Anda di halaman 1dari 20

Koagulasi Intravaskular Diseminata

Benjamin M. Boral, DO; Dennis J. Williams, MD; Leonard I.

Boral, MD, MBA Am J Clin Pathol. 2016;146(6):670-680.

Abstrak dan Pendahuluan


Abstrak
Tujuan : Memberikan tinjauan dari definisi, patofisiologi, diagnosis dan pengobatan koagulasi
intravena diseminata / disseminated intravascular coagulation (DIC).
Metode : Sebuah skenario dan tinjauan literatur terkait dengan fakta-fakta yang bersangkutan
tentang DIC yang telah disediakan.
Hasil : DIC adalah proses patofisiologi sistemik dan bukan penyakit tunggal, yang dihasilkan
dari aktivasi koagulasi yang berlebih dari trombosit dan faktor koagulasi dan menyebabkan
trombus fibrin pada pembuluh darah kecil, yang dapat menyebabkan gejala disfungsi multiorgan
dari iskemik jaringan. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan DIC akut termasuk syok
septik, trauma eksanguinasi, luka bakar atau acute promyelocytic leukemia.
Kesimpulan : Hasil stimulasi faktor jaringan yang masif pada trombus intravaskular berlebih,
yang mengatasi sistem antikoagulan dan trombosis. Karena pemakaian dari faktor koagulasi dan
trombosit, DIC juga memiliki fase hemoragik. Pengobatan pasien perdarahan dengan DIC yaitu
penanganan suportif dengan penggunaan komponen darah.

Riwayat Kasus
Seorang pria berusia 44 tahun dengan riwayat hepatitis C, sirosis dan penyakit ginjal kronis
mencari pengobatan di ruang gawat darurat untuk perubahan status mental dan tingkat amonia
lebih dari 400 mol/L (11-51 mol/L). Pasien diberi laktulosa ; Namun, status mentalnya
memburuk ke titik dimana ia diperlukan intubasi. Tanda-tanda vital pada saat masuk ke unit
perawatan intensif / intensive care unit (ICU) pada 23 Oktober yaitu sebagai berikut : tekanan
darah 120/84 mmHg; denyut jantung 107 denyut/menit; laju pernapasan 18 kali/menit; dan suhu
97,8 F. Berikut hasil laboratorium yang diperoleh (kisaran referensi dalam tanda kurung) pada
saat masuk : WBC 20,1 109/L (3,7-10,3 109/L); natrium 111 mmol/L (136-145 mmol/L);
kalium 5,7 mmol/L (3,7-4,8 mmol/L); hemoglobin (Hb) 13,5 g/dL (13,7-17,5 g/dL pada pria);
jumlah trombosit 253 109/L (155-369 109/L); rasio normalisasi internasional / international
normalized ratio (INR) 1,4 (0,9-1,2); prothrombin time (PT) 13,5 detik (9,6-12,5 detik);
activated partial thromboplastin time (aPTT) 34 detik (19-30 detik); dan kreatinin 5,8 mg/dL
(0,8-1,3 mg/dL). Pada tanggal 23 Oktober, pasien mulai diberikan vancomycin, piperacillin/
tazobactam dan cairan karena fokus terhadap sepsis yang berhubungan dengan gejala respon
inflamasi sistemik dan kegagalan multiorgan, serta nilai-nilai laboratorium menunjukkan jumlah
WBC yang tinggi dan peningkatan laktat sampai 8 mmol/L (0,5-1,6 mmol/L). Tanda-tanda vital
memburuk selama 24 jam ke depan, dan ia menjadi hipotensi, memerlukan pengobatan dengan
norepinefrin dan 6 L normal saline pada tanggal 24 Oktober fungsi ginjalnya terus menurun,
dimana ia menerima terapi penggantian ginjal pada tanggal 25 Oktober. Nilai laboratorium pada
tanggal 25 Oktober konsisten dengan DIC, menunjukkan penurunan yang signifikan pada
hemoglobin, fibrinogen dan trombosit dan peningkatan PT, aPTT, INR dan lactate
dehydrogenase (LDH). Tidak terdapat petekie. Parasentesis dilakukan untuk menyingkirkan
perdarahan peritoneal dan cairan merah (terbukti adanya sel darah merah di laboratorium)
tercatat pada faucet. Hal ini dirasakan bahwa pasien memiliki perkembangan spontaneous
multifocal hemoperitoneum pada DIC sekunder, dan ia diberi pack red cell, fresh-frozen plasma,
cryoprecipitate, trombosit, dan vitamin K untuk mengobati perdarahan peritonealnya, yang mana
dihentikan pada tanggal 26 Oktober selama beberapa hari berikutnya. Ia terus membutuhkan
norepinefrin, tapi akhirnya tanda-tanda vital dan nilai laboratorium stabil. Selama beberapa hari
berikutnya, ia secara klinis tampak membaik, namun ia ditemukan memiliki beberapa infeksi,
termasuk Vancomycin-resistant Enterococcus (VER) pada kultur darah, pada perlindungan
alveolar lavage ditumbuhi Stenotrophomonas maltophilia dan VRE, cairan peritoneal
berkembang Acinetobacter dan pertumbuhan Candida glabrata pada urinalisis. Pada tanggal 29
Oktober, ia mulai daptomycin, linezolid, trimethoprim/sulfamethoxazole dan fluconazole untuk
mengobati infeksi saat ini, dan vancomycin dan piperacillin/tazobactam dihentikan.
Hemodinamiknya tetap stabil, sehingga diambil pressors dan diekstubasi pada tanggal 1
November. Dia dalam proses transfer dari ICU, tapi semalam pasien mengalami penurunan
kesadaran dan hipotensi. Berikut nilai laboratorium (referensi kisaran) yang diperoleh lama
setelah tengah malam pada tanggal 4 November : INR 2,6 (0,9-1,2); PT 25,9 detik (9,6-12,5
detik); aPTT 44 detik (19-30 detik); Hb 5,8 g/dL (13,7-17,5 g/dL); jumlah trombosit, 34 10 9/L
(155-369 109/L); D-dimer 8,6 mg/L (<1,5 mg/L); dan fibrinogen 53 mg/dL (150-450 mg/dL).
Diagnosis DIC dengan rebleed dari peritoneum dapat dibuat. Fresh-frozen plasma,
cryoprecipitate, trombosit dan pack red cell bisa diberikan, tetapi pasien bisa terkena serangan
jantung dan meninggal sebelum semua produk darah dapat diberikan.

Tabel 1. Ringkasan data laboratorium pasien terkait dengan koagulasi intravaskular diseminata
Catatan bahwa reagen prothrombin time mengandung heparin neutralizer.

Pertanyaan kasus :
1. Bagaimana hemostasis normal yang terjadi ?
2. Apa definisi dari DIC ?
3. Bagaimana membedakan DIC akut dari DIC kronis ?
4. Apa patofisiologi dari DIC ?
5. Apa kondisi predisposisi untuk DIC ?
6. Apa diagnosis banding untuk DIC ?
7. Bagaimana pengobatan DIC ?

Hemostasis Normal

Untuk memahami DIC, awal yang baik yaitu meninjau fisiologi normal pembentukan
pembekuan. Hemostasis normal adalah sebuah proses lokal yang menghasilkan plak trombosit
primer melalui adhesi dan agregasi trombosit diikuti oleh bekuan fibrin sekunder melalui
aktivasi dari kaskade koagulasi, yang terjadi dalam serangkaian tahapan enzimatik yang
mengarah pada pembentukan trombin. Trombin kemudian mengubah fibrinogen terlarut ke
bekuan larut polimer fibrin, yang membentuk mesh yang menggabungkan plak trombosit yang
dibentuk sebelumnya serta sel darah merah, jika ada. Secara tradisional, hemostasis sekunder
kaskade koagulasi ini mulai diinisiasi dengan baik melalui faktor jaringan / tissue factor (TF)
yang dilepaskan ke dalam aliran darah, yang mengaktifkan faktor VII dan kemudian sistem
ekstrinsik, atau melalui gangguan paparan kolagen endotel dan subendotel secara langsung ke
darah. Hal ini menghasilkan agregasi trombosit, yang di masa lalu telah dianggap aktifasi faktor
XII secara in vivo dan kemudian sisanya kaskade intrinsik (kontak).
Gambar 1.

Kaskade koagulasi menunjukkan aktifasi faktor koagulasi dalam plasma : jalur intrinsik,
ekstrinsik dan umum. a, Faktor aktifasi : HMWK (high molecular weight kininogen); II,
Prothrombin; IIa, thrombin; K, Kallikrein; PK, Prekallikrein; TF, tissue factor.

Hari ini, pemikiran bahwa hemostasis sekunder secara in vivo terjadi terutama melalui aktivasi
TF dari sistem dasar sel, bahkan jika terdapat kerusakan endotel. [1] Di sini, TF dianggap sebagai
bagian lipoprotein dari membran sel, salah satu yang dilepas pada kerusakan sel, termasuk sel-
sel endotel, atau dikeluarkan ke dalam darah oleh trombosit dan/atau monosit setelah stimulasi.
Faktor VII kemudian diaktifkan dan melalui serangkaian reaksi enzim pada membran sel yang
melibatkan aktivasi beberapa faktor koagulasi (X, IX, XI dan protrombin), trombin dibentuk dan
kemudian bekuan fibrin. Faktor V dan VIII adalah katalis nonenzim dalam model ini, dan faktor
XII bukan bagian dari koagulasi baru sistem in vivo. Peran utama dari sistem kontak (faktor XII,
high molecular weight kininogen [HMWK], dan prekallikrein [PK]) adalah untuk meningkatkan
respon inflamasi dengan menstimulasi kemotaksis neutrofil dan mengaktifkan komplemen
sistem C1, C3, dan C5 dan untuk mendorong perbaikan pembuluh darah. HMWK dapat diubah
secara enzimatik oleh faktor XIIa, faktor XIa, dan/atau kallikrein untuk menghasilkan
bradikinin, sebuah agen vasoaktif yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah, meningkatkan
permeabilitas vaskular (seperti yang terlihat dalam peradangan) dan sel-sel endotel untuk
melepaskan aktivator plasminogen jaringan / tissue plasminogen activator (TPA). Oleh karena
itu, aktivasi faktor XII in vivo terutama diduga terkait dengan peradangan dan perbaikan
pembuluh darah daripada koagulasi. Di sisi lain, dalam tabung tes (in vitro), tes koagulasi
berbasis plasma, aPTT, akan sangat berkepanjangan jika ada kekurangan faktor XII. Faktor XII
diperlukan dalam tahap pertama (kontak) dari jalur koagulasi intrinsik in vitro tetapi berpikir
untuk memainkan peran kecil, jika ada, dalam pembentukan bekuan fisiologis normal in vivo.
Namun, karena pencegahan pembentukan trombus patologis dalam kekurangan faktor XII pada
tikus, faktor XII mungkin memainkan peran dalam penyebaran patologis dan stabilisasi trombus
fibrin pada stroke iskemik dan emboli paru.[2] Penghambatan faktor XII sedang diselidiki sebagai
terapi antikoagulan yang tidak akan meningkatkan risiko perdarahan.[3]

Setelah bekuan fibrin dihasilkan, itu distabilkan oleh hubungan silang kovalen melalui aksi
faktor XIII. Tahap terakhir dari proses penyembuhan yaitu untuk pembekuan darah harus
dirombak kembali dan diserap kembali oleh fibrinolisis sehingga tiada hambatan aliran darah
melalui pembuluh yang awalnya rusak dapat dibangun kembali. Protein plasma plasminogen,
prekursor tidak aktif ke agen fibrinolisis aktif plasmin, terikat fibrinogen dan fibrin sehingga
digabungkan ke dalam bekuan. Ketika sel-sel endotel cedera, mereka melepaskan TPA, yang
menyebabkan plasminogen di bekuan akan dikonversi ke plasmin dan mencerna hubungan
silang bekuan fibrin untuk membentuk produk degradasi fibrin yang larut. Setiap peredaran
bebas plasmin dengan cepat dinonaktifkan oleh plasma 2-antiplasmin, dibentuk di hati, dan
plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1), dari sel-sel endotel, menghambat aktivitas TPA.[1]

Ada keterkaitan umum antara inisiasi koagulasi, komplemen aktivasi, dan respon inflamasi,
sehingga ketika salah satu diaktifkan, yang lain distimulasi seperti pada gambar 2. Mereka
berinteraksi melalui mekanisme yang dikenal sebagai "crosstalk" seperti yang ditunjukkan pada
gambar 3.[4]

Gambar 2.

Keterkaitan umum antara inisiasi koagulasi, komplemen aktifasi dan respon inflamasi

Gambar 3.
Crosstalk antara koagulasi, aktivasi komplemen, dan peradangan. Dimodifikasi dari Kurosawa S
dan Stearns-Kurosawa DJ.4 sebuah, faktor diaktifkan ; Damps, damage-associated molecular
patterns; PAMPS, pathogen-associated molecular patterns.

Pada dasarnya, hemostasis primer (agregasi trombosit) menstimulasi hemostasis sekunder


(kaskade faktor koagulasi) melalui TF/faktor VIIa serta peradangan melalui faktor XIIa/
kallikrein/bradikinin/mekanisme C3a.[4] Komplemen dapat melisiskan sel dan/atau bakteri, yang
dilepaskan damage-associated molecular patterns (DAMPs) dan/atau pathogen-associated
molecular patterns (PAMPs) serta fosfolipid, yang mana semua dapat menstimulasi hemostasis
sekunder. DAMPs memperingatkan sinyal bahwa telah terjadi kerusakan sel, dan reseptor
DAMP, ketika diaktifkan, menyebabkan jalur sinyal seluler untuk memulai aksi fisiologis hasil
dari kerusakan penahanan dan perbaikan, yang meliputi peradangan, respon imun dan koagulasi.
Sebuah subset dari DAMPs adalah PAMPs terdiri dari molekul mikroba yang menandakan
adanya invasi organisme pada multisel hewan. PAMPs terdeteksi oleh sistem kekebalan tubuh
melalui reseptor Toll-like, yang mengaktifkan jalur sinyal selular, menciptakan kedua respon
inflamasi dan imun. Respon imun memproduksi antibodi spesifik dan sel T yang spesifik untuk
menghancurkan patogen yang mengganggu sebagai respon inflamasi yang bersifat umum. [5]
Kedua trombin dan plasmin dapat menstimulasi C5a untuk menciptakan lebih banyak lisis sel.
DIC
Definisi dan Latar Belakang

Pada tahun 2001, International Society on Thrombosis and Hemostasis (ISTH) mengusulkan
definisi dari DIC termasuk trombosis mikrovaskular. "DIC adalah sindrom yang diperoleh
ditandai dengan aktivasi intravaskular koagulasi tanpa lokalisasi tertentu dan timbul dari
penyebab yang berbeda. Hal ini dapat berasal dari dan menyebabkan kerusakan pada
mikrovaskulatur, yang jika cukup parah, dapat menyebabkan disfungsi organ."[6]

Respon cedera pada dinding pembuluh darah, pembekuan terjadi hanya sebagai fenomena lokal,
sebagai bagian dari penyembuhan normal, karena ada banyak pemeriksaan dan penyeimbangan
untuk mencegah perluasan dari mekanisme plak hemostatik ke seluruh sistem intravaskular.
Patofisiologi DIC, dalam hal sederhana, adalah penyakit yang mendasari stimulasi seperti
aktivitas prokoagulan yang kuat dari hasil trombin yang berlebih, yang kemudian mengalahkan
mekanisme kontrol antikoagulan protein C (PrC), antitrombin (AT), dan tissue factor pathway
inhibitor (TFPI), yang memungkinkan trombosis untuk bebas mengambil tempat sepanjang
pembuluh darah.[1] Pada DIC, ada perlawanan antara keadaan trombin berlebih, yang secara
klinis memanifestasikan dirinya sebagai trombosis, emboli, dan oklusi mikrovaskular oleh
trombus fibrin, yang mengarah ke sindrom disfungsi multiorgan / multiorgan dysfunction
syndrome (MODS) dari iskemia jaringan, dan gangguan perdarahan dari penipisan trombosit,
pemakaian dari faktor koagulasi, dan/atau percepatan pembentukan plasmin.[7] Kedua trombosis
dan perdarahan didapatkan pada pasien yang sama. DIC merupakan manifestasi / gejala / tanda
dari suatu yang mendasari proses patologis, seperti demam, dan bukan merupakan kesatuan
penyakit tertentu. Jika penyebab penyakit atau kondisi berhasil diobati, DIC akan hilang.

Kelainan laboratorium ini "consumption coagulopathy" termasuk pemanjangan aPTT dan


PT/INR, penurunan jumlah trombosit dan fibrinogen, dan peningkatan produk degradasi fibrin,
termasuk D-dimer (degradasi plasmin dari hubungan silang fibrin).

Dalam literatur lama, DIC juga dikenal sebagai sindrom defibrinasi, afibrinogenemia yang
didapat, consumptive coagulopathy, dan gangguan trombohemoragik.[1]

Penyakit yang mengakibatkan kedua trombosis dan perdarahan telah diakui selama berabad-
abad, terutama diantaranya adalah "black plague" dari Abad Pertengahan dengan gejala gangren
pada jari-jari serta perdarahan menyeluruh di organ. Hal ini masih kontroversial apakah
penyebab plak ini dari Yersinia pestis, penyebaran dengan gigitan rat flea, atau dari Ebola-like
hemorrhagic virus.[8]

DIC pada percobaan awal dipicu oleh M. Dupuy pada tahun 1834 ketika ia menyuntik secara
intravena jaringan otak ke hewan, hasilnya tampak pembekuan di seluruh pembuluh darah. Pada
tahun 1873, B. Naunyn menyuntik secara intravena sel darah merah yang dilarutkan dan
mengamati trombosis diseminata. A. Trousseau pada tahun 1865 menggambarkan pasien dengan
keganasan lanjut, multipel trombosis, dan tendensi darah untuk membeku. Pada tahun 1961,
Lasch et al memperkenalkan konsep consumption coagulopathy sebagai mekanisme yang
mengarah ke perdarahan pada DIC.[1]

DIC relatif jarang pasien dirawat di rumah sakit umum tetapi menyumbang 9% sampai 19% dari
penerimaan ICU dan memiliki tingkat kematian yang tinggi dari 45% menjadi 78%.[9]

DIC akut vs kronis

DIC akut adalah keadaan consumption coagulopathy dimana trombin berlebih yang dihasilkan
ke tingkat yang lebih tinggi untuk mengatasi antikoagulan alami dalam jumlah besar yang secara
normal ada dalam plasma.[10] DIC akut biasanya dipicu oleh pelepasan faktor jaringan dalam
jumlah besar ke ruang intravaskular, yang menyebabkan deposisi menyeluruh dari trombus
fibrin di mikrovaskularisasi yang berkontribusi pada disfungsi multiorgan.[10,11] MODS paling
sering melibatkan paru-paru dan ginjal diikuti oleh otak, jantung, hati, limpa, adrenal, pankreas,
dan saluran gastrointestinal (GI).[10]

Trombin memiliki aksi prokoagulan secara umum sebagai berikut[12] (lihat gambar 1) :
1. Mengubah fibrinogen ke fibrin
2. Mengaktifkan faktor V, VIII dan XI untuk stimulasi pembentukan trombin selanjutnya
3. Mengaktifkan faktor XIII untuk stimulasi hubungan silang fibrin
4. Menyebabkan agregasi trombosit, yang menginduksi sistem kaskade koagulan untuk
menghasilkan lebih banyak trombin

Aksi trombin ini menyebabkan aktivasi berlebih faktor koagulasi, menghasilkan produksi
trombin berlebih dan kemudian bekuan fibrin yang lebih. Hal ini akhirnya menyebabkan
fibrinolisis, dimana trombus fibrin dipecah oleh plasmin dengan pelepasan selanjutnya dari
fibrin degradation products (FDPs). Ketika intravaskular, FDPs ini dapat menghambat
polimerisasi fibrin serta agregasi trombosit dengan mengganggu reseptor fibrinogen GPIIbIIIa. [7]
FDPs ini, sesuai dengan pemakaian trombosit, fibrinogen, dan faktor koagulasi, berkontribusi
lebih pada gejala umum yang terlihat di DIC akut : perdarahan.

Situasi induksi trombin lainnya meningkatkan aktivitas pembentukan bekuan pada DIC.
Trombin proteolitik memotong reseptor G-protein-coupled ekstraselular pada platelet called
protease-activated receptors (PARS), yang kemudian mengubah stimulus menjadi perintah
sinyal intraseluler yang meliputi pelepasan interleukin (ILs) : IL-1 dan IL-6. Hal ini mengarah ke
aktivitas proinflamasi dengan peningkatan aktivasi trombosit dan adhesi leukosit.[13] Trombin
menyebabkan pelepasan PAI-1 dari sel endotel dan mengaktifkan thrombin-activatable
fibrinolysis inhibitor (TAFI) dalam plasma, yang keduanya merusak aktivasi plasminogen,
sehingga mengurangi kelarutan bekuan dari plasmin. Selain itu, DIC menyebabkan pemakaian
dari AT dan peregulasian dari sistem PrC, mengurangi kemampuan tubuh untuk menghentikan
pengubahan trombin. Produksi AT dapat berkurang sebagai konsekuensi dari hepatik MODS dan
dapat didegradasi oleh pelepasan enzim dari neutrofil. TFPI juga dapat dikurangi dalam DIC.

Syok sering terjadi pada DIC dan dapat menyebabkan gangguan klirens faktor jaringan, aktivasi
faktor koagulasi, dan FDP oleh makrofag sistem retikuloendotelial limpa dan hati, sehingga
semakin menegakkan DIC.[7] Syok bisa disebabkan oleh stimulasi berlebihan dari sistem kontak
(faktor XII, HMWK, dan PK), menghasilkan produksi bradikinin dalam jumlah besar, yang tidak
dapat dihambat oleh adanya konsentrasi normal dari angiotensin-converting enzyme. Syok
mungkin berespon terhadap sindrom hiperfibrinolisis oleh pelepasan TPA dari sel endotel dan
amplifikasi dari sistem PrC ketika ada hipoperfusi dari sel endotel. Dalam banyak situasi,
sindrom hiperfibrinolisis terjadi pada tahap selanjutnya dari DIC, tetapi pada trauma akut
koagulopati, hiperfibrinolisis biasanya terjadi pada fase awal dari trauma, sehingga
menimbulkan hiperkoagulabilitas pada tahap berikutnya karena peningkatan berkelanjutan pada
PAI-1.[14 ]

Hasil DIC akut pada pemakaian cepat trombosit dan faktor koagulasi sehingga pada saat
diagnosis, jumlah trombosit bisa kurang dari 50.000/L (10%-15% dari kasus), PT dan aPTT
bisa sangat memanjang, dan D-dimer tinggi. [10,15] Namun, penting untuk diingat bahwa aPTT
dan, lebih jarang, PT bisa memanjang . Platelet-poor plasma test, PT dan aPTT, baik
merefleksikan tingkat faktor pada jalur umum dari pembekuan : faktor X, V, dan II (protrombin)
dan fibrinogen (lihat Gambar 1). Ini adalah jalur "umum" untuk kedua sistem ekstrinsik dan
intrinsik yang mengakibatkan aktivasi trombin dan konversi fibrinogen menjadi fibrin. Selain
itu, PT merefleksikan tingkat faktor VII pada jalur ekstrinsik. Dalam jalur ini, faktor VII
diaktifkan oleh faktor jaringan, yang kemudian dilanjutkan melalui jalur umum, yang
menyebabkan aktivasi trombin dan pembentukan bekuan fibrin. Selain itu, aPTT melangkah ke
jalur intrinsik, yang meliputi faktor XII, XI, IX, dan VIII. Dalam jalur ini, faktor XII diaktifkan
oleh kolagen atau polifosfat, yang akhirnya mengarah pada aktivasi jalur umum dan
pembentukan bekuan fibrin. PT dan aPTT keduanya memanjang pada DIC karena mengandung
faktor koagulasi yang telah digunakan : faktor V, faktor VIII, dan fibrinogen.

Dalam DIC akut, aktivitas trombin ini juga meningkat karena penurunan antitrombin dari (1)
pemakaian AT, (2) degradasi AT dari pelepasan elastase neutrofil, dan (3) penurunan produksi AT
oleh hati karena trombosis mikrovaskular. Selain itu, jalur PrC dari inaktivasi trombin berkurang
oleh penurunan regulasi trombomodulin oleh sitokin proinflamasi tumor necrosis factor , IL-1,
dan IL-6 serta oleh penurunan protein S secondary bebas menjadi protein S yang terikat dengan
peningkatan complement C4b-binding protein, reaksi fase akut.[1] Sitokin proinflamasi
menginduksi sel-sel endotel untuk melepaskan PAI-1. Sel endotel kapiler merupakan mediator
untuk hubungan silang dua arah antara koagulasi dan sistem inflamasi.[13]

D-dimer adalah tipe spesifik dari produk degradasi fibrin yang terdiri dari monomer fibrin
terpolimerisasi yang telah berhubungan silang oleh aktivasi faktor XIII dan kemudian dipecah
oleh plasmin.[15] Oleh karena itu, D-dimer hanya diproduksi ketika tiga enzim yang berfungsi :
trombin, faktor XIIIa, dan plasmin. Oleh karena itu D-dimer diciptakan setelah koagulasi
intravaskular dan pembentukan bekuan darah yang baru terjadi. D-dimer meningkat di sejumlah
kondisi di mana terjadi pembentukan bekuan, termasuk trombosis arteri atau vena, preeklampsia,
eklampsia, dan DIC. Namun, D-dimer juga dapat dihasilkan selama koagulasi ekstravaskular dan
pembentukan bekuan dan umumnya meningkat pada pasien rawat inap tanpa trombosis
intravaskular yang jelas. Skenario tersebut termasuk trauma, operasi, penyembuhan, dan
peradangan. Peningkatan kadar D-dimer juga dapat terlihat pada penyakit hati yang berat akibat
penurunan klirens dari D-dimer. Tidak adanya D-dimer sangat berguna sebagai alat prediksi
negatif untuk menyingkirkan diagnosis DIC. Peningkatan kadar berguna dalam membantu
mengkonfirmasi diagnosis terduga DIC.

DIC kronis dapat berkembang ketika tubuh terpapar trombin dalam jumlah kecil untuk waktu
yang lama (misalnya, keganasan, metastasis, kematian janin dalam rahin, vaskulitis, aneurisma,
hemangioma, dan area penyembuhan yang luas seperti hematoma bagian paha atau
retroperitoneal).[10] Sedangkan faktor koagulasi dan pemakaian trombosit, tidak cepat seperti
yang terlihat pada DIC akut, dan tubuh mampu mengkompensasi sebagian melalui peningkatan
produksi faktor koagulasi, trombosit, antitrombin, dan antiplasmin. Selain itu, FDPs masih
efisien dibersihkan oleh hati. Oleh karena itu, trombosis biasanya mendominasi perdarahan pada
DIC kronik, dan syok sering tidak ada pada pengaturan ini. Bahkan, mungkin tidak ada gejala,
dan PT dan aPTT mungkin hanya sedikit memanjang atau normal, membuat diagnosis
laboratorium DIC membingungkan. Jumlah trombosit biasanya hanya sedikit menurun pada DIC
kronik.

DIC akut awalnya dalam keadaan hiperkoagulasi dimana trombus fibrin terbentuk pada arteriola
dan kapiler, sering mengakibatkan iskemia dan kegagalan multiorgan. Seperti sel darah merah
didorong melalui pembuluh darah kecil yang membahayakan mikrovaskulatur, mereka dapat
dipecah untuk membentuk schistocytes (sel darah merah rusak ; Gambar 1), mengakibatkan
microangiopathic hemolytic anemia (MAHA). Oleh karena itu DIC akut merupakan MAHA
trombotik karena terdapat trombositopenia selain pembentukan schistocytes. Hemoglobin bebas
yang dilepaskan dalam proses hemolitik ini meningkatkan keadaan hiperkoagulasi oleh
penggabungan dengan nitric oxide (endothelial relaxing factor). Pengeluaran nitric oxide
intravaskular oleh hemoglobin bebas dapat menyebabkan spasme pembuluh darah dan aktivasi
trombosit. Tes abnormal lainnya pada DIC akut berhubungan dengan hemolisis dan meliputi
peningkatan LDH serum dan hiperbilirubinemia.

Gambar 1. Schistocytes pada apusan darah tepi 100. Hingga tiga schistocytes per bidang
dengan pembesaran kuat adalah normal. Tanda panah menunjukkan lebih dari 10 schistocytes
per bidang dengan pembesaran kuat. Gambar diambil dengan menambahkan minyak emersi
pada 100.
Kondisi utama yang terkait dengan DIC akut dapat terlihat. Manifestasi klinis dari DIC akut
dapat ditemukan dalam banyak cara, tetapi yang paling umum adalah petekie/purpura,
perubahan status mental, kelemahan umum, perdarahan organ dalam dan/atau mukosa/kulit, dan
hipotensi. Diagnosis DIC dibuat melalui kumpulan beberapa faktor, termasuk riwayat kesehatan,
tanda-tanda umum dan gejala, dan tes laboratorium. Tidak ada tes tunggal untuk mendiagnosis
DIC. Lihat hasil uji laboratorium terkait koagulasi pada DIC.

Tabel 2. Kondisi utama yang sering berhubungan dengan DIC akut


Kondisi
Infection gram-negative, septic shock, Rickettsia, gram-positive, fungi, viruses, malaria
ABO - incompatible transfusion reaction
Acute pancreatitis
Septic abortion, amniotic fluid embolism
Acute promyelocytic leukemia
Brain injury
Trauma and crush injury
Burns
Hypothermia/hyperthermia
Fat emboli
Vascular tumors
Snake bite venom
Transplant rejection
Tabel 3. Hasil laboratorium terkait dengan koagulasi pada DIC
Uji Hasil
Platelet count Decreasedconsumed
Activated partial thromboplastin time Prolonged
Prothrombin time Prolonged
Prolongeddue to low fibrinogen and elevated D-
Thrombin time
dimer
Fibrinogen Decreasedconsumed
Coagulation factors Decreasedconsumed
Fibrin degradation products Increased
D-dimer Increased
Thrombin generation markers Increased
Antithrombin Decreasedconsumed
Protein C Decreasedconsumed
Protein S Decreasedconsumed
Decreased by neutrophil elastase + proinflammatory
Thrombomodulin, endothelial
cytokines
TPA trauma Early DICincreased Late DICdecreased
PAI-1 trauma Early DIClow levels Late DICelevated

DIC, disseminated intravascular coagulation ; PAI-1, plasminogen activator inhibitor 1 ; TPA,


tissue plasminogen activator.

Biasanya, hanya uji laboratorium koagulasi rutin yang dilakukan untuk mengevaluasi DIC
adalah jumlah trombosit, prothrombin time, Activated partial thromboplastin time, fibrinogen,
dan D-dimer.

Bagi dokter yang tidak berpengalaman dalam membuat diagnosis DIC, ada dua algoritma
terkenal yang tersedia untuk membantu. ISTH memiliki sistem penilaian DIC terkait dengan
apakah ada gangguan yang mendasari penyebab DIC, tingkat trombositopenia, tingkat
fibrinogen, tingkat pemanjangan PT, dan apakah ada peningkatan penanda terkait fibrin.[6]

Algoritma diagnostik DIC akut yang diusulkan oleh Scientific Subcommittee pada DIC dari
ISTH dapat dilihat.[6] Algoritma ini mengharuskan pasien memiliki penyakit yang diketahui
terkait dengan DIC dan menggunakan tes koagulasi umum. Algoritma ISTH DIC ini telah
terbukti 93% sensitif dan 97% spesifik untuk diagnosis yang jelas (akut) DIC.[16]

Tabel 4. Algoritma DIC akut yang diusulkan oleh International Society on Thrombosis and
Haemostasis
Algoritma
1. Presence of an underlying disorder known to be associated with DIC?
If yes: proceed. If no: do not use this algorithm
2. Global coagulation results:
a. Platelet count (>100,000/L = 0, <100,000/L = 1, <50,000/L = 2)
b. Fibrin degradation products such as D-dimer (no increase = 0, moderate increase = 2,
strong increase = 3)
c. Prolonged prothrombin time (<3 seconds = 0, >3 seconds = 1, >6 seconds = 2)
d. Fibrinogen level (>1.0 g/L = 0; <1.0 g/L = 1)
DIC, disseminated intravascular coagulation.
Interpretasi algoritma : skor 5 atau lebih tinggi kompatibel dengan DIC akut. Algoritma kadang
dapat diulang jika DIC akut masih dipertimbangkan dan perubahan nilai laboratorium.
Dimodifikasi dari Taylor et al.[6]

Algoritma DIC akut lainnya telah diusulkan oleh The Japanese Association for Acute Medicine.
Sistem penilaian didasarkan pada apakah gejala respon inflamasi sistemik ada, tingkat
trombositopenia, jumlah peningkatan produk degradasi fibrin, dan apakah INR lebih dari 1,2.
Diagnosis banding untuk DIC akut pertama harus dikeluarkan (lihat bagian berikutnya).[17]

Diagnosis Banding DIC


Bentuk lain dari MAHA Trombotik

Selain DIC akut, penyakit-penyakit berikut dianggap bagian dari kelompok MAHA trombotik,
yang menunjukkan trombositopenia dengan peningkatan schistocytes dari pembentukan trombus
pada mikrovaskulatur.

Tabel 5. Hasil laboratorium yang digunakan untuk mengevaluasi diagnosis banding dari DIC
Diagnosis Platelet Count PT aPTT Fibrinogen
DIC
TTP, HUS, aHUS N N N
ITP N N N
Cirrhosis N to
Heparin N N to a N
Coumadin N N
HIT N to a N
aHUS, atypical hemolytic uremic syndrome ; aPTT, activated partial thromboplastin time ; DIC,
disseminated intravascular coagulation ; HIT, heparin-induced thrombocytopenia ; HUS,
hemolytic uremic syndrome ; ITP, immune thrombocytopenic purpura ; N, normal ; PT,
prothrombin time ; TTP, thrombotic thrombocytopenic purpura ; , menurun ; , meningkat.
Jika penetralisir heparin ada pada reagen PT, maka PT akan normal terhadap heparin.

Thrombotic thrombocytopenic purpura. Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP) yang


didapat adalah suatu kondisi dimana terdapat penurunan aktivitas proteolitik dari von Willebrand
factor (vWF) yang memecah enzim protease, ADAMTS13, dalam plasma. [18] Hal ini paling
sering disebabkan oleh autoantibodi baik blok secara langsung aktivitas atau mempercepat
klirensnya. Akibat penurunan aktivitas ADAMTS13, ketika vWF dilepaskan dari sel endotel,
tidak dipecah ke bentuk fungsional yang lebih kecil. Ini multimer vWF yang lebih besar karena
trombosit melalui agregasi seluruh pembuluh darah, yang mengarah ke difusi pembentukan
trombus fibrin (bukan trombus fibrin pada DIC), iskemia organ yang terkena, dan penurunan
yang berat dari jumlah trombosit, biasanya kurang dari 20.000/L pada saat diagnosa. Faktor
koagulasi tidak dipakai sehingga PT dan aPTT tetap normal. Tidak jelas apa yang memicu TTP,
tetapi beberapa faktor berikut mungkin memainkan peran :
a. Kehamilan, penyakit akibat virus, kanker, human immunodeficiency virus (HIV), lupus, dan
infeksi bakteri.
b. Prosedur medis, seperti operasi dan transplantasi sumsum tulang belakang/stem cell.
c. Obat-obatan seperti kemoterapi, tiklopidin, klopidogrel, siklosporin, terapi hormon dan
estrogen, dan kina.

Aktivitas ADAMTS13 dapat diukur, dan aktivitas kurang dari 5% sampai 10% serta adanya
autoantibodi bisa sangat spesifik untuk diagnosis. Namun, aktivitas ADAMTS13 sering dikirim
keluar untuk diuji dan dapat diambil sehari. Akibatnya, pengobatan, terdiri dari pertukaran
plasma setiap hari dengan fresh-frozen plasma (FFP) sampai jumlah trombosit naik ke
150.000/L, sering dimulai sebelum hasil ADAMTS13 tersedia. FFP pertukaran plasma
menyelamatkan nyawa dalam 90% kasus TTP.[18] Biasanya, pasien dengan TTP dapat memiliki
temuan sebagai berikut : anemia, lebih dari tiga schistocytes per bidang dengan pembesaran kuat
pada pemeriksaan apusan darah tepi, trombositopenia berat, peningkatan kreatinin (cedera ginjal
akut), demam, perubahan tanda-tanda neurologis, peningkatan LDH, dan penurunan yang berat
aktivitas ADAMTS13 (<5%-10%). Pada pasien dengan gejala terduga TTP, hanya
trombositopenia berat dan MAHA biasanya diperlukan terapi pertukaran plasma untuk inisiasi.
Bentuknya yang diperoleh menunjukkan antibodi untuk ADAMTS13, tetapi bentuk kongenital
yang sangat jarang, Schulman-Upshaw syndrome, tidak memiliki antibodi ADAMTS13.
Peningkatan pada PT dan aPTT bukan bagian dari TTP.

Hemolytic Uremic Syndrome, tipikal. Tipikal Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) disebabkan
oleh toksin Escherichia coli Shiga, kadang-kadang ditemukan dalam daging hamburger matang
dan berasal dari kotoran sapi.[19] Toksin yang dihasilkan dapat menyebabkan kerusakan langsung
sel ke mikrovaskulatur ginjal, saluran pencernaan, dan sistem organ lainnya. Ciri khas dari
penyakit ini adalah diare, cedera ginjal akut, dan trombositopenia berat. Tipikal HUS lebih
umum ditemukan pada anak-anak tetapi tidak terjadi pada orang dewasa. ADAMTS13 tidak
mengalami penurunan yang berat dalam kondisi ini, dan anti-ADAMTS13 tidak ada. Pengobatan
yang biasa diberikan hanya suportif. Tidak seperti DIC akut dengan peningkatan pada PT dan
aPTT, tipikal HUS hanya menunjukkan penurunan yang berat pada jumlah trombosit.

Atypical HUS. Bentuk lain dari HUS adalah atypical HUS (aHUS). Hal ini disebabkan oleh
predileksi genetik dimana terjadi penurunan produksi inhibitor komplemen ketika pasien terkena
stimulus stres.[19] Hal ini menyebabkan aktivasi komplemen yang tidak terkontrol dengan
kerusakan sel endotel secara langsung pada ginjal, saluran pencernaan, dan sistem organ lainnya.
Pasien biasanya ditemukan memiliki aktivitas ADAMTS13 lebih dari 11% dan tidak ada anti-
ADAMTS13. Pasien dengan aHUS memiliki gejala yang sama dengan TTP, tetapi gejala GI
(diare berdarah, muntah, sakit perut, dan pankreatitis) dan gagal ginjal akut yang lebih menonjol
daripada TTP. Pertukaran plasma dengan FFP bisa menaikkan jumlah trombosit tapi tidak akan
mencegah gagal ginjal yang berat dan penyakit ginjal stadium akhir. Pengobatan pilihan adalah
eculizumab (anti-C5) karena akan menaikkan jumlah trombosit normal dan juga mencegah
penyakit ginjal stadium akhir jika dimulai pada awal perjalanan penyakit ini. Peningkatan pada
PT dan aPTT bukan bagian dari aHUS.
Pasien dengan TTP, HUS, dan aHUS akan hanya memiliki trombositopenia berat dan tampak
sakit, berbeda dengan orang-orang dengan immune thrombocytopenic purpura (ITP) yang
terlihat sehat. Pada DIC akut pasien sakit dan tidak hanya trombositopenia berat tetapi juga
peningkatan pada aPTT dan PT.

ITP. ITP adalah proses autoimun yang didapat dimana autoantibodi menyerang secara langsung
trombosit pasien sendiri, yang mengarah pada kerusakan. Mungkin juga ada beberapa aspek dari
proses autoimun humoral yang melibatkan megakaryocyte, prekursor trombosit, yang
mengakibatkan produksi trombosit menurun sehingga jumlah trombosit kurang dari 100.000/L.
[20]

Terdapat dua tipe dari ITP. Tipe pertama disebut ITP primer, dan itu merupakan diagnosis
pengecualian yang hanya dapat dibuat ketika ITP sekunder telah disingkirkan. Pada ITP primer,
pasien biasanya sehat dan telah memisahkan trombositopenia dengan apusan darah tepi normal.
Sisa dari hasil pemeriksaan medis biasanya bukan penanda. ITP sekunder dikaitkan dengan
gangguan spesifik atau penyakit yang menyebabkan autoantibodi untuk trombosit. Gangguan
ITP sekunder umum / termasuk penyakit ITP yang diinduksi obat-obatan (lebih dari 1.000 obat-
obatan yang dapat menginduksi trombositopenia, termasuk medikasi over-the-counter, terdaftar
pada US Food and Drug Administration [FDA] Efek berbasis data pada sistem pelaporan
kejadian [www.ouhsc.edu/trombosit]), HIV, virus hepatitis C, Helicobacter pylori, vaksinasi,
myelodysplastic syndrome, leukemia, gangguan limfoproliferatif, anemia aplastik, lupus
eritematosus sistemik, sindrom antifosfolipid, dan variasi umum defisiensi imun. [21] Dalam
kebanyakan kasus ITP sekunder, pasien akan tampak sakit dan akhirnya berkembang pada uji
laboratorium yang abnormal.

Ada beberapa kelainan laboratorium pada pasien yang sangat sakit dengan DIC akut, sedangkan
pasien dengan ITP primer hanya akan menunjukkan trombositopenia dan relatif tampak baik.

Koagulopati pada Sirosis. Proses penyakit lain yang dapat meniru temuan DIC akut adalah
koagulopati yang terlihat pada penyakit hati kronis yang berat. Fibrosis hati menyebabkan
hilangnya hepatosit, yang mengakibatkan penurunan produksi dari vitamin K-faktor pembekuan
dependen (II, VII, IX, dan X), serta faktor pembekuan dan penghambatan yang disintesis hati
lainnya, termasuk fibrinogen ; Faktor V, XI, dan XII ; protein C dan S ; AT ; TAFI ; 2
antiplasmin, PK, kininogen, dan plasminogen ; plasmin inhibitor ; dan ADAMTS13. [13,22] Hal ini
dapat mengakibatkan pemanjangan dari PT dan aPTT. Penurunan jumlah trombosit yang sedang
juga umum pada penyakit hati kronis akibat penurunan produksi thrombopoietin, penyerapan
trombosit dari limpa pada hipersplenisme, kerusakan autoantibodi trombosit, dan/atau
penekanan sumsum tulang belakang dari megakaryocytes.[22] Berikut ini merupakan produksi
lain oleh sel endotel atau diekspresikan pada permukaan mereka : vWF, faktor VIII, TPA, dan
PAI-1. Ini sering meningkat pada penyakit hati kronis dan dapat mengakibatkan disolusi bekuan,
hiperfibrinolisis, dan perdarahan berat. Atau, jika kemudi prokoagulan (peningkatan faktor VIII,
vWF, dan PAI dan penurunan AT, protein C dan S, dan plasminogen) berlaku, maka
hiperkoagulabilitas dan trombosis dapat terjadi.[13,22]
Temuan fisik umum pada pasien dengan penyakit hati kronis termasuk clubbing, eritema palmar,
spider nevi, ginekomastia, distribusi rambut feminisasi, atrofi testis, hati menyusut kecil, dan
anemia. Adapun temuan laboratorium pada sirosis, tidak ada tes diagnostik selain biopsi hati
yang dapat mengkonfirmasi sirosis, tetapi kelainan laboratorium umum termasuk
trombositopenia, peningkatan aPTT dan PT/INR, peningkatan bilirubin, peningkatan aspartate
aminotransferase/alanine aminotransferase (enzim hati), dan penurunan albumin serum.
Seorang pasien dengan enzim hati yang normal yang tidak memiliki manifestasi fisik dari
penyakit hati akan membuat keterlibatan hati seperti penyebab peningkatan aPTT dan PT dan
penurunan jumlah trombosit. Selain itu, faktor VIII (dibuat pada sel endotel dan tidak dalam
hati) mungkin meningkat pada penyakit hati sebagai reaktan fase akut tetapi sementara dan
karena itu penurunan pada DIC.

Antikoagulan

Heparin. Pengobatan heparin untuk mencegah trombosis vena dalam dan infus heparin untuk
menjaga jalur intravena tetap terbuka karena kelainan pada PT dan aPTT dan relatif umum pada
pasien rawat inap, menyebabkan aPTT memanjang yang tanpa riwayat perdarahan. Terapi
heparin mungkin diharapkan untuk pasien dengan pemanjangan PT serta aPTT ; namun, reagen
PT yang umum saat ini mengandung penetral heparin untuk melawan pengaruh dari setiap
adanya heparin atau sebaliknya diproduksi menjadi tidak sensitif terhadap tingkat terapeutik
heparin. Laboratorium koagulasi dapat mengesampingkan efek heparin sebagai penyebab
pemanjangan aPTT oleh pengulangan aPTT setelah menambahkan reagen heparinase. Jika aPTT
kembali ke tingkat normal terhadap adanya heparinase, maka pemanjangan aPTT dikarenakan
heparin.

Paparan heparin juga dapat menyebabkan trombositopenia pada perkembangan pasien dengan
heparin-induced thrombocytopenia (HIT),[23] gangguan hiperkoagulasi dan tidak gangguan
perdarahan. HIT disebabkan oleh autoantibodi yang mengikat faktor trombosit 4 pada kompleks
dengan heparin. Kompleks antigen-antibodi ini kemudian mengaktifkan trombosit, yang
mengarah pada trombositopenia dan trombosis. Trombositopenia dari HIT biasanya berkembang
5-10 hari setelah terpapar dengan jumlah trombosit kurang dari 150.000/L atau 50% penurunan
dari batas normal. HIT lebih sering terlihat setelah terpapar heparin yang tidak terpecah tetapi
juga dapat dilihat setelah terpapar heparin dengan berat molekul rendah. [15,23] Diagnosis dibuat
secara klinis bersama dengan tes laboratorium yang tersedia. Dengan kecurigaan klinis yang
tinggi, manajemen HIT (penghentian atau mengganti heparin dengan antikoagulan lain) harus
dilakukan sebelum hasil uji tersedia.

Pasien dengan pengambilan heparin dengan HIT bisa menunjukkan tidak hanya trombositopenia
tetapi juga peningkatan PT (di laboratorium tidak menggunakan reagen PT dengan penetralisir
heparin) dan aPTT, sehingga sulit untuk membedakan dari DIC akut sampai pasien diambil dari
heparin. Jika ada HIT dan bukan DIC, maka PT dan aPTT harus kembali ke normal.

Coumadin (warfarin)/Vitamin K Deficiency. Warfarin adalah antikoagulan oral yang umum


bekerja dengan menghambat vitamin K reduktase. Ini penghambatan blok regenerasi bentuk
aktif dari vitamin K, yang dibutuhkan untuk karboksilasi dari faktor II, VII, IX, dan X dan
protein C dan S. Sedangkan tingkat antikoagulasi dengan coumadin diukur dengan PT (standar
dengan INR), aPTT juga memanjang.

Pengobatan DIC

Hal ini tidak dianjurkan untuk melakukan transfusi komponen darah sebagai profilaksis karena
risiko dari "fueling the fire" pada DIC akut. Terapi komponen darah harus disediakan untuk
mereka yang memiliki perdarahan, memerlukan prosedur pembedahan, atau berisiko tinggi
untuk komplikasi perdarahan.

Pengobatan utama jangka pendek pada pasien perdarahan dengan DIC akut terutama terapi
komponen darah didasarkan pada temuan penurunan uji laboratorium : INR lebih dari 1,5, FFP ;
jumlah trombosit kurang dari 50.000/L, konsentrat trombosit ; fibrinogen kurang dari 100
mg/dL, kriopresipitat ; hematokrit kurang dari 21%, RBC. Namun, manifestasi dari DIC akan
hilang setelah kondisi yang mendasari terkait dengan sindrom ini diatasi. Oleh karena itu,
menyediakan pasien dengan terapi yang tepat dan sesuai untuk kondisi yang mendasari, seperti
antibiotik pada syok septik, yang paling penting untuk menghentikan gejala DIC, yang mungkin
memakan waktu beberapa hari untuk mengisi faktor konsumtif. [24] Kebanyakan dokter merasa
bahwa setelah mencoba komponen darah, jika pasien masih perdarahan signifikan dan memiliki
bukti sindrom hiperfibrinolisis, seperti yang terlihat pada trauma dalam 3 jam pertama atau pada
karsinoma prostat metastasis dan/atau leukemia promyelositik akut, antifibrinolitik seperti asam
traneksamat dapat diberikan. Epsilon aminokaproat tidak boleh digunakan tanpa heparin secara
bersamaan sesuai dengan paket pemberian. Jika DIC terutama menunjukkan hiperkoagulabilitas,
seperti trombosis vena dalam atau emboli paru dari karsinoma metastasis atau kondisi DIC
kronis lainnya (sindrom janin mati tertahan, aneurisma aorta intraabdomen), makan terapi
heparin dapat dipertimbangkan.

Meskipun penurunan AT plasma pada dosis antara 1.500 dan 3.000 IU/hari selama 3 hari telah
terbukti menurunkan angka kematian 28 hari pada DIC sebesar 10% dan dapat digunakan di
Jepang untuk pengobatan sepsis dengan DIC membawa konsentrasi AT plasma lebih dari 80%,
FDA belum disetujui konsentrat AT untuk tujuan ini di Amerika Serikat.[25]

Tidak semua hasil yang keluar seperti yang diharapkan karena, pada Oktober 2011, Eli Lilly
ditarik rekombinan aktivasi protein C (drotrecogin alfa) dari pasar setelah 9 tahun karena
akhirnya menunjukkan tidak memperbaiki angka kematian jika diberikan untuk septikemia pada
manusia. Di sisi lain, thrombomodulin (TM) larut pada manusia telah berhasil digunakan untuk
pengobatan sepsis - DIC di Jepang sejak tahun 2008, dan rekombinan TM sedang menjalani uji
klinis fase III di Amerika Serikat untuk sepsis berat dengan koagulopati.[26]

Sebuah tinjauan pengobatan eksperimental pada DIC dapat ditemukan pada sebuah artikel 2014
oleh Levi dan van der Poll,[1] dan beberapa belum diuji pada DIC di manusia setelah protein
rekombinan atau antibodi monoklonal yang disetujui untuk digunakan manusia. Mengurangi
kadar faktor XII dan/atau PK tidak mempengaruhi koagulopati atau perdarahan pada sepsis yang
diinduksi bakteri pada hewan tetapi temuan tidak memblokir syok. Namun, memblokir TF atau
faktor VIIa melalui antibodi monoklonal spesifik yang dihasilkan dari penghambatan lengkap
generasi trombin dan pencegahan DIC pada simpanse diinvasi dengan E. coli. Rekombinan TFPI
telah ditunjukkan untuk memblokir generasi trombin pada peradangan dan mencegah kematian
selama DIC yang diinduksi endotoksin pada hewan. Menariknya, tikus dengan defisiensi
aktivator plasminogen yang dihadapkan dengan endotoksin memiliki deposisi fibrin yang lebih
luas pada organ, sementara dengan defisiensi PAI-1 tidak memiliki trombosis mikrovaskular
ketika dihadapkan dengan endotoksin. TAFI, seperti PAI-1, juga dapat berkontribusi untuk
trombosis mikrovaskular yang diinduksi oleh iskemia pada organ mengakibatkan MODS.
Aktivasi protein C, ketika diblokir, meningkatkan respon inflamasi tetapi, jika meningkat dengan
pemberian rekombinan aktivasi protein C, akan menurunkan aktivasi inflamasi pada hewan yang
diinvasi dengan E. coli.

Kesimpulannya, perjalanan klinis DIC antara dari tanpa gejala sampai mengancam nyawa. Hal
ini disebabkan oleh aktivasi berlebihan dari koagulasi sehingga sistem antikoagulan kesulitan
mengatasi, sekunder untuk berbagai kondisi klinis. Patogenesis melibatkan generasi tingkat
tinggi trombin, berpotensi menyebabkan trombosis mikrovaskular trombosis, serta faktor
koagulasi konsumtif dan generasi peningkatan plasmin, yang bisa menghasilkan diatesis
hemoragik. Pendarahan terkait dengan beberapa faktor, termasuk faktor konsumtif, trombosit,
dan fibrinogen, serta generasi D-dimer. Uji laboratorium yang khas dilakukan untuk
mengevaluasi DIC termasuk PT, aPTT, jumlah trombosit, fibrinogen, dan D-dimer. MAHA
adalah perangkat yang dapat diapresiasi oleh adanya sejumlah besar (empat atau lebih per
bidang dengan pembesaran kuat) dari schistocytes pada apusan darah tepi. Terapi melibatkan
perawatan suportif dan pengobatan kondisi yang mendasarinya.[27]

Referensi

1. Levi M, van der Poll T. A short contemporary history of disseminated intravascular


coagulation. Semin Thromb Hemost. 2014;40:874880.

2. Kenne E, Nickel KF, Long AT, et al. Factor XII: a novel target for safe prevention of
thrombosis and inflammation. J Intern Med. 2015;278:571585.

3. Worm M, Kohler EC, Panda R, et al. The factor XIIa blocking antibody 3F7: a safe
anticoagulant with antiinflammatory activities. Ann Transl Med. 2015;3:247.

4. Kurosawa S, Stearns-Kurosawa DJ. Complement, thrombotic microangiopathy and


disseminated intravascular coagulation. J Intensive Care. 2014;2:65.
5. Bianchi ME. DAMPs, PAMPs and alarmins: all we need to know about danger. J Leukoc
Biol. 2007;81:15.

6. Taylor FB Jr, Toh CH, Hoots WK, et al. Towards definition, clinical and laboratory criteria,
and a scoring system for disseminated intravascular coagulation. Thromb Haemost.
2001;86:13271330.

7. Rodgers GM. Acquired coagulation disorders. In: Greer JP, Arber DA, Glader BE, et al, eds.
Wintrobe's Clinical Hematology. 13th ed. Philadelphia, PA: Wolters Kluwer, Lippincott
Williams & Wilkins Health; 2014:11861217.

8. Duncan CJSS. What caused the Black Death? Postgraduate Med J. 2005;81:315320.

9. Singh B, Hanson AC, Alhurani R, et al. Trends in the incidence and outcomes of
disseminated intravascular coagulation in critically ill patients (20042010): a population-
based study. Chest. 2013;143:12351242.

10. Levi M, van der Poll T. Disseminated intravascular coagulation: a review for the internist.
Int Emerg Med. 2013;8:2332.

11. Levi M. Disseminated intravascular coagulation. In: Hoffman R, Benz EJ, Silberstein LE, et
al, eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 6th ed. Philadelphia, PA:
Saunders/Elsevier; 2013:20012012.

12. Crawley JT, Zanardelli S, Chion CK, et al. The central role of thrombin in hemostasis. J
Thromb Haemost. 2007;5:95101.

13. Levi M, Seligsohn U, Disseminated intravascular coagulation. In: Kaushansky K, Lichtman


MA, Prchal JT, et al, eds. Williams Hematology. 9th ed. New York, NY: McGraw-Hill;
2016.

14. Gando S. Hemostasis and thrombosis in trauma patients. Semin Thromb Hemost.
2015;41:2634.

15. Schmaier AL, Miller JL. Coagulation and fibrosis. In: McPherson RA, Pincus MR, eds.
Henry's Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 22nd ed.
Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders; 2011:785800.

16. Bakhtiari K, Meijers JC, de Jonge E, et al. Prospective validation of the International
Society of Thrombosis and Haemostasis scoring system for disseminated intravascular
coagulation. Crit Care Med. 2004;32:24162421.

17. Gando S, Iba T, Eguchi Y, et al. A multicenter, prospective validation of disseminated


intravascular coagulation diagnostic criteria for critically ill patients: comparing current
criteria. Crit Care Med. 2006;34:625631.
18. Sarode R, Bandarenko N, Brecher ME, et al. Thrombotic thrombocytopenic purpura: 2012
American Society for Apheresis (ASFA) consensus conference on classification, diagnosis,
management, and future research. J Clin Apher. 2014;29:148167.

19. Cataland SR, Wu HM. How I treat: the clinical differentiation and initial treatment of adult
patients with atypical hemolytic uremic syndrome. Blood. 2014;123:24782484.

20. Rodeghiero F, Stasi R, Gernsheimer T, et al. Standardization of terminology, definitions and


outcome criteria in immune thrombocytopenic purpura of adults and children: report from
an international working group. Blood. 2009;113:23862393.

21. Neunert C, Lim W, Crowther M, et al. The American Society of Hematology 2011 evidence-
based practice guideline for immune thrombocytopenia. Blood. 2011;117:41904207.

22. Tripodi A, Mannucci PM. The coagulopathy of chronic liver disease. N Engl J Med.
2011;365:147156.

23. McKenzie SE, Sachais BS. Advances in the pathophysiology and treatment of heparin-
induced thrombocytopenia. Curr Opin Hematol. 2014;21:380387.

24. Wada H, Thachil J, Di Nisio M, et al. Guidance for diagnosis and treatment of DIC from
harmonization of the recommendations from three guidelines. J Thrombos Haemost.
2013;11:761767.

25. Iba T, Saitoh D. Efficacy of antithrombin in preclinical and clinical applications for sepsis-
associated disseminated intravascular coagulation. J Intensive Care. 2014;2:66.

26. Ikezoe T. Thrombomodulin/activated protein C system in septic disseminated intravascular


coagulation. J Intensive Care. 2015;3:1.

27. Hunt BJ. Bleeding and coagulopathies in critical care. N Engl J Med. 2014;370:847859.

28. Am J Clin Pathol. 2016;146(6):670-680. 2016 American Society for Clinical Pathology

Anda mungkin juga menyukai