Anda di halaman 1dari 49

FAKULTAS KEDOKTERAN Makassar, 27 Desember 2019

BLOK GASTROENTEROHEPATOLOGI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

LAPORAN TUTORIAL MODUL 2

Kelompok: 8 A

Dosen Pembimbing :

dr.Syamsu Rijal M.Kes Sp. PA


Disusun Oleh :

Hafiz Khairun Marwan (11020180069)

Musdalifah (11020180070)

Muhammad Sukri (11020180084)

Medhy Ugi Pratiwi (11020180099)

Aqilla Fitriani Darul (11020180117)

Armyn Dwi Putra (11020160069)

Rani Apriliani Sanni (11020160143)

Dina Astarifa (11020180004)

Elsha Tiskya Azhary (11020180011)

Nadila Ardyani Nahardi (11020180035)

Muhammad Rias Sukiman (11020180037)

Andi Mappangara (11020180058)

KATA PENGANTAR

1
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga laporan tutorial ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Aamiin.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan tutorial ini, karena
itu kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan guna
memacu kami menciptakan karya-karya yang lebih bagus.

Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan dalam penyusunan karya tulis ini.

Teman-teman yang telah mendukung dan turut memberikan motivasi dalam


menyelesaikan laporan tutorial ini.

Semoga Allah SWT dapat memberikan balasan setimpal atas segala kebaikan
dan pengorbanan dengan limpahan rahmatdari-Nya. Aamiin yaa Robbal A’lamiin.

Makassar,27 Desember 2019

SKENARIO 2:

2
Seorang perempuan berusia 35 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan
kuning pada seluruh tubuh yang dialami sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan lain
yang dirasakan adalah nyeri pada perut bagian kanan atas yang menjalar sampai
ke bahu yang dirasakan sejak 2 bulan terakhir. Pemeriksaan fisik didapatkan TB
155 cm dan BB 67 kg. BAB berwarna seperti dempul dan BAK berwarna gelap.

A. KATA SULIT
-

B. KATA KUNCI

1. Perempuan usia 35 tahun.


2. Kuning seluruh tubuh sejak 1 minggu.
3. Nyeri perut kanan atas nenjalar sampai ke bahu sejak 2 bulan.
4. Pemfis: TB: 155 cm dan BB : 67 kg
5. BAB berwarna dempul.
6. BAK berwarna gelap.

PERTANYAAN :

1. Jelaskan jenis-jenis ikterus dan patomekanisme terjadinya ikterus!


2. Jelaskan patomekanisme nyeri perut kanan atas dan mengapa menjalar
hinggga ke bahu !
3. Apa yang menyebabkan BAB berwarna dempul & BAK berwarna coklat !
4. Apa hubungan status gizi dengan gejala pada skenario ?
5. Bagaimana langkah-langkah diagnosis yang tepat ?
6. Bagaimana diagnosis banding berdasarkan skenario ?
7. Apa perspektif islam berdasarkan skenario ?

D. JAWABAN PERTANYAAN:

Anatomi Hepar

3
Hepar atau hati adalah organ terbesar yang terletak di sebelah kanan atas
rongga abdomen. Pada kondisi hidup hati berwarna merah tua karena kaya akan
persediaan darah. Beratnya 1200-1800 gram, dengan permukaan atas terletak
bersentuhan dibawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan diatas
organ-organ abdomen. Batas atas hepar sejajar dengan ruang interkosta V kanan
dan batas bawah menyerong keatas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan
posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari
sistem porta hepatis.

Hepar terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh
ligamentum falciforme, di inferior oleh fissura yang dinamakan dengan
ligamentum teres dan di posterior oleh fissura yang dinamakan ligamentum
venosum. Lobus kanan hepar enam kali lebih besar dari lobus kiri dan mempunyai
3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus dan lobus quadrates.
Menurut, diantara kedua lobus terdapat porta hepatis, jalur masuk dan keluar
pembuluh darah, saraf dan duktus. Hepar dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang
dinamakan kapsul glisson dan dibungkus peritoneum pada sebagian besar
keseluruhan permukaannnya.

Gambar Anatomi Hepar

Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : vena porta hepatika yang
berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrient seperti asam amino,

4
monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral dan arteri hepatika,
cabang dari arteri koliaka yang kaya akan oksigen. Pembuluh darah tersebut
masuk hati melalui porta hepatis yang kemudian dalam porta tersebut vena porta
dan arteri hepatica bercabang menjadi dua yakni ke lobus kiri dan ke lobus kanan.
Darah dari cabang-cabang arteri hepatica dan vena porta mengalir dari perifer
lobules ke dalam ruang kapiler yang melebar yang disebut sinusoid. Sinusoid ini
terdapat di antara barisan sel-sel hepar ke vena sentral. Vena sentral dari semua
lobules hati menyatu untuk membentuk vena hepatica.

Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang mengelilingi bagian
perifer lobules hati, juga terdapat saluran empedu yang membentuk kapiler
empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan diantara lembaran sel
hati. Plexus (saraf) hepaticus mengandung serabut dari ganglia simpatis T7-T10,
yang bersinaps dalam plexus coeliacus, nervus vagus dexter dan sinister serta
phrenicus dexter.

Anatomi Kandung Empedu

Gambar Anatomi Kandung Empadu


Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah advokat dengan
panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Bagian fundus umumnya
menonjol sedikit ke luar tepi hati, di bawah lengkung iga kanan, di tepi lateral m.
rektus abdominis. Sebagian besar korpus menempel dan tertanam di dalam
jaringan hati. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum viseral, tetapi

5
infudibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan
peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh
batu, bagian infudibulum menonjol seperti kantong Hartmann.
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding
lumennya mengandung katup berbentuk spiral Heister, yang memudahkan cairan
empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, tetapi menahan aliran
keluarnya.
Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum
hepatoduodenale yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan batas bawahnya
distal papilla Vater. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik berpangkal dari
saluran paling kecil yang disebut kanalikulus empedu yang meneruskan curahan
sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris, dan selanjutnya ke
duktus hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara
duktus sistikus. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus
jaringan pancreas dan dinding duodenum membentuk papilla Vater yang terletak
di sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot
sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum. Duktus
pankreatikus umumnya bermuara di tempat yang sama dengan duktus koledokus
di dalam papilla Vater, tetapi dapat juga terpisah.
Sering ditemukan variasi anatomi kandung empedu, saluran empedu, dan
pembuluh arteri yang mendarahi kandung empedu dan hati. Variasi yang kadang
ditemukan dalam bentuk luas ini, perlu diperhatikan para ahli bedah untuk
menghindari komplikasi pembedahan, seperti perdarahan atau cedera pada duktus
hepatikus atau duktus koledokus. (1)

Histologi Hepar

6
Sel–sel yang terdapat di hatiantara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel
makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak). Sel
hepatosit berderet secara radier dalam lobules hati dan membentuk lapisan sebesar
1-2 sel serupa dengan susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobules
ke pusatnya dan beranastomosi secara bebas membentuk struktur seperti labirin
dan busa. Celah diantara lempeng-lempeng ini mengandung kapiler yang disebut
sinusoid hati.

Gambar Histologi Hepar

Sinusoid hati adalah saluran yang berliku–liku dan melebar, diameternya


tidak teratur, dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh. Sinusoid dibatasi oleh
3 macam sel, yaitu sel endotel (mayoritas) dengan inti pipih gelap, sel kupffer
yang fagositik dengan inti ovoid, dan sel stelata atau sel Ito atau liposit hepatik
yang berfungsi untuk menyimpan vitamin A dan memproduksi matriks
ekstraseluler serta kolagen. Aliran darah di sinusoid berasal dari cabang terminal
vena portal dan arteri hepatik, membawa darah kaya nutrisi dari saluran
pencernaan dan juga kaya oksigen dari jantung.

Traktus portal terletak di sudut-sudut heksagonal.Pada traktus portal, darah


yang berasal dari vena portal dan arteri hepatic dialirkan ke vena sentralis. Traktus
portal terdiri dari 3 struktur utama yang disebut trias portal. Struktur yang paling

7
besar adalah venula portal terminal yang dibatasi oleh sel endotel pipih.
Kemudian terdapat arteriola dengan dinding yang tebal yang merupakan cabang
terminal dari arteri hepatik. Dan yang ketiga adalah duktus biliaris yang
mengalirkan empedu. Selain ketiga struktur itu, ditemukan juga limfatik.

Aliran darah di hati dibagi dalam unit struktural yang disebut asinus
hepatik. Asinus hepatic berbentuk seperti buah berry, terletak di traktus portal.
Asinus ini terletak di antara 2 atau lebih venula hepatic terminal, dimana darah
mengalir dari traktus portalis ke sinusoid, lalu ke venula tersebut. Asinus ini
terbagi menjadi 3 zona, dengan zona 1 terletak paling dekat dengan traktus portal
sehingga paling banyak menerima darah kaya oksigen, sedangkan zona 3 terletak
paling jauh dan hanya menerima sedikit oksigen. Zona 2 atau zona intermediet
berada diantara zona 1 dan 3. Zona 3 ini paling mudah terkena jejas iskemik .

Histologi Kandung Empedu

Gambar Histologi Kandung Empedu

Kandung empedu adalah organ berongga berbentuk buah pir, yang melekat
pada permukaan bawah hati. Organ ini dapat menyimpan 30-50 ml empedu.
Dinding kandung empedu terdiri atas mukosa dengan epitel selapis silindris dan
lamina propria, selapis otot polos, jaringan ikat perimuskular dan suatu membrane
serosa. Mukosa kandung empedu memiliki banyak lipatan yang terutama dijumpai
ketika kandung ini sedang kosong. sel-sel epitelnya kaya akan mitokondria.

8
Semua sel ini mampu menyekresi sejumlah kecil mucus. Kelenjar mukosa
tubuloasinar dekat dengan duktus sisikus berperan pada produksi sebagian besar
mucus yang terdapat dalam empedu Fungsi utama kandung empedu adalah
penyimpanan empedu, pemekatan empedu dengan cara mengabsorbsi air, dan
melepaskan empedu ini ke dalam saluran cerna bila dibutuhkan. Proses tersebut
bergantung pada mekanisme transport aktif natrium di epitel kandung empedu.(2)

1. Jelaskan jenis-jenis ikterus dan patomekanisme terjadinya ikterus!

Klasifikasi ikterus :

a. Ikterus Fisiologis

Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat
adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan
kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat
pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2-4,
dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya
lebih rendah dari 2 mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat
perubahan ini dinamakan ikterus “fisiologis” dan diduga sebagai
akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan
sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.

b. Ikterus Patologi

Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau


kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya sebagai berikut :

1. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.

9
2. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan
atau melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan.
3. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.
4. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
5. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

Patomekanisme ikterus :

Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera


akibat akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar bilirubin harus
mencapai 35-40 mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi klinik . Jaundice
(berasal dari bahasa Perancis „jaune‟ artinya kuning) atau icterus (bahasa
Latin untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran mukosa
oleh deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan tersebut. Bilirubin
berasal dari hasil pemecahan hemoglobin oleh sel retikuloendotelial, cincin heme setelah
dibebaskan dari besi dan globin diubah menjadi biliverdin yang berwarna hijau. Biliverdin
berubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning. Bilirubin ini dikombinasikan dengan
albumin membentuk kompleks protein-pigmen dan ditransportasikan ke dalam sel hati.
Bentuk bilirubin ini sebagai bilirubin yang belum dikonjugasi atau bilirubin
indirek berdasar reaksi diazo dari Van den Berg, tidak larut dalam air dan
tidak dikeluarkan melalui urin. Didalam sel inti hati albumin dipisahkan, bilirubin
dikonjugasikan dengan asam glukoronik yang larut dalam air dan dikeluarkan kesaluran
empedu.

Pada reaksi diazo Van den Berg memberikan reaksi langsung sehingga disebut
bilirubin direk.Bilirubin indirek yang berlebihan akibat pemecahan sel darah merah yang
terlalu banyak, kekurang mampuan sel hati untuk melakukan konjugasi akibat penyakit
hati, terjadinya refluks bilirubin direk dari saluran empedu ke dalam darah karena adanya
hambatan aliran empedu menyebabkan tingginya kadar bilirubin didalam darah. Keadaan
ini disebut hiperbilirubinemia dengan manifestasi klinis berupa ikterus. Bilirubin
merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel darah merah

10
tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut
ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati
membran sinusoid hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate
– glucuronyl transferase mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak
larut dengan asam glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air,
bilirubin monoglucuronide dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian
secara aktif disekresikan kedalam kanalikulus empedu.

Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah menjadi urobilinogen, 10-20%
direabsorbsi kedalam sirkulasi portal. Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam
empedu atau diekskresikan oleh ginjal didalam urin. Jaundice merupakan manifestasi
yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice
merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal
berkisar antara 0,5 – 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan
jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice. Sebagai tambahan,
adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari perubahan awal yang terlihat
pada tubuh pasien.

Penyebab ikterus dapat dibagi kepada tiga fase yaitu:

a. Ikterus Prahepatik

Disebabkan karena hemolisis eritrosit yang berlebihan,sehingga hati


menerima bilirubin lebih banyak dari pada mengekskresikannya. Produksi
bilirubin yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel darah
merah.contoh: anemia hemolitik. Peningkatan pembentukan bilirubin
dapat disebabkan oleh:

a) Kelainan sel darah merah

b) Infeksi seperti malaria, sepsis.

11
c) Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat – obatan, maupun
yang berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi
transfuse dan eritroblastosis fetalis.

b. Ikterus Pasca hepatik

Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin


konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya bilirubin akan mengalami
regurgitasi kembali kedalam sel hati dan terus memasuki peredaran darah,
masuk ke ginjal dan di eksresikan oleh ginjal sehingga ditemukan bilirubin
dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan pengeluaran bilirubin
kedalam saluran pencernaan berkurang sehingga tinja akan berwarna
dempul karena tidak mengandung sterkobilin. Contoh: pada hepatitis

c. Ikterus Hepatoseluler

Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga


bilirubin direk akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan di
dalam hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam
sel hati yang kemudian menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi
di dalam aliran darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis,
sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll. Contoh : batu empedu10

2. Jelaskan patomekanisme nyeri perut kanan atas dan mengapa


menjalar hinggga ke bahu!

Patomekanisme Nyeri perut kanan atas

Nyeri perut kuadran kanan atas utamanya dipengaruhi oleh adanya


obstruksi. Usaha pengeluaran empedu menimbulkan spasme yang
menimbulkan rangsang nyeri dibawa oleh serabut saraf. Dapat pula
dipengaruhi oleh adanya gangguan hati berupa pembesaran dan disfungsi.

12
Nyeri perut kuadran kanan atas kemungkinan yang mengalami
gangguan adalah organ-organ yang terletak pada bagian kanan atas adalah
Gangguan Hati, Radang pada kandung empedu akibat adanya batu, serta
kadang-kadang bisa terjadi radang usus kecil. Nyeri kantung empedu sifat
nyeri hebat, tetap/konstan, nyeri kuadran kanan atas/ epigastrik dan sering
memburuk setelah makan makanan yang berlemak (fatty foods). Tetapi
kalau tempat nyeri berada agak ditengah dan rasa nyerinya sampai
menembus kebelakang, kemungkinan gangguan Ginjal harus dicurigai.
Kolik renal atau gangguan nyeri disebabkan gangguan ginjal: nyeri kolik
pada sudut tertentu bagian ginjal, yang nyeri bila ditekan, menjalar ke
panggul. Khasnya pasien tidak dapat menemukan posisi yang dapat
mengurangi nyeri. Namun pada kolik ginjal dapat juga terjadi di bagian
sebelah kiri. Iskemik usus atau usus yang rusak, nyeri bersifat tumpul,
hebat, tetap/konstan, nyeri abdomen kuadran kanan atas yang meningkat
saat makan.

Lemak masuk ke duodenum

Pengeluaran hormon kolesistokinin mucosa duodenum

Kontraksi vesica billiaris u/ mengeluarkan empedu

Obstruksi pada duktus, sehingga empedu tidak bisa


keluar

Timbul usaha spasme untuk mengeluarkan

Nyeri dibawa oleh saraf


Medula spinalis T5- T9
serabut c

Mekanisme Nyeri Perut Kanan Atas


Menjalar hingga ke bahu

13
Berdasarkan letak atau penyebarannya nyeri dapat bersifat nyeri alih, dan
nyeri yang diproyeksikan.Untuk penyakit tertentu, meluasnya rasa nyeri
dapat membantu menegakkan diagnosis.Nyeri bilier khas menjalar ke
pinggang dan ke arah belikat (skapula), nyeri pankreatitis dirasakan
menembus ke bagian pinggang.Nyeri pada bahu menunjukkan adanya
rangsangan pada diafragma (lihat Gambar C).

Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari
satu daerah. Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher C3-C5
pindah ke bawah pada masa embrional sehingga rangsangan pada
diafragma oleh perdarahan atau peradangan akan dirasakan di bahu (lihat
Gambar A,B dan C). Demikian juga pada kolestitis akut, nyeri dirasakan
didaerah ujung belikat (lihat Gambar C).3

Gambar penjalaran nyeri ke bahu ( Gambar A,B, dan C)


nyeri perut pada kuadran kanan atas3

3. Apa yang menyebabkan BAB berwarna dempul & BAK berwarna


coklat !
BAB Seperti Dempul
Pada keadaan normal, makanan saat berada di usus halus akan
bercampur dengan empedu. Makanan tersebut kemudian akan mengalami

14
penyerapan dan sisanya akan diteruskan ke usus besar. Di usus besar, tinja
kemudian mengalami suatu proses yang akhirnya akan menyebabkan
perubahan warna menjadi kuning atau cokelat.

Perubahan warna feses menjadi dempul disebabkan karena


berkurangnya ekskresi bilirubin ke dalam saluran pencernaan. Apabila
keadaan ini terjadi, dapat dipikirkan kemungkinan adanya obstruksi
saluran empedu atau gangguan pada saluran empedu.

BAK Berwarna Gelap


BAK berwarna gelap karena adanya peningkatan kadar bilirubin
direk yang larut dalam air, menyebabkan tingginya kadar bilirubin dalam
plasma, sehingga kadar bilirubin yang berlebih dalam plasma tersebut
akan diekskresikan melalui urin dan menyebabkan warna urin menjadi
lebih gelap seperti teh.4

4. Apa hubungan status gizi dengan gejala pada skenario?

Etiologi

Etiologi pasti dari kolelitiasis tidak diketahui. Beberapa faktor


risiko dari kolelitiasis adalah usia lebih dari 40 tahun, jenis kelamin
wanita, paritas, terapi estrogen, obesitas, penurunan berat badan yang
cepat, diet tinggi kalori, diet tinggi karbohidrat sederhana, diet tinggi
kolesterol, kurangnya asupan serat, adanya penyakit penyerta, seperti
diabetes melitus tipe 2, dislipidemia,inflammatory bowel disease, nutrisi
parenteral dalam waktu yang lama atau operasi saluran cerna misalnya
gastric bypass surgery, dan gaya hidup sedentary. Obat-obatan juga dapat
meningkatkan risiko kolelitiasis, seperti acyl-CoA cholesterol
acytransferase (ACAT) inhibitor, penggunaan jangka panjang proton
pump inhibitor, dan ceftriaxon

15
Patofisiologi

Pembentukan batu empedu kolesterol terjadi jika kadar kolesterol


di empedu melebihi kemampuan empedu untuk melarutkan dalam garam
empedu sehingga terjadi kristalisasi, lalu berkembang menjadi batu.

Pembentukan batu empedu kolesterol terbagi menjadi tiga tahap,


yaitu supersaturasi kolesterol, nukleasi, dan pertumbuhan batu. Kolesterol
merupakan komponen empedu yang tidak larut di dalam air dan
dipertahankan berada dalam larutan oleh garam empedu dan fosfolipid.
Apabila homeostasis konsentrasi relatif fosfolipid dan garam empedu
terhadap kolesterol terganggu, yaitu terjadi peningkatan konsentrasi atau
supersaturasi kolesterol, maka timbul suatu kondisi yang disebut
litogenik.Pada penderita obes, pembentukan batu kolesterol terjadi akibat
biosintesis kolesterol yang berlebihan, sedangkan pada non-obes terjadi
akibat penurunan aktivitas kolesterol 7-α-hidroksilase. Enzim tersebut
berperan sebagai penghambat laju biosintesis garam empedu dan eliminasi
kolesterol sehingga meningkatkan sekresi kolesterol.

Pada tahap nukleasi, kristal kolesterol terbentuk dan


berkonglomerasi. Kristal kolesterol akan berperan sebagai nidus untuk
perkembangan batu kolesterol. Adanya deposisi yang berulang pada nidus
akan menyebabkan semakin besarnya ukuran batu (tahap perkembangan
batu).5

5. langkah-langkah diagnosis yang tepat ?

Anamnesis

16
Menanyakan identitas : nama, umur, alamat, pekerjaan pasien
Menanyakan keluhan utama dan menggali riwayat penyakit saat
ini.Tanyakan :

1. onset dan durasi keluhan : sejak kapan dan bagaimana timbulnya


2. hal-hal yang memperberat dan meringankan keluhan
3. bagian/regio apa saja yg berhubungan dgn keluhan
4. gejala lain yang berhubungan dengan keluhan utama

Menanyakan keluhan pada sistem lain. Tanyakan:

Riwayat Demam, sakit kepala, penurunan berat badan

Menggali riwayat pasien

1. Riwayat kebiasaan : makanan & minuman, obat obatan non-steroid


antiinflamasi atau jamu, minum yang bersifat korosif, penyakit
2. Riwayat pengobatan
3. riwayat penyakit dalam keluarga

Inspeksi
1. Penilaian Tanda Vital
2. Inspeksi secara umum : kepala hingga ekstremitas, seperti adanya
ikterus, anemis, sianosis, dan jari tabuh
3. Membagi permukaan dinding abdomen dalam beberapa region
4. Inspeksi regio abdomen dilakukan beberapa menit untuk melihat
kontur abdomen, adanya skar, kongesti vena, peristaltic yang tampak
atau adanya massa (darm contour dan darm steifung)
5. Bila tampak distensi abdomen, evaluasi apakah karena obesitas,
timpanitis (adanya udara atau gas yg berlebihan), asites, kehamilan,
feses dan neoplasma
6. Lihat penampakan abnormal dipermukaaan abdomen seperti : jaringan
parut (skar), kongesti vena (hipertensi vena porta, caput medusae)
penampakan peristaltik (obstruksi pilorus, obstruksi usus halus-kolon)
atau adanya massa abdomen

17
Auskultasi
1. pada suara yang ada di abdomen dengan menggunakan bel stetoskop
di atas mid-abdomen
2. Mendengarkan bising usus. Frekuensi bising usus normal sekitar 5-10
detik setiap peristaltik atau berkisar 6-12 kali peristaltik /menit.
3. Meletakkan steteskop pada empat kuadran abdomen
4. bunyi peristaltik dapat didengarkan dibawah umbilicus diatas
suprabupik, atau dapat dilakukan di berbagai temapat
5. diatas dan di kanan umbilikus mendengarkan bunyi bergerumuh dari
hepatik rub
6. murmur aorta abdominal 5 jari dibawah processus xipoideus atau pada
regio epigastrium
7. ruit dari karsinoma pankreas di kiri regio epigastrium dan splenik
friction rub dilateral
8. Bila peristaltik tidak segera terdengar, lanjutkan mendengar selama 5
menit.
9. Metalic Sound pada Ileus Obstruktif
10. Catat hasil auskultasi

Palpasi
1. Dinding abdomen dilemaskan dengan cara meminta pasien menekuk
kaki hingga membentuk sudut 45-60°.
2. Melakukan palpasi superfisial :
3. telapak tangan secara perlahan-lahan ditempatkan di abdomen dengan
jari-jari adduksi kemudian ditekan lembut ke dinding abdomen dengan
kedalaman 1 cm
4. kuku jari jangan sampai menusuk dinding abdomen
5. palpasi dalam dengan langkah yang sama pada palpasi ringan namun
menekan lebih dalam. Pada saat gerakan menekan ke bawah, ujung
jari masuk ke dinding atas dan kebawah 4-5 cm. Apabila massa tumor
positif lakukan palpasi bimanual.
6. cara bimanual, menilai hepar dan limpa (normal tidak teraba), dengan
langkah yang sama pada palpasi ringan namun menekan lebih dalam
(4-5 cm) naik turun
7. Perhatikan wajah atau ekspresi pasien saat melakukan palpasi apakah
ada nyeri tekan atau tidak Apabila ditemukan massa pada abdomen,

18
dilakukan penilaian dalam hal : lokasi, ukuran, besar, konsistensi,
kekenyalan, mobilitas dan pulsasi

Pemeriksaan limfa
1. Palpasi limpa (metode Schuffner & metode Hacket). Ujung limpa yang
teraba di bawah arkus kosta kiri menandakan splenomegali
2. Tangan kanan dimasukkan di belakang margin kosta kiri pada garis
midaksillaris. Tangan kiri ditempatkan dibawah toraks dengan jari-jari
aduksi dibawah tulang iga.
3. pasien diminta inspirasi dalam, tangan kanan masuk lebih dalam di
belakang margin kosta dan dinaikkan, sementara tangan kiri menaikkan
costovertebra bagian belakang.
4. Menentukan besar, konsistensi limpa (bila membesar).

Pemeriksaan hepar
1. Palpasi Hepar : nilai permukaan, tepi, ujung dan nyeri tekan hepar.
2. Dinding abdomen yang lemas dengan cara kaki ditekuk hingga
membentuk sudut 45-60°.
3. Palpasi dilakukan dengan menggunakan sisi palmar radial tangan kanan
(bukan ujung jari) dengan posisi ibu jari terlipat dibawah palmar manus.
Arah jari membentuk sudut 45° dengan garis median. Ujung jari berada
pada bagian lateral muskulus rektus abdominalis (pada garis median untuk
memeriksa lobus kiri hepar)
4. Pasien diminta untuk menarik nafas panjang. Pada saat ekspirasi maksimal
jari ditekan kebawah, kemudian pada awal inspirasi jari bergerak ke arah
dorsal dan kranial dalam arah parabolik. Gerakan ini dilakukan berulang
dan posisinya digeser 1-2 jari ke arah lengkung kosta kanan
5. Menentukan besar, tepi, permukaan, konsistensi hepar (bila membesar).
6. Abnormal palpasi :
7. Blumberg’s sign (+)/ rebound tenderness: terasa sakit jika ditekan ujung
jari perlahan-lahan ke dinding abdomen di area kiri bawah, kemudian
secara tiba- tiba menarik kembali jari-jari.
8. Rovsing’s sign (+): terasa sakit jika ditekan di area kiri bawah
9. Psoas sign (+): terasa sakit jika tungkai bawah difleksikan ke arah perut
10. Obturator sign (+) : terasa sakit jika tungkai diangkat ke atas dengan lutut
ekstensi Metode Palpasi

19
Gambar.Palpasi Limpa

Perkusi
1. perkusi pada ke empat kuadran abdomen
2. Perkusi batas atas hepar di garis midklavikula kanan, dimulai dari
pertengahan dada, dari atas ke bawah
3. Bunyi resonan dada menjadi redup ketika mencapai hepar, dilanjutkan ke
bawah, bunyi redup menjadi tympani bila perkusi di atas kolon
4. Menentukan lokasi dan ukuran hepar

Pemeriksaan khusus Asites


1. Shifting dullness :
a) Perkusi dari daerah mid-abdomen ke arah lateral, tentukan batas
bunyi timpani dan redup
b) Meminta pasien berbaring pada posisi lateral
c) Ascites (+) bila terjadi perubahan bunyi dari redup ke tympani
pada lokasi yang sama

20
Gambar.shifting dullness

2.Puddle sign:

a) Baringkan pasien dengan prone posisi (siku dan lutut naik/tiarap)


selama 5 menit

b) Letakkan diafragma stetoskop di permukaan tengah bawah perut


(tempat pengumpulan cairan terbanyak)

c) Dengarkan suara yang dibuat oleh jari-jari yang diketukkan pada


sisi lateral abdomen

d) Ketukan dilanjutkan terus sambil steteskop digerakkan menjauhi


pemeriksa

e) Bila pinggir dari kumpulan (puddle) cairan dicapai, intensitas suara


ketukan akan lebih keras

21
Gambar.puddle sign

Pemeriksaan laboratorium

1. Tes serum glutamat piruvat transaminase (SGPT) atau alanin


transaminase (ALT).
Tes ini mengukur kadar enzim SGPT di dalam darah. Pada kondisi normal,
enzim SGPT terkandung di dalam sel-sel hati dan hanya sedikit terdapat di
dalam darah. Jika sel-sel hati mengalami kerusakan, enzim SGPT akan
terlepas dari sel-sel hati ke dalam darah, sehingga kandungan enzim
tersebut di dalam darah akan mengalami kenaikan.

2. Tes serum glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT) atau aspartat


aminotransferase (AST).
Tes ini mengukur kadar enzim SGOT di dalam darah. Hampir sama
dengan enzim SGPT, pada kondisi normal, enzim SGOT dapat ditemukan
pada kadar rendah di dalam darah. Akan tetapi jika terjadi kerusakan liver,
maka kadar enzim SGOT di dalam darah akan mengalami peningkatan.

3. Tes albumin.
Albumin merupakan protein yang diproduksi khusus oleh hati. Albumin
dalam darah berfungsi untuk memberikan nutrisi bagi jaringan, mencegah
kebocoran cairan dari pembuluh darah, dan membantu transportasi
hormon, vitamin dan senyawa lain di dalam darah. Hati yang tidak bekerja

22
dengan baik, dapat ditandai dengan konsentrasi albumin yang lebih rendah
dari normal.

4. Tes bilirubin.
Bilirubin merupakan produk sisa penghancuran sel darah merah, yang
dihasilkan oleh hati. Bilirubin akan dibentuk oleh hati dan dibuang melalui
saluran pencernaan bersama feses. Jika hati atau liver mengalami
kerusakan, maka pembuangan bilirubin akan terhambat sehingga
menyebabkan kenaikan kadar bilirubin dalam darah.

5. Tes alkali fosfatase.


Alkali fosfatase (ALP) merupakan enzim yang biasanya ditemukan di
empedu, kantung empedu, dan hati. Jika hati atau kantung empedu
mengalami gangguan atau kerusakan, konsentrasi enzim ALP akan
mengalami kenaikan.

6. Tes gamma-glutamyl transferase.

Gamma-glutamyl transferase (GGT) merupakan enzim yang ditemukan di


berbagai organ tubuh, namun konsentrasinya paling tinggi terdapat di hati. GGT
akan meningkat bila terjadi kerusakan di hati atau saluran empedu.6.7

6. Bagaimana diagnosis banding berdasarkan skenario ?

1.HEPATITIS A

Definisi

Virus hepatitis A (HAV) adalah penyebab infeksi hepatitis akut yang umum di
seluruh dunia. HAV paling sering ditularkan melalui rute oral-fecal melalui

23
paparan makanan yang terkontaminasi, air, atau kontak fisik yang dekat dengan
orang yang menular.

Etiologi

HAV adalah salah satu penyebab paling umum dari infeksi hepatitis akut
di seluruh dunia. WHO memperkirakan sekitar 1,5 juta orang terinfeksi HAV
setiap tahun. Tingkat endemis tinggi di negara-negara berkembang dengan kondisi
sosial ekonomi rendah dan praktik sanitasi dan kebersihan yang buruk.

Epidemiologi
HAV paling tinggi di daerah miskin sumber daya seperti Afrika, Asia,
dan Amerika Selatan, di mana bukti infeksi masa lalu hampir universal. Akuisisi
sering terjadi pada masa kanak-kanak, dan biasanya tanpa gejala.
Tidak ada kecenderungan seksual. Ini paling umum pada pekerja bantuan, gay,
dan sekitar pembuangan kotoran. Dengan bertambahnya usia, penyakit
simptomatik dan gejala sisa buruk meningkat. Kematian akibat gagal hati
fulminan meningkat dengan bertambahnya usia.

Patofisiologi

HAV diklasifikasikan dalam keluarga Picornaviridae dan genus


Hepatovirus. Ini adalah virus RNA beralasan positif, indera tunggal yang
bereplikasi terutama di dalam hepatosit. Penelitian pada hewan yang
menunjukkan antigen HAV dalam sel epitel kriptus usus dan sel-sel lamina
propria di usus kecil menunjukkan replikasi mungkin juga terjadi di situs ini.
Setelah dicerna secara oral, virus diambil dari saluran pencernaan dan partikel-
partikel HAV dibawa ke membran basolateral hepatosit melalui sirkulasi portal.
Cedera hepatoseluler pada infeksi HAV akut dimediasi oleh berbagai mekanisme
imun. Telah ditunjukkan bahwa pasien dengan infeksi HAV akut memiliki
pelepasan mediator sel-spesifik T-virus yang dimediasi sel T-virus. Selain itu,
tikus-model baru-baru ini telah menunjukkan apoptosis hepatoseluler yang

24
diinduksi HAV dan peradangan yang terkait dengan respon imun bawaan.
Respons imun humoral bertanggung jawab atas uji serologis diagnostik. Setelah
replikasi di hati, HAV diekskresikan dalam empedu dan dilepaskan ke dalam tinja.
Konsentrasi virus paling tinggi dalam tinja selama 2 minggu sebelum timbulnya
penyakit kuning, di mana pada saat itu individu tersebut paling menular.
Kebanyakan orang tidak lagi menular 1 minggu setelah penyakit kuning muncul
pada saat penurunan feses dan viremia.

Sejarah dan Fisik


Infeksi HAV akut biasanya merupakan penyakit yang sembuh sendiri
yang ditandai dengan mual, muntah, ketidaknyamanan perut kuadran kanan atas,
malaise, anoreksia, mialgia, kelelahan, dan demam. Pasien dapat mengalami urin
gelap dan tinja pucat dalam waktu satu minggu, diikuti oleh ikterus, sklera ikterik
(berwarna kuning), dan pruritus. Pasien biasanya mengalami peningkatan kadar
serum alanine aminotransferase, aspartate aminotransferase, bilirubin, alkaline
phosphatase, dan lambda-glutamyl transpeptidase. Abnormalitas lab ini biasanya
sembuh dalam 1 hingga 6 minggu setelah timbulnya gejala. Masa inkubasi
biasanya berkisar 14 hingga 28 hari tetapi bisa bertahan hingga 50 hari. Tingkat
keparahan gejala bervariasi sesuai dengan usia dan komorbiditas, terutama
penyakit hati kronis yang mendasarinya. Sebagian besar anak-anak dengan infeksi
HAV akut tidak menunjukkan gejala.

Manifestasi ekstra-hati jarang terjadi tetapi dapat mencakup pankreatitis,


ruam, cedera ginjal akut dengan nefritis interstitial atau nefritis glomerulus,
pneumonitis, perikarditis, hemolisis, dan kolesistitis akut. Komplikasi neurologis
juga telah dilaporkan seperti mononeuritis, Guillan-Barre, ensefalitis dan mielitis
sentral.

Perawatan / Manajemen
Tidak diperlukan pengobatan khusus untuk sebagian besar pasien
dengan infeksi HAV akut dan tidak rumit di luar perawatan suportif. Pemulihan

25
total dari gejala dapat memakan waktu beberapa minggu hingga bulan. Dalam
kasus hepatitis fulminan yang jarang dari infeksi HAV, transplantasi hati mungkin
merupakan tindakan yang menyelamatkan jiwa. Komplikasi ekstrahepatik
dikelola secara rutin.
Sampai baru-baru ini, imunoglobulin adalah satu-satunya pengobatan
untuk profilaksis pasca pajanan lagi HAV. Namun, penelitian pada hewan dan uji
klinis menunjukkan kemanjuran imunisasi pasca pajanan dengan vaksin HAV
yang tidak aktif telah membuat CDC merekomendasikan vaksin daripada
imunoglobulin untuk pajanan HAV pada individu sehat berusia 1 hingga 40 tahun.
Untuk individu yang berusia 41 tahun ke atas, pemberian imunoglobulin lebih
disukai karena risiko presentasi klinis yang lebih parah dan bukti efikasi vaksin
yang terbatas pada kelompok usia ini. Anak-anak kurang dari 12 bulan, orang-
orang dengan penyakit hati kronis, dan orang-orang yang immunocompromised
juga harus menerima imunoglobulin.7

2. KOLELISTISIS

Gambar : Kolelistisis8

Definisi

Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang


disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:

26
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu
kandung empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu
empedu.

Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi


kolesistitis akut dan kolesistitis kronik. Pembagian ini juga
berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut dan
kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung
empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan
atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik
merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara
perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya dengan litiasis dan
gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.

Faktor Resiko

Biasanya kolelitiasis dikaitkan dengan 4F yakni fat


(gemuk), female (perempuan), fertile (subur), dan forty (usia empat
puluhan).Faktor risiko lain yang berhubungan adalah genetik atau
etnis tertentu, penggunaan estrogen eksogen, nutrisi parenteral
total, dan peningkatan kadar lemak darah.Komplikasi utama dari
kolelitiasis merupakan obstruksi leher kandung empedu atau
duktus sistikus, yang menyebabkan kolesistitis.

Patogenesis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis


akut adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia
dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah
batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang
menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil
kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu.
Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus

27
oleh batu empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu.
Akibatnya aliran darah dan drainase limfatik menurun dan
menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan banyak
faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu,
kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan
mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan
supurasi.

Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah


perubahan susunan empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung
empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor
terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang
berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara
yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis empedu dapat
mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia
dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung
empedu atau spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat
menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada kehamilan
dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih
lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan
sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan
deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Akan tetapi, infeksi
mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu empedu daripada
menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.

Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus


belum jelas, beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan
mekanisme terjadinya penyakit ini. Penyebab utama penyakit ini
dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan litogenisitas
empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih mungkin terkena

28
kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat demam
dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral
dalam jangka waktu lama sehingga menghasilkan penurunan atau
tidak adanya rangsangan kolesistokinin untuk kontraksi kandung
empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin
merupakan hasil dari tertahannya empedu pekat, suatu senyawa
yang sangat berbahaya. Pada pasien dengan puasa yang
berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan
stimulus dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang
pengosongan kandung empedu, sehingga empedu pekat tersebut
tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi
akibat lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal
jantung juga berperan dalam patogenesis kolesistitis akalkulus.
Diagnosis

Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada


abdomen bagian atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga
akhirnya mereka mencari pertolongan ke unit gawat darurat lokal.
Secara umum, pasien kolesistitis akut juga sering merasa mual dan
muntah serta pasien melaporkan adanya demam. Tanda-tanda
iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa pasien
menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri
bermula dari regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di
kuadran kanan atas (RUQ). Meskipun nyeri awal dideskripsikan
sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan menetap pada semua
kasus kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit
yang didapatkan sangat terbatas. Seringkali, banyak pasien sangat
kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik) dan tidak bisa
menceritakan riwayat atau gejala yang muncul.

29
Gambar : Bagan alogaritma diagnosis kolesistitis

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di


kuadran kanan atas abdomen, dan seringkali teraba massa atau
teraba penuh. Palpasi kuadran kanan atas saat inspirasi seringkali
menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat yang menyebabkan
pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda
Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal dan demam.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut
kolesistitis, dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan
kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien, ditemukan
peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase
(AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP)
dan bilirubin jika batu tidak berada di duktus biliaris.

b. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya


adalah ultrasonografi (USG), computed tomography scanning
(CT-scan) dan skintigrafi saluran empedu. Pada USG, dapat

30
ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu,
adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat
kontak antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas.
Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.

Gambar : Pemeriksaan USG pada kolesistitis

Berdasarkan Tokyo Guidelines, kriteria diagnosis untuk


kolesistitis adalah:

Gejala dan tanda lokal


a. Tanda Murphy
b. Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
c. Massa di kuadran kanan atas abdomen
Gejala dan tanda sistemik
d. Demam
e. Leukositosis
f. Peningkatan kadar CRP

Pemeriksaan pencitraan
g. Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi

Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda


sistemik dan hasil USG atau skintigrafi yang mendukung.
Komplikasi
Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
a. Empiema,
Terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang
tersumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi

31
toksin dan ditandai dengan lebih tingginya demam dan
leukositosis. Adanya empiema kadang harus mengubah metode
pembedahan dari secara laparoskopik menjadi kolesistektomi
terbuka.
b. Ileus batu kandung empedu
Jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu berukuran besar
yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum
terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.
c. Kolesistitis emfisematous,
Terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan adanya udara di
dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil gas
seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan Klebsiella sp.
Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes,
lebih sering pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%).
Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan perforasi,
diperlukan kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih
dari 15% pasien.
d. Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan


penyakitnya dan ada tidaknya komplikasi. Kolesistitis tanpa
komplikasi seringkali dapat diterapi rawat jalan, sedangkan pada
pasien dengan komplikasi membutuhkan tatalaksana pembedahan.
Antibiotik dapat diberikan untuk mengendalikan infeksi. Untuk
kolesistitis akut, terapi awal yang diberikan meliputi mengistirahatkan
usus, diet rendah lemak, pemberian hidrasi secara intravena, koreksi
abnormalitas elektrolit, pemberian analgesik, dan antibiotik intravena.
Untuk kolesistitis akut yang ringan, cukup diberikan terapi antibiotik
tunggal spektrum luas. Pilihan terapi yang dapat diberikan:

32
a. Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin,
meropenem. Pada kasus berat yang mengancam nyawa
direkomendasikan imipenem/cilastatin.
b. Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah
dengan metronidazol.
c. Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric
suction.
d. Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian
kolesistokinin intravena.

Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan


rawat jalan dengan syarat:

1. Tidak demam dan tanda vital stabil


2. Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium.
3. Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.
4. Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi
imunokompromis.
5. Analgesik yang diberikan harus adekuat.
6. Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas
medik.
7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.

Gambar : Algoritma penatalaksanaan kolesistitis akut

33
Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:

a. Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.


b. Antiemetik, seperti prometazin atau proklorperazin, untuk
mengkontrol mual dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit.
c. Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.

Terapi pembedahan yang diberikan jika dibutuhkan adalah


kolesistektomi. Kolesistektomi laparoskopik adalah standar untuk
terapi pembedahan kolesistitis. Penelitian menunjukkan semakin cepat
dilakukan kolesistektomi laparoskopik, waktu perawatan di rumah
sakit semakin berkurang.

Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik


meliputi:

a. Resiko tinggi untuk anestesi umum


b. Obesitas
c. Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses,
peritonitis, atau fistula
d. Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
e. Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan
koagulopati yang berat.

Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan,


drainase perkutaneus dengan menempatkan selang (tube) drainase
kolesistostomi transhepatik dengan bantuan ultrasonografi dan
memasukkan antibiotik ke kandung empedu melalui selang tersebut
dapat menjadi suatu terapi yang definitif. Hasil penelitian
menunjukkan pasien kolesistitis akalkulus cukup diterapi dengan
drainase perkutaneus ini.8

34
3. ABSES HEPAR

Definisi
Abses hati didefinisikan sebagai massa berisi nanah di hati yang dapat
berkembang dari cedera hati atau infeksi intraabdominal yang disebarkan dari
portal vena. Mayoritas abses ini dikategorikan ke dalam piogenik atau amuba,
meskipun sebagian kecil disebabkan oleh parasit dan jamur. Kebanyakan infeksi
amuba disebabkan oleh Entamoeba histolytica. Abses piogenik biasanya
polimikroba, tetapi beberapa organisme terlihat lebih umum di dalamnya; seperti
E.coli, Klebsiella, Streptococcus, Staphylococcus, dan anaerob. Walaupun
insidensinya rendah, penting untuk memahami keparahan abses ini karena risiko
kematian pada pasien yang tidak diobati.

Etiologi
Apendisitis dulunya menjadi alasan utama mengapa orang
mengembangkan abses hati tetapi telah menurun menjadi kurang dari 10% karena
diagnosis dan pengelolaan penyakit yang lebih baik telah tersedia. Saat ini,
penyakit saluran empedu (batu empedu, striktur, keganasan dan kelainan bawaan)
merupakan penyebab utama abses hati piogenik.

Setengah dari kasus bakteri dikembangkan oleh kolangitis. Penyebab


yang lebih jarang adalah bakteremia arteri hepatik, bakteremia vena porta,
divertikulitis, kolesistitis, atau trauma tembus. Beberapa mungkin berasal dari
kriptogenik. Organisme yang paling umum termasuk E.coli, Klebsiella,
Streptococcus, Staphylococcus dan organisme anaerob tetapi umumnya
polimikroba. Jika strep atau staph hanya diisolasi, fokusnya adalah mencari
sumber infeksi lain (endokarditis) yang telah menyebar secara hematogen ke hati.
Klebsiella pneumoniae adalah etiologi yang menonjol di Asia Tenggara dan
diduga terkait atau terkait dengan kanker kolorektal di sana. Biasanya hadir tanpa
penyakit sistem hepatobilier dan secara eksklusif bersifat monomroba. Ini terjadi

35
pada latar belakang diabetes dan lebih parah daripada bentuk lain dari abses
bakteri, mungkin karena peningkatan faktor virulensi bakteri.

Jika sumbernya adalah anaerob, organisme yang paling umum adalah


Entamoeba histolytica. Ini mempengaruhi hati dengan pertama-tama
menyebabkan kolitis amebic kemudian menyemai sistem portal dan bermigrasi ke
hati dan menyebabkan abses hati amuba. Meskipun langka di Amerika Serikat,
masih dapat ditemukan pada imigran atau pelancong dari negara lain.

Organisme asal parasit lain yang langka namun penting adalah Echinococcus
granulosus, yang menyebabkan kista hidatidosa hati. Infeksi disebabkan oleh
tahap metacestode dari cacing pita Echinococcus yang merupakan bagian dari
keluarga Taeniidae.

Epidemiologi
Pria lebih sering terkena daripada wanita. Usia memainkan faktor dalam
jenis abses yang berkembang. Orang berusia 40-60 tahun lebih rentan terkena
abses hati yang tidak diakibatkan oleh trauma.

Patofisiologi
Saluran pencernaan manusia terbentuk dari mesoderm, ektoderm dan
endoderm. Endoderm membentuk lapisan tabung. Kapal splanknikus posterior
berfusi membentuk mesenterium dorsal. Splanchnic anterior membentuk
mesenterium ventral. Hati berkembang dalam septum transversum yang tertutup
oleh ventral mesentery. Hati mempertahankan keterikatannya dengan dinding
perut anterior.

Karena hati menerima sirkulasi darahnya dari sirkulasi sistemik dan


portal, ia lebih rentan terkena infeksi dan abses dari aliran darah. Kedekatan
dengan kandung empedu adalah faktor risiko lain untuk hati. Di sisi lain, karena

36
sel-sel Kupfer yang mengelilingi hati adalah pelindung parenkim, mendapatkan
infeksi atau pembentukan abses mungkin tidak terjadi sesering atau secepat yang
diharapkan.

Patofisiologi yang biasa untuk abses hati piogenik adalah kebocoran isi
usus dan peritonitis. Bakteri melakukan perjalanan ke hati melalui vena portal dan
tinggal di sana. Infeksi juga dapat berasal dari sistem empedu. Penyebaran
hematogen juga dimungkinkan.

Sejarah dan Fisik


Sangat penting untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
menyeluruh sebelum memilih tindakan diagnostik apa pun. Ini termasuk tetapi
tidak terbatas pada pengumpulan riwayat pribadi pasien, pekerjaan, perjalanan,
tempat asal, infeksi baru-baru ini, atau perawatan. Faktor risiko tertentu
mendorong perkembangan abses hati; seperti diabetes, sirosis, jenis kelamin laki-
laki, orang tua, keadaan immunocompromised, dan orang-orang dengan
penggunaan inhibitor pompa proton.

Setelah mengumpulkan sejarah, tinjauan sistem dan pemeriksaan fisik


dapat memberikan banyak informasi tambahan. Pada analisis sistem, pasien dapat
mengeluhkan gejala berikut: demam, menggigil, keringat malam, malaise, mual
atau muntah, nyeri bahu kanan (karena iritasi diafragma), nyeri kuadran kanan
atas, batuk, dyspnea, anoreksia, atau yang tidak dapat dijelaskan baru-baru ini.
penurunan berat badan. Demam hadir dalam 90% dan nyeri perut sekitar 50-75%.
Urin gelap hadir seperti bentuk hepatitis lainnya.

Pada pemeriksaan fisik, pasien dapat mengalami hepatomegali dengan


massa yang membesar dan ikterus. Meskipun triad Charcot (nyeri kuadran kanan
atas, penyakit kuning, dan demam) adalah tanda kolangitis, dokter perlu
mempertimbangkan abses hati sebagai pembeda. Sejumlah kecil pasien dengan

37
abses hati dapat hadir dalam tekanan atau bahkan syok terbuka (syok septik atau
syok anafilaksis dalam kasus pecahnya mol mola hidatiform).

Dalam kasus abses hati Klebsiella (kebanyakan terjadi di Asia


Tenggara), selain gejala yang disebutkan di atas, ia juga mengirim emboli septik
ke mata, meninges, dan otak. Oleh karena itu gejala sistem organ ini dapat hadir,
dan dapat bertahan setelah abses hati terkuras.

Dalam kasus infeksi Echinococcus, ada fase awal tanpa gejala pada
anak. Bertahun-tahun kemudian beberapa dari orang-orang ini akan menunjukkan
gejala klinis dari pengaktifan kembali infeksi. Manifestasi klinis tergantung pada
jenis, ukuran, dan lokasi kista yang ada. Kista kecil pada organ yang tidak vital
dapat tidak terdeteksi, tetapi kista besar di lokasi kritis dapat menyebabkan tanda
tekan atau pecah.

Perawatan / Manajemen
Drainase abses dan perawatan antibiotik adalah landasan perawatan.

Drainase diperlukan dan dapat dilakukan di bawah US atau CT. Aspirasi


jarum (kadang-kadang berulang kali) mungkin adalah semua yang diperlukan
untuk abses kurang dari 5 cm tetapi penempatan kateter mungkin diperlukan jika
diameternya lebih signifikan dari I tu.Drainase perkutan dengan penempatan
kateter mungkin adalah prosedur yang paling berhasil untuk abses yang lebih
besar dari 5 cm. Drainase laparoskopi terkadang digunakan. Pembedahan harus
dilakukan untuk peritonitis, abses dinding tebal, abses ruptur, beberapa abses
besar, dan prosedur drainase yang gagal sebelumnya. Operasi dilakukan baik
dengan pendekatan transperitoneal atau dengan pendekatan transpleural posterior.
Pendekatan pertama menguras abses dan memungkinkan untuk eksplorasi borok
yang tidak terdeteksi, sedangkan yang kedua lebih baik untuk abses posterior.
Ukuran, lokasi, dan tahap membantu menentukan rencana perawatan yang

38
berhasil. Ketika prosedur empedu sebelumnya telah dilakukan, drainase
kolangiopancreatografi retrograde endoskopik dapat digunakan. Abses hati yang
tidak terdrainase dapat menyebabkan sepsis, peritonitis, empiema.

Cakupan antibiotik empiris sangat penting ketika organisme tidak


diketahui. Antibiotik harus mencakup Enterobacteriaceae, anaerob, streptococci,
enterococci, dan Entamoeba histolytica. Regimen yang mungkin seperti itu adalah
sefalosporin generasi selanjutnya ditambah metronidazole, Beta-lactam Beta-
Lactamase inhibitor plus metronidazole, atau penisilin sintetik plus
aminoglikosida ditambah metronidazol. Atau, fluoroquinolones atau carbapenem
dapat digantikan dengan sefalosporin atau Penisilin jika alergi atau tidak
tersedianya. Metronidazole harus mencakup Entamoeba histolytica. Lama
perawatan bervariasi tetapi biasanya dari dua hingga enam minggu. Setelah
perawatan intravena awal, oral dapat digunakan dengan aman dalam banyak kasus
untuk menyelesaikan kursus.
Jika sumbernya adalah Echinococcus, pengobatan termasuk benzimidazole seperti
albendazole. Terapi ini dapat berlangsung selama beberapa tahun.

4.KOLEDOKOLITIASIS

Koledokolitiasis adalah terdapatnya batu empedu di dalam saluran empedu


yaitu di duktus koledokus komunis (CBD). Koledokolotiasis terbagi dua tipe yaitu
primer dan sekunder. Koledokolitiasis primer adalah batu empedu yang terbentuk
di dalam saluran empedu sedangkan
koledokolitiasis sekunder merupakan batu kandung empedu yang
bermigrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus. Koledokolitiasis
primer lebih banyak ditemukan di Asia, sedangkan di negara barat banyak
koledokolitiasis sekunder.
Sepuluh sampai 15 persen yang menjalani kolesistektomi batu empedu
akan mempunyai batu dalam duktus koledokus juga. Sebaliknya hampir semua
pasien koledokolitiasis menderita batu empedu bersamaan dalam vesika biliaris.

39
Insiden koledokolitiasis pada waktu kolesistektomi meningkat bersama usia,
sekitar 3% diantara usia 20 dan 40 tahun serta meningkat ke 25 persen diantara
usia 60 dan 80 tahun..
Batu duktus koledokus diklasifikasikan sebagai primer dan sekunder. Yang
terahir jauh lebih lazim dan mencapai duktus koledokus dengan bermigrasi
melalui duktus sistikus setelah terbentuk dalam vesika biliaris. Batu primer
terbentuk di dalam batang saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik.
Batu duktus koledokus bisa berjalan asimtomatik ke dalam duodenum atau
bisa tetap di dalam batang saluran empedu selama beberapa bulan atau tahun
tanpa menyebabkan gejala. Tetapi koledokolitiasis sering merupakan sumber
masalah yang sangat serius karena kompliaksi mekanik dan infeksi yang mungkin
mengancam jiwa. Batu duktus koledokus disertai dengan bakterobiliia dalam lebih
dari 75 persen pasien serta dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul
kolangitis akuta.
Keseriusan penyajian klinis ditemukan oleh derajat dan lama obstruksi
saluran empedu serta luas infeksi sekunder. Walaupun koledokolitiasis sering
asimptomatik, sewaktu gejala timbul sering kolik empedu koledokolitiasis tak
dapat dibedakan dari kolesistolitiasis. Tetapi demam yang memuncak, kedinginan,
dan ikterus menggambarkan adanya batu duktus koledokus dan kolangitis akuta.
Ikterus khas sepintas dan episodik. Umumnya koledokolitiasis tidak menyebabkan
obstruksi lengkap.

Etiologi
Penyebab koledokolitiasis sama seperti kolelitiasis. Batu pada
koledokolitiasis dapat berasal dari batu di kandung empedu yang bermigrasi dan
menyumbat di duktus koledokus, atau dapat juga berasal dari pembentukan batu
di duktus koledokus itu sendiri. Batu empedu sering ditemukan di AS, yaitu
mengenai 20% penduduk dewasa. Setiap tahunnya, beberapa ratus ribu orang
yang menderita penyakit ini mengalami pembedahan saluran empedu.
Batu empedu jarang terjadi pada usia dua dekade pertama. Namun wanita
yang meminum obat kontrasepsi oral atau yang hamil akan lebih beresiko

40
menderita batu empedu, bahkan padacusia remaja dan usia 20-an. Faktor ras dan
familial tampaknya berkaitan dengan semakin tingginya insiden terbentukknya
batu empedu.
Batu empedu hampir selalu dibentuk di kandung empedu dan jarang
dibentuk pada bagian saluran empedu lain. Etiologi batu empedu masih belum
diketahui sepenuhnya, akan tetapi, tampaknya faktor predisposisi terpenting
adalah gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan
komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu.
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting
dalam pembentukkan batu empedu. Status empedu dalam kandung empedu dapat
mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan
pengendapan unsur tertentu. Gangguan kontraksi kandung empedu, atau spasme
spingter Oddi, atau keduanya dapat menyebabkan terjadinya statis.
Faktor hormonal (terutama selama kehamilan) dapat dikaitkan dengan
perlambatan pengosongan kandung empedu dan menyebaban tingginya insidensi
dalam kelompok ini. Infeksi
bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukkan batu.
Mukus meningkatkan viskositas empedu, dan unsur sel atau bakteri dapat
berperan sebagai pusat presipitasi. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering
timbul sebagai akibat terbentuknya batu empedu, dibandingkan sebagai penyebab
terbentuknya batu empedu.

Patogenesis
Batu yang berada di duktus koledokus atau koledokoloitiasis dapat
dibentuk di duktus tersebut sejak dari awal atau karena migrasi dari kandung
empedu. Batu yang dibentuk sejak awal di duktus koledokus disebut
koledokolitiasis primer. Proporsinya tidak lebih dari 5%. Sebanyak 95% kasus
koledokolitiasis terjadi karena migrasi dari kandung empedu yang disebut
koledokolitiasis sekunder.

41
Gambar. Kandung empedu dan duktus-duktusnya

Pasien dengan batu empedu di duktus koledokus bila tidak segera


ditangani beresiko mengalami infeksi ulang disebut kolangitis. Dalam keadaan
demikian pasien mengeluh demam, menggigil, mata kuning, dan nyeri perut
kanan atas. Penyebab infeksi atau kolangitis terutama Escherichia coli,
Klebsiella, Pseudomonas. Pada kondisi demikian, apabila tidak ditangani dapat
berakibat kematian.

Gejala Klinik
Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan
yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang
nyata. Gejala koledokolitiasis mirip seperti kolelitiasis seperti kolik bilier, mual,
muntah, namun pada koledokolitiasis disertai ikterus, BAK kuning pekat, BAB
berwarna dempul. Gejala pada kolangitis antara lain: nyeri abdomen, demam
tinggi/ menggigil, ikterus obstruktif (trias Charcoat), nyeri tekan hebat pada
kuadaran kanan atas.

Penatalaksanaan
Batu saluran empedu selalu menyebabkan masalah yang serius, karena itu
harus dikeluarkan baik melalui operasi terbuka maupun melalui suatu prosedur
yang disebut endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP). Pada
ERCP, suatu endoskopi dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung, dan

42
ke duodenum. Zat kontras radioopa kmasuk ke dalam saluran empedu melalui
sebuah selang di dalam sfingter Oddi.

Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu
yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus dan dikeluarkan bersama
tinja. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang
dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami
komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan operasi terbuka.
Komplikasi yang mungkin segera terjadi adalah perdarahan, pankreatitis
akut, dan perforasi atau infeksi saluran empedu. Pada 2-6% penderita, saluran
dapat menciut kembali dam batu empedu dapat timbul kembali. Pada tatalaksana
batu saluran empedu yang sempit dan sulit, diperlukan beberapa prosedur
endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan
litotripsi mekanik, litotropsi laser, electro-hydarulic shcok wave lothitripsy, atau
ESWL.
Bila usaha pemecahan batu dengan cara di atas gagal, maka dapat
dilakukan pemasangan stent bilier perendoskopik di sepanjang batu yang terjepit.
Stent bilier dapat dipasang dalam saluran empedu sepanjang batu yang besar atau
terjepit yang sulit dihancurkan dengan tujuan drainase empedu.
Tatalaksana medis koledokolitiasis adalah penderita harus dipuasakan dan
dirawat jika menunjukkan gejala kolangitis akut. Apabila ada distensi perut,
dipasang pipa lambung. Dilakukan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, penanganan syok, pemberian antibiotik sistemik, dan pemberian
vitamin K sistemik kalau ada koagulopati. Biasanya keadaan umum dapat
diperbaiki dalam waktu 24-48 jam.
Tatalaksana endoskopi apabila setelah tindakan diatas keadaan umum
tidak membaik atau kondisi penderita malah semakin buruk, dapat dilakukan
sfingterotomi endoskopik untuk mengalirkan empedu dan nanah dan
membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasolabier.
Cara ini berhasil melalui sfingterotomi sfingter Odi di papila Vateri, yang
memungkinkan batu keluar secara spontan atau melalui kateter. Indikasi lain dari

43
sfingterotomi endoskopik adalah adanya riwayat kolesistektomi. Apabila batu di
duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi
endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini
dianjurkan litotripsi lebih dahulu untuk mengeluarkan batu duktus koledokus
secara mekanik melalui papila vateri dengan alat ultrasonik atau laser. Umumnya
penghancuran ini bersama-sama atau dilengkapi dengan endoskopik dan
sfingterotomi.
Penyaliran bilier transhepatik perkutan (percutaneus tranhepatic biliar
drainase= PTBD) biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah satu
alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus
berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan
pipa T pada saluran empedu dapat dimasukkan koledoskop dari luar untuk
membantu mengambil batu intrahepatic.
Koledoktomi. Sambil memperbaiki keadaan umum serta mengatasi infeksi
kolangitis, diagnosis dipertajam. Biasanya USG ditemukan kolesistolitiasis
disertai koledokolitiasis. Kalau pada kandung empedu tidak ditemukan batu, atau
pernah dilakukan kolesistektomi, tetapi di dalam duktus koledokus ditemukan
batu apalagi bila batu ditemukan di saluran intrahepatik, perlu dicurigai batu
primer saluran empedu.
Pemeriksaan endoskopik (ERCP) dapat membantu menegakkan diagnosis
sekaligus dapat dilakukan sfingeterotomi sebagai terapi definitif atau terapi
sementara. Pada waktu laparotomy untuk kolesistektomi, perlu ditentukan apakah
akan dilakukan koledokotomi dengan tujuan eksplorasi saluran emepdu.
Kolangiografi intraoperatif tidak selalu dilakukan pada penderita yang dicurigai
mendertia koledokolitiasis karena prosedur ini memakan waktu. Tindakan ini
hanya dilakukan atas indikasi yang selektif.
Indikasi membuka duktus koledokus adalah jelas jika ada kolangitis,
teraba batu atau ada batu pada foto. Indikasi relatif ialah ikterus dengan pelebaran
duktus koledokus. Untuk menentukan indikasi absolut dilakukan kolangiogram
sewaktu pembedahan. Sewaktu melakukan

44
eksplorasi saluran empedu, semua batu, lumpur, debris harus dibersihkan,
sebaiknya dengan bantuan koledoskop. Kalau ada striktur sfingter Oddi, harus
dilakukan dilatasi dengan sonde khusus.

Komplikasi
Sirosis bilier sekunder adalah kelainan pada hati yang ditandai dengan
obstruksi saluran empedu dengan atau tanpa infeksi, melibatkan inflamasi
peritoneal dengan fibrosis yang progresif. Salah satu penyebabnya adalah
koledokolitiasis. Pada tahap awal, sirosis bilier sekunder mungkin tidak
menunjukkan gejala klinis. Gejala muncul ketika sejumlah besar empedu
terhambat dan menumpuk di saluran empedu. Gejala awal yang umum timbul
adalah gatal kulit, lemas (fatigue), jaundice.

Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada
anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orangtua
sebagai komplikasi penyakti saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi saluran
empedu menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan akibat
abses multipel.

Bakteremia dan sepsis gram negatif. Bakteremia adalah terdapatnya


bakteri dalam aliran darah (25-40%). Komplikasi bakteremia pada kolangitis
dapat terjadi oleh karena etiologi utama penyebab terjadinya kolangitis adalah
infeksi bakteri. Demam merupakan keluhan utama sekitar
10-15%.
Dapat pula terjadi kerusakan duktus empedu akibat tindakan
kolesistektomi atau pada eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai anatominya.
Kesalahn yang sangat fatal adalah tidak mengetahui transeksi atau ligasi pada
duktus. Peradarahn juga dapat terjadi. Arteri hepatik dan arteri sistikus serta
vaskularisasi hepar lainnya dapat mengalami trauma dan perdarahan saat
melakukan operasi.

45
Prognosis
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat sering karena
komplikasi mekanik berupa sirosis bilier sekunder dan infeksi berat yang terjadi
berupa kolangitis akut.

HEPATITIS A KOLELISTIS KOLEDOKO ABSES HEPAR


LITIASIS
DEFINISI Hepatitis adalah Radang dinding batu empedu sebagai massa
infeksi virus yang kandung di dalam berisi nanah di hati
menyebabkan empedu saluran yang dapat
peradangan hati dan empedu yaitu berkembang dari
kerusakan. di duktus cedera hati atau
koledokus infeksi
komunis intraabdominal
yang disebarkan
dari portal vena.
ETIOLOG Terinfekasinya - Statis cairan -Faktor -E.coli, Klebsiella,
I manusia oleh virus empedu genetic Streptococcus,
- Infeksi Kuman - 4 F (female,
hepatitis A melalui Staphylococcus dan
( E.coli, fertile, fat,
jalur fekal oral yang organisme anaerob
Strep.faecalis forty)
mengontaminasi air tetapi umumnya
dan Klebsella)
dan makanan polimikroba
- Iskemia
-4 F - Appendicitis
USIA Semua umur - >40 tahun 20-80 tahun 40-60 tahun
GEJALA - Gejala Umum : - nyeri hebat Asimptomatik -demam, menggigil,
Simptomatik
lemas, cepat lelah, pada abdomen -keringat malam,
- Nyeri perut
anoreksia, muntah, bagian kanan -malaise mual atau
kanan atas
rasa tidak nyaman atas - Nyeri –muntah
- Demam -nyeri bahu kanan
pada abdomen, menjalar ke
- Mual &
(karena iritasi
diare. bahu
Muntah
- Gejala khusus: - Mual dan diafragma),
- Nyeri tekan
- nyeri kuadran
a. Anak-anak < 6 muntah
disertai tanda-
- Demam kanan atas,
tahun: gambaran
tanda -Nyeri kolik -batuk,
klinis yang ringan -dyspnea,
peritonitis bilier
dan asimptomatik, -ikterus, BAK anoreksia,
local
dan sebagian pasien kuning pekat, penurunan berat
( Murphy)
biasanya tidak di -BAB badan

46
jumpai ikterus. berwarna
b. > 6 tahun-dewasa dempul.
: lebih dari 70%
pasien mengalami
ikterus dan gejala
berlangsung selama
2-8 minggu.
LOKASI Kuadran kanan atas Kuadran kanan Kuadran Kuadran kanan atas
atas kanan
TATALAK Tidak diperlukan Non -endoscopic Drainase abses dan
SANA pengobatan khusus Farmakologi retrograde –antibiotik
-Istirahat total -sefalosporin
untuk sebagian besar cholangiopanc
-diet ringan
generasi
pasien dengan infeksi -Nutrisi reatography
selanjutnya
HAV akut parenteral (ERCP).
-Hepatoprotektor Farmakologi -sfingterotomi ditambah
-Imunosupresor - piperasilin,
endoskopik metronidazole
ampisilin, -Beta-lactam Beta-
meropenem Lactamase inhibitor
-sefalosporin
plus metronidazole,
generasi -penisilin sintetik
ketiga+metronid plus aminoglikosida
azol. ditambah
Kolesistoktomi
metronidazol.
laparoskopik fluoroquinolones
atau carbapenem

7. Apa perspektif islam berdasarkan skenario ?


QS.Al-Araf ayat 31

‫ب‬ ‫يليلبحنوى لءالدلم يخيذواا حزيلنلتيكسم حعنلد يكلُل لمسسحجدِد لويكيلواا لوٱَسشلريبواا لولل يتسسحرفيوواا ۟ إحننيهۥُ لل يي ح‬
‫ح ب‬
‫ٱَسليمسسحرحفيلن‬

Artinya :

47
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebihan.”

H.R. Muslim, Tirmidzi dan Ibn Majah

Dari Karimah Al-Miqdad ibn Ma'di Kariba radhiyallahu


'anhu, dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,

"Tidaklah anak cucu Adam mengisi wadah/bejana yang


lebih buruk dari perutnya, sebenarnya beberapa suap saja
sudah cukup meneguhkan tulang rusuknya. Kalaupun dia harus
mengisinya, maka 1/3 untuk makanan, 1/3 untuk minuman, dan
1/3 untuk bernafas."

DAFTAR PUSTAKA

1.
Paulsen. F &Waschke J. 2014. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jakarta: EGC

2.
Mescher, Anthony L. 2012 Histologi Dasar Junqueira. Jakarta: EGC

3.
R,Sjamsuhidajat, Wim de jong.2010.Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC.

48
4.
Muzal Kadim. 2016. Warna Tinja Apakah Berhubungan dengan Penyakit?.
Tersedia pada: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/warna-tinja-
apakah-berhubungan-dengan-penyakit

5
Jurnal Universitas Sumatera Utara Tatalaksana nutrisi pada pasiesn kolelitiasis
dengan obesitas

6
.Penuntun CSL system Gastroenterohepatologi FK UMI 2017

7
.Penuntun CSL system Gastroenterhepatologi FK UNHAS

8
. Aru W Sudoyo, Bambang Setiyohadi. Idrus Alwi. Marcellus Simadibrata
K. Siti Setiati Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2012. Jilid I. Edisi V. Hal.
479
9
.Hannan Khairu Anami. 2011. Kolelitiasis.Fakultas Kedokteran Universitas Riau

10
Price,Sylvia A dan Lorraine M.Wilson. 2016. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit.Edisi Ke 6. Jakarta

49

Anda mungkin juga menyukai