Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN SINDROM NEFROTIK

A. Pendahuluan
1. Pengertian
Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan

kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004).


Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,

hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema.


Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang
dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan
hiperkolesterolemia. (Rauf, 2002).
Sindroma Nefrotik (NEPHROTIC SYNDROME) adalah suatu sindroma

(kumpulan gejala-gejala) yang terjadi akibat berbagai penyakit yang


menyerang ginjal dan menyebabkan: – proteinuria (protein di dalam air

kemih) – menurunnya kadar albumin dalam darah – penimbunan garam dan


air yang berlebihan – meningkatnya kadar lemak dalam darah.

Sindroma ini bisa terjadi pada segala usia. Pada anak-anak, paling sering

timbul pada usia 18 bulan sampai 4 tahun, dan lebih banyak menyerang anak laki-
laki.

2. Anatomi & Fisiologi


a. Anatomi
Ginjal merupakan salah satu bagian saluran
kemih yang terletak retroperitoneal dengan panjang

lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri kanan vertebra.


Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri

oleh karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis


tengah tubuh. Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas

vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal setinggi


batas bawah vertebra lumbalis III. Pada fetus dan infan,

ginjal berlobulasi. Makin bertambah umur, lobulasi


makin kurang sehingga waktu dewasa menghilang.

Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri


atas piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12

buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna bertini. Dasar piramid


ini ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla marginalis) menonjol

ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks


mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor/minor ini

bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter.
Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubili, sedangkan pada medula

hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk Nefron.
Satu unit nefron terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, loop of henle,

tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan pula duktus koligentes). Tiap


ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih kurang

1,5-2 juta glomeruli.

Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada

glomerulus ini filtrat dimulai, filtrat adalah isoosmotic dengan plasma


pada angka 285 mosmol. Pada akhir tubulus proksimal 80 % filtrat telah

di absorbsi meskipun konsentrasinya masih tetap sebesar 285 mosmol.


Saat infiltrat bergerak ke bawah melalui bagian desenden lengkung

henle, konsentrasi filtrat bergerak ke atas melalui bagian asenden,


konsentrasi makin lama makin encer sehingga akhirnya menjadi

hipoosmotik pada ujung atas lengkung. Saat filtrat bergerak sepanjang


tubulus distal, filtrat menjadi semakin pekat sehingga akhirnya isoosmotic

dengan plasma darah pada ujung duktus pengumpul. Ketika filtrat


bergerak turun melalui duktus pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat
meningkat pada akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah

direabsorbsi dan hanya sekitar 1% yang diekskresi sebagai urin atau


kemih (Price,2001 : 785).

b. Fisiologi Ginjal

Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat

ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam


glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi

ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.

1) Faal glomerolus

Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat


yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang

lebih besar dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler dan tekanan


koloid osmotik. Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan

tubuh disebut glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa :


120 cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-12

tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.

2) Faal Tubulus

Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan


sekresi dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di

glomerolus. Sebagaimana diketahui, GFR : 120 ml/menit/1,73 m2,


sedangkan yang direabsorbsi hanya 100 ml/menit, sehingga yang

diekskresi hanya 1 ml/menit dalam bentuk urin atau dalam sehari


1440 ml (urin dewasa).

Pada anak-anak jumlah urin dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai
dengan umur :

a) 1-2 hari : 30-60 ml

b) 3-10 hari : 100-300 ml

c) 10 hari-2 bulan : 250-450 ml


d) 2 bulan-1 tahun : 400-500 ml

e) 1-3 tahun : 500-600 ml

f) 3-5 tahun : 600-700 ml

g) 5-8 tahun : 650-800 ml

h) 8-14 tahun : 800-1400 ml

3) Faal Tubulus Proksimal

Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak


melakukan reabsorbsi yaitu ± 60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk

di glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah protein, asam amino


dan glukosa yang direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan

elektrolit (Na, K, Cl, Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat, malat,


asam karbonat), H2O dan urea. Zat-zat yang diekskresi asam dan

basa organik.

4) Faal loop of henle

Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb
dan ascending thick limb itu berfungsi untuk membuat cairan

intratubuler lebih hipotonik.

5) Faal tubulus distalis dan duktus koligentes

Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit


dengan cara reabsorbsi Na dan H2O dan ekskresi Na, K, Amonium

dan ion hidrogen. (Rauf, 2002 : 4-5).

3. Etiologi
Penyebab umum penyakit tidak diketahui; akhir-akhir ini sering dianggap

sebagi suatu bentuk penyakit autoimun. Jadi merupakan reaksi antigen-


antibodi. Umumnya dibagi menjadi 4 kelompok :

a) Sindroma nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi

fetomaternal

b) Sindroma nefrotik sekunder


Disebabkan oleh parasit malaria, penyakit kolagen,
glomerulonefritis akut, glomerulonefrits kronik, trombosis vena

renalis, bahan kimia (trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,


raksa), amiloidosis, dan lain-lain.

c) Sindroma nefrotik idiopati(tidak diketahui penyebabnya) (Arif


Mansjoer,2000 :488)
d) Glumerulosklerosis fokal segmental
4. Insiden

a. Insidens lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dengan


perbandingan pria ; wanita =2:1.

b. Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi


berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang

mendasari, dan responnya trerhadap pengobatan

c. Sindrom nefrotik jarang menyerang anak dibawah usia 1 tahun Sindrom

nefrotik perubahan minimal (SNPM) menacakup 60 – 90 % dari semua


kasus sindrom nefrotik pada anak

d. Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari 50 % menjadi 5 %


dengan majunya terapi dan pemberian steroid.

e. Bayi dengan sindrom nefrotik tipe finlandia adalah calon untuk


nefrektomi bilateral dan transplantasi ginjal. (Cecily L Betz, 2002)

5. Patofisiologi

a. Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat

pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria.


Lanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan

menurunnya albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan


intravaskuler berpindah ke dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut

menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan


jumlah aliran darah ke renal karena hypovolemi.

b. Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi


dengan merangsang produksi renin – angiotensin dan peningkatan

sekresi anti diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian
terjadi retensi kalium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan
menyebabkan edema.

c. Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari


peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma

albumin dan penurunan onkotik plasma

d. Adanya hiper lipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi

lipopprtein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya


protein, dan lemak akan banyak dalam urin (lipiduria)

e. Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan


disebabkan oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi

seng. (Suriadi dan Rita yuliani, 2001 :217)

6. Manifestasi Klinik

Gejala awalnya bisa berupa:

Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. pembengkakan

jaringan akibat penimbunan garam dan air Edema biasanya bervariasi dari
bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila

ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan


berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah.

Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa


Pucat

Hematuri

Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.

Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan

umumnya terjadi.

Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang), (Betz, Cecily L.2002 : 335 ).

Gejala lainnya adalah pembengkakan lutut dan kantung zakar (pada pria).
Pembengkakan yang terjadi seringkali berpindah-pindah; pada pagi hari

cairan tertimbun di kelopak mata dan setalah berjalan cairan akan tertimbun
di pergelangan kaki. Pengkisutan otot bisa tertutupi oleh pembengkakan.

Pada anak-anak bisa terjadi penurunan tekanan darah pada saat


penderita berdiri dan tekanan darah yang rendah (yang bisa menyebabkan

syok). Tekanan darah pada penderita dewasa bisa rendah, normal ataupun
tinggi.

Produksi air kemih bisa berkurang dan bisa terjadi gagal ginjal karena
rendahnya volume darah dan berkurangnya aliran darah ke ginjal. Kadang

gagal ginjal disertai penurunan pembentukan air kemih terjadi secara tiba-
tiba.

Kekurangan gizi bisa terjadi akibat hilangnya zat-zat gizi (misalnya


glukosa) ke dalam air kemih. Pertumbuhan anak-anak bisa terhambat. Kalsium

akan diserap dari tulang. Rambut dan kuku menjadi rapuh dan bisa terjadi
kerontokan rambut. Pada kuku jari tangan akan terbentuk garis horisontal

putih yang penyebabnya tidak diketahui.

Lapisan perut bisa mengalami peradangan (peritonitis). Sering terjadi

infeksi oportunistik (infeksi akibat bakteri yang dalam keadaan normal tidak
berbahaya). Tingginya angka kejadian infeksi diduga terjadi akibat hilangnya

antibodi ke dalam air kemih atau karena berkurangnya pembentukan antibodi.

Terjadi kelainan pembekuan darah, yang akan meningkatkan resiko

terbentuknya bekuan di dalam pembuluh darah (trombosis), terutama di


dalam vena ginjal yang utama. Di lain fihak, darah bisa tidak membeku dan
menyebabkan perdarahan hebat.

Tekanan darah tinggi disertai komplikasi pada jantung dan otak paling
mungkin terjadi pada penderita yang memiliki diabetes dan penyakit jaringan

ikat.

7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Uji Urine

1) Protein urin – meningkat

2) Urinalisis – cast hialin dan granular, hematuria

3) Dipstick urin – positif untuk protein dan darah

4) Berat jenis urin – meningkat

b. Uji darah
1) Albumin serum – menurun

2) Kolesterol serum – meningkat

3) Hemoglobin dan hematokrit – meningkat (hemokonsetrasi)

4) Laju endap darah (LED) – meningkat

5) Elektrolit serum – bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan.

c. Uji diagnostic
Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan secara rutin
(Betz, Cecily L, 2002 : 335).

Evaluasi Diagnostic

Urinalisis menunjukkan haemturia mikroskopik, sedimen urine, dan


abnormalitas lain. Jarum biopsi ginjal mungkin dilakukan untuk pemriksaan

histology terhadap jaringan renal untuk memperkuat diagnosis.

Terdapat proteinuri terutama albumin (85 – 95%) sebanyak 10 –15

gr/hari. Ini dapat ditemukan dengan pemeriksaan Essbach. Selama edema


banyak, diuresis berkurang, berat jenis urine meninggi. Sedimen dapat normal

atau berupa toraks hialin, dan granula lipoid, terdapat pula sel darah putih. Dalam
urine ditemukan double refractile bodies. Pada fase nonnefritis tes fungsi ginjal
seperti : glomerular fitration rate, renal plasma flowtetap normal atau meninggi .
Sedangkan maximal konsentrating ability dan acidification kencing normal .

Kemudian timbul perubahan pada fungsi ginjal pada fase nefrotik akibat
perubahan yang progresif pada glomerulus.

Kimia darah menunjukkan hipoalbuminemia, kadar globulin normal atau


meninggi sehingga terdapat rasio Albumin-globulin yang terbalik,

hiperkolesterolemia, fibrinogen meninggi. Sedangkan kadar ureum normal. Anak


dapat menderita defisiensi Fe karena banyak transferin ke luar melalui urine. Laju

endap darah tinggi, kadar kalsium darah sering rendah dalam keadaan lanjut
kadang-kadang glukosuria tanpa hiperglikemia.

8. Penatalaksanaan Medik
a. Terapi nonfarmakologis
1) Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar
terdiri dari karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1

g/kgBB/hari. Giordano dkk memberikan diet protein 0,6


g/kgBB/hari ditambah dengan jumlah gram protein sesuai

jumlah proteinuri. Hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin


darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun.
2) Istirahat sampai oedema tinggal sedikit
b. Terapi farmakologis
Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar

ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau


menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta

mencegah dan mengatasi penyulit. Nefropati lesi minimal dan nefropati


membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang

baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan bahwa pada


glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien memberi respon

yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap. Schieppati dan


kawak menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati

membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya


lebih baik untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh

karena itu mereka tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan


imunosupresan pada nefropati jenis ini. Regimen penggunaan

kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya prednison 125


mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi
bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat

diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah


prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu

diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai


90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu,

namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid


dihentikan. Hopper menggunakan dosis 100 mg/48 jam. Jika tidak ada

kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan sampai 200 mg per 48


jam dan dipertahankan sampai proteinuri turun hingga 2 gram atau

kurang per 24 jam, atau sampai dianggap terapi ini tidak ada
manfaatnya. Pada anak-anak diberikan prednison 60 mg/m 2 luas

permukaan tubuh atau 2 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu,


diikuti 40 mg/m2 luas permukaan tubuh setiap 2 hari selama 4

minggu.Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi :


1) Remisi lengkap
a) proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam)
b) albumin serum >3 g/dl
c) kolesterol serum < 300 mg/dl
d) diuresis lancar dan edema hilang
2) Remisi parsial
a) proteinuri <3,5 g/harI
b) albumin serum >2,5 g/dl
c) kolesterol serum <350 mg/dl
d) diuresis kurang lancar dan masih edema
3) Resisten
Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada
67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial

pada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada


glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek

samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya


nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes

melitus. Pada pasien yang tidak responsif terhadap


kortikosteroid, untuk mengurangi proteinuri digunakan terapi

simptomatik dengan angiotensin converting enzyme


inhibitor (ACEI), misal kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan

dosis ditingkatkan setelah 2 minggu atau obat antiinflamasi non-


steroid (OAINS), misal indometasin 3×50mg. Angiotensin
converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi protein
glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus

dan memperbaiki size selective barrier glomerulus. Efek


antiproteinurik obat ini berlangsung lama (kurang lebih 2 bulan

setelah obat dihentikan). Angiotensin receptor blocker (ARB)(ARB)


ternyata juga dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat

inflamasi dan fibrosis interstisium, menghambat pelepasan


sitokin, faktor pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja

angiotensin II lokal pada ginjal.


Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek
antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis primer

dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja. Obat antiinflamasi


non-steroid dapat digunakan pada pasien nefropati membranosa

dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan


sintesis prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal,

penurunan tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi


dan mengurangi proteinuria sampai 75%.

Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen,


fibrin-related antigenic dan mencegah agregasi trombosit.

Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan


penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat ini

tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit.

Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid

atau resisten terhadap kortikosteroid dapat digunakan terapi lain


dengan siklofosfamid atau klorambusil. Siklofosfamid memberi

remisi yang lebih lama daripada kortikosteroid (75% selama 2


tahun) dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Efek

samping siklofosfamid adalah depresi sumsum tulang, infeksi,


alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan lebih

dari 6 bulan. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg


bb./hari selama 8 minggu. Efek samping klorambusil adalah

azoospermia dan agranulositosis. Ponticelli dan kawan-kawan


menemukan bahwa pada nefropati membranosa idiopatik,
kombinasi metilprednisolon dan klorambusil selama 6 bulan
menginduksi remisi lebih awal dan dapat mempertahankan

fungsi ginjal dibandingkan dengan metilprednisolon sendiri,


namun perbedaan ini berkurang sesuai dengan waktu (dalam 4

tahun perbedaan ini tidak bermakna lagi). Regimen yang


digunakan adalah metilprednisolon 1 g/hari intravena 3 hari, lalu

0,4 mg/kg/hari peroral selama 27 hari diikuti klorambusil 0,2


mg/kg/hari 1 bulan berselang seling.

Alternatif lain terapi nefropati membranosa adalah


siklofosfamid 2 mg/kg/hari ditambah 30 mg prednisolon tiap 2

hari selama beberapa bulan (maksimal 6 bulan). Levamisol suatu


obat cacing, dapat digunakan untuk terapi SN nefropati lesi

minimal pada anak-anak dengan dosis 2,5mg/kg bb tiap 2 hari


sekurang-kurangnya 112 hari. Efek samping yang jarang terjadi

adalah netropeni, trombositopeni dan skin rash.

Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps

setelah diberi siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa


remisi setelah pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kgbb/hari

selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan


25% setiap 2 bulan). Siklosporin A dapat juga digunakan dalam

kombinasi dengan prednisolon pada kasus SN yang gagal


dengan kombinasi terapi lain. Efek samping obat ini adalah

hiperplasi gingival, hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi dan


nefrotoksis. Terapi lain yang belum terbukti efektivitasnya adalah

azatioprin 2-2,5 mg/kgBB/hari selama 12 bulan.

Pada kasus SN yang resisten terhadap steroid dan obat

imunospresan, saat ini dapat diberikan suatu imunosupresan


baru yaitu mycophenolate mofetil (MMF) yang memiliki efek

menghambat proliferasi sel limfosit B dan limfosit T,


menghambat produksi antibodi dari sel B dan ekspresi molekul

adhesi, menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah.


Penelitian Choi dkk pada 46 pasien SN dengan berbagai lesi
histopatologi mendapatkan angka remisi lengkap 15,6% dan
remisi parsial 37,8 %. Dosis MMF adalah 2 x (0,5-1) gram.

Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam


(1-2 gram natrium/hari) disertai diuretik (furosemid 40 mg/hari

atau golongan tiazid) dengan atau tanpa kombinasi


dengan potassium sparing diuretic (spironolakton). Pada pasien

SN dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid


dan 200 mg spironolakton).

Resistensi terhadap diuretik ini bersifat multifaktorial.


Diduga hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya

transportasi obat ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh


protein urin bukan merupakan mekanisme utama resistensi ini.

Pada pasien demikian dapat diberikan infus salt-poor human


albumin. Dikatakan terapi ini dapat meningkatkan volume

plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus, aliran urin dan


ekskresi natrium. Namun demikian infus albumin ini masih

diragukan efektivitasnya karena albumin cepat diekskresi lewat


urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan

edema paru pada pasien hipervolemi.

Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko

terjadinya aterosklerosis dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi


dapat digunakan penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme

A (HMG Co-A) reductase yang efektif menurunkan kolesterol


plasma. Obat golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek

samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan


secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar

kolesterol. Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar


klofibrat bebas yang meningkat menyebabkan kerusakan otot

dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar kolesterol


total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap

trigliserida. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol


dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil.
Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol
total dan kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena

efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang memperburuk


defisiensi vitamin D pada SN.

Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu


tromboemboli yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN

(paling sering pada nefropati membranosa), digunakan


dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100 mg/hari) sebagai anti

agregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus. Selain itu obat-


obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan fungsi

ginjal dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir. Terapi ini diberikan
selama pasien mengalami proteinuri nefrotik, albumin <2 g/dl

atau keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus diberikan


heparin intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin

oral sampai 3 bulan atau setelah terjadi kesembuhan SN.


Pemberian heparin dengan pantauan activated partial

thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali kontrol, sedangkan efek


warfarin dievaluasi dengan prothrombin time (PT) yang biasa

dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR) 2-3 kali


normal. Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia

pneumokokal atau peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai


dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk

mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus.

Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi

virus seperti campak dan herpes. Penyulit lain yang dapat terjadi
di antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut,

gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama


dengan penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila terjadi

gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan


transplantasi ginjal. Dantal dkk menemukan pada pasien

glomerulosklerosis fokal segmental yang menjalani transplantasi


ginjal, 15%-55% akan terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin

disebabkan oleh adanya faktor plasma (circulating factor) atau


faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus.
Imunoadsorpsi protein plasma A menurunkan ekskresi protein

urin pada pasien SN karena glomerulosklerosis fokal segmental,


nefropati membranosa maupun SN sekunder karena diabetes

melitus. Diduga imunoadsorpsi melepaskan faktor plasma yang


mengubah hemodinamika atau faktor yang meningkatkan

permeabilitas glomerulus.

9. Komplikasi

a. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah


akibat hipoalbuminemia.

b. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml)


yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.

c. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi


sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma.

d. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.


(Rauf, .2002 : .27-28).

B. Konsep Keperawatan
Asuhan Keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses

keperawatan untuk meningkatkan, mencegah dan memulihkan kesehatan. Proses


Keperawatan merupakan susunan metode pemecahan masalah yang meliputi

pengkajian keperawatan, identifikasi/analisa maslah (diagnosa Keperawatan),


perencanaan, implementasi dan evaluasi yang masing-masing berkesinambungan

serta memerlukan kecakapan keterampilan profesional tenaga keperawatan


(Hidayat,2004)
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari tahapan proses keperawatan. Dalam

mengkaji, harus memperhatikan data dasar pasien. Keberhasilan proses


keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian dalam tahap

pengkajian.
Pengkajian yang perlu dilakukan pada klien anak dengan sindrom nefrotik

(Donna L. Wong,200 : 550) sebagai berikut :


a. Lakukan pengkajian fisik termasuk pengkajian luasnya edema
b. Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat, terutama yang berhubungan
dengan penambahan berat badan saat ini, disfungsi ginjal.

c. Observasi adanya manifestasi sindrom nefrotik :

1) Penambahan berat badan

2) Edema

3) Wajah sembab :

a) Khususnya di sekitar mata

b) Timbul pada saat bangun pagi

c) Berkurang di siang hari

4) Pembengkakan abdomen (asites)

5) Kesulitan pernafasan (efusi pleura)

6) Pembengkakan labial (scrotal)

7) Peka rangsang

8) Mudah lelah

9) Letargi

10)Tekanan darah normal atau sedikit menurun

11)Kerentanan terhadap infeksi

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada anak dengan sindrom nefrotik
adalah sebagai berikut :

1. Kelebihan volume cairan

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

3. Ansietas

3. Intervensi Keperawatan

N NANDA NOC NIC


o
1 Kelebihan volume Electrolit and acid base 1. Pertahankan
Fluid balance
cairan catatan intake
Hydration
Kriteria Hasil : dan output
1. Terbebas dari
yang akurat
edema, efusi. 2. Pasang urin
2. Bunyi nafas bersih,
kateter jika
tidak ada
diperlukan
dyspneu/ortopneu 3. Monitor hasil
3. Terbebas dari
lab sesuai
distensi vena
retensi cairan
jugularis 4. Monitor vital
4. Memilihara tekanan
sign
vena sentral, 5. Monitor indikasi
tekanan kapiler paru, retensi /

output jantung dan kelebihan cairan


6. Monitor
vital sign
5. Terbebas dari masukan

kelelahan, makanan/cairan
7. Monitor status
kecemasan atau
nutrisi
bingung
8. Berikan diuretik

sesuai instruksi
2 Ketidakseimbangan Nutrional status : Food and 1. Kaji adanya
nutrisi kurang dari Fluid Intake alergi makanan
Nuttrient Intake 2. Kolaborasi
kebutuhan tubuh
Weight control
dengan ahli gizi
Kriteria Hasil :
1. Adanya berat badan untuk

sesuai dengan menentukan


tujuan jumlah kalori
2. Berat badan sesuai
dan nutrisi yang
dengan tinggi badan
dibutuhkan
3. Mampu
pasien
mengidentifikasi
3. Anjurkan psien
kebutuhan nutrisi
untuk
4. Menunjukkan
meningkatkan
peningkatan fungsi
vitamin C
pengecapan dan
menelan
5. Tidak terjadi

penurunan berat
badan yang berarti

3 Asietas Anxieety self-control Anxiety


Anxiety level
Reducation
Coping
1. Gunakan
Kriteria Hasil :
1. Klien mampu pendekatan
mengidentifikasi dan yang

mengungkapkan menenangkan
2. Temani pasien
gejala cemas
2. Mengidentifikasi, untuk

mengungkapkan memberikan
dan menunjukkan keamanan dan

tehnik mengontrol mengurangi


cemas takut
3. Vital sign dalam 3. Dengarkan

batas normal dengan penuh


4. Postur tubuh,
perhatian
ekspresi wajah, 4. Dorong

bahasa tubuh dan keluarga untuk


tingkat aktivitas menemani anak
5. Instruksikan
menunjukkan
pasien
berkurangnya
menggunakan
kecemasan
tehnik relaksasi
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius :


Jakarta

Marilynn, E. Dongoes Dkk, Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC :


Jakarta

Smeltzer, Suzanne C, 2001, Keperawatan Medikal Bedah Brunner &


Suddarth, edisi 8, Volume 2, EGC : Jakarta

http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/27/askep-sindrom-nefrotik/

idmgarut.wordpress.com/…/28/sindroma-nefrotik

http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/03/askep-sindroma-nefrotik.html

Anda mungkin juga menyukai