Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN PENDAHULUAN DAN LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS An. S 5 BULAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS NEFROTIK SINDROME

Diajukan untuk memenuhi tugas praktik kerja lapangan

Keperawatan Anak II

Dosen pembimbing:

Eli lusiani M. Kep

Disusun oleh:

Nama: Lailasari Sabila

NIM: 302018082

Tingkat/semester: III/V

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG

2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Sindrom nefrotik
1. Definisi
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang terdiri
dari proteinuria masif ( ≥40 mg/m2 LPB/jam atau > 50 mg/kgBB/24 jam
atau dipstik ≥ 2+), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 g/dl), udem, dan
hiperkolesterolemia >200 mg/dL (Trihono dkk, 2012).
2. Anatomi ginjal
a. Ginjal
Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh manusia, karena ginjal
berfungsi mempertahankan homeostatis cairan tubuh supaya selalu
berfungsi dengan baik. Posisi ginjal dalam tubuh terletak di rongga
abdomen, retroperitoneal primer kiri dan kanan vertebralis, serta
dikelilingi oleh lemak dan jaringan ikat dibelakang peritoneum. Batas atas
ginjal kiri setinggi iga ke-11, ginjal kanan setinggi iga ke-12, batas bawah
ginjal kiri setinggi vertebra lumbalis ke-3. Tiap-tiap ginjal mempunyai
panjang 11,25 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,5 cm ginjal kiri lebih panjang dari
ginjal kanan, berat ginjal pada laki-laki dewasa 150-170 gram, pada
wanita dewasa 115-115 gram. Ginjal terdiri atas lebih dari satu juta unit
penyaringan individu yang disebut nefron.
b. Ureter
Ureter terletak di posterior dinding abdomen, diluar rongga peritoneum,
yang memasuki kandung kemih dalam sudut miring, lapisan ureter terdiri
dari:
Dinding luar jaringan ikat ( jaringan fibrosa)
Lapisan tengah (otot polos)
Lapisan sebelah dalam (mukosa)
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan peristaltic setiap 5 menit
sekali untuk mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih
(vesika urinaria). Pelvis ginjal (pelvis ureter) bagian ujung atas berbentuk
lebar, membentuk corong, terletak didalam hilus ginjal, dan menerima
kalik mayor. Ureter keluar dari hilus ginjal, berjalan vertical ke bawah
dibelakang peritoneum parietal, dan melekat pada muskulus psoas yang
memisahkan dengan proses transversus vertevra lumbalis.
c. Vesika urinaria (kandung kemih)
1) Lapisan Otot
Lapisan otot kandung kemih terdiri atas otot polos yang tersusun dan
saling berkaitan disebut muskulus destrusor vesikae. Peredaran darah
vesika urinaria berasal dari arteri vesikalis superior dan inferior yang
merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Venanya membentuk pelvikus
venosus, vesikalis berhubungan dengan fleksus prostatikus yang
mengalirkan darah ke vena iliaka interna.
2) Pembuluh limfa
Pembuluh limfa kandung kemih mengalirkan cairan limfa kedalam
nodilimfatik iliaka interna dan eksterna.
3) Persarafan
Kandung kemih terdiri dari: Fundus, yaitu bagian yang mengahdap kea
rah belakang dan bawah, bagian ini terpisah dari rectum oleh spatium
rectovesicale yang terisi ole jaringan. Yang kedua korpus, yaitu bagian
antara verteks dan fundus. Dan yang terakhir verteks, bagian yang maju
kearah muka dan berhubungan dengan ligamentum vesika umbilikaslis.
d. Uretra
Urine dikeluarkan melalui uretra. Uretra wanita jauh lebih pendek
daripada uretra pria: hanya 4 cm panjangnya dibandingkan dengan
panjang 20 cm pada pria.
e. Fisiologi Sistem Perkemihan
System perkemihan manusia meliputi penyaringan plasma dan
memindahkan zat dari filtrate dengan kecepatan yang bervariasi,
tergantung ari kebutuhan tubuh. Kelebihan jumlah air dalam tubuh akan
diekskresikan ginjal menjadi urine (kemih) dalam jumlah tertentu. Proses
pembentukan urine meliputi:
1) Proses Filtrasi
Pembentukan urine dimulai dengan filtrasi cairan yang bebas protein dari
kapiler glomerulus ke kapsula bowman. Proses ini terjadi karena
permukaan aferen lebih besar dari permukaan aferen, ehingga terjadi
penyerapan darah. Susunan cairan filtrasi sama seperti susunan plasma
darah, tetapi tidak memiliki protein. Pada proses ini cairan, cairan diubah
oleh reabsorpsi air dan zat terlarut spesifik, atau oleh sekresi zat lain dari
kapiler peritubulus ke dalam tubulus.
2) Proses Absorpsi
Dalam proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Proses absorpsi menyerap air
dalam jumlah banyak. Kandungan air yang banyak diserap dengan
sempurna adalah zat esensial yang diperlukan, seperti glukosa, NaCl, atau
garam, sedangkan zat yang diserap dalam jumlah kecil antara lain ureum,
fosfat, dan asam urat
3) Proses Augmentasi
Proses ini terjadi dari sebagian tubulus kontorsus distal sampai tubulus
pengumpul. Pada tubulus pengumpul, terjadi penyerapan ion Na+, CI- dan
urea, sehingga terbentuklah urine. Urine yang dibawa ke pelvis renalis lalu
dibawa ke ureter. Dari ureter urine dialirkan menuju vesika urinaria
(kandung kemih) yang merupakan tempat penyimpanan urine sementara.
Ketika kandung kemih sudah penuh, urine dikeluarkan dari tubuh melalui
uretra.
4) Proses Sekresi
Tubulus ginjal dapat menyekresi atau menambah zat-zat ke dalam cairan
filtrasi selama metabolism, membentuk asam dalam jumlah yang besar.
Sel tubuh akan membentuk amoniak yang bersenyawa dengan asam,
kemudian disekresi sebagai ammonium, supaya pH darah dan cairan tubuh
tetap alkalis.
5) Proses berkemih
Ketika kandung kemih terisi banyak urine, maka tekanan kandung kemih
akan semakin tinggi. Hal ini menyebabkan reflex berkemih menjadi
bertambah dan menyebabkan kontraksi otot detrusor menjadi lebih kuat.
Berkemih secara sadar terjadi ketika seseorang mengontraksikan otot-otot
abdomennya yang berakibat meningkatnya tekanan dalam kandung kemih,
sehingga akan mengakibatkan urine ekstra masuk ke kandung kemih, dan
merenggangkan dinding kandung kemih. Hal ini menstimulasi reseptor
untuk regang dan merangsang reflex berkemih.
6) Filtrasi Glomerulus
Kapiler glomerulus bersifat impermeable terhadap protein plasma yang
lebih besar dan permeable terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti
elektrolit, asam amino, glukosa dan sisa nitrogen. Glomerulus mengalami
kenaikan tekanan darah 90mmHg. Kenaikan ini terjadi karena ateriole
aferen yang mengarah ke glomerulus mempunyai diameter yang lebih
besar dan memberikan sedikit tekanan dari kapiler yang lain. Darah
didorong kedalam ruangannya yang lebih kecil, sehingga darah
mendorong air dan pantrikel kecil yang terlarut dalam plasma masuk ke
dalam kapsula bowman. Tekanan darah terhadap dinding pembuluh ini
disebut tekanan hidrostatik (TH). Tiga faktor dalam proses filtrasi dalam
kapsul bowman menggambarkan integrasi yaitu:
a) Tekanan Osmotic (TO).
Tekanan yang dilarutkan air (sebagai pelarut) pada membrane
semipermeable, sebagai usaha untuk menembus molekul yang dapat
melewati membrane semipermeable.
b) Tekanan Hidrostatik (TH). Sekitar 15 mmHg dihasilkan oleh adanya
filtrasi dalam kapsula dan berlawanan dengan tekanan hidrostatik darah.
Filtrasi juga mengeluarkan tekanan osmotic 1-3 mmHg yang berlawanan
dengan osmotic darah.
c) Perbedaan tekanan osmotic plasma dengan cairan dalam kapsula bowman
mencerminkan perbedaan konsentrasi protein. Perbedaan ini menimbulkan
poti-pori kapiler mencegah protein plasma untuk difiltrasi. (Kirnanoro dan
Maryana. 2014)
3. Etiologi
a. Sindrom nefrotik biasanya terjadi akibat dari perjalanan penyakit
glomerular primer dan sekunder. Kelainan primer ini dapat berupa
sindrom nefrotik kelainan minimal, sklerosis segmental fokal,
glomerulonefritis membranoproliferatif, glomerulonefritis
membranosa, nefritis proliferatif mesangium, glomerulonefritis
proliferatif dan nefrosis kongenital.
b. Sindrom nefrotik sekunder berhubungan dengan penyakit yang telah
terdiagnosis dengan jelas yaitu sistemik lupus eritematosus, purpura
anafilaktoid, diabetes mellitus, dan lain-lain. Etiologi sindrom nefrotik
juga tergantung pada usia, dimana bila terjadi pada tiga bulan pertama
kehidupan maka disebut sindrom nefrotik kongenital. Dan setelah 3
bulan – 12 bulan disebut syndrome nefrotik infantile. (Travis, 2002;
Haycock, 2003).
4. Manifestasi klinis
a. Edema
b. Oliguria
c. Proteinuria sedang sampai berat
d. hipoalbuminemia
e. Kreatinin serum pada SN dapat menunjukkan hasil yang rendah,
normal maupun eningkat. Kreatinin serum yang rendah merupakan
akibat hiperfiltrasi pada glomerulus
Selain albumin, banyak protein yang keluar melalui urin seperti
imunoglobulin G (IgG), transferin, apoprotein, lipoprotein lipase,
antitrombin III (ATIII), seruloplasmin, protein pengikat vitamin D
(vitamin D binding protein), 25 OH kolekalsiferol, dan thyroid binding
globulin. Hal ini menyebabkan kadar masing masing protein dalam
serum menuru sehingga terjadi beberapa penyakit seperti anemia
defisiensi besi, pertumbuhan terhambat, osifikasi terlambat, dan
hipotiroidism.
5. patofisiologi

Primer/ idiopatik sekunder

Sindrom nefrotik Permeabilitas


glomerulus meningkat

Kenaikan filtrasi plasma


protein

Penurunan hipoalbuminemia
respon imun

Resiko infeksi Tekanan onkotik


menurun

Retensi air dan


natrium

Kulit meregang edema Efek diuretik


tipis dan rapuh

Kekurangan
Resiko Kerusakan
volume cairan
integritas kulit
Patofisiologi
Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas
dinding kapiler glomerulus menyebabkan kenaikan filtrasi plasma protein
sehingga terjadi proteinuria dan kemudian menyebabkan
hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia terjadi pada sindrom nefrotik ketika kadar protein yang
hilang pada urin melebihi kemampuan hepar mensintesis albumin.
Resultan hipoalbuminemia menyebabkan rendahnya tekanan onkotik
kapiler yang meningkatkan tekanan hidrostatik kapiler sehingga terbentuk
udem. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin
adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia
ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular menurun.
Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang
intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema
Dua hipotesis yang menjelaskan keadaan intravaskular pada sindrom
nefrotik yaitu hipotesis underfill dan hipotesis overfill (Gbadegesin dan
Smoyer, 2008):
1. Hipotesis underfill
Hipotesis ini menyebutkan adanya penurunan sirkulasi efektif volume
darah pada sindrom nefrotik. Hal ini didukung dengan ditemukannya
kadar natrium urin yang rendah, dimana sering disebabkan oleh aktivasi
SRAA dengan resultan peningkatan aldosteron dan ekskresi natrium pada
urin. Selanjutnya, supresi atrial natriuretik peptide (ANP) juga
berkontribusi pada rendahnya natrium urin.
2. Hipotesis overfill
Hipotesis ini menyebutkan banyaknya volume intravaskular pada sindrom
nefrotik. Hal ini disebabkan oleh kelainan pada ekskresi natrium dari
tubulus distal yang kemudian menyebabkan supresi SRAA. Reabsorpsi
natrium juga dipertahankan oleh ANP.
6. Perhitungan balance cairan
Input cairan (makan,minum,cairan injeksi, infus, AM, NGT) – output
cairan ( urine, feses, muntah, IWL)
Rumus IWL:
IWL = (30 - usia) x kgBB / 24 jam
IWL = IWL normal + 200 x (suhu sekarang - 36,8 ⁰C) / 24 jam
Kebutuhan cairan anak

7. Data dan Pemeriksaan penunjang


Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan oleh adanya udem, proteinuria
(>2+ pada dipstik atau rasio protein urin/ kreatinin > 2 mg/mg) dan
hipoalbuminemia (serum albumin <2,5 g/dl), serta hiperkolesterolemia
(Trihono dkk, 2012).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang seringkali ditandai
dengan edema yang timbul pertamakali pada daerah sekitar mata dan
ekstremitas bagian bawah. Selanjutnya edema semakin meluas yang
ditandai dengan asites efusi pleura, dan edema pada daerah genital.
Seringkali dijumpai dengan gejala anokreksia, nyeri perut dan diare. Pada
kasus lain dapat disertai hipertensi maupun hematuria gross.2,3 Hasil
pemeriksaan urin menunjukkan proteinuria 3+ atau 4+ atau protein dalam
urin >40 mg/m2/jam; pada 20% kasus dapat dijumpai hematuria
mikroskopik. Kadar albumin serum umum berkurang dari 2,5 g/
dL dan terjadi peningkatan kolesterol
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
a. Urinalisis: ureum, kreatinin.kalium.
b. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
c. Pemeriksaan darah
1) darah tepi lengkap (Hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
2) kadar albumin dan kolesterol plasma
3) kadar ureum, kreatinin,serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwarzt (LFG)
eLFG = k x L/Scr
eLFG : estimated LFG (ml/menit)
L : tinggi badan (cm)
Scr : serum kreatinin (mg/dL)
k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55;
remaja putra:0,7)
eLFG normal berdasarkan usia anak
Umur Pria (ml/mnt) Perempuan (ml/mnt)
0-6 bulan 40-60 40-60
7-12 bulan 50-75 50-75
13 bulan – 4 tahun 60-100 60-100
5-8 tahun 65-110 65-110
9-12 tahun 70-120 70-120
13 tahun keatas 80-130 75-120

4) kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik


pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody),
dan anti ds DNA
8. Penatalaksanaan
Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk
mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan
edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum
pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila
hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan
tuberkulosis diberi obat anti tuberkulosis (OAT).
a. Diitetik
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap
kontra indikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan
terjadinya sclerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein normal
sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 2 g/kgBB/hari.
b. Diuretic
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik
hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari
1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan
natrium). Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema
(edema refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau
hipoalbuminemia berat (kadar albumin ≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk menarik
cairan dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid
intravena 1-2 mg/kgBB.
c. Antibiotic profilaksis
Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan asites diberikan
antibiotic profilaksis dengan penisilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari,
sampai edema berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian
antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila
ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotik. Biasanya
diberikan antibiotik jenis amoksisilin, eritromisin, atau sefaleksin.
d. Imunisasi
Pasien SN yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau dalam 6
minggu setelah steroid dihentikan, hanya boleh mendapatkan vaksin mati.
Setelah lebih dari 6 minggu penghentian steroid, dapat diberikan vaksin
hidup.
Pemberian imunisasi terhadap Streptococcus pneumoniae pada beberapa
negara dianjurkan,7 tetapi karena belum ada laporan efektivitasnya yang
jelas, di Indonesia belum dianjurkan. Pada orangtua dipesankan untuk
menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak dengan
penderita varisela, diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-
zoster, dalam waktu kurang dari 72 jam. Bila tidak memungkinkan dapat
diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena. Bila sudah
terjadi infeksi perlu diberikan obat asiklovir dan pengobatan steroid
sebaiknya dihentikan sementara.
e. Pengobatan dengan kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan pengobatan SN idiopatik pilihan pertama,
kecuali bila ada kontraindikasi. Dapat diberikan prednison atau
prednisolon.
a. Pengobatan inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in
Children) pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison dosis
penuh (full dose) 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80
mg/hari), dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung
sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).
Prednison dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian
steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi
mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu.3 Bila terjadi remisi pada
4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) secara alternating (selang
sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi.
b. Pengobatan relaps
diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN
yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum
dimulai pemberian prednison, terlebih dulu dicari pemicunya, biasanya infeksi
saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila
setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu
diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+
disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps dan diberikan pengobatan
relaps.
9. Komplikasi
Komplikasi mayor dari sindrom nefrotik adalah infeksi. Anak dengan sindrom
nefrotik yang relaps mempunyai kerentanan yang lebih tinggi untuk menderita
infeksi bakterial karena hilangnya imunoglobulin dan faktor B properdin
melalui urin, kecacatan sel yang dimediasi imunitas, terapi imuosupresif,
malnutrisi, dan edema atau ascites. Spontaneus bacterial peritonitis adalah
infeksi yang biasa terjadi, walaupun sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi
traktus urinarius mungkin terjadi. Meskipun Streptococcus pneumonia
merupakan organisme tersering penyebab peritonitis, bakteri gram negatif
seperti Escherichia coli,
10. Konsep Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan kasus Sindroma Nefrotik meliputi:
1) Identitas, seperti :nama, tempat tanggal lahir/umur, berat badan lahir,panjang
badan lahir, serta apakah bayi lahir cukup bulan atau tidak,jenis kelamin, anak
ke, jumlah saudara dan identitas orang tua
2) Keluhan Utama, Riwayat Kesehatan Sekarang Biasanya orang tua anak
mengeluhkan sembab pada beberapabagian tubuh anak seperti pada wajah,
mata, tungkai sertabagian genitalia. Orang tua anak biasanya juga
mengeluhkananaknya mudah demam dan daya tahan tubuh anaknya
terbilangrendah
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Perlu ditanyakan pada orangtua berat badan anak dahulu untukmenilai adanya
peningkatan berat badan. Perlu dikaji riwayat keluarga dengan sindroma
nefrotik seperti adakah saudara-saudaranya yang memiliki riwayat penyakit
ginjal dan riwayat tumbuh kembang anak yang terganggu, apakah anak
pernahmengalami diare atau sesak napas sebelumnya, serta adanyapenurunan
volume haluaran urine
4) Riwayat Kehamilan dan Kelahiran Perlu dikaji adanya penyakit pada ibu saat
masa kehamilan adakah menderita penyakit lupus eritematosus sistemik atau
kencing manis, konsumsi obat-obatan maupun jamu tradisional yang diminum
serta kebiasaan merokok dan minum alcohol selama hamil.
5) Riwayat Pertumbuhan
Biasanya anak cenderung mengalami keterlambatanpertumbuhan karena
keletihan akibat lambung yang mengalami
a. Pemeriksaan Fisik
TTV, Tekanan Darah, Nadi, Pernapasan, Postur BB Ideal, BB anak sebelum
sakit untuk menentukan adanya peningkatan BB padaanak dengan sindroma
nefrotik. Edema pada anak juga dapatditandai dengan peningkatan Berat
Badan >30%.
1. Kepala-leher Pada umumnya tidak ada kelainan pada kepala, normalnya
Jugularis Vein Distention (JVD) terletak 2 cm diatas angulus
2. Mata Biasanya pada pasien dengan Sindroma Nefrotik mengalami edema
pada periorbital yang akan muncul pada pagi harisetelah bangun tidur atau
konjunctiva terlihat kering pada anakdengan hipovolemik
3. Hidung Pada pemeriksaan hidung secara umum tidak tampak kelainan,namun
anak dengan Sindroma Nefrotik biasanya akan memiliki pola napas yang tidak
teratur sehingga akan ditemukan pernapasan cuping hidung
4. Mulut Terkadang dapat ditemukan sianosis pada bibir anak akibat penurunan
saturasi oksigen. Selain itu dapat ditemukan pulabibir kering serta pecah-
pecah pada anak dengan hipovolemik .
5. Kardiovaskuler Inspeksi, biasanya tampak retraksi dinding dada akibat
polanapas yang tidak teratur. Palpasi, biasanya terjadi peningkatan atau
penurunan denyutjantung. Perkusi, biasanya tidak ditemukan masalah.
Auskultasi, biasanya auskultasi akan terdengar ronki serta penurunan bunyi
napas pada lobus bagian
6. Paru-Paru Inspeksi, biasanya tidak ditemukan kelainan Palpasi, biasanya dapat
ditemukan pergerakan fremitus tidak simetris bilaanak mengalami dyspnea.
Perkusi, biasanya ditemukan sonor. Auskultasi, biasanya tidak ditemukan
bunyi napas tambahan. Namun,frekuensi napas lebih dari normal akibat
tekanan abdomen kerongga dada.
7. Abdomen Inspeksi, biasanya kulit abdomen terlihat tegang dan mengkilat bila
anak asites Palpasi, biasanya teraba adanya distensi abdomen dan bila diukur
lingkarperut anak akan terjadi abnormalitas ukuran. Perkusi, biasanya tidak
ada kelainan. Auskultasi, pada anak dengan asites akan dijumpai shifting
dullness
8. Kulit Biasanya, pada anak Sindroma Nefrotik yang mengalami diareakan
tampak pucat serta keringat berlebihan, ditemukan kulitanak tegang akibat
edema dan berdampak pada risikokerusakan integritas kulit.
9. Ekstremitas Biasanya anak akan mengalami edema sampai ketungkai bila
edema anasarka atau hanya edema lokal pada ektremitas saja.Selain itu dapat
ditemukan CRT > 2 detik akibat dehidrasi.
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Urine, Urinalisis, Proteinuria, Uji Dipstick urine,. Uji Darah,
Kadar kolesterol, Kadar elektrolit serum, Diagnostik Biopsi ginjal dapat
dilakukan hanya untuk mengindikasikan status glomerular, jenis sindrom
nefrotik, respon terhadap penatalaksanaan medis dan melihat proses
perjalanan penyakit.(Betz & Sowden, 2009)

c. Diagnose yang mungkin muncul


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan dalam
jaringan dan ruang ke tiga
2. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan
4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh yang menurun,
kelebihan beban cairan, kelebihan cairan.
B. Diare akut
1. Definisi
Diagnosis SN ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang seringkali
ditandai dengan edema yang timbul pertamakali pada daerah sekitar mata
dan ekstremitas bagian bawah. Selanjutnya edema semakin meluas yang
ditandai dengan asites efusi pleura, dan edema pada daerah genital.
Seringkali dijumpai dengan gejala anokreksia, nyeri perut dan diare. Pada
kasus lain dapat disertai hipertensi maupun hematuria gross.2,3 Hasil
pemeriksaan urin menunjukkan proteinuria 3+ atau 4+ atau protein dalam
urin >40 mg/m2/jam; pada 20% kasus dapat dijumpai hematuria
mikroskopik. Kadar albumin serum umum berkurang dari 2,5 g/ dL dan
terjadi peningkatan kolesterol dengan kadar
2. Etiologi
Virus
Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70-80%). Beberapa
jenis virus penyebab diare akut antara lain
Rotavirus serotype, Norwalk virus, Astrovirus, Adenovirus (tipe 40, 41),
Small bowel structured virus, Cytomegalovirus.
Bakteri
Enterotoxigenic E. coli (ETEC),
Enteropathogenic E. coli (EPEC),
Enteroaggregative E.coli (EAggEC),
,Salmonella (non-thypoid).
Protozoa
Giardia lamblia, Cryptosporidium, Microsporidium spp., Isospora belli,
Helminths
Strongyloides stercoralis, Schistosoma spp.,
C. Selulitis
1. Definisi
Selulitis adalah infeksi pada kulit yang meliputi dermis dan jaringan
subkutan dengan karakteristik klinis berupa gejala akut, eritema, nyeri,
edematosa, inflamasi supuratif pada kulit, jaringan lemak subkutan, atau
otot dan sering disertai gejala sistemik berupa malaise, demam, menggigil,
dan nyeri lokal.
2. Etiologi
Penyebab tersering dari selulitis adalah Staphylococcus aureus dan
Streptococcus grup A. Faktor risiko terjadinya infeksi ini adalah trauma
lokal (robekan kulit), luka terbuka di kulit, atau gangguan pada pembuluh
vena maupun pembuluh limfe
3. Manifestasi klinis
Menurut Mansjoer (2000:82) manifestasi klinis selulitis adalah Kerusakan
kronik pada kulit sistem vena dan limfatik pada kedua ekstrimitas,kelainan
kulit berupa infiltrat difus subkutan, eritema local, nyeri yang cepat
menyebar dan infitratif ke jaringan dibawahnya, Bengkak, merah dan
hangat nyeri tekan, Supurasi dan lekositosis.
D. Hipoalbuminemia
1. Definisi
Hipoalbuminemia adalah suatu keadaan kadar albumin dalam serum
kurang dari normal. Kadar serum albumin yang kurang dibedakan menjadi
tiga tingkatan, yaitu hipoalbuminemia ringan (kadar 3,2-3,5 g/dl),
hipoalbumin sedang (2,8-3,2 g/dl). Kategori hipoalbuminemia berat (<2,8
g/dl)
2. Etiologi
Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh penurunan sintesis, yaitu pada
keadaan malnutrisi dan penyakit hati, proses degradasi yang berlebihan
pada kondisi nefrosis dan gastrointestinalloss, atau peningkatan
kehilangan albumin dari vascular pada keadaan shock dan edema. Kadar
albumin plasma <2 g/dl sering dijumpai pada sindroma nefrotik,
gastroenteropati dan sepsis; kadar 2-2,3 g/dl sering didapatkan pada pasien
sirosis hati dan glomerulonephritis
E. Anemia
1. Definsi
Anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobinhemotokrit
dan jumlah sel darah merah di bawah nilai normal yang dipatokuntuk
perorangan (Arisman, 2014). Anemia sebagai keadaan bahwa
levelhemoglobin rendah karena kondisi patologis
2. Etiologi
Bukanah suatu penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai
macam penyakit dasar. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh gangguan
pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, kehilangan darah
(pendarahan), proses penghancuran eritrosit oleh tubuh sebeum waktunya
(hemolysis)
ANALISA KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BY. DENGAN DIAGNOSA MEDIS NEFROTIK


SINDROME

A. Pengkajian
1. Identitas neonates
Nama: An. S
Tanggal lahir : 24 April 2020
Usia : 5 bulan
Jenis kelamin ; perempuan
Agama : islam
Suku : sunda
Tanggal masuk : 27 Agustus 2020
Tanggal pengkajian : 28 Agustus 2020
Diagnosa Medis: Sindrome Nefrotik + Selulitis+Diare Akut + Hipoalbuminemia+
Anemia.
2. Identitas orang tua
Nama : Ny. D
Usia: 25 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Agama : islam
B. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama
Ibu klien mengatakan anaknya mengalami bengkak di kaki.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Ibu klien mengatakan anaknya mengalami bengkak di kaki kanan dan kiri. Bengkak
dirasakan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Terdapat edema derajat
1(kedalaman 1-3 mm dengan waktu kembali 3 detik) di kaki kanan dan derajat 2
(kedalaman 3-5 mm dengan waktu kembali 5 detik) di kaki kiri. Klien juga
mengalami diare akut disertai demam. Diare dan demam berkurang setelah 1 hari
klien di rawat di RS
3. Riwayat kesehatan dahulu

1. Prenatal
Konsumsi obat selama Tidak Ya, ............................
kehamilan
Adakah ibu jatuh selama Tidak Ya, ............................
hamil
2. Natal
Cara melahirkan Spontan SC Dengan alat
bantu
Penolong persalinan Dokter Bidan Bukan
tenaga kesehatan
3. Postnatal
Kondisi kesehatan bayi BBL (2,8)gram; PB (51)cm
Kelainan kongenital Tidak Ya,
Pengeluaran BAB pertama
Pengeluaran BAB <24jam >24 jam
pertama
4. Penyakit terdahulu Tidak Ya
Jika Ya, bagaimana gejala
dan penanganannya?
Pernah dioperasi TidakYa
Jika Ya, sebutkan waktu dilaksanakan oprasi pemasangan up shunt
dan berapa hari dirawat?
5. Pernah dirawat di RS TidakYa
Jika Ya, sebutkan
penyakitnya dan respon
emosional saat dirawat?
6. Riwayat penggunaan Tidak Ya
obat
Jika Ya, sebutkan nama
dan respon anak terhadap
pemakaian obat?
7. Riwayat alergi √ Tidak Ya
Jika Ya, apakah jenis
alerginya dan bagaimana
penanganannya?
8. Riwayat kecelakaan √Tidak Ya
Jika Ya, jelaskan

9. Riwayat immunisasi Hepatitis BCG Polio DPT


Campak
Lain-lain : Imunisasi Lengkap

I. Riwayat Keluarga
1. Riwayat penyakit keturunan √ Tidak Ya,
2. Riwayat penyakit menular √ Tidak Ya,
C. Pengkajian fisiologis
1. OKSIGENASI

Ventilasi Frekuensi : 24x/menit Teratur □Tidak teratur


□ Trakeostomi □ penggunaan Oksigen ……..x/mnt
□ Sekret :
Respirasi □ sesak Nafas □ Nafas Cuping hidung □ Retraksi dada
□ Vesikuler □ Ronchi □ Wheezing □ Krakles
□ Batuk lain-lan: tidak ada
Pertukaran Gas AGD tgl ….. pH : PaO2: PCO2:
HCO3 BE : Sat O2:
Transport Gas Nadi :108x/mnt  regular □ ireguler TD : Tidak
diukur
Akral :  hangat □ dingin □ anemis □ pucat
□ cianosis □ clubbing finger □ pusing  CRT
2 detik
Bunyi Jantung  BJ I/II Normal □ murmur □ Gallop
Hasil Laboratorium Tgl

Thorax Tidak dilakukan pemeriksaan


Ct Scan Tidak dilakukan pemeriksaan
2. NUTRISI
PERILAKU
BB saat ini BB (6,1) kg PB/TB (54)cm LK (38) LD (41) BMI 20,92
Status Nutrisi □ Lebih □ Baik □ kurang □ Buruk
Diet  ASI □ susu formula □ bubur □ nasi tim
Puasa □ Ya  tidak
Cara Makan  oral □ OGT □ NGT □ Gastrostomi □ parenteral
Kualitas Makan □ kurang  cukup □ baik
Lidah  bersih □Kotor stomatitis : □ ya □ tidak
Mulut Caries : □ ya  tidak lain-lain:
Abdomen □ supel  kembung □ tegang □ terdapat massa lokasi:
Hepar  tidak teraba □ hepatomegali □ lien □
splenomegali
Bising Usus 6x/mnt
Keluhan
3. PROTEKSI
Gangguan Warna □ Tidak ada  Pucat □ Jaundice
Kulit □ Menjadi merah □ Sianosis □ Ptekie di wajah dan
perut
Suhu □ suhu : 36.6 Hangat □Teraba panas □Teraba
dingin
Turgor  Baik □ Jelek
Gangguan pada  Tidak ada □ Lesi □ Erupsi □ Eritema
kulit □ Lainnya, Ptekie di wajah dan perut
Luka  Tidak ada □ Ada
Stoma  Tidak ada □ Ada
Drainase  Tidak Ada □ Ada
Jika terjadi
gangguan pada
kulit / luka / stoma,
berikan tanda
silang (X)

Pengkajian Nyeri

4. SENSASI

Penglihatan  Adekuat □ Menurun [R L]


□ Buta [R L] □ Katarak [R L]
Mata □ Kotoran mata [R L]  Tidak ada
Pupil  Simetris □ Tidak Simetris : R < L atau L < R
 Reaktif □ Non Reaktif [R L]
Pengecapan □ Baik  Tidak baik, ibu klien mengatakan
lidahnya terasa pahit
Kondisi gigi □Baik □ Terjadi gangguan □ Jelek
Gusi  Pink □ Pucat □ Inflamasi
□ Perdarahan □ Kering □ Lembab
Penciuman  Baik □ Tidak baik
Hidung □ Berdarah □ Drainage Tidak ditemukan
masalah
Pendengaran  Adekuat □ Menurun [R L] □ Tuli [R
L]
□ Dengan alat bantu pendengaran [R L]
Telinga  Bersih [R L] □ Kotor [R L] □ Discharge [R
L]
□ Dengan alat bantu pendengaran [R L]
5. CAIRAN DAN ELEKTROLIT

Minum ASI adlib


Ubun-ubun  rata □ Cekung
Mata □ cekung  tidak Air mata: ada □ tidak
Mukosa mulut □ lembab  kering
Turgor  elastic □ tidak elastic
Edema  ada □ tidak □ ektremitas □ anasarka □ asites lingkar
perut: 44,5 cm
Muntah □ ada  tidak frekuensi: ……x/hr
Diare  ada □ tidak frekuensi: 3x/hr sudah sembuh
Perdarahan □ ada  tidak □ ptekie □ purpura □ ekimosis
Cairan infuse  ada □ tidak Jenis :NaCl (10 TPM Makro)
Balance cairan +53,6 cc/24 jam
Hasil Lab

6. ELIMINASI
Buang air kecil Frekuensi : 1000cc/24 jm □ oliguri □ disuria
□anuria
□incontinensia □ retensi
Eliminasi urin □ spontan  dower kateter □ cistostomi □nefrostomi
Nyeri saat berkemih □ ada  tidak
Warna urin  kuning jernih □ kuning pekat □ merah
buang air besar Frekuensi: 3x  normal □ diare □ konstipasi
Warna feses  kuning □ hijau □ merah
Karakteristik feses  lembek □ cair □ padat □ berlendir
Anus  ada lubang □ tidak berlubang
Hasil laboratorium
7. AKTIVITAS DAN ISTIRAHAT

Postur tubuh  normal □ tidak normal


Berjalan □ normal □ tidak normal
Aktivitas anak □ hiperaktif □ aktif □ pasif  leterbatasan
□pembatasan
Gerakan  aktif □ tidak aktif
Paralise □ ada  tidak □ tangan kanan/kiri/keduanya
□ kaki kanan/kiri/ keduanya
Tonus otot  normal □ atrofi □ hipertrofi
Mobilisasi □ bedrest total  ditempat tidur
Gangguan Tidak ada
neuromuscular
Mobilisasi Berbaring, mika miki
Jumlah jam tidur Tidur siang : 2 jam tidur malam : 7-8 jam jam
Kebiasaan sebelum □ tidak ada  ada, sebutkan: menyusui ke ibu
tidur
Kesulitan tidur □ ada  tidak ada
Tidur dengan □ ya  tidak
bantuan obat
8. NEUROLOGI

Kesadaran E;4 M:6. V:5  CM □ apatis □ somnolen □ koma


Status mental  terorientasi □ disorientasi □ gelisah □ halusinasi
Pupil  isokor □ anisokor
9. ENDOKRIN
PERILAKU
Masalah genital □ Discharge □ Hipo/epispadia
 tidak
D. Konsep Diri
Pembawaan anak  Periang Pemalu Pendiam
 anak R selalu menangis setiap perawat atau petugas
kesehatan datang ke kamar
Reaksi terhadap  Baik
hospitalisasi? Buruk
Adanya stress/ cemas? Ya  Tidak
Persepsi keluarga  Baik
terhadap penyakit? Buruk
Reaksi keluarga  Baik
terhadap penyakit? Buruk
Persepsi keluarga  Baik
terhadap pengobatan? Buruk

E. Fungsi Peran
Pengasuh  Ayah Ibu  Nenek Orang lain
Dukungan sibling  Ada Tidak ada
Dukungan keluarga  Ada Tidak ada
lain
F. Interdependensi (ketergantungan)
1. Imunitas Sebelum sakit Selama sakit
Respon _ -
peradangan
(merah/panas)
Sensitifitas - -
(nyeri/suhu)
2. Neurologi
Pernah alami  Tidak Ya
kejang
Jika Ya, waktu &
terjadinya kejang?
3. Eliminasi Sebelum sakit Selama sakit
(BAB/BAK)
Frekuensi (waktu) 5-6 x 4x
Konsistensi Kuning jernih Kuning jernih
Kesulitan/nyeri Tidak Tidak
Pemakaian obat Tidak Tidak
Bowel status
Bowel sounds LUQ RUQ LLQ RLQ
:
Present 3 2 1 -
Absent Ada ada ada Tidak
Hyperactive Loud loud loud widely
Hypoactive Soft soft soft low
4. Aktivitas / Sebelum sakit Selama sakit
istirahat
Lama tidur Siang (<2-3 jam; >3 jam) Siang (<2-3 jam; >3 jam)
Malam(<6-7 jam; >7 jam) Malam(<6-7 jam; >7 jam)
Kebiasaan sebelum Menetek ke ibu Menetek ke ibu
tidur
Kesulitan tidur Tidak ada Ada
Alat bantu aktifitas Tidak ada Tidak ada
Kesulitan Tidak ada Ada, terpasang infus di kaki
pergerakan dan tangan
5. Cairan & Sebelum sakit Selama sakit
elektrolit
Frekuensi minum adlib adlib
Cara pemenuhan ASI ASI
G. Pemeriksaan kecemasan
H.Item
N yg dinilai Penilaian Skoring
o 0 1 2 3 4

1 Perasaan Kekhawatiran yang v


berlebihan
2 Ketegangan Perasaan tegang, v
kelelahan, , gemetar,
perasaan gelisah,
ketidakmampuan untuk
bersantai.
3 Ketakutan Gelap, orang asing, dari v
ditinggal sendirian,
hewan, lalu lintas, dari
orang banyak.
4 Insomnia Sulit tidur, tidur tidak v
memuaskan dan
kelelahan
pada bangun, mimpi,
mimpi buruk.
5 Intelektul Kesulitan dalam v
konsentrasi, memori yang
buruk.
6 Perasaan Hilangnya minat, v
tertekan kurangnya kesenangan
dalam hobi, depresi

7 Somatis Rasa sakit dan nyeri, v


(muskular) kekakuan, peningkatan
tonus otot.
8 Somatis panas dan dingin, V
(sensori) perasaan lemah,
merasakan sensasi
menusuk-nusuk
9 Kardiovaskule Takikardia, palpitasi, v
r nyeri di dada, berdenyut
kapal, perasaan mau
pingsan
10 Pernapasan Mengeluh dada tertekan v
atau penyempitan di
dada, perasaan tersedak,
dyspnea.
11 Gastroistenstin Kesulitan dalam menelan, v
al sakit perut, sensasi
terbakar,
kepenuhan perut, mual,
muntah, kehilangan berat
badan, sembelit.
12 Perkemihan Frekuensi berkemih V
sering, urgensi berkemih,
amenore,
13 Tanda Mulut kering, kemerahan, v
autonomi pucat, kecenderungan
untuk berkeringat,
pusing, ketegangan
sakit kepala,
14 Sikap pada Gelisah, gelisah atau v
saat mondar-mandir, tremor
diwawancara tangan, mengerutkan alis,
Wajah tegang, mendesah
atau

0 = Tidak ada, 1 = ringan , 2 = Sedang, 3 = berat , 4 = Sangat berat


Kesimpulan : skala kecemasan ringan

H. Pemeriksaan Perkembangan
Umur Sosial Motorik halus Motorik kasar
2 bulan senyum mengikuti gerak  mengangkat kepala
45 dari perut
4 bulan v senyum v menggenggam v membalikan badan
6 bulan  menggapai  memindahkan duduk
mainan benda dari tangan satu
ke tangan lain
9 bulan bermain ciluk ba  mengambil benda berdiri
dengan ibu jari dan
telunjuk
12 bulan  minum dgn  menjumput benda berjalan
cangkir dengan 5 jari
18 bulan  menggunakan  mencoret-coret  Anak dapat berdiri
sendok kertas sendiri tanpa
berpegangan selama
30 detik

2 tahun  melepaskan membuat garis berdiri dgn satu kaki


pakaian
3 tahun  bermain  meniru membuat mengayuh sepeda
interaktif garis
4 tahun  memasang menggambar  melompat dengan
kancing baju satu kaki
5 tahun  memaka baju meniru gambar menangkap bola
tanpa pengawasan
Teori Temuan
Keterampilan Motorik Kasar
Pada umumnya sudah dapat berguling ke Ibu klien mengatakan klien
satu arah saja. Bisa dari posisi terlentang sudah bisa tengkurap.
ke tengkurap atau sebaliknya. Bayi mulai
senang bia di berdirikan di atas pangkuan
kita. Biarkan bayi menaik turunkan
tubuhnya dan berseru kegirangan.
Rangsangan ini menambah kemampuan
gerak serta kelenturan otit tubuh bayi
Stimulasi Motorik Halus
Bayi mulai belajar memindahkan Ketika di beri mainan, klien
mainannya sendiri dari satu tangan ke tidak menggapai mainan yang di
tangan lainnya dan mulai belajar untuk berikan dan dapat berinteraksi
menggenggam sebuah mainan dengan dengan oranglain seperti
satu tangan. Bayi mulai dapat memutar tersenyum saat di ajak bermain.
pergelangan tangan untuk melihat benda
di dalam genggamannya
I. Pemeriksaan penunjang
Jenis Hasil Nilai Rujukan Ket
Pemeriksaan
Hematologi (30/07/2020)
Hemoglobin 7,9 11-13 g/dl Rendah
Hematokrit 23,9 30%-36% Rendah
Eritrosit 3,94 4,1-5,5 juta/mc Rendah
Leukosit 19.35 10000-20.000/mm3 Normal
Trombosit 321.000 150.000 - 450.000 Normal
Indeks Eritrosit
MCV 60,7 80-100 Rendah
MCH 20,1 28-34 Rendah
MCHC 33,1 32-36 Normal
Hitung Jenis Leukosit

Basofil 0 0-3% Normal


Eosinofil 0 1-3% Rendah
Neutrofil Batang 2 0-12 Normal
Neutrofil Segmen 75 36-75 Normal
Limfosit 19 20 – 40 % Rendah
Monosit 4 2-8% Normal
LED 52
Tanggal 30/07/2020

CRP Kuantitatif 16,7 <2.8 mg/L


(C Reaktif Protein)
GDS 126 100-200 mg/dl Normal
Kimia (30/07/2020)

Protein total 5,8 6.6 - 8.79 gr/dl Rendah


Albumin 2,2 4,4 – 5,4 gr/dl Rendah
Globulin 3,6 2,8-3,6 g/dl Normal
Natrium 137 135 -145 mEq/liter Normal
Kalium 2,3 3,7-5,2 mEq/L Rendah
Fungsi Hati
Rasio 0,61
albumin/globulin
Makroskopis Urin

Warna Kuning Kuning Normal


Kejernihan Jernih Jernih Normal
Kimia urin

Berat Jenis 1,015 1001-1035 Normal


pH 7,0 4.5-8.5 Normal
Nitrit Negatif Negatif Normal
Protein Negatif Negatif Normal
Glukosa Urin Negatif Negatif Normal
Keton Negatif Negatif Normal
Urobilinogen Normal Normal Normal
Bilirubin Negatif Negatif Normal
Leukosit esterase Negatif Negatif Normal
Eritrosit 1+ Negatif
Mikroskopis Urin

Eritrosit 3
Leukosit 3
Epithel 8
Bakteri Negatif Negatif Normal
Kristal Negatif Negatif Normal
Silinder Negatif Negatif Normal

J. Terapi farmakologi
Nama Obat Fungsi Rute
Ampisilin obat antibiotik yang digunakan untuk IV
Sulbactam mengatasi infeksi bakteri
4x250 mg IV
KCL Pelvis 75 obat suplemen untuk mengatasi atau Oral
mg Oral mencegah hipokalemia (kekurangan
kalium). Berfungsi untuk
mempertahankan volume dan
keseimbangan cairan dan elektrolit
Prednison Prednison adalah obat untuk Oral
5 mg Oral mengurangi peradangan pada alergi,
penyakit autoimun, penyakit persendian
dan otot, serta penyakit kulit.
Paracetamol Menurunkan demam dan pereda nyeri Oral
Sirup
½ sendok teh jika
suhu>38oC
Albumin 20% Mengatasi kekurangan albumin IV
1 gr/kg BB
30 cc dalam 4 jam
IV
Furosemide Furosemide adalah obat golongan IV
6 mg IV diuretik yang bermanfaat untuk
mengeluarkan kelebihan cairan dari
dalam tubuh melalui urine
K. Diagnosa Keeperawatan

no Data Etiologi masalah


Ds : Kerusakan glomerulus Hypervolemia b.d
- Ibu klien mengatakan penumpukan
anaknya mengalami Proteinuria cairan d.d edema
bengkak di kaki kanan derajat 1 dan
dan kiri Hipoalbuminemia derajat 2

Do : Tekanan onkotik menurun


- Terdapat edema derajat
1(kedalaman 1-3 mm Retensi cairan dan natrium
dengan waktu kembali
3 detik) di kaki kanan Edema
dan derajat 2
(kedalaman 3-5 mm Hypervolemia
dengan waktu kembali
5 detik) di kaki kiri
- Hipoalbumin
(albumin 2.2 gr/dl
dengan nilai normal
4.4-5.4 gr/dl )
- Kalium rendah (kalium
2,3 dengan nilai normal
3,7-5,2 mEq/L)
2 Ds : Hipoalbuminemia Resiko infeksi b.d
- Klien mengalami diare penurunan sistem
dan demam . Dan Penurunan respon imun imun
berkurang setelah 1 hari
klien di rawat di RS Tubuh menjadi tentan terhadap
Do : infeksi
- Hipoalbumin
Albumin 2.2 gr/dl Resiko infeksi
- Protein total 5.8

L. Diagnosa Keperawatan Prioritas


1. Hypervolemia b.d penumpukan cairan d.d edema derajat 1 dan derajat
2. Resiko infeksi b.d penurunan sistem imun
M. Intervensi keperawatan

No Diagnose keperawatan Tujuan keperawatan Intervensi Rasional


1 Hypervolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen hypervolemia Observasi
keperawatan selama 2 x 24 1. Observasi 1. Agar mengetahui
jam edema klien dapat - Monitor tanda-tanda vital keadaan TTV klien
berkurang dengan kriteria - Periksa tanda 2. Untuk mengetahui
hasil: hypervolemia, edema ukur derajat edema klien
- Derajat edema derajat edema apakah berkurang atau
berkurang menjadi - Monitor intake dan output tidak
- Protein dan albumin cairan 3. Untuk mengetahui
meningkat - Monitor peningkatan kadar asupan cairan dan
- Tidak terjadi protein dan albumin keluarannya cairana dari
hipovolemia akibat - Monitor efek samping tubuh klien
efek diuretic diuretic seperti hipovolemia 4. Agar mengetahui apakah
2. Terapeutik kadar protein dan
- Batasi asupan cairan albuminnya meningkat
- Timbang berat badan setiap atau tidak
hari 5. Untuk meminimalisir
3. Edukasi terjadinya hipovolemia
- Anjurkan melapor jika BB pada klien yang
bertambah >1 kg dalam disebabkan diuretic
sehari Terapeutik
4. Kolaborasi 6. Agar mengetahui
- Kolaborasi pemberian perkembangan BB klien
Albumin 20% 1 gr/kg BB sebelum dan sesudah
30 cc dalam 4 jam IV pemberian obat diuretic
- Kolaborasi pemberian Edukasi
Furosemide 6 mg IV 7. Untuk mengetahui
- Kolaborasi pemberian KCL apakah obat diuretic
Pelvis 75 mg Oral efektif mengeluarkan
cairan pada klien serta
mengetahui
perkembangan balance
cairan klien, apakah
intake cairan menumpuk
ditubuh klien atau output
pada cairan klien
bertambah.
Kolaborasi
8. Agar kadar albumin klien
bertamah
9. Agar tidak terjadi
hipovolemia akibat
kekurangannya kalium
yang disebabkan
penggunaan obat diuretic

2 Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Pencegahan infeksi 1. Agar mengetahui apakah
keperawatan 2 x 24 jam 1. Observasi klien mengalami infeksi
resiko infeksi terkontrol - Monitor tanda gejala infeksi berulang dengan ditandai
dengan kriteria hasil: seperti adanya demam oleh demam
- Dapat 2. Terapeutik 2. Untuk meminimalisir
mengidentifikasi - Cuci tangan sebelum dan resiko terjadinya infeksi
tanda gejala infeksi sesudah kontak dengan 3. Untuk mengganti cairan
- Tidak terjadi pasien dan dari lingkungan yang hilang akibat diare
demam berulang pasien yang dialami sebelumnya
pada klien 3. pemberian NaCl (10 TPM 4. Agar orang tua
- Tidak terjadi diare Makro) mengetahui tanda dari
berulang pada klien 5. Edukasi adanya infeksi pada anak
- Jelaskan tanda gejala 5. Agar orang tua
infeksi pada keluarga mengetahui salah satu
- Ajarkan cuci tangan yang pencegahan infeksi
benar seperti diare yang
- Jelaskan tentang pentingnya dialami oleh klien adalah
ASI dengan pemberian ASI
6. Kolaborasi ekslusif
- Kolaborasi pemeberian 6. Untuk mengurangi
Ampisilin Sulbactam 4x250 bakteri yang
mg IV menyebabkan infeksi
- Kolaborasi pemberian pada anak
Paracetamol Sirup ½ 7. Agar demam klien
sendok teh jika suhu>38oC berkurang

Tanggal dan waktu No. dx implementasi Evaluasi Ttd


07.00 1 - Memonitor tanda-tanda vital S: menurut ibu klien edema masih Lailasari
07.30 - memeriksa tanda hypervolemia, terlihat tidak berkurang, sabila
edema ukur derajat edema O: RR: 24x/menit
09.00 - Memonitor peningkatan kadar Nadi : 108 x/menit
protein dan albumin TD:
10.00 - Memonitor efek samping diuretic Suhu : 36.6 0C
seperti hipovolemia Albumin : 2.8 gr/dl
11.00 - menimbang berat badan setiap hari Protein total : 5.8
12.00 - memberi Albumin 20% 1 gr/kg BB Edema derajat 1 kanan dan 2 kiri,
30 cc dalam 4 jam IV tidak terjadi hipovolemia, balance
- memberi Furosemide 6 mg IV cairan +53,6 cc/24 jam
14.00 - memberi KCL Pelvis 75 mg Oral A: masalah belum teratasi
- memberi NaCl (10 TPM Makro) P: lanjutkan intervensi
Cek TTV, ukur derajat edema,
monitor kadar protein, albumin,
aadakah tanda hipovolemia, timbang
berat badan, kolaborasi pemberian
albumin 20% 1 gr/kg bb 30 cc,
furosemide 6 mg dan KCL 75 mg,
NaCl 10 tpm makro.
Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Angka Kejadian Diare Akut pada
Bayi Usia 0-1 Tahun di Puskesmas Kuranji Kota Padang

Berdasarkan data kepustakaan mengenai angka kejadian diare pada bayi,


Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007 menyatakan bahwa bayi berusia 29
hari-11 bulan adalah kelompok umur yang paling banyak terjangkit diare (31,4%).
Satu dari beberapa penyebabnya adalah tidak memberikan ASI eksklusif sehingga
bayi lebih rentan terjangkit penyakit yang salah satunya adalah diare. Penelitian ini
dilakukan di 23 posyandu yang berada di wilayah kerja Puskesmas Kuranji Kota
Padang pada tahun 2012. Berdasarkan penelitian didapatkan 69 bayi (51,1%) berusia
0–5 bulan 29 hari dan 66 bayi lainnya ( 48,8%) berusia 6-12 bulan.
Menurut Fikawati dan Syafiq,5 WHO menyatakan ASI eksklusif adalah
pemberian ASI saja tanpa tambahan cairan atau makanan padat apapu kecuali
vitamin, mineral, atau obat dalam bentuk tetes ataupun sirup sampai usia 6 bulan.
Berdasarkan
Tabel hubungan pemberian ASI eksklusif dengan angka kejadian diare akut
pada bayi usia 6-12 bulan di Puskesmas Kuranji Kota Padang menunjukkan bahwa
kejadian diare pada bayi yang mendapat ASI eksklusif sebanyak 9 bayi (26,5%) dan
angka ini lebih rendah dibandingkan kejadian diare pada bayi tidak mendapat ASI
eksklusif, yaitu 26 bayi (74,3%). Jumlah bayi yang tidak pernah diare lebih tinggi
pada kelompok bayi yang mendapat ASI eksklusif, yaitu 25 bayi (73,58%)
dibandingkan bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif, yaitu 6 bayi (18,7%).
Berdasarkan data tersebut didapatkan hasil bahwa kejadian diare pada bayi yang tidak
mendapat ASI eksklusif lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI
eksklusif. Hasil ini menunjukkan bahwa bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif
lebih rentan terhadap diare.
Hegar dan Sahetapy14 menyebutkan bahwa salah satu kandungan unik ASI
adalah oligosakarida yang akan menciptakan suasana asam dalam saluran cerna.
Suasana asam ini berfungsi sebagai sinyal untuk pertahanan saluran cerna, yaitu SIgA
(Secretory Imunnoglobulin A) yang juga terdapat dalam ASI itu sendiri. SIgA dapat
mengikat mikroba patogen, mencegah perlekatannya pada sel enterosit di usus dan
mencegah reaksi imun yang bersifat inflamasi sehingga diare tidak terjadi.15 Hal ini
sesuai dengan penelitian Lely16 yang mencari peran ASI eksklusif yang mengandung
SIgA terhadap risiko diare akut. Penelitian tersebut menggambarkan kejadian diare
akut pada bayi dengan ASI eksklusif 34,8%. Angka tersebut lebih rendah
dibandingkan kejadian diare akut pada bayi tanpa ASI eksklusif, yaitu 65,2%.
DAFTAR PUSTAKA

Nilawati, G. A. P. (2016). Profil sindrom nefrotik pada ruang perawatan anak RSUP
Sanglah Denpasar. Sari Pediatri, 14(4), 269-72.

Pardede, S. O. (2016). Sindrom Nefrotik Kongenital. Sari Pediatri, 7(3), 114-24.


Amin, L. Z. (2015). Tatalaksana diare akut. Continuing Medical Education, 42(7),
504-508.

Alatas, H., Tambunan, T., Trihono, P. P., & Pardede, S. O. (2012). Konsensus tata
laksana sindrom nefrotik idiopatik pada anak. Jakarta: UKK Nefrologi IDAI, 1-17.

Brunner & Suddarth. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12
volume 1. Jakarta : EGC.

Albar, H. (2016). Tata laksana Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal pada Anak. Sari
Pediatri, 8(1), 60-8.

Trihono, P. P., Alatas, H., Tambunan, T., & Pardede, S. O. (2004). Tata laksana
sindrom nefrotik idiopatik pada anak. Pendidikan kedokteran berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLVI: Current management of pediatrics problems, 5-6.

Sumber analisis intervensi berdasarkan jurnal :


Rahmadhani, E. P., Lubis, G., & Edison, E. (2013). Hubungan pemberian ASI
eksklusif dengan angka kejadian diare akut pada bayi usia 0-1 tahun di Puskesmas
Kuranji Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 2(2), 62-66.
https://doi.org/10.25077/jka.v2i2.120

Anda mungkin juga menyukai