BLOK GASTROENTEROHEPATOLOGI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
Kelompok: 8 A
Dosen Pembimbing :
Musdalifah (11020180070)
KATA PENGANTAR
1
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga laporan tutorial ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Aamiin.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan tutorial ini, karena
itu kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan guna
memacu kami menciptakan karya-karya yang lebih bagus.
Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan dalam penyusunan karya tulis ini.
Semoga Allah SWT dapat memberikan balasan setimpal atas segala kebaikan
dan pengorbanan dengan limpahan rahmatdari-Nya. Aamiin yaa Robbal A’lamiin.
SKENARIO 2:
2
Seorang perempuan berusia 35 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan
kuning pada seluruh tubuh yang dialami sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan lain
yang dirasakan adalah nyeri pada perut bagian kanan atas yang menjalar sampai
ke bahu yang dirasakan sejak 2 bulan terakhir. Pemeriksaan fisik didapatkan TB
155 cm dan BB 67 kg. BAB berwarna seperti dempul dan BAK berwarna gelap.
A. KATA SULIT
-
B. KATA KUNCI
PERTANYAAN :
D. JAWABAN PERTANYAAN:
Anatomi Hepar
3
Hepar atau hati adalah organ terbesar yang terletak di sebelah kanan atas
rongga abdomen. Pada kondisi hidup hati berwarna merah tua karena kaya akan
persediaan darah. Beratnya 1200-1800 gram, dengan permukaan atas terletak
bersentuhan dibawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan diatas
organ-organ abdomen. Batas atas hepar sejajar dengan ruang interkosta V kanan
dan batas bawah menyerong keatas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan
posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari
sistem porta hepatis.
Hepar terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh
ligamentum falciforme, di inferior oleh fissura yang dinamakan dengan
ligamentum teres dan di posterior oleh fissura yang dinamakan ligamentum
venosum. Lobus kanan hepar enam kali lebih besar dari lobus kiri dan mempunyai
3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus dan lobus quadrates.
Menurut, diantara kedua lobus terdapat porta hepatis, jalur masuk dan keluar
pembuluh darah, saraf dan duktus. Hepar dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang
dinamakan kapsul glisson dan dibungkus peritoneum pada sebagian besar
keseluruhan permukaannnya.
Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : vena porta hepatika yang
berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrient seperti asam amino,
4
monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral dan arteri hepatika,
cabang dari arteri koliaka yang kaya akan oksigen. Pembuluh darah tersebut
masuk hati melalui porta hepatis yang kemudian dalam porta tersebut vena porta
dan arteri hepatica bercabang menjadi dua yakni ke lobus kiri dan ke lobus kanan.
Darah dari cabang-cabang arteri hepatica dan vena porta mengalir dari perifer
lobules ke dalam ruang kapiler yang melebar yang disebut sinusoid. Sinusoid ini
terdapat di antara barisan sel-sel hepar ke vena sentral. Vena sentral dari semua
lobules hati menyatu untuk membentuk vena hepatica.
Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang mengelilingi bagian
perifer lobules hati, juga terdapat saluran empedu yang membentuk kapiler
empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan diantara lembaran sel
hati. Plexus (saraf) hepaticus mengandung serabut dari ganglia simpatis T7-T10,
yang bersinaps dalam plexus coeliacus, nervus vagus dexter dan sinister serta
phrenicus dexter.
5
infudibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan
peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh
batu, bagian infudibulum menonjol seperti kantong Hartmann.
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding
lumennya mengandung katup berbentuk spiral Heister, yang memudahkan cairan
empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, tetapi menahan aliran
keluarnya.
Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum
hepatoduodenale yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan batas bawahnya
distal papilla Vater. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik berpangkal dari
saluran paling kecil yang disebut kanalikulus empedu yang meneruskan curahan
sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris, dan selanjutnya ke
duktus hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara
duktus sistikus. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus
jaringan pancreas dan dinding duodenum membentuk papilla Vater yang terletak
di sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot
sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum. Duktus
pankreatikus umumnya bermuara di tempat yang sama dengan duktus koledokus
di dalam papilla Vater, tetapi dapat juga terpisah.
Sering ditemukan variasi anatomi kandung empedu, saluran empedu, dan
pembuluh arteri yang mendarahi kandung empedu dan hati. Variasi yang kadang
ditemukan dalam bentuk luas ini, perlu diperhatikan para ahli bedah untuk
menghindari komplikasi pembedahan, seperti perdarahan atau cedera pada duktus
hepatikus atau duktus koledokus. (1)
Histologi Hepar
6
Sel–sel yang terdapat di hatiantara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel
makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak). Sel
hepatosit berderet secara radier dalam lobules hati dan membentuk lapisan sebesar
1-2 sel serupa dengan susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobules
ke pusatnya dan beranastomosi secara bebas membentuk struktur seperti labirin
dan busa. Celah diantara lempeng-lempeng ini mengandung kapiler yang disebut
sinusoid hati.
7
besar adalah venula portal terminal yang dibatasi oleh sel endotel pipih.
Kemudian terdapat arteriola dengan dinding yang tebal yang merupakan cabang
terminal dari arteri hepatik. Dan yang ketiga adalah duktus biliaris yang
mengalirkan empedu. Selain ketiga struktur itu, ditemukan juga limfatik.
Aliran darah di hati dibagi dalam unit struktural yang disebut asinus
hepatik. Asinus hepatic berbentuk seperti buah berry, terletak di traktus portal.
Asinus ini terletak di antara 2 atau lebih venula hepatic terminal, dimana darah
mengalir dari traktus portalis ke sinusoid, lalu ke venula tersebut. Asinus ini
terbagi menjadi 3 zona, dengan zona 1 terletak paling dekat dengan traktus portal
sehingga paling banyak menerima darah kaya oksigen, sedangkan zona 3 terletak
paling jauh dan hanya menerima sedikit oksigen. Zona 2 atau zona intermediet
berada diantara zona 1 dan 3. Zona 3 ini paling mudah terkena jejas iskemik .
Kandung empedu adalah organ berongga berbentuk buah pir, yang melekat
pada permukaan bawah hati. Organ ini dapat menyimpan 30-50 ml empedu.
Dinding kandung empedu terdiri atas mukosa dengan epitel selapis silindris dan
lamina propria, selapis otot polos, jaringan ikat perimuskular dan suatu membrane
serosa. Mukosa kandung empedu memiliki banyak lipatan yang terutama dijumpai
ketika kandung ini sedang kosong. sel-sel epitelnya kaya akan mitokondria.
8
Semua sel ini mampu menyekresi sejumlah kecil mucus. Kelenjar mukosa
tubuloasinar dekat dengan duktus sisikus berperan pada produksi sebagian besar
mucus yang terdapat dalam empedu Fungsi utama kandung empedu adalah
penyimpanan empedu, pemekatan empedu dengan cara mengabsorbsi air, dan
melepaskan empedu ini ke dalam saluran cerna bila dibutuhkan. Proses tersebut
bergantung pada mekanisme transport aktif natrium di epitel kandung empedu.(2)
Klasifikasi ikterus :
a. Ikterus Fisiologis
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat
adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan
kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat
pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2-4,
dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya
lebih rendah dari 2 mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat
perubahan ini dinamakan ikterus “fisiologis” dan diduga sebagai
akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan
sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.
b. Ikterus Patologi
9
2. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan
atau melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan.
3. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.
4. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
5. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
Patomekanisme ikterus :
Pada reaksi diazo Van den Berg memberikan reaksi langsung sehingga disebut
bilirubin direk.Bilirubin indirek yang berlebihan akibat pemecahan sel darah merah yang
terlalu banyak, kekurang mampuan sel hati untuk melakukan konjugasi akibat penyakit
hati, terjadinya refluks bilirubin direk dari saluran empedu ke dalam darah karena adanya
hambatan aliran empedu menyebabkan tingginya kadar bilirubin didalam darah. Keadaan
ini disebut hiperbilirubinemia dengan manifestasi klinis berupa ikterus. Bilirubin
merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel darah merah
10
tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut
ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati
membran sinusoid hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate
– glucuronyl transferase mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak
larut dengan asam glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air,
bilirubin monoglucuronide dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian
secara aktif disekresikan kedalam kanalikulus empedu.
Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah menjadi urobilinogen, 10-20%
direabsorbsi kedalam sirkulasi portal. Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam
empedu atau diekskresikan oleh ginjal didalam urin. Jaundice merupakan manifestasi
yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice
merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal
berkisar antara 0,5 – 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan
jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice. Sebagai tambahan,
adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari perubahan awal yang terlihat
pada tubuh pasien.
a. Ikterus Prahepatik
11
c) Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat – obatan, maupun
yang berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi
transfuse dan eritroblastosis fetalis.
c. Ikterus Hepatoseluler
12
Nyeri perut kuadran kanan atas kemungkinan yang mengalami
gangguan adalah organ-organ yang terletak pada bagian kanan atas adalah
Gangguan Hati, Radang pada kandung empedu akibat adanya batu, serta
kadang-kadang bisa terjadi radang usus kecil. Nyeri kantung empedu sifat
nyeri hebat, tetap/konstan, nyeri kuadran kanan atas/ epigastrik dan sering
memburuk setelah makan makanan yang berlemak (fatty foods). Tetapi
kalau tempat nyeri berada agak ditengah dan rasa nyerinya sampai
menembus kebelakang, kemungkinan gangguan Ginjal harus dicurigai.
Kolik renal atau gangguan nyeri disebabkan gangguan ginjal: nyeri kolik
pada sudut tertentu bagian ginjal, yang nyeri bila ditekan, menjalar ke
panggul. Khasnya pasien tidak dapat menemukan posisi yang dapat
mengurangi nyeri. Namun pada kolik ginjal dapat juga terjadi di bagian
sebelah kiri. Iskemik usus atau usus yang rusak, nyeri bersifat tumpul,
hebat, tetap/konstan, nyeri abdomen kuadran kanan atas yang meningkat
saat makan.
13
Berdasarkan letak atau penyebarannya nyeri dapat bersifat nyeri alih, dan
nyeri yang diproyeksikan.Untuk penyakit tertentu, meluasnya rasa nyeri
dapat membantu menegakkan diagnosis.Nyeri bilier khas menjalar ke
pinggang dan ke arah belikat (skapula), nyeri pankreatitis dirasakan
menembus ke bagian pinggang.Nyeri pada bahu menunjukkan adanya
rangsangan pada diafragma (lihat Gambar C).
Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari
satu daerah. Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher C3-C5
pindah ke bawah pada masa embrional sehingga rangsangan pada
diafragma oleh perdarahan atau peradangan akan dirasakan di bahu (lihat
Gambar A,B dan C). Demikian juga pada kolestitis akut, nyeri dirasakan
didaerah ujung belikat (lihat Gambar C).3
14
penyerapan dan sisanya akan diteruskan ke usus besar. Di usus besar, tinja
kemudian mengalami suatu proses yang akhirnya akan menyebabkan
perubahan warna menjadi kuning atau cokelat.
Etiologi
15
Patofisiologi
Anamnesis
16
Menanyakan identitas : nama, umur, alamat, pekerjaan pasien
Menanyakan keluhan utama dan menggali riwayat penyakit saat
ini.Tanyakan :
Inspeksi
1. Penilaian Tanda Vital
2. Inspeksi secara umum : kepala hingga ekstremitas, seperti adanya
ikterus, anemis, sianosis, dan jari tabuh
3. Membagi permukaan dinding abdomen dalam beberapa region
4. Inspeksi regio abdomen dilakukan beberapa menit untuk melihat
kontur abdomen, adanya skar, kongesti vena, peristaltic yang tampak
atau adanya massa (darm contour dan darm steifung)
5. Bila tampak distensi abdomen, evaluasi apakah karena obesitas,
timpanitis (adanya udara atau gas yg berlebihan), asites, kehamilan,
feses dan neoplasma
6. Lihat penampakan abnormal dipermukaaan abdomen seperti : jaringan
parut (skar), kongesti vena (hipertensi vena porta, caput medusae)
penampakan peristaltik (obstruksi pilorus, obstruksi usus halus-kolon)
atau adanya massa abdomen
17
Auskultasi
1. pada suara yang ada di abdomen dengan menggunakan bel stetoskop
di atas mid-abdomen
2. Mendengarkan bising usus. Frekuensi bising usus normal sekitar 5-10
detik setiap peristaltik atau berkisar 6-12 kali peristaltik /menit.
3. Meletakkan steteskop pada empat kuadran abdomen
4. bunyi peristaltik dapat didengarkan dibawah umbilicus diatas
suprabupik, atau dapat dilakukan di berbagai temapat
5. diatas dan di kanan umbilikus mendengarkan bunyi bergerumuh dari
hepatik rub
6. murmur aorta abdominal 5 jari dibawah processus xipoideus atau pada
regio epigastrium
7. ruit dari karsinoma pankreas di kiri regio epigastrium dan splenik
friction rub dilateral
8. Bila peristaltik tidak segera terdengar, lanjutkan mendengar selama 5
menit.
9. Metalic Sound pada Ileus Obstruktif
10. Catat hasil auskultasi
Palpasi
1. Dinding abdomen dilemaskan dengan cara meminta pasien menekuk
kaki hingga membentuk sudut 45-60°.
2. Melakukan palpasi superfisial :
3. telapak tangan secara perlahan-lahan ditempatkan di abdomen dengan
jari-jari adduksi kemudian ditekan lembut ke dinding abdomen dengan
kedalaman 1 cm
4. kuku jari jangan sampai menusuk dinding abdomen
5. palpasi dalam dengan langkah yang sama pada palpasi ringan namun
menekan lebih dalam. Pada saat gerakan menekan ke bawah, ujung
jari masuk ke dinding atas dan kebawah 4-5 cm. Apabila massa tumor
positif lakukan palpasi bimanual.
6. cara bimanual, menilai hepar dan limpa (normal tidak teraba), dengan
langkah yang sama pada palpasi ringan namun menekan lebih dalam
(4-5 cm) naik turun
7. Perhatikan wajah atau ekspresi pasien saat melakukan palpasi apakah
ada nyeri tekan atau tidak Apabila ditemukan massa pada abdomen,
18
dilakukan penilaian dalam hal : lokasi, ukuran, besar, konsistensi,
kekenyalan, mobilitas dan pulsasi
Pemeriksaan limfa
1. Palpasi limpa (metode Schuffner & metode Hacket). Ujung limpa yang
teraba di bawah arkus kosta kiri menandakan splenomegali
2. Tangan kanan dimasukkan di belakang margin kosta kiri pada garis
midaksillaris. Tangan kiri ditempatkan dibawah toraks dengan jari-jari
aduksi dibawah tulang iga.
3. pasien diminta inspirasi dalam, tangan kanan masuk lebih dalam di
belakang margin kosta dan dinaikkan, sementara tangan kiri menaikkan
costovertebra bagian belakang.
4. Menentukan besar, konsistensi limpa (bila membesar).
Pemeriksaan hepar
1. Palpasi Hepar : nilai permukaan, tepi, ujung dan nyeri tekan hepar.
2. Dinding abdomen yang lemas dengan cara kaki ditekuk hingga
membentuk sudut 45-60°.
3. Palpasi dilakukan dengan menggunakan sisi palmar radial tangan kanan
(bukan ujung jari) dengan posisi ibu jari terlipat dibawah palmar manus.
Arah jari membentuk sudut 45° dengan garis median. Ujung jari berada
pada bagian lateral muskulus rektus abdominalis (pada garis median untuk
memeriksa lobus kiri hepar)
4. Pasien diminta untuk menarik nafas panjang. Pada saat ekspirasi maksimal
jari ditekan kebawah, kemudian pada awal inspirasi jari bergerak ke arah
dorsal dan kranial dalam arah parabolik. Gerakan ini dilakukan berulang
dan posisinya digeser 1-2 jari ke arah lengkung kosta kanan
5. Menentukan besar, tepi, permukaan, konsistensi hepar (bila membesar).
6. Abnormal palpasi :
7. Blumberg’s sign (+)/ rebound tenderness: terasa sakit jika ditekan ujung
jari perlahan-lahan ke dinding abdomen di area kiri bawah, kemudian
secara tiba- tiba menarik kembali jari-jari.
8. Rovsing’s sign (+): terasa sakit jika ditekan di area kiri bawah
9. Psoas sign (+): terasa sakit jika tungkai bawah difleksikan ke arah perut
10. Obturator sign (+) : terasa sakit jika tungkai diangkat ke atas dengan lutut
ekstensi Metode Palpasi
19
Gambar.Palpasi Limpa
Perkusi
1. perkusi pada ke empat kuadran abdomen
2. Perkusi batas atas hepar di garis midklavikula kanan, dimulai dari
pertengahan dada, dari atas ke bawah
3. Bunyi resonan dada menjadi redup ketika mencapai hepar, dilanjutkan ke
bawah, bunyi redup menjadi tympani bila perkusi di atas kolon
4. Menentukan lokasi dan ukuran hepar
20
Gambar.shifting dullness
2.Puddle sign:
21
Gambar.puddle sign
Pemeriksaan laboratorium
3. Tes albumin.
Albumin merupakan protein yang diproduksi khusus oleh hati. Albumin
dalam darah berfungsi untuk memberikan nutrisi bagi jaringan, mencegah
kebocoran cairan dari pembuluh darah, dan membantu transportasi
hormon, vitamin dan senyawa lain di dalam darah. Hati yang tidak bekerja
22
dengan baik, dapat ditandai dengan konsentrasi albumin yang lebih rendah
dari normal.
4. Tes bilirubin.
Bilirubin merupakan produk sisa penghancuran sel darah merah, yang
dihasilkan oleh hati. Bilirubin akan dibentuk oleh hati dan dibuang melalui
saluran pencernaan bersama feses. Jika hati atau liver mengalami
kerusakan, maka pembuangan bilirubin akan terhambat sehingga
menyebabkan kenaikan kadar bilirubin dalam darah.
1.HEPATITIS A
Definisi
Virus hepatitis A (HAV) adalah penyebab infeksi hepatitis akut yang umum di
seluruh dunia. HAV paling sering ditularkan melalui rute oral-fecal melalui
23
paparan makanan yang terkontaminasi, air, atau kontak fisik yang dekat dengan
orang yang menular.
Etiologi
HAV adalah salah satu penyebab paling umum dari infeksi hepatitis akut
di seluruh dunia. WHO memperkirakan sekitar 1,5 juta orang terinfeksi HAV
setiap tahun. Tingkat endemis tinggi di negara-negara berkembang dengan kondisi
sosial ekonomi rendah dan praktik sanitasi dan kebersihan yang buruk.
Epidemiologi
HAV paling tinggi di daerah miskin sumber daya seperti Afrika, Asia,
dan Amerika Selatan, di mana bukti infeksi masa lalu hampir universal. Akuisisi
sering terjadi pada masa kanak-kanak, dan biasanya tanpa gejala.
Tidak ada kecenderungan seksual. Ini paling umum pada pekerja bantuan, gay,
dan sekitar pembuangan kotoran. Dengan bertambahnya usia, penyakit
simptomatik dan gejala sisa buruk meningkat. Kematian akibat gagal hati
fulminan meningkat dengan bertambahnya usia.
Patofisiologi
24
diinduksi HAV dan peradangan yang terkait dengan respon imun bawaan.
Respons imun humoral bertanggung jawab atas uji serologis diagnostik. Setelah
replikasi di hati, HAV diekskresikan dalam empedu dan dilepaskan ke dalam tinja.
Konsentrasi virus paling tinggi dalam tinja selama 2 minggu sebelum timbulnya
penyakit kuning, di mana pada saat itu individu tersebut paling menular.
Kebanyakan orang tidak lagi menular 1 minggu setelah penyakit kuning muncul
pada saat penurunan feses dan viremia.
Perawatan / Manajemen
Tidak diperlukan pengobatan khusus untuk sebagian besar pasien
dengan infeksi HAV akut dan tidak rumit di luar perawatan suportif. Pemulihan
25
total dari gejala dapat memakan waktu beberapa minggu hingga bulan. Dalam
kasus hepatitis fulminan yang jarang dari infeksi HAV, transplantasi hati mungkin
merupakan tindakan yang menyelamatkan jiwa. Komplikasi ekstrahepatik
dikelola secara rutin.
Sampai baru-baru ini, imunoglobulin adalah satu-satunya pengobatan
untuk profilaksis pasca pajanan lagi HAV. Namun, penelitian pada hewan dan uji
klinis menunjukkan kemanjuran imunisasi pasca pajanan dengan vaksin HAV
yang tidak aktif telah membuat CDC merekomendasikan vaksin daripada
imunoglobulin untuk pajanan HAV pada individu sehat berusia 1 hingga 40 tahun.
Untuk individu yang berusia 41 tahun ke atas, pemberian imunoglobulin lebih
disukai karena risiko presentasi klinis yang lebih parah dan bukti efikasi vaksin
yang terbatas pada kelompok usia ini. Anak-anak kurang dari 12 bulan, orang-
orang dengan penyakit hati kronis, dan orang-orang yang immunocompromised
juga harus menerima imunoglobulin.7
2. KOLELISTISIS
Gambar : Kolelistisis8
Definisi
26
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu
kandung empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu
empedu.
Faktor Resiko
Patogenesis
27
oleh batu empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu.
Akibatnya aliran darah dan drainase limfatik menurun dan
menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan banyak
faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu,
kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan
mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan
supurasi.
28
kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat demam
dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral
dalam jangka waktu lama sehingga menghasilkan penurunan atau
tidak adanya rangsangan kolesistokinin untuk kontraksi kandung
empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin
merupakan hasil dari tertahannya empedu pekat, suatu senyawa
yang sangat berbahaya. Pada pasien dengan puasa yang
berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan
stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang
pengosongan kandung empedu, sehingga empedu pekat tersebut
tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi
akibat lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal
jantung juga berperan dalam patogenesis kolesistitis akalkulus.
Diagnosis
29
Gambar : Bagan alogaritma diagnosis kolesistitis
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut
kolesistitis, dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan
kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien, ditemukan
peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase
(AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP)
dan bilirubin jika batu tidak berada di duktus biliaris.
b. Pemeriksaan Radiologi
30
ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu,
adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat
kontak antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas.
Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.
Pemeriksaan pencitraan
g. Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi
31
toksin dan ditandai dengan lebih tingginya demam dan
leukositosis. Adanya empiema kadang harus mengubah metode
pembedahan dari secara laparoskopik menjadi kolesistektomi
terbuka.
b. Ileus batu kandung empedu
Jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu berukuran besar
yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum
terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.
c. Kolesistitis emfisematous,
Terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan adanya udara di
dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil gas
seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan Klebsiella sp.
Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes,
lebih sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%).
Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi,
diperlukan kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih
dari 15% pasien.
d. Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis.
Penatalaksanaan
32
a. Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin,
meropenem. Pada kasus berat yang mengancam nyawa
direkomendasikan imipenem/cilastatin.
b. Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah
dengan metronidazol.
c. Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric
suction.
d. Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian
kolesistokinin intravena.
33
Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:
34
3. ABSES HEPAR
Definisi
Abses hati didefinisikan sebagai massa berisi nanah di hati yang dapat
berkembang dari cedera hati atau infeksi intraabdominal yang disebarkan dari
portal vena. Mayoritas abses ini dikategorikan ke dalam piogenik atau amuba,
meskipun sebagian kecil disebabkan oleh parasit dan jamur. Kebanyakan infeksi
amuba disebabkan oleh Entamoeba histolytica. Abses piogenik biasanya
polimikroba, tetapi beberapa organisme terlihat lebih umum di dalamnya; seperti
E.coli, Klebsiella, Streptococcus, Staphylococcus, dan anaerob. Walaupun
insidensinya rendah, penting untuk memahami keparahan abses ini karena risiko
kematian pada pasien yang tidak diobati.
Etiologi
Apendisitis dulunya menjadi alasan utama mengapa orang
mengembangkan abses hati tetapi telah menurun menjadi kurang dari 10% karena
diagnosis dan pengelolaan penyakit yang lebih baik telah tersedia. Saat ini,
penyakit saluran empedu (batu empedu, striktur, keganasan dan kelainan bawaan)
merupakan penyebab utama abses hati piogenik.
35
pada latar belakang diabetes dan lebih parah daripada bentuk lain dari abses
bakteri, mungkin karena peningkatan faktor virulensi bakteri.
Organisme asal parasit lain yang langka namun penting adalah Echinococcus
granulosus, yang menyebabkan kista hidatidosa hati. Infeksi disebabkan oleh
tahap metacestode dari cacing pita Echinococcus yang merupakan bagian dari
keluarga Taeniidae.
Epidemiologi
Pria lebih sering terkena daripada wanita. Usia memainkan faktor dalam
jenis abses yang berkembang. Orang berusia 40-60 tahun lebih rentan terkena
abses hati yang tidak diakibatkan oleh trauma.
Patofisiologi
Saluran pencernaan manusia terbentuk dari mesoderm, ektoderm dan
endoderm. Endoderm membentuk lapisan tabung. Kapal splanknikus posterior
berfusi membentuk mesenterium dorsal. Splanchnic anterior membentuk
mesenterium ventral. Hati berkembang dalam septum transversum yang tertutup
oleh ventral mesentery. Hati mempertahankan keterikatannya dengan dinding
perut anterior.
36
sel-sel Kupfer yang mengelilingi hati adalah pelindung parenkim, mendapatkan
infeksi atau pembentukan abses mungkin tidak terjadi sesering atau secepat yang
diharapkan.
Patofisiologi yang biasa untuk abses hati piogenik adalah kebocoran isi
usus dan peritonitis. Bakteri melakukan perjalanan ke hati melalui vena portal dan
tinggal di sana. Infeksi juga dapat berasal dari sistem empedu. Penyebaran
hematogen juga dimungkinkan.
37
abses hati dapat hadir dalam tekanan atau bahkan syok terbuka (syok septik atau
syok anafilaksis dalam kasus pecahnya mol mola hidatiform).
Dalam kasus infeksi Echinococcus, ada fase awal tanpa gejala pada
anak. Bertahun-tahun kemudian beberapa dari orang-orang ini akan menunjukkan
gejala klinis dari pengaktifan kembali infeksi. Manifestasi klinis tergantung pada
jenis, ukuran, dan lokasi kista yang ada. Kista kecil pada organ yang tidak vital
dapat tidak terdeteksi, tetapi kista besar di lokasi kritis dapat menyebabkan tanda
tekan atau pecah.
Perawatan / Manajemen
Drainase abses dan perawatan antibiotik adalah landasan perawatan.
38
berhasil. Ketika prosedur empedu sebelumnya telah dilakukan, drainase
kolangiopancreatografi retrograde endoskopik dapat digunakan. Abses hati yang
tidak terdrainase dapat menyebabkan sepsis, peritonitis, empiema.
4.KOLEDOKOLITIASIS
39
Insiden koledokolitiasis pada waktu kolesistektomi meningkat bersama usia,
sekitar 3% diantara usia 20 dan 40 tahun serta meningkat ke 25 persen diantara
usia 60 dan 80 tahun..
Batu duktus koledokus diklasifikasikan sebagai primer dan sekunder. Yang
terahir jauh lebih lazim dan mencapai duktus koledokus dengan bermigrasi
melalui duktus sistikus setelah terbentuk dalam vesika biliaris. Batu primer
terbentuk di dalam batang saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik.
Batu duktus koledokus bisa berjalan asimtomatik ke dalam duodenum atau
bisa tetap di dalam batang saluran empedu selama beberapa bulan atau tahun
tanpa menyebabkan gejala. Tetapi koledokolitiasis sering merupakan sumber
masalah yang sangat serius karena kompliaksi mekanik dan infeksi yang mungkin
mengancam jiwa. Batu duktus koledokus disertai dengan bakterobiliia dalam lebih
dari 75 persen pasien serta dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul
kolangitis akuta.
Keseriusan penyajian klinis ditemukan oleh derajat dan lama obstruksi
saluran empedu serta luas infeksi sekunder. Walaupun koledokolitiasis sering
asimptomatik, sewaktu gejala timbul sering kolik empedu koledokolitiasis tak
dapat dibedakan dari kolesistolitiasis. Tetapi demam yang memuncak, kedinginan,
dan ikterus menggambarkan adanya batu duktus koledokus dan kolangitis akuta.
Ikterus khas sepintas dan episodik. Umumnya koledokolitiasis tidak menyebabkan
obstruksi lengkap.
Etiologi
Penyebab koledokolitiasis sama seperti kolelitiasis. Batu pada
koledokolitiasis dapat berasal dari batu di kandung empedu yang bermigrasi dan
menyumbat di duktus koledokus, atau dapat juga berasal dari pembentukan batu
di duktus koledokus itu sendiri. Batu empedu sering ditemukan di AS, yaitu
mengenai 20% penduduk dewasa. Setiap tahunnya, beberapa ratus ribu orang
yang menderita penyakit ini mengalami pembedahan saluran empedu.
Batu empedu jarang terjadi pada usia dua dekade pertama. Namun wanita
yang meminum obat kontrasepsi oral atau yang hamil akan lebih beresiko
40
menderita batu empedu, bahkan padacusia remaja dan usia 20-an. Faktor ras dan
familial tampaknya berkaitan dengan semakin tingginya insiden terbentukknya
batu empedu.
Batu empedu hampir selalu dibentuk di kandung empedu dan jarang
dibentuk pada bagian saluran empedu lain. Etiologi batu empedu masih belum
diketahui sepenuhnya, akan tetapi, tampaknya faktor predisposisi terpenting
adalah gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan
komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu.
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting
dalam pembentukkan batu empedu. Status empedu dalam kandung empedu dapat
mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan
pengendapan unsur tertentu. Gangguan kontraksi kandung empedu, atau spasme
spingter Oddi, atau keduanya dapat menyebabkan terjadinya statis.
Faktor hormonal (terutama selama kehamilan) dapat dikaitkan dengan
perlambatan pengosongan kandung empedu dan menyebaban tingginya insidensi
dalam kelompok ini. Infeksi
bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukkan batu.
Mukus meningkatkan viskositas empedu, dan unsur sel atau bakteri dapat
berperan sebagai pusat presipitasi. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering
timbul sebagai akibat terbentuknya batu empedu, dibandingkan sebagai penyebab
terbentuknya batu empedu.
Patogenesis
Batu yang berada di duktus koledokus atau koledokoloitiasis dapat
dibentuk di duktus tersebut sejak dari awal atau karena migrasi dari kandung
empedu. Batu yang dibentuk sejak awal di duktus koledokus disebut
koledokolitiasis primer. Proporsinya tidak lebih dari 5%. Sebanyak 95% kasus
koledokolitiasis terjadi karena migrasi dari kandung empedu yang disebut
koledokolitiasis sekunder.
41
Gambar. Kandung empedu dan duktus-duktusnya
Gejala Klinik
Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan
yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang
nyata. Gejala koledokolitiasis mirip seperti kolelitiasis seperti kolik bilier, mual,
muntah, namun pada koledokolitiasis disertai ikterus, BAK kuning pekat, BAB
berwarna dempul. Gejala pada kolangitis antara lain: nyeri abdomen, demam
tinggi/ menggigil, ikterus obstruktif (trias Charcoat), nyeri tekan hebat pada
kuadaran kanan atas.
Penatalaksanaan
Batu saluran empedu selalu menyebabkan masalah yang serius, karena itu
harus dikeluarkan baik melalui operasi terbuka maupun melalui suatu prosedur
yang disebut endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP). Pada
ERCP, suatu endoskopi dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung, dan
42
ke duodenum. Zat kontras radioopa kmasuk ke dalam saluran empedu melalui
sebuah selang di dalam sfingter Oddi.
Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu
yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus dan dikeluarkan bersama
tinja. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang
dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami
komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan operasi terbuka.
Komplikasi yang mungkin segera terjadi adalah perdarahan, pankreatitis
akut, dan perforasi atau infeksi saluran empedu. Pada 2-6% penderita, saluran
dapat menciut kembali dam batu empedu dapat timbul kembali. Pada tatalaksana
batu saluran empedu yang sempit dan sulit, diperlukan beberapa prosedur
endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan
litotripsi mekanik, litotropsi laser, electro-hydarulic shcok wave lothitripsy, atau
ESWL.
Bila usaha pemecahan batu dengan cara di atas gagal, maka dapat
dilakukan pemasangan stent bilier perendoskopik di sepanjang batu yang terjepit.
Stent bilier dapat dipasang dalam saluran empedu sepanjang batu yang besar atau
terjepit yang sulit dihancurkan dengan tujuan drainase empedu.
Tatalaksana medis koledokolitiasis adalah penderita harus dipuasakan dan
dirawat jika menunjukkan gejala kolangitis akut. Apabila ada distensi perut,
dipasang pipa lambung. Dilakukan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, penanganan syok, pemberian antibiotik sistemik, dan pemberian
vitamin K sistemik kalau ada koagulopati. Biasanya keadaan umum dapat
diperbaiki dalam waktu 24-48 jam.
Tatalaksana endoskopi apabila setelah tindakan diatas keadaan umum
tidak membaik atau kondisi penderita malah semakin buruk, dapat dilakukan
sfingterotomi endoskopik untuk mengalirkan empedu dan nanah dan
membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasolabier.
Cara ini berhasil melalui sfingterotomi sfingter Odi di papila Vateri, yang
memungkinkan batu keluar secara spontan atau melalui kateter. Indikasi lain dari
43
sfingterotomi endoskopik adalah adanya riwayat kolesistektomi. Apabila batu di
duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi
endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini
dianjurkan litotripsi lebih dahulu untuk mengeluarkan batu duktus koledokus
secara mekanik melalui papila vateri dengan alat ultrasonik atau laser. Umumnya
penghancuran ini bersama-sama atau dilengkapi dengan endoskopik dan
sfingterotomi.
Penyaliran bilier transhepatik perkutan (percutaneus tranhepatic biliar
drainase= PTBD) biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah satu
alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus
berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan
pipa T pada saluran empedu dapat dimasukkan koledoskop dari luar untuk
membantu mengambil batu intrahepatic.
Koledoktomi. Sambil memperbaiki keadaan umum serta mengatasi infeksi
kolangitis, diagnosis dipertajam. Biasanya USG ditemukan kolesistolitiasis
disertai koledokolitiasis. Kalau pada kandung empedu tidak ditemukan batu, atau
pernah dilakukan kolesistektomi, tetapi di dalam duktus koledokus ditemukan
batu apalagi bila batu ditemukan di saluran intrahepatik, perlu dicurigai batu
primer saluran empedu.
Pemeriksaan endoskopik (ERCP) dapat membantu menegakkan diagnosis
sekaligus dapat dilakukan sfingeterotomi sebagai terapi definitif atau terapi
sementara. Pada waktu laparotomy untuk kolesistektomi, perlu ditentukan apakah
akan dilakukan koledokotomi dengan tujuan eksplorasi saluran emepdu.
Kolangiografi intraoperatif tidak selalu dilakukan pada penderita yang dicurigai
mendertia koledokolitiasis karena prosedur ini memakan waktu. Tindakan ini
hanya dilakukan atas indikasi yang selektif.
Indikasi membuka duktus koledokus adalah jelas jika ada kolangitis,
teraba batu atau ada batu pada foto. Indikasi relatif ialah ikterus dengan pelebaran
duktus koledokus. Untuk menentukan indikasi absolut dilakukan kolangiogram
sewaktu pembedahan. Sewaktu melakukan
44
eksplorasi saluran empedu, semua batu, lumpur, debris harus dibersihkan,
sebaiknya dengan bantuan koledoskop. Kalau ada striktur sfingter Oddi, harus
dilakukan dilatasi dengan sonde khusus.
Komplikasi
Sirosis bilier sekunder adalah kelainan pada hati yang ditandai dengan
obstruksi saluran empedu dengan atau tanpa infeksi, melibatkan inflamasi
peritoneal dengan fibrosis yang progresif. Salah satu penyebabnya adalah
koledokolitiasis. Pada tahap awal, sirosis bilier sekunder mungkin tidak
menunjukkan gejala klinis. Gejala muncul ketika sejumlah besar empedu
terhambat dan menumpuk di saluran empedu. Gejala awal yang umum timbul
adalah gatal kulit, lemas (fatigue), jaundice.
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada
anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orangtua
sebagai komplikasi penyakti saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi saluran
empedu menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan akibat
abses multipel.
45
Prognosis
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat sering karena
komplikasi mekanik berupa sirosis bilier sekunder dan infeksi berat yang terjadi
berupa kolangitis akut.
46
jumpai ikterus. berwarna
b. > 6 tahun-dewasa dempul.
: lebih dari 70%
pasien mengalami
ikterus dan gejala
berlangsung selama
2-8 minggu.
LOKASI Kuadran kanan atas Kuadran kanan Kuadran Kuadran kanan atas
atas kanan
TATALAK Tidak diperlukan Non -endoscopic Drainase abses dan
SANA pengobatan khusus Farmakologi retrograde –antibiotik
-Istirahat total -sefalosporin
untuk sebagian besar cholangiopanc
-diet ringan
generasi
pasien dengan infeksi -Nutrisi reatography
selanjutnya
HAV akut parenteral (ERCP).
-Hepatoprotektor Farmakologi -sfingterotomi ditambah
-Imunosupresor - piperasilin,
endoskopik metronidazole
ampisilin, -Beta-lactam Beta-
meropenem Lactamase inhibitor
-sefalosporin
plus metronidazole,
generasi -penisilin sintetik
ketiga+metronid plus aminoglikosida
azol. ditambah
Kolesistoktomi
metronidazol.
laparoskopik fluoroquinolones
atau carbapenem
ب يليلبحنوى لءالدلم يخيذواا حزيلنلتيكسم حعنلد يكلُل لمسسحجدِد لويكيلواا لوٱَسشلريبواا لولل يتسسحرفيوواا ۟ إحننيهۥُ لل يي ح
ح ب
ٱَسليمسسحرحفيلن
Artinya :
47
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebihan.”
DAFTAR PUSTAKA
1.
Paulsen. F &Waschke J. 2014. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jakarta: EGC
2.
Mescher, Anthony L. 2012 Histologi Dasar Junqueira. Jakarta: EGC
3.
R,Sjamsuhidajat, Wim de jong.2010.Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC.
48
4.
Muzal Kadim. 2016. Warna Tinja Apakah Berhubungan dengan Penyakit?.
Tersedia pada: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/warna-tinja-
apakah-berhubungan-dengan-penyakit
5
Jurnal Universitas Sumatera Utara Tatalaksana nutrisi pada pasiesn kolelitiasis
dengan obesitas
6
.Penuntun CSL system Gastroenterohepatologi FK UMI 2017
7
.Penuntun CSL system Gastroenterhepatologi FK UNHAS
8
. Aru W Sudoyo, Bambang Setiyohadi. Idrus Alwi. Marcellus Simadibrata
K. Siti Setiati Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2012. Jilid I. Edisi V. Hal.
479
9
.Hannan Khairu Anami. 2011. Kolelitiasis.Fakultas Kedokteran Universitas Riau
10
Price,Sylvia A dan Lorraine M.Wilson. 2016. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit.Edisi Ke 6. Jakarta
49