Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK

DENGAN SINDROM NEFROTIK

oleh :
Ayu Putriyas Ningsih
NIM 212311101041

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
JUDUL : SINDROM NEFROTIK
Oleh: Ayu Putriyas Ningsih

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh kerusakan
glomerulus karena ada peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein
plasma yang akan menimbulkan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan
edema (Bezt & Sowden, 2009). Sindrom nefrotik ditandai dengan empat
karakteristik klinis utama yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50
mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik
≥2+), hipoalbuminemia < 2,5 g/dl, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia > 200
mg/dL terkait kelainan glomerulus akibat penyakit tertentu (Andolino dkk, 2015).
Glomerulus ginjal pasien sindrom nefrotik mengalami kerusakan sehingga protein
dapat melewati membran glomerulus dan keluar di urin, keadaan ini disebut dengan
proteinuria (Manalu Erida, 2019).
Usia anak-anak merupakan kelompok yang memerlukan perhatian khusus,
apalagi mengenai kesehatan. Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal yang umum
terlihat pada anak-anak. Sindrom nefrotik dapat memengaruhi anak-anak dari
segala usia, mulai dari bayi hingga remaja, dan paling sering terlihat pada anak-
anak usia sekolah dan remaja, tetapi lebih banyak terjadi pada usia 1-2 tahun dan 8
tahun (Elizabeth, 2015). Prevalensi di seluruh dunia adalah sekitar 16 kasus per
100.000 anak dengan kejadian 2 hingga 7 per 100.000 anak. Anak laki-laki lebih
berisiko daripada perempuan dengan rasio 2 : 1, tetapi dominasi ini gagal bertahan
pada masa remaja (Andolini dkk, 2019). Di negara maju timbulnya sindrom
nefrotik pada masa kanak-kanak adalah 2-4 per 100.000 penduduk, sedangkan di
India diperkirakan sebanyak 9-10 anak per 100.000 populasi menderita sindrom
nefrotik (Nagasree, 2019). Sedangkan di Indonesia terdapat 6 kasus setiap tahun
per 100.000 anak usia kurang dari 14 tahun. Data yang diperoleh dari luar negeri
menunjukkan dua pertiga kasus sindrom nefrotik dijumpai pada anak dengan usia
kurang dari 5 tahun.

1
2. Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Dua ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, diluar rongga
peritonium, di kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah
dibandingkan ginjal kiri karena tertekan ke bawah oleh hati. Kutub atasnya terletak
setinggi iga kedua belas. Sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi iga
kesebelas. Sisi medial setiap ginjal merupakan daerah lekukan yang disebut hilum
tempat lewatnya arteri dan vena renalis, pembuluh limfatik, saraf, dan ureter yang
membawa urine akhir dari ginjal ke kandung kemih, tempat urine disimpan hingga
dikeluarkan. Ginjal dibungkus oleh kapsul fibrosa yang keras untuk melindungi
struktur dalamnya yang rapuh (Guyton & Hall, 2011).

Gambar 1. Ginjal

Jika ginjal dibelah dua dari atas ke bawah, dua daerah utama yang dapat
digambarkan yaitu daerah korteks dibagian luar dan medula di bagian dalam
(Gaambar 1). Medula ginjal terbagi menjadi 8-10 massa jaringan berbentuk kerucut
yang disebut piramida ginjal. Dasar dari setiap piramida dimulai pada perbatasan
antara korteks dan medula serta berakhir di papila, yang menonjol ke daalam ruang
pelvis ginjal, yaitu sambungan dari ujung ureter bagian atas yang berbentuk corong.
Batas luar pelvis terbagi menjadi kantong-kantong dengan ujung terbuka yang
disebut kalises mayor, yang meluas ke bawah dan terbagi menjadi kalises minor,

2
yang mengumpulkan urine dari tubulus setiap papila. Dinding kalises, pelvis, dan
ureter terdiri atas bagian kontraktil yang mendorong urine menuju kandung kemih,
tempat urine disimpan sampai dikeluarkan melalui miksi (Guyton & Hall, 2011).

Gambar 2. Sistem Perkemihan

Ureter merupakan saluran yang panjangnya sekitar 10 sampai 12 inci (25


hingga 30 cm), terbentang dari ginjal sampai vesika urinaria (Gambar 2). Fungsi
satu-satunya adalah menyalurkan urine ke vesika urinaria. Vesika urinaria adalah
suatu kantong berotot yang dapat mengempis, terletak dibelakang simfisis pubis.
Vesika urinaria mempunyai tiga muara: dua dari ureter dan satu menuju uretra. Dua
fungsi vesika urinaria adalah: 1) sebagai tempat penyimpanan urine sebelum
meninggalkan tubuh dan 2) berfungsi mendorong urine keluar tubuh (dibantu
uretra). Ureta adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari vesika
urinaria sampai keluar tubuh; panjang pada perempuan sekitar 1½ inci (4 cm) dan
pada laki-laki sekitar 8 inci (20 cm). Muara uretra keluar tubuh disebut meatus
urinarius (Guyton & Hall, 2011).
Tiap ginjal manusia terdiri atas kurang lebih 800.000 sampai 1.000.000 nefron,
masing-masing mampu membentuk urine. Ginjal tidak dapat membentuk nefron
baru. Oleh karena itu, pada trauma ginjal, penyakit ginjal, atau proses penuaan yang
normal, akan terjadi penurunan jumlah nefron secar bertahap. Setelah usia 40 tahun,
jumlah nefron ynag berfungsi biasanya menurun kira-kira 10 persen setiap 10

3
tahun. Berkurangnya fungsi ini tidak mengancam jiwa karena perubahan adaptif
sisa nefron menyebabkan nefron tersebut dapat mengekspresikan air, elektrolit, dan
produk sisa dalam jumlah yang tepat. Setiap nefron terdiri atas: 1) kumpulan kapiler
yang disebut glomerulus, yang akan memfiltrasi sejumlah besar cairan dari darah,
dan 2) tubulus panjang tempat cairan hasil filtrasi diubah menjadi urine dalam
perjalanannya menuju pelvis ginjal (Guyton & Hall, 2011).

Gambar 3. Glomerulus

Glomerulus tersusun dari jejaring kapiler glomerulus yang bercabang dan


beranastomisis, yang mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira 60 mmHg)
bila dibandingkan dengan kapiler lainnya. Kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel
epitel, dan keseluruhan glomerulus dibungkus oleh Kapsula Bowman (Gambar 3).
Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus mengalir ke dalam kapsula Bowman
dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang terletak dalam korteks ginjal. Dari
tubulus proksimal, cairan mengalir ke ansa Henle yang masuk ke dalam medila
ginjal. Setiap lengkung terdiri atas pars desendens dan asendens. Dinding pars
desendens dan ujung pars asendens yang paling rendah sangat tipis, dan oleh karena
itu disebut bagian tipis ansa Henle. Di tengah perjalanan kembalinya pars asendens
dari lengkung tersebut ke korteks, dindingnya menjadi jauh lebih tebal dan oleh

4
karena itu disebut bagian tebal pars desendens. Pada ujung pars asendens tebal
terdapat bagian yang pendek, yang pada dindingnya terdapat plak terdiri atas sel
epitel khusus, dan dikenal sebagai makula densa. Makula densa memiliki peran
penting dalam mengatur fungsi nefron. Setelah makula densa, cairan memasuki
tubulus distal, yang terletak di korteks ginjal (seperti tubulus proksimal). Tubulus
ini kemudian berlanjut sebagai tubulus renalis arkuatus dan tubulus koligens
kortikal, yang menjadi duktus koligens kortikal. Bagian awal dari 8 sampai 10
duktus koligens kortikal bergabung membentuk duktus koligens tunggal yang lebih
besar, yang turun ke medula dan menjadi duktus koligens medula. Duktus koligens
bergabung membentuk duktus yang lebih besar. Secara progresif, yang akhirnya
mengalir menuju pelvis ginjal melalui ujung papila ginjal. Setiap ginjal,
,mempunyai kira-kira 250 duktus koligens yang sangat besar, yang masing-masing
mengumpulkan urine dari sekitar 4.000 nefron (Guyton & Hall, 2011).

Gambar 4. Proses Pembentukan Urine di Glomerulus

Pembentukan urine dimulai dengan proses filtrasi glomerulus plasma (Gambar


4). Aliran darah ginjal setara dengan sekitar 25% curah jantung atau 1.200
ml/menit. Bila hematokrit normal dianggap 45%, maka aliran plasma ginjal sama

5
dengan 660 ml/menit (0,55 x 1.200 = 660). Sekitar seperlima dari plasma atau 125
ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula Bowman. Ini dikenal dengan
istilah laju filtrasi glomerulus (GFR). Proses filtrasi pada glomerulus dinamakan
ultrafiltrasi glomerulus, karena filtrat primer mempunyai komposisi sama seperti
plasma kecuali tanpa protein. Sel-sel darah dan molekul-molekul protein yang besar
atau protein bermuatan negatif (seperti albumin) secara efektif tertahan oleh seleksi
ukuran dan seleksi muatan yang merupakan ciri khas dari sawar membran filtrasi
glomerular, sedangkan molekul yang berukuran lebih kecil atau dengan beban yang
netral atau positif (seperti air dan kristaloid) sudah langsung tersaring. Perhitungan
menunjukkan bahwa 173 L cairan berhasil disaring melalui glomerulus dalam
waktu sehari. Saat filtrat mengalirr melalui tubulus, ditambahkan atau diambil
berbagai zat dari filtrat, sehingga akhirnya hanya sekitar 1,5 L/hari yang
diekskresikan sebagai urine.
Tiga kelas zat yang difiltrasi dalam glomerulus: elektrolit, nonelektrolit dan air.
Beberapa elektrolit yang paling penting adalah natrium (Na+), kalium (K+), kalsium
(Ca++), magnesium (Mg++), bikarbonat (HCO3-), klorida (Cl-), dan fosfat (HPO4=).
Nonelektroit yang penting adalah glukosa, asam amino, dan metabolit yang
merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein: urea, asam urat, dan
kreatinin.
Langkah kedua dalam proses pembentukan urine setelah filtrasi adalah
reabsorbsi selektif zat-zat yang telah difiltrasi. Sebagian besar zat yang difiltrasi
direabsorbsi melalui “pori-pori” kecil yang terdapat dalam tubulus sehingga
akhirnya zat-zat tersebut kembali lagi ke dalam kapiler peritubulus yang
mengelilingi tubulus. Di samping itu, beberapa zat disekresi pula dari pembuluh
darah peritubulus sekitar ke dalam tubulus. Proses reabsorbsi dan sekresi ini
berlangsung melalui mekanisme transpor aktif dan pasif. Suatu mekanisme disebut
aktif bila zat berpindah melawan perbedaan elektrokimia (yaitu: melawan
perbedaan potensial listrik, potensial kimia, atau keduanya). Kerja langsung
ditujukan pada zat yang direabsorbsi atau di sekresi oleh sel-sel tubulus tersebut,
dan energi ini dikeluarkan dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP). Mekanisme
transpor disebut pasif bila zat yang direabsorbsi atau disekresi bergerak mengikuti

6
perbedaan elektrokimia yang ada. Selama proses perpindahan zat tersebut tidak
dibutuhkan energi. Proses sekresi dan reabsorbsi selektif diselsaikan dalam tubulus
distal dan duktus penggumpul. Fungsi penting tubulus distal adalah pengaturan
tahap akhir dari keseimbangan air dan asam-basa.
Konsentrasi total zat terlarut dalam cairan tubuh seorang normal sangat konstan
meskipun fluktuasi asupan dan ekskresi air dan zat terlarut cukup besar. Kadar
plasma dan cairan tubuh dapat dipertahankan dalam batas-batas yang sempit
melalui pembentukan urine yang jauh lebih pekat atau lebih encerdibndingkan
plasma dari urine yang dibentuk. Cairan yang banyak diminum menyebabkan
cairan tubuh menjadi encer. Urine menjadi encer dan kelebihan air akan
diekskresikan dengan cepat. Sebaliknya, pada waktu tubuh kehilangan air atau
asupan zat terlarut berlebihan menyebabkan cairan tubuh menjadi pekat, maka urine
akan sangat pekat sehingga banyak zat terlarut yang terbuang dalam kelebihan air.
Air yang dipertahankan cenderung mengembalikan cairan tubuh kembali pada
konsentrasi zat terlarut yang normal (EGC, 2012).

Gambar 5. Proses Miksi

7
Miksi (berkemih) adalah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi
urine (Gambar 5). Miksi melibatkan dua tahap utama: pertama, kadung kemih terisi
secara progresif hingga tegangan pada dindingnya meningkat melampaui nilai
ambang batas; keadaan ini mencetuskan tahap kedua, yaitu adanya reflek saraf
disebut refleks miksi yang akan mengosongkan kandung kemih atau jika gagal
setidaknya akan menyebabkan keinginan berkemih yang disadari. Meskipun refleks
miksi adalah refleks medula spinalis yang bersifat otonom, refleks ini dapat
dihambat atau difasilitasi oleh pusat-pusat di korteks serebri atau batang otak.
Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat ototnya meluas ke
segala arah, dan ketika berkontraksi dapat meningkatkan tekanan di dalam kandung
kemih hingga 40-60 mmHg. Jadi, kontraksi otot detrusor merupakan tahap utama
pada proses pengosongan kandung kemih. Sel-sel otot polos pada otot detrusor
menyatu membentuk jaras listrik bertahanan rendah dari sel otot yang satu ke yang
lain. Oleh karena itu potensial aksi dapat menyebar keseluruh otot detrusor, dari
satu sel otot ke sel berikutnya, menyebabkan kontraksi seluruh kandung kemih pada
saat yang bersamaan. Panjang leher kandung kemih (ureta posterior) adalah 2
sampai 3 cm, dan dindingnya tersusun atas otot detrusor dijalin dengan sejumlah
besar jaringan elastis. Otot didaerah ini disebut sfingter interna. Tonus normalnya
menyebabkan leher kandung kemih dan uretra posterior tidak mengandung urine.
Dengan demikian, mencegah pengosongan kandung kemih hingga tekanan pada
bagian utama lambung kemih meningkat melalui nilai ambang.
Setelah melewati uretra posterior, uretra berjalan melalui diafragma
urogenital, yang mengandung suatu lapisan otot yang disebut sfingtereksterna
kandung kemih. Otot ini merupakan otot rangka volunter, berbeda dengan otot pada
bagian korpus dan leher kandung kemih, yang seluruhnya merupakan otot polos.
Otot sfingter eksterna berada dibawah kendali volunter sistem saraf dan dapat
digunakan untuk mencegah miksi secara sadar bahkan ketika involunter berusaha
untuk mengosongkan kandung kemih. Urine yang dikeluarkan dari kandung kemih
pada dasarnya memiliki komposisi yang sama dengan cairan yang mengalir keluar
dari duktus koligens, tidak ada perbedaan komposisi urine yang bermakna selama
urine mengalir melalui kelises ginjal dan ureter menuju ke kandung kemih.

8
Pengeluaran urine secara volunter biasanya dimulai dengan cara berikut: mula-mula
orang tersebut secara volunter mengontraksikan otot perutnya, yang akan
meningkatkan tekanan di dalam kandung kemih dan memungkinkan urine
tambahan memasuki leher kandung kiemih dan uretra posterior akibat tekanan,
sehingga meregangkan dindingnya. Hal ini memicu reseptor regang, yang
mencetuskan refleks miksi dan sekaligus menghambat sfingter uretra eksterna.
Biasanya, seluruh urine akan dikeluarkan, dan menyisakan tidak lebih dari 5 sampai
10 ml urine di dalam kandung kemih (Guyton, 2012).

3. Klasifikasi
Menurut Andolino dkk (2015) sindrom nefrotik pada anak diklasifikasikan
menjadi penyebab primer (idiopatik) dan sekunder.
2.1 Sindrom Nefrotik Primer (Idiopatik)
Sindrom nefrotik primer (idiopatik) disebabkan oleh kelainan dari glumerolus
itu sendiri, tidak ada penyebab yang lain. Sebagian besar sindrom nefrotik yang
terjadi pada anak adalah sindrom nefrotik jenis idiopatik. Sindrom nefrotik
kongenital termasuk dalam sindrom nefrotik primer, jenis sindrom nefrotik yang
ditemukan sejak anak lahir atau usia di bawah 1 tahun. Sindrom nefrotik ini
disebabkan oleh mutasi resesif autosom, sehingga menyebabkan nefrin pada
podosit (sebagai struktur dasar) hilang dan terjadi disfungsi filtrasi glumerolus.
Sindrom nefrotik kongenital yang muncul selama tahun pertama kehidupan
(misalnya 4-12 bulan) disebut sebagai sindrom nefrotik infantil dan jika muncul
setelah anak berusia satu tahun, disebut sindrom nefrotik masa anak-anak
(Andolino dkk, 2015).
Berdasarkan informasi histologis yang dikumpulkan melalui biopsi ginjal
perkutan sindrom nefrotik idiopatik diklasifikasikan lagi menjadi 3 macam, yaitu
Minimal Change Nephropaty (MCN), Focal Segmental Glomerulosclerosis
(FSGS), dan Membranous Nephropathy (MN).

9
2.1.1 Minimal Change Nephropaty (MCN)

Gambar 6. Minimal Change Nephropaty (MCN)

Minimal Change Nephropaty (MCN) dikenal sebagai penyakit perubahan


minimal. Sindrom ini umum pada anak usia sekolah. Pada mikroskop cahaya,
glomeruli tampak secara histologis normal, karenanya disebut penyakit
perubahan minimal. Pada Minimal Change Nephropaty (MCN) terjadi
peningkatan matriks mesangial dan hiperseluler mesangial sebagai akibat dari
perubahan aktivitas autoimun sel T limfosit dan produksi faktor permeabilitas
pada glomerular. Hal ini menyebabkan gaya tarikan glikoprotein terhadap
protein plasma berkurang. Akibatnya podosit foot process menipis dan
menyebabkan perluasaan pori-pori sehingga kehilangan terjadi penurunan
kemampuan penyaringan protein yang memicu proteinuria (Andolino dkk,
2015).
2.1.2 Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS)

Gambar 7. Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS)

10
Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS) adalah sindrom nefrotik yang
ditandai dengan lesi jaringan parut pada bagian glomeruli (fokal) dan
beberapa kapiler glomerulus (segmental). Pada FSGS terdapat peningkatan
matriks mesangial, hilangnya sel endotel dan lumen kapiler karena adanya
lesi jaringan parut dan gangguan pada podosit. Focal Segmental
Glomerulosclerosis (FSGS) awalnya disebabkan oleh penurunan podosit,
sehingga menyebabkan penumpukan protein plasma pada sel epitel parietal
dan ruang subendotelial yang menimbulkan peradangan interstitial,
hialinosis, dan sklerosis segmental (Andolino dkk, 2015).
2.1.3 Membranous Nephropathy (MN)

Gambar 8. Membranous Nephropathy (MN)

Membranous Nephropathy (MN) adalah sindrom nefrotik yang ditandai


dengan penebalan difus dinding kapiler glomeruli secara histologis.
Kompleks imun berpindah pada glumerolus dan mengendap sehingga terjadi
perubahan pada podosit, perpindahan matriks ekstraseluler, dan penebalan
GBM (Glomerular Basement Membrane). Adanya reaksi antigen antibodi
pada membran glumerolus menyebabkan penebalan dan kerusakan
glumerolus, sehingga terjadi gangguan filtrasi. Beberapa laporan
menunjukkan bahwa MN pada anak-anak lebih umum bersifat sekunder yang
memicu perubahan patologis. MN idiopatik lebih sering terjadi pada orang
dewasa daripada anak-anak (Andolino dkk, 2015).

11
2.2 Sindrom Nefrotik Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder merupakan salah satu bentuk kelainan ginjal yang
patogenesisnya bukan disebabkan oleh gangguan ginjal sendiri tetapi berasal dari
penyakit yang lain yang akhirnya berdampak pada kelainan ginjal. Sindrom nefrotik
sekunder pada anak misalnya disebabkan oleh diabetes (penyakit turunan), alergi,
penyakit sistemik dan infeksi (Andolino dkk, 2015).

4. Patofisiologi
Sindrom nefrotik terjadi karena adanya masalah filtrasi pada glumerolus ginjal.
Secara histologi, glomerulus terdiri dari tiga lapisan dari dalam ke luar yaitu
endotel, membran basal glomerulus dan lapisan epitel yang disesebut lapisan
podosit. Kerusakan pada salah satu lapisan ini dapat menimbulkan proteinuria,
namun yang paling sering menyebabkan proteinuria masif adalah kerusakan
podosit. Pada sindrom nefrotik, terdapat gangguan pada proses kaki podocyte pada
glumerolus yang dapat dilihat pada mikroskop elektron, menyebabkan peningkatan
permeabilitas membran kapiler glumerolus, sehingga filtrasi dari protein plasma
juga meningkat, terutama albumin. Hal tersebut menyebabkan terjadinya
proteinuria dan hipoalbuminemia. Penurunan albumin menyebabkan penurunan
tekanan osmotik, sehingga menyebabkan cairan intravaskular berpindah ke dalam
interstitial. Perpindahan cairan tersebut menyebabkan penurunan aliran darah
menuju ginjal. Akibatnya ginjal akan meningkatkan produksi renin angiotensin,
sekresi hormon ADH dan sekresi aldosteron, sehingga terjadi penurunan kadar air
dan natrium (Andolino dkk, 2015).
Proteinuria dianggap sebagai kelainan primer pada sindrom nefrotik.
Mekanisme terjadinya proteurinia akibat dari proses imunologi. Rusaknya lapisan
podosit pada sindrom nefrotik disebabkan oleh deposit kompleks imun di podosit
sehingga disebut podositopati. Podositopati disebabkan karena proses imunologi ini
dimediasi oleh mediator imun seperti sel T, zat vasoaktif, aktifitas komplemen
(C5b-9), Interleukin (IL)-13, dan cardiotropin-like cytokine-1 (CLC-1). Penurunan
protein plasma juga menyebabkan peningkatan produksi lipoprotein, sehingga
menyebabkan hiperlipidemia.

12
Gangguan integritas dan peningkatan permeabilitas glumerolus menyebabkan
peningkatan filtrasi protein plasma, terutama albumin. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya proteinuria. Proteinuria yang terjadi menyebabkan kadar serum albumin
dalam darah turun dan memicu hipoalbuminemia. Penurunan albumin
menyebabkan penurunan tekanan osmotik, sehingga menyebabkan cairan
intravaskular berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut
menyebabkan penurunan aliran darah menuju ginjal dan memicu timbulnya edema.
Akibatnya ginjal akan meningkatkan produksi renin angiotensin, sekresi hormon
ADH dan sekresi aldosteron, sehingga terjadi penurunan kadar air dan natrium.
Penurunan protein plasma juga menyebabkan peningkatan produksi lipoprotein,
sehingga menyebabkan hiperlipidemia. Ketika terjadi hipoalbuminemia hati
meningkatkan sintesis lipoprotein yang difiltrasi di ginjal untuk mempertahankan
tekanan onkotik, akibatnya produksi kolesterol VLDL berlebih. Munculnya
beberapa tanda dan gejala pada ginjal disebut sebagai sindrom nefrotik atau
kumpulan gejala klinis kelainan pada ginjal (Andolino dkk, 2015).
Secara umum manifestasi klinis dari sindrom nefrotik menurut Andolino dkk
(2015) adalah sebagai berikut :
a. Edema yakni pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air
b. Proteinuria dapat ditegakan diagnosisnya apabila dideteksi sebesar > 3.5 g
protein/24 jam dan rasio urin protein/kratinindiatas 400 mg/mmol atau 45
mg/mg
c. Hipoalbuminemia, kadar albumin dalam darah < 3,5 gram/dl
d. Hiperlipidemia, kadar kolesterol total > 200mg/dl, kadar kolesterol LDL > 130
mg/dl, kadar kolesterol HDL < 40 mg/dl,trigliserida > 100 mg/dl.

5. Penatalaksanaan
4.1 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Betz & Sowden (2009), pemeriksaan penunjang sindrom nefrotik
adalah sebagai berikut :

13
a. Urinalisis bila perlu biakan urin dengan hasil bentuk hialin dan granular,
hematuria. Protein urin kuantitatif dengan hasil proteinuria (dapat mencapai
lebih dari 2g/m2/hari).
b. Uji dipstick urine : Hasil positif untuk protein dan darah
1) Berat jenis urine : meningkat karena proteinuria
2) Osmolalitas urine : meningkat
c. Uji darah
1) Kadar albumin serum: menurun
Tabel 1. Kadar Albumin berdasarkan Usia
Umur Hasil Pemeriksaan
1-7 Tahun <6,1-7,9 g/dl
8-12 Tahun <6,4-8,1 g/dl
13-19 Tahun <6,6-8,2 g/dl

2) Kadar kolesterol serum: meningkat 12-19 tahun >230 mg/dl (dapat


mencapai 450 sampai 1000 mg/dl)
3) Kadar trigliserid serum: meningkat
4) Kadar hemoglobin dan hematokrit: meningkat (hemokonsentrasi).
Tabel 2. Kadar Hemoglobin berdasarkan Usia
Umur Hasil Pemeriksaan
1-3 Hari >14,5-22,5 g/dl
2 Bulan >9,0-14,0 g/dl
6-12 Tahun >11,5-15,5 g/dl
12-18 Tahun Pria >13-16 g/dl
Perempuan >12-16 g/dl

Tabel 3. Kadar Hematokrit berdasarkan Usia


Umur Hasil Pemeriksaan
>2 Bulan >28-42%
6-12 Tahun >35-45%
12-18 Tahun Pria >37-49%
Perempuan >36-46%

14
5) Trombosit meningkat (mencapai 500.000 sampai 1.000.000/UI)
6) Laju Endap Darah (LED) meningkat (>0-13 mm/jam)
7) Kadar elektroserum: bervariasi sesuai dengan keadaan penyakit perorangan
8) Kadar Ureum, Kreatinin serta Kliren Kreatinin
Tabel 4. Kadar Kreatinin Serum berdasarkan Usia
Bayi 0,2-0,4 mg/dl
Anak-Anak 0,3-0,7 mg/dl

Kliren Kreatinin:
Bayi Baru Lahir (40-65 ml/menit/1,73 m2)
d. Tes kulit tuberkulin harus dilakukan pada saat diagnosis dan sebelum
dimulainya terapi
e. Uji diagnostik, biopsi ginjal

4.2 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari sindrom nefrotik dapat dilakukan dengan pemeriksaan
urinalis, sedimen urin, biopsi ginjal, pemeriksaan darah. Anak yang menujukkan
manifestasi klinis sindrom nefrotik pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan
edema, pengobatan dan edukasi (American Kidney Fund, 2019).
Penatalaksanaan medis untuk sindrom nefrotik mencakup:
a. Pemberian Kortikosteroid (prednisone atau prednisolon). Dosis akan
diturunkan setelah 4 sampai 8 minggu terapi. Kekambuhan diatasi dengan
kortikosteroid dosis tinggi untuk beberapa hari.
1) Pengobatan Inisial
Sesuai dengan ISKDC (International Study on Kidney Diseasein Children)
pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh
(full dose) 60 mg/m2LPB/hari atau 2mg/kgBB/hari (maksimal 80mg/hari),
dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai
dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison
dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian steroid 2

15
minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai
94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu
pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40mg/m2LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang
sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan
steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten
steroid.
2) Pengobatan relaps
Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN
yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum
dimulai pemberian prednison, terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya
infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan
bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak
perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥
2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial,
sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya.
Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan
steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan:
a) Tidak ada relaps sama sekali (30%)
b) Dependen steroid.
c) Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
d) Relaps jarang : jumlah relaps
3) Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN relaps sering atau dependen steroid,
setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan
steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan / bertahap 0,2
mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara
0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat

16
diterukan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Bila terjadi
relaps pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgBB alternating, tetapi <1,0>2.
Bila ditemukan keadaan dibawah ini:
a) Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis alternating atau
b) Pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis,
sepsis.
Diberikan CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12
minggu.
4) Pengobatan SN resisten steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS dilakukan
biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena
gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan
dengan CPA memberikan hasil yang lebih baik bila hasil biopsi ginjal
menunjukkan SNKM daripada GSFS. Dapat juga diberikan Siklosporin
(CyA), metil prednisolon puls, dan obat imunosupresif lain.
5) Lain-Lain
fungsi asites, funsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada
gagal jantung diberikan digitali.
b. Penggantian protein (albumin dari makanan atau intravena). Dapat dimulai
dengan diberikan albumin 25% intravena pada 1-2 g/kg/hari baik sebagai infus
kontinu atau dibagi 6-8 jam. Perawatan albumin harus dilanjutkan selama 4
hingga 6 jam sebelum pemberian awal diuretik
c. Pengurangan edema. Terapi diuretik, seperti furesemid yang dapat
dikombinasikan dengan spironolakton.
Restriksi cairan diperlukan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretik seperti furosemid 1-2mg/kgBB/hari, bila diperlukan dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hamat kalium) 2-3
mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium).

17
Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter),
biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar
albumin ≤1gram/dl), dapat diberikan infus albumin 20-25% denagn dosis 1
gram/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial, dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Bila pasien
tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20
ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan albumin dan plasma dapat
diberikan selang sehari untuk memberrikan kesempatan pergeseran dan
mencegah overload cairan.
d. Mempertahankan keseimbangan elektrolit
e. Pemberian antibiotik (penisilin oral profilaktik atua agens lain)
Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan ascites diberikan antibiotik
profilaksis dengan penicilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai edema
berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis,
tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi
segera diberikan antibiotik.
f. Terapi imunosupresif (siklofosfamid, klorambusil atau siklosporin)

18
B. WEB OF CAUSATION (WOC) ATAU PATHWAY

Kelainan Kongenital
Ginjal
Reaksi kompleks imun

Penyakit sistemik

Podosit glumerolus rusak

Peningkatan permeabilitas
glumerolus

Peningkatan filtrasi protein


plasma

Proteinuria

Kadar serum albumin


dalam darah turun

Hipoalbuminemia

Penurunan tekanan
osmotik

cairan intravaskular
berpindah ke dalam

19
cairan intravaskular berpindah
ke dalam cairan interstitial

Aliran darah menuju ginjal turun

Edema

Turgor kulit tidak


Hipervolemi Tubuh terasa sesak elastis

Gangguan Integritas
Difusi O2 turun Kulit

Anoreksia, mual, muntah, Nyeri Akut


lemas

Fisik tidak bugar


Risiko Defisit Nutrisi

Keterbatasan
rentang gerak

Gangguan Mobilitas
Fisik

Gambar 9. Pathway Sindrom Nefrotik pada Anak

20
C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien meliputi Nama, Tempat tgl lahir, umur , Jenis Kelamin,
Alamat, Agama, Suku Bangsa Pendidikan, Pekerjaan , No. CM, Tanggal
Masuk RS, Diagnosa Medis
1) Usia
Sindrom nefrotik dapat memengaruhi anak-anak dari segala usia, mulai
dari bayi hingga remaja, dan paling sering terlihat pada anak-anak usia
sekolah dan remaja, tetapi lebih banyak terjadi pada usia 1-2 tahun dan 8
tahun (Elizabeth, 2015).
2) Jenis Kelamin
Anak laki-laki lebih berisiko daripada perempuan dengan rasio 2:1, tetapi
dominasi ini gagal bertahan pada masa remaja (Andolini dkk, 2019).
b. Keluhan Utama
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Penyakit Sekarang
2) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat PTM misalnya disebabkan oleh diabetes (penyakit
turunan), alergi, penyakit sistemik dan infeksi. Hal tersebut dapat memicu
sindrom nefrotik sekunder yakni kelainan ginjal yang patogenesisnya
bukan disebabkan oleh gangguan ginjal sendiri tetapi berasal dari penyakit
yang lain yang akhirnya berdampak pada kelainan ginjal.
3) Riwayat penyakit keluarga
4) Riwayat sosial
d. Riwayat Ibu
1) Antenatal dan Intranatal
2) Tinggi badan ibu
3) Umur ibu
4) Riwayat adanya bayi dengan berat badan rendah dalam keluarga
5) Jumlah kunjungan antenatal, status sosial ekonomi, status nutrisi
6) Penyakit ibu: diabetes, penyakit jantung, hipertensi, toksemia, TORCH

1
7) Plasenta previa, abruptio plasenta
8) Penggunaan obat-obatan terlarang, alkohol, rokok yang lalu
e. Status Kelahiran Bayi
1) Kelahiran tunggal, kembar
2) Keadaan umum bayi
3) Nilai APGAR rendah, asfiksia, dilakukan resusitasi, asidosis
4) Keadaan umum bayi: tampak sakit sedang sampai berat dengan tubuh
tampak kecil dan simetri
5) Disproporsi: berat badan, panjang badan dan lingkar kepala
6) Kelainan kongenital, kelainan kromosom
7) Pengkajian ulang masa gestasi dengan menggunakan: skoring Lubchenco
dan Ballard
f. Genogram
g. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan (KPSP)
1) Adaptasi Sosial
2) Motorik Kasar
3) Motorik Halus
4) Bahasa
h. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Kesehatan
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
a) Antropometri
b) Biomedical Sign
c) Clinical Sign
d) Diet Pattern
Penurunan intake, nutrisi dan cairan, diare, penurunan BB dan muntah.
3) Pola aktivitas/ bermain
Akan berubah sesuai dengan kondisi tubuh anak yakni terkait adanya
edema yang mengganggu serta hospitalisasi yang dapat meningkatkan
stres anak.
4) Pola Eliminasi

2
Akan terjadi perubahan pada frekuensi, jumlah serta warna dari urin yang
dieliminasi anak
5) Pola Istirahat dan Tidur
6) Pola Kognitif dan Persepsi Sensori
7) Pola Konsep Diri
8) Pola Hubungan-Peran
9) Pola Seksualitas
10) Pola Mekanisme Koping
11) Personal Nilai dan Kepercayaan
i. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Bagaimana keadaan klien, apakah letih, lemah atau sakit berat.
2) Tanda vital :
Bagaimana suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah klien.
3) TB/BB
Sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
4) Kuku
Bagaimana kondisi kuku, apakah sianosis atau tidak, apakah adakelainan.

5) Kepala
Bagaimana kebersihan kulit kepala, rambut serta bentuk kepala, apakah
ada kelainan atau lesi pada kepala
6) Wajah
Bagaimana bentuk wajah, kulit wajah pucat/tidak
7) Mata
Pemeriksaan Fisik Difokuskan Pada Pengkajian Mata yang
memungkinkan mengalami palpebra (edema sekitar mata).
Bagaimana bentuk mata, keadaan konjungtiva anemis/tidak, sclera ikterik/
tidak, keadaan pupil dan apakah ada gangguan dalam penglihatan
8) Hidung
Bentuk hidung, keadaan bersih/tidak, ada/tidak sekret pada hidungserta
cairan yang keluar, ada sinus/ tidak dan apakah ada gangguan dalam

3
penciuman
9) Mulut
Bentuk mulut, membran membran mukosa kering/ lembab, lidah
kotor/tidak, apakah ada kemerahan/tidak pada lidah, apakah ada gangguan
dalam menelan, apakah ada kesulitan dalam berbicara.
10) Leher
Apakah terjadi pembengkakan kelenjar tyroid, apakah ditemukan distensi
vena jugularis.
11) Telinga
Apakah ada kotoran atau cairan dalam telinga, bagaimanakan bentuk
tulang rawanya, apakah ada respon nyeri pada daun telinga.

12) Thoraks
Bagaimana bentuk dada, simetris/tidak, kaji pola pernafasan, apakahada
wheezing, apakah ada gangguan dalam pernafasan.

13) Abdomen
Pemeriksaan Fisik Difokuskan Pada Pengkajian Abdomen yang
memungkinuntuk terjadi asites (edema area abdomen). Bagaimana bentuk
abdomen, turgor kulit kering/ tidak, apakah terdapat nyeri tekan pada
abdomen, apakah perut terasa kembung,lakukan pemeriksaan bising usus,
apakah terjadi peningkatan bising usus/tidak.
14) Genitalia
Bagaimana bentuk alat kelamin, distribusi rambut kelamin,
warna rambut kelamin. Pada laki-laki lihat keadaan penis, apakah
ada kelainan/tidak. Pada wanita lihat keadaan labia minora,
biasanya labia minora tertutup oleh labia mayora.
15) Integumen
Pemeriksaan Fisik Difokuskan Pada Pengkajian Sistem Integumen karena
manifestasi klinis sindrom nefrotik adalah adanya penumpukan cairan
dalam tubuh yang akan menyebabkan edema. Kaji warna kulit, integritas
kulit utuh/tidak, turgor kulit kering/ tidak, apakah ada nyeri tekan pada

4
kulit, apakah kulit teraba panas.
16) Ekstremitas
Inspeksi : adakah oedem, tanda sianosis, dan kesulitan
bergerak
Palpasi : adanya nyeri tekan dan benjolan
Perkusi : periksa refek patelki dengan reflek hummar
Adakah terjadi tremor atau tidak, kelemahan fisik, nyeri otot
sertakelainan bentuk.
j. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan bagian dari pemeriksaan medis
yang dilakukan oleh dokter untuk mendiagnosis penyakit tertentu.
Pemeriksaan ini umumnya dilakukan setelah pemeriksaan fisik
dan penelusuran riwayat keluhan atau riwayat penyakit pada pasien.
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit Sindrom Nefrotik
diantaranya ada: Urinalisis, Uji dipstick urine, Uji darah, Tes kulit
tuberculin, dan Uji diagnostic: biopsi ginjal.
k. Terapi
Berupa obat-obatan serta intervensi non medis yang diterima oleh
anak dengan sindrom nefrotik

2. Analisa Data
Dari hasil pengkajian kemudian data terakhir dikelompokkan lalu
dianalisa data sehingga dapat ditarik kesimpulan masalah yang timbul dan
dapat dirumuskan diagnosa masalah.
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons pasien terhadap suatu masalah kesehatan atau proses kehidupan
yang didalamnya baik berlangsung aktual maupun potensial yang
bertujuan untuk mengidentifikasi respon pasien baik individu, keluarga
ataupun komunitas, terhadap situasi yang berkaitan mengenai kesehatan.
Diagnosa yang biasanya muncul pada pasien ISPA menurut SDKI

5
(2016) adalah sebagai berikut :
a. Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi d.d edema dan oliguria
b. Gangguan Integritas Kulit b.d kelebihan volume cairan d.d kerusakan lapisan
kulit, nyeri
c. Nyeri Akut b.d agen pencedera fisik: edema dan gangguan integritas kulit d.d
tampak meringis, gelisah, sulit tidur dan mengeluh nyeri
d. Gangguan Mobilitas Fisik b.d perubahan metabolisme, ketidakbugaran fisik
d.d keterbatasan rentang gerak, kekuatan oto menurun, ROM menurun dan
fisik lemah
e. Risiko Defisit Nutrisi b.d faktor psikologis: keengganan untuk makan

6
4. Intervensi dan Implementasi Keperawatan
TTD dan
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Nama
No Keperawatan Intervensi (SIKI) Rasional
(SLKI) Terang
(SDKI)
Perawat
1. Hipervolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen Manajemen Hipervolemia
(D.0022) keperawatan 3 × 24 jam, Hipervolemia (I.03114) (I.03114)
hipervolemia dapat menurun Observasi 1. Untuk mengetahui dan
dengan kriteria hasil : 1. Monitor intake dan mengkontrol jumlah
Keseimbangan Cairan output cairan intake dan output cairan
(L.03020) 2. Monitor tanda tubuh
1. Edema ditingkatkan dari skala hemokonsentrasi 2. Untuk mengetahui
2 (cukup meningkat) ke skala 3. Monitor tanda tingkatan
4 (cukup menurun) peningkatan tekanan hemokonsentrasi yang
2. Asites ditingkatkan dari skala onkotik plasma dialami
2 (cukup meningkat) ke skala Terapeutik 3. Untuk mengetahui tanda À
4 (cukup menurun) 4. Timbang berat badan peningkatan tekanan Ayu
Status Cairan (0603) tiap hari pada waktu onkotik plasma sehingga
1. Berat badan ditingkatkan dari yang sama dapat menentukan
skala 2 (cukup meningkat) ke 5. Batasi asupan cairan tindakan berikutnya
skala 4 (cukup menurun) dan garam 4. Untuk mengetahui
2. Output Urine ditingkatkan dari Edukasi keparahan edema karena
skala 2 (cukup menurun) ke 6. Ajarkan cara penumpukan cairan
skala 4 (cukup meningkat) mengukur dan 5. Untuk menjaga
mencatat asupan dan keseimbangan cairan
haluan cairan tubuh
7. Ajarkan cara 6. Untuk memandirikan
membatasi cairan keluarga dan pasien

21
Kolaborasi dalam melakukan
8. Kolaborasi penimbangan berat badan
penggantian 7. Untuk memandirikan
kehilangan kalium keluarga dan pasien
akibat diuretik dalam melakukan
pembatasan cairan
Pemantauan Cairan 8. Untuk menjaga
(I.03121) kandungan elektrolit
Observasi tubuh
1. Monitor berat badan
2. Monitor jumlah, Pemantauan Cairan
warna dan berat jenis (I.03121)
urine 1. Untuk mengetahui
3. Monitor kadar perkembangan perawatan
albumin dan protein edema
total 2. Untuk mengetahui dan
4. Monitor hasil megkontrol output urine
pemeriksaan serum yang baik
3. Untuk mengetahu dan
menjaga kesesuaian
kadar albumin dan
protein tubuh
4. Untuk mengetahui dan
menjaga kesesuaian
kadar serum tubuh
2. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Perawatan Integritas Perawatan Integritas Kulit À
Integritas Kulit keperawatan 3 × 24 jam, gangguan Kulit (I.11353) (I.11353) Ayu
(D.0129) Observasi

22
integritas kulit pada pasien dapat 1. Identifikasi penyebab 1. Untuk mengetahui
dicegah dengan kriteria hasil : gangguan integritas apasaja yang harus
Integritas Kulit dan Jaringan kulit dihindari guna
(L.14125) Terapeutik meminimalissir kejadian
1. Kerusakan lapisan kulit 2. Ubah posisi setiap 2 gangguan integritas kulit
ditingkatkan dari skala 3 jam jika tirah baring berulang
(sedang) ke skala 5 (menurun) 3. Amati warna, 2. Untuk menjaga kondisi
2. Elastisitas ditingkatkan dari kehangatan, bengkak, kulit tetap menerima
skala 3 (cukup menurun) ke pulsasi, tekstur, oksigen dengan baik
skala 4 (cukup meningkat) edema, dan ulserasi sehingga terhindar dari
Status Sirkulasi (L.02016) pada ekstremitas dikubitus
1. Pitting edema ditingkatkan dari 4. Monitor infeksi 3. Untuk melihat kondisi
skala 3 (sedang) ke skala 5 terutama di daerah kulit dan deteksi infeksi
(menurun) edema 4. Pencegahan infeksi
3. Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
(D.007) keperawatan 3 × 24 jam, nyeri akut (I.08238) (I.08238)
pasien dapat menurun dengan Observasi 1. Untuk mengetahui
kriteria hasil : 1. Identifikasi skala keparahan nyeri
Tingkat Nyeri (L.08066) nyeri 2. Untuk mengetahui dan
1. Keluhan Nyeri ditingkatkan 2. Identifikasi faktor menjauhkan faktor yang
À
dari skala 3 (sedang) ke skala 5 yang memperberat memperberat nyeri
Ayu
(menurun) dan memperingan 3. Untuk menurunkan
2. Meringis ditingkatkan dari nyeri nyeri yang diakibatkan
skala 3 (sedang) ke skala 5 Terapeutik oleh faktor lingkungan
(menurun) 1. Kontrol lingkungan 4. Untuk memenuhi
3. Gelisah ditingkatkan dari skala yang memperberat kebutuhan istirahat
2 (cukup meningkat) ke skala 5 rasa nyeri (ex: suhu pasien yang terganggu
(menurun) ruangan)

23
4. Kesulitan Tidur ditingkatkan 2. Fasilitasi istirahat karena adanya nyeri
dari skala 3 (sedang) ke skala 5 dan tidur yang dirasakan
(menurun) Edukasi 5. Untuk meningkatkan
1. Jelaskan penyebab, pemahaman pasien dan
periode, dan pemicu keluarga terkait nyeri
nyeri yang dirasakan

Terapi Relaksasi Terapi Relaksasi


(I.09326) (I.09326)
Observasi : 1. Untuk mengetahui
1. Identifikasi teknik apasaja teknik
relaksasi yang nonmedis yang pernah
pernah efektif dilakukan pasien
digunakan 2. Untuk menjaga
2. Periksa frekuensi keseimbangan TTV
nadi sebelum dan pasien sekaligus
sesudah latihan mengetahui batasan
Edukasi : latihan yang dilakukan
1. Jelaskan tujuan, pasien
manfaat dan jenis 3. Untuk meningkatikan
relaksasi yang pemahaman pasien
tersedia (ex: musik, tentang relaksasi yang
napas dalam) dipilih dan dilakukan
2. Anjurkan serta manfaat yang akan
mengambil posisi diperoleh
nyaman 4. Untuk meningkatkan
3. Demonstrasikan dan kenyamanan pasien
latih teknik

24
relaksasi sehingga dapat
4. Anjurkan sering enurunkan nyeri
mengulangi teknik 5. Untuk mepermudah
yang dipilih pemahaman pasien
6. Agar nyeri yang
dirasaan dapat
berkurang
4. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Perawatan Tirah Perawatan tirah baring
Mobilitas Fisik keperawatan selama 3x24 jam Baring (I.14572) (I.14572)
(D.0054) diharapkan Gangguan Mobilitas Observasi 1. Agar pasien tidak
Fisik pasien membaik dengan 1. Monitor komplikasi mengalami gangguan
kriteria hasil : tirah baring tubuh yang lain seperti
Mobilitas Fisik (L.05042) 2. Monitor kondisi kulit nyeri punggung, stres
1. Kekuatan otot ditingkatkan dari Terapeutik akibat tirah baring
skala 3 (sedang) ke skala 5 2. Agar tidak terjadi
3. Posisikan senyaman
(meningkat) gangguan kulit
mungkin
2. Pergerakan ektermitas 3. meningkatkan rasa À
4. Fasilitas pemenuhan
ditingkatkan dari skala 2 nyaman pasien saat Ayu
kebutuhan sehari-hari
(cukup menurun) ke skala 4 melakukan tirah baring
5. Berikan latihan gerak
(cukup meningkat) 4. agar pasien mudah dalam
pasif dan aktif
3. ROM ditingkatkan dari skala 2 memenuhi kebutuhannya
(cukup menurun) ke skala 4 Terapi Aktivitas sehari-hari
(cukup meningkat) (I.05186) 5. untuk menjaga kekuatan
4. Gerakan terbatas ditingkatkan 1. Dorong aktivitas dan keelastisan otot
dari skala 2 (cukup meningkat) kreativitas yang tepat Terapi aktivitas (I.05186)
ke skala 4 (cukup menurun) 2. Bantu klien memilih 1. Agar klien lebih
aktivitas dan semangat dalam aktivitas
pencapaian tujan

25
5. Kelemahan fisik ditingkatkan melalui aktivitas yang 2. Untuk menyesuaikan
dari skala 2 (cukup meningkat) konsisten dengan kemampuan pasien
ke skala 4 (cukup menurun) kemampuan fisik, dengan aktivitas yang
fisiologis dan sosial dipilih
3. Fasilitasi aktivitas 3. Untuk tetap menjaga
pengganti saat aktivitas rutin sehari-hari
megalami
keterbatasan waktu,
energi atau gerak
5. Risiko Defisit Setelah dilakukan tindakan Manajemen gangguan Manajemen gangguan
Nutrisi keperawatan 2 × 24 jam, pasien makan (I.03111): makan (I.03111):
(D.0032) diharap risiko defisit nutrisi pasien 1. Kolaborasi dengan tim 1. Memudahkan tindakan
dapat dicegah dengan kriteria hasil kesehatan yang lain keperawatan yang
: untuk dilakukan kepada pasien
Status Nutrisi (L.03030) mengembangkan 2. Untuk mengetahui
1. Porsi makanan yang dihabiskan rencana perawatan perkembangan nutrisi
ditingkatkan dari skala 2 dengan melibatkan pasien
(cukup menurun) ke skala 4 pasien dan orang 3. Untuk meningkatkan À
(cukup meningkat) terdekatnya dengan nafsu makan pasien Ayu
2. Serum albumin ditingkatkan tepat 4. Untuk mencatat
dari skala 2 (cukup menurun) 2. Tentukan pencapaiaan perkembangan nutrisi
ke skala 4 (cukup meningkat) berat badan harian pasien
3. Frekuensi makan ditingkatkan sesuai keinginan 5. Untuk memenuhi berat
dari skala 2 (cukup memburuk) 3. Dorong pasien untuk badan pasien
ke skala 4 (sedikit membaik) mendiskusikan Manajemen nutrisi
4. Nafsu makan ditingkatkan dari makanan yang disukai (I.03119):
skala 2 (cukup memburuk) ke dengan bersama ahli 1. Untuk meningkatkan
skala 4 (sedikit membaik) gizi status gizi pasien

26
4. Timbang berat badan 2. Untuk meningkatkan
pasien secara rutin kebersihan diri pasien
(pada hari yang sama sehingga pasien
dan setelah mengalami peningkatan
BAB/BAK) nafsu makan
5. Berikan dukungan 3. Untuk mencukupi
terhadap peningkatan kebutuhan kalori
berat badan dan 4. Untuk menambah nafsu
perilaku yang makan pasien
meningkatkan berat
badan
Manajemen nutrisi
(I.03119):
1. Tentukan jumlah
kalori dan jenis nutrisi
yang dibutuhkan
untuk memenuhi
persyaratan gizi
2. Lakukan atau bantu
pasein terkait dengan
perawatan mulut
sebelum makan
3. Monitor kalori dan
asupan makanan
4. Tawarkan makanan
yang ringan padat gizi

27
DAFTAR PUSTAKA

American Kidney Fund. 2019. Nephrotic Syndrome. (Diakses pada tanggal 09


November 2019 dari https://www.kidneyfund.org/kidney-disease/other-
kidney-conditions/rare-diseases/nephrotic-syndrome/)
Andolino, T.P. Adam, J.R. 2015. Nephrotic Syndrome : Pediatrics In Review
(Diakses pada tanggal 09 November 2019 dari
https://pedsinreview.aappublications.org/content/pedsinreview/36/3/117.full
.pdf)
Angelina A. S. P, Sudung O. 2016. Vaksinasi Pada Anak Dengan Pengakit Ginjal
Kronik. Jurnal Kedokteran UKI 2016. Vol XXXII No. 1
Betz & Sowden. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Edisi 5. Jakarta : EGC
Elizabeth, R. 2015. Sindrom Nefrotik Kasus Baru Pada Anak Usia 2 Tahun. Jurnal
Agromedicine, 2(3), 217-221 (Diakses pada tanggal 08 November 2019 dari
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/agro/article/view/1378)
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2011). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran: Edisi
Keduabelas (12th ed.). Elsevier Inc.
Manalu Erida. 2019. Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. Jurnal Ilmiah Widya Vol 5
(3)
Nagasree, P., Rao, N. N., Deepthi, A., & Himabindu, P. (2019). RANDOM SPOT
URINE PROTEIN/CREATININE RATIO IN THE DIAGNOSIS OF
NEPHROTIC SYNDROME IN CHILDREN AGE.
PPNI. 2016. Diagnosa Keperawatan Indonesia. Definisi dan Indikator Diagnostik
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

44

Anda mungkin juga menyukai