dan harus diekskresikan melalui ginjal, bila terakumulasi akan menyebabkan gejalagejala uremia. Sisa metabolisme protein lainnya seperti guanidine, aromatic/aliphatic
amines akan memberikan efek toksik bila kadarnya tinggi dalam darah. Urea merupakan
metabolit nitrogen yang merupakan petanda adanya akumulasi dari toksin-toksin yang lainnya.
Jika seorang penderita PGK makan makanan yang banyak mengandung protein, maka akan
terakumulasi juga beberapa bahan yang lain seperti phenol, asam urat, asid dan fosfat.
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Hakim dkk tahun 1988 terhadap 911
penderita PGK dengan serum kreatinin > 5 mg/dl yang mendapat perhatian nutrisi minimal
memperlihatkan berbagai kelainan metabolisme antara lain > 30% penderita dengan asidosis
berat (bicarbonate serum < 15 mmol/l), hiperfosfatemia berat ( fosfat serum > 7mg/dl) dan
azotemia berat ( BUN > 120 mg/dl). Asupan tinggi protein juga dapat menyebabkan
hiperurisemia, tidak hanya meningkatkan risiko penyakit gout tetapi juga dapat menyebabkan
sindroma metabolik, hipertensi dan disfungsi endotel dengan penyakit vaskuler.19,20,21,22 Alasan
untuk mengontrol asupan protein pada penderita PGK (Fouque,2007)23.
Mengurangi proteinuria
kematian atau inisiasi dialsis setiap tahun untuk setiap 18 pasien yang
mendapat diet rendah protein )
Tidak adanya alasan objektif yang pasti untuk tidak merekomendasikan diet
rendah protein kepada kebanyakan penderita PGK 23.
protein
yang
rendah.
Pada
kenyataannya
telah
banyak
penelitian
yang
membuktikan kegunaan diet restriksi protein seperti yang telah dibahas diatas 12.
Pada perencanaan yang baik pemberian asupan rendah protein diperlukan asupan energi
yang adekuat oleh karena pasien PGK tanpa komplikasi akan mengaktivasi mekanisme protektif
46
maupun adaptif yang sama dengan orang dewasa normal. Untuk alasan ini, pasien PGK tanpa
komplikasi membutuhkan nutrisi yang sama dengan orang dewasa sehat. Malnutrisi
didefinisikan sebagai kelainan yang disebabkan oleh berkurangnya asupan kalori, protein atau
adanya ketidak seimbangan diet, sehingga malnutrisi seharusnya diperbaiki dengan cara
meningkatkan asupan kalori atau diet protein.
Kehilangan otot pada PGK adalah suatu proses katabolisme yang terjadi karena
teraktivasinya jalur seluler yang tidak tergantung terhadap asupan nutrisi. Kesalahan
digunakannya istilah malnutrisi pada PGK disebabkan dua alasan yaitu keyakinan bahwa
hipoalbuminemia disebabkan karena insufisiensi asupan protein dan gambaran klinik PGK mirip
dengan keadaan yang dihubungkan dengan malnutrisi. Hipoalbuminemia sering terdapat pada
pasien PGK. Penurunan serum albumin ini disebabkan adanya sitokin-sitokin di sirkulasi darah
dan inflamasi , bukan karena asupan nutrisi yang tidak adekuat (malnutrisi) 13,25
Penurunan berat badan , kelemahan (fatigue) dan kehilangan massa otot yang terlihat
pada pasien PGK sering didiagnosis sebagai malnutrisi, padahal kelainan tersebut merupakan
konsekuensi proses metabolik yang terjadi pada PGK, bukan karena asupan nutrisi yang kurang.
Meningkatkan asupan protein pada penderita ini hanya akan menimbulkan gangguan
metabolik daripada meningkatkan massa otot. Asupan tinggi protein dapat menimbulkan asidosis
yang akan meningkatkan destruksi protein di otot melalui aktivasi sistim ubiquin-proteasome
proteolytic (UPP). UPP diidentifikasi sebagai sistim proteolitik yang menyebabkan katabolisme
protein di otot pada keadaan tubuh mengalami katabolisme seperti luka bakar atau trauma.
Asidosis metabolik juga menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif dan kehilangan cadangan
protein. Koreksi asidosis dapat mensupresi sistim UPP dan menyebabkan peningkatan berat
badan 19, 25.
Monitoring Asupan Nutrisi
Asupan protein dapat diestimasi dengan memonitor nutrisi yang dimakan dan ekskresi
urea dalam urine pasien PGK predialisis atau memonitor protein nitrogen appearance pada
pasien PGK dengan dialisis. Untuk pasien PGK pre-dialisis dapat digunakan rumus berikut :
Asupan nitrogen (gr/hr) = UNA (gr/hr) + 0,031 X berat badan (kg)
Ket : UNA : urea nitrogen dalam urine 24 jam
asupan protein : 6,25 X asupan nitrogen
47
Compliance diet rendah protein didefinisikan sebagai asupan aktual (yang sebenarnya)
20% asupan yang diresepkan. Pada penelitian-penelitian yang terkontrol baik, asupan aktual
cenderung lebih besar 10-20% dari asupan yang diresepkan, tetapi pada penelitian dengan
kontrol yang kurang baik asupan protein aktual 20-50% diatas diet protein yang diresepkan. Oleh
karena itu sangat penting dukungan nutrisi secara berkesinambungan dan pemeriksaan kadar
urea dalam urine secara teratur13 .
Penanganan terhadap hiperkalemia
Hiperkalemia salah satu komplikasi yang serius pada penderita uremia. Bila K+ serum
mencapai kadar sekitar 7 mEq/L, dapat terjadi disritmia yang serius dan juga henti jantung.
Selain itu, hiperkalemia makin diperberat lagi oleh hipokalsemia, hiponetremia, dan asidosis.
Karena alasan
Stop obat yang dapat meningkatkan kadar kalium seperti anti aldosteron,
penyekat- non selektif, ACE-I, dan ARB.
Jika kalium serum >6 meq/L maka segera berikan kalsium glukonas 10% 10 ml
secara parenteral selama 2-3 menit atau kalsium chlorida10% 5-10 ml selama 2-3
menit untuk mencegah gangguan ritme jantung.
Terapi farmakologis yang dipakai untuk mengurangi hipertensi glomerulus ialah dengan
pengggunaan antihipertensi yang bertujuan untuk memperlambat progresivitas dari kerusakan
ginjal yaitu dengan memperbaiki hipertensi dan hipertrofi intraglomerular. Selain itu terapi ini
juga berfungsi untuk mengontrol proteinuria. Tekanan darah yang meningkat akan meningkatkan
proteinuria yang disebabkan transmisi ke glomerulus pada tekanan sistemik yang meningkat.
Saat ini diketahui secara luas, bahwa proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi
ginjal.
Dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal
pada PGK. Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angotensin
(ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti dapat
memperlambat proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap
obat-obat tersebut dapat diberikan calcium chanel bloker, seperti verapamil dan diltiazem 27.
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler
Hal ini dilakukan karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskuler. Hal-hal yang
PGK menurut rekomendasi dari PERNEFRI yaitu: sebelum dimulai terapi besi, terlebih dahulu
dilakukan test dose, dilakukan sebelum mulai terapi besi dengan cara :
Iron dextran : 25 mg diencerkan dengan 50 mL NaCl 0,9% drip IV, dalam waktu
30 menit
Terapi besi fase koreksi bertujuan untuk mengkoreksi anemia defisiensi besi absolut dan
fungsional sampai status besi cukup, yaitu feritin serum >100g/L dan saturasi transferin >20%.
Cara pemberian:
Iron sucrose ( venofer sediaan 20 mg dan 100 mg): bila dapat ditoleransi 100 mg,
diencerkan dengan 100 ml NaCl 0,9%, drip iv dalam waktu paling cepat 15
menit.
Iron dextran: 100 mg iron dextran diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9% diberikan
1 2 jam pertama HD melalui venous blood line. Cara ini diulang tiap kali HD
(2x seminggu) sampai 10 kali atau dosis mencapai 1000 mg
Dosis besi fase pemeliharaan: 80 mg tiap 2 minggu. Evaluasi status besi dilakukan 1
minggu pasca terapi besi fase koreksi. Bila status besi cukup, dilanjutkan dengan terapi besi fase
pemeliharaan 28. Bila terjadi defisiensi asam folat, diberi pengobatan asam folat dengan dosis 1-5
mg/hari selama 3-4 minggu.
Jika penyebab anemia adalah karena defisiensi eritropoetin, maka dapat diberi terapi
EPO.Indikasi terapi EPO menurut rekomendasi dari PERNEFRI adalah bila Hb < 10 g/dL, Ht <
30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat
pemberian EPO adalah cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin >
20% dan tidak ada infeksi yang berat.
Kontraindikasi pemberian EPO yaitu hipersensitivitas terhadap EPO. Keadaan yang perlu
diperhatikan pada terapi EPO :
Hiperkoagulasi
Terapi EPO ada 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase koreksi bertujuan untuk
mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.
Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 24 % dalam 2-4 minggu.
Bila target respon tercapai: dosis EPO dipertahankan sampai target Hb tercapai (>
10 g/dL)
Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%.
Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>10 g/dL) dengan dosis 2 atau 1 kali
2000 IU/minggu, Hb dan Ht dipantau setiap bulan, status besi diperiksa setiap 3
bulan.
Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup)
maka dosis EPO diturunkan 25%.
Agar pemberian terapi EPO optimal, perlu diberikan terapi penunjang seperti:
asam folat : 5 mg/hari
vitamin B6: 100-150 mg
Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
Vitamin C : 300 mg IV pada anemia defisiensi besi fungsional yang
mendapat terapi EPO
Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang
diakibatkan terapi besi iv 28.
51
Osteodistrofi ginjal
Salah
satu
tindakan
pengobatan
terpenting
untuk
mencegah
timbulnya
hiperparatiroidisme sekunder dan segala akibatnya adalah diet rendah fosfat dan dengan
pemberian agen yang dapat mengikat fosfat dalam usus. Obat pengikat fosfat ada dua jenis,
yaitu yang mengandung kalsium (calcium containing phosphate binder) sepeti kalsium karbonat
dan kalsium asetat dan yang tidak mengandung kalsium (noncalcium containing phosphate
binder) seperti lantanum karbonat. Pencegahan dan koreksi hiperfosfatemia mencegah urutan
peristiwa yang dapat mengarah pada gangguan kalsium dan tulang. Apabila terjadi keterlibatan
tulang yang parah akibat kurangnya terapi preventif dengan agen pengikat fosfat, maka
diindikasikan terapi vitamin D atau paratiroidektomi. Bila lesi yang dominan adalah
osteomalasia maka perlu harus dimulai terapi vitamin D dengan pengawasan ketat. 21Pilihan
terapi yang dapat diberikan pada keadaan hiperfosfatemia tergantung pada kadar Ca2+ dan [PO43-]
pasien. Koreksi dilakukan dengan pemberian phosphate binders. Jenis Phospate binders yang
tersedia :
Ca based phosphate binders, contoh : kalsium asetat dan kalsium karbonat 3 6
g/hari
Non Ca based phosphate binders, contoh : lanthanum, sevelamer atau
magnesium 2,29.
Neuropati Perifer
Bisaanya neuropati perifer simtomatik tidak timbul sampai gagal ginjal mencapai tahap
yang sangat lanjut. Tidak ada pengobatan yang diketahui untuk mengatasi perubahan tersebut
kecuali dengan dialisis yang dapat menghentikan perkembangannya 11.
Pengobatan segera pada infeksi
Penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap serangan
infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Semua jenis infeksi dapat meningkatkan proses
katabolisme dan mengganggu nutrisi yang adekuat serta keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga infeksi harus segera diobati untuk mencegah gangguan fungsi ginjal lebih lanjut.
Petunjuk untuk pemberian antibiotik:
52
Pasien penyakit ginjal dan keluarga harus mendapat penjelasan yang lengkap mengenai
perjalanan alamiah penyakitnya dan risiko yang akan timbul di kemudian hari termasuk terapi
dialisis atau transplantasi. Terapi pengganti ginjal merupakan terapi yang dilakukan secara terus
menerus karena itu pasien perlu melakukan persiapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan
tersebut, edukasi pra dialisis berupa penjelasan mengenai riwayat alamiah penyakit ginjal,
perubahan diet, persiapan memasuki tahap gagal ginjal terminal diantranya pembuatan akses
vascular 31.
31
rongga
peritoneum yang baik agar proses difusi berlangsung dengan baik (dilaisis
peritoneal) 31.
2. Dialisis tidak dapat dilakukan pada keadaan :
a. Akses vascular sulit
b. Instabilitas hemodinamik
c. Koagulopati
d. Penyakit Alzheimer
e. Demensia multi infark
54
f. Sindroma hepatorenal
g. Sirosis hati lanjut dengan ensefalopati
h. Keganasan lanjut 31.
Pada keadaan tersebut diatas terdapat kendala medis atau bedah sehingga dilaisis sulit
dilakukan atau bila dilakukan hasilnya tidak maksimal bahkan dapat membahayakan pasien.
Pasien gagal ginjal yang mempunyai penyakit atau gangguan fungsi organ lain yang berat dan
ireversibel atau prognosis buruk, maka tindakan dialisis harus melalui diskusi yang mendalam
dengan keluarga dan dokter spesialis lain. Pada keadaan ini dialisis diragukan akan dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien 31.
Pada dialisis kronik belum ada penelitian yang baik yang menunjukkan kelebihan
hemodialisis daripada dialisis peritoneal atau sebaliknya. Dilaporkan fungsi ginjal sisa
dipertahankan lebih baik pada dialisis peritoneal dibandingkan hemodialisis. Saat ini
hemodialisis lebih ekonomis dibandingkan dengan dialisis peritoneal. Selain yang disebut diatas,
pilihan terapi pengganti ginjal juga melihat segi mobilitas pasien dan penerimaan pasien terhadap
teknik dialisis yang digunakan 31.
Dosis dan Adekuasi HD
a. Setiap pasien HD harus diberikan resep/ perencanaan/ program HD (prescribed
dose)
b. Adekuasi HD (Kt/V) ditentukan dengan pengukuran dosis HD yang terlaksana
(delivery dose)
c. Target Kt/V yang ideal adalah 1,2 (URR 65%) untuk HD 3x per minggu selama 4
jam perkali HD dan 1,8 untuk HD 2x perminggu selama 4 5 jam perkali HD.
d. Frekuensi pengukuran dosis adekuasi HD sebaiknya dilakukan secara berkala
a. Tentukan tinggi badan dan berat badan pasien untuk mengukur volume
b. Tentukan volume (V) yang mengacu pada normogram.
c. Tentukan klirens urea dari dialyzer yang dipakai sesuai dengan laju aliran darah
(Qb). Lihat petunjuk pada kemasan dilyzer.
d. Lama dialisis diinginkan dalam jam (t)
55
In
: Logaritma natural
BB
: berat badan
: BUN pasca HD
C0
: BUN pra HD
Pengambilan sampel ureum harus dilakukan pra dan pasca HD pada sesi yang
sama.
Sampel darah pra-HD diambil dari jarum arteri sebelum HD tanpa kontaminasi
garam atau heparin.
Sampel darah pasca HD diambil dari jalur arteri 2 menit setelah Qb diturunkan
menjadi 50 ml/menit pada sesi yang sama 31.
Pengambilan sampel darah pada jalur arteri untuk pengukuran ureum pra dialisis
diperlukan untuk mengukur keabsahan dosis dialisis. Pengambilan sampel darah pasca dialisis
dilakukan 2 -3 menit setalah Qb diturunkan untuk menghindari kemungkinan retikulasi 31.
Durasi HD disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap HD dilakukan 4 5 jam dengan
frekuensi 2 x per minggu. Frekuensi HD dapat diberikan 3x per minggu dengan durasi selama 4
56
5 jam. Idealnya 10 15 jam/ minggu. Berdasarkan pengalaman selama ini, frekuensi 2x per
minggu telah menghasilkan nilai Kt/V yang mencukupi (> 1,2) dan pasien juga merasa lebih
nyaman. Selain itu, dana asuransi kesehatan yang tersedia juga terbatas dan hanya dapat
menanggung HD dengan frekuensi rata rata 2 kali per minggu. Oleh karena itu di Indonesia
bisaa dilakukan HD 2 kali/minggu selama 4 5 jam dengan memperhatikan kebutuhan
individual 31.
Akses vaskular yang adekuat (baik) adalah akses vaskular yang dapat memberikan aliran
darah minimal 200 300 mL/menit. Akses tersebut memerlukan perawatan agar bebas dari
infeksi, stenosis tromboembolik dan aneurisma. Terdapat 2 macam akses vaskular yaitu akses
vascular permanen dan akses vascular temporer (apabila akses vascular permanen belum
tersedia/ matur/ bermasalah). Akses vascular temporer yaitu akses melalui vena femoralis, vena
jugularis interna dan vena subklavia. Teknik kalulasi akses vascular dapat langsung melalui
pembuluh darah besar seperti vena femoralis, sefalika, radialis atau kanulasi dengan lumen ganda
yang dipasang pada vena femoralis, subklavia dan jugularis 31.
Antikoagulansia
Antikoagulan diberikan pada saat berlangsungnya proses hemodialisis dengan tujuan agar
tidak terjadi pembekuan darah dalam sirkuit ekstrakorporeal. Heparin dengan berat molekul
besar (unfractioned heparine) masih merupakan standar antikoagulasi. Pada keadaan dimana
antikoagulan merupakan ssuatu kontraindikasi bagi pasien, misalnya pasca operasi, pasien
dengan perdarahan aktif gastrointestinal, dapat diupayakan pemberian heparin dengan berat
molekul rendah. Sekarang sudah dapat ddisederhanakan menjadi dua macam pilihan yaitu
antikoagulansi rutin dan antikoagulasi pada pasien dengan resiko 31.
a. Antikoagulansia rutin 31.
Untuk pasien stabil tanpa resiko perdarahan, heparin dapat diberikan secara
kontinyu :
Berikan dosis bolus awal : 3000 4000 unit (50 100 unit/kgBB)
Secara visual :
o Darah dalam sirkuit ekstrakorporeal berwarna sangat tua
o Dalam dialyzer terlihat garis garis merah.
o Dalam drip chamber terlihat busa dan pembentukan bekuan darah.
o Darah setelah melalui dialiser tak dapat masuk ke venous chamber.
o Terlihat bekuan dalam arterial header dari dialiser.
Heparinisasi minimal
Pemberian heparin secara ketat (tight/ minimal heparin) dilakukan
untuk pasien beresiko sedang (moderate) untuk mengalami perdarahan.
Heparin minimal dilakukan dengan cara sebagai berikut :
o Target waktu pembekuan (clothing time/CT) sebagai dasar + 40%
o Bolus heparin 500 unit dalam 30 menit
Lebih disukai dengan cara sbb : infuse heparin konstan 250 2000
unit/jam (bisaanya 600 unit/jam), setelah bolus dikurangi atau tidak diberikan
bolus awal (750 unit; dan cek ACT/ activated clotting time setelah3 menit)
o Monitor ACT setiap 30 menit.
o
58
sirkuit
dialisis
dengan
NaCl
0,9%
liter
yang
:0,4 ml
BB > 70 kg
: 0,5 ml
59
61
2. PET sebaiknya diulang tiap tahun atau jika terdapat tanda tanda klinis perubahan pada
transport membrane
3. Deteksi klinis dan pengobatan overload cairan dan hipertensi merupakan aspek penting
dalam optimalisasi adekuasi dialisis pada pasien dialisis peritoneal.
Elektrolit
HBs AG
Foto thorax
EKG/ekokardiografi
2. Bila tidak ada indikasi khusus, maka dilakukan pemeriksaan sesuai jadwal berikut ini :
Mencegah malnutrisi
1. Semua pasien dialisis dilakukan penilaian nutrisi awal (bekerja sama dengan ahli gizi)
2. Nutrien yang diberikan sbb :
Protein : 1 1,2 g/kg/hari (HD), 1,3g/kg/hari (CAPD) (50% dari protein bernilai
biologis tinggi)
Kalium : pada keadaan hiperkalemia asupan kalium dari buah buahan dibatasi.
3. Pemantauan dan evaluasi terhadapstatus gizi pasien dinilai tiap 6 bulan melalui
pemeriksaan laboratorium,antropometri, SGA (Subjective Global Assesment) dan riwayat
gizi. Pemantauan dan evaluasi disesuaikan dengan status dan kondisi pasien.
4. Mikronutrien dan atau vitamin (Mg,Zn) diberikan sesuai dengan kebutuhan.
5. Jika terdapat penyakit penyerta lain, kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis
lainnya.
3.11 Komplikasi
Penyakit ginjal kronis mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Beberapa diantara komplikasi tersebut akan
dijelaskan lebih lanjut.tabel dibawah ini adalah beberapa komplikasi yang menunjukkan adanya
komplikasi sesuai dengan penurunan GFR 7.
Derajat
1
Penjelasan
Kerusakan ginjal
LFG (ml/mnt)
Komplikasi
90
Kerusakan ginjal
dengan penurunan
60 89
LFG ringan
3
Penurunan LFG
30 59
sedang
Gagal ginjal
15 -29
<15
Hiperfosfatemia
Hipokalcemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistinemia
Malnutrisi
Asidosis metabolic
Cenderung
hiperkalemia
Dislipidemia
Gagal jantung
Uremia
BAB IV
KESIMPULAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu kerusakan parenkim ginjal yang dapat / tidak
disertai
menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) ,dimana kerusakan ini bersifat tidak
reversibel dan terbagi dalam 5 stadium sesuai dengan jumlah nefron yang masih berfungsi.
Jumlah penderita PGK pada anak lebih sedikit dibanding pada dewasa. Pada anak-anak PGK
dapat disebabkan oleh berbagai hal, terutama karena kelainan kongenital, glomerulonefritis,
penyakit multisistem, dan lain-lain.
Gejala klinis PGK merupakan manifestasi dari penurunan fungsi filtrasi glomerulus yang
mengakibatkan terjadinya uremia, gangguan keseimbangan cairan-elektrolit dan asam-basa, serta
65
gangguan fungsi endokrin berupa berkurangnya kadar eritropoietin dan vitamin D3. Pada anak
juga sering disertai gangguan pertumbuhan dan penulangan karena metabolism kalsium-fosfat
yang terganggu. Penanganan PGK disesuaikan dengan tahap penurunan laju filtrasi glomerulus,
yang secara prinsip dibagi menjadi terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal (TPG).
66
DAFTAR PUSTAKA
1. Tjokroprawiro, Askandar et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : Airlangga
Univesity Press. 2007
2. Tanto C.,Liwang F., Hanifati S., Pradipta E.A. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.2014. Hal 644 647.
3. PERNEFRI. 4th Report Of Indonesian Renal Registry. 2011. Accessed 21 March 2016.
Available at : http://www.indonesianrenalregistry.org/data/4th%20Annual%20Report
%20Of%20IRR%202011.pdf
4. Guyton, A.C. & Hall, J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 11th ed. Jakarta: EGC. 2008.
5. Price S., Wilson L.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 6. Jakarta:
EGC. 2006
6. Ocallaghan, Chris et al. At a Glance Sistem Ginjal 2nd ed. Jakarta : Erlangga. 2009.
7. Sudoyo.A.W., Setiyohadi.B., Alwi I., Simadibrata.M., Setiati.S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: Internal Publishing. Hal 1035 40.
8. Robert M. Kliegman, MD. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Chapter
535.2 Chronic Kidney Disease. 2007 Saunders, An Imprint of Elsevier.
9. R,Bashoum.Essentials of Clinical Nephrology. University of Mansoura, Mansoura,
Egypt.1996
10. Kasper,L .Braunwald,E. Harrison the principal of internal medicine.17 th edition.chapter
274:Chronic Kidney Disease.2008.The McGraw-Hill Companies, Inc.USA.
11. Sukandar E, Gagal Ginjal Kronis Dan Terminal: Nefrologi Klinik, Edisi III. Bandung.
Penerbit ITB: 2006;465-514.
12. Diet Rendah Protein Dan Penggunaan Protein Nabati pada Penyakit Ginjal Kronik,
accesed
21
March
2016.
available
at:http://gizi.depkes.go.id/makalah/download/diet_rendah_prot-nabati.pdf
13. Should We Still Prescribe A Reduction In Protein Intake for Chronic Kidney Disease
(CKD)
Patients,
accesed
21
March
2016.Aavailable
at
:http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/should_we_still_prescribe_a_redu
ction.pdf
67
14. Bandiara R, Ketoacid Therapy in Pre-Dialysis Patients to Prevent End Stage Renal
Disease: A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension, Annual
meeting of Indonesian Society of Nephrology (InaSn), Balai Penerbit Universitas
Diponegoro: 2010;81-89.
15. Lestariningsih. Ketoacid Proven Therapy To Slowndown The Progression Of CKD:
Kongres Nasional X Pernefri Annual Meeting; Hal 57-63.
16. Teplan V et al. Effect low protein diet suplemented with ketoacids and erythropoetin in
chronic renal failure, long term study. Ann Transpant 2001;6(1):47-53.
17. Walser M, Hill S. Can renal replacement be deferred by a supplemented very low protein
diet. J Am Soc Nephrol 1999;10:110-116.
18. Bellizi V. Very low potein diet supplemented with ketoanalogs improves blood
pressure control in chronic kidney disease. Kidney Int 2007;71:234-51
19. Khosla UM, Mitch WE. Dietary protein restriction in the management of chronic
kidney disease. European Renal Disease 2007;41-45
20. Khosla UM, Zharikov S, Finch JL. Hyperuricemia induces endothelial dysfunction.
Kidney Int 2005;67:1739-42
21. Cirillo P, Sato W, Reungjui S. Uric acid, the metabolic syndrome and renal disease. J
Am Soc Nephrol 2006;17:165-168
22. Nair KS. Amino acid and protein metabolism in chronic renal failure. Journal of
Renal Nutrition 2005;15(1):28-33
23. Fouque D, Aparicio M. Eleven reason to control the protein intake of patients with
chronic kidney disease. Natur Clin Practice Nephrol 2007;3(7):383-92
24. National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative
(K/DOQI) Advisory Board: K/DOQI Clinical practice guideline for chronic kidne
disease: evaluation, classification, and stratification. Kisney Disease Outcome Quality
Initiative. Am J Kidney Dis 39 (Suppl 1): S246, 2000
25. Kuhlmann MK, Kribben A, Wittwer M, Horl WH. OPTA- malnutrition in
chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant 2007;22(Suppl 3):13-19
26. Siregar P, Penatalaksanaan gangguan elektrolit pada penyakit ginjal kronik predialisis:
Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:91-92
27. Roesli RMA, Principles of hypertension management in renal disease: Kongres Nasional
X Pernefri, Annual Meeting:249-255
68
28. Effendi Imam, Anemia pada penyakit ginjal kronik: Kongres Nasional X Pernefri,
Annual Meeting:37-40
29. Lydia A, Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik: terapi Lantanum
Karbonat, A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension, Annual
meeting of Indonesian Society of Nephrology (InaSn). Balai Penerbit Universitas
Diponegoro:133-136.
30. Suhardjono, Inflammation and subclinical infection in chronic kidney disease: JNHC
2007.
31. PERNEFRI. Konsensus dialisis. 2013. Accessed 21 March 2016. Available at :
https://www.scribd.com/doc/211591388/konsensus-Dialisis
69