Anda di halaman 1dari 18

Kolangitis

Dr.Hendra Cipta

I. Pendahuluan

Kholangitis Akuta adalah inflamasi pada sistem bilier akibat adanya infeksi dan hambatan aliran empedu.(,) Secara epidemiologis, penyakit ini menunjukkan insidensi yang berbeda-beda di seluruh dunia. Di Amerika Serikat Kholangitis relatif jarang, dan kejadiannya sering berhubungan dengan penyebab obstruksi dan baktibilia yaitu pada prosedur ERCP (1-3%) yang sering terjadi akibat Injeksi zat kontras secara retrograd. Sedangkan di negara-negara lainnya, Oriental cholangio-hepatitis sangat endemik di Asia Tenggara, Cina, dan Taiwan. Dalam bentuk ini sering timbul " recurrent pyogenic cholangitis" dengan batu intra & extrahepatal pada 70-80% pasien dan cholelithiasis pada 50-70% pasien. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin di dalam insidensi penyakit ini. Mayoritas pasien berusia antara dekade ke-empat dan lima, serta pada usia yang lebih tua akan lebih banyak disertai penyakit penyerta lainnya dan tingkat mortalitasnya pun lebih tinggi.( ) Secara ras terdapat perbedaan insidensi Kholangitis. Namun hal ini ternyata lebih disebabkan oleh pola makanan yang berbeda. Pada bangsa-bangsa di Eropah Utara, Hispanik, Amerika, dan Pima Indian yang mempunyai kebiasaan untuk mengkonsumsi diit tinggi lemak, maka Kholangitis terjadi berhubungan dengan cholelithiasis yang disebabkan oleh batu cholesterol. Sebaliknya pada bangsa-bangsa yang banyak mengkonsumsi makanan tinggi serat seperti di Asia, maka penyebab Kholangitis tersering adalah batu primer pada ductus choledochus yang disebabkan oleh infeksi, stasis empedu, striktur dan parasit ("recurrent pyogenic cholangitis"). Sedangkan di Afrika : terdapat hal yang unik yaitu berkaitan dengan pasien yang menderita "sickle cell anemia".(,)

Mortalitas penyakit ini dahulu sangat tinggi yaitu 100 %, terutama jika disertai oleh penyakit penyerta. Sekarang angka mortalitasnya jauh menurun yaitu berkisar antara 7 40 %. Jika dilakukan tindakan operasi emergensi maka kematiannya akan meningkat yaitu 17 - 40 %. Namun demikian, apabila dilakukan terapi bedah definitifnya secara elektif , tingkat mortalitasnya akan menurun sampai dengan 3 % saja.(,) Pada makalah ini akan dibahas secara singkat beberapa aspek panyakit ini dan secara lebih luas akan dibicarakan pula terapi dan pengelolaan bedahnya.

II. Etiologi

Kholangitis dapat disebabkan oleh berbagai keadaan patologis yang semuanya akan berakhir dengan stasis aliran cairan empedu dan akhirnya terjadi infeksi oleh bakteri akibat adanya multiplikasi yang meningkat pada sistem bilier. Berbagai jenis etiologi dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 1. : Etiologi Kholangitis Choledocholithiasis Striktur sistem bilier Neoplasma pada sistem bilier Komplikasi iatrogenik akibat manipulasi "CBD" (Common Bile Duct) Parasit : cacing Ascaris, Clonorchis sinensis Pankreatitis kronis Pseudokista atau tumor pankreas Stenosis ampulla Kista Choledochus kongenital atau penyakit Caroli Sindroma Mirizzi atau Varian Sindroma Mirizzi Diverticulum Duodenum

Batu saluran empedu adalah penyebab terbanyak (hampir 90%), yang kemudian disusul oleh striktur sistem bilier dan tumor pada sistem bilier. Di negara-negara Asia Tenggara
2

dan Cina cacing tidak jarang ditemukan sebagai penyebab, walaupun jenis cacing yang ditemukan berbeda-beda.(,,,,,)

III. Patofisiologi

Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak mengalami hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kholangitis terjadi akibat adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai oleh bakteria yang mengalami multiplikasi. Obstruksi terutama disebabkan oleh batu "CBD" , striktur, stenosis, atau tumor , serta manipulasi endoskopik "CBD". Dengan demikian pasase empedu menjadi lambat sehingga bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami migrasi ke sistem bilier melalui vena porta, sistem limfatik porta ataupun langsung dari duodenum. Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara asenderen menuju duktus hepatikus, yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi dan melampaui batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik empedu yang berakibat terjadinya infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatika dan limfatik perihepatik, sehingga pada gilirannya akan terjadi bakteriemia yang bisa berlanjut menjadi sepsis (25-40%). Apa bila pada keadaan tersebut disertai dengan pembentukan pus maka terjadilah Kholangitis supurativa.(,,) Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kholangitis yaitu :(,) 1. Kholangitis dengan cholecystitis : Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi pada sistem bilier, maupun pelebaran dari duktus intra maupun ekstra hepatal. Keadaan ini sering disebabkan oleh batu "CBD" yang kecil, kompresi oleh vesica felea / kelenjar getah bening / inflamasi pankreas, edema/spasme sphincter Oddi, edema mukosa "CBD", atau hepatitis. (lihat gambar 1.) 2. "Acute Non Suppurative Cholangitis" : Terdapat baktibilia tanpa pus pada sistem bilier yang biasanya disebabkan oleh obstruksi parsial. (Gambar2.)

3. "cute suppurative cholangitis" : "CBD" berisi pus dan terdapat bakteria, namun tidak terdapat obstruksi total sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis. (Lihat Gambar 3.) Gambar 3.: Kholangitis disertai dengan pus dan obstruksi parsial 4. "Obstructive Acute Suppurative Cholangitis" : Di sini terjadi obstruksi total sistem bilier sehingga melampaui tekanan normal pada sistem bilier yaitu melebihi 250 mm H20 sehingga terjadi bakterimia akibat reflluk cairan empedu yang disertai dengan influks bakteri ke dalam sistem limfatik dan vena hepatika.( Lihat Gambar
5.

Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu sepsis berlarut, syok septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal ginjal yang disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering multipel) dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Beberapa kondisi yang memperburuk prognosis adalah sebagai berikut (tabel 2.).

Tabel 2. : Faktor yang meningkatkan mortalitas Umur Febris Lekositosis Syok Septik Kultur darah (+) Gangguan sistem phagositosis Immunosuppresi Adanya Neoplasma hepar Obstruksi intrahepatal multipel Penyakit hepar kronis Abses hepar

IV. Bakteriologi

Adanya infeksi bakteri merupakan hal yang penting di dalam patogenesis Kholangitis. Sesuai dengan rute infeksi yang telah diuraikan sebelumnya, maka jenis bakteri yang dapat ditemukan pada kultur cairan empedu maupun darah adalah yang terbanyak berturut-turut yaitu bakteri gram negatif, anaerob dan gram positif yang terutama berasal dari usus halus. Tabel 2. Memperlihatkan berbagai jenis bakteri yang dapat ditemukan pada kultur empedu maupun darah.() Tabel 3. :Bakteriologi Kholangitis Akut EMPEDU Cholecystitis Escherichia coli Enterococcus Klebsiella spp Pseudomonas spp Enterobacter spp Staphylococcus Bacteriodes spp Clostridium spp 18% 15% 6% 2% 0.3% 3% 2% 31% 11% 12% Kholangitis 26% 13% 11% 5% 5% 3% 4% 4% Keduanya Darah 44% 9% 14% 5% 4% 3% 4% 3% 9% 1% 9% 2% 0.3% 26 %

Toloza EM & Wilson SF. In: Fry DE (ed). Surgical Infections 1995 Terdapat berbagai faktor yang dapat dijadikan prediktor terjadinya baktibilia sebagaimana tercantum pada tabel3. ()

Tabel 4. : Faktor-faktor prediktor terjadinya baktibilia.

Umur > 60 tahun Febris > 37.30 C Bilirubin Total > 8.6 mol/L Lekositosis > 14.000/mm3 Episode cholecystitis akuta atau Kholangitis yang baru lalu Kanulasi bilier atau prosedur by pass Diabetes mellitus Hyperamylasemia Obesitas

Toloza EM & Wilson SF. In: Fry DE (ed). Surgical Infections 1995

V. Diagnosis:

Diagnosis kholangitis akuta dapat ditegakkan secara klinis yaitu dengan ditemukannya "Charcots Triad " yang terdiri dari nyeri di kuadran kanan atas, ikterus dan febris yang dengan/tanpa menggigil. Namun demikian, kurang dari 50 % kasus ditemukan ketiganya secara bersamaan. Adapun frekuensi gejala-gejala dan tanda-tanda yang dapat ditemukan adalah : () Febris > 38 C Nyeri abdomen Ikterus : 40 % : 65 % : 87 - 90 %

Tidak ditemukannya ketiga tanda tersebut secara bersamaan terutama disebabkan oleh obstruksi saluran empedu yang tidak komplit. Apabila keadaan penyakit menjadi lebih berat yaitu disertai oleh sepsis atau syok maka akan ditemukan "Reynolds Pentad" yang ditandai oleh Charcots triad ditambah dengan "Mental confusion / Lethargy" dan syok. Keadaan ini terjadi pada 10 - 23 % pasien. Perubahan tersebut disebabkan oleh obstruksi total saluran empedu sehingga tekanan yang meningkat menyebabkan refluks aliran empedu sehingga bakteri dapat mencapai sistem pebuluh darah sistemik dan

terjadi sepsis. Oleh karena itu pada keadaan ini perlu segera dilakukan drainase untuk mengadakan dekompresi dan pengendalian terhadap sumber infeksi. Pemeriksaan alat bantu terutama berguna untuk mencari kemungkinan etiologi Kholangitis yang sangat menentukan jenis terapi yang harus dilakukan sebagai terapi pembedahan definitif maupun untuk tujuan dekompresi sementara. Pemeriksaan yang dilakukan adalah : (,,,,) USG hepatobilier dan pankreas :

Dapat ditemukan "CBD" yang berdilatasi. Kemungkinan disertai dengan batu "CBD".

CT.Scan lebih sensitif dan spesifik dari pada USG dan memberikan gambaran : Batu "CBD". Tumor sistem bilier atau pankreas Batu pada sistem bilier intrahepatal Adanya atrofi pada hepar Abscess pada hepar (biasanya multipel bila penyebab batu)

MRI Cholangiografi : Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik, serta akurat, yaitu masing-masing 91.6 %,: 100 %, dan 96.8 %. Kelebihan alat ini adalah non invasif, dapat dilakukan hampir semua usia dan dapat membedakan jenis batu cholesterol dari jenis lainnya secara jelas.

Cholangiography : Menimbulkan morbiditas 1-7 % dan mortalitas 0,25%, oleh karena itu sebaiknya dihindari, kecuali disertai oleh tindakan dekompresi yang dilakukan bersama-sama. Dapat dilakukan secara ERCP (Endoscopic Retrograde Choalngio Pancreatography) ataupun PTC (Percutanues Transhepatic Cholangiography).

Cholescintigraphy dengan HIDA : Menunjukkan "Liver uptake" Tidak terdapat visualisasi kandung empedu, CBD, maupun usus

halus oleh karena adanya obstruksi total.

Laboratorium, menunjukkan perubahan-perubahan sebagai berikut :

Leukositosis > 10.000 / mm3 : 33-80% Serum bilirubin 2-10 mg / dl : 68-76 % Alkali phosphatase 2-3x normal pada 90% C-reactive protein : Biasanya ditemukan peningkatan

VI. Pengelolaan :

Mengingat mortalitas yang tinggi jika terapi bedah dilakukan pada saat emergensi, maka langkah awal pengobatan Kholangitis akut adalah sebagai berikut : (,,,,) Perbaikan keadaan umum : Pasien dipuasakan Dekompressi dengan NGT ("Naso Gastric Tube") Pemasangan infus dan dilakukan rehidrasi Dilakukan koreksi kelainan elektrolit Pemberian antibiotika parenteral

Dengan melakukan tindakan tersebut, 80-85 % pasien akan mengalami perbaikan, sehingga dalam periode berikutnya (dalam 48 - 72 jam) dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan diagnosis penyebabnya dan menentukan jenis operasi definitifnya. Meskipun demikian, apabila pasien pertama kali datang dengan shock dan hipoperfusi jaringan yang berat maka diperlukan : "Invasive monitoring" Analgesik non narkotik , namun jika telah ada konfirmasi diagnostik, Meperidine atau Fentanyl dapat diberikan.

Pada 15 % kasus terapi medikamentosa tidak berhasil memperbaiki keadaan umum penderita, sehingga tindakan dekompresi emergensi diperlukan dan dapat dilakukan dengan cara : Pembedahan terbuka Drainase secara endoskopik Drainase perkutan sistem bilier

Setelah terapi medikamentosa dan suportif lainnya berhasil memperbaiki keadaan umum, maka tindakan bedah untuk dekompresi dapat dilakukan secara elektif dan pada umumnya yang dilakukan adalah : Cholecystectomy + Eksplorasi CBD +/- Drainase T-tube , +/- choledochoenterostomy

Mortalitas pada berbagai tindakan baik bedah maupun non bedah adalah sebagai berikut :

Terapi konservatif tanpa drainase menimbulkan angka mortalitas antara 40-100 %. Tindakan dekompresi secara bedah secara keseluruhan akan menunjukkan angka mortalitas antara 2 13 % dan morbiditasnya adalah 12 21 %. Drainase secara endoskopik akan disertai oleh tingkat mortalitas antara 1 13 %, dan morbiditas 4 24 %.

Terapi

invasif

minimal

dengan

teknik

Percutaneus

Transhepatic

Cholangiography Drainage (PTCD) menunjukkan mortalitas yang rendah yaitu 0.05 7.00 %, namun morbiditasnya sangat bervariasi yaitu 4 80 %. Jika penyebabnya adalah neoplasma maligna primer maka :

Angka mortalitas tindakan pembedahan adalah sampai dengan 40 %,

namun jika sudah terdapat metastasis yang ekstensif maka akan meningkat menjadi 59 %. Drainase endoskopik akan memberikan tingkat mortalitas sampai

dengan 46 %. Terapi antibiotika parenteral adalah merupakan hal yang penting pula, sehingga

pemilihan jenis antibiotika yang tepat secara empirik adalah sebagai berikut : () Tabel 5. Jenis antibiotika parenteral pilihan secara empirik . Cholecystitis Akuta : - Aminoglikosida - penicillin - Penicillin spektrum luas - Cephalosporin generasi ketiga Kholangitis Akuta : Prophylaxis : Cephalosporin generasi ke-dua Penicillin spektrum luas Penicillin spektrum luas Aminoglikosida penicillin Cephalosporin generasi ke-tiga Imipenem-cilastatin Cephalosporin generasi ke-dua

Hadirnya cephalosporin generasi ke-tiga adalah suatu langkah maju di dalam terapi infeksi bakteri, namun demikian penggunaannya harus tepat. Jenis ini mempunyai spektrum antibakteri yang kuat terhadap Eschericia coli, Klebsiela, enterococci dan bakteri anaerob seperti Bacteroides yang merupakan bakteri yang paling sering ditemukan di dalam cairan empedu dan menyebabkan peningkatan pembentukan batu

10

pada sistem saluran empedu. Yang dimasukkan ke dalam Cefotaxime, Ceftriaxone, dan spektrum antibiotika yang sama. ()

kelompok ini adalah

Ceftizoxine karena memiliki indikasi klinis dan

Dari ketiga cephalosporin tersebut di atas, tampaknya Ceftriaxone merupakan pilihan terbaik mengingat beberapa keuntungan sebagai berikut : (14) 1. Penetrasi jaringan 24 jam dan konsentrasi bilier cukup tinggi. 2. Proteksi 24 jam dengan dosis 1 gram sekali pemberian /hari. 3. Dual Excretion yaitu pada renal dan hepar, menambah keamanan. 4. Aktifitas bakterisidal cukup luas. 5. Keuntungan farmakoekonomik dari segi biaya keseluruhan dan beban kerja staf rumah sakit. 6. Efek samping yang rendah. 7. Dosis 1 kali sehari terbukti efektif secara klinis. Pada kasus yang disertai oleh peningkatan bilirubin yang melebihi 5.0 mg/dl , penggunaan Aminoglikosida harus dihindari karena resiko nephrotoksik yang semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh sensitasi ginjal oleh karena perfusi ginjal yang menurun, peningkatan bilirubin dan garam empedu lainnya, dan adanya endotoksemia bakteri gram negatif. Baktibilia dapat tetap bertahan walaupun obstruksi telah berhasil diatasi. Keadaan ini dapat disebabkan oleh bakteri jenis anaerob, bakteri yang resisten terhadap antibiotika, bakteri gram negatif, dan jamur. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penyebab terbanyak adalah

choledocholitihiasis, dan oleh karena itu pengelolaannya akan dibahas lebih mendalam sebagaimana tercantum pada gambar 5. di bawah ini.

11

No jaundice Suspicion of CBD stones Routine per-op cholangiogram CBD stones open expl failure post-op ERCP laparosc chole selective per-op cholangiogram No stones laparosc expl BCD failure laparosc cholecystec pre-op ERCP CBD stones endoscopic sphinct and duct clearance success failure

open laparosc expl CBD expl CBD failure Algorithm showing available strategies for CBD stone. Hepatobil Panc Surg 1999

Gambar 5. : Algoritme sebagai strategi pada penanganan batu CBD. Dengan demikian, sesuai dengan skema tersebut di atas maka pilihan di dalam pengelolaanya terdapat dua jenis tindakan yaitu One Step Approach dan Two Step Approach (lihat gambar 6. Dan 7.) Tindakan mana yang dipilih, haruslah berdasarkan pertimbangan ketersediaan fasilitas yang ada, ketrampilan ahli bedah yang menanganinya dan tentunya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengelolaannya. Terdapat keuntungan maupun kerugian dua teknik tersebut . (Lihat tabel 6. )

Tabel 6. : Perbandingan keuntungan dan kerugian dengan dua teknik. One-step approach LC+LTCDCBDE Two-step approach LC + pre/post-op ERS

12

Advantages - Lower costs - Shorter hospital stay - Potentially decreased morbidity Disadvantages - More technically demanding - Requires expensive equipment - Longer operative time morbidity - Increased operating room cost

Advantages - Shorter operating time - Less technically demanding - Requires less equipment Disadvantages - Longer hospital stay - Increased total costs - Potentially increased - Two separate procedure

Rosenthal RJ et al. World J Surg 1998; 22: 1125-1132 Langkah-langkah pengelolaan untuk setiap jenis tahap secara terinci dapat dilihat pada gambar 6. dan 7.

One step approach to suspected choledocholithiasis


Patient with suspected choledocholithiasis Intraoperative cholangiography No CBD stone Laparoscopic cholecystectomy Stone < 0.9 mm CBD stone Stone > 0.9 mm

LC + Lap transcystic CBD exploration Succesful

Laparoscopic choledochotomy

Open CBD exploration

Retained stones
Rosenthal RJ et al. World J Surg 1998; 22: 1125-1132

Gambar 6. : Teknik Pengelolaan batu CBD satu tahap Pada teknik pengelolaan satu tahap, setelah mengalami perbaikan keadaan umum pasien dilakukan operasi cholecystectomy per laparoskopi dan kholangiografi

13

intraoperatif. Jika tidak ditemukan batu CBD atau hambatan dalam aliran zat kontras ke dalam duodenum maka cholecystectomy saja telah cukup. Namun jika ditemukan batu CBD maka tindakan selanjutnya bergantung pada ukuran batu yang ditemukan. Jika batu ditemukan berukuran kecil yaitu < 0,9 mm maka dapat dilakukan eksplorasi saluran empedu trancystic dengan laparoskopi jika sarana dan keahlian tersedia. Apabila batu berukuran > 0,9 mm maka dilakukan choledochotomy perlaparoskopi atau eksplorasi saluran empedu secara terbuka. Keuntungan cara ini adalah lama rawat yang pendek, biaya yang rendah, dan morbiditas yang lebih rendah, namun memerlukan ketrampilan laparoskopi yang tinggi dan peralatan yang lengkap dan mahal, serta waktu operasi yang lebih lama.

Two-step approach to patient with suspected choledocholithiasis


Patient with suspected choledocholithiasis Nonresolving pancreatitis, Jaundice, Cholangitis, Poor operative risk Yes ERCP / ERS Stone Extraction Retained stones Stones cleared No Laparoscopic intraoperative cholangiography Laparoscopic cholecystectomy Retained stones No Done

Yes Postoperative ERCP / ERS / stone extraction Open CBDE / percutan stone extraction

Laparoscopic cholecystectomy

Rosenthal RJ et al. World J Surg 1998; 22: 1125-1132

Gambar 7. : Teknik Pengelolaan dua tahap Pasien-pasien cholangitis yang disebabkan oleh choledocholithiasis tidak jarang memiliki resiko tinggi operasi sehingga sering kali teknik dua tahap lebih tepat dilakukan karena tindakan awal bisa berupa terapi bedah invasif yang minimal dan tidak memerlukan waktu operasi yang lama. Jika setelah tindakan invasif menimal seperti ERCP/ERS batu penyebab sumbatannya dapat dihilangkan maka tindakan cholecystectomy dapat dilakukan setelah keadaan umum pasien menjadi lebih baik.
14

Terlebih lagi, jika setelah ekstraksi batu melalui teknik ERCP masih terdapat batu, maka selanjutnya dilakukan eksplorasi saluran empedu secara terbuka untuk sekaligus dilakukan cholecystectomy dan pengangkatan batu empedu yang tertinggal. Pilihan tindakan yang lain adalah dilakukan terlebih dahulu cholecystectomy per laparoskopi jika tidak terdapat resiko tinggi operasi, baru kemudian dilakukan ERCP untuk mengambil batu saluran empedu yang tertinggal. Keuntungan pendekatan ini adalah waktu operasi yang relatif lebih singkat, tidak membutuhkan peralatan dan keahlian yang terlalu tinggi, namun terdapat kerugian yaitu memerlukan waktu rawat yang lebih lama dan morbiditas yang lebih tinggi. Pilihan pendekatan mana yang dipilih tentunya bergantung kepada terutama sarana dan keahlian yang tersedia, serta perawatan yang intensif yang melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait seperti ilmu bedah, penyakit dalam, radiologi, dan anestesiologi. VII. Kasus Kholangitis di Bandung :

Untuk memberi gambaran sejauh mana pengalaman dalam menghadapi kasus kholangitis, penulis menyampaikan kasus-kasus yang ditemui di kota Bandung dalam periode tahun 1983 sampai dengan 1998. Kasus-kasus tersebut adalah yang dilakukan pengelolaannya oleh penulis di rumah sakit-rumah sakit besar yaitu RSUP Dr. Hasan Sadikin, RS St. Borromeus, RS Advent, RS Immanuel, dan RS Kebonjati. Dari sebanyak 1574 kasus operasi pada saluran empedu ditemukan sebagai berikut : Tabel 7. : Ringkasan kasus-kasus kholangitis di Bandung : Jumlah kasus operasi saluran empedu Jumlah kasus cholangitis Jumlah penderita : Laki-laki Perempuan Rata-rata umur (tahun ): Morbiditas :komplikasi pembedahan Mortalitas 162 orang 146 orang 50.09 + 15.8 5 kasus (1.62%) 3 kasus (0.97%) 1574 308 (19.56%)

15

Tabel 8.: Jenis kausa kholangitis yang ditemukan pada 308 kasus: Etiologi Cholecystitis + Cholelithiasis Choledocholitihiasis +Cholecystitis+ Cholelithiasis Hepatolihtiasis Sclerosing cholangitis Cacing Striktur Kista Choledochus Tumor pankreas Ca Empedu Post ERCP Batu pankreas Total Jumlah kasus 103 171 9 3 3 4 4 2 5 3 1 308 Persentase 33.44% 55.51% 2.92 % 0.97 % 0.97 % 1.29 % 1.29 % 0.64 % 1.62 % 0.97 % 0.32 %

Penanganan yang dilakukan pada kasus-kasus tersebut adalah sesuai dengan protokol yang telah diuraikan pada makalah ini yaitu tidak dilakukannya tindakan bedah emergensi, namun terlebih dahulu diberikan terapi konservatif untuk memperbaiki keadaan umum dan kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan diagnosis kausanya. Setelah persiapan operasi yang cukup yaitu keadaan pasien yang membaik dan diagnosis yang benar telah ditegakkan, maka dilakukan pembedahan definitif secara elektif. Dengan pola pengelolaan seperti tersebut di atas, maka tingkat mortalitasnya sangat rendah yaitu 0.97 %. VIII. Kesimpulan : 1. Kholangitis akuta terutama yang datang dengan sepsis dan syok harus mendapat penanganan segera karena merupakan suatu kegawatan hepatobilier. 2. Tindakan operasi segera diperlukan untuk menanggulangi kausanya, tetapi harus ditunda sampai kholangitisnya. dengan hemodinamik menjadi stabil untuk menekan angka mortalitas, selain itu selama perioperatif harus sudah diketahui penyebab

16

3. Perkembangan baru ditemukan dalam sarana untuk mempercepat diagnosis, tindakan darurat untuk drainase pus atau mengurangi obstruksi sementara, serta intervensi endoskopik. 4. Jenis terapi bedah yang dipilih disesuaikan dengan fasilitas yang tersedia dan kemampuan ahli bedahnya, tetapi hal yang terpenting adalah sejak pasien masuk dirawat harus dilakukan perawatan yang intensif multidisipliner yaitu kerjasama antara spesialis bedah, penyakit dalam, anestesi, dan radiologi.

Daftar Pustaka:

1. Benjamin I.S., Benign and Malignant Lesions of the Biliary Tract, in Garden O.J. (Ed), Hepatobiliary and Pancreatic Surgery, W.B. Saunders Company Ltd.1999 : 201 - 219. 2. Csendes A., Burdiles P., Diaz J.C., Present Role of Classic Open Choledochostomy in the Surgical Management of Patients with Common Bile Duct Stones, World Journal of Surgery 1998; 22 : 1167 - 1170. 3. Karnadihardja W., Kholangitis Akut Sebagai Komplikasi Obstruksi Saluran Empedu, PIT IKABI IX , Semarang, 1994. 4. Liu C.L., Fan S.T., Wong J., Primary Biliary Stones : Diagnosis and Management, World Journal of Surgery 1998; 22 : 1162 - 1166. 5. Lipsett P.A., Pitt H.A., Acute Cholangitis, in The Surgical Clinics of North America, December 1990 : 1297 - 1312. 6. Moston R.W., Menzies D., Gallstones in Garden O.J. (Ed), Hepatobiliary and Pancreatic Surgery, W.B. Saunders Company Ltd.1999 : 175- 197. 7. Microbiology and Pharmacokinetics of Parenteral Cephalosporins, Roche Products 1985 621 93472 (Sydney).
17

8. Navarrete C.G., Castillo C.T., Castillo P.Y., Choledocholithiasis : Percutaneus Treatment, World Journal of Surgery 1998; 22 : 1151 - 1154. 9. Pitt H.A., Longmire W.P., Suppurative Cholangitis, in Hardy J.D. (Ed), Critical Surgical Illness, Second Edition, W.B. Saunders Company, 1980 : 380 - 408. 10. Raraty M.G.T., Finch M., Neoptolemos J.P., Acute Cholangitis and Pancreatitis Secondary to Common bile Duct Stones : Management Update, World J Surg 1998; 22: 1151 - 1161. 11. Rosenthal R.J., Rossi R.L., Martin R.F., Options and Strategies for Management of Choledocholithiasis, World J Surg 1998; 22: 1125-1132. 12. Sally Santen, Cholangitis in Emergency Medicine, 11/09/1999 at

www.emedicine.com. 13. Seitz U, Bapaye A, Bochnaker S., et al., Advances in Therapeutic Endoscopic Treatment of Common Bile Duct Stones, World J Surg 1998; 22 : 1133. 14. Toloza EM & Wilson SF. Cholecystitis and Cholangitis, In: Fry DE (ed). Surgical Infections, 1995 : 251 - 260. 15. Thistle J.L., Pathophysiology of Bile Duct Stones, World Journal of Surgery 1998; 22 : 1114 - 1118.

-------------------------

18

Anda mungkin juga menyukai