Anda di halaman 1dari 10

TRYPANOSOMIASIS

2.7 DEFINISI

Penyakit tidur atau tripanosomiasis afrika disebabkan oleh parasit protozoa


berflagela yang tergolong ke dalam kompleks Trypanosoma brucei yang
ditularkan kepada manusia melalui lalat tsetse. Pada pasien yaang tidak diobati,
tripanosoma tersebut pertama-tama menyebabkan penyakit demam yangsetelah
beberapa bulan atau tahun kemudian diikuti oleh gangguan neurologi yang
progresif dan kematian.

2.8 PARASIT DAN PENULARANNYA

Bentuk penyakit tidur di afrika timur (rhodesiense) dan afrika barat


(gambiense) masing-masing Disebabkan oleh dua subspesies tripanosoma, yaitu
T. Brucei rhodesiense dan T. Brucei gambiense. Kedua subspesies ini Secara
morfotologis tidak dapat dibedakan tetapi menyebabkan dua macam penyakit
yang secara epidemiologis dan klinis berlainan. Parasit ditularkan oleh lalat tse-tse
penghisap darah dan genus Glossina. Serangga tersebut mendapatkan infeksi
ketika menghisap darah dari pejamu mamalia yang terinfeksi.setelah melalui
sejumlah Siklus multiplikasi di dalam usus tengah (midgut) vektor, parasit
bermigrasi ke glandula salivarius dan penularan terjadi ketika parasit tersebut
diinokulasukan pada saat menghisap darah berikutnya.tripanosoma yang terinjeksi
akan Memperbanyak diri di dalam darah pejamu serta rongga ekstrasel lainnya
dan menghancurkan sistem kekebalan tubuh mamalia untuk waktu yang lama
dengan menjalani variasi antigenik, yaitu suatu proses saat stuktur antigenik
selubung permukaan parasit yang berupa glikoprotein mengalami perubahan
berkala.
(Kiri) Trypanosoma brucei dalam darah (Giemsa 1000x)
(Kanan) perubahan patologi khas (cuffing perivascular) di bagian otak
pasien dengan sakit tidur (hematoksilin dan eosin 400x)

2.9 PATOGENESIS DAN PATOLOGI


Lesi inflamasi (panosomal) dapat terlihat 1 minggu atau lebih setelah gigitan
lalat tse-tse yang terinfeksi. Keadaan demam yang sistematik kemudian terjadi
pada saat parasit menyebar lewat sistem limfatik dan aliran darah.
Tripanosomiasis sistemik afrika tanpa kelainan pada sistem saraf pusat umumnya
disebut sebagai penyakit stadium I. dalam stadium ini terjadi limfadenopati yang
menyebar luas dan splenomegali, yang mencerminkan adanya proliferasi
limfositik serta histiositik yang mencolok dan invasi sel-sel morula yang
merupakan plasmasit yang mungkin terlibat dalam produksi igM. Endarteritis
dengan infiltrasi perivaskuler baik oleh parasit maupun oleh limfosit dapat terjadi
didalam kelenjar limfe dan lien. Miokarditis sering dijumpai pada pasien yang
menderita penyakit stadium I, khususnya pada infeksi T. Brucei rhodesiense.
Manifestasi hematologi yang menyertai tripanomiasis stadium I mencakup
leukositosis sedang, trombositopenia, dan anemia. Kadar imunoglobulin yang
tinggi dan terutama terdiri atas igM poliklonal merupakan gambaran konstan, dan
anti bodi heterofil, antibodi anti-DNA, serta faktor rematoid sering ditemukan.
Kadar komplek antigen-antibodi yang tinggi dapat memainkan peranan dalam
perusakan jaringan dan peningkatan permeabilitas vaskuler yang mempercepat
penyebarluasan parasit.
Tripanosomiasis stadium II meliputi invasi ke sistem saraf pusat. Keberadaan
tripanosoma dalam daerah perivaskuler disertai dengan infiltrasi intensif sel
mononuklear. Abnormalitas pada cairan serebrospinal mencakup peningkatan
tekanan, kenaikan konsentrasi total protein, dan pleositositosis. Tripanosoma
sering ditemukan pula dalam cairan serebrospinal.

Serangga triatomine

3.0 EPIDEMIOLOGI
Tripanosoma yang menyebabkan penyakit tidur hanya dijumpai di afrika.
Kurang lebih 20.000 kasus baru dilaporkan setiap tahunnya, tetapi jumlah ini
tentunya merupakan perkiraan dibawah angka yang sebenarnya. Manusia
merupakan satu-satunya resevoir T. B. Gambiense dan infeksi terjadi pada tempat
yang tersebar luas dikawasan hutan hujan tropis Afrika Tengah dan Barat.
Tripanosomiasis gambiense terutama menjadi permasalahan dikalangan penduduk
perdesaan, sedangkan wisatawan jarang terinfeksi oleh parasit ini. Spesies antelop
yang toleran terhadap tripanosoma di daerah padang rumput dan lahan hutan
Afrika Tengah dan Timur merupakan reservoir utama T. b. Rhodesiense. Ternak
juga dapat terinfeksi tetapi umumnya tidak dapat bertahan terhadap serangan
parasit tersebut. Manusia hanya secara insidentil terkena infeksi T. b.
Rhodesiense karena untuk sebagian besar daerah, risiko terjadi akibat kontak
dengan lalat tsetse yang mencari makan dengan mengisap darh hewan liar. Jadi,
penyakit tersebut merupakan ancaman keselamatan kerja bagi pekerja ditaman
safari tempat terdapatnya hewan dan vektor yang terinfeksi. Selain itu, kasus
infeksi T. b. Rhodesiense kadang-kadang terjadi diantara para pengunjung taman
sefari Afrika timur. Selama dua dasawarsa yang lampau, kepada centers of
diasease control telah dilaporkan 16 kasus impor tripanosomiasis Afrika yang
sebagian besar diantaranya disebabkan oleh T. b. Rhodesiense.
3.1 PERJALANAN KLINIS
Tripanosomal yang nyeri terlihat pada sebagian pasien di tempat parasit
tersebut masuk ke dalam tubuh. Penyebaran secara hematogen dan limfatik
(Stadium I) ditandai dengan dimulainya gejala demam, dan secara khas, dengan
sejumlah serangan suhu yang tinggi selam beberapa hari yang dipisahkan oleh
periode tanpa panas. Limfadenopati timbul secara menonjol pada tripanosomiasis
oleh T. b. gambiense. Kelenjar limfe tampak diskrit, dapat digerakkan, memiliki
konsistensi seperti karet , dan tidak nyeri ketika disentuh. Kelenjar limfe servikal
sering terlihat dan pembesaran kelenjar limfe pada triangulus servikalis posterior
ataupun tanda winterbottom merupakan gambaran klasik pada individu yang
terinfeksi oleh T. b. gambiense. Pruritus sering dijumpai dan ruam yang berbentuk
Lingkaran (circinate) sering terdapat. Hasil pemeriksaan yang tidak selalu
ditemukan adalah malaise, nyeri kepala, atralgia, penurunan berat badan, endema,
hepatosplenomegali, dan takikardia.
Invasi pada sistem saraf pusat ( penyakit stadium II) ditandai oleh timbulnya
manifestasi neurologi protean (sangat bervariasi) yang berangsur-angsur dengan
disertai abnormalitas progresif dalam cairan serbrospinal. Gejala ketidakacuhan
yang progresif dan somnolensia pada siang hari (penyakit tidur) akan terjadi,
kadang-kadang bergantian dengan kegelisahan dan insomnia di malam harinya.
Pandangan yang lesu menyertai gangguan spontanitas dan bicara menjadi
tersendat-sendat serta tidak jelas. Tanda ekstrapiramidal dapat mencakup gerakan
koreiformis, tremor, dan fasikulasi. Ataksia sering ditemukan dan pasien dapat
terlihat menderita penyakit parkinson dengan cara berjalan yang gontai,
hipertonia, dan tremor. Dalam fase terminal, gangguan neurologi yang progresif
berakhir dengan keadaan koma dan kematian.
Perbedaan yang paling mencolok antara tripanosomaiasis di Afrika Barat dan
Timur adalah bahwa bentuk tripanosomiasis yang disebutkan terakhir cendrung
mengikuti perjalanan penyakit yang lebih akut. Secara khas, tanda sistemik infeksi
pada wisatawan seperti gejala demam, malaise, dan nyeri kepala dapat timbul
sebelum akhir perjalanan atau segera sesudah wisatawan tersebut pulang ke
negaranya. Takiardia persisten yang tidak ada hubungannya dengan demam
umumnya dijumpai pada awal perjalanan tripanosomiasis T.b. rhodesiense, dan
kematian penderita dapat terjadi akibat aritmia serta gagal jantung kongestif
sebelum timbul penyakit sistem saraf pusat. Umumnya tripanosomiasis Afrika
Timur yang tidak diobati akan berakhir dengan kematian dalam tempo beberapa
minggu hingga beberapa bulan, yang sering tanpa perbedaan yang jelas antara
stadium hemolimfatik dan sistem saraf pusat.

3.2 DIAGNOSIS
Diagnosis definitif tripanosomiasis Afrika memerlukan pemeriksaan untuk
menemukan parasit. Jika terdapat syanker, cairan syanker harus diperah keluar
dan diperiksa langsung dengan mikroskop cahaya untuk melihat tripanosoma
yang sangat bergerak (motil). Cairan syanker tersebut juga harus difiksasi dan
diwarnai dengan giemsa. Bahan yang diperoleh lewat pungsi kelenjar limfe
dengan jarum pada awal perjalanan penyakit harus diperiksa dengan cara serupa.
Pemeriksaan preparat basah dan sediaan apus sampel darah yang tebal dan tipis
dengan pewarnaan giemsa juga merupakan pemeriksaan yang bermanfaat. Jika
parasit tidak ditemukan dengan metode pemeriksaan ini, buffy coat dari 10 hingga
15 Ml darah yang diberi antikoagulan atau pellet yang diperoleh melalui
sentrifugasi eluat dari25 hingga 50 ml darah yang dialirkan lewat kolom DEAE-
selulosa harus diperiksa.tripanosoma juga dapat terlihat dalam bahan yang
dipungsi dari sumsum tulang, dan cairan aspirasi tersebut dapat diinokulasikan
dalam media kultur yang cair seperti halnya dalam darah, buffy coat, cairan
aspirasi kelenjar limfe, dan cairan serebrospinal. Ankhirnya infeksi T. b.
rhodesiense dapat dideteksi lewat inokulasi spesimen ini pada binatang mencit
atau tikus yang akan menimbulkan parasitemia yang paten dalam waktu satu atau
dua minggu. Metode pemeriksaan ini sangat sensitif untuk mendeteksi T. b.
rhodesiense, tetapi sayangnya karena spesifisitas pejamu, T.b. gambiensiense
tidak dapat dideteksi dengan teknik ini.
Pemeriksaan cairan serebrospinal mutlak harus dikerjakan pada semua pasien
yang dicurigai dengan penyakit tripanosomiasis Afrika. Peningkatan jumlah sel
dalam cairan serebrospinal merupakan kelainan pertama yang harus ditemukan,
dan peningkatan opening pressure seperti halnya kenaikan kadar protein total serta
igM akan terjadi kemudian. Tripanosoma dapat terlihat dalam sedimen hasil
pemusingan ciran serebrospinal. Setiap abnormalitas cairan serebrospinal yang
ditemukan pada pasien dengan terlihatnya tripanosoma di dalam spesimen dari
tempat lain harus dilihat sebagai tanda patognomonik untuk kelainan pada sistem
saraf pusat, dan dengan demikian, terapi yang spesifik untuk penyakit sistem saraf
pusat harus diberikan.
Sejumlah pemeriksaan assay serologik sudah tersedia untuk membantu
menegakkan diagnosis tripanosomiasis Afrika, namun sensitivitas dan
spesifisitasnya yang beragam menyebabkan pengambilan keputusan harus
berdasarkan pada pemeriksaan yang memperlihatkan parasit tersebut. Semua tes
ini berguna untuk survai epidemiologik.

3.3 TERAPI
Obat-obat yang secara tradisional digunakan untuk pengobatan tripanosomiasis
Afrika adalah suramin, pertamidin dan senyawa arsen organik. Penambahan yang
baru saja dilakukan pada daftar obat ini adalah eflornitin (difluorometilornitin)
yang sudah mendapat persetujuan dari FDA dalam bulan November 1990 untuk
pengobatan tripanosomiasis afrika Timur. Di Amerika Serikat sendiri, obat-obat
ini dapat diperoleh lewat centers of Disease control. Terapi untuk tripanosomiasis
Afrika harus disesuaikan menurut individu masing-masing berdasarkan
mikroorganisme yang menyebebkan infeksi,ada tidaknya penyakit sistem saraf
pusat, reaksi yang merugikan, dan kadang-kadang resistensi obat. Pemilihan obat
untuk pengobatan tripanosomiasis Afrika dirangkumkan sebagai berikut.
Tripanosomiasis Afrika Barat (T. b. gambiense) stadium I ( cairan
serebrospinal normal) harus diobati dengan suramin atau eflornitin. Pentamidin
dapat digunakan sebagai obat alternatif. Tripanosomiasis Afrika Barat stadium II (
cairan serebrospinal abnormal) harus diobati dengan aeflornitin. Tripanosomiasis
Afrika Timur (T. b. rhodesiense) stadium I harus diobati dengan suramin, dan
pentamidin dapat digunakan sebagai obat alternatif. Karena suramidin dan
pentamidin tidak menembus sistem saraf pusat dengan baik dan eflornitin
memiliki keampuhan yang beragam terhadap T. b. rhodesiense, tripanosomiasis
Afrika Timur stadium II harus diobati dengan melarsoprol, dan pasien yang tidak
dapat mentolerir obat terakhir ini harus diobati dengan triparsamid plus suramidin.
Suramin sangat efektif terhadap penyakit stadium I, tetapi obat ini dapat
menyebabkan sejumlah akibat yang merugikan dan harus diberikan dibawah
pengawasan dokter yang ketat. Dosis tes intravena 100 mg hingga 200 mg harus
diberikan untuk mengetahui hipersensivitas. Takaran untuk orang dewasa adalah 1
gram intravena yang diberikan pada hari ke-1, 3, 7, 14 dan 21. Susunan
pengobatan untuk anak-anak adalah 20 mg/kg BB (dosis maksimum 1 gram) yang
diberikan intravena pada hari ke-1, 3, 7, 14 dan 21. Obat tersebut diberikan
melalui infus secara perlahan-lahan dengan larutan aqueous 10% yang baru
dibuat.Kurang dari 1 persen dari 20.000 individu pasien memperlihatkan reaksi
yang segera, berat dan dapat membawa kematian terhadap pemberian obat
tersebut; reaksi ini terdiri atas gejala mual, muntah, syok, dan kejanfg-kejang.
Reaksi yang tidak begitu berat mencakup gejala demam, fotofobia, pruritus,
artralgia, ddan erupsi kulit. Kerusakan ginjal merupakan efek merugikan yang
penting dan paling sering ditemukan pada pemakaian suramin. Proteinuria
sepintas sering muncul selama pengobatan. Urinalisis harus dilakukan setiap kali
sebelum pemberian obat, dan pemakaian obati ni harus dihentikan jika proteinuria
bertambah atau tampakl silinder dan sel darah merah di dalam sedimen urin.
Suramin tidak boleh digunakan pada pasien insufisiensi renal.
Eflornitin sangat efektif untuk pengobatan kedua stadium dari tripanosomiasis
Afrika Barat. Dalam uji coba yang menjadi landasan bagi FDA untuk menyetujui
pemakaiannya, eflornitin berhasil menyembuhkan lebih 90% dari 600 individu
pasien individu pasien stadium II. Jadwal pengobatan yang dianjurkan adalah
pemberian 400 mg/kg BB intravena per hari dalam dosis terbagi empat selama
waktu 2 minggu. Pemberian intravena ini harus diikuti oleh pemberian peroral
dengan dosis 300 mg/kg BB perhari selama 3 hingga 4 minggu. Efek yang
merugikan mencakup diare, anemia, trombositopenia, kejang , dan gangguan
pendengaran. Keampuhan eflornitin dalam pengobatan infeksi T. b. rhodesiense
masih belum dapat ditentukan. Takaran yang tinggi dan terapi yang lama akan
merugikan dan dapat mempersulit penyebarluasan pemakaian eflornitin.
.
Pentamidin isoetionat merupakan obat alternatif untuk pasien tripanosomiasis
Afrika stadium I, tetapi kitra harus ingat bahwa sebagian infeksi oleh T.b.
rhodesiense tidak responsif terhadap obat ini. Takatran untuk orang dewasa
maupun anak-anak adalah 4mg/kg BB per hari yang diberikan secara
intramuskuler atau intravena selama 10 hari. Reaksi merugikan yang segera terjadi
dan sering ditemukan mencakup mual, muntah, takikardia, dan hipotensi. Semua
reaksi ini biasanya berlangsung sepintas dan tidk membuat terapi harus
diberhentikan. Reaksi merugikan lainnya adalah nefrotoksisitas, hasil tes faal hati
yang abnormal, neutroenia, ruam, hipoglikemia, dan abses yang steril.
Senyawa arsenikal melarsorpol merupakan obat pilihan untuk terapi
tripanosomiasis Afrika Timur dengan kelainan yang mengenai sistem saraf pusat.
Melarsoprol akan menyembuhkan kedua stadium penyakit tersebut, dan dengan
demikian pemakaian obat ini juga merupakan indikasi untuk pengobatan pasien
stadium I ddengan pemberian suramin dan/atau petamidin tidak berhasil
menyembuhkan atau kedua obat tersebut tidak ditolerir oleh pasien. Namun,
melarsoprol tidak boleh dijadikan pilihan pertama untuk terapi penyakit stadium I
mengingat toksisitasnya yang relatif tingggi. Pada orang dewasa, obat tersebut
harus diberikan dengan tiga kali pemberian yang masing-masing berlangsung
selama 3 hari. Takaran pemberiannya 2-3,6 mg/kg BB perhari intravena dalam
dosis terbagi tiga selama 3 hari, yang 1 minggu kemudian diikuti oleh pemberian
3,6 mg/kg BB per hari yang juga dalam dosis terbagi tiga dan selama 3 hari.
Pemberian terakhir kemudian diulangi setelah 10 hingga 21 hari kemudian. Pada
pasien yang keadaan umumnya jelek, dianjurkan untuk melakukan pengobatan
dengan suramin dahulu selama 2 hingga 4 hari sebelum memulai pemberian
melarsoprol, dan pemberian obat yang disebbutkan terakhir ini dimulai dengan
dosis awal 18 mg yang kemudian diikuti dengan peningkatan dosis secara
progresif sampai tercapai dosis standar. Untuk pasien anak-anak, takaran total 18
hingga 25 mg/kg BB harus diberikan dalam waktu 1 bulan. Dosis awal 0,36
mg/kg BB intravena harus ditingkatkan secara bertahap hingga tercapai takaran
maksimal 3,6 mg/kg BB dengan interval waktu 1 hingga 5 hari untuk total
pemberian sebanyak 10 kali.
Melarsoprol bersifat sangat toksik dan harus diberikan dengan hati-hati sekali.
Insidensi ensefalopati reaktif pernah dilaporkan dengan angka yang mencapai 18
persen pada beberapa seri kasus. Manifestasi kklinis ensefalopati reaktif
mencakup demam yang tinggi, nyeri kepala, tremor, gangguan bicara, kejang, dan
bahkan koma serta kematuian. Pemberian melarsoprol harus dihentikan beg itu
terlihat tanda pertama adanya ensefalopati, tetapi pemberian obat ini dapat dimulai
kembali secara hati-hati dengan menggunakan dosis yang lebih kecil beberapa
hari setelah tanda-tanda tersebut menghilang. Ekstravasasi obat akan
menimbulkan reaksi setempat yang hebat, dan muntah, nyeri abdomen,
nefrotoksisitas, serta kerusakan miokard dapat terjadi.
Injeksi intraperitoneal dari cordycepin analog adenosin (3'-deoxyadenosine),
bersama-sama dengan inhibitor (ADA) adenosin deaminase (coformycin atau
deoxycoformycin), obat infeksi Trypanosoma brucei pada tikus. Pengobatan juga
efektif pada tahap ketika trypanosomes menembus ke dalam parenkim otak,
sebagaimana ditentukan oleh immunolabeling ganda,parasit dan sel-sel endotel
pembuluh otak di bagian otak. Pada tahap ini, parasit itu dihilangkan tidak hanya
dari dalam darah tetapi juga dari parenkim otak. Secara paralel dengan
penghapusan parasit,jumlah sel CD45+ inflamasi dalam parenkim otak berkurang.
Perlakuan tidak imunosupresif. Dalam inkubasi vitro dengan cordycepin
mengurangi pertumbuhan T.brucei dan T.cruzi.Serta amazonensis Leishmania dan
L.Administrasi cordycepin ditambah deoxycofomycin untuk tikus yang terinfeksi
T. cruzi juga secara signifikan mengurangi parasitemia. Oleh karena itu analog
nukleosida tahan ADA sebagai pengobatan trypanosomiasis afrika tahap akhir7).
Pengobatan untuk pasien penyakit Afrika Timur stadium II yang tidak dapat
mentolerir pemakaian melarsporol merupakan masalah. Kombinasi senyawa
arsenikal triparsamid dengan suramin merupakan salah satu cara pendekatan yang
memungkinkan, namun keampuhan pengobatan kombinasi ini amat terbatas
karena suramin tidak dapat berpenetrasi kedalam sistem saraf pusat dan
triparsamid jauh lebih tidak efektif terhadap T. b. rhodesiense dibandingkan
terhadap T.b. gambiense. Takaran triparsamid adalah 30 mg/kg BB (maksimum 2
gram) dengan dosis tunggal intravena setiap lima hari sekali untuk total 12 kali
pemberian, dan takaran untuk suramin adalah 10mg/kg BB setiap lima hari sekali
yang juga untuk total 12 suntikan. Triparsamid dapat menyebabkan ensefalopati,
demam, muntah, nyeri abdomen, ruam, tinitus dan sejumlah gejala okuler.
Sebagai alternatif lain, eflornitin dapat diberikan seperti yang digariskan diatas
kepada pasien-pasien yang tidak bisa mentolerir pemberian melarsoprol; namun,
sebagaimana terlihat, keampuhan eflornitin terhadap T.b. rhodesiense sangat
bervariasi.

3.4 PENCEGAHAN
Penyemprotan rumah dan tempat penampungan hewan dengan insektisida
piretroid untuk membunuh triatomines dan skrining serologis donor darah untuk
menghentikan penularan melalui transfusi darah. program Penyemprotan secara
hati-hati dirancang, dengan persiapan, serangan, dan pengawasan atau tahap
konsolidasi6).

Anda mungkin juga menyukai