Anda di halaman 1dari 72

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal

2.1.1 Anatomi Ginjal


Ginjal merupakan organ yang berada di rongga abdomen, berada di
belakang peritoneum, dan terletak di kanan kiri kolumna vertebralis sekitar
vertebra T12 hingga L3.Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11- 12
cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, berbentuk seperti biji kacang dengan lekukan
menghadap ke dalam, dan berukuran kira-kira sebesar kepalan tangan
manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau
kurang lebih antara 120-150 gram. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan
lemak yaitu lemak pararenal dan lemak perirenal yang dipisahkan oleh sebuah
fascia yang disebut fascia gerota.
Dalam potongan frontal ginjal, ditemukan dua lapisan ginjal di distal
sinus renalis, yaitu korteks renalis (bagian luar) yang berwarna coklat gelap dan
medulla renalis (bagian dalam) yang berwarna coklat terang. Di bagian sinus
renalis terdapat bangunan berbentuk corong yang merupakan kelanjutan dari
ureter dan disebut pelvis renalis. Masing-masing pelvis renalis membentuk dua
atau tiga kaliks rmayor dan masing-masing kaliks mayor tersebut akan
bercabang lagi menjadi dua atau tiga kaliks minor.Vaskularisasi ginjal berasal
dari arteri renalis yang merupakan cabang dari aorta abdominalis di distal arteri
mesenterica superior. Arteri renalis masuk ke dalam hillus renalis bersama
dengan vena, ureter, pembuluh limfe, dan nervus kemudian bercabang menjadi
arteri interlobaris. Memasuki struktur yang lebih kecil, arteri interlobaris ini
berubah menjadi arteri interlobularis lalu akhirnya menjadi arteriola aferen yang
menyusun glomerulus.
Ginjal mendapatkan persarafan melalui pleksus renalis yang seratnya
berjalan bersama dengan arteri renalis. Impuls sensorik dari ginjal berjalan
menuju korda spinalis segmen T10-11 dan memberikan sinyal sesuai dengan
level dermatomnya. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa nyeri di daerah
pinggang (flank) bisa merupakan nyeri alih dari ginjal.
1.1 Gambar Anatomi Ginjal
Pembuluh darah pada ginjal dimulai dari arteri renalis sinistra yang
membawa darah dengan kandungan tinggi CO2 masuk ke ginjal melalui hilum
renalis. Secara khas, di dekat hilum renalis masing-masing arteri menjadi lima
cabang arteri segmentalis yang melintas ke segmenta renalis. Beberapa vena
menyatukan darah dari ren dan bersatu membentuk pola yang berbeda-beda,
untuk membentuk vena renalis. Vena renalis terletak ventral terhadap arteri
renalis, dan vena renalis sinistra lebih panjang, melintas ventral terhadap aorta.
Masing-masing vena renalis bermuara ke vena cava inferior. Arteri lobaris
merupakan arteri yang berasal dari arteri segmentalis di mana masing-masing
arteri lobaris berada pada setiap piramis renalis. Selanjutnya, arteri ini
bercabang menjadi 2 atau 3 arteri interlobaris yang berjalan menuju korteks di
antara piramis renalis. Pada perbatasan korteks dan medula renalis, arteri
interlobaris bercabang menjadi arteri arkuata yang kemudian menyusuri
lengkungan piramis renalis. Arteri arkuata mempercabangkan arteri
interlobularis yang kemudian menjadi arteriol aferen (Thomas M, 2016).

2.1.2 Fisiologi Ginjal


Masing-masing ginjal manusia terdiri dari sekitar satu juta nefron yang
masing- masing dari nefron tersebut memiliki tugas untuk membentuk urin. Tiga
set ginjal yang berbeda berkembang secara berurutan dari urogenital ridges,
dan set terakhir bertahan hingga menjadi ginjal dewasa. Sistem tubulus ginjal
yang pertama disebut pronephros. Pronephros berkembang selama minggu
keempat perkembangan embrio tetapi dengan cepat merosot saat
mesonephros muncul. Ginjal mesonefros mengalami degenerasi saat
metanefros berkembang melalui sisa-sisanya yang dimasukkan ke dalam
sistem reproduksi pria. Metanephros memulai perkembangannya sekitar
minggu kelima perkembangan embrionik sebagai tunas ureter. Saat tunas
ureter berkembang, ia menginduksi pembentukan nefron. Ujung distal tunas
ureter berkembang menjadi pelvis ginjal, calyces, dan saluran pengumpul
sebagai aspek proksimal tunas ureter berkembang menjadi ureter. Struktur
yang disebut kloaka berkembang untuk membentuk rektum, saluran anus, dan
sinus urogenital. Sinus urogenital kemudian terbentuk ke dalam kandung kemih
dan uretra. Pada bulan ketiga perkembangan janin, ginjal metanefrik mampu
mengeluarkan urin ke dalam cairan ketuban (Faiz Tuma. 2022)
Setiap nefron memiliki 2 komponen utama yaitu glomerulus dan tubulus.
Glomerulus (kapiler glomerulus) dilalui sejumlah cairan yang difiltrasi dari darah
sedangkan tubulus merupakan saluran panjang yang mengubah cairan yang
telah difiltrasi menjadi urin dan dialirkan menuju keluar ginjal. Glomerulus
tersusun dari jaringan kapiler glomerulus bercabang dan beranastomosis yang
mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira 60mmHg), dibandingkan
dengan jaringan kapiler lain.

Gambar Ginjal dan nefron (Sumber : Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh,
2009)
Kapiler-kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel dan seluruh
glomerulus dilingkupi dengan kapsula Bowman. Cairan yang difiltrasi dari
kapiler glomerulus masuk ke dalam kapsula Bowman dan kemudian masuk ke
tubulus proksimal, yang terletak pada korteks ginjal. Dari tubulus proksimal
kemudian dilanjutkan dengan ansa Henle (Loop of Henle). Pada ansa Henle
terdapat bagian yang desenden dan asenden. Pada ujung cabang asenden
tebal terdapat makula densa. Makula densa juga memiliki kemampuan kosong
untuk mengatur fungsi nefron. Setelah itu dari tubulus distal, urin menuju
tubulus rektus dan tubulus koligentes modular hingga urin mengalir melalui
ujung papilla renalis dan kemudian bergabung membentuk struktur pelvis
renalis (Samuel R. Falkson; Bruno Bordoni., 2022).
Terdapat 3 proses dasar yang berperan dalam pembentukan urin yaitu
filtrasi glomerulus reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Filtrasi dimulai pada
saat darah mengalir melalui glomerulus sehingga terjadi filtrasi plasma bebas-
protein menembus kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Proses ini dikenal
sebagai filtrasi glomerulus yang merupakan langkah pertama dalam
pembentukan urin. Setiap hari terbentuk ratarata 180 liter filtrat glomerulus.
Dengan menganggap bahwa volume plasma rata-rata pada orang dewasa
adalah 2,75 liter, hal ini berarti seluruh volume plasma tersebut difiltrasi sekitar
enam puluh lima kali oleh ginjal setiap harinya. Apabila semua yang difiltrasi
menjadi urin, volume plasma total akan habis melalui urin dalam waktu
setengah jam. Namun, hal itu tidak terjadi karena adanya tubulus-tubulus ginjal
yang dapat mereabsorpsi kembali zat-zat yang masih dapat dipergunakan oleh
tubuh. Perpindahan zat-zat dari bagian dalam tubulus ke dalam plasma kapiler
peritubulus ini disebut sebagai reabsorpsi tubulus. Zat-zat yang direabsorpsi
tidak keluar dari tubuh melalui urin, tetapi diangkut oleh kapiler peritubulus ke
sistem vena dan kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Dari 180 liter
plasma yang difiltrasi setiap hari, 178,5 liter diserap kembali, dengan 1,5 liter
sisanya terus mengalir melalui pelvis renalis dan keluar sebagai urin. Secara
umum, zat-zat yang masih diperlukan tubuh akan direabsorpsi kembali
sedangkan yang sudah tidak diperlukan akan tetap bersama urin untuk
dikeluarkan dari tubuh. Proses ketiga adalah sekresi tubulus yang mengacu
pada perpindahan selektif zat-zat dari darah kapiler peritubulus ke lumen
tubulus. Sekresi tubulus merupakan rute kedua bagi zat-zat dalam darah untuk
masuk ke dalam tubulus ginjal. Cara pertama adalah dengan filtrasi glomerulus
dimana hanya 20% dari plasma yang mengalir melewati kapsula Bowman,
sisanya terus mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus.
Beberapa zat, mungkin secara diskriminatif dipindahkan dari plasma ke lumen
tubulus melalui mekanisme sekresi tubulus. Melalui 3 proses dasar ginjal
tersebut, terkumpullah urin yang siap untuk diekskresi (Anggi Putri Lestari,
2021)
Ginjal memainkan peranan penting dalam fungsi tubuh, tidak hanya
dengan menyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, namun juga
dengan menyeimbangkan tingkat-tingkat elektrolit dalam tubuh, mengontrol
tekanan darah, dan menstimulasi produksi dari sel-sel darah merah. Ginjal
mempunyai kemampuan untuk memonitor jumlah cairan tubuh, konsentrasi dari
elektrolit-elektrolit seperti sodium dan potassium, dan keseimbangan asam-
basa dari tubuh. Ginjal menyaring produk-produk sisa dari metabolisme tubuh,
seperti urea dari metabolisme protein dan asam urat dari uraian DNA. Dua
produk sisa dalam darah yang dapat diukur adalah Blood Urea Nitrogen (BUN)
dan kreatinin (Cr). Ketika darah mengalir ke ginjal, sensor-sensor dalam ginjal
memutuskan berapa banyak air dikeluarkan sebagai urin, bersama dengan
konsentrasi apa dari elektrolit-elektrolit. Contohnya, jika seseorang mengalami
dehidrasi dari latihan olahraga atau dari suatu penyakit, ginjal akan menahan
sebanyak mungkin air dan urin menjadi sangat terkonsentrasi. Ketika
kecukupan air dalam tubuh, urin adalah jauh lebih encer, dan urin menjadi
bening. Sistem ini dikontrol oleh renin, suatu hormon yang diproduksi dalam
ginjal yang merupakan sebagian daripada sistem regulasi cairan dan tekanan
darah tubuh (Vukelic, Sasa; Griendling, Kathy K, 2014).

2.2. Konsep CKD

2.2.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronic didefinisikan
penyakit penurunan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat lagi pulih atau
kembali sembuh secara total seperti sediakala (irreversible) dengan laju filtrasi
glomerulus (LFG) < 60 ml/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih, sehingga tubuh
gagal mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit yang
menyebabkan uremia (Luthfia dkk, 2017). Menurut (Muttaqin & Sari, 2014) CKD
merupakan ketidakmampuan fungsi ginjal mempertahankan metabolisme,
keseimbangan cairan dan elektrolit yang mengakibatkan destruksi struktur ginjal
yang progresif adanya menifestasi penumpukan bahan sisa metabolisme seperti
toksik uremik di dalam darah
Salah satu penatalaksanaan gagal ginjal adalah proses hemodialysis.
Lamanya proses hemodialisis berkaitan erat dengan efesiensi dan adekuasi
hemodialisis, sehingga lama hemodialisis juga dapat dipengaruhi oleh tingkat
uremia akibat progresivitas perburukan fungsi ginjal dan factor-faktor
komorbiditasnya aliran dialisisnya, selama pasien dengan gagal ginjal kronik
menjalani terapi hemodialisis mereka harus menjalani pembatasan asupan
cairan(A Wahyuni · 2019 ). Gagal ginjal juga dapat menyebabkan edema. Hal ini
terjadi karena ginjal tidak lagi dapat membuang kelebihan cairan, elektrolit, dan
garam dari tubuh. Untuk mengatasi edema akibat gagal ginjal, dokter dapat
merekomendasikan prosedur cuci darah. Selain penanganan medis dari dokter,
edema juga dapat diatasi dengan penanganan mandiri di rumah. Berikut ini
adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meringankan gejala edema
yang muncul:
 Mengonsumsi makanan sehat dan membatasi asupan garam
 Menghindari rokok dan minuman beralkohol

Hal yang penting dilakukan untuk mencegah dan mengatasi edema adalah
mengubah pola hidup dan pola makan menjadi lebih sehat, terutama menghindari
makanan yang tinggi garam( dr. Sienny Agustin, 2022)

Menggunakan stoking khusus untuk mencegah pembengkakan bertambah


parah. Kepatuhan pada penderita PGK dalam menjalani terapi hemodialisis
merupakan 2 hal yang penting untuk diperhatikan, begitupun dalam kepatuhan
dalam pelaksanaan pembatasan asupan cairan. Kepatuhan sendiri dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya adalah motivasi dan kepercayaan tersebut

2.2.2 Etiologi
CKD pada anak sering kali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit
lainnya, sehingga merupakan penyakit sekunder. Penyebab dari CKD antara lain:
1. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteri renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE),
poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
6. Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
7. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale
8. Nefropati obstruktif
9. Saluran Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
10. Saluran Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali
congenital pada leher kandung kemih dan uretra.
Penyebab utama CKD pada anak berbeda dari penyebab pada populasi
dewasa. Penyebab CKD paling sering terjadi pada anak, seperti uropati obstruktif
dan nefropati refluks, hipoplasia/diplasia ginjal, glomerulosklerosis fokal
segmental primer (sindrom nefrotik), sindrom uremik hemolitik, glomerulonefritis
kompleks imun/glomerulonefritis kronik, nefropati yang diwariskan seperti
penyakit polikistik ginjal, serta 9 penyebab lain yang cukup jarang terjadi seperti
penyakit ginjal terkait dengan obat atau racun (Becherucci et al., 2016).
Glomerunefritis dapat terjadi karena kelainan imunologik, gangguan
koagulasi, defek biokimia, atau efek toksik langsung pada ginjal. Kelainan
imunologik merupakan mekanisme predominan dalam gangguan glomeruli pada
anak. Salah satu kelainan imunologik ini adalah henoch schonlein purpura.
Henoch schonlein purpura (HSP) adalah bentuk tersering vaskulitis pada anak.
Vaskulitis adalah peradangan dan kerusakan pembuluh darah sehingga
menyebabkan iskemia pada jaringan yang akan diperdarahi oleh pembuluh
darah tersebut. HSP di perantarai oleh IgA di pembuluh darah kecil pada ginjal
yang menyebabkan glomerunefritis dan mengakibatkan sindrom nefrotik
(Bernstein, 2017). Penelitian Kim et.al., (2021) dari total 186 pasien anak dengan
HSP terdapat 67 anak atau 36% mengalami gangguan pada ginjal dengan
insidensi terbanyak pada perempuan berumur antara 4-10 tahun.

2.2.3 Klasifikasi
Menurut Hamzah dkk, (2021) manifestasi klinik pada pasien CKD
dibedakan menjadi dua tahap yaitu pada stadium awal dan stadium akhir
1. Manifestasi stadium awal: kelemahan, mual, kehilangan gairah, perubahan
urinasi, edema, hematuria, urin berwarna lebih gelap, hipertensi, kulit yang
berwarna abu-abu.
2. Manifestasi klinik pada stadium akhir:
a) Manifestasi umum (kehilangan gairah, kelelahan, edema, hipertensi,
fetor uremik)
b) Sistem respirasi: sesak, edema paru, krekels, kusmaul, efusi pleura,
depresi refleks batuk, nyeri pleuritic, napas pendek, takipnea, sputum
kental, pneumonitis uremik.
Penurunan ekskresi H+ terjadi karena ketidakmampuan tubulus ginjal
untuk mensekresi NH3 (amonia) dan menyerap HCO3 (natrium
bikarbonat), serta penurunan ekskresi asam-asam organik dan fosfat.
Asidosis berkontribusi terhadap anoreksia, kelelahan, dan mual pada
pasien uremik. Pernapasan kussmaul adalah napas berat dan dalam,
gejala yang jelas dari asidosis yang disebabkan oleh kebutuhan
meningkatkan ekskresi karbon dioksida untuk mengurangi asidosis
(Nurbadriyah, 2021).
c) Sistem kardiovaskuler: edema periorbital, pitting edema (kaki, tangan,
sakrum), hipertensi, friction rub pericardial, aterosklerosis, distensi vena
jugularis, gagal jantung, gangguan irama jantung, iskemia pada otot
jantung, perikarditis uremia, dan hipertrofi ventrikel kiri, hiperkalemia,
hiperlipidemia, tamponade perikardial.
d) Sistem integumen: pruritus, purpura, kuku tipis dan rapuh, kulit berwarna
abu-abu mengkilat, kulit kering, ekimosis, rambut tipis dan kasar, terjadi
hiperpigmentasi dan pucat, lesi pada kulit
e) Sistem pencernaan: anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi,
perdarahan pada mulut dan saluran cerna
f) Sistem musculoskeletal: fraktur tulang, nyeri tulang, kekuatan otot
menurun, kram otot, gangguan tumbuh kembang pda anak, footdrop
g) Sistem persarafan: kejang, penurunan tingkat kesadaran,
ketidakmampuan berkonsentrasi, perubahan perilaku, stroke,
ensefalopati, neuropati otonom dan perifer, disorientasi, kelemahan, dan
kelelahan
h) Sistem reproduksi: amenorea, atrofi testis, penurunan libido, infertilitas
i) Sistem hematologi: anemia, trombositopenia

2.2.4 Patofisiologi
Menurut Jainurakhma dkk, (2021) proses terjadinya CKD menggunakan
dua sistem pendekatan. Pertama sudut pandang tradisional mengatakan bahwa
semua unit nefron terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda,
dan bagian-bagian spesifik dari nefron tersebut yang berkaitan dengan fungsi
tertentu dapat benar-benar rusak atau berubah strukturnya. Kedua dikenal
dengan nama Hiptesa Briker atau hipotesa nefron utuh, yang mengatakan bahwa
bila nefron terserang penyakit, maka seluruh intinya akan hancur, tetapi sisa
nefron yang masih utuh tetap bekerja seperti biasa.
Uremia akan muncul bila bagian nefron yang rusak semakin banyak
sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi.
Nefron yang masih normal atau utuh akan melakukan adaptasi fungsional pada
kondisi ini untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
meskipun terjadi penurunan LFG (laju filtrasi glomerulus). Patofisiologi CKD ini
dapat diuraikan dari segi hipotesa nefrosis, meskipun penyakitnya terus berlanjut,
namun jumlah cairan yang harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan
homeostasis tidak berubah, walaupun jumlah nefron yang masih berfungsi sudah
menurun banyak. (Jainurakhma dkk, 2021).
Terjadi hiperifiltrasi pada nefron yang tersisa setelah mengalami
kehilangan nefron yang rusak. Meningkatnya tekanan glomerulus menyebabkan
terjadinya hiperinfiltrasi. Hiperinfiltrasi glomerulus ini menyebabkan glomerulus
beradaptasi dengan cara mempertahankan LFG, namun pada akhirnya akan
menyebabkan cedera pada glomerulus. Permeabilitas glomerulus yang abnormal
merupakan hal yang umum terjadi pada gangguan glomerulus yang
menyebabkan terjadinya proteinuria. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
proteinuria inilah yang menjadi faktor yang mendorong terjadinya penyakit tubulus
interstisial. Meluasnya kerusakan primer dari tubulus interstisial merupakan faktor
risiko primer terjadinya gagal ginjal dengan segala bentuk penyakit glomerulus
(Hamzah dkk, 2021).

2.2.5 Manifestasi Klinis


Gejala klinis yang ditimbulkan Chronic Kidney Disease (CKD) menurut
Guswanti (2019) antara lain:
a. Hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin –
angiotensin - aldosteron)
b. Gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan)
c. Perikarditis (akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis,
anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan
tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi) Sedangkan menurut Ismail
(2018) tanda gejala CKD dibagi menjadi 7 yaitu:
1. Gangguan pada sistem gastrointestinal
a. Anoreksia, nausea, vomitus yag berhubungan dengan gangguan
metabolisme protein di dalam usus, terbentuknya zat-zat toksin akibat
metabolisme bakteri usus seperti ammonia danmelil guanidine serta
sembabnya mukosa usus.
b. Faktor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur
diubah oleh bakteri dimulut menjadi amoni sehinnga nafas berbau
amonia.
c. Gastritis erosife, ulkus peptic dan colitis uremik.
2. Kulit
a. Kulit berwarna pucat, anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom.
b. Gatal-gatal akibat toksin uremin dan pengendapan kalsium di poripori
kulit.
c. Ekimosis akibat gangguan hematologi.
d. Ure frost : akibat kristalsasi yang ada pada keringat.
e. Bekas-bekas garukan karena gatal.
3. Sistem Hematologi
a. Anemia yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
Berkurangnya produksi eritropoitin, hemolisis akibat berkurangnya
masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksin, defisiensi besi,
asam folat, dan lain-lain akibat nafsu makan yang berkurang,
perdarhan, dan fibrosis sumsum tulang akibat hipertiroidism sekunder.
b. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia.
4. Sistem saraf dan otot
a. Restless Leg Syndrome, pasien merasa pegal pada kakinya sehinnga
selalu digerakkan.
b. Burning Feet Syndrome, rasa semutan dan seperti terbakar terutama
di telapak kaki
c. Ensefalopati metabolik, lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsetrasi,
tremor, asteriksis, mioklonus, kejang.
d. Miopati, kelemahan dan hipertrofi otot terutama ekstermitas proksimal.
5. Sistem kardiovaskuler
a. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan
aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron
b. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis atau gagal jantung
akibat penimbunan cairan hipertensif
c. Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis, gangguan elektrolit dan
klasifikasi metastasik
d. Edema akibat penimbuna cairan
6. Sistem Endokrin
a. Gangguan seksual, libido, fertilitas, dan ereksi menurun pada lakilaki
akibat testosteron dan spermatogenesis menurun. Pada wanita tibul
gangguan menstruasi, gangguan ovulasi, sampai amenore
b. Gangguan metabolisme glokusa, resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin
c. Gangguan metabolisme lemak
d. Gangguan metabolisme vitamin D
7. Gangguan Sistem Lain
a. Tulang osteodistropi ginjal, yaitu osteomalasia, osteoslerosis, osteitis
fibrosia dan klasifikasi metastasik
b. Asidosis metabolik akibat penimbuna asam organik sebagai hasil
metabolism
c. Elektrolit: hiperfosfotemia, hiperkalemia, hipokalsemia.

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien Chronic Kidney Disease
(CKD), antara lain (Monika, 2019):

a. Hematologi
1) Hemoglobin: HB kurang dari 7-8 g/dl
2) Hematokrit: Biasanya menurun
3) Eritrosit
4) Leukosit
5) Trombosit
b. LFT (Liver Fungsi Test)
c. Elektrolit (Klorida, kalium, kalsium)
AGD : penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7 : 2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan hidrogen dan
ammonia atau hasil akhir. 2) Kalium : peningkatan sehubungan dengan
retensi sesuai dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran
jaringan hemolysis.
d. RFT (Renal Fungsi Test) (Ureum dan Kreatinin)
1)BUN/ Kreatinin : Kadar BUN (normal: 5-25 mg/dL), kreatinin serum (normal
0,5-1,5 mg/dL; 45- 132,5 µmol/ L [unit SI]) biasanya meningkat dalam
proporsi kadar kreatinin 10mg/dl, natrium (normal: serum 135-145 mmol/L;
urine: 40-220 mEq/L/24 jam), dan kalium (normal: 3,5-5,0 mEq/L; 3-5,0
mmol/Lm [unit SI]) meningkat.
e. Urine rutin
1) Urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
2) Volume : kurang dari 400ml/jam, oliguri, anuria
3) Warna : secara abnormal urine keruh, disebabkan bakteri, partikel, koloid
dan fosfat.
4) Sedimen : kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, mioglobin,
porfirin
5) Berat jenis : kurang dari 1.015 (menetap pada 1,015) menunjukkan
kerusakan ginjal berat.
f. EKG
EKG : mungkin abnormal untuk menunjukkan keseimbangan elektrolit dan
asam basa.
g. Endoskopi ginjal : dilakukan secara endoskopik untuk menentukkan pelvis
ginjal, pengangkatan tumor selektif
h. USG abdominal
i. CT scan abdominal
j. Renogram : RPG (Retio Pielografi) katabolisme protein bikarbonat menurun
PC02 menurun Untuk menunjukkan abnormalis pelvis ginjal dan ureter.

2.2.7 Penatalaksanaan
Menurut Monika, (2019) Penatalaksanaan medis pada pasien dengan CKD
dibagi tiga yaitu :
a. Konservatif
1. Melakukan pemeriksaan lab darah dan urine pada anak/dewasa
2. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam.
Biasanya diusahakan agar tekanan vena jugularis sedikit meningkat dan
terdapat edema betis ringan. Pengawasan dilakukan melalui
pemantauan berat badan, urine serta pencatatan keseimbangan cairan
3. Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein). Diet rendah protein (20-240
gr/hr) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari
uremia serta menurunkan kadar ereum. Hindari pemasukan berlebih dari
kalium dan garam.
4. Kontrol hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal,
keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung pada
tekanan darah. Sering diperlukan diuretik loop selain obat anti hipertensi
(Guswanti, 2019).
5. Kontrol ketidak seimbangan elektrolit. Yang sering ditemukan adalah
hiperkalemia dan asidosis berat. Untuk mencegah hiperkalemia hindari
pemasukan kalium yang banyak (batasi hingga 60 mmol/hr), diuretik
hemat kalium, obat-obat yang berhubungan dengan ekskresi kalium
(penghambat ACE dan obat anti inflamasi nonsteroid), asidosis berat,
atau kekurangan garam yang menyebabkan pelepasan kalium dari sel
dan ikut dalam kaliuresis. Deteksi melalui kalium plasma dan EKG.

b. Dialysis
Dialisis digunakan untuk mencegah atau mengobati hiperkalemia yang
mengancam jiwa, edema paru hipervolemia atau asidosis, serta neuropati,
kejang, perikarditis, dan koma, yang semuanya merupakan komplikasi CKD.
Namun, ada beberapa indikasi pasien CKD harus menjalani terapi cuci
darah sebelum memulai pengobatan, antara lain:
1. Hiperfosfatemia resisten terhadap terapi pengikatan fosfat dan
pembatasan diet.
2. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama jika ada muntah, mual,
atau tanda-tanda gastroduodenitis lainnya
3. Anemia yang resisten terhadap eritropoietin dan terapi zat besi.
4. Ada penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup yang tidak dapat
dijelaskan
5. Hiperkalemia yang resisten terhadap perubahan pola makan dan
pengobatan farmakologis.
6. Selain itu, gangguan neurologis (seperti ensefalopati, neuropati, dan
gangguan kejiwaan), perikarditis (radang selaput dada) yang tidak
disebabkan oleh penyebab lain, dan diatesis hemoragik dengan waktu
perdarahan yang lama, semuanya merupakan indikasi langsung untuk
hemodialisis.
7. Kelebihan (overload) cairan ekstraseluler dan/atau hipertensi yang sulit
dikendalikan.
8. Asidosis metabolik yang resisten terhadap pengobatan bikarbonat

c. Peritoneal Dialysis (PD)


Metode PD bekerja dengan membersihkan racun dalam darah dan
membuang cairan berlebih menggunakan membran pada tubuh, yaitu
peritoneal membran (lapisan pada perut), sebagai penyaring racun biasanya
pengobatan ini dilakukan untuk anak usia dibawah 2 tahun.
d. Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan
menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah
femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan: AV fistule :
menggabungkan vena dan arteri Double lumen : langsung pada daerah
jantung (vaskularisasi ke jantung) Tujuannya yaitu untuk menggantikan
fungsi ginjal dalam tubuh fungsi eksresi yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme
yang lain (Guswanti, 2019).

e. Operasi
1) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan pengobatan untuk mengatasi gagal
ginjal. Dengan melakukan pengobatan ini, maka pengidap gagal ginjal
tidak perlu melakukan cuci darah seumur hidup. Selain itu, dengan
melakukan pengobatan ini maka kualitas hidup pengidap gagal ginjal pun
akan meningkat.
Ada beberapa alasan seseorang bisa mendapatkan tindakan ini, seperti:

 Risiko kematian yang lebih rendah.

 Lebih sedikit pembatasan diet.

 Biaya perawatan yang lebih rendah.

Namun, pengobatan ini tidak disarankan untuk semua orang. Ada


beberapa kelompok yang perlu berkonsultasi sebelum melakukan
pengobatan ini, seperti:

 Kelompok usia lanjut.

 Mengidap penyakit jantung.

 Mengidap kanker.

 Mengalami demensia.

 Penyalahgunaan alkohol.
2) Operasi batu ginjal adalah tindakan medis dengan prosedur bedah untuk
mengeluarkan batu yang sudah bersarang di ginjal dan kandung kemih.
Operasi pun bisa menggunakan teknik bedah minim sayatan (bedah
konvensional).
2.3 Konsep Hemodialisis
2.3.1 Definisi Hemodialisis
Cuci darah atau hemodialisis (HD) adalah prosedur perawatan untuk
menyaring limbah dan air dari darah, sama halnya seperti fungsi ginjal dalam
tubuh. Sehingga prosedur ini bisa disebut sebagai pengganti ginjal yang sudah
rusak. Selain melakukan penyaringan dan mengeluarkan toksin-toksin tubuh,
hemodialisis turut membantu menyeimbangkan mineral penting, seperti kalsium,
kalium, dan natrium serta mengontrol tekanan darah. Hemodialisis dibutuhkan
oleh pasien yang mengidap penyakit jantung kronis, atau gagal ginjal. Disamping
itu, dokter juga akan melakukan hemodialisis apabila tes laboratorium
menunjukkan bahwa pasien perlu menjalaninya.
Hemodialisis adalah perawatan yang dilakukan untuk meningkatkan
kualitas hidup pengidap gangguan ginjal, namun tidak bisa menyembuhkan
gangguan ginjal. Hemodialisis (HD) bukan pilihan yang tepat untuk anak usia 5
tahun karena aka nada dampak yang buruk terhadap anak contohnya psikososial,
emosional, financial dan pada keluarga anak itu sendiri. Untuk anak usia dibawah
2 tahun dan Berat badan dibawah 10 kg pilihan utamanya Peritoneal Dialysis
(PD). Pelaksanaan hemodialisis pada anak membutuhkan tim yang terdiri dari ahli
ginjal, perawat, pekerja sosial, administrasi, dan ahli gizi yang memiliki pelatihan
dan keahlian dalam dialisis dan ilmu pediatri.

2.3.2 Indikasi dan Kontra Indikasi


1. Indikasi Hemodialisis
Dalam Indikasi Hemodialisis ini tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan
harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan
kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat
jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup
lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan
gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar
kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria, 4 mg/100 ml pada wanita dan
glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh
dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai
kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
Penyakit dalam (medikal): Arf pre renal/ renal/ post renal, apabila
pengobatan konvensional gagal mempertahankan Rft normal. Crf, ketika
pengobatan konvensional tidak cukup, indikator biokimiawi yang memerlukan
tindakan hemodialisa:
b. Peningkatan bun > 20-30 mg%/hari
c. Serum kreatinin > 2 mg%/hari
d. Hiperkalemia
e. Overload cairan yang parah
f. Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
g. Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%
h. Asidosis metabolik yang parah
2. Kontra Indikasi Hemodialisis
Menurut Wijaya & Putri, (2013) Berikut ini adalah beberapa kontraindikasi bagi
pasien hemodialisis yang harus diperhatikan:
a. Hipertensi berat (TD>200/100 mmHg)
b. Hipotensi (TD
c. Adanya pendarahan hebat
d. Demam tinggi.
Untuk kontra indikasi dialisis peritoneal untuk anak-anak di bagi menjadi 2 :
a. Kontraindikasi Absolut Peritoneal Dialisis:
- Peritoneal fibrosis
- Pleuroperitoneal leak (hydrothorax)
b. Kontraindikasi Relatif Peritoneal Dialisis:
- Obesitas
- Perlengketan peritoneum
- Peritonitis local
- Operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi
- Luka bakar abdomen (luas, disertai infeksi)

2.3.3 Prinsip Dasar Hemodialisis


Hemodialisa menghilangkan limbah beracun dan kotoran lainnya dari
darah pasien dengan GGK. Dalam teknik ini, darah dikeluarkan dari tubuh melalui
situs akses pembedahan, dipompa melalui unit dialisis untuk membuang racun,
kemudian kembali ke tubuh. Dialiser ekstrakorporeal bekerja melalui kombinasi
osmosis, difusi dan filtrasi.

a) Proses Difusi
Merupakan proses berpindahnya suatu zat terlarut yangdisebabkan
karena adanya perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut dalam darah dan
dialisat. Perpindahan molekul terjadi dari zat yang berkonsentrasi tinggi ke
yang berkonsentrasi lebih rendah. Pada HD pergerakan molekul/zat ini
melalui suatu membran semipermeable yang membatasi kompartemen darah
dan kompartemen dialisat. Toksin dan zat limbah di dalam dikeluarkan melalui
proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi yang
lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting
dengan mengatur rendaman dialisat secara tepat. Pori – pori dalam membran
semipermiabel tidak memungkinkan sel – sel darah, protein dan bakteria
untuk dapat lolos. Proses difusi dipengaruhi oleh:
 Perbedaan konsentrasi
 Berat molekul (makin kecil BM suatu zat, makin cepat zat itu keluar)
 QB (Blood Pump)
 Luas permukaan membrane
 Temperatur cairan
 Proses konvektik
 Tahanan / resistensi membrane
 Besar dan banyaknya pori pada membrane
 Ketebalan / permeabilitas dari membrane

b) Proses Ultrafiltrasi
Berpindahnya zat pelarut (air) melalui membran semipermeable akibat
perbedaan tekanan hidrostatik pada kompartemen darah dan kompartemen
dialisat. Tekanan hidrostatik / ultrafiltrasi adalah yang memaksa air keluar dari
kompartemen darah ke kompartemen dialisat. Air yang dikeluarkan dari dalam
tubuh dengan melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan
dengan menciptakan gradien tekanan. Air bergerak dari daerah tekanan yang
lebih tinggi (tubuh) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Besar
tekanan ini ditentukan oleh tekanan positif dalam kompartemen darah
(positive pressure) dan tekanan negatif dalam kompartemen dialisat (negative
pressure) yang disebut TMP (trans membrane pressure) dalam
mmHg.Perpindahan & kecepatan berpindahnya dipengaruhi oleh:
 TMP
 Luas permukaan membrane
 Koefisien Ultra Filtrasi (KUF)
 Qd & QbPerbedaan tekanan osmotic

c) Proses Osmosis
Berpindahnya air karena tenaga kimiawi yang terjadi karena adanya
perbedaan tekanan osmotik (osmolalitas) darah dan dialisat. Proses osmosis
ini lebih banyak ditemukan pada peritoneal dialisis. Gradien tekanan dapat di
tingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan
ultrafiltrasi pada mesin dialisa. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini
sebagai kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air
karena pasien tidak dapat mengeksresikan air. Kekuatan ini diperlukan untuk
mengeluarkan cairan hingga terjadi keseimbangan cairan.

Gambar Alur Proses Hemodialisis

2.3.4 Peralatan Hemodialisis

1. Mesin hemodialisis
Mesin hemodialisa memompa darah dari pasien ke dialyzer sebagai
membran semipermiabel dan memungkinkan terjadi proses difusi, osmosis
dan ultrafiltrasi karena terdapat cairan dialysate didalam dialyzer. Proses
dalam mesin hemodialisa merupakan proses yang komplek yang mencakup
kerja dari deteksi udara, kontrol alarm mesin dan monitor data proses
hemodialisa.

2. Ginjal buatan (dializer)


Dialyzer atau ginjal buatan adalah tabung yang bersisi membran
semipermiabel dan mempunyai dua bagian yaitu bagian untuk cairan dialysate
dan bagian yang lain untuk darah. Beberapa syarat dialyzer yang baik adalah
volume priming atau volume dialyzer rendah, clereance dialyzer tinggi
sehingga bisa menghasilkan clearence urea dan creatin yang tinggi tanpa
membuang protein dalam darah, koefesien ultrafiltrasi tinggi dan tidak terjadi
tekanan membran yang negatif yang memungkinkan terjadi back ultrafiltration,
tidak mengakibatkan reaksi inflamasi atau alergi saat proses hemodialisa
(hemocompatible), murah dan terjangkau, bisa dipakai ulang dan tidak
mengandung racun. Sayangnya, karena dialisis merupakan perawatan yang
mahal dan kapasitas pusat dialisis terbatas, sistem perawatan kesehatan
seringkali kekurangan sumber daya untuk memberikan sesi perawatan yang
lebih sering atau lebih lama kepada pasien. (Klarenbach SW, Tonelli M, Chui
B, Manns BJ. Evaluasi ekonomi terapi dialisis. Nat Rev Nephrol. November
2014)

3. Dialysate
Dialysate adalah cairan elektrolit yang mempunyai komposisi seperti
cairan plasma yang digunakan pada proses hemodialysis. Cairan dialysate
terdiri dari dua jenis yaitu cairan acetat yang bersifat asam dan bicarbonat
yang bersifat basa.

4. Blood Line (BL) atau Saluran Darah


Blood line untuk proses hemodialisa terdiri dari dua bagian yaitu bagian
arteri berwarna merah dan bagian vena berwarna biru. BL yang baik harus
mempunyai bagian pompa, sensor vena, air leak detector (penangkap udara),
karet tempat injeksi, klem vena dan arteri dan bagian untuk heparin. Fungsi
dari BL adalah menghubungkan dan mengalirkan darah pasien ke dialyzer
selama proses hemodialysis

5. Fistula Needles
Fistula Needles atau jarum fistula sering disebut sebagai Arteri Vena
Fistula (AV Fistula) merupakan jarum yang ditusukkan ke tubuh pasien PGK
yang akan menjalani hemodialisa. Jarum fistula mempunyai dua warna yaitu
warna merah untuk bagian arteri dan biru untuk bagian vena

2.3.5 Proses Hemodialisis


Proses hemodialisis pada gagal ginjal dapat dilakukan di rumah sakit
atau klinik yang menyediakan fasilitas hemodialisis. Pasien datang sesuai dengan
jadwal yang telah ditentukan. Proses hemodialisis pada gagal ginjal memakan
waktu 4-5 jam untuk sekali pertemuan. Biasa dilakukan 3 atau 2 kali dalam
seminggu. Pada pasien gagal ginjal kronik, hemodialisis dilakukan seumur hidup
sebagai terapi pengganti ginjal yang sudah rusak. Selama proses hemodialisis
berlangsung, pasien dapat melakukan kegiatan santai, seperti menonton televisi,
membaca, atau tidur.
Dokter dan perawat akan memantau kondisi pasien secara berkala
selama proses hemodialisis berjalan. Pasien juga dapat memberitahukan kepada
dokter atau perawat jika merasa tidak nyaman saat proses hemodialisis berjalan
seperti merasa kram otot, mual, keringat dingin.
Sebelum proses hemodialisis dilakukan, dokter dan perawat
hemodialisis memastikan terlebih dahulu kondisi kesehatan pasien apakah layak
untuk terapi saat itu ataukah harus ditunda dulu. Proses hemodialisis juga
diabantu dengan mesin canggih dan khusus. Sebelum darah dialirkan ke mesin
hemodialisis, tim medis memastikan akses untuk hemodialisis dalam keadaan
bersih.
Setelah akses dibersihkan, maka dapat dilakukan penyambungan alat-
alat hemodialisis ke mesin hemodialisis, dan pasien dilakukan terapi selama 4 jam
untuk yang 3 kali seminggu atau 5 jam untuk yang 2 kali seminggu. Selama
proses hemodialisis berlangsung, akses hemodialisis yang digunakan berupa
cimino (AV Shunt) atau kateter hemodialisis. Cimino adalah salah satu akses
permanen yang sering digunakan oleh penderita gagal ginjal dengan terapi
hemodialisis. Cimino ini merupakan arteri dan vena yang disambung.
Pembuatannya sendiri dikerjakan oleh dokter spesialis bedah Pembuluh
Darah. Setelah dibuat, cimino baru bisa digunakan minimal 6 minggu kemudian.
Sedangkan kateter hemodialisis, merupakan alat berupa seperti selang yang
disambungkan ke pembuluh darah pasien. Kateter hemodialisis memiliki dua
lumen sehingga disebut sebagai catheter double lumen (CDL). Kateter
hemodialisisada dua jenis, temporer dan tunneled catheter.

2.3.6 Dosis dan Adekuasi Hemodialisis


1. Dosis Hemodialisis
Dosis Hemodialisis yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali seminggu
dengan setiap Hemodialisis selama 5 jam atau 14 sebanyak 3 kali seminggu
dengan setiap Hemodialisis semala 4 jam. Lamanya Hemodialisis berkaitan erat
dengan efisiensi dan adekuasi Hemodialisis, sehingga lama Hemodialisis juga
dipengaruhi oleh tingkat uremia akibat progresivitas perburukan fungsi ginjalnya dan
factor-faktor komorbiditasnya, serta kecapatan aliran darah dan kecepatan aliran
dialisat . Namun demikian semakin lama proses Hemodialisis, maka semakin lama
darah berada diluar tubuh, sehingga makin banyak antikoagulan yang dibutuhkan,
dengan konsekuensi sering timbulnya efek samping.
2. Adekuasi Hemodialisis
Adekuasi Hemodialisis adalah suatu keberhasilan Hemodialisis dengan
kecukupan dosis yang direkomendasikan berhubungan dengan adekuatnya suatu
tindakan Hemodialisis pada pasien Gangguan Ginjal yang menjalani Hemodialisis.
Tujuannya Adekuasi Hemodialisis adalah untuk menilai efektivitas atau
keberhasilan proses tindakan Hemodialisis. Terpenuhinya adekuasi Hemodialisis
dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi pasien gangguan ginjal yang
menjalani Hemodialisis untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari juga dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Pengukuran Adekuasi Hemodialisis diukur secara kuantitatif dengan
menghitung Kt/V atau URR (Urea Reduction Rate). Kedua rumus ini berkaitan
dengan keberhasilan membuang ureum dengan mempertimbangkan nilai ureum
dikedua rumus tersebut. Kt/V merupakan perhitungan bersihan ureum dikalikan
waktu dan dibagi volume distribusi ureum didalam cairan tubuh. Consensus dialysis
Pernefri(2011) merekomendasikan penggunaan rumus turunan pertama Kt/V untuk
menentukan dosis Hemodialisis berikutnya (Delivery Dose)

Rumus Persamaan tersebut adalah :


Kt/V = -In(R-0,008t)+(4-3,5R) x (BB pre hemodialisis – BB post hemodialisis )
BB post hemodialisis
Ket :
In : logaritma natural
R : ureum post/ureum pre hemodialisis
t : lama waktu hemodialisis (jam)
BB: berat badan pasien (kg)
Berdasarkan perhitungan Kt/V yang menggunakan berat badan sebagai salah
satu indikator menyebabkan intervensi antara pasien dengan berat badan yang
lebih gemuk dan pasien yang mempunyai berat badan yang lebih kecil atau dengan
status malnutrisi. Perhitungan volume air pada pasien yang berbadan kurus lebih
banyak dibandingkan pasien yang berbadan gemuk. Pasien hemodialisis dewasa
(usaia 20-45tahun) mempunyai jumlah cairan yang lebih banyak dibandingkan
pasien lansia (usia lebih dari 45 tahun). Pertimbangan kondisi ini K/DOQI
menyarankan untuk meningkatkan dosis dialisis pada pasien hemodialisis yang
kurus (tanpa malnutrisi) dan pasien usia dewasa.
Urea Reduction Rate (URR) adalah persentasi ureum yang dibersihkan dalam
sekali proses hemodialisis. URR mengukur jumlah reduksi ureum pasien
hemodialisis dari prehemodialisis sampai post hemodialisis. Target penurunan
kadar urea darah pasca dialisis berkisar antara 50-75% dari pre dialisis (Kallenbach,
Gutch, Stoner, & Corca, 2005). Rumus yang dianjurkan oleh Lowrie adalah sebagai
berikut :
URR (%) = 100 x (1-Ct/Co)
Dimana :
Ct : ureum setelah hemodialisis
Co : ureum sebelum hemodialisis
Cara ini paling sederhana dan paling praktis digunakan untuk pengukuran
adekuasi hemodialisis. Perhitungan URR banyak dipakai untuk kepentingan
epidemiologi, dan merupakan prediktor terbaik untuk mortalitas penderita
hemodialisis reguler. Kidney-Dialysis Outcome Initiative, K/DOQI (2006)
memberikan petunjuk tentang dosis adekuasi minimal dan target dosis adekuasi
pada pasien hemodialisis 3 kali seminggu dengan waktu kurang dari 5 jam tiap kali
tindakan hemodialisis. Dosis adekuasi minimal yang disarankan adalah hasil Kt/V
1,2 atau URR 65%tiap kali tindakan hemodialisis.

Adekuasi Kualitatif

National Kidney Foundation-Dialisys Outcomes Quality Initiative, NKF –


DOQI, 2006 menggambarkan adekuasi hemodialisis secara kualitatif
adalah sebagai berikut:
1. Status Nutrisi
Status nutrisi menjadi penilaian adekuasi hemodialisis adalah dengan
menghubungkannya dengan manifestasi klinik yang ditimbulkan oleh akumulasi
urea didalam darah, asidosis, dan overhidrasi (Sukandar, 2013). Hemdodialisis
berjalan optimal akan menyebabkan bersihan ureum baik, dan pengeluaran cairan
yang adekuat, serta proses hemodialisis yang juga menyeimbangkan asam basa
tubuh pasien melalui buffer dialisat, sehingga hasil penilaian dari adekuasi
hemodialisis pada status nutrisi yang baik.
Pasien penyakit ginjal terminal yang menjalani hemodialisis mengalami
masalah malnutrisi. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya malnutrisi
diantaranya perubahan gastrointestinal merupakan penyebab terjadinya akumulasi
gastrin sehingga timbul masalah berbagai penyakit lambung seperti ulkus peptikum,
esepagitis, gastritis, perdarahan lambung. Gangguan gastrointerstinal akan
mengakibatkan timbulnya anoreksia, rasa mual dan muntah sehingga pasien tidak
mampu mempertahankan berat badan akibat berkurangnya asupan makan
sehinggakehilangan berat badan, massa otot, dan jaringan adiposa, proses
hemodialisis juga dapat menyebabkan kehilangan protein dan vitamin oleh karena
ikut terbuang bersama cairan tubuh yang telah terdialisis (Sukandar, 2013).
Malnutrisi menjadi sebuah masalah yang timbul yang berkontribusi kepada
peningkatan morbiditas dan mortalitas, Sukandar (2013) menggambarkan bahwa
serum albumin < 3 gr/l akan meningkatkan prediksi resiko kematian. Malnutrisi pada
pasien yang menjalani hemodialisis akan menyebabkan penurunan respon imun
akibat pembentukkan protein yang berfungsi dalam pertahanan tubuh juga akan
berkurang.
Status nutrisi pada pasien hemodialisis regular dapat ditentukan dengan
parameter klinik (antropologi) dan parameter laboratorium. Parameter malnutrisi
(protein dan kalori) dari sebagian besar pasien hemodialisis menunjukkan masalah
nutrisi, dibuktikan dengan pengurangan cadangan lemak subkutan dan masa otot,
indeks masa tubuh rendah. Pemeriksaan ini dengan menghitung indeks massa
tubuh dan pengukuran lingkar lengan atas. Pengukuran badan aktual pada pasien
gagal ginjal sering kali susah menentukan status nutrisi terkait penumpukkan cairan,
kecendrungan penurunan berat badan akan terlihat perlahan dalam beberapa
bulan. Penurunan berat badan dapat menggambarkan status nutrisi pasien.
(Sukandar, 2013)
Pemeriksaan laboratorium dapat dilihat dari kadar albumin, prealbumin,
transferrin dan protein viseral lainnya. Nilai protein didalam darah dapat
menunjukkan intake dan metabolit protein sehingga bisa menjadi diagnosis untuk
memperlihatkan status gizi. Nilai rujukan yang memperlihatkan status gizi menurut
Waterflow (1992) sebagai berikut:
N Status Gizi Nilai Prealbumin
o
1 Baik 23,8 +/- 0. 9
2 Gizi Sedang 16. 5 +/- 0. 8
3 Gizi Kurang 12. 4 +/- 1. 0
4 Gizi Buruk 7. 6 +/- 0. 6

N Status Gizi Nilai Albumin


o
1 Baik >3. 5 mg/dl
2 Buruk < 3. 5 mg/dl

Penurunan kosentrasi kreatinin serum predialisis diduga telah terjadi


penurunan masa otot dan kondisi undernutrition. Perhitungan nutrisi pada pasien
hemodialisis dengan menggunakan Protein Catabolic Rate (PCR) ditentukan jumlah
interdialytic urea dan no area (NUN) selama peride yang sama
PCR= 3. 12 (𝐶02 𝑥 𝑉02) − ( 1 𝑥 𝑉𝑡1)-
ITD

Keterangan :
PCR : Protein Catabolic Rate
C02 dan V02 : Kosentrasi urea serum dan volume distribusi urea pada saat sesi
hemodialisis berikutnya
Ct1 dan Vt1 : Kosentrasi urea serum dan volume distribusi urea pada saat akhir
sesi hemodialisis
ITD : interdialytic time duration

Pasien hemodialisis stabil nutrisi terbukti protein catabolic rate (PRC)


mempunyai hubungan dengan dietary protein intake (DPI). Beberapa studi
menunjukkan malnutrisi merupakan faktir resiko penting untuk morbidity dan
mortality pasien hemodialisis regular. Studi National Cooperative Dialiysis Study
(NCDS) melaporkan nilai PCR <0. 8 mempunyai hubungan dengan kenaikan angka
morbiditas, sedangkan angka mortalitas dan kebutuhan perawatan rumah sakit
(hospitalisasi) berkurang bila PCR >1. Hasil penelitian Lowrie G (1994) dalam
sukandar (2013) melaporkan kosentrasi albumin serum kurang dari 35 g/L dan
kosentrasi kreatinin serum <12,5 mg/dl atau 1100 µmol/L predialisis akan
menjadi prediksi kenaikan resiko kematian. Penelitian yang dilakukan Yusop (2013)
menggambarkan bahwa hemodialisis meningkatkan serum keratinin, albumin,
prealbumin dan menormalkan protein catabolic rate sehingga meningkatkan
pemasukkan diet pasien. Namun fenomena malnutrisi juga berhubungan dengan
kuat dengan hemodialisis, dengan persentasi malnutrisi berat 4,6%-19%, dan
malnutrisi ringan sebanyak 72%-90,9%. 2. Tekanan darah menurut Yogiantoro
menjelaskan bahwa hipertensi dengan gangguan ginjal dapat dikelompokkan, yaitu
(1) hipertensi penyakit glomelurus akut yaitu hipertensi yang terjadi karena
penumpukan Natrium sehingga menyebabkan hipervolemia.
(2) penyakit vaskuler dimana hipertensi terjadi karena iskemia sehingga
merangsang sistem renin angiotensin aldosteron (RAA).
Mekanisme hipertensi yang terjadi pada gagal ginjal terminal disebabkan oleh
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, resisten Natrium, peningkatan RAA akibat
kompensasi oleh kerusakan regional, kerusakan ginjal dan hiperpharatiroid
sekunder, peningkatan rangsangan saraf simpatik akibat efek pemberian
eritropoetin. Klasifikasi tekanan darah menurutA statement by American society of
hypertension and the international society of hypertension(2013) didalam pedoman
tatalaksana hipertensi pada penyakit kardiovaskuler (2015), klasifikasi tekanan
darah sebagai berikut:
klasifikasi Sistoli Diastolik
k
Optimal <120 dan <80
Normal 120- dan/ 80-84
129 atau
Normal tinggi 130- dan/ 84-89
139 atau
Hipertensi derajat 1 140- dan/ 90-99
159 atau
Hipertensi derajat 2 160- dan/ 100-109
179 atau
Hipertensi derajat 3 ≥180 dan/ ≥110
atau

Hipertensi sistolik ≥140 dan ≥90


terisolasi
2. Anemia
Pada pasien gagal ginjal sangat rentan untuk mengalami anemia. Fungsi
ginjal diluar sistim eksresi dan pengaturan asam, basa, cairan serta elektrolit adalah
pada proses pembentukkan sel darah merah. Ginjal mempunyai fungsi
menghasilkan eritopoitin untuk pembentukkan sel darah merah. Kegagalan fungsi
ginjal berdampak pada pembentukkan sel darah merah. Proses hemodialisis
berkonntribusi kepada hilangnya besi intradialisis, normalnya, kita kehilangan besi
1-2 mg per hari, namun kehilangan besi pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih
banyak. Kondisi lain yang dapat menyebabkan anemia pada pasien gagal ginjal
terminal yang menjalani hemodialisis adalah kehilangan darah akibat disfungsi
platelet, serta kurangnya intake nutrisi. Menurut buku Sukandar (2013) anemia
diklasifikasikan menjadi anemia ringan bila Hb10-11.9 bagi pasien dewasa dan nilai
Hb 10-10.9 g/dl pada ibu hamil dan anak-anak, anemia sedang bila kadar Hb7-9.9
g/dl dan anemia berat pada kadar Hb kecil dari 7 g/dl.

3. Sindrom Uremia
Ureum adalah salah satu indicator terhadap penurunan fungsi ginjal dalam
mengeksresikan zat sisa metabolisme. Kegagalan eksesi ureum akan
menyebabkan penumpukkan ureum didalam tubuh melebihi batas normal (> 40;
nilai normal 20-40 mg/dl). Penumpukkan ureum pada beberapa organ akan
menyebabkan gejala kekeringan di area mulut (xerostomia), peningkatan
rangsangan haus, anoreksia, ulserasi di mukosa gaster dan duodenum, pruritus.
Pada tingkat yang lebih lanjut dapat menyebabkan enselopati uremikum, gangguan
koagulasi, keseimbangan asam basa (Sukandar, 2013).
4. Peningkatan Berat Badan Interdialisa
Peningkatan berat badan interdialisa merupakan penambahan berat badan
pasien yang menjalani hemodialisis dalam dua interval hemodialisis. Pasien yang
menjalani hemodialisis akan ditimbang sebelum dan sesudah terapi hemodialisis,
berat badan setelah sebelumnya dan berat badan sebelum hemodialisis sesi
terakhir dihitung selisinya untuk mengetahui jumlah cairan yang akan ditarik pada
sesi hemodialisis yang akan dijalani. Peningkatan berat badan interdialisis adalah
perhitungan yang paling penting bagi pasien gagal ginjal terminal dalam menjalanin
terapi hemodialisis. Peningkatan berat badan interdialisis berbeda dan bervariasi
pada setiap individunya dan pasien yang telah rutin menjalani hemodialisis,
peningkatan berat badan ini relatif konstan. Peningkatan berat badan intradialisis
dipengaruhi oleh hipernatremia, pemberian infus NaCl intrahemodialisis, fungsi
ginjal yang tersisa, kebiasaaan diet/intake nutrisi, hiperglikemi, faktor lingkungan,
level dari self care dan kepatuhan tehadap terapi (Aysequl, 2015).
Secara umum peningkatan berat badan dipengaruhi dari kadar garam dan
asupan cairan diantara dua sesi hemodialisis. Cairan dan garam cendrung biasanya
dikosumsi bersamaan dengan karbohidrat, lemak, dan protein, sehingga
peningkatan berat badan yang tinggi juga mengindikasikan status nutrisi yang baik.
Aysequl (2015) mendapatkan bahwa peningkatan berat badan ≥ 3% mempunyai
status nutrisi yang baik dibandingkan pasien dengan peningkatan berat badan
terbatas 1-2 kg.
Peningkatan berat badan intradialisis juga mengggambarkan prognosis yang
tidak baik. Pasien dengan peningkatan berat badan interdialisis lebih dari 5% akan
berdampak kepada kondisi sesak nafas, edem paru, edem perifer. Peningkatan
berat badan intradialisis menurut Price and Wilson (1995) terbagi atas 3 antara lain
ringan (<2%), sedang (>5%) dan berat (> 8%).

5. Kadar Kalsium dan Fosfat


Pasien gagal ginjal terminal mengalami kondisi penurunan absorbsi kalsium melalui
usus dan gangguan mobilisasi kalsium dari tulang dan hiperfosfatemia. Sedangkan
gagal ginjal mempunyai pengaruh dalam peningkatan fosfat karena kegagalan ginjal
dalam mengeksresikan fosfat. Nilai fosfat yang tinggi menyebabkan perburukkan
terhadap nilai kalsium didalam darah sehingga peningkatan pengambilan kalsium di
dalam tulang. Kondisi metabolisme kalsium dan fosfor akan berkontribusi terhadap
kondisi kalsifikasi pada tulang, dan pembuluh darah diseluruh tubuh, bila terjadi
pada area vital akan menyebabkan perburukkan prognosis pasien, seperti terjadi
kalsifikasi aorta atau pembuluh darah jantung dan otak. Nilai normal fosfat adalah
2.40 -5.10 mg/dl dan pada pasien gagal ginjal dapat mencapai nilai diatas nilai
tersebut. Penelitian Suparta, I Nyoman Adi (2015) memaparkan bahwa hasil kadar
kalsium dan fosfat pada pasien gagal ginjal kronik tidak berkorelasi pada riwayat
hospitalisasi. Hasil ini bertentangan dengan yang ditemukan olehYusop (2013),
yang menjelaskan bahwa hiperkalsemia dapat menyebabkan kualitas kesehatan
mental menjadi lebih buruk dan berkorelasi kepada peningkatan kematian.
6. Psikososial
Adekuasi hemodialisis dapat diketahui dengan indikator psikososial. Indikator
psikososial meliputi rehabilitasi pribadi; keluarga dan profesi; dan kualitas hidup
yang memadai. Adekuasi hemodialisis akan menunjukkan kepada kondisi tubuh
pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisi mempunyai status nutrisi yang baik,
tidak menunjukkan gejala anemia, tidak menunjukkan manifestasi klinik dari
penumpukkan ureum didalam darah, tidak mengalami overhidrasi, kondisi asam
basa yang seimbang. Kondisi kesehatan pasien yang optimal menyebabkan
hubungan timbal balik dengan status psikosial pasien. Pasien dapat mandiri untuk
hemodialisis menyebabkan posisi pasien tidak menjadi beban keluarga, tidak
menurunkan harga diri pasien.
Hemodialisis pada akhirnya adalah mencipatkan kualitas hidup pasien yang
optimal sebagai outcome utama. Kualitas hidup adalah sebagai kriteria holistik
menurut WHOQOL-BREF yang meliputi aspek kesehatan fisik,
psikologikal,/hubungan sosial dan lingkungan. Pasien hemodialisis yang
mempunyai kualitas hidup yang baik secara piskososial, hubungan sosial dan
lingkungan bergantung kepada kualitas kesehatan fisiknya. Penelitian Yusop (2013)
mendapatkan bahwa nilai kalsium yang tinggi (>2,6 mmol) berkorelasi terhadap
kesehatan mental yang buruk dan beberapa studi sebelumnya mengambarkan
bawah nilai kalsium serum berhubungan dengan meningkatnya kematian pada
pasien yang menjalani dialisis karena dapat meningkatkan resiko penyakit
kardiovaskuler.
Hemodialisis yang adekuat akan menyebabkan kestabilan nilai elektrolit dan
asam basa, penumpukkan ureum dan cairan yang minimal, sehingga menyebabkan
kesehatan mental pun bisa optimal. Aktualisasi pasien dapat tercapai dengan
menjalankan peran sosial di masyarakat, selanjutnya kualitas hidup pasien menjadi
optimal. Namun hemodialisis juga harus ditunjang dengan self management karena
perubahan pola kebiasan sebagai pasien gagal ginjal harus diikuti untuk mencapai
kualitas hidup yang optimal.

2.3.7 Kelebihan dan Kekurangan Hemodialisis


1. Kelebihan Hemodialisis
a. Zat pembersih yang terlarut lebih tinggi yang memungkinkan pengobatan
intermiten
b. Parameter kecukupan dialysis didefinisikan dengan baik dan oleh karena
itu underdialisis dapat dideteksi lebih awal
c. Tingkat kegagalan teknik rendah
d. Meskipun diperlukan heparinisasi intermiten, parameter hemostatis lebih
baik dikoreksi dengan HD daripada PD
e. Hemodialisis memungkinkan pemantauan lebih dekat dengan Pasien
2. Kekurangan Hemodialisis
a. membutuhkan beberapa kunjungan setiap minggu ke pusat HD, yang
berarti hilangnya kemandirian pasien
b. ketidakseimbangan, hipotensi akibat dialisis, dan kram otot sering terjadi.
mungkin memerlukan waktu berbulan-bulan sebelum pasien
menyesuaikan diri dengan HD
c. INFEKSI PADA pasien HD mungkin terkait dengan pemilihan membran,
membran aktivasi komplemen menjadi lebih merusak
d. akses vaskular sering dikaitkan dengan infeksi dan trombosis
e. penurunan RRF lebih cepat dibandingkan dengan PD

2.3.8 Komplikasi Hemodialisis


Komplikasi hemodialisis dapat disebabkan oleh karena penyakit yang
mendasari terjadinya penyakit ginjal kronik tersebut atau oleh karena proses
selama menjalani hemodialisis itu sendiri. Sedangkan komplikasi akut
hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama proses hemodialisis
berlangsung. Menurut Daugirdas Komplikasi intradialisis merupakan kondisi
abnormal yang terjadi saat pasien menjalani hemodialisis, komplikasi yang umum
terjadi saat pasien menjalani hemodialisis adalah hipotensi, kram, mual, dan
muntah, heasache, nyeri dada, nyeri punggung, gatal, demam dan menggigil.
Komplikasi intradialisis lainnya yang mungkin terjadi adalah hipertensi
intradialisis dan disequlibrium syndrome yaitu kumpulan gejala disfungsi serebral
terdiri dari sakit kepala, pusing, mual, muntah, kejang, disorientasi sampai koma,
menyebutkan juga bahwa komplikasi intradialisis lain yang biasa dialami pasien
hemodialisis kronik adalah aritmia, hemolisis, dan emboli udara. Berikut ini
akan menguraikan meliputi: hipotensi, kram, mualdan muntah, pusing, nyeri dada,
nyeri punggung, gatal, demam, menggigil, hipertensi, disequlibrium syndrome,
aritmia, hemolisis, dan emboli udara.
1. Hipotensi intradialisis
Hipotensi Intradialisis adalah penurunan tekanan darah sistolik > 30% atau
penurunan tekanan diastolik sampai di bawah 60 mmHg yang terjadi saat pasien
menjalani hemodialisis, disebabkan oleh karena penurunan volume plasma,
disfungsi otonom, vasodilatasi karena energi panas, obat anti hipertensi.
Penyebab dari Hipotensi intradialisis (IDH) adalah multifaktorial. Pada
satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan darah selama
hemodialisis; Umum, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia, large
interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat antihipertensi. Pada sisi
lain, faktor-faktor yang berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat
berkontribusi terhadap instabilitas hemodinamik: sesi hemodialisis yang pendek,
laju ultafirasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi sodium
dialisat yang rendah, inflamasi yang di sebabkan aktivasi dari membran dan lain-
lain. Faktor yang kelihatannya dominan dari kejadian IDH ini adalah
berkurangnya volume sirkulasi darah yang agresif, dikarenakan ultrafiltrasi,
penurunan osmolitas ekstraseluler dengan cepat yang berhubungan dengan
perpindahan sodium, dan ketidakseimbangan antara ultrafiltrasi dan plasma
refilling.
2. Kram otot
Kram otot terjadi pada 20% pasien hemodialisa, penyebabnya idiopatik
namun diduga karena kontraksi akut yang dipicu oleh peningkatan volume
ekstraseluler. Intradialytic muscle craping, biasa terjadi pada ekstrimitas bawah.
Kram otot adalah kontraksi yang terus menerus yang dialami oleh otot atau
sekelompok otot dan mengakibatkan rasa nyeri. penyebab kram adalah otot
yang terlalu lelah, kurangnya pemanasan serta peregangan, adanya
gangguan sirkulasi darah yang menuju ke otot sehingga menimbulkan kejang.
Beberapa hal yang dapat menimbulkan kram antara lain adalah :
1. Kelelahan otot saat berolahraga sehingga terjadi akumulasi sisa metabolik
yang menumpuk berupa asam laktat kemudian merangsang otot/ saraf
hingga terjadi kram.
2. Kurang memadainya pemanasan serta pendinginan sehingga tubuh kurang
memiliki kesempatan untuk melakukan adaptasi terhadap latihan.

3. Pusing (headache)
Pusing adalah frekuensi sakit kepala saat dialisis adalah 5% dari
keseluruhan prosedur hemodialisis. Penelitian menunjukan bahwa migren akibat
gangguan vaskuler dan tension headache adalah dua tipe sakit kepala yang
dialami oleh paisen saat hemodialisis.
Sebagian besar dari jaringan otak sendiri tidak peka nyeri.
Perangsangan terhadap bangunan-bangunan itu dapat berupa:
1. Vasodilatasi arteri intrakranial akibat keadaan toksik (seperti pada infeksi
umum, intoksikasi alkohol, intoksikasi CO, reaksi alergik), gangguan
metabolik (seperti hipoksemia, hipoglikemia dan hiperkapnia), pemakaian
obat vasodilatasi, keadaan paska contusio serebri, insufisiensi
serebrovasculer akut).

2. Gangguan pembuluh darah ekstrakranial, misalnya vasodilatasi (migren dan


cluster headache) dan radang (arteritis temporalis)
3. Gangguan terhadap otot-otot yang mempunyai hubungan dengan kepala,
seperti pada spondiloartrosis deformans servikalis.
4. Peregangan selaput otak akibat proses desak ruang intrakranial,
penyumbatan jalan lintasan liquor, trombosis venos spinosus, edema serebri
atau tekanan intrakranial yang menurun tiba-tiba atau cepat sekali.

4. Nyeri dada
Nyeri dada hebat saat hemodialisis frekuensinya adalah 1-4%. Nyeri
dada saat hemodialisis terjadi akibat penurunan hemotokrit dan perubahan
volume darah karena penarikan cairan.

5. Demam
Demam selama hemodialisis sebagai peningkatan suhu tubuh selama
hemodialisis lebih dari 0.5° C atau suhu rectal atau aksila selama dialisis lebih
dari 38° C. Mayoritas (70%) reaksi febris berhubungan dengan infeksi akses
vaskuler, perkemihan dan pernafasan. Demam selama hemodialisis juga
berhubungan dengan jenis dialisat yang digunakan dan reaksi hipertensifitas.
Mekanisme demam terjadi ketika pembuluh darah disekitar hipotalamus
terkena pirogen eksogen tertentu (seperti bakteri) atau pirogen endogen
(Interleukin-1, interleukin-6, tumor necrosis factor) sebagai penyebab demam,
maka metabolit asam arakidonat dilepaskan dari endotel sel jaringan pembuluh
darah. Metabolit seperti prostaglandin E2, akan melintasi barrier darah-otak dan
menyebar ke dalam pusat pengaturan suhu di hipotalamus, yang kemudian
memberikan respon dengan meningkatkan suhu.

6. Hipertensi intradialisis
Terjadinya hipertensi saat hemodialisis lebih sering terjadi akibat
peningkatan tahanan perifer. Dalam penelitian menunjukan bahwa pada
pasien yang mengalami hipertensi tejadi peningkatan tahanan perifer vaskuler
resitence (PVR) yang signifikan. Peningkatan resistensi vaskuler dapat dipicu
oleh kelebihan cairan pradialisis juga akan meningkatkan resistensi vaskuler
dapat vaskuler. Akibatnya curah jantung meningkat, menyebabkan peningkatan
tekanan darah selama dialisis.
Pembuluh darah di tubuh manusia terdiri dari 3 jenis yaitu pembuluh
darah arteri, vena dan kapiler. Pembuluh darah arteri dan vena dibagi menjadi 3
jenis yaitu pembuluh darah dengan diameter besar, sedang dan kecil.
Pembuluh darah arteri yang juga disebut sebagai pembuluh nadi terdiri atas
aorta, arteri dan arterioli berdasarkan ukurannya. Sedangkan pembuluh darah
vena (pembuluh balik) terdiri atas vena cava, vena dan venula berdasarkan
ukurannya. Pembuluh darah arteri mengalirkan darah secara aktif sebab
dinding pembuluh darahnya lebih tebal, elastis, memiliki sel otot polos dan jika
pembuluh terluka maka darah akan memancar. Sedangkan aliran darah pada
vena berkebalikan dengan arteri.
Salah satu mekanisme penyebab hipertensi telah dideskripsikan
sebagai akibat tingginya output kerja jantung yang terjadi akibat penurunan
resistensi vascular perifer dan stimulasi jantung bersamaan dengan
hiperaktivitas adrenergic serta perubahan homeostasis kalsium. Mekanisme
kedua menjelaskan bahwa hipertensi terjadi akibat manifestasi penurunan
cardiac output atau cardiac output normal namun resistensi vaskuler meningkat
akibat peningkatan vasoreaktivitas. Mekanisme lain bisa jadi disebabkan akibat
peningkatan reabsorpsi garam dan air (akibat sensitivitas garam) oleh ginjal,
dimana akan mengakibatkan peningkatan volume darah yang bersirkulasi.

2.4 Konsep pada anak


1. Anatomi dan Fisiologi (b/p) pada anak
Ginjal pada anak adalah organ yang sangat penting, yang terletak dibelakang
peritoneum pada kanan dan kiri kolumna vertebralis. Ukuran ginjal tergantung
pada usia anak-anak tersebut. Berikut ukuran ginjal pada anak-anak
berdasarkan usia (menurut Radiopaedia Jed Sarnecki pada 23 Mar 2023 ) :
a) Usia 1 bulan: 52,4 mm (kisaran normal: 43,6-62,0 mm)
b) Usia 2 bulan: 54,2 mm (kisaran normal: 45,2-63,8 mm)
c) Usia 3 bulan: 56,1 mm (kisaran normal: 46,9-65,7 mm)
d) Usia 4 bulan: 57,3 mm (kisaran normal: 48,0-66,8 mm)
e) Usia 5 bulan: 58,6 mm (kisaran normal: 49,2-68,0 mm)
f) Usia 6 bulan: 59,7 mm (kisaran normal: 50,2-69,0 mm)
g) Usia 7 bulan: 60,8 mm (kisaran normal: 51,3-70,0 mm)
h) Usia 8 bulan: 61,8 mm (kisaran normal: 52,2-70,9 mm)
i) Usia 9 bulan: 62,7 mm (kisaran normal: 53,1-71,6 mm)
j) Usia 10 bulan: 63,5 mm (kisaran normal: 53,9-72,2 mm)
k) Usia 11 bulan: 64,2 mm (kisaran normal: 54,6-72,8 mm)
Pada anak yang lebih besar median (kisaran normal antara persentil ke-
2,5 dan ke-97,5 dalam tanda kurung) panjang ginjal sonografi berdasarkan usia dan
jenis kelamin adalah sebagai berikut 5 :

 1 tahun
♂ 65,2 mm (kisaran normal: 54,6-76,8 mm)
♀ 64,3 mm (kisaran normal: 51,6-77,8 mm)
 2 tahun
♂ 68,7 mm (kisaran normal: 57,7-80,9 mm)
♀ 68,4 mm (kisaran normal: 55,4-82,4 mm)
 3 tahun
♂ 72,5 mm (kisaran normal: 60,9-85,4 mm)
♀ 71,7 mm (kisaran normal: 58,4-86,2 mm)
 berumur 4 tahun
♂ 76,5 mm (kisaran normal: 64,5-90 mm)
♀ 75,8 mm (kisaran normal: 62,3-90,8 mm)
 5 tahun
♂ 79,7 mm (kisaran normal: 67,4-93,7 mm)
♀ 78,9 mm (kisaran normal: 65,3-94,1 mm)
 6 tahun
♂ 83 mm (kisaran normal: 70,4-97,4 mm)
♀ 81,6 mm (kisaran normal: 67,9-97 mm)
 7 tahun
♂ 85,9 mm (kisaran normal: 73-100,7 mm)
♀ 84,9 mm (kisaran normal: 71,2-100,5 mm)
 umur 8 tahun
♂ 89,2 mm (kisaran normal: 76-104,4 mm)
♀ 87,8 mm (kisaran normal: 74,1-103,5 mm)
 9 tahun
♂ 91,3 mm (kisaran normal: 78-106,7 mm)
♀ 90,8 mm (kisaran normal: 77,1-106,7 mm)
 10 tahun
♂ 94,2 mm (kisaran normal: 80,5-110,2 mm)
♀ 93,1 mm (kisaran normal: 79,4-109,1 mm)
 11 tahun
♂ 96,9 mm (kisaran normal: 83,1-113,2 mm)
♀ 95,9 mm (kisaran normal: 80,9-113,8 mm)
 12 tahun
♂ 99,9 mm (kisaran normal: 85,9-116,6 mm)
♀ 97,9 mm (kisaran normal: 84,5-113,8 mm)
 13 tahun
♂ 102,5 mm (kisaran normal: 88,3-119,4 mm)
♀ 100,1 mm (kisaran normal: 86,8-116 mm)
 14 tahun
♂ 104,8 mm (kisaran normal: 90,5-121,9 mm)
♀ 101,8 mm (kisaran normal: 88,6-117,6 mm)
 15 tahun
♂ 107,8 mm (kisaran normal: 93,2-125,5 mm)
♀ 103,5 mm (kisaran normal: 90,5-119,1 mm)
 16 tahun
♂ 110,3 mm (kisaran normal: 95,6-128,3 mm)
♀ 105,2 mm (kisaran normal: 92,4-120,7 mm)
 17 tahun
♂ 112,8 mm (kisaran normal: 98-131 mm)
♀ 107 mm (kisaran normal: 94,6-122,1 mm)
 8 tahun
♂ 115,6 mm (kisaran normal: 100,6-134 mm)
♀ 108,3 mm (kisaran normal: 95,9-123,4 mm)
Ginjal mempunyai 2 lapisan di stal sinus renalis yaitu korteks renalis (bagian
luar) yang berwarna coklat gelap dan medulla renalis (bagian dalam) yang
berwarna coklat terang.

2. Fisiologi pada Ginjal anak-anak


Masing-masing ginjal manusia terdiri dari sekitar 1 juta nefron yang
masing-masing nefron memiliki tugas untuk membentuk urine. Ginjal tidak
dapat membentuk nefron baru. Oleh sebab itu, pada trauma, penyakit
ginjal/gangguan ginjal, atau penuaan pada ginjal normal akan terjadi penurunan
jumlah nefron secara bertahap, apalagi pada anak-anak yang masih dibawah
umur, penurunan nefron pada anak bisa berakibat hipertensi dan
mengakibatkan gangguan ginjal yang serius pada anak.
Setiap nefron memiliki 2 komponen utama yaitu glomerulus dan tubulus.
Glomerulus dilalui sejumlah cairan yang difiltrasi dari darah sedangkan tubulus
merupakan saluran panjang mengubah cairan yang difiltrasi menjadi urine dan
dialirkan menuju keluar ginjal. Terdapat 3 proses terbentuknya urine yaitu filtrasi
glomerulus, reabsorbsi tubulus dan sekresi tubulus. Setiap hari terbentuk rata-
rata 180 liter dengan volume plasma rata-rata 2,75 liter, volume plasma akan
habis melalui urine dalam waktu setengah jam saja.
Ginjal menyaring produk-produk sisa dari metabolisme tubuh, seperti urea
dari metabolisme protein dan asam urat dari uraian DNA. Dua produk sisa
dalam darah yang dapat diukur adalah Blood Urea Nitrogen (BUN) dan
kreatinin (Cr). Ketika darah mengalir ke ginjal, sensor-sensor dalam ginjal
memutuskan berapa banyak air dikeluarkan sebagai urin, bersama dengan
konsentrasi apa dari elektrolit-elektrolit.

2.4.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronic didefinisikan
penyakit penurunan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat lagi pulih atau
kembali sembuh secara total seperti sediakala (irreversible). dengan laju filtrasi
glomerulus (LFG) < 60 ml/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih, sehingga tubuh
gagal mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit, yang
bisa menyebabkan uremia (Luthfia dkk, 2017). Gangguan ginjal pada anak bisa
juga dipengaruhi oleh menurunnya gangguan fungsi pada ginjal di anak.
Akibatnya fungsi ginjal pada anak tidak bisa mengatur keseimbangan cairan
tubuh, elektrolit, dan asam-basa dengan filtrasi darah dll.
Hemodialisis merupakan prosedur perawatan untuk manyaring limbah
dan air dari darah, sama halnya seperti fungsi ginjal dalam tubuh. Prosedur ini
juga disebut sebagai pengganti ginjal yang sudah rusak. Hemodialisis
dibutuhkan oleh pasien yang mengidap gagal ginjal/gangguan pada ginjal untuk
anak-anak menggunakan perawatan Peritoneal Dialysis untuk anak usia
dibawah umur atau 5 tahun.

2.4.2 Etiologi
Gangguan ginjal pada anak seringkali juga menjadi penyakit komplikasi
yang lain contohnya infeksi, radang, gangguang jaringan, penyakit metabolic,dll.
Glomerunefritis dapat terjadi karena kelainan imunologik, gangguan koagulasi,
defek biokimia, atau efek toksik langsung pada ginjal. Kelainan imunologik
merupakan mekanisme predominan dalam gangguan glomeruli pada anak.
Penelitian Kim et.al., (2021) dari total 186 pasien anak dengan HSP terdapat 67
anak atau 36% mengalami gangguan pada ginjal dengan insidensi terbanyak
pada perempuan berumur antara 4-10 tahun.
Edema yang terlihat pada gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh
berbagai hal. Ginjal sering tidak dapat mengeksresikan natrium yang masuk
melalui makanan dengan cepat, sehingga natrium akan tertimbun dalam ruang
ekstraseluler dan menarik air. Jumlah cairan yang tidak seimbang dapat
menyebabkan terjadinya edema paru ataupun hipertensi pada 2 – 3 orang
pasien hemodialisis. Ketidakseimbangan cairan juga dapat menyebabkan
terjadinya hipertrovi pada ventrikel kiri. Hasil rontgen dada pasien dengan
edema akibat gagal ginjal biasanya menunjukkan adanya kongesti paru-paru
sebelum pembesaran jantung terjadi secara signifikan. Namun biasanya tidak
terdapat ortopnea. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal kronis juga dapat
mengalami edema akibat retensi primer garam dan air.

2.4.3 Manifestasi Klinis


Penyebab gangguan ginjal pada anak adalah karena adanya kerusakan
organ tubuh tersebut sudah cukup parah atau terjadi dalam waktu yang lama
sehingga terjadi penumpukan kadar garam serta bahan kimia lain pada tubuh.
Ada beberapa faktor pemicu yang bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal
anak, di antaranya:
 Kebutuhan cairan tubuh anak tidak tercukupi dalam kurun waktu panjang.

 Telah mengalami penyakit ginjal tertentu, seperti radang ginjal akut,


glomerulonefritis, dan sejenisnya.
 Riwayat penyakit bawaan dari orang tua kandung, seperti hipertensi dan
diabetes.
 Mengalami keracunan zat tertentu.

 Efek samping dari obat-obatan tertentu.

 Kondisi yang menyebabkan aliran darah pada tubuh anak terganggu, seperti
serangan jantung, operasi, perdarahan, dan lain sebagainya.
 Menderita sindrom hemolitik uremik (pembuluh darah kecil pada ginjal
meradang dan rusak).
Gangguan Ginjal pada anak memiliki tanda dan gejala tertentu yang dapat
dideteksi oleh orang tua. Adapun gejala gangguan ginjal pada anak adalah
sebagai berikut ( Tim medis siloam hospital, 2023):
 Sering mual dan muntah
 Nyeri pada bagian kiri dan kanan perut
 Urine berdarah
 Rewel saat buang air kecil
 Sering sakit kepala
 Kulit terlihat lebih pucat
 Jarang buang air kecil dan urine lebih pekat warnanya
 Wajah, tangan dan kaki terlihat membengkak
 Anemia ( Tim medis siloam hospital, 2023)
 Tidak nafsu makan
 Kelelahan
 Demam
 Sesak nafas
 Tumbuh kembang anak terhambat (dr. Airindya Bella, 2022)

2.4.4 Klasifikasi
Sama seperti kanker, penyakit ginjal juga bisa diklasifikasi melalui
stadium. Stadium awal adalah tahap yang paling ringan dan biasanya sulit
ditemukan secara dini. dr. Henny menambahkan, gejala gagal ginjal pada
anak seringnya tidak tampak nyata, Gejala awal dari GgGA sering kali tidak
tampak nyata. Umumnya anak yang menderita gangguan ginjal akut
mengalami penurunan jumlah urin (oliguria), atau bahkan tidak adanya
produksi urin (anuria)
Melansir dari Fresenius Kidney Care, penyakit ginjal stadium awal
memiliki perkiraan laju filtrasi glomerulus atau estimated glomerular filtration
rate (eGFR) 90 atau lebih tinggi dan kerusakan ginjal ringan dengan fungsi
ginjal normal. Penilaian derajat keparahan gagal ginjal dapat dinilai
berdasarkan stadium Chronic Kidney Disease Improving Global Outcomes
(KDIGO) dengan memperhitungkan kadar serum kreatinin dan produksi urin
pada penderita, Namun, pengecekan ini hanyak bisa dilakukan di uji
laboratorium, dan tidak bisa didiagnosis tanpa pemeriksaan langsung oleh
dokter. Pada penyakit ginjal tahap 1, sangat penting untuk memantau
kesehatan dengan cermat dan menghindari penyebab-penyebab dari
kerusakan ginjal agar tidak masuk ke tahap 2.
Gejala Penyakit gangguan ginjal stadium awal Umumnya gejala tidak
terlalu dirasakan sampai masuk tahap selanjutnya. Namun, tandanya bisa
berupa berikut(dr. Henny Adriani Puspitasari, Sp.A, Subsp, 2023) :
 Tekanan darah tinggi

 Bengkat di area kaki

 Infeksi saluran kemih

 Tes urine abnormal (protein dalam urine)


2.4.5 Patofisiologi
Gagal ginjal pada anak merupakan penurunan fungsi ginjal diakibatkan oleh
hipoperfusi ginjal, kerusakan parenkim ginjal, atau adanya obstruksi yang
mengakibatkan gangguan filtrasi glomerulus. Secara fisiologis, filtrasi glomerulus
terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara glomerulus dan kapsula Bowman.
Gradien tekanan tersebut dipengaruhi renal blood flow serta pembuluh darah aferen
dan eferen.
Terjadi penurunan renal blood flow yang menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG). Keadaan yang dapat menyebabkan hipoperfusi ini adalah
hipovolemia akibat perdarahan, luka bakar berat; gangguan fungsi jantung
seperti syok kardiogenik atau emboli paru yang menyebabkan hipotensi.
Vasodilatasi sistemik akibat syok sepsis, anafilaksis, dan sindrom hepatorenal, serta
peningkatan resistansi vaskular juga dapat menyebabkan AKI prerenal.
AKI renal dihubungkan dengan pelepasan vasokonstriktor dari renal afferent
pathway, yang sering terjadi pada kondisi iskemia, sepsis, dan adanya nefrotoksin.
AKI prerenal yang berlangsung terus-menerus tanpa teratasi juga dapat
mengakibatkan jejas selular dan AKI renal pada akhirnya. Pada AKI renal, seperti
akibat nekrosis tubular akut, terjadi jejas seluler yang mengakibatkan kematian sel,
sehingga sel-sel tubular kehilangan fungsinya. Obstruksi tubular juga dapat
mengakibatkan kematian sel tubular sehingga fungsi ginjal menurun.
Pada glomerulonefritis, terjadi jejas pada glomerulus akibat immune-mediated
injury atau respon imun pada deposit kompleks imun di glomerulus.
AKI post renal paling sering disebabkan oleh adanya obstruksi
seperti nefrolitiasis ataupun urolithiasis, di mana pada kondisi ini terjadi peningkatan
tekanan intratubular dan reaksi inflamasi yang menyebabkan penurunan filter
glomerulus.( dr. Nathania Sutisna).

2.4.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien gangguan ginjal antara
lain :
1. Pemantauan Volume urine yang berupa kreatinin meningkat 3x dari baseline
atau kreatinin meningkat lebih dari 2,5 mg/dl, Laju filtrasi glomerolus kurang dari
35 ml/menit/1,73 m2, Diuresis kurang dari 0,3 ml/kgBB/ja selama lebih dari 24
jam atau anuria selama lebih dari 12 jam
2. Pemeriksaan darah (hematologi rutin, ureum, kreatinin, NA, K, Cl, CRP, SGOT,
SGPT, D-dimer, Fibrinogen, antobodi sars-cov-2, pcr sars cov-2), dan urine (bila
ada). (CNN Indonesia, 2022).
2.4.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronis melibatkan penerapan langkah-
langkah yang mengurangi risiko kardiovaskular, meminimalkan cedera ginjal lebih
lanjut, dan memperlambat laju perkembangan kerusakan ginjal. Tabel di bawah ini
menjelaskan rencana penatalaksanaan pada penyakit ginjal kronis berdasarkan
stadium dan laju filtrasi glomerulus (GFR).
Tabel 1. Rencana Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronis

GFR
Stadium (ml/menit/1,73m2) Rencana Penatalaksanaan

Terapi penyakit yang mendasari,


penatalaksanaan pada kondisi komorbid,
Stadium 1 ≥ 90 evaluasi progresivitas dari perburukan
fungsi ginjal, dan memperkecil risiko
kardiovaskular

Menghambat progresivitas dari perburukan


Stadium 2 60-89
fungsi ginjal

Evaluasi dan penatalaksanaan pada


Stadium 3 30-59
komplikasi yang terjadi

Stadium 4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

Stadium 5 < 15 Terapi pengganti ginjal

2.4.8 Pencegahan
Penanganan terhadap penyakit ginjal pada anak tergantung penyebab yang
mendasarinya. Apabila kondisi tersebut disebabkan oleh tekanan darah tinggi,
dokter akan memberikan pengobatan untuk menurunkan tekanan darah.Jika
disebabkan oleh infeksi, misalnya infeksi bakteri, dokter akan mengatasi infeksi
yang menyebabkan penyakit ginjal dengan antibotik. Untuk kondisi yang disebabkan
cacat lahir, dokter akan melakukan tindakan medis sesuai dengan kondisi ginjal
tersebut. Penanganan yang dilakukan sejak dini dapat mencegah terjadinya
kerusakan ginjal permanen pada anak yang bisa mengakibatkan gagal ginjal. Jika
anak sudah mengalami gagal ginjal, dokter akan memberikan penanganan yang
meliputi:
 Obat-obatan dan asupan nutrisi melalui makanan, khusus untuk penyakit ginjal
 Cuci darah
 Transfusi darah, jika gagal ginjal sudah menyebabkan anemia
 Transplantasi ginjal
Pilihan metode penanganan terhadap anak yang mengalami penyakit ginjal
akan disesuaikan dengan penyebab dan seberapa parah kondisinya. Dengan
mengetahui penyebab dan gejala penyakit ginjal pada anak, diharapkan Anda bisa
selalu waspada dan segera membawa Si Kecil ke dokter bila ia mengalami gejala di
atas. Dengan begitu, penanganan dapat dilakukan sedini mungkin guna mencegah
komplikasi yang dapat terjadi. (dr. Airindya Bella,Alodokter, 2022).

2.4.9 Prognosis
Prognosis penyakit ginjal tergantung pada komorbiditas yang dimiliki pasien,
usia, dan laju filtrasi glomerulus. Pasien dengan penyakit ginjal kronis umumnya
mengalami penurunan fungsi ginjal secara progresif dan berisiko mengalami
penyakit ginjal stadium akhir. Deteksi dini dari penyakit ginjal kronis, penanganan
yang tepat pada penyakit yang mendasari ataupun penyakit komorbid, serta inisiasi
tepat waktu dalam penerapan terapi pengganti ginjal sangat penting untuk
mencegah komplikasi pada penyakit ginjal kronis yang dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan.( dr.Eva Naomi Oretla,Alomedika).
2.1 Pathway Cronic Kidney Disease
Obs. Sal.kemih

Retensi urine
Vaskuler
Infeksi Zat toksik
Refluks/menekan syaraf perifer
Arterosklerosis
Reaksi Ag - Ab Akumulasi di ginjal
Hidronefrosis
Vaskuler Ginjal
Suplai darah ginjal ↓
Peningkatan
tekanan Iskemia
GFR turun

Gg. Fungsi renal Nefron Kompresi Nekrosis


CKD

Penurunan fungsi Retensi Na & Sekresi Gg kaseim Sekresi K ↓ Sekresi eritropoietin ↓


eksresi ginjal H2O prot sindrom asam basa
terganggu e
Hiperkalemia Produksi Hb ↓
Sindrom uremia CES ↑
Prod.
Tekanan As.lambung ↑ Oksihemoglobin ↓
Gg. Penghantaran
kapiler naik
kelistrikan jantung
Pruritus Perubahan HCO3- ↓
warna kulit Iritasi lambung
Volume Intoleransi Perfusi perifer
Uremic Asidosis intertisial naik Disritmia aktivitas tdk efektif
diotak Gg. Integritas Res. Perdarahan
Infeksi Res. Suplai O2 ↑ asam
Kulit Mual, Edema Anaerob
↑ preload jaringan ↓ laktat
muntah
Hiper-ventilasi Edema
Gg.Perfusi Hipervolemia paru
cerebral ↑ ↓COP Nyeri
Defisit Suplai O2
Perubahan beban Synkop sendi
nutrisi otak ↓
pola nafas jantung e
Gangguan
pertukaran gas Nyeri akut
Penatalaksanaan
CKD

Renal Replacement Therapy

Continuous Ambulatory Peritoneal Hemodialisa Transplantasi Ginjal


Dialysis

Intra Hemodialisis

ultrafiltras Keseimbanga Difusi Sirkulasi Blood pump Procedure Pemberian Kontinue


i n elektrolit Ekstrakorporea priming/reuse yang Koagulasi
tinggi
dalam tubuh l tidak adekuat
UF berlebihan
Hipoglikemi Penurunan factor
Adanya akses
Calcium a masuk udara Aritmi Zat-zat pada dialyzer intrinsic Koagulasi
Kehilangan a belum keluar secara
cairan di optimal
ekstravaskuler Ketidakstabilan
Kram otot Resiko Nyeri
kadar glukosa terjadinya dada Resiko Perdarahan
Cairan darah emboli udara
Masuk ke
inravaskuler Nyeri akut tubuh pasien
Nyeri
akut
Hiperventilas
i
Resiko menggigil
ketidakseimbanga Resiko syok
n cairan (hipovolemi Pola Nafas
(kekurangan a) tidak Efektif
cairan) Post Hemodialisa
2.5 Konsep Asuhan Keperawatan Dialisis Pada Anak

2.5.1 Pengkajian
1. Anamnesis
Pada pengkajian yang dilakukan pada pasien CKD diperoleh secara autoanamnesis
dan alloanamnesis. Dimana identitas pasien meliputi nama (anonym), usia, jenis
kelamin, agama, alamat, pekerjaan dan diagnosa medis.
a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluhan yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output sedikit tidak
dapat BAB, gelisah sampai penurunan kesadaran, anoreksia, dyspnea, nausea,
vomiting, mulut terasa kering (xerostomia), nafas berbau (ureum), dan gatal pada
kulit. Pada kasus CKD dapat terjadi pada segala usia dan jenis kelamin (tidak
ada perbandingan antara wanita dan pria). Pada pasien CKD dengan pruritus
Biasanya klien datang ketempat pelayanan kesehatan dengan keluhan gatal
pada kulit dan sering terjadi pada malam hari
b. Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi penyakitnya terutama pada
pre renal dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan keluhan yang pasien
rasakan saat ini, seperti berapa lama penurunan jumlah output urine dan
apakan penuruna jumlah urine ada hubungannya dengan predisposisi. Faktor
pencetus timbulnya pruritus dapat disebabkan oleh adanya kelainan sistemik
intenal DM, kelainan darah atau kanker, penggunaan preparat oral seperti
aspirin, terpi antibiotik, hormon, adanya alergi baru saja minum obat yang baru,
pergantian kosmetik dapat menjadi pencetus adanya pruritus. Tanda - tanda
infeksi dan bukti lingkungan seperti udara yang panas, kering atau seprei /
selimut yang menyebabkan iritasi. Pruritus dapat terjadi pada orang yang
berusia lanjut sebagai akibat dari kulit yang kering
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji apakah ada riwayat penyakit infeksi system perkemihan, diabetes militus,
hipertensi dan batu ginjal. Kemudian tentang riwayat konsumsi obat-obatan dan
riwayat alergi. Pruritus merupakan penyakit yang hilang timbul, sehingga pada
riwayat penyakit dahulu sebagaian besar pasien pernah menderita penyakit yang
sama dengan kondisi yang dirasakan sekarang
3) Riwayat Penyakit Keluarga

43
Kaji apakah ada riwayat penyakit ginjal dari keluarga. Diduga faktor genetik tidak
mempengaruhi timbulnya pruritus, kecuali dalam keluarga ada kelainan sistemik
internal yang bersifat herediter, mungkin saja mengalami pruritus.

2. Pemeriksaan Pola Fungsi


a. Pola Aktifitas Latihan
Gejala : Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise, gangguan tidur (insomnia /
gelisah atau somnole), mobilitas, toileting
Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak
b. Integritas ego
Gejala : Faktor stress, contoh financial, hubungan dan sebagainya, perasaan
tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan
Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian
c. Pola eliminasi
Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria, abdomen kembung,
diare, atau konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah,
cokelat,berawan, oliguria, dapat menjadi anuria.
b. Pola nutrisi
Gejala : Peningkatan berat badan cepat (edema), penuruna berat
(malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap di
mulut (pernapasan amonia), penggunaan diuretik.
Tanda : Distensi abdomen / asites, pembesaran hati,, perubahan turgor kulit /
kelembaban, edema (umum,tergantung), ulserasi gusi, perdarahan gusi /
lidah, penurunan oto, penurunan lemak subkutan, Interaksi social.

3. Pemeriksaan Fisik
a) B1 (Breathing)
Gejala : nafas pendek, dypsnea, noktural paroximal, batuk dengan nada/tanpa
sputum kenral dan banyak
Tanda : takhipnea, dipsnea, peningkatan frekuensi/kedalaman (pernafasan
kusmaul), batuk produktif dengan sputum atau dahak.
b) B2 (Blood)
Gejala : riwayat Hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada atau angina
Tanda : Hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umum akibat penimbunan
cairan, pitting pada kaki, telapak tangan, disritmia jantung, nadi lemah halus,

44
hipotensi ortostatik menunjukan hipovolemi, pucat, kulit coklat kehijauan,
kuning dan cenderung perdarahan. Anemia normokrom, trombositopenia,
gangguan leukosit, perdarahan.
c) B3 (Brain)
Gejala : Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolen sampai koma, Miopati,
ensefalopati metabolik, burning feet syndrome, restless leg
Tanda : Gangguan toleransi glukosa, gangguan metabolisme lemak, gangguan
seksual, libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki, gangguan
metabolisme vitamin D syndrome.
d) B4 (Bladder)
Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguri, anuria (gagal tahap lanjut)
Tanda : Perubahan warna urine, contoh: urine berwarna kuning pekat, merah,
coklat, berawan. Oliguria dapat menjadi anuria
e) B5 (Bowel)
Gejala : Abdomen kembung, mual muntah, diare atau koonstipasi. Peningkatan
berat badan cepat/odema, penurunan berat badan (malnutrisi), anorexia, nyeri
ulu hati, rasa metalik tak sedap pada mulut (pernafasan amonia)
Tanda : Distensi abdomen/asites, pembesaran hati (tahap akhir), perubahan
turgor kulit/kelembapan, edema, ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah, penurunan
massa otot, penurunan lemak subkutan dan penampilan tak bertenaga.
f) B6 (Bone)
Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki (memburuk saat malam
hari), kulit gatal, ada/tidaknya infeksi
Tanda : Pruritis, demam (sepsis,dehidrasi), normotermia dapat secara actual
terjadi peningkatan pada pasien yang mengalami suhu tubuh lebih rendah dari
normal (efek GGK/depresi respon imun), ptekia, area ekimosis pada kulit,
fraktur tulang, defisit fosfat kalsium pada kulit, jaringan lunak dan keterbatasan
gerak sendi.

45
4. Pemeriksaan diagnostik
a) Laboratorium
Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya
darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis <1.020 menunjukkan penyakit ginjal, pH
urine >7.00 menunjukkan ISK, NTA, dan GGK. Osmolalitas kurang dari 350
mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio urine: serum sering 1: 1.
b) Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin
Terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN dan laju peningkatannya
bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan
masukan protein. Serum kratinin meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar
kreatinin serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan
penyakit.
1) Pemeriksaan elektrolit
Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi glomerulus tidak mampu
mengeksresikan kalium. Katabolisme protein mengahasilkan pelepasan
kalium seluler ke dalam cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat.
Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti jantung.
2) Pemeriksaan Ph
Pasien oliguri akut tidak dapat mengeliminasi muatan metabolik seperti
substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu,
mekanisme bufer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
penurunan kandungan karbon dioksida darah dan pH darah sehingga asidosis
metabolik progresif menyertai gagal ginjal.

2.6.2 Diagnosa Keperawatan


1. Pre Hemodialisis:
a. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi,
kelebihan asupan cairan
b. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan penurunan konsentrasi
hemoglobin, peningkatan tekanan darah, penurunan aliran arteri/ vena
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan
d. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan spasme jalan nafas,
hipersekresi jalan nafas
e. Kerusakan integritas kulit
f. Nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik

46
g. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrient, peningkatan kebutuhan metabolisme
h. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala penyakit, efek
samping terapi
i. Defisit pengetahuan berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif,
kekeliruan mengikuti anjuran, kurang terpapar informasi
j. Ketidakberdayaan berhubungan dengan program perawatan/pengobatan
yang kompleks atau jangka panjang
k. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, kebutuhan tidak
terpenuhi, ancaman terhadap kematian. Keletihan berhubungan dengan
kondisi fisiologis (penyakit kronis, penyakit terminal), program
perawatan/pengobatan jangka panjang

2. Intra Hemodialisis:
a. Hipovolemi berhubungan dengan kehilangan cairan aktif, kegagalan
mekanisme regulasi, kekurangan intake cairan
b. Resiko syok berhubungan dengan hipotensi, kekurangan volume cairan
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan aneurisma atau
pseudoanerisma, gangguan koagulasi, tindakan pembedahan
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi,
iskemia, neoplasma), agen pencedera fisik (abses, prosedur operasi,
trauma)
e. Ketidakstabilan gula darah (hipoglikemia)
f. Termoregulasi tidak efektif
g. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi

3. Post Hemodialsis:
a. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive, penyakit
kronis.
b. Resiko perdarahan berhungan aneurisma atau pseudoanerisma,
gangguan
koagulasi, tindakan pembedahan

47
2.5.2 Intervensi
1.Pre HD
No. Dx Keperawatan Tujuan Rencana Tindakan
Dx (SDKI) Keperawatan (SIKI)
(SLKI)
Hipervolemia Setelah dilakukan Manajemen
Berhubungan dengan asuhan keperawatan hipervolemia
(penyebab): selama ……x24 jam Observasi
 Gangguan maka  Periksa tanda dan
mekanisme Keseimbangan gejala hipervolemia
regulasi Cairan “membaik” (ortopnea, dispnea,
 Kelebihan asupan dengan kriteria hasil: edema, JVP/CVP
cairan  Asupan cairan meningkat, refleks
 Kelebihan asupan  Haluaran urin hepatojugular
natrium  Kelembapan positif, suara nafas
 Gangguan aliran membran tambahan)
balik vena mukosa  Identifikasi
 Efek agen  Asupan penyebab
farmakologis makanan hipervolemia
(kortikosteroid,  Edema  Monitor status
chlorpropamid,  Dehidrasi hemodinamik
tolbutamide,  Asites (frekuensi jantung,
vincristin,  Konfusi tekanan darah,
tryptilinescarbamaz  Tekanan darah MAP, CAP, PAP,
epine)  Denyut nadi PIMP, CO, CI), jika
Dibuktikan dengan: radial tersedia
Gejala dan Tanda  Tekanan arteri  Monitor intake dan
Mayor: rata-rata output cairan
Subjektif:  Membran  Monitor tanda
 Ortopnea mukosa hemokonsentrasi
 Dispnea  Mata cekung (kadar natrium,
 Paroxymal  Turgor kulit BUN, hematocrit,
nocturnal dyspnea  Turgor kulit berat jenis urin)
(PND)  Berat badan  Monitor tanda
Objektif: peningkatan
 Edema anasarka tekanan onkotik

48
dan atau edema plasma (kadar
perifer protein dan albumin
 Berat badan meningkat)
meningkat dalam  Monitor kecepatan
waktu singkat infus secara ketat
 Jugular venous  Monitor efek
pressure (JVP) dan samping deuretik
atau central venous (hipotensi
pressure (CVP) ortortostatik,
meningkat hipovolemia,
 Refleks hepato hipokalemia,
jugular positif hiponatremia)
Gejala dan Tanda Terapeutik
Minor:  Timbang berat
Subjektif: - badan setiap hari
Objektif: pada waktu yang
 Distensi vena sama
jugularis  Batasi asupan
 Terdengar suara cairan dan garam
nafas tambahan  Tinggikan kepala
 Hepatomegali tempat tidur 30-40°
 Kadar Hb/Ht turun Edukasi
 Oliguria  Anjurkan melapor
 Intake lebih banyak jika haluan urin <0,5
dari output (balance ml/kg/jam dalam 6
cairan positif) jam
 Kongesti paru  Anjurkan melapor
 Penyakit ginjal: jika BB bertambah
gagal ginjal >1kg dalam sehari
akut/kronis, sindrom  Ajarkan cara
nefrotik mengukur dan
 Hipoalbuminemia mencatat asupan
 Gagal jantung dan haluan cairan
kongestif  Ajarkan cara
 Kelainan hormon membatasi cairan
 Penyakit hati Kolaborasi
(sirosis, asites,  Kolaborasi

49
kanker hati) pemberian diuretik
 Penyakit vena  Kolaborasi
perifer (varises penggantian
vena, trombus vena, kehilangan kalium
plebitis) akibat deuretik
 Kolaborasi
pemberian
continuous renal
replacement
therapy (CRRT),
jika perlu
Pemantauan cairan
Observasi
 Monitor frekuensi
dan kekuatan nadi
 Monitor frekuensi
nafas
 Monitor tekanan
darah
 Monitor berat badan
 Monitor waktu
pengisian kapiler
 Monitor elastisitas
dan turgor kulit
 Monitor jumlah,
warna dan berat
jenis urin
 Monitor kadar
albumin dan protein
total
 Monitor hasil
pemeriksaan serum
 Monitor intake dan
output cairan
 Identifikasi tanda-
tanda hipervolemia

50
Manajemen cairan
Observasi
 Monitor status
hidrasi
 Monitor berat badan
harian
 Monitor berat badan
sebelum dan
sesudah dianalisis
 Monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium
(hemaktokrit, Na, K,
Cl, berat jenis urin,
BUN)
 Monitor status
hemodinamik (MAP,
CVP, PAP, PCWP,
jika ada)
Terapeutik
 Catan intake output
dan hitung balance
cairan 24 jam
 Berikan asupan
cairan, sesuai
kebutuhan
 Berikan cairan
intravena, jika perlu
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian deuretik,
jika perlu
Manajemen Elektrolit
Observasi
 Identifikasi tanda
dan gejala
ketersediaan kadar

51
elektrolit
 Identifikasi
penyebab
ketidakseimbangan
elektrolit
 Identifikasi
kehilangan elektrolit
melalui cairan
 Monitor kadar
elektrolit
 Monitor efek
samping pemberian
suplemen elektrolit
Terapeutik
 Berikan cairan, jika
perlu
 Berikan diet yang
tepat (tinngi kalium,
rendah natrium)
 Pasang akses
intravena, jika perlu
Edukasi
 Jelaskan jenis,
penyebab dan
penanganan
ketidakseimbangan
elektrolit
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian
suplemen elektrolit
sesuai indikasi

Manajemen Asam-
Basa
Observasi
 Identifikasi

52
penyebab
ketidakseimbangan
asam basa
 Monitor frekuensi
dan kedalaman
nafas
 Monitor status
neurologis (tingkat
kesadaran, status
mental)
 Monitor irama dan
frekuensi jantung
 Monitor perubahan
Ph, PaCO2, HcO3
Terapeutik
 Ambil spesimen
darah arteri untuk
pemeriksaan AGD
 Berikan oksigen,
sesuai indikasi
Edukasi
 Jelaskan penyebab
dan mekanisme
terjadinya gangguan
asam basa
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian ventilasi
mekanik, jika perlu

Managemen
Hemodialisa
Observasi
 Identifikasi tanda
dan gejala serta
kebutuhan HD
 Identifikasi kesiapan

53
HD
 Monitor TTV,tanda-
tanda perdarahan
dan respon selama
dialysis
 Monitor TTV pasca
HD
Terapeutik
 Siapkan peralatan
HD
 Lakukan prosedur
HD dengan prinsip
aseptik
 Atur filtrasi sesuai
kebutuhan
penarikan cairan
 Atasi hipotensi
selama proses
dialysis
 Hentikan HD bila
mengalami kondisi
yang
membahayakan

Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur HD
Kolaborasi
□ Kolaborasi
pemberian heparin
pada bloodline
sesuai indikasi
Perfusi perifer tidak  perfusi perifer Perawatan Sirkulasi
efektif Observasi
Setelah dilakukan  Periksa sirkulasi
Berhubungan dengan asuhan keperawatan perifer (mis. Nadi
(penyebab): perifer, edema,

54
 Hiperglikemia selama ……x24 jam pengisian kalpiler,
 Penurunan  Denyut nadi warna, suhu, angkle
konsentrasi Hb perifer brachial index)
 Warna kulit pucat  Identifikasi faktor
 Edema perifer resiko gangguan
Dibuktikan dengan:  Nyeri ekstremitas sirkulasi (mis.
Gejala dan Tanda  Bruit femoralis Diabetes, perokok,
Mayor:  Pengisian kapiler orang tua,
Subjektif:  Akral hipertensi dan
(tidak tersedia)  Turgor kulit kadar kolesterol
Objektif:  Indeks ankle- tinggi)
 pengisian kapiler >3 brachial  Monitor panas,
detik kemerahan, nyeri,
 Nadi perifer atau bengkak pada
menurun atau tidak ekstremitas
teraba Terapeutik
 Akral teraba dingin  Hindari
 Warna kulit pucat pemasangan infus
 Turgor kulit atau pengambilan
menurun darah di area
keterbatasan
Gejala dan Tanda perfusi
Minor:  Hindari pengukuran
Subjektif: tekanan darah pada
 parastesia ekstremitas pada
 nyeri ekstremitas keterbatasan
(klaudikasi perfusi
intermiten)  Hindari penekanan
dan pemasangan
Objektif: torniquet pada area
 edema yang cidera
 penyembuhan luka  Lakukan
lambat pencegahan infeksi
 indeks ankle-  Lakukan perawatan
brachial <0,90 kaki dan kuku
 ruit femoral  Lakukan hidrasi

55
Edukasi
 Anjurkan berhenti
merokok
 Anjurkan
berolahraga rutin
 Anjurkan mengecek
air mandi untuk
menghindari kulit
terbakar
 Anjurkan
menggunakan obat
penurun tekanan
darah, antikoagulan,
dan penurun
kolesterol, jika perlu
 Anjurkan minum
obat pengontrol
tekakan darah
secara teratur
 Anjurkan
menghindari
penggunaan obat
penyekat beta
 Ajurkan
melahkukan
perawatan kulit
yang tepat(mis.
Melembabkan kulit
kering pada kaki)
 Anjurkan program
rehabilitasi vaskuler
 Anjurkan program
diet untuk
memperbaiki
sirkulasi( mis.
Rendah lemak
jenuh, minyak ikan,

56
omega3)
 Informasikan tanda
dan gejala darurat
yang harus
dilaporkan( mis.
Rasa sakit yang
tidak hilang saat
istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya
rasa)

Kerusakan integritas Setelah dilakukan Perawatan integritas


kulit b.d perubahan Tindakan kulit
sirkulasi keperawatan Observasi
selama 5 jam di □ Identifikasi
harapkan integritas penyebab gangguan
kulit dan jaringan integritas kulit (mis.
meningkat dengan Perubahan sirkulasi,
kriteria hasil: perubahan status
 Hidrasi nutrisi)
meningkat Terapeutik
 Kerusakan □ Ubah posisi tiap 2
jaringan/lapisan jam jika tirah baring
kulit menurun □ Gunakan produk
 Nyeri dan gatal berbahan
menurun ringan/alami dan
hipoalergik pada
kulit sensitif
□ Hindari produk
berbahan dasar
alkohol pada kulit
kering
Edukasi
□ Anjurkan
menggunakan
pelembab (mis.

57
Lotion atau serum)
□ Anjurkan mandi dan
menggunakan
sabun secukupnya
□ Anjurkan
menghindari
terpapar suhu
ekstrem
Nyeri Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
tindakan Observasi
keperawatan selama □ Identifikasi factor
3x8 jam maka tautan pencetus dan
nyeri meningkat pereda nyeri
dengan kriteria hasil: □ Monitor kualitas
□ Melaporkan nyeri nyeri Monitor lokasi
terkontrol dan penyebaran
meningkat nyeri
□ Kemampuan □ Monitor intensitas
mengenali onset nyeri dengan
nyeri meningkat menggunakan skala
□ Kemampuan □ Monitor durasi dan
menggunakan frekuensi nyeri
teknik Teraupetik
nonfarmakologis □ Ajarkan Teknik
meningkat nonfarmakologis
□ Keluhan nyeri untuk mengurangi
penggunaan rasa nyeri
analgesik □ Fasilitasi istirahat
menurun dan tidur
□ Meringis Edukasi
menurun □ Anjurkan memonitor
□ Fekuensi nadi nyeri secara mandiri
membaik □ Anjurkan
□ Pola nafas menggunakan
membaik analgetik secara
□ Tekanan darah tepat Kolaborasi

58
membaik Kolaborasi
□ pemberian obat
analgetic

2. Intra HD
Dx Keperawatan Tujuan Rencana Tindakan
No.
(SDKI) Keperawatan (SIKI)
Dx
(SLKI)
Hipovolemia Setelah dilakukan Manajemen
Berhubungan dengan asuhan keperawatan hypovolemia
(penyebab): selama ……x24 jam Observasi
 Kehilangan cairan maka Status Cairan  Periksa tanda dan
aktif “membaik” dengan gejala hypovolemia
 Kegagalan kriteria hasil: (mis. Frekuensi nadi
mekanisme  Kekuatan nadi meningkat, nadi
regulasi  Turgor kulit teraba lemah,
 Peningkatan  Output urine tekanan
permeabilitas  Pengisian kapiler darah menurun,
kapiler  Berat badan tekanan nadi
 Kekurangan intake  Perasaan lemah menyempit, turgor
cairan  Keluhan haus kulit menurun,
 Evaporasi  Konsentrasi membrane mukosa
urine kering, volume urin
 Frekuensi nadi menurun, hematocrit
Dibuktikan dengan:  Tekanan darah meningkat, haus,
Gejala dan Tanda  Tekanan nadi lemah)
Mayor:  Membran  Monitor intake dan
Subjektif: mukosa output cairan
(Tidak Tersedia)  Kadar Ht Terapeutik
Objektif:  Intake cairan  Hitung kebutuhan
 Frekuensi nadi  Status mental cairan
meningkat  Berikan asupan
 Nadi teraba lemah cairan oral
 Tekanan darah Edukasi
menurun  Anjurkan
 Tekanan nadi memperbanyak
menyempit

59
 Turgor kulit asupan cairan oral
menurun Kolaborasi
 Membrane mukosa  Kolaborasi
kering pemberian cairan IV
 Volume urin isotonis (mis. NaCL,
menurun RL)
 Hematokrit  Kolaborasi
meningkat pemberian cairan IV
hipotonis (mis.
Gejala dan Tanda Glukosa 2,5%,
Minor: NaCL 0,4%)
Subjektif:  Kolaborasi
 Merasa lemah pemberian cairan
 Mengeluh haus koloid (mis.
Albumin,
Objektif: Plasmanate)
 Pengisian vena  Kolaborasi
menurun pemberian produk
 Status mental darah
berubah
 Suhu tubuh Pencegahan syok
meningkat Observasi
 Konsentrasi urin  Monitor status
meningkat kardiopulmonal
 Berat badan turun (frekuensi dan
tiba-tiba kekuatan nadi,
frekuensi napas,
TD, MAP)
 Monitor status
oksigenasi
(oksimetri nadi,
AGD)
 Monitor status
cairan (masukan
dan haluaran, turgor
kulit, CRT)
 Monitor tingkat

60
kesadaran dan
respon pupil
 Periksa riwayat
alergi
Terapeutik
 Berikan oksigen
untuk
mempertahankan
saturasi oksigen
>94%
 Pasang jalur IV, jika
perlu
 Pasang kateter
urine untuk menilai
produksi urine, jika
perlu
 Lakukan skin test
untuk mencegah
reaksi alergi
Edukasi
 Jelaskan
penyebab/faktor
risiko syok
 Jelaskan tanda dan
gejala awal syok
 Anjurkan
memperbanyak
asupan cairan oral
 Anjurkan
menghindari
allergen
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian IV, jika
perlu
 Kolaborasi
Pemberian transfusi

61
darah, jika perlu
 Kolaborasi
pemberian
antiinflamasi, jika
perlu
No Dx Dx Keperawatan Tujuan Rencana Tindakan
(SDKI) Keperawatan (SIKI)
(SLKI)
Risiko Syok Setelah dilakukan Pencegahan Syok
Dibuktikan dengan asuhan keperawatan Observasi
(factor resiko): selama ……x24 jam  Monitor stsatus
 Hipoksemia tingkat syok kardiopulmonal
 Hipoksia menurun dengan (frekuensi dan
 Hipotensi kriteria hasil: kekuatan nadi,
 Kekurangan  Kekuatan nadi frekuensi napas,
volume cairan meningkat TD, MAP)
 Sepsis  Output urine  Monitor status
 Sindrom respons meningkat oksigenasi
inflamasi (systemic  Tingkat kesadaran (oksimetri, nadi,
inflammatory meningkat AGD)
respons syndrome  Saturasi oksigen  Monitor status
[SIRS]) meningkat cairan (masukan
 Akral dingin menurun dan haluaran dan
 Pucat menurun respons pupil)
 Mean arterial  Periksa riwayat
pressure membaik alergi
 Tekanan darah Teraupetik
sistolik membaik  Berikan oksigen
 Tekanan darah untuk
diastolic membaik mempertahankan
 Tekanan nadi saturasi oksigen
membaik >94%
 Pengisian kapiler  Persiapkan intubasi
membaik dan ventilasi
 Frekuensi nadi mekanis, jika perlu
membaik  Pasang jaur IV jika
 Frekuensi napas

62
perlu
membaik  Pasang kateter
urine untuk menilai
produksi urine, jika
perlu
 Lakukan skin test
untuk mencegah
reaksi alergi
Edukasi
 Jelaskan
penyebab/faktor
risiko syok
 Jelaskan tanda dan
gejala awal syok
 Anjurkan melapor
jika menemukan/
merasakan tanda
dan gejala awal
syok
 Anjurkan
memperbanyak
asupan cairan oral
 Anjurkan
menghindari
allergen
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian IV, jika
perlu
 Kolaborasi pemberia
transfusi darah, jika
perlu
 Kolaborasi
pemberian
antiinflamasi, jika
perlu

63
Ansietas Setelah dilakukan Reduksi ansietas
dibuktikan dengan tindakan selama 5 Observasi
□ Kurang terpaparnya jam tingkat cemas □ Identifikasi saat
informasi menurun, dengan tingkat ansietas
Dibuktikan dengan kriteria hasil: berubah (kondisi,
□ Merasa bingung Verbalisasi waktu, stress)
□ Merasa khawatir kebingungan □ Monitor tanda
dengan akibatdari menurun ansietas
kondisi yang dihadapi Verbalisasi khawatir Terapautik
□ Tampak gelisah menurun □ Ciptakan suasana
Perilaku gelisah terapautik untuk
menurun menumbuhkan
Pola tidur membaik kenyamanan
□ Temani pasien untuk
menurangi
kecemasan, jika
memungkinkan
□ Pahami situasi yang
membuat ansietas
□ Dengarkan dengan
penuh perhatian
□ Gunakan
pendekatan yang
tenang dan penuh
perhatian
□ Motivasi
mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
Edukasi
□ Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi
yang mungkin
dialami
□ Informasikan secara
fakstual mengenai

64
diagnosis,
pengobatan dan
prognosis
□ Anjurkan keluarga
untuk tetap
Bersama pasien,
jika perlu
□ Latih tekhnik
relaxasi
Kolaborasi
□ Kolaborasi
pemberian obat
antiansietas, jika
perlu

3. Post HD
Dx Keperawatan Tujuan Rencana Tindakan
No.
(SDKI) Keperawatan (SIKI)
Dx
(SLKI)
Resiko Infeksi Setelah dilakukan Intervensi Utama:
Definisi: Beresiko asuhan keperawatan Manajemen
mengalami peningkatan selama ……x24 jam Imunisasi/Vaksinasi
terserang organisme Tingkat Infeksi/
patogenik Integritas kulit dan  Identifikasi riwayat
jaringan kesehatan dan
 Kebersihan riwayat alergi
Dibuktikan dengan tangan  Identifikasi
(factor resiko):  Kebersihan badan kontraindikasi
□ Penyakit kronis  Nafsu makan pemberian
(mis. Diabetes  Demam imunisasi
melitus)  Kemerahan  Identifikasi status
□ Efek prosedur  Nyeri imunisasi setiap
invasif  Bengkak kunjungan ke
□ Malnutrisi  Vesikel pelayanan

□ Peningkatan  Cairan berbau kesehatan

paparan organisme busuk  Dokumentasi

65
patogen lingkungan  Sputum berwarna informasi vaksinasi
□ Ketidakadekuatan hijau  Jadwal imunisasi
pertahanan tubuh  Drainase purulen dengan interval
preimer:  Piuna waktu yang tepat
□ Gangguan  Periode malaise  Jelaskan tujuan,
peristaltik  Periode menggigil manfaat, reaksi
□ Kerusakan  Lelargi yang terjadi, jadwal
integritas kulit  Gangguan kognitif dan efek samping
□ Perubahan sekresi  Kadar sel darah Intervensi
pH putih Pendukung:

□ Penurunan kerja  Kadar sel darah Pencegahan Infeksi


siliaris merah  Monitor tandan dan

□ Ketuban pecah  Kerusakan gejala infeksi lokal


jaringan dan sistemik
lama
 Kerusakan  Batasi jumlah
□ Ketuban pecah
lapisan kulit pengunjung
sebelum waktunya
 Nyeri  Berikan perawatan
□ Merokok
 Hematoma kulit pada area
□ Statis cairan tubuh
edema
□ Ketidakadekuatan
 Cuci tangan
pertahanan tubuh
sebelum dan
sekunder:
sesudah kontak
□ Penurunan
dengan pasien atau
hemoglobin
lingkungan sekitar
□ Imununosupresi
 Jelaskan tanda dan
□ Leukopenia
gejala infeksi
□ Supresi respon  Ajarkan cara
inflamasi mencuci tangan
□ Vakasinasi tidak dengan benar
adekuat  Ajarkan etika batuk
 Ajarkan
Kondisi klinis terkait meningkatkan
□ AIDS asupan nutrisi dan
□ Luka bakar cairan
□ Penyakit paru  Kolaborasi
obstruktif kronis pemberian

66
□ Diabetes melitus imunisasi, jika perlu
□ Tindakan invasif
□ Kondisi
penggunaan terapi
steroid
□ Penyalahgunaan
obat
□ Ketuban Pecah
Sebelum Waktunya
(KPSW)
□ Kanker
□ Gagal ginjal
□ Imunosupresi
□ Lymphedema
□ Leukositopenia
Gangguan fungsi hati
Risiko Perdarahan setelah dilakukan Pencegahan
Dibuktikan dengan asuhan keperawatan Perdarahan
faktor resiko: selama ……x24 jam Observasi
 Aneurisma maka Tingkat  Monitor tanda dan
 Gangguan Perdarahan gejala perdarahan
gastrointestinal "Menurun" dengan  Monitor nilai
(mis. Ulkus kriteria hasil: hematokrit/
lambung, polip, □ Kelembapan hemoglobin
varises) membran mukosa sebelum dan
 Gangguan fungsi meningkat setelah kehilangan
hati (mis. Sirosis □ Kelembapan kulit darah
hepatitis) meningkat  Monitor tanda-
 Komplikasi □ Kognitif tanda vital
kehamilan (mis. meningkat ortostatik
Ketuban pecah □ Hemoptisis  Monitor koagulasi
sebelum waktunya, menurun (mis. Prothrombn
plasenta previa/ □ Hematemesis time (PT), partial
abrupsio, kehamilan menurun throvloplastin time
kembar) □ Hematuria (PTT), fibrinogen,
 Komplikasi pasca degradasi fibrin

67
partum (,is. Atoni menurun dan/ atau platelet
uterus, retensi □ Perdarahan anus
plasenta) menurun Terapeutik
 Gangguan □ Distesi abdomen  Pertahankan bed
koagulasi (,is. menurun rest selama
Trombositopenia) □ Perdarahan perdarahan
 Efek agen vagina menurun  Batasi tindakan
farmakologis □ Perdarahan invasif, jika perlu
 Tindakan pasca operasi  Gunakan kasur
pembedahan menurun untuk pencegahan
 Trauma □ Hemoglobin dekubitus
 Kurang terpapar membaik  Menghindari
informasi tentang □ Hematokrit pengukuran suhu
pencegahan rektal
membaik
perdarahan
□ Tekanan darah
 Proses keganasan Edukasi
membaik
 Menjelaskan
□ Denyut nadi
tanda dan gejala
apikal membaik
perdarahan
□ Suhu tubuh
 Anjurkan
membaik
menggunakan
kaus kaki saat
ambulasi
 Anjurkan
meningkatkan
asupan cairan
untuk
menghindaru
konstipasi
 Anjurkan
menghindari
aspirin atau
antikoagulan
 Anjurkan
meningkatkan
asupan makanan

68
dan vitamin K
 Anjurkan segera
melapor jika
terjadi perdarahan
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian obat
pengontrol
perdarahan, jika
perlu
 Kolaborasi
pemberian produk
darah, jika perlu
 Kolaborasi
pemberian
pelunak tinja, jika
perlu

69
2.6.4 Implementasi
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat
terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
rencana keperawatan diantaranya: Intervensi dilaksanakan sesuai dengan
rencana setelah dilakukan validasi; ketrampilan interpersonal, teknikal dan
intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat,
keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta dokumentasi intervensi dan
respon pasien. Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit
dari rencana intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan
perawatan yang muncul pada pasien (Hidayat, 2004).

2.6.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana
evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan
pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya. Tujuan dari evaluasi ini
adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai dengan
baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang (Hidayat, 2004).
Evaluasi pada klien dengan CKD, yaitu:
1. Berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan teratasi
2. Masukan nutrisi yang adekuat teratasi
3. Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi teratasi
4. Konsep diri teratasi
5. Pengetahuan mengenai kondisi dan penanganan yang bersangkutan
meningkat.
Evaluasi dapat dilakukan menggunakan SOAP sebagai pola pikirnya.
S: Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O: Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
A: Analisa ulang data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah
masalah teratasi, masalah teratasi sebagian, masalah tidak teratasi atau
muncul masalah baru.
P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon
pasien

70
Adapun ukuran pencapaian tujuan pada tahap evaluasi meliputi:
a. Masalah teratasi, jika pasien menunjukkan perubahan sesuai dengan
tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
b. Masalah teratasi sebagian, jika pasien menunjukkan sebahagian dari
kriteria hasil yang telah ditetapkan.
c. Masalah belum teratasi, jika pasien tidak menunjukkan perubahan dan
kemajuan sama sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang
telah ditetapkan
d. Muncul masalah baru, jika pasien menunjukkan adanya perubahan kondisi
atau munculnya masalah baru.

71
72

Anda mungkin juga menyukai