Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

Carcinoma Colon

Disusun oleh:

Magdalena/112021001

Pembimbing:

dr. Yopi Budiman, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN BEDAH RSUD CENGKARENG

PERIODE 6 MARET- 13 MEI 2023

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

JAKARTA

1
PENDAHULUAN

Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka


kematiannya. Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus
kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki
peringkat ketiga dari semua kasus kanker. Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari
berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati
angka 1,8 per 100.000 penduduk.
Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada kolon rektosigmoid. Keluhan
pasien karena kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari tumor. Keluhan dari
lesi yang berada pada kolon kanan dapat berupa perasaan penuh di abdominal, symptomatic
anemia dan perdarahan, sedangkan keluhan yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat
berupa perubahan pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi sampai obstruksi.
Jenis kanker yang paling sering ditemukan ialah adenokarsinoma yaitu sebanyak
98%, sedangkan lainnya yang lebih jarang ialah carcinoid (0,4%), limfoma (1,3%) dan
sarkoma (0,3%).

ISI

2.1 Definisi Kanker Usus Besar (Colon)


Colorectal Cancer atau dikenal sebagai Ca Colon atau Kanker Usus Besar adalah
suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon, rektum, dan appendix (usus buntu).

2.2 Anatomi

2
Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon transversum, kolon
descendens, kolon sigmoideum dan rektum serta anus.

Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa iliaca
dextra sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah kanan, terletak di
sebelah ventral ren dextra, hanya bagian ventral ditutup peritoneum visceral. Jadi letak colon
ascendens ini retroperitoneal, kadang kadang dinding dorsalnya langsung melekat pada
dinding dorsal abdomen yang ditempati muskulus quadratus lumborum dan ren dextra.
Arterialisasi colon ascendens dari cabang arteri ileocolic dan arteri colic dextra yang berasal
dari arteri mesentrica superior.
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra sampai
flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum dan pankreas di
sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas. Flexura coli sinistra letaknya lebih tinggi
daripada yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga lebih tajam sudutnya dan
kurang mobile. Flexura coli dextra erat hubunganya dengan facies visceralis hepar (lobus
dextra bagian caudal) yang terletak di sebelah ventralnya. Arterialisasi didapat dari cabang
cabang arteri colica media. Arterialisasi colon transversum didapat dari arteri colica media
yang berasal dari arteri mesenterica superior pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal dari
colon transversum mendapat arterialisasi dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri
mesenterica inferior .
Mesokolon transversum adalah duplikatur peritoneum yang memfiksasi colon
transversum sehingga letak alat ini intraperitoneal. Pangkal mesokolon transversa disebut
radix mesokolon transversa, yang berjalan dari flexura coli sinistra sampai flexura coli dextra.
Lapisan cranial mesokolon transversa ini melekat pada omentum majus dan disebut
ligamentum gastro (meso) colica, sedangkan lapisan caudal melekat pada pankreas dan
duodenum, didalamnya berisi pembuluh darah, limfa dan syaraf. Karena panjang dari
mesokolon transversum inilah yang menyebabkan letak dari colon transversum sangat
bervariasi, dan kadangkala mencapai pelvis.
Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli sinistra sampai
fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum. Terletak retroperitoneal karena hanya
dinding ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak pada muskulus quadratus lumborum
dan erat hubungannya dengan ren sinistra. Arterialisasi didapat dari cabang-cabang arteri

3
colica sinistra dan cabang arteri sigmoid yang merupakan cabang dari arteri mesenterica
inferior.
Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya intraperi toneal,
dan terletak didalam fossa iliaca sinistra. Radix mesosigmoid mempunyai perlekatan yang
variabel pada fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid membentuk lipatan-lipatan yang tergantung
isinya didalam lumen, bila terisi penuh dapat memanjang dan masuk ke dalam cavum pelvis
melalui aditus pelvis, bila kosong lebih pendek dan lipatannya ke arah ventral dan ke kanan
dan akhirnya ke dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum pada dinding
mediodorsal pada aditus pelvis di sebelah depan os sacrum. Arterialisasi didapat dari cabang-
cabang arteri sigmoidae dan arteri haemorrhoidalis superior cabang arteri mesenterica
inferior. Aliran vena yang terpenting adalah adanya anastomosis antara vena haemorrhoidalis
superior dengan vena haemorrhoidalis medius dan inferior, dari ketiga vena ini yang
bermuara kedalam vena porta melalui vena mesenterica inferior hanya vena haemorrhoidalis
superior, sedangkan yang lain menuju vena iliaca interna. Jadi terdapat hubungan antara vena
parietal (vena iliaca interna) dan vena visceral (vena porta) yang penting bila terjadi
pembendungan pada aliran vena porta misalnya pada penyakit hepar sehingga mengganggu
aliran darah portal. Mesosigmoideum mempunyai radix yang berbentuk huruf V dan
ujungnya letaknya terbalik pada ureter kiri dan percabangan arteri iliaca communis sinistra
menjadi cabang-cabangnya, dan diantara kaki-kaki huruf V ini terdapat reccessus
intersigmoideus.

2.3 Fisiologi
- Pertukaran air dan elektrolit
4
Kolon ialah tempat utama bagi absorpsi air dan pertukaran elektrolit. Sebnyak 90 %
kandungan air diserap di kolon yaitu sekitar 1-2 L per hari. Natrium diabsorpsi secara aktif
melalui NA-K-ATPase. Kolon dapat mengabsorpsi sebanyak 400 mEq perhari. Air diserap
secara pasif mengikuti dengan natrium melalui perbedaan osmotik. Kalium secara aktif
disekresikan ke dalam lumen usus dan diabsorpsi secara pasif. Klorida diabsoprsi secara aktif
melalui pertukaran klorida-bikarbonat.
Degradasi bakteri dari protein dan urea menghasilkan amonia. Amonia adalah
substansi yang diabsorpsi dan ditransportasikan ke hati. Absorpsi amonia ini tergantung daro
pH intraluminal. Penggunaan antibiotik akan menyebabkan penurunan bakteri usus dan
penuran pH intraluminal yang akan menyebabkan penurunan absorpsi amonia.
- Asam lemak rantai pendek
Asam lemak rantai pendek seperti asetat, butirat dan propionat diproduksi oleh
fermentasi bakterial yang berasal dari karbohidrat. Asam lemak rantai pendek ini berguna
sebagai sumber energi bagi mukosa kolon dan metabolisme usus seperti transportasi natrium.
Kekuranga nsumber penghasil Asam lemak rantai pendek atau kolostomi, ileostomi akan
menyebabkan atrofi mukosa.

- Mikroflora kolon dan gas intestinal


Sebanyak kurang lebih 30% dari berat feses terdiri dari bakteri. Mikroorganisme yang
terbanyak ialah anaerob dan spesies terbanyak ialah Bacteroides. Escherichia coli merupakan
bakteri aerob terbanyak. Mikroflora endogen ini penting dalam pemecahan karbohodrat dan
protein di kolon dan berpartisipasi dalam metabolisne bilirubin, asam empedu, estrogen dan
kolesterol. Bakteri ini juga diperlukan dalam produksi vitamin K dan menghambat
pertumbuhan bakteri patogen seperti Clostridium difficle. Tetapi tingginya jumlah bakteri
pada colon dapat menyebabkan sepsis, abses dan infeksi.
Gas intestinal dihasilkan dari air yang tertelan, difusi dari darah dan produksi
intraluminal. Komponen utama dari gas ini ialah nitrogen, oksigen, karbon dioksida, hidrogen
dan methan. Nitrogen dan oksigen dihasilkan dari udara yang tertelan. Karbon dioksida
diproduksi dengan reaksi bikarbonat dan ion hidrogen dan perubahan trigliserid menjadi
asam lemak. Hidrogen dan methane diproduksi oleh bakteri kolon. Gas yang diproduksi
sekitar 100-200 mL dan dikeluarkan melalui flatus.
- Motilitas
5
Tidak seperti usus halus, usus besar tidak menampilkan karaktersistik dari kompleks
migrasi motorik. Usus besar memperlihatkan kontraksi intermiten. Amplitudo rendah,
kontraksi durasi pendek akan meningkatkan waktu transit di kolon, dan meningkatkan
absorpsi air dan perubahan elektrolit. Secara umum, aktivasi kolinergik meningktkan
motilitas kolon.
Pola motilitas kolon dapat mencampur dan mengeliminasi isi usus. Faktor yang
mempengaruhi motilitas ialah keadaan emosional, jumlah kegiatan dan tidur, jumlah distensi
kolon dan variasi hormonal.
Jenis- jenis gerakan :
- Gerakan retrograde. Terutama pada kolon kanan dan gerakan ini memperpanjang
lamanya kontak isi lumen dengan mukosa dan meningkatkan absorpsi air dan
elektrolit
- Kontraksi segmental. Dilakukan secara simultan oleh otot longitudinal dan sirkular.
- Gerakan massa. Terjadi 3-4 kali sehari dan dikarakteristikkan dengan kontraksi
antegrade dan propulsif.
- Defekasi
Defekasi ialah mekanisme yang kompleks dan terkoordinasi melibatkan pergerakan
massa kolon, peningkatan tekanan intra abdominal dan rektal serta relaksasi lantai pelvis.
Rasa ingin defekasi terbentuk ketika feses memasuki rektum dan menstimulasi reseptor di
dinding rektum atau otot levator.5 Distensi dari rektum menyebabkan relaksasi dari sfingter
ani yang menyebabkan kontak dengan kanal anal. Refleks ini menyebabkan epitel
memisahkan feses padat dari gas dan cair.
2.4 Epidemiologi
Secara epidemiologis, angka kejadian kanker kolorektal mencapai urutan ke-4 di dunia
dengan jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan dengan
perbandingan 19.4 dan 15.3 per 100.000 penduduk. 1
Di Indonesia, menurut laporan registrasi kanker nasional, didapatkan angka yang
berbeda. Didapatkan kecenderungan untuk umur yang lebih muda dibandingkan dengan
laporan dari negara barat. Untuk usia di bawah 40 tahun data dari Bagian Patologi Anatomi
FKUI didapatkan angka 35,36% . 1
Distribusi kanker kolorektal menurut lokasinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

6
6.8%

8.7% 11.7%

Sekum Sigmoid
1.9% 9.7%

51.5%

(sumber : Abdullah, 2006).


2.5 Etiologi
Penyebab dari keganasan kolorektal memiliki faktor genetik dan lingkungan :
 Sindroma kanker familial
Terdapat berbagai faktor genetik yang berkaitan dengan keganasan kolorektal.
Sebanyak 10-15 % kasus kanker kolorektal
 Kasus sporadik
Kasus sporadik merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 85% dari seluruh keganasan
kolorektal. Walaupun tidak ada mutasi genetik yang dapat diidentifikasi, namun
kekerabatan tingkat pertama dari pasien kanker kolorektal memiliki peningkatan
resiko 3-9 x untuk dapat terkena kanker.
 Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang ikut berpengaruh antara lain ialah diet. Diet tinggi lemak
jenuh meningkatkan resiko. Memperbanyak makan serat menurunkan resiko ini untuk
individu dengan diet tinggi lemak. Studi epidemiologik juga memperlihatkan bahwa
orang dari negara bukan industri lebih sedikit terkena resiko ini.

2.6 Patofisiologi
Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
faktor lingkungan. Kanker kolorektal yang sporadik muncul setelah melewati rentang masa
yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang menimbulkan berbagai perubahan
genetik yang berkembang menjadi kanker. Kedua jenis kanker kolorektal (herediter dan

7
sporadik) tidak muncul secara mendadak melainkan melalui proses yang diidentifikasikan
pada mukosa kolon (seperti pada displasia adenoma)1
Faktor lingkungan yang berperan pada karsinogenesis kanker kololrektal dapat dilihat pada tabel di
bawah ini :
Faktor Lingkungan Yang Berperan Pada Karsinogenesis Kanker Kololrektal
1. Probably related
a. Konsumsi diet lemak tinggi
b. Konsumsi diet lemak rendah
2. Possibly related
a. Karsinogen dan mutagen
b. Heterocyclic amines
c. Hasil metabolisme bakteri
d. Bir dan konsumsi alkohol
e. Diet rendah selenium
3. Probably protektif
a. Konsumsi serat tinggi
b. Diet kalsium
c. Aspirin dan OAINS
d. Aktivitas fisik (BMI rendah)
4. Possibly protekstif
a. Sayuran hijau dan kuning
b. Makanan dengan karoten tinggi
c. Vitamin C dan E
d. Selenium
e. Asam folat
5. Cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitor
6. Hormone Replacement Theraphy (estrogen)
(Sumber : Abdullah, 2006).

Kanker kolon terjadi sebagai akibat dari kerusakan genetik pada lokus yang mengontrol
pertumbuhan sel. Perubahan dari kolonosit normal menjadi jaringan adenomatosa dan
akhirnya karsinoma kolon menimbulkan sejumlah mutasi yang mempercepat pertumbuhan
sel. Terdapat 2 mekanisme yang menimbulkan instabilitas genom dan berujung pada kanker
kolorektal yaitu : instabilitas kromosom (Cromosomal Insyability atau CIN) dan instabilitas
mikrosatelit (Microsatellite Instability atau MIN). Umumnya asl kenker kolon melalui
mekanisme CIN yang melibatkan penyebaran materi genetik yang tak berimbang kepada sel
anak sehingga timbulnya aneuploidi. Instabilitas mikrosatelit (MIN) disebabkan oleh
8
hilangnya perbaikan ketidakcocokan atau missmatch repair (MMR) dan merupakan
terbentuknya kanker pada sindrom Lynch (Abdullah, 2006).
Gambar di bawah ini menunjukkan mutasi genetik yang terjadi pada perubahan dari
adenoma kolon menjadi kanker kolon.

Awal dari proses terjadinya kanker kolon yang melibatkan mutasi somatik terjadi pada
gen Adenomatous Polyposis Coli (APC). Gen APC mengatur kematian sel dan mutasi pada
gen ini menyebabkan pengobatan proliferasi yeng selanjutnya berkembang menjadi adenoma.
Mutasi pada onkogen K-RAS yang biasnya terjadi pada adenoma kolon yang berukuran besar
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan sel yang tidak normal.
Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen supresor
tumor p53. Dalam keadaan normal protein dari gen p53 akan menghambat proliferasi sel
yang mengalami kerusakan DNA, mutasi gen p53 menyebabkan sel dengan kerusakan DNA
tetap dapat melakukan replikasi yang menghasilken sel-sel dengan kerusakan DNA yang
lebih parah. Replikasi sel-sel dengan kehilangan sejumlah segmen pada kromosom yang
berisi beberapa alele (misal loss of heterizygosity), hal ini dapat menyebabkan kehilangan gen
supresor tumor yang lain seperti DCC (Deleted in Colon Cancer) yang merupakan
transformasi akhir menuju keganasan.

9
2.7 Manifestasi klinis
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai
darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan
(caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri
mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum,
kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker
kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal
berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor.
Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding distensi serta isi fecal
ialah air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma kolon kanan dapat tumbuh besar sebelum
terdiagnosa. Pasien sering mengeluh lemah karena anemia. Darah makroskopis sering tidak
tampak pada feses tetapi dapat mendeteksi tes darah samar. Pasien dapat mengeluh
ketidaknyamanan pada kuadran kanan perut setelah makan dan sering salah diagnosa dengan
penyakit gastrointestinal dan kandung empedu. Jarang sekali terjadi obstruksi dan gangguan
berkemih.
Kolon kanan :
- Kelemahan yang tidak dapat dijelaskan / anemia
- Tes darah samar pada feses
- Gejala dispepsia
- Ketidaknyamanan abdomen kanan persisten
- Teraba massa abdominal
Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan konsistensi feses
ialah semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat secara gradual mengoklusi lumen yang
menyebabkan gangguan pola defekasi yaitu konstipasi atau peningkatan frekuensi BAB.
Pendarahan dari anus sering namun jarang yang masif. Feses dapat diliputi atau tercampur
dengan darah merah atau hitam. Serta sering keluar mukus bersamaan dengan gumpalan
darah atau feses.
Kolon kiri :
- Gangguan pola buang air besar
- Darah makro pada feses
- Gejala obstruksi
Pada kanker rektum, gejala utama yang terjadi ialah hematokezia. Perdarahan
seringkali terjadi persisten. Darah dapat tercampur dengan feses atau mukus. Pada pasien
10
dengan perdarahan rektal pada usia pertengahan atau tua, walaupun ada hemoroid, kanker
tetap harus dipikirkan.
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya
adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini
adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan
penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau
buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat
terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan
menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal
ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika
urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria.
Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan
hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon.
Rektum :
- Pendarahan per rektal
- Gangguan pola buang air
- Adanya sensasi tidak lampias
- Teraba tumor intrarectal

Tabel 2.2 Gambaran klinis karsinoma kolorektal


KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUM
ASPEK KLINIS Kolitis Obstruksi Proktitis
NYERI Karena penyusupan Obstruksi Obstruksi
DEFEKASI Diare/diare berkala Konstipasi progresif Tenesmi terus
menerus
OBSTRUKSI Jarang Hampir selalu Hampir selalu
DARAH PADA Samar Samar/makroskopik Makroskopik
FESES
FESES Normal/diare berkala Normal Perubahan bentuk
DISPEPSIA Sering Jarang Jarang
ANEMIA Hampir selalu Lambat Lambat
MEMBURUKNYA Hampir selalu Lambat Lambat
11
KEADAAN UMUM

2.7 Stadium
Stadium dan faktor prognostis kanker kolorektal dapat dilihat pada tabel dan gambar di
bawah ini:
Stadium Deskripsi histopatologi Bertahan 5
Dukes TNM Derajat tahun (%)
A T1N0M0 I Kanker terbatas pada >90
mukosa/submukosa
B1 T2N0M0 II Kanker mencapai muskularis 85
B2 T3N0M0 III Kanker cenderung 70-80
masuk/melewati mukosa
C TxN1M0 IV Tumor melibatkan KGB regional 35-65
D TxN2M1 V Metastasis 5
2.8 Pendekatan Diagnosis
Pada pasien dengan gejala keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali dari beberapa
tanda seperti : anemia mikrositik, hematozesia, nyeri perut, berat badan turun atau perubahan
defekasi oleh sebab itu perlu segera dilakukan pemeriksaan endoskopi atau radiologi.
Temuan darah samar di feses memperkuat dugaan neoplasma namun bila tidak ada darah
samar tidak dapat menyingkirkan lesi neoplasma.
Laboratorium
Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon memberikan hasil
normal. Perdarahan intermitten dan polip yang besar dapat dideteksi melalui darah samar
feses atau anemia defisiensi besi.
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi 50% polip kolon
dengan spesifitas 85%. Bagian rektosigmoid sering untuk divisualisasi oleh karena itu
pemeriksaan rektosigmoideskopi masih diperlukan. Bilamana ada lesi yang mencurigakan
pemeriksaan kolonoskopi diperlukan untuk biopsi. Pemeriksaaan lumen barium teknik
kontras ganda merupakan alternatif lain untuk kolonoskopi namun pemeriksaan ini sering tak
bisa mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema barium cukup efektif untuk memeriksa
memeriksa bagian kolon di balik striktur yang tak terjangkau dengan pemeriksaan
kolonoskopi.

12
Gambaran radiologi kanker kolon dengan menggunakan pemeriksaan barium enema
dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Kolonoskopi
Kolonoskopi merupakan cara pemeriksaan mukosa kolon yang sangat akurat dan dapat
sekaligus melakukan biopsi pada lesi yang mencurigakan. Pemeriksaan kolon yang lengkap
dapat mencapai >95% pasien. Rasa tidak nyaman yang timbul dapat dikurangi dengan
pemberian obat penenang intravena meskipun ada risiko perforasi dan perdarahan.
Kolonoskopi dengan enema barium terutama untuk mendeteksi lesi kecil seperti adenoma.
Kolonoskopi merupakan prosedur terbaik pada pasien yang diperkirakan menderita polip
kolon. Kolonskopi mempunyai sensitivitas 95% dan spesitivitas 99% paling tinggi untuk
mendeteksi polip adenomatous, di samping itu dapat melakukan biopsi untuk menegakkan
diagnosis secara histologis dan tindakan polipektomi penting untuk mengangkat polip.

Evaluasi histologis
Adenoma diklasifikasikan sesuai dengan gambaran histologi yang dominan, yang
paling sering adalah adenoma tubular 85%, adenoma tubulovisum 10% dan adenoma serrata
1%. Temuan sel atipik pada adenoma dikelompokkan menjadi ringan, sedang dan berat.
Gambaran atipik berat menunjukkan adanya fokus karsinomatosus namun belum menyentuh
membran basalis. Bilamana sel ganas menembus membran basalis tapi tidak melewati
muskularis mukosa disebut karsinoma intramukosa. Secara umum displasi bearat atau
adenokarsinoma berhubungan dengan dengan ukuran polip dan dominasi jenis vilosum.
Gambaran histologis kanker kolon bisa dilihat pada gambar di bawah ini :

13
(sumber : Abdullah, 2006)

Diagnosis kanker kolon melalui sigmoidoskopi, barium enema atau kolonoskopi


dengan biopsi harus diikuti dengan prosedur penentuan stadium untuk menentukan luasnya
tumor. Pemeriksaan CT scan abdomen dan radiografi dada harus dilakukan, adanya tumor
yang terloksalisir biasanya mengharuskan pembedahan radikal untuk mengeksisi tumor
secara total dengan tepi minimal 6 cm dan dengan reseksi en bloc pada semua kelenjar getah
bening di akar mesenterium (Schein, 1997)
Deteksi dini pada pasien tanpa gejala
Deteksi dini pada masyarakat luas dilakukan dengan beberapa cara, seperti : tes darah
samar dari feses, dan sigmoidoskopi. Pilihan lain berdasarkan waktu antara lain: FOBT
(Fecal Occult Blood test) setahun sekali, sigmoidokopi fleksibel setiap 5 tahun, enema
barium kontras ganda setiap 5 tahun dan kolonoskopi setiap 10 tahun (Abdullah, 2006).

2.9 Diagnosis
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, colok dubur dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon dengan kontras ganda.
Pemeriksaan ini sebaiknya di lakukan setiap 3 tahun untuk usia diatas 45 tahun. Kepastian
diagnosis ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi.
Pemeriksaan tambahan ditujukan pada jalan kemih untuk kemungkinan tekanan ureter
kiri atau infiltrasi ke kandung kemih, serta hati dan paru untuk metastasis.
Diagnosis pada pasien dapat dilakukan sesuai bagan di bawah ini:

14
(Diadaptasi dari Winawer SJ, Fletcher RH, Miller L, Godlee F, Stolar MH, Mulrow CD, et al.
Colorectal cancer screening: clinical guidelines and rationale. Gastroenterology 1997;112:594-642
[Published errata in Gastroenterology 1997;112:1060 and 1998;114:635].)

2.10 Penatalaksanaan
Meskipun adenoma kolon merupakan lesi pre maligna, namun perjalanan menjadi
adenokarsinoma belum diketahui. Pengamatan jangka panjang menunjukkan bahwa
perkembangan menjadi adenokarsinoma dari polip 1 cm 3% setelah 5 tahun, 8% setelah 10
tahun dan 24% setelah 20 tahun diagnosis ditegakkan. Pertumbuhan dan potensi ganas

15
bervariasi secara substansial. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk perubahan adenoma
menjadi adebikarsinoma adalah 7 tahun, laporan lain menunjukkan polip adenomatous
dengan atipia berat menjadi kanker membutuhkan waktu rata-rata 4 tahun dan bila atipia
sedang 11 tahun (Abdullah, 2006).
Kemoprevensi
Obat Anti Inflamatori Steroid (OAIN) termasuk aspirin dianggap berhubungan dengan
penurunan motalitas kanker kolon. Bebrapa OAIN seperti sulindac dan celecoxib telah
terbukti sewcara efektif menurunkan insidens berulangnya adenoma pada pasien dengan
Familial Adenomatous Polyposis (FAP). Data epidemiologi menunjukkan adanya penurunan
risiko kanker di kalangan pemakai OAIN namun bukti yang mendukung manfaat pembrian
aspirin dan OAIN lainnya untuk mencegah kanker kolon sporadik masih lemah. (FKUI)
Endoskopi dan operasi
Umumnya polip adenomentasi dapat diangkat dengan tingkat polipektomi. Bila ukuran
<5mm maka pengangkatan cukup dengan biopsi atau elektrokoagulasi bipolar. Di samping
polipektomi dapat diatasi dengan operasi, indikasi untuk hemikolektomi adalah tumor di
caecum, kolon ascenden, kolon transversum tetapi lesi di fleksura lienalis dan kolon desenden
di atasi dengan hemikolektomi kiri. Tumor di sigmoid dan rektum proksimal dapat diangkat
dengan tindakan Low Anterior Resection (LAR). Angka mortalitas akibat operasi sekitar 5%
tetapi bila operasi dikerjakan secara emergensi maka angka mortalitas menjadi lebih tinggi.
Reseksi terhadap metastasis di hepar dapat memberikan hasil 23-35% rata-rata bebas tumor.
Terapi utama untuk kanker usus besar adalah pembedahan dengan eksisi luas,
mencakup daerah drainase limfe yang tepat. Untuk kebanyakan pasien, eksisi yang tepat
adalah hemikolektomi kiri atau kanan, tetapi pada beberapa pasien dengan beberapa adenoma
dan pasien muda dengan kanker, beberapa ahli bedah menyarankan kolektomi total dan
anastomosis ileorektal.

a. Kanker kolon kanan


kanker kolon kanan dengan atau tanpa obstruksi diterapi dengan hemikolektomi kanan
dan anastomosis promer. Reseksi diindikasikan meskipun ada metastasis hepatik, karena
reseksi merupakan paliasi terbaik. Pada pasien dengan obstruksi yang nyata, operasi harus

16
dilakukan sebagai tindakan darurat. Kadang-kadang reseksi tidak mungkin dilakukan, dan
ahli bedah harus memintas tumor dengan menganastomosis ileum ke kolon transversal.
Pengangkatan usus kanan dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

(Sumber : Jones dan Schofield, 1996)


b. Kanker kolon kiri
Jika tidak ada obstruksi usus, maka terapi pilihan untuk kanker kolon kiri adalah eksisi
luas dengan hemikolektomi kiri atau kolektomi sigmoid dengan anastomosis primer. Reseksi
dilakukan meskipun ada tumor sekunder dari hepar, karena reseksi memberikan paliasi
terbaik. Kolostomi saja tidak pernah dipertimbangkan bila tidak ada obstruksi, karena
mempunyai nilai paliatif yang kecil. Hemikolektomi kiri dapat dilihat pada gambar di bawah
ini :

Pada kasus dengan obstruksi kolon kiri, metode tradisional yang digunakan adalah
prosedur 3 tahap:
1. Kolostomi saja
2. Reseksi dengan anastomosis
3. Penutupan kolostomi
Perkembangan selanjutnya menunjukkan adanya kecenderungan ke arah reseksi
sebagai prosedur primer. Seringkali tidak dilakukan anastomosis pada operasi darurat. Kolon
atas yang tersisa dikeluarkan seperti pada kolostomi, dan kolon bawah dikeluarkan (dengan

17
menghasilkan fistula mukus) atau ditutup (dengan prosedur Hartmann). Operasi kedua dapat
dilakukan jika pasien sudah benar-benar pulih dan kesinambungan usus dapat dipertahankan.
Tindakan lebih lanjut dapat dilakukan dengan cara tidak hanya mereseksi tumor tetapi
juga melakukan anastomosis primer. Hal ini dibantu dengan pembilasan kolon di atas meja
operasi, yang membersihkan kolon dari feses dan mengurangi disproporsi ukuran antara usus
yang di atas dan di bawah karsinoma yang direseksi. Pilihan lebih lanjut adalah melakukan
kolektomi subtotal dan anastomosis usus kecil ke sisa kolon distal atau rektum.
c. Karsinoma rektum
Pada tumor rectum 1/3 proximal dilakukan reseksi anterior tinggi (12-18 cm dari garis anokutan)
dengan atau tanpa stapler. Pada tumor rectum 1/3 tengah dilakukan reseksi dengan mempertahankan
spingter anus, sedangkan pada tumor 1/3 distal dilakukan amputasi rectum melalui abdominal perineal.
Reseksi abdoperineal dengan kel retroperitoneal menurut geenu-miles. Alat stapler untuk membuat
anastomisis di dalam panggul antara ujung rectum yang pendek dan kolon dengan mempertahankan
anus dan untuk menghindari anus pneternaturalis.Reseksi anterior rendah pada rectum
dilakukan melalui laparatomi dengan menggunakan alat stapler untuk membuat anastomisis kolorektal/
koloanal rendah

Pilihan terapi untuk kanker rektum bagian bawah lebih bervariasi, terapi standar untuk
tumor <6cm dari tepi anal masih dengan eksisi abdominoperineal rektum dengan kolostomi
ujung. Terapi pilihan lain dapat dipertimbangkan. Beberapa tumor yang berdiameter 5-6 cm
dapat ditangani dengan eksisi rektal dan anstomosis koloanal. Pada tumor kecil yang
berdiameter kurang dari 3-4 cm tanpa terlihat penyebaran ekstra rektal, terapi lokal mungkin
efektif; dengan pemilihan cermat, hasil akhir dapat sangata baik. Metode yang memuaskan
adalah eksisi lokal, dekstruksi dengan diatermi dan radioterapi lokal.
Terapi ajuvan
Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalami rekurensi. Kemoterapi
ajuvan dimaksudkan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker kolon setelah operasi.

18
Pasien dengan kriteria Dukes C yang mendapat levamisol dan 5 FU secara signifikan
meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas tumor. Kemoterapi ajuvan tidak
berpengaruh pada pasien dengan kriteria Dukes B. Irinotecan (CPT11) inhibitor topoisomer
dapat memperpanjang masa harapan hidup. Oxaliplatin analog platinum juga memperbaiki
respon setelah diberikan 5FU dan leucoverin. Manajemen kanker kolon yang tidak reseksibel
meliputi : Nd-YAG foto koagulasi laser dan self expanding metal endoluminal stent.
Pemilihan terapi pada pasien disesuaikan dengan stadium penyakitnya, seperti gambar
dibawah ini:

Pertimbangan untuk melakukan terapi bedah dilakukan berdasarkan stadium kanker


pasien, seperti bagan bawah ini:

Penentuan stadium

A B C

Tumor metastasis
Tumor Dukes A dan B1 Tumor Dukes B2 dan C

Pembedahan radikal Pembedahan radikal Pembedahan


paliatif

Observasi Observasi

Percobaan klinis Kemoterapi


dengan terapi ajuvan

Keterangan :
A. Tumor dengan klasifikasi Dukes A atau B 1, dimana tumor belum mempenetrasi
keseluruhan tebal dinding usus, bentuk kemoterapi ajuvan tidak diperlukan, tetapi

19
rencana pengawasan ketat untuk dteksi dini adanya rekurensi harus dilakukan. Tindakan
tersebut harus termasuk adanya pemeriksaan fisik dan pemeriksaan carciniembryogenik
antigen (CEA) tiap 3 bulan dan foto dada dengan interval 6 bulan. Kolonoskopi harus
diulangi dalam waktu 1 tahun untuk mendeteksi secara dini adanya pembentukan polip
dan, jika negatif selanjutnya harus diulangi dengan interval 3 tahun. Follow-up yang
lebih ketat diperlukan pada pasien dengan tumor yang timbul pada keadaan peradangan
usus (inflammatory bowel disease) atau sindroma poliposis herediter. Pada kasus
tersebut, harus diambil pertimbangan untuk melakukan kolektomi profilaksis.
B. Bagi pasien dengan lesi dukes B2 dan C, dengan penetrasi melalui lapisan muskularis
dan/metastasis kelenjar getah bening regional, harus diambil pertimbangan untuk
memasukkan pasien ke dalam percobaan terapi klinis terapi ajuvan. Pada saat ini, data
dari percobaan terkontrol tidak mengharuskan pemakaian rutin kemoterapi ajuvan
dengan 5-flourouracil (5-FU) atau dengan kombinasi 5-FU dengan semustine (methyl-
CCNU [methyl-cyclohexyl chloroethylni-trosoureal]).
C. Pada keadaan metastasis, pertimbangan pertama harus diberikan terhadap reseksi paliatif
tumor primer. Komplikasi berupa obstruksi, perdarahan, dan perforasi mungkin
ditemukan. Metastasis simptomati harus dihilangkan dengan kemoterapi. Walaupun
pemberian 5-FU secara intravena dengan jadwal setiap minggu atau tiap 5 hari
merupakan seni dalammemberikan pengobatan, penelitian sekarang masih dalam
perkembangan untuk mencari bentuk pengobatan yang lebih efektif baik dengan
kombinasi 5-FU dengan leucovorin dan/methotrexate, atau dengan memberikan infus
intravena setiap 2 minggu dengan cis-platinum. Bagi pasien dengan metastasis ke hepar,
pasien tertentu dengan nodul tumor tunggal mungkin merupakan calon untuk reseksi
hepar parsial yang dalam beberapa penelitian telah menyebabkan kemungkinan hidup
yang lama dan bebas dari penyakit pada 25% kasus. Selain itu, penggunaan infs 5-FU
atau 5-FUDR (5=fluorodeoxyuridine) ke dalam sirkulasi arteri hepatik telah dilaporkan
meningkatkan paliasi dalam beberapa serial, walaupun belum dibuktikan dapat
memperbaiki kemungkinan bertahan hidup dalam kontrol lengkap.

2.11 Komplikasi
Komplikasi primer dihubungkan dengan kanker kolorektal, antara lain :
a. Obstruksi usus diikuti dengan penyempitan lumen akibat lesi
20
b. Perforasi dari dinding usus oleh tumor, diikuti kontaminasi organ peritoneal
c. Perluasan langsung ke organ-organ yang berdekatan
Komplikasi yang timbul setelah pembedahan (reseksi usus besar) dibagi menjadi 2
berdasarkan perkiraan waktu munculnya komplikasi, yaitu komplikasi segera dan
komplikasi lambat. Komplikasi segera meliputi :
a. Kardiorespirasi
b. Kebocoran anastomosis
c. Infeksi luka
d.Retensi urine
e. Impoten
Komplikasi lambat meliputi :
a. Kekambuhan
b. Sistemik
c. Lokal
2.12 Faktor prognostis
Harapan hidup pasien dengan kanker kolon bergantung pada derajat penyebaran saat pasien
datang. Prognosis pasien berhubungan dengan dalamnya penetrasi tumor ke dinding kolon,
keterlibatan KGB regional atau metastasis jauh, penyebaran lokal yang dapat menyebabkan
perlekatan dengan struktur yang tak dapat diangkat, dan derajat histologi yang tinggi. Semua
variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan sistem staging yang dimodifikasi dari skala
Dukes-Turnbull.
Klasifikasi kanker kolorektal menurut Dukes-turnbull dapat dilihat pada gambar di
bawah ini :

21
KESIMPULAN
Karsinoma kolorektal merupakan penyebab kematian kedua setelah keganasan di
paru-paru di USA. diperkirakan pada tahun 2008 ditemukan 150.000 kasus baru dan 60.000
diantaranya meninggal karena karsinoma kolorektal. Tingginya angka kematian tersebut
menyebabkan berbagai upaya untuk menguranginya, salah satunya dengan kebijakan deteksi
dini atau skrining terhadap kelompok berisiko yang asimptomatis. Sebagian besar dari
modalitas skrining yang dimaksud adalah radiologic imaging: Flexible Sigmoidoscopy (FS),
Colonoscopy, Double Contrast Barium Enema dan CT Colonography (CTC). Pemilihan
modalitas skrining tersebut tergantung pada kondisi pasien, teknologi yang dimiliki, resiko
dan keuntungan modalitas terhadap pasien, serta kemampuan operator. Penanganan
karsinoma kolorektal membutuhkan kecermatan pemeriksaan preoperatif untuk dapat
memutuskan modalitas terapi baik pembedahan, kemoterapi maupun radioterapi. Penanganan
postoperatif dan follow-up sangat tergantung pada pemeriksaan dan penanganan yang dapat
dilakukan sebelumnya. Hal ini sangat ditentukan oleh staging karsinoma, yang salah satunya
dapat ditentukan oleh imaging seperti ultrasonografi, CT Scan, maupun MRI. Pada
prinsipnya, semakin dini diagnosis karsinoma kolorektal, semakin baik prognosisnya karena
penanganannya dapat dengan pembedahan kuratif.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Murdani. 2006. Tumor Kolorektal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV

jilid I. FKUI : Jakarta hal: 373-378

Anonimous,http://users.rcn.com/jkimball.ma.ultranet/BiologyPages/C/Cancer.html diupload

tanggal 25 Oktober 2012 16:39 WIB.

22
Doherty m, Gerard. 2006. CURRENT SURGICAL diagnosis & treatment 12th edition.

International edition, p: 738.

Jones & Schofield. 1996. Neoplasia Kolorektal dalam Petunjuk Penting Penyakit Kolorektal.

EGC : Jakarta hal :58-65

Roediger, WEW. 1994. Cancer of the Colon, rectum and Anus in Manual of Clinical

Oncology Sixth edition. UICC : Germany p:336-347

Winawer SJ, Fletcher RH, Miller L, Godlee F, Stolar MH, Mulrow CD, et al. Colorectal

cancer screening: clinical guidelines and rationale. Gastroenterology

1997;112:594-642 [Published errata in Gastroenterology 1997;112:1060 and

1998;114:635].)

23

Anda mungkin juga menyukai