Anda di halaman 1dari 15

KOLANGITIS AKUT

hbfvbvhbvdshfvbhvbhbhjsdfbvhb
I.

Pendahuluan
Kolangitis akut adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu yang
tersumbat baik secara parsial atau total1. Penyakit ini umumnya disebabkan oleh
obstruksi batu.2,3 Jean M. Charcot pada tahun 1877 mengenali dan menjelaskan
trias gejala penyakit ini , yaitu demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan
atas, yang dikenal dengan Charcots triad. Pada tahun 1959, Reynolds dan
Dragon menjelaskan bentuk berat penyakit ini yang terdiri dari syok septik dan
perubahan mental (mental confusion), yang dikenal dengan sebagai Reynolds
pentad.2,4 Kolangitis adalah penyakit dengan angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.5 Pasien dengan terapi konservatif yang gagal dan tidak tidak mendapatkan

II.

terapi drainase yang sesuai mempunyai angka mortalitas hampir 100%. 2,3,6
Insiden dan Epidemiologi
Mortalitas/Morbiditas
Penyakit ini memiliki tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi, terutama
jika terlambat diterapi.4 Angka mortalitasnya adalah 100%. Tetapi dengan terapi
ERCP (endoscopic retrograde cholangiography), endoskopi sfingtertomi, ekstraksi
batu, dan stenting bilier, angka mortalitasnya menurun 5-10%.2
Ras
Kolangitis dilaporkan dapat terjadi pada semua ras. Satu variasi yang
menunjukkan peningkatan angka kejadian di Asia Tenggara yaitu Asian
Cholangitis yang disebut juga sebagai Recurrent pyogenic cholangitis.4 Ras kulit
hitam dengan sickle cell desease risiko meningkat.2
Jenis Kelamin
Walaupun batu empedu sering ditemukkan pada wanita dibandingkan pria,
namun rasio kejadian kolangitis pada wanita dan pria adalah sama.2
Usia
Penyakit ini terutama ditemukan pada orang dewasa, dengan rata-rata umur
50-60 tahun.2,4

III.

Etiologi dan Patofisiologi


Empedu normalnya steril.2 Sphincter Oddi, aliran empedu dan bahan-bahan
bakteriostatik dari empedu membantu mempertahankan sterilitasnya. Hal ini
1

dipercaya bahwa obstruksi bilier menurunkan pertahanan antibakteria, disfungsi


imun, dan peningkatan kolonisasi bakteri pada usus halus. 3 Faktor utama pada
patogenesis kolangitis adalah obstruksi bilier, peningkatan tekanan intraluminer
dan infeksi cairan empedu. Pada keadaan dimana terdapat batu pada kandung
empedu atau salurannya, kejadian bakteribili meningkat.2 Bakteribili (adanya
bakteri disaluran empedu) didapatkan pada 20% pasien dengan kandung empedu
normal.
Kolangitis sekitar 90% disebebabkan oleh obstruksi baru pada duktus
koledokus (choledocholithiasis). Kegagalan aliran yang bebas merupakan hal yang
amat penting pada patogenesis kolangitis akut. Adanya hambatan dari aliran cairan
empedu akan menimbulkan stasis cairan empedu, kolonisasi bakteri dan
pertumbuhan kuman yang berlebihan. Kuman-kuman ini berasal dari flora
duodenum yang masuk melalui sfingter Oddi, dapat juga dari penyebaran limfogen
dari kandung empedu yang meradang akut, penyebaran ke hati akibat sepsis atau
melalui sirkulasi portal dari bakteri usus. Karena tekanan yang tinggi dari saluran
empedu yang tersumbat, kuman akan kembali (refluks) ke dalam saluran limfe dan
aliran darah dan mengakibatkan sepsis.1
Penyebab kolangitis yang terbanyak adalah batu di saluran empedu terutama
koledokolitiasis (kira-kira 90% kasus).3,4 Selain itu, yang biasa juga menyebabkan
obstruksi antara lain tumor pada ampulla, duktus bilier, atau pankreas; tumor
metastasis dari porta hepatis atau limphe nodus peripankreas; dan

striktura.

Penyebab lain yang jarang ditemukkan adalah obstruksi dari hemobilia, parasit, dan
abnormalitas herediter dari saluran bilier.3 Pada 20 tahun terakhir, dengan
peningkatan intervensi/manipulasi dan stenting duktus bilier, terjadi peningkatan
kejadian postprosedural cholangitis.3,5
Bakteri yang umum ditemukkan dari kultur empedu adalah sebagai berikut:4
a. Bakteri aerob
Gram-positif : Streptococcus faecalis, b-hemolytic streptococcus,

IV.

Staphylococcus aureus, Staphylococcus albus


Gram-negatif: Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,Klebsiella,

Proteus
b. Bakteri anaerob
Gram-positif : Clostridium welchii, anaerobic streptococcus
Gram-negatif: Bacteroides
Anatomi dan Fisiologi Sistem Bilier
a. Anatomi
2

Gambar 1. Anatomi Sistem Bilier [Dikutip dari kepustakaan 7]

1. Duktus Sistikus
Merupakan lanjutan dari Vesica fellea, terletak pada porta hepatis.
Panjangnya kira-kira 3-4 cm. Pada porta hepatis ductus cysticus mulai dari
collum vesica fellea, kemudian berjalan ke posterocaudal disebelah kiri
vesica fellea. Lalu bersatu dengan ductus hepaticus communis membentuk
ductus choledochus. Mucosa ductus ini berlipat-lipat terdiri dari 3-12
lipatan, berbentuk spiral yang pada penampang longitudinalnya terlihat
sebagai valvula spiralis (Heisteri)8, yang memudahkan cairan empedu
mengalir masuk ke dalam kandung empedu, tetapi menahan aliran
keluarnya.9
3

2. Duktus Hepatikus
Ductus hepaticus berasal dari lobus dextra dan sinistra hepar bersatu
membentuk ductus hepaticus communis pada porta hepatis dekat pada
processus papillaris lobus caudatus. Panjang ductus hepaticus communis
kurang lebih 3 cm. Terletak disebelah ventral A. Hepatica propria dexter
dan ramus dexter vena portae. Bersatu dengan ductus cysticus menjadi
ductus choledochus.8
3. Duktus Koledokus
Mempunyai panjang kira-kira 7 sm, dibentuk oleh persatuan ductus
cysticus dengan ductus hepaticus communis pada porta hepatis. Pada caput
pancreatis, ductus choledochus bersatu dengan ductus pancreaticus
Wirsungi membentuk ampulla, kemudian bermuara pada dinding posterior
pars descendens duodeni membentuk suatu tonjolan kedalam lumen
(papilla duodeni major). Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi,
yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum.8

b. Fisiologi
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 mL perhari. Di
luar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung
empedu dan disini mengalami pemekatan sekitar 50%.
Kandung empedu, saluran empedu ekstrahepatik dan sfingter Oddi
merupakan struktur yang berperan penting pada pergerakan dan pengaliran
empedu. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialihkan
kedalam kandung empedu. Setelah makan kandung empedu berkontraksi,
sfingter berelaksasi, dan empedu mengalir kedalam duodenum. Aliran tersebut
sewaktu-waktu seperti disemprotkan karena secara intermitten tekanan saluran
empedu akan lebih tinggi daripada tahanan sfingter.
Kolesistokinin (CCK), hormon sel APUD dari mukosa usus halus,
dikeluarkan atas rangsang makanan berlemak atau produk lipolitik didalam
lumen usus. Hormon ini merangsang n. Vagus sehingga terjadi kontraksi
kandung empedu. Dengan demikian, CCK berperan besar terhadap terjadinya
kontraksi kandung empedu setelah makan.10

V.

Diagnosis
a. Gambaran klinik
Gejala klinik kolangitis antara lain:2,3,4
Gejala klasik Charcots triad yang terdiri dari demam, nyeri kuadran kanan
atas, dan ikterus (50-70% pasien kolangitis). Demam tampak pada 90%
kasus, nyeri abdomen kuadran kanan atas dan ikterus tampak pada 60

70% kasus.
Pasien dengan perubahan status mental 10-20% dan hipotensi (syok
septik kira-kira tampak pada 30%. Gejala ini ditambah dengan Charods
triad disebut sebagai Reynolds pentad.
Beberapa hal yang didapatkan pada pemeriksaan fisik, adalah sebagai

berikut:2
Demam (90%), pada pasien lansia mungkin tanpa demam
RUQ tenderness (65%)
Hepatomegali ringan
Ikterus (60%)
Perubahan status mental (10-20%)
Sepsis
Hypotensi (30%)
Takikardi
Peritonitis (jarang)
b. Gambaran radiologi
1. Foto konvensional
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kadang-kadang kandung empedu yang mengandung cairan
empedu dengan kadar kalsium yang tinggi dapat dilihat dengan foto polos.10

Gambar 2. Foto polos sederhana yang menunjukkan batu empedu yang radioopak [Dikutip dari
kepustakaan 11]

2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi merupakan modalitas imaging lini pertama. 2,3,12
Ultrasonografi secara universal diterima sebagai modalitas pilihan untuk
mengambarkan penyakit-penyakit hepatoseluler karena obstruksi duktus
bilier dengan sensitivitas 70%-95%, spesifisitas 80%-100%.13 Aplikasi
utamanya adalah mendeteksi dilatasi duktus empedu. Selain itu, alat ini
mampu memprediksikan level obstruksi pada 80% kasus. 14 Keterbatasan
alat ini adalah tidak bisa memberikan gambaran duktus sistikus. Selain itu,
Batu yang terdapat pada distal koledokus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang dengan udara dalam lambung dan duodenum.2,14
Berikut

adalah

beberapa

hal

yang

dapat

ditemukkan

pada

pemeriksaan ultrasonografi:15
a. Dilatasi duktus intra- dan ekstahepatik (75% kasus)
Diameter CBD > 6mm
Dilatasi duktus intrahepatik: > 1-2 mm
Dilatasi mungkin tampak halus pada ultrasonografi
Pada kasus kolangitis awal atau obstruksi CBD intermitten, duktus
bilier mungkin tidak berdilatasi.
b. Penebalan sirkumferensial dinding duktus bilier
Tampak penebalan hipoechoic pada dinding dalam duktus bilier
c. Hypo-/hyper-echogenisitas periportal yang berdekatan dengan duktus
intrahepatik yang berdilatasi
Disebabkan karena inflamasi periduktal/edema
d. Tampak obstruksi koledokolitiasis
Tampak fokus echoic disertai dengan dilatasi CBD
Berubah dengan perubahan posisi pasien
e. Tampak empedu yang purulen/ kotoran
Tampak material echogenic intraluminar, biasanya disertai dengan
dilatasi duktus intrahepatik
f. Tampak multipel abses hepatik kolangitis
Secara anatomi, tampak berkerumun sesuai pada lobus atau
segment hepar
Tampak liquefaksi karena inflamasi duktus bilier
Lesi cystic hipoechoic
g. Pneumobilia jarang ditemukkan
Disebabkan karena pembentukan gas oleh

bakteri

atau

menunjukkan adanya fistul koledokoenterik


Tampak fokus echogenic
6

Tampak artifak reverberasi

Gambar 3. Anatomi sistem bilier.


Duktus bilier intrahepatik dextra [Dikutip
dari kepustakaan 11]

Gambar 4. Transabdominal ultrasonografi


menunjukkan kontur irregular dan penebalan
dinding dari duktus intrahepatik yang
berdilatasi pada lobus sinistra hepar. [Dikutip
dari kepustakaan 15 ]

3. CT-Scan
Pemeriksaan CT dapat dilakukan/dianjurkan karena termaksud sarana
yang tidak invasif. Yang perlu diperhatikan ialah gambaran obstruksi, yaitu
terlihat dilatasi saluran empedu intra- dan ekstrahepatik serta pembesaran
kandung empedu.16 CT-Scan lebih baik dari ultrasonografi pada diagnosis
obstruksi duktus empedu dengan menunjukkan dilatasi intahepatik dan
extrahepatik. Alat ini 96% akurat untuk menunjukkan obstruksi bilier, 90%
akurat menunjukkan levelnya dan 70% akurat menentukan penyebabnya.
CT memberikan gambaran yang lebih baik pada bagian media dan distal
duktus empedu utama (CBD) dibandingkan USG, terutama pada pasien
yang obese atau gas pada usus sangat banyak. 13 Namun modalitas ini tidak
rutin digunakan untuk melihat dilatasi dari duktus empedu, karena akurasi
dari ultrasonografi, tapi mungkin membantu pada kasus yang sulit dinilai
dengan ultrasonografi, terutama batu pada duktus extrahepatic pada CBD,
dan menilai organ-organ yang berada disekelilingnya.14

Gambar 5a.b. Pasien dengan batu besar pada


bagian bawah CBD a. tampak hiperdensitas
pada CBD (panah) b. Tampak dilatasi duktus
tanpa adanya gambaran batu (panah). [Dikutip
dari kepustakaan 14]

Gambar 6a.b. Kontras digunakan dalam


pemeriksaan
CT-Scan
yang
menunjukkan adanya batu distal CBD
dan menyebabkan dilatasi duktus
intrahepatik kedua lobus. [Dikutip dari
kepustakaan 12]

Gambar 7. Dilatasi duktus intrahepatik. [Dikutip dari kepustakaan 2]

Computed tomographic colangiography telah diklaim meningkatkan


sensitivitas CT-Scan untuk mendeteksi batu. Pada 101 pasien dengan
suspek batu CBD, alat ini positif pada 21 dari 22 batu dan tidak ada yang
positif palsu. Namun, tetap saja sensitivitas MRCP lebih baik. 14
4. Endoscopy Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP merupakan pemeriksaan yang bersifat diagnostik dan
terapeutik, dan merupakan kriteria standar untuk pencitraan sistem bilier.
8

ERCP hanya dilakukan bagi pasien yang memerlukan terapeutik. Pasien


dengan kecurigaan yang tinggi kolangitis sebaiknya segera dilakukan
ERCP. ERCP memiliki tingkat keberhasilan yang besar (98%) dan dianggap
lebih aman dibandingkan intervensi bedah dan percutaneus.2 Tes ini bersifat
invasif yang melibatkan opasifikasi langsung duktus bilier dengan kanulasi
endoskopi ampulla Vateri dan suntikan retrograd zat kontras. Didapatkan
gambaran anatomis duktus bilier dan pankreatikus dengan baik.17

Gambar 8. Kolangitis akut pada wanita, 43 tahun dengan koledokolithiasis. Pencitraan


ERCP menunjukkan obstruksi oleh batu pada CBD. Tampak irregularitas dinding dan
debris pada seluruh duktus yang tervisualisasi. [Dikutip dari kepustakaan 18]

5. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)


MRCP adalah modalitas non-invasif yang mampu memberikan
gambaran anatomik yang detail. MRCP akurat untuk mendeteksi
koledokolitiasis, neoplasma, striktur dan dilatasi pada sistem bilier.
Keterbatas modalitas ini adalah tidak mampu seperti bile sampling pada tes
diagnostik invasif, tes sitologi, mengangkat batu empedu, atau stenting.
Selain itu tidak sensitif untuk batu berukuran <6 mm. Risiko MRCP pada
ibu hamil belum diketahui.2 Sensitivitas MRCP mencapai 97% untuk
menunjukkan adanya obstruksi

dan 98% untuk menunjukkan level

obstruksi.13
9

Gambar 9. MRCP menunjukkan batu yang sangat kecil pada duktus hepatikus kanan.
Kombinasi slice axil dan coronal memberikan gambaran yang lebih menyakinkan untuk
diagnosis. [Dikutip dari kepustakaan 14]

6. Pemeriksaan duktus bilier dengan kontras11


a) Intravenous cholangiography
Tes ini telah dikembangkan pada tahun 1954 untuk menunjukkan
visualisasi keseluruhan duktus ekstrahepatik. Tetapi resolusi radiografi
sering buruk dan tes ini tidak dapat diandalkan bila bilirubin serum
lebih dari 3 mm per 100 mg. Lebih lanjut reaksi fatal terhadap kontras
intravena walaupun jarang terjadi. Tes ini telah digantikan oleh
pemeriksaan yang lebih aman dengan penggunaan intravenous contrast
medium

untuk

memvisualisasikan

duktus

bilier

yaitu

CT

cholangiography.17,11
b) Direct cholangiography
Walaupun caca ini masih sensitif untuk menunjukkan sifat dan
luas kelainan pada duktus bilier, namun penggunaannya tampak
merosot. Karena kerumintan, menimbulkan kegelisahan dan biaya yang
dihubungkan dengan ERCP dan PTC. Pembatasan penggunaan
diagnostik direct cholangiography karena peningkatan penggunaan
c.

ultrasound dan CT bahkan MRI dan ESG.11


Pemeriksaan laboratorium
Terdiri dari CBC count, tes fungsi hati dan kultur darah.5

Hasil laboratorium umumnya didapatkan leukositosis, hiperbilirubinemia


(pasien dengan obstruksi akibat keganasan umumnya memiliki kadar
bilirubin yang lebih tinggi dibanding obstruksi akibat tumor jinak), dan
10

peningkatan

kadar

aspartate

aminotransferase

(AST),

alanine

aminotransferase (ALT) dan alkaline phosphatase dalam serum.2,3,4


Hasil laboratorium lain yang mungkin ditemukkan yaitu peningkatan

transaminase dan serum amylase.5


SGOT/SGPT dapat meningkat, pada beberapa pasien bahkan dapat

meningkat secara menyolok menyerupai hepatitis virus akut.1


Kultur darah positif pada hampir 50% pasien.
Kultur empedu positif pada hampir semua pasien.
Banyak organisme dapat diidentifikasi pada hampir 60% pasien.
Umumnya yang dilaporkan adalah bakteri anaerob misalnya Escherichia
coli dan Klebsiella dan Enterococcus sp. Bakteri anaerob yang paling

VI.

sering dilaporkan adalah Bacteroides Fragilis.5


Differensial Diagnosis
1. Kolangiokarsinoma
Kolangiokarsinoma adalah tumor malignant yang berasal dari sel
epitelium duktus empedu, dapat berkembang pada cabang duktus intrahepatik,
setinggi hilum, atau dengan duktus extrahepatic. Duktus bilier biasanya
berdilatasi karena obstruksi oleh tumor, oleh debris atau mukus yang
terbentuk.19

Gambar
10.
Ultrasonografi
kolangiokarsinoma. Tampak massa echoic
yang menyebabkan obstruksi CBD anterior ke
vena portal utama (MPV) dan menyebabkan
dilatasi duktus intrahepatik. [Dikutip dari
kepustakaan 11]

Gambar 11. MRI pada kolangiokarsinoma


dengan dilatasi duktus empedu. [Dikutip
dari kepustakaan 10]

2. Koledokolithiasis
Batu pada duktus bilier utama merupakan penyebab utama dari gangguan
pada duktus bilier, terjadi pada 8%-10% pasien yang dalam cholecystectomi
atau postcholecystectomi. Pada ultrasound, batu dapat diidentifikasi dengan
11

densitas echoic dengan akustik shadow bagian distal. Batu ini mudah dilihat,
terutama ketika dikelilingi oleh densitas anechoic (empedu) pada dilatasi
duktus dan batu cukup besar.19

Gambar 12. Ultrasonografi longitudinal menunjukkan dilatasi duktus yang diisi dengan
banyangan batu multiple pada multiple duktus pada pasien dengan kolesititis dan kolangitis
[Dikutip dari kepustakaan 19]

VII.

Komplikasi
1. Abses hati piogenik
Abses piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada
anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua
terjadi sebagai komplikasi saluran empedu salah satunya kolangitis. Infeksi
pada saluran empedu yang mengalami obstruksi naik ke cabang saluran empedu
intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan
akibat abses multipel.10
2. Sepsis
Kuman-kuman ini berasal dari flora duodenum yang masuk melalui
sfingter Oddi, dapat juga dari penyebaran limfogen dari kandung empedu yang
meradang akut, penyebaran ke hati akibat sepsis atau melalui sirkulasi portal
dari bakteri usus. Karena tekanan yang tinggi dari saluran empedu yang
tersumbat, kuman akan kembali (refluks) ke dalam saluran limfe dan aliran

darah dan mengakibatkan sepsis.1


VIII. Pengobatan
Pengelolaan penderita kolangitis yang penting, ialah: 16
1. Memberikan antibiotik intravena untuk mengatasi infeksi. Antibiotika yang
dipilih bergantung pada hasil biakan kuman. Untuk langkah pertama dapat
12

diberikan ampicilin 1 gr/6 jam yang dikombinir dengan golongan


aminoglikosida misalnya tobramisin. Bila selama 24 jam kurang memberikan
respon, sambil menunggu hasil biakan perlu dipikirkan kemungkinan bakteri
anaerob sebagai penyebabnya, dapat diberikan klindamisin atau metronidazol.
2. Mengurangi obstruksi biliaris. Menurut Kaesar (1985), suatu cara yang sebaikbaiknya setelah melakukan PTC dianjurkan dengan pengisapan cairan empedu
yaitu dengan PTCD. Dengan cara ini mengurangi kompresi.
3. Memberikan infus untuk mengimbangi keseimbangan cairan dan elektrolit
ditubuh, apalagi penderita yang sudah diserta tanda syok. Pemberian vit K
sistemik kalau ada koagulopati.
4. Menghilangkan penyebab obstruksi. Bila penyebab obstruksi adalah batu,
yaitu pada waktu melakukan ERC kemudian dilanjutkan dengan melakukan
papilotomi dan dikeluarkan batunya dengan forseps khusus. Bila cara ini masih
sulit atau sarananya tidak ada, maka satu-satunya cara ialah dilakukan
pembedahan. Demikian pula bila penyebanya tumor, stenosis atau kelainan
kongenital, maka perlu tindakan pembedahan. Selain pengobatan tersebut,
tidak boleh dilupakan ialah pengawasan keadaan umum yaitu suhu, tensi, nadi,
IX.

jumlah urine/24 jam dan lain-lain.


Prognosis
Prognosis penyakit ini tergantung oleh beberapa faktor, yaitu:2

Pengenalan awal penyakit dan terapinya


Respon terapi
Kondisi medis yang mendasari
Tingkat mortalitasnya tinggi terutama tanpa terapi antibiotik dan dekompresi

milier.

13

X.

Daftar Pustaka
1. Norman A. Kolangitis akut dipandang dari sudut penyakit dalam. Jurnal
Kedokteran

Trisaki.

1999;

18(3):

123-9.

Available

from:

http://www.univmed.org/wp- content/uploads/2011/02/Vol.18_no.3_2.pdf
2. Scott M, Timothy. Acute Cholangitis. [internet] 10 November 2014. [cited] 2
juli

2015.

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/774245-overview .

3. Yusoff IF, Barkun JS, Barkun AN. Diagnosis and management of


cholecystitis and cholangitis. Journal Gastroenterol North Am, Dec 2003.
p.1154-61.
4. Debas H. Gastrointestinal surgery: pathophysiology and management. New
York: Springer; 2004. p.209-10 dan 223-4.
5. Shojamanesh, Homayoun. Cholangitis. [internet] 11 Maret 2015. [cited] 2
Juli

2015.

In:

http://emedicine.medscape.com/article/184043-

overview.

6. Pedrosa I, Rofsky N. MR imaging in abdominal emergency. Radiol Clin M


Am 41 (2003) p. 1243-73.
7. Netter FH. Atlas of human anatomy. 5th ed. US: Saunders; 2010. p.276.
8. Bagian Anatomi FK UNHAS. Anatomi biomedik II. Ed. 3. Makassar: Bagian
Anatomi FK UNHAS; 2013. hal. 46-7.
9. Amiruddin R. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I .Jakarta:
InternaPublishing; 2009. hal. 627-33.
10. De Jong, Wim. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC; 2010. hal. 674-82 dan
664-5.
14

11. Graiger, Allison. Diagnostic radiologi. 4th Edition. Churchill living stone;
2001.
12. Chan DPN, Wong KT, Antonio GE, Yuen E, Ahuja AT. Case studies in
medical: imaging for student and trainera. New York: Cambridge University
Press; 2006. p.374-5.
13. Medina LS, Blackmore C Craig. Evidence-based imaging; optimazing
imafing in patient care. New York: Springer; 2006. p.504-6.
14. Marincek B, Dondelinger R.
Emergency Radiologi Imaging and
Intervention. Berlin: Springer; 2007. p. 487-9.
15. Ahuja A. Diagnostic imaging: ultrasound. 1st ed. Canada: Amirsys Inc: 2007.
p. 56-9.
16. Sujono H. Gastroenterologi. Bandung: Penerbit Alumni; 2013. hal.795-803.
17. Sabiston, David C. Buku ajar bedah. Jakarta: EGC; 2005. hal.123-7 dan 13940.
18. Gourtsoyiannis NC, Ros PR. Radiologic-pathologic; correlations from head
to toe. New York: Springer; 2005. p.520-3 dan 378-82.
19. Rubens DJ. Ultrasound imaging of the biliary tract. Elsevier saunders:
Ultrasound clin 2 (2007) 391-413. p.404-10

15

Anda mungkin juga menyukai