Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

LATAR BELAKANG
Nekrotik Tubular Akut (NTA) adalah kesatuan klinikopatologik yang ditandai secara morfologik
oleh destruksi sel epitel tubulus dan secara klinik oleh supresi akut fungsi ginjal (Alpers dan Fogo,
2007). Dibedakan atas NTA iskemik dan NTA nefrotoksik. NTA nefrotoksik disebabkan oleh berbagai
bahan seperti toksin, obat obatan, atau konsentrasi tinggi zat yang potensial merusak dan berbahaya
seperti zat kimia dan logam berat (Underwood, 2000; Alpers dan Fogo, 2007).
Kerusakan tubulus proksimal ginjal akibat zat nefrotoksis terlihat adanya penyempitan tubulus
proksimal, nekrosis sel epitel tubulus proksimal dan adanya hialin cast di tubulus distal (Manggarwati
dan Susilaningsih, 2010). Tampak juga degenerasi tubulus proksimal yang mengandung debris, tetapi
membrana basalis utuh (Underwood, 2004 ; Alpers dan Fogo, 2007).
Patogenesis Nekrotik Tubular Akut (NTA) dapat terjadi karena berkurangnya aliran darah ke
ginjal sebagai akibat suatu penurunan tekanan darah. Karena epitel tubulus-tubulus ginjal terutama
tubulus proksimal sangat peka terhadap suatu iskemia, maka jaringan ini dalam batasbatas tertentu
akan mengalami kerusakan, walaupun sisa jaringan ginjal lainnya tampak seperti tidak mengalami
kelainan. NTA dapat juga disebabkan karena keracunan, misalnya zat kimia, air raksa atau karbon
tetraklorida. Efeknya terhadap epitel tubulus langsung akibat kontak antara racun yang kemudian
diekskresi dalam urin dengan epitel ini (Alpers dan Fogo, 2007).
Di Indonesia, data lengkap mengenai NTA belum tersedia. Prevalensi NTA di Amerika +1% saat
masuk rumah sakit dan 2-5% selama dirawat.3,9 Nekrosis tubular akut merupakan penyebab utama
AKI pada pasien yang dirawat (38%) dan pasien di ICU (76%).9 Mortalitas NTA pada pasien yang
dirawat dan pasien di ICU berturut-turut adalah 37,1% dan 78,6%. Pada 56-60% pasien, ginjal dapat
sembuh sempurna, sedangkan 5-11% pasien memerlukan dialysis.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.

Anatomi, Fisiologi dan Histologi Ginjal


1

Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di daerah lumbal, di sebelah kanan dan kiri
tulang belakang dibungkus lapisan lemak, dibelakang peritonium (Price dan Wilson, 2006). Ginjal
merupakan sepasang organ yang besar, berbentuk seperti kacang dengan warna kemerahan. Posisi hati
menyebabkan ginjal kanan terletak 1-2cm lebih rendah dibandingkan ginjal kiri. Masing-masing ginjal
memiliki berat 130-150gram dengan ukuran panjang 11cm, lebar 4-5cm, dan tebal 3cm (Gartner dan
Hiatt, 2007).
Permukaan ginjal licin dan terdapat di dalam suatu kapsul yang dikelilingi lemak perinefrik dan
fasia Gerota (Chandrasoma dan Clive, 2005). Bila massa ginjal membesar, ini ditandai pergeseran
lemak di sekitar ginjal (Effendi dan Markum, 2007).
Sisi medial ginjal berbentuk cekung dan sisi lateralnya cembung. Sisi cekung medial (hilum)
ginjal merupakan tempat masuknya saraf, keluar masuknya pembuluh darah dan pembuluh limfa, serta
keluarnya ureter (Junqueira dan Carneiro, 2007).

Gambar 1 : anatomi ginjal

Gamabar 2 : histologi ginjal

Sel epitel tubulus proksimal sangat peka terhadap anoksia dan rentan terhadap toksik. Banyak
faktor yang memudahkan tubulus mengalami toksik, seperti permukaan bermuatan listrik yang luas
untuk reabsorbsi tubulus, sistem transport aktif untuk ion dan asam organik, kemampuan melakukan
pemekatan secara efektif, selain itu kadar sitokrom P450 yang tinggi untuk mendetoksifikasi atau
mengaktifkan toksikan (Cotran et al., 2003).
Tubulus kontortus proksimalis berlanjut sebagai ansa henle. Ansa henle adalah struktur
berbentuk U terdiri atas ruas tebal desenden, dengan struktur yang sangat mirip tubulus kontortus
proksimalis, sedangkan ruas tipis desenden, ruas tipis asenden, dan ruas tebal asenden, yang
strukturnya sangat mirip tubulus kontortus distal. Di medula bagian luar, ruas tebal desenden dengan
garis tengah luar sekitar 60m, secara mendadak menipis sampai sekitar 12m dan berlanjut sebagai
ruas tipis desenden. Lumen ruas nefron ini lebar karena dindingnya terdiri atas sel epitel gepeng yang
intinya hanya sedikit menonjol ke dalam (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Tubulus kontortus distalis merupakan bagian akhir dari nefron, dilapisi epitel sel kuboid.
Disinilah tempat mekanisme yang mengendalikan jumlah total garam dan air tubuh. Tubulus distal
mensekresi ion hidrogen dan amonium kedalam urin tubulus dan aktifitas ini penting untuk
mempertahankan keseimbangan asam-basa dalam darah (Junqueira dan Carneiro, 2007).

A.

B.

Gambar 3 : histologi

Persarafan ginjal berasal dari pleksus simpatikus renalis dan tersebar sepanjang cabang-cabang
arteri vena renalis. Serabut aferen yang berjalan melalui plexus renalis masuk ke medula spinalis
melalui nervus torakalis X, XI, dan XII. Sifat inervasinya adalah vasomotor untuk pembuluhpembuluh darah (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Ginjal mengatur komposisi kimia dari lingkungan dalam melalui suatu proses majemuk yang
melibatkan filtrasi, absorpsi aktif, absorpsi pasif dan sekresi. Filtrasi terjadi dalam glomerulus, tempat
ultrafiltrat dari plasma darah terbentuk. Tubulus nefron terutama tubulus proksimalis mengabsorbsi
zat-zat dalam substrat yang berguna bagi metabolisme tubuh, sehingga memelihara homeostatis
lingkungan dalam (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Filtrasi memindahkan produk sisa tertentu dari darah ke dalam lumen tubulus, yang dikeluarkan
bersama urin. Dalam keadaan tertentu, dinding duktus koligens dapat ditembus air, sehingga
membantu memekatkan urin, yang umumnya. Hipertonik terhadap plasma darah. Dengan cara ini,
organisme mengatur air, cairan interselular dan keseimbangan osmotik (Junqueira dan Carneiro,
2007). Ginjal merupakan alat tubuh yang strukturnya amat rumit, berperan penting
dalam pengelolaan berbagai faal utama tubuh. Beberapa fungsi ginjal :
Regulasi volume dan osmolalitas cairan tubuh
Bila tubuh kelebihan cairan maka terdapat rangsangan melalui arteri karotis interna ke
osmoreseptor di hipotalamus anterior. Rangsangan tersebut diteruskan ke kelenjar hipotalamus
posterior sehingga produksi hormone anti diuretik (ADH) dikurangi dan akibatnya diuresis banyak.
Regulasi keseimbangan elektrolit
4

Untuk mempertahankan homeostasis, ekskresi air dan elektrolit seharusnya sesuai dengan
asupan. Jika asupan melebihi ekskresi, jumlah zat dalam tubuh meningkat. Jika asupan kurang dari
ekskresi, jumlah zat dalam tubuh berkurang.

C.

Regulasi keseimbangan asam basa


Ginjal turut mengatur asam-basa, bersama dengan sistem dapar paru dan cairan tubuh, dengan
mengekskresi asam dan mengatur penyimpanan dapar cairan tubuh.

D.

Ekskresi produk metabolit dan substansi asing


Ginjal merupakan organ utama untuk membuang produk sisa metabolism yang tidak diperlukan
lagi oleh tubuh, seperti urea (dari metabolisme asam amino), kreatinin (dari kreatin otot), asam urat
(dari asam nukleat), produk akhir pemecahan hemoglobin (seperti bilirubin), dan metabolit dari
berbagai hormon. Ginjal membuang banyak toksin dan zat asing lainnya yang diproduksi oleh tubuh
atau pencernaan, seperti pestisida, obat-obatan dan makanan tambahan.

E.

F.

G.

Fungsi endokrin
a.

Partisipasi dalam eritropoiesis : Ginjal mengsekresi eritropoietin, yang merangsang


pembentukan sel darah merah. Salah satu rangsangan yang penting untuk sekresi eritropoietin oleh
ginjal ialah hipoksia.

b.

Pengatur tekanan arteri : Ginjal berperan dalam mengatur tekanan arteri jangka panjang
dengan mengekskresi sejumlah natrium dan air. Ginjal juga mengatur tekanan arteri jangka pendek
dengan mengsekresi faktor atau zat vasoaktif, seperti renin yang menyebabkan pembentukan produk
vasoaktif (misalnya angiotensin II).
Pengaturan produksi 1,25-dihidroksi vitamin D3
Ginjal menghasilkan bentuk aktif dari vitamin D, yaitu 1,25-dihidroksi
vitamin D3.
Sintesa glukosa
Ginjal menerima sekitar 20% hingga 25% dari curah jantung atau sekitar 1000 hingga 1200
ml/menit untuk difiltrasi. Semua elemen akan mengalami filtrasi, termasuk air, elektrolit, dan
nonelektrolit, kecuali untuk sel darah merah dan sebagian besar protein. Transport ion dan molekul
melalui peristiwa reabsorbsi dan sekresi di sepanjang tubulus melalui mekanisme transport aktif atau
pasif. Molekul-molekul air bergerak secara osmosis jika terdapat gradien konsentrasi ion-ion atau
molekul yang melewati membrane semipermeabel. Sejumlah dua pertiga dari hasil filtrasi glomerulus
diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal, hanya sekitar 1% yang diekskresikan ke urine.
Gangguan pada fungsi ginjal dapat diketahui melalui pengukuran beberapa bahan-bahan hasil
metabolisme diantaranya adalah ureum (BUN, Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin.
5

Ureum atau urea nitrogen darah (Blood Urea Nitrogen/BUN) merupakan hasil metabolisme
protein normal. Tahapan pembentukan ureum dimulai dengan derivat asam amino ornitin yang
bergabung dengan satu molekul karbondioksida dan satu molekul amonia untuk membentuk zat kedua
yaitu sitrulin.
Sitrulin kemudian bergabung dengan molekul amonia lain untuk membentuk arginin, yang
kemudian dipecah menjadi ortinin dan ureum. Ureum berdifusi dari sel hati ke cairan tubuh dan
dikeluarkan melalui ginjal berupa urin. (1)
Kadar ureum yang tinggi dalam tubuh akan bersifat toksik karena sifatnya mendenaturasi
protein (Doxey, 1983). Sedangkan kreatinin disintesis di dalam hati dari metionin, glisin dan arginin.
Dalam otot rangka, kreatin disfosforilasi membentuk fosforil kreatin, merupakan simpanan tenaga
penting bagi sintesis ATP. Kretinin diekskresikan seluruhnya dalam urin melalui filtrasi glomerulus
dan meningkatnya kadar kreatinin dalam darah merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal. Pada
hewan mencit kadar normal BUN antara 13,9 28,3 mg/dl dan kreatinin antara 0,30 1,0 mg/dl.
2.2.

Proses Degenerasi dan Nekrosis Sel


Sel adalah unit terkecil yang menunjukkan semua sifat dari kehidupan. Aktifitasnya memerlukan
energi dari luar untuk proses pertumbuhan, perbaikan dan reproduksi. Ketika mengalami stres
fisiologis atau rangsang patologis, sel bisa beradaptasi mencapai kondisi baru dan mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Namun bila kemampuan adaptif berlebihan sel mengalami jejas. Dalam batas
tertentu bersifat reversibel dan sel kembali ke kondisi semula. Stres yang berat atau menetap
menyebabkan cedera ireversibel dan sel yang terkena mati (Cotran et al., 2003).
Penyebab cedera sel : deprivasi oksigen, infeksi, reaksi imun, defek genetik, ketidakseimbangan
nutrisi, obat-obatan dan bahan kimia (Robbins et al., 2007). Rhodamin B termasuk sebagai bahan
kimia dapat menyebabkan jejas sel. Bahan tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada tingkat seluler
dengan mengubah permeabilitas membran, homeostasis osmotik, keutuhan enzim atau kofaktor dan
dapat berakhir dengan kematian seluruh organ.
Zat kimia menginduksi cedera sel melalui cara langsung bergabung dengan komponen
molekuler atau organel seluler. Pada kondisi ini kerusakan terbesar tertahan oleh sel yang
menggunakan, mengabsorpsi, mengekskresi, atau mengonsentrasikan senyawa. Banyak zat kimia lain
yang tidak aktif secara intrinsik biologis, tetapi pertama kali harus dikonversi menjadi metabolit toksik
reaktif yang kemudian bekerja pada sel target. Bahan kimia misalnya rhodamin B menerima atau
mendonor elektron bebas selama reaksi intrasel sehingga mengkatalisis pembentukan radikal bebas.
Terdapat 3 reaksi jejas sel yang diperantarai radikal bebas yaitu peroksidase membran lipid,
fragmentasi DNA dan ikatan silang protein. Interaksi radikal lemak menghasilkan peroksida yang
6

tidak stabil dan reaktif dan terjadi reaksi autokatalitik. Reaksi radikal bebas dengan timin pada DNA
mitokondria dan nuklear menimbulkan rusaknya untai tunggal.
Kerusakan DNA memberikan implikasi pada pembunuhan sel dan perubahan sel menjadi ganas.
Radikal bebas mencetuskan ikatan silang protein yang diperantarai sulfhidril, menyebabkan
peningkatan kecepatan degradasi atau hilangnya aktifitas enzimatis. Reaksi radikal bebas juga secara
langsung menyebabkan fragmentasi polipeptida.

Gambar 4 ; proses degenerasi dan nekrosis sel

2.3.

DEFINISI
Nekrosis tubular akut (NTA) secara patologis ditandai dengan kerusakan dan kematian sel
tubulus ginjal akibat iskemia atau nefrotoksik. Tidak terdapat kriteria pasti untuk diagnosis NTA.
7

Secara klinis, NTA ditandai dengan penurunan tiba-tiba laju filtrasi glomerulus hingga 50%, dan
peningkatan kadar kreatinin darah sebesar 0,5 mg/dL (40 mol/L). Dengan adanya disfungsi tubulus
dapat terjadi peningkatan natrium urin, penurunan osmolalitas urin, danpenurunan rasio kreatinin urin
terhadap darah.
NTA merupakan penyebab terpenting dari gagal ginjal akut. Dengan gejala klinis oliguria yang
dilanjutkan diuresis. Adanya kerusakan tubulus menyebabkan retensi cairan, sehingga terjadi uremia,
hiperkalemia, peningkatan blood urea nitrogen (BUN) sekitar 25-30mg/dl per-hari, dan kreatinin kirakira 2,5mg/dl per-hari (Price dan Wilson, 1995; Underwood, 2000). Setelah penyembuhan, epitel
tubulus diganti dengan sel yang belum memiliki kemampuan selektif, sehingga urin mudah lewat
tanpa absorbsi yang mengakibatkan dehidrasi dan hilangnya elektrolit tertentu.
Tampak pula peningkatan ketidakkebalan terhadap infeksi sehingga kurang lebih 25% kematian
akibat NTA terjadi selama fase diuretik (Underwood, 2000).
Nekrosis terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan toksin dan ditandai dengan
pembengkakan sel, denaturasi protein, serta kerusakan organel sel. Perubahan inti sel nekrosis berupa
piknosis, ditandai melisutnya inti sel dan peningkatan basofil, kariolisis inti sel pucat dan terlarut dan
karioreksis, fragmen inti sel yang piknotik dan selanjutnya dalam 1-2 hari inti dalam sel yang mati
benar-benar menghilang (Mitchell dan Cotran, 2007).
Nefrotoksisitas akibat zat toksik dapat menyatukan beberapa jalur molekuler apoptosis,
termasuk menghilangkan molekul protektif intraseluler dan aktivasi kaspase. Zat kimia seperti
rhodamin B sebagai zat toksik juga menginduksi stres retikulum endoplasma pada glomerulus ginjal,
yang menyebabkan stres oksidatif dan inflamasi pada sel-sel podosit serta mesangial glomerulus
(Inagi, 2009). Senyawa Radical Oxygen Species (ROS), yang merupakan hasil metabolisme rhodamin
B, juga dapat menyebabkan kerusakan glomerulus (Singh et al, 2006).
Menurut Huxtable (1988) ginjal yang terkena bahan nefrotoksik akan melakukan perbaikan pada
1 sampai 2 minggu fase penyembuhan dan perbaikan dapat terus berlangsung hingga 12 bulan atau
sampai fungsi ginjal
normal kembali.
2.4.

ETIOLOGI
Penyebab NTA dapat dibagi menjadi dua, yaitu iskemia dan nefrotoksin. Iskemia sebagai
penyebab NTA terbanyak terjadi karena trauma, syok, dan sepsis. Trauma dapat menyebabkan
hipovolemia dan pelepasan mioglobin dari jaringan rusak. Sedangkan syok dan sepsis dapat
menyebabkan hipoperfusi ginjal akibat vasodilatasi sistemik dan vasokonstriksi di ginjal sendiri.
8

Cedera iskemik diduga merupakan penyebab yang paling sering dari gagal ginjal akut intrinsik.
NTA terjadi akibat ischemi ginjal dalam waktu lama (NTA ischemia) maupun terpajan akibat
nefrotoksin (NTA nefrotoksik).penyebab nefrotoksik pada NTA mencakup nefrotoksik oksigen
(missal, CCI4, merkuri, siklosporin, bahan kontras). Dan endogen (misalnya, hemoglobin, mioglobin,
asam urat, protein bencejones). Selain itu penyebab lain dari hipoperfusi ginjal, mekanisme patogenik
penyebab NTA adalah vasokonstriksi intrarenal khususnya arteriol aferen, kebocoran cairan tubular
melewati dasar membrane, obstruksi tubulus oleh silinder dan umpan balik tubuloglomerular.
Cedera tubulus nefrotoksik dapat terjadi secara sengaja atau tidak sengaja dengan termakannya
merkuri biklorida, etilen glikol (antibeku), atau karbon tetraklorida. Inhalasi dari gas karbon
tetraklorida (CCI4) yang biasa terdapat dalam cairan penghilang noda atau cairan pembersih, dan
terminumnya etil alcohol (CH3CH2OH) khususnya berbahaya karena reaksi kimia antara dua
senyawa ini membentuk racun nefrotoksik yang kuat. Keadaan yang dijelaskan diatas (minum alcohol
sewaktu pesta dan menghilangkan noda pakaian dengan cairan penghilang noda) dapat mengakibatkan
gagal ginjal akut secara tidak terduga pada beberapa orang. Dengan alasan yang sama, orang-orang
yang mempunyai hobi menggunakan pelarut dan perekat organik harus bekerja pada ruangan dengan
ventilasi yang baik dan menjauhkan diri dari alkohol pada saat yang sama.
Nefrotoksin dapat berasal dari endogen, misalnya mioglobin, dan eksogen, misalnya obat dan
racun, seperti yang terlihat pada Tabel 1. Nefrotoksin tersebut dapat menyebabkan vasokonstriksi atau
cedera tubulus ginjal secara langsung. (4)

2.5.

PATOFISIOLOGI
Seperti halnya hati, ginjal juga rawan terhadap zat-zat kimia. Oleh karena itu, zat kimia yang
terlalu banyak berada di dalam ginjal diduga akan mengakibatkan kerusakan sel, seperti piknosis dan
9

kongesti. Piknosis atau pengerutan inti merupakan homogenisasi sitoplasma dan peningkatan
eosinofil. Piknosis merupakan tahap awal kematian sel (nekrosis). Tahap berikutnya yaitu inti pecah
(karioreksis) dan inti menghilang (kariolisis). Piknosis dapat terjadi karena adanya kerusakan di dalam
sel antara lain kerusakan membran yang diikuti oleh kerusakan mitokondria dan apparatus golgi
sehingga sel tidak mampu mengeliminasi air dan trigliserida sehingga tertimbun dalam sitoplasma sel.
Pada ginjal, piknosis paling banyak terjadi pada tubulus proksimalis karena di tubulus inilah terjadi
proses reabsorbsi sehingga peluang terjadinya kerusakan akibat dari toksikan paling tinggi. Nekrosis
merupakan kematian sel jaringan akibat jejas saat individu masih hidup. Secara mikroskopik terjadi
perubahan inti (nukleus) yaitu inti menjadi keriput, tidak vasikuler lagi dan tampak lebih padat,
warnanya gelap hitam (karyopiknosis), inti pucat tidak nyata (kariolisis), dan inti terpecah-pecah
menjadi beberapa gumpalan (karioreksis) (Himawan, 1992).
Nekrosis dapat disebabkan oleh bermacam-macam agen etiologi dan dapat menyebabkan
kematian dalam beberapa hari seperti zat toksik dan logam berat, gangguan metabolik dan infeksi
virus (Thomas, 1988). Nekrosis tubulus adalah lesi ginjal yang reversibel dan timbul pada suatu
sebaran kejadian klinik. Menurut Cotran (1995), kerusakan ginjal berupa nekrosis tubulus disebabkan
oleh sejumlah racun organik. Hal ini terjadi karena pada sel epitel tubulus terjadi kontak langsung
dengan bahan yang direabsorbsi, sehingga sel epitel tubulus ginjal dapat mengalami kerusakan berupa
degenerasi lemak ataupun nekrosis pada inti sel ginjal.
Istilah nekrosis tubular akut (NTA) biasanya digunakan baik untuk lesi nefrotoksik maupun
iskemik pada ginjal, sekalipun tidak mencerminkan sifat serta beratnya perubahan pada tubulus.
Dua jenis lesi histologik yang sering ditemukan pada NTA yaitu : Nekrosis epitel tubulus
sedangkan membran basalis tetap utuh, biasanya akibat menelan bahan kimia nefrotoksik dan
Nekrosis epitel tubulus dan membrane basalis yang sering menyertai iskemia ginjal.
Umpan balik tubuloglomerular adalah proses yang menyebabkan perubahan aliran glomerular
pada ATN :
a.

Reabsorbsi natrium klorida (NaCl) Yang tidak adekuat dalam tubulus proksimal yang rusak,
menyebabkan peningkatan NaCl ke tubulus distal.

b.

Peningkatan NaCl dalam tubulus ginjal dirasakan oleh macula densa

c.

Sebaliknya, macula densa menyebabkan konstriksi arteriol aferen yang nantinya akan
berpengaruh pada perfusi glomerulus.
Derajat kerusakan tubulus pada NTA akibat nefrotoksin sangat bervariasi dan prognosis berbeda
sesuai dengan perbedaan kerusakan tersebut. Epitel tubulus proksimal dapat saja mengalami nekrosis,
tetapi dapat sembuh sempurna dalam 3-4 minggu.
10

Lesi jenis ini sering ditimbulkan oleh merkuri biklorida atau karbon tetraklorida. Prognosis
biasanya baik apabila ditangani secara konservatif atau dengan dialysis suportif. Sebaliknya, racunracun lain seperti glikol dapat menimbulkan gagal ginjal ireversibel, disertai infark seluruh nefron
yang disebut sebagai nekrosis korteks akut.
Kerusakan tubulus akibat iskemia ginjal juga sangat bervariasi. Hal ini tergantung pada luas dan
lamanya waktu pengurangan aliran darah ginjal dan iskemia. Kerusakan dapat berupa destruksi
berbecak atau luas pada epitel tubulus dan membran basalis, atau nekrosis kortek
Perjalanan klinis terjadinya NTA dicirikan dengan tiga tahap :
1.

Stadim oliguria
Fase ini umumnya berlangsung pada 7 sampai 21 hari biasanya kurang dari 4 minggu,
kemungkinan akan terjadi nekrosis kortikal akut.
Biasanya timbul dalam waktu 24 jam sampai 48 jam sesudah trauma, meskipun gejala sudah
biasa timbul sampai beberapa hari sesudah kontak dengan bahan kimia nefrotoksik. Oliguria biasanya
disertai azotemia. Oliguria Karena serangan akut gagal ginjal kronik biasanya jelas diketahui dari
riwayat penyakit. Riwayat oliguria yang lama, hipertensi, penyakit sistemik dari lupus eritematosus
sistematik atau diabetes mellitus, ginjal mengisut, dan tanda-tanda penyakit ginjal yang lama seperti
osteodisropi ginjal.

2.

Stadium poliuria
Pada fase ini terjadi diuresis. Dimana volume urine lebih dari 1liter / 24 jam kadang-kadang
sampai 4-5 liter / 24 jam. Poliuria terjadi karena efek diuretic ureum. Disamping adanya gangguan faal
tubuli dalam mereabsorsi garam dan air. Pada fase ini akan banyak kehilangan cairan dan elektrolit
sehingga diperhatikan kemungkinan terjadinya dehidrasi serta gangguan keseimbangan elektrolit.

3.

Stadium Penyembuhan
Penyembuhan secara sempurna faal ginjalnya akan berlangsung sampai 6 12 bulan. Faal ginjal
yang paling akhir menjadi normal faal konsentrasi. Stadium penyembuhan NTA yang telah menjadi
GGA berlangsung sampai satu tahun.dan selama masa itu anemia dan kemampuan pemekatan ginjal
semakin membaik. (3)

2.6.

PATOGENESIS
Perjalanan penyakit NTA dibagi menjadi 3 fase, yaitu inisiasi (initiation), kerusakan menetap
(maintenance), dan penyembuhan (recovery). Fase inisiasi diawali dengan paparan nefrotoksin atau
iskemia, serta mulai terjadi kerusakan epitel tubulus, laju filtrasi glomerulus menurun, dan jumlah urin
berkurang.
11

Pada fase kerusakan menetap, cedera tubulus ginjal semakin lanjut, laju filtrasi glomerulus di
bawah normal, dan jumlah urin sedikit atau tidak ada. Meskipun oliguri atau anuri sering dijumpai
pada NTA fase kerusakan menetap, tetapi pada beberapa pasien dapat terjadi nonoliguri, terutama
akibat nefrotoksin. Fase ini berlangsung 1-2 minggu tapi bisa juga berlanjut hingga beberapa bulan.
Pada fase penyembuhan, dapat ditemukan poliuri dan berangsurangsur laju filtrasi glomerulus menjadi
normal. (4)

Gambar 5 : Nekrosis tubular akut , setelah menelan atau inhalasi zat etilena
glikol beracun, merkuri, timbal, karbon tetraklorida, metil alkohol,
obat-obatan nefrotoksik.

Gambar 6 : pasein dengan iskemik dan tubular nekrosis akut

12

2.7.

MANIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda NTA :
- Perubahan warna pada urin
- Kadar sodium dalam urin meningkat
- Sekresi sodium sedikit dan urea relative tinggi
- Urine specific gravity, dan osmolaritas urin menunjukkan dilute urin
- BUN dan serum kreatin meningkat
Gejala-gejala yang ditimbulkan NTA antara lain :
- Penurunan pengeluaran urin atau tidak sama sekali
- Pembengkakan ginjal secara menyeluruh, akibat retensi cairan
- Mual dan muntah
- Terjadinya penurunan kesadaran
Keadaan klinis yang memiliki resiko tinggi berkembang arteri ischemi adalah bedah mayor, luka
bakar parah, perdarahan, serta penyebab hipertensi berat dan syok. (4)

2.8.

DIAGNOSIS
Pemeriksaan darah

Darah lengkap dan darah tepi dapat menunjukkan gambaran anemia hemolitik atau
trombositopeni.

Ureum darah , elektrolit, dan kreatinin.

Tes fungsi hati: abnormal pada sindrom hepatorenal.

Serum amylase.

Kultur darah.

Imonologi : tes autoantibody untuk SLE termasuk antinuclear antibody dan


antineutrophil.

Urinalisis memperlihatkan sedimen kencing yang mengandung sel darah merah (real blood cell RBC) dan struktur silinder dan urin cair yang memiliki gravitasi spesifik rendah (1,010), osmolalitas
rendah (kurang dari 400 m0sm/kg) dan kadar natrium tinggi (40 sampai 60 mEq/L).
Studi darah memperlihatkan kenaikan kadar nitrogen urea darah dan kreatinin serum, anemia,
kelainan pada kelekatan keping darah, asidosis metabolik dan hiperkalemia.

13

Elektrokardiografi bisa menunjukkan aritmia (akibat ketidakseimbangan elektrolit) dan, jika


terjadi hiperkalemia, elektrokardiografi menunjukkan pelebaran kompleks QRS, gelombang P hilang
dan gelombang T yang tinggi. (2)
2.9.

PENTALAKSANAAN
Setelah terjadi NTA, maka pertimbangan primer dalam penanganan adalah mempertahankan
keseimbangan

cairan

dan

elektrolit.

Penggunaan

hemodialisis

dini

untuk

mencegah

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit perlu diperhatikan dengan cermat, tidak saja selama stadium
oliguria, tetapi juga selama stadium diuresis, dimana mungkin akan terjadi kekurangan natrium dan
kalium yang berat.
Pada kebanyakan orang, nekrosis tubular akut reversibel. Tujuan pengobatan adalah untuk
mencegah komplikasi yang mengancam jiwa gagal ginjal akut selama waktu lesi hadir. Pengobatan
berfokus pada pencegahan kelebihan penumpukan cairan dan limbah, sementara dimungkinkan ginjal
untuk menyembuhkan. Pasien harus diawasi untuk penurunan fungsi ginjal.
Pengobatan dapat termasuk:

Mengidentifikasi dan mengobati penyebab masalah.

Membatasi asupan cairan dengan volume sama dengan volume urin yang diproduksi.

Membatasi zat yang biasanya dikeluarkan oleh ginjal (seperti protein, kalium natrium,)
untuk meminimalkan penumpukan mereka dalam tubuh.

Mengambil pengobatan untuk membantu mengontrol kadar kalium dalam aliran darah.

Mengambil (diuretik) untuk meningkatkan penghapusan cairan dari ginjal.

Transfusi RBC kemasan diberikan jika penderita mengalami anemia

Antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi

Glukosa 50%, insulin reguler, dan natrium bikarbonat darurat secara I.V. untuk
menangani hiperkalemia

Natrium polistiren sulfonat dengan sorbitol bisa diberikan secara oral atau dengan enema
untuk menurunkan kadar kalium ekstra selular.

Dialisis dapat membuang kelebihan sampah dan cairan. Hal ini dapat membuat anda merasa
lebih baik, dan dapat membuat gagal ginjal lebih mudah untuk dikontrol.
Dialisis mungkin diperlukan dalam kasus-kasus berikut:

Penurunan status mental.

Kelebihan cairan.
14

2.10.

Peningkatan kadar natrium.

Kurangnya jumlah produksi urin.

Penumpukan produk limbah nitrogen yang tidak terkendali. (2)

KOMPLIKASI
Komplikasi tersering pada gagal ginjal yang mengakibatkan kematian adalah infeksi. Infeksi

ikut berperan sebagai penyebab kematian pada sekitar 70%pasien dan merupakan penyebab primer
pada sekitar 30% pasien. Seorang penderita uremia tidak saja mudah terserang infeksi, tetapi bila
terjadi infeksi maka akan sulit diatasi. Infeksi yang sudah ada mungkin tidak diketahui karena tidak
adanya gejala-gejala demam yang biasanya menyertai infeksi, oleh sebab itu hipotermia sering terjadi
pada gagal ginjal. Setelah infeksi diketahui, maka harus segera diobati dengan antibiotik yang tidak
nefrotoksik.
Pada NTA komplikasi yang terjadi antara lain :

Peningkatan resiko infeksi.

Kekurangan darah pada sistem gastrointestinal.

Kegagalan fungsi ginjal kronis.

Penyebab penyakit ginjal akut.

Hipertensi. (3)

15

BAB III
KESIMPULAN
Nekrosis Tubular Akut (Acut tubular necrosis - NTA) adalah penyebab gagal ginjal akut yang
paling umum pada pasien yang sakit kritis. Dan penyakit ini ada sekitar 75% kasus gagal ginjal akut.
NTA mencederai segmen tubular nefron, sehingga menyebabkan gagal ginjal dan sindrom uremik.
Mortalitasnya bisa sebesar 70% tergantung pada komplikasi akibat penyakit mendasar. Penderita NTA
non oligurik mempunyai prognosis yang lebih baik. Penyebab Penyakit Ini dapat berupa Epitelium
tubular yang terkena penyakit, Cedera iskemik pada sel epitelial glomerular, Cedera iskemik pada
endotelium vaskular, Obstruksi pada aliran urine.
Tanda Dan Gejala Penyakit ini adalah Pendarahan abnormal (petekia dan ekomosis), Output urin
berkurang, Selaput lendir dan kulit kering, Hiperkalemia, Lesu, Kejang atau sawan, Bau napas uremik,
Sindrom uremik yang disertai oliguria (anuria, namun jarang terjadi) dan konfusi, yang bisa
berkembang menjadi koma uremik.
Penanganannya dapat dilakukan Pemberian diuretik dan infusi cairan dalam volume besar akan
membilas tubula struktur silinder seluler (cellular casts) dan debris yang menggantikan cairan yang
hilang. Untuk manajemen jangka panjang, kehilangan cairan yang terlihat dan terhitung (termasuk
16

kehilangan yang tidak dapat dirasakan) harus digantikan setiap hari, Transfusi RBC kemasan
diberikan jika penderita mengalami anemia, Antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi, Glukosa
50%, insulin reguler, dan natrium bikarbonat darurat secara I.V. untuk menangani hiperkalemia,
Natrium polistiren sulfonat dengan sorbitol bisa diberikan secara oral atau dengan enema untuk
menurunkan kadar kalium ekstra selular dan Dialisis peritoneal atau hemodialisis bisa diperlukan jika
pasien berada dalam keadaan katabolik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. 2012. Buku Ajar: Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Jennifer P, Kowalak. 2012. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Aru W. Sudoyo,dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam (ed 5). Jakarta: FKUI.
4. Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit (ed 6). Jakarta: EGC.

17

Anda mungkin juga menyukai