Anda di halaman 1dari 69

GAMBARAN FAKTOR RISIKO PASIEN KOLELITIASIS DI

RSUP.DR. M. DJAMIL PADANG PERIODE


1 JANUARI 2018-31 DESEMBER 2018

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Kedokteran Universitas Andalas sebagai Pemenuhan Salah Satu


Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Kedokteran
Oleh

M.GIVANDA MELKY PRATAMA


No. BP. 1510312094

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019
i
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
ii
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
iii
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
iv
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
v
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T dan


Shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaran Faktor Risiko
Pasien Kolelitiasis di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode 1 Januari 2018-31
Desember 2018” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini telah banyak dibantu oleh berbagai
pihak. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. dr. Wirsma Arif H, Sp.B(K)-Onk selaku Dekan beserta Wakil Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
2. dr. Zelly Dia Rofinda SpPK(K) dan dr. Avit Sucithra SpB-KBD, selaku dosen
Pembimbing yang telah sabar dan meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan, saran, dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Prof.dr.Nur Indrawati Lipoeto,MSc,PhD,SpGK selaku selakuPembimbing
Akademik yang telah memacu semangat penulis.
4. Seluruh dosen pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas yang telah
memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.
5. Orang tua dan saudara yang memberikan dukungan moral dan materil.
6. Athiyya Chaira yang selalu memberikan dukungan,semangat dan turut
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Berbagai pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada semua pihak yang telah banyak membantu. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi mahasiswa, dunia pendidikan, instansi terkait dan masyarakat luas.
Akhir kata, segala saran dan masukan akan penulis terima dengan senang hati demi
kesempurnaan skripsi ini.

vi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
ABSTRACT

An overview of Risk Factors of Cholelithiasis Patients in Dr M.Djamil Hospital,


Padang, period of January, 1st 2018 – December, 31st 2018

By

M. Givanda Melky Pratama

Cholelithiasis or gallstones are deposition of bile which hardens and forms


inside of gallbladder. In Asia, the prevalence of cholelithiasis is 3% up to 10%. The
case of gallstones can be seen in high-risk groups that called "6F", namely: fat, fifties,
female, fertile, food, and family. The formation of gallstones is caused by various risk
factors where the case might be increase along with the number of risk factors that are
owned, that consist of age, sex, obesity, diabetes mellitus and smoking. The purpose of
this study is to describe the risk factors for cholelithiasis patients in RSUP.Dr.M Djamil
Padang on period of January 1st until 31st 2018.
This research is a retrospective descriptive study with univariate analysis
method by taking the secondary data from the medical record of cholelithiasis patients
in Dr.M.Djamil Padang Hospital period of January, 1st 2018 until December, 31st
2018. This study using total sampling technique and obtained a sample of 90 patients.
In this study the results showed that the highest age group with cholelithiasis
was the age group of ≥50 years which was 54.44%, female sex 58.89%, normal body
mass index (BMI) of 47.78%, blood sugar value normal of 63.33% and non-smokers
as much as 67.78%.
Keywords: cholelithiasis, risk factor

vii
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
ABSTRAK

Gambaran Faktor Risiko Pasien Kolelitiais di RSUP Dr M. Djamil Padang periode 1


Januari 2018-31 Desember 2018

Oleh

M.Givanda Melky Pratama

Kolelitiasis atau batu empedu merupakan endapan cairan empedu yang


mengeras dan terbentuk didalam kandung empedu. Di Asia prevalensi kolelitiasis yaitu
sebesar 3% sampai 10%. Insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok berisiko
tinggi yang di singkat dengan “6F” yaitu : fat, fifties, female, fertile, food, dan family.
Terbentuknya batu empedu disebabkan oleh banyak faktor risiko dimana kejadiannya
akan meningkat seiring dengan banyaknya faktor risiko yang dimiliki, dimana faktor
risikonya terdiri dari usia, jenis kelamin, obesitas, diabetes melitus dan merokok.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor risiko pasien
kolelitiasis di RSUP.Dr.M Djamil Padang periode 1 Januri 2018-31 Januari 2018.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan metode
analisis univariat dengan cara mengambil dari data sekunder rekam medis pasien
kolelitiasis di RSUP Dr.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2018-31 Desember 2018.
Penelitian ini menggunakan Teknik total sampling dan mendapatkan sampel sebanyak
90 pasien.
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa kelompok usia tertinggi yang
mengalami kolelitiasis adalah kelompok usia ≥50 tahun yaitu sebesar 54,44%, jenis
kelamin perempuan sebesar 58,89%, indeks massa tubuh (IMT) normal sebesar
47,78%, nilai gula darah normal sebesar 63,33% dan bukan perokok sebsar 67,78%.

Kata kunci : kolelitiasis ,faktor risiko

viii
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Daftar Isi
Halaman

Sampul Depan
Sampul Dalam i
Pernyataan Orisinalitas ii
Persetujuan Skripsi iii
Pengesahan oleh Penguji iv
Kata Pengantar v
Abstract vi
Abstrak vii
Daftar Isi viii
Daftar Tabel x
Daftar Gambar xi
Daftar Istilah xii
Daftar Lampiran xiii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.3.1 Tujuan Umum 4
1.3.2 Tujuan Khusus 4
1.4 Manfaat Penelitian 4
1.4.1 Bagi peneliti 4
1.4.2 Bagi Institusi dan Tenaga kesehatan 4
1.4.3 Bagi Masyarakat 5
BAB 2 TUNJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Kandung Empedu 6
2.1.1 Anatomi Kandung Empedu 6
2.1.2 Fisiologi Kandung Empedu 8
2.2 Kolelitiasis 9
2.2.1 Definisi Kolelitiasis 9
2.2.2 Epidemiologi Kolelitiasis 10
2.2.3 Etiologi Kolelitiasis 11
2.2.4 Faktor Risiko Kolelitiasis 11
2.2.4.1 Usia 11
2.2.4.2 Jenis Kelamin 12
2.2.4.3 Obesitas 13
2.2.4.4 Diabetes Melitus 14
2.2.4.5 Konsumsi Rokok 15
2.2.5 Patogenesis Kolelitiasis 15
2.2.5.1 Batu Kolesterol 16
2.2.5.2 Batu Pigment 18
2.2.6 Manifestasi Klinis Kolelitiasis 19

ix
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2.2.7 Diagnosis Kolelitiasis 20
2.2.8 Tatalaksana Kolelitiasis 21
2.2.8.1 Tatalaksana Non Bedah 21
2.2.8.2 Tatalaksana Bedah 22
2.2.9 Kerangka Teori 25
BAB 3 METODE PENELITIAN 26
3.1 Jenis dan Desain Penelitian 26
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 26
3.3 Populasi Penelitian, Sampel Penelitian, Kriteria Sampel, dan Teknik
Penelitian 26
3.3.1 Populasi Penelitian 26
3.3.2 Sampel penelitian 26
3.3.3 Besae sampel penelitian 26
3.3.4 Kriteria Sampel Penelitian 27
3.3.5 Teknik Pengambilan Sampel 27
3.4 Definisi Operasional 27
3.5 Prosedur Pengambilan Data 30
3.6 Pengolahan dan Analisis Data 31
3.6.1 Pengolahan Data 31
3.6.2 Analisis Data 31
BAB 4 HASIL PENELITIAN 32
4.1 Data Penelitian 32
4.2 Analisis Univariat 32
4.2.1 Faktor Risiko Umur Pada Kolelitiasis 32
4.2.2 Faktor Risiko Jenis Kelamin Pada Kolelitiasis 33
4.2.3 Faktor Risiko Obesitas Pada Kolelitiasis 33
4.2.4 Faktor Risiko Diabetes Melitus Pada Kolelitiasis 34
4.2.5 Faktor Risiko Konsumsi Rokok Pada Kolelitiasis 34
BAB 5 PEMBAHASAN 35
5.1 Gambaran Faktor Risiko Umur Pada Kolelitiasis 35
5.2 Gambaran Faktor Risiko Jenis Kelamin Pada Kolelitiasis 35
5.3 Gambaran Faktor Risiko Obesitas Pada Kolelitiasis 37
5.4 Gambaran Faktor Risiko Diabetes Melitus Pada Kolelitiasis 39
5.5 Gambaran Faktor Risiko Merokok Pada Kolelitiasis 40
5.6 Keterbatasan Penelitian 41
BAB 6 PENUTUP 42
6.1 Kesimpulan 42
6.2 Saran 42
Daftar Pustaka
Lampiran

x
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR TABLE

Tabel 2.1. Indikasi Kolesistektomi ………………………………………………….23


Tabel 2.2. Indikasi Kolesistektomi Terbuka…………………………………………24
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Umur ………………32
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Jenis Kelamin.............33
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Indeks Massa
Tubuh………………………………………………………………….. ……………33
Tabel 4.4 . Distribusi Frekuensi Penderita Kolelitiasis Berdasarkan
Status Gula Darah ………………………………………………………............34
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Konsumsi Rokok
…………………………………………………………………………………34

xi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Hepar .……………………………...…………………………...6


Gambar 2. Anatomi Hepar dan Kandung Empedu…...………………………………7
Gambar 3. Anatomi Kandung Empedu, Vessica Billiaris, Saluran Empedu…………8
Gambar 4. Metabolisme Kolesterol dan Asam Empedu……...…….……………….18

xii
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR ISTILAH

HRT : Hormon Terapy Replacement


BMI : Body Mass Indeks
DM : Diabetes Mellitus
LDL : Low Density Lipoprotein
HDL : High Density Lipoprotein
HIDA : Hepatobiliary Iminodiacetic Acid
DISIDA : Diisopropyl Iminodiacetic Acid
ESWL : Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy
ASBT : Apical Sodium Dependent Bile Acid Transporter
ILBP : Ileal Lipid Binding Protein

xiii
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian RSUP Dr M Djamil Padang.................................50


Lampiran 2. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik RSUP Dr M Djamil
Padang…................................................................................................51
Lampiran 3. Master Tabel………...............................................................................52

xiv
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kolelitiasis atau batu empedu merupakan endapan cairan empedu yang
mengeras dan terbentuk didalam kandung empedu.1 Kolelitiasis atau batu empedu
terbentuk akibat ketidak seimbangan kandungan kimia dalam cairan empedu yang
menyebabkan pengendapan satu atau lebih komponen empedu. Kolelitiasis
merupakan masalah kesehatan umum dan serimg terjadi di seluruh dunia, walaupun
memiliki prevalensi yang berbeda beda di setiap daerah.2
Di Amerika Serikat, sebanyak 10%-15% populasi orang dewasa menderita
batu empedu. Prevalensi tertinggi terjadi di Amerika Utara yaitu suku asli Indian,
dengan presentase 64,1% pada wanita dan 29,5% pada pria. Sementara prevalensi
yang tinggi juga terdapat pada suku NonIndian di Amerika Selatan, dengan
presentase 49,9% pada wanita negara Chili suku Mapuche Indian asli dan 12,6%
pada pria. Prevalensi ini menurun pada suku campuran Amerika yaitu 16,6% pada
wanita dan 8,6% pada pria. Prevalensi menegah terjadi pada masyarakat Asia dan
masyarakat Amerika kulit hitam yaitu 13,9% pada wanita dan 5,3% pada pria.
Sedangkan prevalensi terendah ditemukan pada masyarakat Sub-Saharan Afrika
yaitu < 5%.3
Kolelitiasis memiliki angka mortalitas yang rendah, akan tetapi penyakit ini
berdampak signifikan terhadap aspek ekonomi dan kesehatan penderita. Penyakit
ini merupakan penyakit pencernaan dengan penerimaan dan biaya perawatan yang
tinggi di rumah sakit.4 Di Inggris, sekitar 5,5 juta orang dengan batu empedu dan
dilakukan lebih dari 50 ribu kolesistektomi setiap tahunnya.5 Kolesistektomi di
Amerika Serikat telah dilakukan sebanyak 650.000-700.000 kali dengan frekuensi
yang terus meningkat di negara-negara barat sejak tahun 1950.6
Penyakit batu empedu sering ditemukan di negara barat, akan tetapi
kejadiannya meningkat di negara-negara Afrika dan Asia selama abad ke 20. Di
Asia angka kejadian kolelitiasis berkisar antara 3% sampai 10%, berdasarkan data
terakhir yang di dapatkan di negara Jepang prevalensi kolelitiasis sekitar 3,2%,
China 10,7%, Indian Utara 7,1% dan Taiwan 5,0%.7

1
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Di Indonesia prevalensi penderita batu empedu tidak diketahui secara pasti,
dikarenakan belum banyaknya publikasi resmi tentang tingkat kejadian batu
empedu di Indonesia, tetapi diduga tingkat kejadiannya tidah jauh berbeda dengan
negara lain di Asia, sebagian besar kejadian kolelitiasis di Asia adalah yang tidak
mempunyai keluhan maupun gejala (asimptomatik).8
Kolelitiasis atau batu empedu memiliki variasi ukuran mulai dari sekecil
butiran pasir sampai sebesar bola golf .1 Batu empedu dapat dibedakan menjadi 3
jenis berdasarkan bahan pembentuknya yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau batu
bilirubin yang terbentuk dari kalsium bilirubinat yang terbagi menjadi batu pigmen
hitam dan batu pigmen coklat. 9 Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat
dalam kelompok berisiko tinggi yang di singkat dengan “6F” yaitu : fat, fifties,
female, fertile, food, dan family.10 Namun,penyakit ini juga dapat terjadi tanpa
faktor risiko, semakin banyak faktor risiko maka semakin besar pula kemungkinan
untuk terjadi kolelitiasis.8 Batu empedu terbentuk disebabkan oleh banyak faktor,
dimana kejadiannya akan meningkat seiring dengan banyaknya faktor risiko yang
dimiliki oleh seseorang, dimana faktor yang mempengaruhi terjadinya antara lain
usia, jenis kelamin, obesitas, diabetes melitus, dan rokok.11
Faktor risiko lainnya adalah usia dimana prevalensi terjadinya batu empedu
meningkat 4-10 kali lipat pada usia diatas yaitu di atas 40 tahun .Hal ini di buktikan
pada penelitian di kota Iran , dari 1.552 sampel penderita batu empedu dengan
rentang umur 30-88 tahun di dapatkan rata rata usia adalah 48.05±11.75 tahun.12
Selain usia jenis kelamin juga berperan dalam faktor risiko terbentuknya batu
empedu dimana wanita memiliki risiko 2 kali lipat terkena batu empedu
dibandingkan dengan pria .13 Hal ini diakibatkan karena kadar hormone estrogen
yang berpengaruh terhadap peningkatan eksresi kolesterol oleh kandung empedu .14
Faktor risiko lain yang berpengaruh adalah obesitas, dikarenakan
meningkatnya prevalensi terjadinya batu empedu pada penderita obesitas.15
Berdasarkan penelitian di suatu kota di negara Iran, yang di ambil dari 1.494
individu berdasarkan pengukuran antropometri dan USG abdominal pada tahun
2011 di temukan prevalensi batu empedu adalah 17,8%, dimana dari prevalensi
tersebut didapatkan hasil berupa pria dengan IMT ≥25 memiliki rata rata sebesar

2
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
27,31 kg/m2 dan wanita dengan IMT≥25 memiliki rata rata sebesar 31,06 kg/m2
dan proporsi sampel batu empedu dengan obesitas adalah 59,2%.16
Diabetes mellitus, dyslipidemia dan sindrom metabolik juga merupakan
faktor risiko dari batu empedu, dimana pada penderita diabetes memiliki asam
lemak tinggi yang disebut trigliserida. Peningkatan asam lemak ini dapat
meningkatkan risiko batu empedu. Fungsi kandung empedu akan terganggu pada
penderita diabetes yang mengalami neuropati diabetic dimana terjadi hiperglikemia
dan resistensi insulin yang menyebabkan terbentuknya kandung empedu.17
Saat ini penyakit batu empedu merupakan penyakit gastrointestinal yang
sering ditemui. Penyakit batu empedu mempunyai banyak komplikasi seperti
(kolesistitis, pankreatitis, dan kolangitis) yang merupakan pernyebab morbiditas
terbanyak penyakit gastrointestinal di rumah sakit.18 Meskipun sebagian besar
memiliki batu tanpa gejala (silent stone), kadang kadang simptom muncul tidak
jarang berlanjut dengan masalah dan penyulit yang penatalaksanaannya
membutuhkan biaya tinggi.19
Di Indonesia belum ada data pasti mengenai gambaran faktor risiko
penyebab kolelitiasis atau batu empedu. Berdasarkan survey data awal yang
dilakukan di bagian rekam medik RSUP Dr M Djamil padang pada periode 2015-
2018. Pada tahun 2015 didapatkan sebanyak 226 pasien dengan diagnosis utama
kolelitiasis, pada tahun 2016 didapatkan sebanyak 403 kasus, dan pada tahun 2017
didapatkan sebanyak 466 kasus penderita kolelitiasis yang di rawat di RSUP Dr M.
Djamil Padang. Berdasarkan data tersebut terlihat kejadian kolelitiasis meningkat
dari tahun 2016 ke 2017, diakibatkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
faktor risiko terbentuknya batu empedu. Namun belum diketahui secara pasti faktor
risiko yang dominan yang menyebabkan terjadinya kolelitiasis di RSUP Dr M
Djamil Padang.
Oleh karena uraian diatas, peneliti sendiri menjadi tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai gambaran faktor risiko kolelitiasis di RSUP Dr. M. Djamil
Padang tahun 1 Januari 2018-31 Desember 2018.

3
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran faktor risiko kolelitiasis di RSUP DR.M. Djamil
Padang tahun 1 Januari 2018-31 Desember 2018?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran faktor
risiko pasien kolelitiasis di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 1 Januari 2018-31
Desember 2018.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran umur dengan kolelitiasis di RSUP
Dr.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2018-31 Desember 2018.
2. Untuk mengetahui gambaran jenis kelamin dengan kolelitiasis di RSUP
Dr.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2018-31 Desember 2018.
3. Untuk mengetahui gambaran obesitas dengan kolelitiasis di RSUP
Dr.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2018-31 Desember 2018.
4. Untuk mengetahui gambaran diabetes mellitus dengan kolelitiasis di RSUP
Dr.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2018-31 Desember 2018.
5. Untuk mengetahui gambaran konsumsi rokok dengan kolelitiasis di RSUP
Dr.M.Djamil Padang periode 1 Januari 2018-31 Desember 2018.

1.4 Manfaat Penilitian


1.4.1 Bagi Peniliti
Sebagai sarana pembelajaran dan memperoleh pengalaman meneliti, untuk
meningkatkan pengetahuan tentang gambaran faktor risiko pada pasien yang di
diagnosis kolelitiasis.

1.4.2 Bagi institusi dan Tenaga Kesehatan


Hasil penelitian diharapkan dapat sebagai bahan untuk pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang ilmu bedah dan dapat sebagai bahan penyuluhan, sebagai
promosi kesehatan yang disampaikan oleh tenaga kesehatan kepada masyarakat
luas mengenai berbagai faktor risiko yang menyebabkan terbentuknya batu empedu
(kolelitiasis)

4
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
1.4.3 Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang faktor risiko penyakit batu empedu pada pasien yang mempunyai faktor
risiko agar dapat melakukan pencegahan sedini mungkin.

5
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kandung Empedu


2.1.1 Anatomi Kandung Empedu
Gallblader atau kandung empedu merupakan kandung berbentuk buah pir,
dengan panjang 7cm-10cm dan kapasitas volume rata-rata sebesar 30 ml-50
ml,apabila mengalami obstruksi kandung emepdu dapat mengalami distensi sampai
dengan kapasitas volume maksimal sebesar 300ml . Kandung empedu terletak di
fossa inferior hati, tepatnya di lobus kanan. Kandung empedu terbagi menjadi
empat bidang anatomis yaitu: fundus, corpus, infudibulum dan collum. Fundus
berbentuk bulat, berujung buntu pada kandung empedu sedikit memanjang di atas
tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu, sementara
kolum adalah bagian sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan
duktus sistika sedangkan infundibulum merupakan pelebaran dari bagian column
kandung empedu atau yang disebut kantung Hartman. Dinding kandung empedu
terutama tersusun dari otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan duktus
koledokus lewat duktus sistikus .9

Gambar 1. Anatomi Hepar 20

6
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Gambar 2. Anatomi Hepar dan Kandung Empedu 20

Empedu yang disekresikan dari hati akan disimpan sementara waktu dalam
kandung empedu. Saluran empedu terkecil yang disebut kanalikulus terletak
diantara lobulus hati. Kanalikulus menerima hasil sekresi dari hepatosit dan
membawanya ke saluran empedu yang lebih besar yang akhirnya akan membentuk
duktus hepatikus. Duktus hepatikus dari hati dan duktus sistikus dari kandung
empedu bergabung untuk membentuk duktus koledokus (common bile duct) yang
akan mengosongkan isinya ke dalam intestinum. Aliran empedu ke dalam
intestinum dikendalikan oleh sfingter oddi yang terletak pada tempat sambungan
(junction) dimana duktus koledokus memasuki duodenum 9
Arteri yang memperdarahi kandung empedu merupakan arteri sistika yang
berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat berbeda beda pada tiap
orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan.21 Pembuluh Vena pada
kandung empedu berjalan melalui hubungan vena vena kecil, dimana vena kecil ini
lewat di permukaan kandung empedu lalu masuk ke hati dan bergabung dengan
vena kolateral dari saluran empedu dan akhirnya menuju vena porta. Pembuluh
limfe pada kandung empedu berjalan menuju nodi limphatici cisticae yang terletak
dekat collum vesica fellea , lalu pembuluh limfe berjalan melalui nodi limphatici
hepaticum sejalan dengan a. hepatica menuju ke nodi limphatici coeliacus. Saraf
yang menuju ke kandung empedu berasal dari plexus coeliacus .22 Kandung empedu
diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati
pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf
postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan

7
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
arteri hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik
berasal dari cabang nervus vagus .23

Gambar 3. Anatomi Kandung Empedu, Vessica Billiari ( Fellea ),


Saluran empedu 20

2.1.2 Fisiologi Kandung Empedu


Cairan empedu dihasilkan oleh sel hepatosit yang ada di hati, normalnya di
hasilkan 600–1200ml/ hari. Diluar waktu makan, cairan empedu disimpan
sementara di dalam kandung empedu, dan mengalami pemekatan sekitar 50 %.
Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu. Kandung empedu
mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu
hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-90%.24
Empedu melakukan dua fungsi penting yaitu:
1. Berperan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, karena asam
empedu yang melakukan dua hal penting yaitu asam empedu membantu
mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang

8
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah
pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir
lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, yang merupakan
suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan
kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati.

Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal


ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah
makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding
kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang
bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis
kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat
oleh serat-serat saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan
enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam
duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat
lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung
buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya
kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam.24

Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%)


cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam
empedu adalah steroid yang dibuat oleh sel hepatosit dan berasal dari kolesterol.
Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat
ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.24

2.2 Kolelitiasis
2.2.1 Definisi Kolelitiasis
Istilah kolelitiasis mengacu kepada penyakit batu empedu yang dapat
ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam ductus koledokus, atau pada
keduanya. Batu empedu sebagian besar terbentuk di dalam kandung empedu
(kolesistolitiasis), apabila batu ini berpindah kedalam saluran empedu atau ductus

9
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
koledokus disebut koledokolitiasis. Sebagian besar batu ductus koledokus
(koledokolitiasis) berasal dari kandung empedu, akan tetapi bisa terbentuk primer
di dalam saluran empedu ekstrahepatik maupun intrahepatik. Dikatakan batu primer
saluran empedu apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: terdapat massa
asimptomatik setelah kolesistektomi, morfologi cocok dengan batu empedu primer,
tidak ada striktur pada duktus koledukus.10
Batu empedu terbentuk diakibatkan karena pemadatan yang terjadi oleh
pengendapan larutan. Larutan organic utama yang terkandung dalam empedu yaitu:
bilirubin, garam empedu, fosfolipid, dan kolesterol. Batu empedu dapat di
klasifikasikan berdasarkan kandungan kolesterol yang di kandungnya yaitu batu
kolesterol dan batu pigmen. Batu pigmen dapat di klasifikasikan lebih lanjut
menjadi batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat.9
2.2.2 Epidemiologi
Penyakit kantung empedu banyak ditemukan di amerika, yaitu 10% sampai
20% kasus pada penduduk dewasa. Sebanyak 5,5 juta kasus batu empedu
ditemukan di inggris dan 50.000 kolesistektomi dilakukan setiap tahunnya.5
Sebanyak 70% kasus batu empedu adalah asimptomatis atau tidak bergejala4 .
Kejadian kolelitiasis di negara barat sekitar 10-15% dan banyak menyerang orang
dewasa dan lanjut usia. Di Indonesia angka kejadian kolelitiasis diduga tidak
berbeda jauh dari angka kejadian di Asia Tenggara.10
Batu empedu asimptomatik biasanya diketahui secara kebetulan saat USG,
CT scan, radiografi perut atau laparotomy. Sebanyak 3% individu dengan batu
asimptomatik akan berkembang menjadi simptomatik atau bergejala setiap
tahunnya. Pada saat simptomatik, penderita cenderung mengalami kolik yang
berulang. Selama 20 tahun belakang, sekitar dua pertiga pasien dengan
asimptomatik kolelitiasis tetap bertahan dan bebas dari gejala.9
Terdapat beberapa jenis batu empedu yaitu : batu kolesterol, batu bilirubin
atau batu pigmen yang terdiri dari batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat, dan
atu campuran. Di negara barat, 80% batu empedu merupakan batu kolesterol.
Sebaliknya di Asia Timur, lebih banyak ditemukan batu pigmen dibandingkan
dengan batu kolesterol.10

10
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2.2.3 Etiologi
Komposisi cairan empedu normal mengandung 70% garam empedu, 22%
fosfolipid, 4% kolesterol, 3% protein, dan 0,3% bilirubin .25 Etiologi batu empedu
belum diketahui secara pasti namun terdapat beberapa mekanisme yang diduga
menjadi penyebab terbentuknya batu empedu, yaitu perubuhan susunan empedu
akibat gangguan metabolism, stasis empedu, dan infeksi pada kantung empedu.26
Batu empedu terbentuk akibat stasis dari cairan empedu, yang terjadi ketika
empedu tidak di kosongkan sepenuhnya dari kantung empedu, yang mengakibatkan
empedu berubah menjadi seperti lumpur dan akhirnya berubah menjadi batu.
Obstruksi pada bilier atau saluran empedu juga dapat menyebabkan batu empedu
seperti striktur bilier dan kanker pancreas. Jenis batu empedu bermacam-macam
tergantung dari penyebabnya masing masingnya. Penyebab batu empedu paling
sering adalah pengendapan kolesterol akibat peningjatan kadar kolesterol yang
kemudian akan terbentuk batu kolesterol. Batu kolesterol adalah jenis batu yang
paling banyak ditemukan yaitu sebanyak 90% dari semua penderita batu empedu
mengalami jenis batu kolesterol. Bentuk kedua adalah batu berpigmen, batu ini
terbentuk akibat dari peningkatan kadar bilirubin yang tersimpan dalam kantung
empedu akibat dari peningkatan kerusakan sel darah merah dalam pembulu darah.
Bentuk ketiga adalah batu campuran yang merupakan kombinasi dari kalsium
karbonat atau kalsium fosfat, kolesterol dan cairan empedu. Bentuk keempat adalah
batu kalsium, batu ini biasanya ditemukan pada pasien hiperkalsemia dan biasanya
ditemukan bersamaan dengan batu ginjal.27

2.2.4 Faktor Risiko


Terbentuknya Batu Empedu disebabkan oleh banyak faktor dimana
resikonya akan meningkat seiring dengan banyaknya faktor risiko yang dimiliki
oleh seseorang. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu empedu antara lain
adalah Usia, jenis Kelamin, Obesitas, Diabetes Melitus, Kadar Trigliserida, Kadar
Kolesterol, Aktivitas Fisik, dan Konsumsi Rokok.28
2.2.4.1 Usia
Umur menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya batu empedu. Penyakit
batu empedu jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun. Pada bayi dan anak-
anak, batu yang paling umur terjadi adalah batu pigmen, dimana hal ini

11
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
berhubungan dengan hemolysis atau penyakit kronis seperti kistik fibrosis,
thalassemia mayor, dan anemia sel sabit. Biasanya, hanya 0,15% hingga 0,22%
anak-anak akan memiliki batu empedu, hanya 5% dari semua kolesistektomi
dilakukan pada anak-anak. Peningkatan insiden batu empedu yang diakibatkan oleh
peningkatan usia terlihat pada semua kelompok etnis.29
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan di Taiwan, menegaskan
bahwa bertambahnya usia memiliki pengaruh terhadap terbentuknya batu empedu,
hal ini di karenakan paparan terhadap faktor risiko jangka panjang, terlepas dari
lokalitas dan juga standar hidup.30
Risiko untuk terkena kolelithiasis sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia >40 tahun cendrung menderita empedu 4-10 kali lebih berisiko
dibanding dengan usia yang lebih muda.28 Berdasarkan biokimia, peningkatan usia
menyebabkan saturasi kolesterol dari kandung empedu dengan peningkatan sekresi
kolesterol dari hepar, dimana peningkatan ini akan menyebabkan peningkatan
kadar HMG co-A reduktase, yang merupakan enzim penghambat sintesis
kolesterol. Penurunan sistesis dari asam empedu berhubungan dengan penurunan
aktivitas enzim kolesterol 7 α-hydroxylase (Cyp7a1) yang berfungsi untuk
mengkonversi kolesterol menjadi asam empedu, dan pada saat pertambahan usia,
terjadi peningkatan saturasi kolesterol dan penurunan motilitas pengosongan
empedu yang hal ini akan mengakibatkan meningkatnya risiko untuk terbentuknya
batu empedu.31
2.2.4.2 Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor risiko yang berpengaruh untuk batu
empedu, dimana wanita memiliki risiko 2 kali lipat terkena batu empedu
dibandingkan dengan pria. Hal ini dikarenakan akibat hormone estrogen, yang
berpengaruh terhadap peningkatan eksresi kolesterol oleh kantung empedu.
Kehamilan juga ditemukan berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Batu
empedu lebih sering ditemukan pada wanita-wanita multipara (paritas 4 atau lebih).
Perbedaan jenis kelamin dan deteksi batu empedu pada wanita hamil diduga
berhubungan dengan hormon. Peningkatan kadar estrogen diketahui dapat
meningkatkan ekskresi kolesterol ke dalam empedu dengan cara meningkatkan
supersaturasi. Selama kehamilan, selain adanya peningkatan estrogen, juga terdapat

12
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
penurunan ekskresi isi kandung empedu sehingga cairan empedu akan mengental
dan dapat membentuk batu.31
Terapi penggantian hormon (HRT) dengan menggunakan agen-agen yang
mengandung estrogen pada wanita postmenopausal dan kontrasepsi oral hormonal
dapat meningkatkan risiko pembentukan batu empedu. Penggunaan HRT
ditemukan memiliki hubungan positif dengan peningatan batu empedu simptomatik
pada populasi ini. Temuan ini membuktikan hasil-hasil penelitian sebelumnya dan
juga memberikan informasi tambahan mengenai efek durasi pemakaian dan
peningkatan risiko akibat riwayat pemakaian HRT. Hubungan pasti antara batu
empedu dengan kontrasepsi oral masih menjadi bahan perdebatan. Ini mungkin
disebabkan karena adanya hubungan yang dependen dengan dosis estrogen. Maka
dari itu, pemakaian kontrasepsi kombinasi estrogen-gestagen dosis rendah memiliki
risiko batu empedu yang lebih rendah.31
2.2.4.3 Obesitas
Obesitas atau yang bisa diterjemahkan sebagai kelebihan lemak tubuh
merupakan suatu entitas yang tidak dapat diukur secara langsung. Oleh karena itu
obesitas didefinisikan sebagai indeks massa tubuh (IMT) yaitu berat badan dibagi
dengan tinggi badan di kuadratkan dalam meter dengan satuan (Kg/M2), dimana
yang digunakan untuk mengperlihatkan berat badan berdasarkan tinggi badan
seseorang. 32
Rentang normal IMT adalah ≥18,5-24,9 (Kg/M2), dikatakan
Overweigh apabila memiliki IMT dengan rentang ≥25-< 27 (Kg/M2), dan
dikatakan obesitas apabila IMT ≥27 (Kg/M2).33 Obesitas merupakan salah satu
faktor yang sangat berpengaruh dalam terbentuknya batu empedu terutama obesitas
sentral maupun obesitas perifer. Obesitas menjadi faktor risiko batu empedu karena
dikaitkan dengan peningkatan sintesis kolesterol dan peningkatan sekresi kolesterol
ke dalam kantung empedu .36
Obesitas menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu
empedu, dikarenakan meningkatnya prevalensi batu empedu pada seseorang yang
mengidap obesitas.34 Pada obesitas terjadi perubahan pada metabolism kolesterol
dimana akan meningkatkan sekresi kolesterol dan juga gangguan motilitas kandung
empedu, yang memicu terbentuknya batu. Faktor resiko penyakit batu empedu yang
berhubungan dengan obesitas berdasarkan penelitian sebelumnya seperti

13
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
peningkatan aktivitas enzim HMG-CoA merupakan faktor yang menyebabkan
peningkatan sekresi kolesterol pada kandung empedu.35
Di Negara iran berdasarkan penelitian sebelumnya, telah dilakukan
pengukuran antropometri dan USG abdominal pada tahun 2011 pada 1.494 individu
dan ditemukan prevalensi kolelitiasis sebanyak 17,8% dimana pria dengan IMT >23
memiliki rata-rata sebesar 27,31kg/m2 dan wanita dengan IMT >23 memiliki rata-
rata sebesar 31,06 kg/m2 dan proporsi sampel batu empedu dengan obesitas sebesar
59,2%.36
2.2.4.4 Diabetes Melitus
Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolik yang disebabkan oleh
kekurangan insulin, yang secara klinis berdampak pada peningkatan gula atau
glukosa dalam darah. Pada penderita diabetes mellitus terjadi efek pathogenesis
berupa peningkatan kadar kolesterol, hipomotilitas, dan peningkatan nukleasi
sehingga dapat meningkatkan risiko terbentuknya batu empedu.37 Berdasarkan
penelitian secara global, prevalensi penderita batu empedu pada populasi penderita
diabetes mellitus sebesar 36.2%. Resistensi insulin menjadi faktor predisposisi
untuk terbentuknya batu empedu.39
Resistensi insulin di hati mempengaruhi kadar Kolesterol dan metabolism
garam empedu. Penderita diabetes mellitus umumnya memiliki kadar asam lemak
tinggi yaitu Trigliserida. Peningkatan Trigliserida dapat meningkatkan risiko
terjadinya batu empedu. Fungsi kandung empedu dapat terganggu akibat neuropati
diabetic pada penderita diabetes melitus, hiperglikemia dan resistensi insulin
berdampak pada meningkatnya lithogenisitas atau pembentukan batu. 40
Penderita diabetes meningkatkan resiko batu empedu, melalui 2
mekanisme. Pertama melalui peningkatan sintesis kolesterol total di tubuh yang
memudahkan pembentukan batu kolesterol, dan yang kedua pasien dengan diabetes
memiliki kandung empedu lebih besar dengan kemungkinan penurunan motilitas
yang meningkatkan pembentukan kritstal kolesterol. Pada pasien dengan diabetes
mellitus tipe 2 memiliki saturasi kolesterol lebih tinggi di banding dengan diabetes
mellitus tipe I. Pada pasien DM terjadi penurunan motilitas kandung empedu yang
berhubungan dengan komplikasi dari neuropati diabetic yang menyerang saraf
autonom.38

14
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Pada penderita neuropati diabetic akan terjadi penurunan sekresi hormone
melatonin, hormone ini dihasilkan oleh kelenjar pineal yang terletak di pusat otak.
Hormon melatonin berfungsi untuk menghambat sekresi kolesterol dari kandung
empedu, meningkatkan konversi kolesterol menjadi cairam empedu, dan sebagai
antioksidan yang berfungsi untuk mengurangi stress oksidatif pada kandung
empedu. Sehingga pada penderita diabetes mellitus dengan neuropati diabetic akan
meningkatkan risiko untuk terbentuknya batu empedu.33
2.2.4.5 Konsumsi Rokok
Berdasarkan penelitian di italia selatan di dapatkan bahwa merokok
meningkatkan insiden batu empedu sebasar 2 kali lipat, yang di dapatkan pada
pemeriksaan USG pada wanita dan pria di negara tersebut.45 Merokok dapat
meningkatkan risiko terjadinya kanker kandung empedu, akan tetapi mekanisme
pasti belum di ketahui secara pasti. Mengkonsumsi rokok diduga menurunkan kadar
HDL yang berakibat pada peningkatan saturasi kolesterol kandung empedu dan
akan menyebabkan terbentuknya batu.28
Kadar estrogen diduga menjadi penyebab meningkatnya risiko
terbentuknya batu empedu pada wanita yang merokok, Merokok diduga
berhubungan dengan peningkatan degradasi estrogen di hati dan penurunan
estrogen di urin pada wanita menopause, tetapi berdasarkan pengamatan tidak ada
perbedaan kadar estrogen antar perokok dan bukan perokok pada wanita
menopause. Pada laki laki , merokok dikaitkan dengan kadar estrogen endogen.45
2.2.5 Pathogenesis
Pathogenesis kolelithiasis berbeda tergantung kepada jenis batu itu
sendiri. Terdapat 3 jenis berdasarkan komposisinya, yaitu : 1). Batu Kolesterol
dimana batu ini mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan sisanya adlaah
kalsium karbonat, kalsium palmitate, dan kalsium bilirubinat. Batu kolesterol
memiliki bentuk yang lebih bervariasi dibandingkan batu pigmen 2).Batu pigmen
hitam mengandung <20% kolesterol dan terdiri dari kalsium bilirubinat, kalsium
karbonat dan kalsium fosfat. 3) Batu pigmen coklat mengandung <20% kolestrol
dan terdiri dari endapan kalsium bilirubinat dan sel tubuh bakteri yang menjadi
komposisi utama dari batu ini.9

15
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2.2.5.1 Batu Kolesterol
Batu kolesterol tersusun dari Kristal kolesterol yang terbentuk akibat dari
metabolism dari kolesterol. Terdapat 4 penyebab atau kelainan yang diduga
bertanggung jawab untuk terbentuknya batu empedu yaitu : supersaturasi
kolesterol, pembentukan nidus dan kristalisasi, berkurangnya motilitas kandung
emoedu (dismotility), perubahan absrobsi dan sekresi.10 Pertama adalah
Supersaturasi kolesterol, merupakan persyaratan penting untuk terbentuknya batu
kolesterol. Supersaturasi kolesterol dalam empedu ditentukan melalui ratio molar
dari 3 lipid biliaris utama yaitu : kolesterol, asam empedu, dan fosfolipid.
Supersaturasi kolesterol dapat terjadi karena biosintesis kolesterol yang berlebihan
akibat peningkatan aktivitas 3-hidroksi-3-metilglutaryl (HMG) yang merupakan
mekanisme lithogenik pada orang orang dengan obesitas. Aktivitas ACAT ( Acyl-
CoA cholesterol) menghambat esterifikasi kolesterol, menyebabkan peningkatan
eksresi kolesterol bebas ke dalam empedu. Pada orang yang non-obesitas, sekresi
kolesterol yang berlebihan dapat dihasilkan dari konversi kolesterol yang rusak
menjadi asam empedu, karena rendahnya atau relative rendahnya aktivitas
kolesterol 7 alfa hidroksilase yang merupakan enzim pembatas laju biosintesis asam
empedu. Akhirnya akan menimbulkan gangguan enterohepatik dan meningkatkan
satura empedu. Gangguan sementara sirkulasi enterohepatik asam empedu selama
puasa mengarah pada rasio kolesterol/fosfolipid yang tinggi yang disekresikan di
hati .42

Gambar 4. Metabolisme kolesterol dan Asam Empedu 43

16
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Kelainan kedua adalah peningkatan nukleasi kristal kolesterol. Mucin
merupakan glikoprotein dengan berat molekul besar yang mengandung
oligosakarida yang berikatan dengan sisa serin atau treonin dari apomucin tulang
belakang dengan ikatan O-glikosida. Mucin bisa dibagi menjadi 2 kelas yaitu
pembentuk gel dan berikatan dengan membrane. Mucin biliaris memiliki dua
bagian utama yang pertama mengandung banyak serin, treonin dan prolin yang
sebagian besar memiliki ikatan kovalen karbohidrat. Bagian lain adalah bagian non
glikosilasi yang mengandung serin , asam glutamate dan glisin, yang berikatan
secara hidropobic dengan bilirubin. Dalam keadaan sehat, musin secara konstan di
sekresikan oleh mukosa kandung empedu, namun sekresinya akan meningkat
apabila terjadi keadaan lithogenik di kandung empedu.31
Sekresi mucin pembentuk gel akan meningkatkan viskositas empedu. Pada pasien
dengan hepatolitiasis ditemukan peningkatan mucin pembentuk gel seperti
MUC5AC dan MUC2. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terdapat
korelasi positif antara MUC1 dan MUC5AC yang menunjukkan interaksi antara
gen genyang menyebabkan akumulasi dari mucin pembentuk gel dengan
kolesterol.31
Dibutuhkan waktu yang cukup untuk terjadinya nukleasi, agar Kristal
terbentuk dan tumbuh menjadi mikrolit, dan makrolit berubah menjadi batu
empedu, oleh karena itu stasis empedu berpengaruh dalam pembentukan batu
empedu, karena pada saat tidur setiap orang tidak mengkonsumsi makanan
sehingga akan terjadinya penyimpanan dari cairan empedu.76 Endapan kolesterol
terus terbentuk di kandung empedu normal, dimana kontraksi dari kandung empedu
akan mengeluarkan Kristal kolesterol dan mucin untuk mencegah terbentuknya
batu. Terbentuknya batu berhubungan dengan kontraktilitas kandung empedu yang
buruk. Dismotilitas kandung empedu dapat meningkatkan volume kandung
empedu, begitu sebaliknya volume kandung empedu dapat berakibat pada
gangguan motilitas, yang mendorong terbentuknya batu. Gangguam pengosongan
kandung empedu terjadi pada orang dengan obesitas, ibu hamil, seseorang dengan
pemberian nutrisi parenteral total, penurunan berat badan yang drastic, kelaparan
yang berkepanjangan, penderita penyakit celiac, anemia defisiensi besi dan
kolesterosis. 31

17
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi pengurangan jumlah dan
sesitivitas dari reseptor kolesitokinin, motilin dan rangsangan lain dari reseptor
motoric kandung empedu. Terdapat bukti bahwa polimorfisme gen kolesitokinin
reseptor A tertentu meningkatkan risiko terjadinya batu empedu akibat motilitas
yang terganggu. Peningkatan ekspresi gen yang berikatan dengan reseptor tipe II di
hipofisis yang akan mengaktifkan adenil siklase yang menyebabkan terjadinya
dismotilitas sehingga meningkatkan risiko terbentuknya batu. 31
Somatostatin, atropine dan metilskopolamin dapat menurunkan
kontraktilitas dari kandung empedu. Morfin memberikan efek kolesistokinetik
tetapi secara bersamaan menyebabkan spasme dari sphincter Oddi. Penyakit usus
kecil disertai dengan malabsorpsi berat (enteropati gluten, penyakit Crohn, dll.)
Menyebabkan gangguan penyerapan asam empedu. Tingkat pembentukan batu
mencapai setinggi 26,4% pada penyakit Crohn dengan lokalisasi dominan di usus
kecil bagian terminal. Pada penyakit crohn umunya yang terbentuk adalah batu
kolesterol tpi juga bisa terbentuk batu pigmen atau batu bilirubin. 31
2.2.5.2 Batu Pigment
1.Batu Pigment Hitam
Di Negara barat 30% penderita kantung empedu merupakan penderita batu
pigment hitam dimana batu tersebut mengandung <20% kolesterol dan batu
pigment hitam jarang ditemui pada usia di bawah 50 tahun,oleh karena itu terdapat
peningkatan risiko kejadian batu pigmen hitam seiring dengan bertambahnya usia.77
Komposisi utama dari batu pigment hitam merupakan kalsium bilirubinate dan
komposisi lainnya adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat dalm bentuk polimer
compels yang berikatan dengan glikoprotein mucin. Bilirubin merupakan produk
hasil pemecahan hemoglobin menjadi bilirubin tak terkonjugasi atau indirek yang
akan di konjugasi di hati menjadi bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk.
Bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air dan mudah mengendap. Dalam
kasus hemolisis, ekresi bilirubin mungkin akan meningkat 10 kali lipat dan
meningkatkan resiko presipitasi kalsium bilirubinat. Kejadian ini menjelaskan
tingginya prevalensi batu pigment hitam pada gangguan hemolitik kronik seperti
anemia sel sabit, sferositosis herediter, dan gilbert sindrom.46

18
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2. Batu Pigment Coklat
Berbeda dengan batu pigmen hitam yang terbentuk di kantung empedu, batu
pigmen coklat terbentuk di duktus biliaris atau saluran empedu. Komposisi utama
dari batu ini adalah garam kalsium dari bilirubin tak terkonjugasi , kolesterol dan
juga protein. Batu pigmen coklat berhubungan dengan infeksi kronis bakteri pada
saluran empedu oleh bakteri Escherichia Coli , Bacteroides spp, Clostridum spp,
parasite Opisthorchis veverrini, Clonorchis sinensis, dan Ascaris Lunbricoides.
Bakteri dalam saluran empedu menghasilkan b-glukoronidase, foffolipase-A, dan
asam basa hydrolase yang menyebabkan peningkatan jumlah bilirubin tak
terkonjugasi, palmitat dan asam stearate dimana bilirubin tak terkonjugasi bisa
berikatan dengan kalsium yang bisa membentuk batu. Parasit di saluran empedu
dapat menstimulasi formasi batu oleh kalsifikasi mantel telur parasit, yang dapat
berfungsi sebagai nidus dan meningkatkan pengendapan kalsium bilirubinat .46
2.2.6 Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien batu empedu tidak memiliki gejala. Batu jenis ini
disebut “silent stone” dan mungkin tidak memerlukan perawatan. Pasien dengan
batu simptomatik paling sering dengan gejala nyeri episodik berulang di bagian
kuadran kanan atas atau di epigastrik, yang mungkin di akibatkan oleh impaksi batu
di duktus sistikus.9 Penderita kolelitiasis dapat mengalami rasa sakit yang hebat di
regio kanan atas perut, dan biasanya disertai dengan mual dan muntah.Rasa sakit
atau nyeri akan terus meningkat selama 30 menit hingga beberapa jam. Seseorang
yang mempunyai batu empedu berkemungkinan untuk mengalami nyeri alih
dimana disebut (Boas Sign) yaitu nyeri yang terletak antara tulang belikat atau
dibawah bahu kanan. Serangan seringkali terjadi setelah makan makanan berlemak
dan hamper selalu terjadi pada malam hari.47
Penderita batu empedu biasanya juga disertai dengan kolesistitis akut,
seringkali ini terjadi akibat infeksi sekunder oleh mikroorganisme usus yaitu
Escherichia Coli dan Bacteroides. Peradangan pada dinding kandung empedu
terutama di kuadran kanan atas yang disertai mual muntah, demam, dan leukositosis
menyebabkan nyeri perut yang parah.48 Kondisi sepertei ini dapat hilang sementara
tanpa operasi, tetapi mungkin akan berkembang menjadi gangrene dan perforasi.
Batu empedu bisa tersangkut di saluran empedu (koledokolitiasis) dan disertai

19
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
dengan obstruksi duktus biliaris komunis dan gejala kolestasis.49 Obstruksi
meneybabkan ikterus meskipun biasanya disebabkan oleh migrasi batu ke duktus
biliaris komunis, dapat disebabkan oleh kompresi duktus hepatikus komunis oleh
batu di leher kandung empedu atau duktus sistikus.50 Infeksi pada saluran empedu
(Kolangitis) dapat menyebabkan obstruksi minor pada cairan empedu. Batu pada
saluran empedu dapat menyebabkan nyeri pada epigastrium atau pada kuadran
kanan atas atau tanpa nyeri. Batu pada duktus biliaris komunis dapat memicu
terjadinya pankreatitis akut, mungkin dengan cara menghalangi sementara saluran
pancreas utama yang melewati duktus biliaris komunis di ampula vater.51 Batu
empedu dapat langsung masuk ke duodenum dari kandung empedu melalui fistel
selama periode imflamasi yang diam.52 Batu ini dapat berdampak pada duodenum
yang menyebabkan obstruksi duodenum (Sindrom Bouveret). Batu empedu dapat
berdampak pada bagian tersempit di dari usus kecil yang sehat, menyebabkan
obstruksi yang disebut batu ileus.53

2.2.7 Diagnosis
Penyakit ini biasanya didiagnosis berdasarkan riwayat nyeri episodik di
kuadran kanan atas atau epigastrik yang mengarah pada kolik bilier dan boas’ sign.
Mungkin ditemukan demam, nyeri pada kudaran kanan atas dengan atau tanpa
Murphy’s Sign, dan sakit ketika tangan menekan lengkungan kosta kanan yang
merupakan proyeksi dari kandung empedu ke permukaan tubuh (Ortner’s sign).42
Dalam mendiagnosis penyakit kandung empedu ultrasonografi, pemindai
nuklir (koleskintigrafi), dan kolesistografi oral merupakan cara utama yang sering
digunakan. Saat sekarang ini ultrasonografi adalah metode yang paling sering
digunakan untuk mendeteksi kolelitiasis. Kadangkala batu empedu didiagnosis
pada saat X-ray. Ultrasonografi memiliki spesifisitas dan sensitivitas 90-95%, dan
dapat mendeteksi batu sekecil 2mm. Dalam melakukan koleskintigrafi, pasien
disuntuik dengan sejumlah kecil bahan radioaktif yang tidak berbahaya, yang akan
diserap oleh kandung empedu dan akan berkontraksi jika diberikan injeksi
kolesistokinin sebagai tambahan.42
Isotop berumur pendek technetium-99m, yang terikat ke salah satu dari
beberapa radioaktif HIDA Iminodiacetic Acid seperti (Hepatic ImunoDiacetic
Acid) atau DISIDA (Disopropyl Iminodiacetic Acid), yang di ekskresikan ke dalam

20
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
saluran empedu, dapat memberikan informasi fungsional tentang kontraksi
kandung empedu. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi onstruksi total dari saluran
empedu, tetapi tidak dapat memberikan informasi anatomi, dan tidak dapat
mengidentifikasi jenis dari batu empedu. Hal ini memungkinkan penilaian cepat
fungsi kandung empedu pada pasien dengan dugaan kolesistitis akut. Sinar gamma
yang dipancarkan oleh pemancar digunakan untuk membuat gambaran saluran
empedu dan kandung empedu. Kegagalan dari pemancar untuk memasuki kandung
empedu menunjukkan obstruksi pada leher kandung empedu, seperti yang terjadi
pada kolesistitis akut. Koleskintigrafi memiliki sensitivitas dan spesifisitas sekitar
95% untuk kolesistitis akut, dalam keadaan nyeri perut kanan bawah dengan tanda
inflamasi. Dalam kolesistografi oral, agen kontras iodinasi seperti asam iopanic
diberikan secara oral sehari sebelum pemeriksaan.42
Agen kontras diserap dari usus, diambil oleh hati, dan terkonjugasi dengan
asam glukoronat lalu di sekresikan ke dalam empedu, dan terkonsentrasi di kantong
empedu. Hal ini berguna pada pasien yang dicurigai menderita kandung empedu tpi
pada pemeriksaan USG negative atau samar-samar. Pada pemeriksaan
kolesistografi oral dapat terlihat kandung empedu memiliki batu, polip atau lumpur,
dan mungkin tidak dapat divisualisasikan karena bahan kontras diserap kembali
melalui dinding kandung empedu yang meradang atau duktus sistikus yang
mengalami obstruksi.42
2.2.8 Tatalaksana
Tatalaksana batu emepdu terdiri dari terapi bedah dan terapi non bedah.
Terapi bedah dapat berupa kolesistektomi sedangkan terapi non bedah dapat berupa
lisis batu yaitu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik, dan pengeluaran secara
endoskopik.54
2.2.8.1 Tatalaksana Non Bedah
Tatalaksana non bedah pata kolelitiasis terdiri dari lisis batu dan
pengeluaran secara endoskopik 54
1. Disolusi
Terapi ini merupakan terapi jangka panjang menggunakan urodisol,
dimana urodisol akan melarutkan batu kolesterol yang ada di kandung empedu.
Urodisol menurunkan saturasi kolesterol empedu dengan menghambat sekresi

21
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
kolesterol. Terapi garam empedu mempunya indikasi tertentu, dimana batu empedu
harus dalam ukuran <5mm dan tidak terdapat kandungan kalsium, dan tidak ada
hambatan aliran empedu dari kandung empedu ke saluran empedu. Sekitar 15%
penderita batu empedu menjadi kandidat untuk menjalankan terapi disolusi.55
2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
ESWL menggunakan gelombang kejut dengan amplitudo yang tinggi yang
dihasilkan oleh elektrohidrolik eksternal atau alat listrik piezo yang diarahkan pada
batu kandung empedu dibawah tuntunan ultrasonografi (USG). Metode ini
menggunakan dua cara yakni terapi oral asam empedu dan fragmentasi batu
empedu. Tujuan dari terapi ESWL adalah terbentuknya fragmen-fragmen yang
berukuran kecil <3mm yang dapat melewati duktus sistikus dan duktus koledukus
sehingga dapat dibuang ke duodenum. Fragmen yang tersisa dikandung empedu
dilarutkan oleh urodisol yang diberikan beberapa minggu sebelum dan bersama
dengan ESWL, dan dilanjutkan beberapa bulan sampai batu tidak terlihat lagi.
ESWL biasanya dilakukan pada pasien dengan batu tunggal dan berukuran kecil
dan terdapat beberapa efek samping dari ESWL yaitu : kolik bilier, pankreatitis,
dan cedera transien dari paru atau ginjal kanan. Walaupun ESWL ini jelas
bermanfaat pada beberapa pasien, mahalnya harga unit litotriptor, terbatasnya
pasien yang memenuhi syarat, potensi kambuh, masih diperlukannya terapi medis
sesudahnya, dan perkembangan laparaskopi telah membatasi antusias pengguna
ESWL.56
2.2.8.2 Tatalaksana Bedah
Pasien dengan batu simptomatik dapat dibedakan menjadi dua kategori
yaitu: yang memiliki kolik bilier dan yang memiliki komplikasi. Kolesistektomi
laparoskopik dianjurkan untuk pasien dengan batu empedu simptomatik.57 Dalam
sebuah penelitian yang membandingkan antara kolesistektomi laparoskopi dengan
kolesistektomi terbuka dimana kedua tindakan tersebut memiliki prosedur,
komplikasi, dan waktu pembedahan yang sama, tetapi kolesistektomi laparoskopi
memiliki waktu tinggal di rumah sakit yang lebih singkat yaitu kurang lebih selama
3 hari, dan juga periode pemulihan yang juga lebih singkat yaitu 8 hingga 37 hari.58
Kolesistektomi atau pengangkatan kandung empedu merupakan salah satu
prosedur abdominal yang paling umum dan merupakan prosedur definitive untuk

22
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
batu empedu simptomatik.59 Kolesistektomi terbuka merupakan penatalaksanaan
yang aman dan efektif untuk kolesistitis akut dan kronik. Namun, dua dekade
terakhir kolesistektomi laparoskopi telah mengambil alih peran kolesistektomi
terbuka, dengan prosedur minimal invasive.60

Tabel 2.1. Indikasi Kolesistektomi 59


Indikasi Kolesistektomi
Urgensi (24-72 jam)

 Kolesistitis akut
 Kolesistitis emfisema
 Empiema kandung empedu
 Perforasi kandung empedu
 Riwayat koledokolitiasis

Elektif

 Diskinesia biliaris
 Kolesistitis kronik
 Kolelitiasis simptomatik

1. Kolesistektomi Laparoskopi
Terdapat beberapa kontraindikasi kolesistektomi laparoskopi antara lain pada
pasien yang tidak bisa menoleransi anestesi umum atau bedah mayor. Kondisi lain
seperti koagulopati, kehamilan dan sirosis tidak lagi menjadi kontraindikasi namun
memerlukan perhatian dan persiapan lebih dan evaluasi resiko.61 Kolesistektomi
laparoskopi merupakan tindakan pengangkatan kandung empedu dengan insisi
kecil yaitu 2-3 cm yang dilakukan di umbilicus lalu akan dimasukkan laparoskopi.
Pada tindakan kolesistektomi ini dilakukan pengembangan abdomen dengan cara
memasukkan gas yang tidak berbahaya, seperti karbon dioksida (CO2) yang
bertujuan untuk menyediakan ruang agar bisa dilakukan operasi. Dua potongan
kecil 0,5-1 cm dilakukan dibawah batas iga kanan. 62
Insisi keempat dilakukan dibagian atas dekat dengan tulang dada yang
bertujuan untuk memasukkan instrument seperti gunting dan forsep yang digunakan
untuk mengangkat dan memotong jaringan. Klip surgikal ditempatkan pada duktus

23
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
dan arteri yang menuju kandung empedu untuk mencegah kebocoran ataupun
perdarahan. Kandung empedu kemudian diangkat dari dalam abdomen melalui
salah satu dari insisi tersebut. Bila batu yang dijumpai berukuran besar, maka insisi
dapat diperlebar. Pada beberapa keadaan, dapat juga dilakukan X-ray yang disebut
kolangiogram bila dicurigai terdapat batu di saluran empedu. Operasi umumnya
berlangsung 30 hingga 90 menit, tergantung dari ukuran kandung empedu, seberapa
berat inflamasinya, dan tingkat kesulitan operasi.62
2. Kolesistektomi Terbuka
Kolesistektomi terbuka sudah jarang dilakukan, biasanya dilakukan sebagai
konversi dari kolesistektomi laparoskopi .59

Tabel 2.2. Indikasi Kolesistektomi Terbuka59


5959Kolesistektomi96390989090.9090(((Terbu
Indikasi Kolesistektomi Terbuka
ka
 Keadaan jantung dan paru yang buruk
 Dicurigai adanya kanker kandung empedu
 Sirosis dan hipertensi portal
 Kehamilan semester ketiga
 Digabung dengan prosedur lain

Berbeda dengan kolesistektomi laparoskopi, kolesistektomi terbuka


dilakukan dengan insisi yang besar sekitar 6-8 cm pada bagian abdomen kanan atas
menembus lemak dan otot hingga ke kandung empedu. Duktus lainnya di klem,
kemudia kandung empedu di angkat .63

24
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2.2.9 Kerangka Teori

Faktor Risiko

Usia Jenis Obesitas Diabetes Rokok


Kelamin Melitus

↓ aktivitas
enzim
Hormone Gangguan
Neuropati ↓HDL
estrogen Metabolisme
kolesterol 7 α- Diabetic
kolesterol
hydroxylase
(Cyp7a1)
↓sekresi
hormone
melatonin

↓ Sekresi ↑ Sekresi
empedu kolesterol

Peningkatan Dismotilitas
Supersaturasi

Kolelitiasis

Keterangan:
Variable yang diteliti

Variable yang tidak diteliti

25
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif retrospektif.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di pusat pelayanan rekam medis RSUP Dr. M.
Djamil Padang. Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2018 – Januari 2019.
3.3 Populasi Penelitian, Sampel Penelitian, Besar Sampel, Kriteria Sampel,
dan Teknik Penelitian.
3.3.1 Populasi penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh data rekam medis pasien kolelitiasis di
Bagian Bedah RSUP Dr M. Djamil Padang Periode 1 Januari 2019-31 Desember
2018.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah seluruh data rekam medik pasien kolelitiasis di
Bagian Bedah RSUP Dr.M. Djamil padang Periode 1 Januari 2018-31 Desember
2018 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
3.3.3 Besar Sampel Penelitian
Besar sampel minimal pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus
untuk penelitian deskrif kategorik, yaitu

𝑁𝑍𝛼 2 𝑃(1 − 𝑃)
n=
(𝑁 − 1)𝑑2 + 𝑍𝛼 2 𝑃(1 − 𝑃)

n = Jumlah sampel minimal yang dibutuhkan

N =Populasi Penelitian= 107 kasus dengan Kolelitiasis di RSUP Dr.M. Djamil periode
1 Januari 2018-31 Desember 2018.

Zα2 =Deviat baku alfa ditetapkan (1.96 bila α=5%)

P = Prevalensi penyakit 7,5%

d =Tingkat ketepatan relative 5%

26
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Sehingga :
107𝑥1,962 𝑥0,075𝑥(1−0,075)
𝑛 = (107−1)𝑥0,052
+1,962 𝑥0,075(1−0,075)

𝑛 = 53.7 = 54

Jadi, jumlah sampel minimal dari penelitian ini adalah 54 sampel (individu)

3.3.4 Kriteria Sampel Penelitian


1. Kriteria Inklusi
Data rekam medik pasien kolelitiasis yang didiagnosis utama menderita
kolelitiasis di RSUP Dr M Djamil Padang tahun 1 Januari 2018-31 Desember 2018.
2. Kriteria ekslusi
Pasien yang didiagnosis utama kolelitiasis pada tahun 1 Januari 2018-31
Desember 2018 dengan data rekam medik yang tidak lengkap, setelah dikonfirmasi
dengan menghubungi pasien maupun keluarga dengan telfon.
3.3.5 Teknik Pengambilan Sampel
Sampel dalam penelitian ini diambil dari data rekam medik dengan
menggunakan total sampling. Seluruh data rekam medik pasien kolelitiasis
di Bagian Bedah RSUP DR. M. Djamil Padang Periode 1 Januari 2018-31
Desember 2018, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan
ke dalam subjek penelitian.
3.4 Defenisi Operasional
1. Usia
Defenisi : Rentang usia saat subjek dilahirkan sampai pada saat subjek
masuk rumah sakit dengan keluhan kolelitiasis, yang tercatat
dalam rekam medik pasien.
Cara ukur : Observasi rekam medis
Alat ukur : Rekam medis
Hasil ukur :
1.<50 tahun
2.≥50 tahun
Skala ukur : Ordinal
2. Jenis Kelamin

27
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Defenisi : Identitas seksual pasien seperti tertulis dalam rekam medic.
Cara ukur : Observasi rekam medis
Alat ukur : Rekam medis
Hasil ukur :
1.Laki-laki.
2.Perempuan.
Skala ukur : Nominal
3. Obesitas
Defenisi : Hasil pengukuran dari berat badan (Kg) dibagi tinggi badan
dalam (m2) yang tertulis dalam rekam medik pasien.
Cara ukur : Observasi rekam medis
Alat ukur : Rekam medis.
Hasil ukur :
1.Obesitas : BMI ≥ 27 (Kg/M2).
2. Overweight : BMI ≥ 25- < 27 (Kg/M2).
3.Normal : BMI ≥18,5-24,9 (Kg/M2).
Skala ukur : Ordinal.
4. Diabetes Melitus
Defenisi : Penyakit yang di diagnosis Diabetes mellitus di rekam
medik pasien.
Cara ukur : Observasi rekam medis
Alat ukur : Rekam medis.
Hasil ukur :
DM : Glukosa plasma puasa > 126 mg/dL atau glukosa plasma
sewaktu ≥ 200 mg/dL.
Tidak DM : Glukosa plasma puasa 70-126 mg/dL atau glukosa plasma
sewaktu < 200 mg/dL.
Skala ukur : Ordinal
5. Konsumsi rokok
Defenisi : Menghisap atau menghirup asap rokok dengan
menggunakan pipa atau rokok setiap hari/hamper setiap hari

28
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
selama minimal 6 bulan selama hidupnya dan masih
merokok saat penelitian dilakukan.
Cara ukur : Observasi rekam medis.
Alat ukur : Rekam medis.
Hasil Ukur :
1.Perokok : Mengkonsumsi rokok setiap hari selama minimal 6 bulan
selama hidupnya dan masih merokok saat penelitian dilakukan.
2.Bukan perokok: Tidak mengkonsumsi rokok setiap hari selama minimal
6 bulan selama hidupnya dan masih merokok saat penelitian dilakukan.
Skala ukur : Nominal

29
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
3.5 Prosedur Pengambilan Data
Data dikumpulkan dalam bentuk data sekunder yaitu data diperoleh melalui
rekam medis penderita kolelitiasis di RSUP Dr. M. Djamil. Pemilihan subjek
berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi. Teknik pengumpulan data dan pengolahan
data dirangkum seperti digambarkan pada bagan sebagai berikut:

Data rekam medis


penderita dengan
Kolelitiasis di RSUP
Dr. M. Djamil padang
periode 1 Januari
2018-31 Desember
2018 dikumpulkan.

Pemilihan subjek
berdasarkan kriteria
inklusi dan ekslusi
yang sudah
ditentukan

Sampel Penelitian

Penyajian Data

Pembahasan

30
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
3.6. Pengolahan dan Analisis Data
3.6.1 Pengolahan Data
Langkah – langkah pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Editing merupakan langkah untuk meneliti kelengkapan data yang diperoleh
melalui observasi data rekam medis. Editing meliputi kelengkapan data,
kesalahan data, konsistensi dan relevansi dari setiap data yang diperoleh.
Peneliti mengumpulkan dan memeriksa kembali kelengkapan data dari hasil
observasi. Hasil editing didapatkan semua data lengkap dan benar.
2. Coding, yaitu pemberian kode pada setiap data variable agar memudahkan
pengelolaan selanjutnya.
3. Entry data, yaitu memasukan data ke dalam master table.
4. Cleaning, yaitu memeriksa kembali data yang telah di masukkan untuk
memastikan bahwa data tersebut bersih dari kesalahan.
3.6.2 Analisis Data
Analisis univariat ini dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan
persentase yaitu meliputi Usia, jenis kelamin, Diabetes mellitus, Obesitas,
konsumsi rokok di RSUP DR. M. Djamil Padang periode 1 Januari 2018 – 31
Desember 2018 yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

31
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB 4
HASIL PENELITIAN

4.1 Data Penelitian


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bulan Januari 2019 di bagian
rekam medik RSUP Dr. M. Djamil Padang, dengan mengambil data rekam medik
pasien yang di diagnosis kolelitiasis di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 1
Januari 2018- 31 Desember 2018 didapatkan 107 sampel yang didiagnosis utama
kolelitiasis, namun sampel yang masuk kriteria inklusi sebanyak 90 sampel.
Sebanyak 17 sampel di eklusikan karena data pasien tidak ada, data pasien tidak
lengkap, dan tidak bisa dihubungi melalui telfon.
4.2 Analisis Univariat
4.2.1 Faktor Risiko Umur Pada Kolelitiasis
Distribusi frekuensi gambaran faktor risiko umur pada kolelitiasis dapat
dilihat pada table 4.1
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Umur
Usia f %
≥50 49 54,44
<50 41 45,56
Total 90 100,00

Berdasarkan table 4.1 diperoleh data bahwa kelompok umur yang paling
tinggi mengalami kolelitiasis adalah pada kelompok umur ≥50 tahun yaitu sebesar
54,44%.

32
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
4.2.2 Faktor Risiko Jenis Kelamin Pada Kolelitiasis
Distribusi frekuensi gambaran faktor risiko jenis kelamin pada kolelitiasis
dapat dilihan pada table 4.2

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis Kelamin f %
Laki-Laki 37 41,11
Perempuan 53 58,89
Total 90 100,00

Berdasarkan table 4.2 diperoleh data bahwa responden terbanyak yang


mengalami kolelitiasis pada penelitian ini adalah responden perempuan yaitu
sebesar 58,89%.
4.2.3 Faktor Risiko Indeks Masa Tubuh Pada Kolelitiasis
Distribusi frekuensi gambaran faktor risiko obesitas pada kolelitiasis dapat
dilihat pada table 4.3
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Penderita Kolelitiasis Berdasarkan nilai IMT
Status IMT IMT f %
Obesitas ≥27 (Kg/M2) 29 32,22

Overweight ≥25-<27(Kg/M2) 18 20,00

Normal ≥18,5-24,9 (Kg/M2) 43 47,78


Total 90 100,00

Berdasarkan table 4.3 diperoleh data bahwa responden terbanyak yang


mengalami kolelitiasis berdasarkan nilai IMT adalah yang mempunyai IMT normal
yaitu sebesar 47,78%.

33
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
4.2.4 Faktor Risiko Diabetes Melitus Pada Kolelitiasis
Distribusi frekuensi gambaran faktor risiko diabetes melitus pada
kolelitiasis dapat dilihat pada table 4.4
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Status Gula Darah
Diabetes Melitus f %
Ya 33 36,67

Tidak 57 63,33

Total 90 100,00

Berdasarkan table 4.4 diperoleh data bahwa frekuensi terbanyak


mengalami kolelitiasis adalah yang mempunyai nilai gula darah atau tidak
mengidap diabetes melitus yaitu sebesar 63,33%.

4.2.5 Faktor Risiko Konsumsi Rokok Pada Kolelitiasis


Distribusi frekuensi gambaran faktor risiko konsumsi rokok pada
kolelitisis dapat dilihat pada table 4.5
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Status Merokok
Konsumsi Rokok f %
Perokok 29 32,22

Bukan Rokok 61 67,78


Total 90 100,00

Berdasarkan tabel 4.5 diperoleh data bahwa kasus kolelitiasis terbanyak


ditemukan pada seseorang dengan kebiasaan bukan perokok yaitu sebesar
67,78%.

34
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB 5
PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Distribusi Faktor Risiko Umur Pada Kolelitiasis


Distribusi sampel dalam penelitian ini terdiri dari 2 kelompok usia, yaitu <
50 tahun dan ≥ 50 tahun. Berdasarkan data dari 90 responden di dapatkan usia yang
paling tinggi mengalami kolelitiasis adalah pada kelompok usia ≥ 50 tahun ,yaitu
sebesar 54,44%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Zhu (2014)
di Uighur dan Han Cina menunjukan bahwa risiko terjadinya batu empedu
meningkat pada usia ≥ 50 tahun di bandingkan usia < 50 tahun.64 Penelitian yang
dilakukan oleh Ginting (2011) dengan beberapa kelompok usia didapatkan
persentase tertinggi pada kelompok usia ≥ 50 tahun (43,9%) dan terendah pada
yaitu kelompok usia 20-29 tahun (1,21%).65
Pada penelitian ini mengenai gambaran faktor risiko usia dengan kejadian
kolelitiasis di RSUP Dr M. Djamil Padang didapatkan bahwa kelompok usia ≥ 50
tahun merupakan kelompok usia terbanyak terjadinya batu empedu. Usia
merupakan salah satu faktor risiko penting dalam terjadinya batu empedu.
Berdasarkan penelitian usia > 40 tahun memiliki risiko 4-10 x untuk terbentuknya
batu empedu.28 Hal ini dikarenakan peningkatan usia menyebabkan peningkatan
saturasi kolesterol akibat peningkatan sekresi kolesterol dari hepar. Seiring
peningkatan usia juga terjadi penurunan sintesis dari asam empedu akibat
penurunan aktivitas enzim kolesterol 7 α-hydroxylase (Cyp7a1) yang berfungsi
untuk mengkonversi kolesterol menjadi asam empedu, yang menyebabkan
terjadinya peningkatan saturasi kolesterol. Pada usia tua terjadi penurunan motilitas
pengosongan empedu yang hal ini akan mengakibatkan meningkatnya risiko untuk
terbentuknya batu empedu.31
5.2 Gambaran Distribusi Faktor Risiko Jenis Kelamin Pada Kolelitiasis
Distribusi berdasarkan jenis kelamin yang dilakukan pada 90 sampel yang
mengalami kolelitiasis didapatkan berjenis kelamin perempuan paling banyak
mengalami batu empedu di bandingkan laki-laki yaitu 58,89% dan berjenis kelamin
laki-laki yaitu 41,11%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

35
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Andreyne (2016) terhadap 113 sampel didapatkan jenis kelamin perempuan lebih
banyak mengalami kolelitiasis yaitu 55% dibandingkan dengan laki laki yaitu
45%.66 Penelitian yang dilakukan oleh Taher (2013) terhadap 75 sample didapatkan
jenis kelamin perempuan lebih banyak mengalami kolelitiasis yaitu 88% sedangkan
laki laki yaitu 22%.67 Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dani
(2013) di Rumah Sakit Imanuel Bandung terhadap 192 sampel didapatkan jenis
kelamin perempuan lebih banyak mengalami kolelitiasis di bandingkan dengan
laki-laki yaitu sebesar 67,71% sedangkan laki-laki yaitu sebesar 32,29%.68
Pada penelitian ini mengenai gambaran faktor risiko jenis kelamin dengan
kejadian kolelitiasis di RSUP Dr M Djamil Padang didapatkan bahwa jenis kelamin
perempuan lebih banyak mengalami batu empedu dibandingkan dengan laki-laki.
Hasil penelitian yang didapatkan sesuai penelitian sebelumnya menyatakan bahwa
perempuan selama waktu subur dua kali lebih berisiko mengalami batu empedu
dibandingkan laki-laki di karenakan pengaruh hormon yang dimiliki oleh
perempuan. Hormon estrogen merangsang reseptor lipoprotein hepar,
meningkatkan penyerapan kolesterol makanan, dan meningkatkan sekresi
kolesterol empedu.31 Estrogen menstimulasi enzim HMG-Coa reduktase yang
menyebabkan peningkatan sintesis dari kolesterol yang berdampak pada
peningkatan saturasi kolesterol yang memicu terbentuknya batu empedu,
sedangkan hormon progesterone menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu tau hipomotilitas yang menyebabkan stasis empedu.71
Penggunaan hormone estrogen eksogen (pada kontrasepsi oral dan Hormon
Replacement Theraphy/ HRT) dan juga pada kehamilan meningkatkan risiko
terbentuknya batu empedu, dikarenakan pada saat kehamilan terjadi peningkatan
hormone estrogen dan progesterone yang signifikan dan jumlah kehamilan (paritas)
juga berhubungan dengan risiko terbentuknya batu empedu.71 Estrogen dan
kontrasepsi oral dapat menurunkan sekresi garam empedu yang akan menyebabkan
peningkatan saturasi kolesterol yang memicu terbentuknya batu pada perempuan.
Hormon pada perempuan merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya batu
empedu pada wanita, dan penggunaan kontrasepsi steroid yang mengandung
estrogen dan progesterone dapat mempengaruhi pembentukan batu empedu pada
perempuan.66

36
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
5.3 Gambaran Distribusi Faktor Risiko Obesitas Pada Kolelitiasis
Distribusi berdasarkan Nilai indeks massa tubuh (IMT) yang dilakukan pada
90 sampel yang mengalami kolelitiasis dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan
nilai indeks massa tubuh (IMT) yaitu: normal, overweight dan obesitas.
Berdasarkan penelitian didapatkan frekuensi tertinggi pada kasus kolelitiasis
dengan status berat badan normal 47,78% disusul dengan obesitas 32,22% dan berat
badan berlebih 20%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Andreyne
(2016) terhadap 113 sampel didapatkan frekuensi tertinggi kasus kolelitiasis terjadi
pada status berat badan normal 58% lalu diikuti dengan berat badan berlebih 27%
dan obesitas 11%.66 Penelitian yang dilakukan Saha (2015) terhadap 61 sampel
didapatkan kasus kolelitiasis terbanyak terdapat pada pasien dengan status berat
badan normal 63,93% diikuti dengan berat badan berlebih 27,87% dan obesitas
8,2%.72 Berbeda dari penelitian yang dilakukan Ginting (2011) di Rumah Sakit
Colombia Asia Medan didapatkan kasus kolelitiasis terbanyak pada pasien dengan
status berat badan berlebih 69,51% diikuti dengan status berat badan normal
18,29%.65 Penelitian yang dilakukan Dani (2013) terhadap 192 sampel didapatkan
kasus kolelitiasis terbanyak terjadi pada pasien dengan status berat badan obesitas
37,5% diikuti dengan status berat badan berlebih 31,77%.68
Pada penelitian ini mengenai gambaran faktor risiko obesitas dengan
kejadian kolelitiasis di RSUP Dr M Djamil Padang didapatkan bahwa frekuensi
terbanyak terjadinya kolelitiasis terjadi pada seseorang dengan status berat badan
normal. Bertolak belakang dari tinjauan pustaka sebelumnya yang mengatakan,
obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang signifikan terhadap terbentuknya
batu empedu, dikarenakan meningkatnya prevalensi batu empedu pada seseorang
yang mengidap obesitas.34
Perbedaan hasil penelitian ini dengan tinjauan pustaka sebelumnya, bisa
terjadi dikarenakan perbedaan pathogenesis terbentuknya batu empedu, terdapat
perbedaan sifat batu, gaya hidup masyarakat dan juga faktor lingkungan dari setiap
populasi di seluruh dunia. Di eropa sekitar 70% penderita batu empedu adalah jenis
batu kolesterol berbeda dengan asia yang memiliki prevalensi tinggi terbentuknya
batu jenis batu pigment. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan
bahwa masyarakat Asia Timur memiliki prevalensi yang tinggi mengalami batu

37
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
empedu jenis batu pigment coklat, yang terkait dengan stasis batu empedu dan
infeksi pada bilier.46 Dimana obesitas berperan penting dalam pembentukan batu
kolesterol yang jarang terjadi pada masyarakat Asia dan umum pada masyarakat
Eropa.72
Terbentuknya batu pigmen coklat berhubungan dengan infeksi kronis
bakteri pada saluran empedu oleh bakteri Escherichia Coli , Bacteroides spp,
Clostridum spp, parasite Opisthorchis veverrini, Clonorchis sinensis, dan Ascaris
Lunbricoides. Bakteri dalam saluran empedu menghasilkan b-glukoronidase,
foffolipase-A, dan asam basa hydrolase yang menyebabkan peningkatan jumlah
bilirubin tak terkonjugasi, palmitat dan asam stearate dimana bilirubin tak
terkonjugasi bisa berikatan dengan kalsium yang bisa membentuk batu. Parasit di
saluran empedu dapat menstimulasi formasi batu oleh kalsifikasi mantel telur
parasit, yang dapat berfungsi sebagai nidus dan meningkatkan pengendapan
kalsium bilirubinat .46
Selain perbedaan sifat batu, gaya hidup masyarakat dan faktor lingkungan
terbentuknya batu empedu pada pasien yang bukan obesitas atau memiliki IMT
normal, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap pasien non obesitas
yang mengalamin kolelitiasis di jerman diduga disebabkan oleh penurunan protein
traspor asam empedu apical sodium dependent bile acid transporter (ASBT) dan
ileal lipid binding protein (ILBP) yang berperan dalam reabsorbsi asam empedu di
ileum terminal untuk menjaga homeostasis empedu dan jumlah cairan empedu.
Mekanisme utama pengambilan asam empedu dari ileum terminal diperantarai oleh
transport aktif oleh ASBT yang terletak di jonjot usus.78
Lalu dilanjutkan didalam intraseluler melalu transport ILBP yang membawa
asam empedu ke membrane basolateral. OSTa dan OSTb bertanggung jawab
menyekresikan asam empedu ke system porta. Selama reabsobsi asam empedu
memodulasi hati untuk sintesis enzim kolesterol 7a hidroksilase secara de novo.
Setelah mengikat asam empedu, Faktor transkripsi FXR menginduksi ekspresi
ileum fibroblast growth factor-19 (FGF-19), dimana akan di sekresikan kedalam
sirkulasi portal dan bertindak sebagai sinyal pada hati untuk menekan ekpresi enzim
CYP7A1 dan sintesis asam empedu.78

38
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
5.4 Gambaran Distribusi Faktor Risiko Diabetes Melitus Pada Kolelitiasis
Distribusi berdasarkan nilai gula darah yang dilakukan pada 90 sampel yang
mengalami kolelitiasis didapatkan lebih dari sepertiga sampel menderita diabetes
melitus 36,67% dan kurang dari duapertiga memiliki gula darah normal 63,33%.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hazari (2016) didapatkan
frekuensi penderita kolelitiasis terbanyak terdapat pada pasien yang bukan
penderita diabetes melitus 64,5% sedangkan penderita diabetes melitus sebesar
35,5%.77 Penelitian yang dilakukan Ali (2018) terhadap 204 sampel pasien dengan
kolelitiasis didapatkan sampel yang mengidap diabetes melitus sebanyak 36,27%70
Pada penelitian ini mengenai gambaran faktor risiko diabetes melitus
dengan kejadian kolelitiasis di RSUP Dr M Djamil Padang didapatkan bahwa
frekuensi terbanyak kejadian kolelitiasis terjadi pada orang dengan nilai gula darah
normal dibandingkan dengan seseorang yang mengidap diabetes melitus.
Berbeda dengan tinjauan pustaka sebelumnya yang mengatakan diabetes
melitus berkaitan erat dengan terbentuknya batu empedu. Hal ini kemungkinan
terjadi akibat hyperinsulinemia Berdasarkan penelitian yang dilakukan Laakso
(1990) terhadap pasien diabetes melitus didapatkan terjadi peningkatan insulin
lebih tinggi pada pasien diabetes dengan kolelitiasis di bandingkan pasien diabetes
tanpa kolelitiasis.75
Pada pasien non diabetes peningkatan insulin plasma, kadar trigliserida
tinggi, penurunan kadar kolesterol total dan HDL diduga mempengaruhi untuk
terbentuknya batu empedu. Peningkatan insulin dapat mengaktifkan low density
protein (LDL) reseptor yang akan meningkatkan kadar LDL dari darah ke hati.
Peningkatan kadar LDL di hati ini akan menyebabkan kadar LDL serum turun
sehngga akan meningkatkan sekresi kolestero dari hati ke kantung empedu yang
akan meningkatkan saturasi di kandung empedu.75
Patogenesis terbentuknya batu empedu merupakan multifactorial dimana
terdapat interaksi antara genetic dan juga faktor lingkungan yang nanti akan
menimbulkan supersaturasi kolesterol, hipomotilitas kandung empedu, dan
nukleasi/presipitasi yang akan memicu terbentuknya batu empedu.76

39
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Kadar insulin berkaitan erat dengan saturasi kolesterol empedu. Insulin
berdasarkan penelitian sebelumnya akan meningkatkan aktivitas
hidroxymethylglutaryl coenzim A reductase yang akan meningkatkan sintesis dari
kolesterol. Risiko kolelitiasis yang disebabkan oleh resistensi insulin tidak
sepenuhnya dijelaskan. Akan tetapi diakrenakan kolelitiasis adalah kelainan
multifactorial maka kejadian ini mungkin di perkuat oleh faktor lain yang
mneyertainya.76
5.5 Gambaran Distribusi Faktor Risiko Merokok Pada Kolelitiasis
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Stampfer (1992)
menemukan bahwa perokok adalah faktor risiko untuk terbentuknya batu empedu.73
Mengkonsumsi rokok diduga menurunkan kadar HDL yang berakibat pada
peningkatan saturasi kolesterol kandung empedu dan akan menyebabkan
terbentuknya batu.28
Sebaliknya, berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr M. Djamil
Padang diteliti pada status merokok yang dilakukan pada 90 sampel yang
mengalami kolelitiasis gambaran faktor risiko status merokok dengan kejadian
kolelitiasis bahwa frekuensi terbanyak kejadian kolelitiasis terjadi pada orang yang
berstatus tidak merokok sebanyak 67,78% dibandingkan dengan seseorang yang
memiliki status merokok sebanyak 32,22%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Torben (1989) didapatkan frekuensi terbanyak penderita kolelitiasis
merupakan bukan perokok 51,75% sedangkan perokok 48,25%.75 Penelitian yang
dilakukan oleh Katsika (2007), Shaffer (2006), Walcher (2010) mengatakan bahwa
tidak ditemukan hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian batu
empedu.11 Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sukij (2009) yang
mengatakan pada pasien kolelitiasis jumlah orang tidak merokok lebih banyak di
bandingkan jumlah perokok.74
Pada penelitian ini mengenai gambaran faktor risiko merokok dengan
kejadian kolelitiasis di RSUP Dr M Djamil Padang didapatkan bahwa frekuensi
terbanyak kejadian kolelitiasis terjadi pada orang yang bukan perokok. Hal ini
diakibatkan karena sebagien besar pasien yang menderita kolelitiasis dalam
penelitian ini adalah perempuan dan berumur di atas 50 tahun, dan khususnya di
sumatera barat sesuai dengan kebiasaan dan budaya masyarakat perempuan

40
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
memiliki kebiasaan tidak merokok dan lebih dari setengah sampel dalam penelitian
ini adalah perempuan, sehingga di dapatkan frekuensi tidak perokok lebih banyak
dibandingkan dengan perokok. Oleh karena itu, hasil dari penelitian pengaruh
rokok terhadap terbentuknya kolelitiasis belum bisa dijadikan pedoman
dikarenakan perbedaan jenis kelamin dan juga kebiasaan masyarakat pada sampel
penelitian ini. Sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk meneliti apakah
terdapat hubungan dan pengaruh rokok terhadap terbentuknya batu empedu di
RSUP Dr.M.Djamil Padang. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
mengatakan bahwa merokok berhubungan dengan batu empedu pada laki-laki,
tetapi tidak pada perempuan.79 Hal ini disebabkan karena pengaruh hormon
estrogen dan progesteron pada wanita yang menyebabkan peningkatan kadar HDL
pada wanita. Berdasarkan penelitian sebelumnya dikatakan konsumsi estrogen oral
pada wanita dapat menghasilkan partikel HDL yang akan menurunkan saturasi
kolesterol kandung empedu sehingga mengurangi risiko untuk terbentuknya batu
empedu.80
5.6 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini hanya menggunakan data sekunder dari rekam medik pasien
kolelitiasis di RSUP Dr M.Djamil Padang, sehingga tidak semua faktor risiko
ditemukan dalam penelitian ini, hal ini menyebabkan jumlah data inklusi menjadi
lebih sedikit.

41
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB 6
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil Padang
periode 1 januari 2018- 31 Desember 2018 maka dapat di ambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Kelompok umur tertinggi yang mengalami kolelitiasis adalah kelompok
umur ≥ 50 .
2. Kejadian kolelitiasis berdasarkan jenis kelamin mempunyai insiden
terbanyak pada perempuan .
3. Insiden kejadian kolelitiasis lebih banyak terjadi pada orang yang memiliki
indeks massa tubuh (IMT) normal.
4. Kejadian kolelitiasis berdasarkan nilai gula darah lebih banyak terjadi pada
seseorang dengan nilai gula darah normal .
5. Insiden kejadian kolelitiasis lebih banyak pada seseorang yang bukan
perokok .
6.2 Saran
Dalam penelitian ini belum terdapat pembahasan tentang beberapa faktor
risiko lain yang mempengaruhi terjadinya kolelitiasis, seperti profil lipid, aktivitas
fisiki dan faktor risiko lain. Disarankan untuk dilakukan penelitian selanjutnya
dengan metode kohor untuk melihat seberapa besar hubungan antara penyakit
dengan tingkat kejadian kolelitiasis.

42
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR PUSTAKA

1. Tanaja J, Meer JM. Cholelithiasis. InStatPearls [Internet] 2018 Oct 27.


StatPearls Publishing.

2. Wibowo S, Kanadihardja W, Sjamsuhidajat R, Syukur A, Editors. Buku


Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat De Jong. Saluran empedu dan hati. 3th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.

3. Stinton LM, Shaffer EA. Epidemiology of gallbladder disease:


Cholelithiasis and cancer. Gut Liver. 2012;6(2):172–87.

4. Henao-Morán S, Denova-Gutiérrez E, Morán S, Duque X, Gallegos-


Carrillo K, Macías N, Salmerón J. Recreational physical activity is inversely
associated with asymptomatic gallstones in adult Mexican women. Ann
Hepatol. 2014;13(4):810–18.

5. Beckingham IJ. Gallstone disease. Bmj. 2001;322:91–4.

6. Shaffer EA. Epidemiology and Risk Factors for Gallstone Disease: has the
paradigm changed in the 21st century? Curr Gastroenterol Rep.
2005;7:132–40.

7. Chang YR, Jang JY, Kwon W, Park JW, Kang MJ, Ryu JK, Kim YT, Yun
YB, Kim SW. Changes in demographic features of gallstone disease: 30
years of surgically treated patients. Gut and liver. 2013 Nov;7(6):719.

8. Lesmana, L, Editors. Penyakit Batu Empedu. 4th ed. Jakarta: Penerbit


Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia; 2006.

9. Pham TH, Hunter JG. Schwartz’s Principles of Surgery. Gallbladder and the
Extrahepatic Biliary Sistem. 10th ed.United Stated: Mc Graw Hill
education; 2015.

10. Wibowo S, Semedi K, Gunawan K, Sudjatmiko, Riwanto I, Sjamsuhidajat


R, dkk, Editors. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat De Jong. Saluran
empedu dan hati. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2017.

11. Pak M, Lindseth G. Risk factors for cholelithiasis. Gastroenterology


Nursing. 2016 Jul 1;39(4):297-309.

12. Ansari-Moghaddam A, Khorram A, Miri-Bonjar M, Mohammadi M, Ansari


H. The prevalence and risk factors of gallstone among adults in South-East
of Iran: A population-based study. Global journal of health science. 2016
Apr;8(4):60.

13. Maurer KR, Everhart JE, Ezzati TM, Johannes RS, Knowler WC, Larson
DL, Sanders R, Shawker TH, Roth HP. Prevalence of gallstone disease in

43
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Hispanic populations in the United States. Gastroenterology. 1989 Feb
1;96(2):487-92.

14. Shaffer EA. Gallstone disease: epidemiology of gallbladder stone disease.


Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2006;20(6):981–96.

15. Heshka S, Heymsfield S. Obesity and gallstones. International Textbook of


Obesity. Chichester: Wiley. 2001 Apr 1:399-409.

16. Radmard AR, Merat S, Kooraki S, Ashrafi M, Keshtkar A, Sharafkhah M,


Jafari E, Malekzadeh R, Poustchi H. Gallstone disease and obesity: a
population-based study on abdominal fat distribution and gender
differences. Annals of hepatology. 2015 Sep 15;14(5):702-9.

17. Stinton LM, Shaffer EA. Epidemiology of gallbladder disease:


cholelithiasis and cancer. Gut and liver. 2012 Apr;6(2):172.

18. Hung SC, Liao KF, Lai SW, Li CI, Chen WC. Risk factors associated with
symptomatic cholelithiasis in Taiwan: a population-based study. BMC
gastroenterology. 2011 Dec;11(1):111.

19. Kumar K, Chahal MS, Joshi HS, Singh K, Agarwal R. Prevalence of


different Types of Gallstone in the Patients with Cholelithiasis at
Rohilkhand Medical College and Hospital, Bareilly, UP, India. International
Journal of Contemporary Surgery. 2015;3(1):1-4.

20. F. Paulsen ,J. Waschke. Atlas Anatomi Manusia “ Sobotta ”(2). 23th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.

21. Debas H , T.Biliary Tract In : Pathophysiology andManagement.Springer –


Verlaag 2004 ; Chapter 7 :198 – 224

22. Doherty GM. Current Diagnosis dan treatment surgery . Biliary Tract. 13th
ed.United Stated: Mc Graw Hill Companies; 2010.

23. Welling,T.H, Simeone DM. Tadataka Yamada, Ed. Textbook of


Gastroenterology. Gallbladder and Biliary Tract: Anatomy and Structural
Anomalies. 5th ed.United Stated: Wiley-Blackwell; 2009.

24. Albert J. Bredenoord, Andre S, Jan T. Functional Anatomy and Pysiology


.A guide to Gastrointestinal Motility Disorder, Springer; 2016:1-13.

25. Price S, Lorraine M. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Volume 1. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta; 2001.

26. Brunicardi, CF. Andersen, D.K, Billiar RT, Dunn LD . Schwartz’s


Principles of Surgery, 10th ed. United Stated: Mc Graw Hill education;
2015.

44
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
27. Gustawan IW K. Nomor A. (2007). Kolelitiasis pada anak dalam Maj
kedokt Indon, volum:57, Nomor: 10, Oktober 2007.
http://www.indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/downlo
ad/543/661 diakses pada tanggal 18 oktober 2018

28. Pak M, Lindseth G. Risk factors for cholelithiasis. Gastroenterol Nurs. 2016
;39(4):297–309.

29. Shaffer EA. Epidemiology of gallbladder stone disease. Best Pract Res Clin
Gastroenterol. 2006;20:981-996.

30. Chen CY, Lu CL, Huang YS. Age is one of the risk factors in developing
gallstone disease in Taiwan. Age Aging. 1998;27:437-441.

31. Reshetnyak VI. Concept of the pathogenesis and treatment of cholelithiasis.


World J Hepatol. 2012;4(2):18–34.

32. Völzke H, Baumeister SE, Alte D, Hoffmann W, Schwahn C, Simon P, John


U, Lerch MM. Independent risk factors for gallstone formation in a region
with high cholelithiasis prevalence. Digestion. 2005;71(2):97-105.

33. Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian


Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI,
2013.

34. Heshka S, Heymsfield S. Obesity and gallstones. Roosevelt Hospital


Center, New York, USA.2001.

35. Getachew A. Epidemiology of gallstone disease in Gondar University


Hospital, as seen in the department of radiology. Ethiopian Journal of Health
Development. 2008;22(2).

36. Radmard AR, Merat S, Kooraki S, Ashrafi M, Keshtkar A, Sharafkhah M,


Jafari E, Malekzadeh R, Poustchi H. Gallstone disease and obesity: a
population-based study on abdominal fat distribution and gender
differences. Annals of hepatology. 2015 Sep 15;14(5):702-9.

37. Purnomo HD. Gallstone and Diabetes mellitus: The Indonesia Journal of
Gastroenterology, hepatologyy and Digestive endoscopi. Diponegoro
University 2008.

38. Rai GS, Singh BV, Rai T, Vyas MM. Gall bladder dysfunction in chronic
diabetics (type 2): an ultrasonography based prospective study. Int J Res
Med Sci Int J Res Med Sci. 2016;44(2):390-397.

39. Ali S, Ahamad ST, Talpur AS, Parajuli S, Farooq J. Prevalence of Non-
insulin-dependent Diabetes Mellitus Among Patients with Cholelithiasis: A
Single-centered, Cross-sectional Study. Cureus. 2018;10(4).

45
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
40. Verges B. Pathophysiology of diabetic dyslipidaemia: where are we?
Diabetologia. 2015;58(5):886-899.

41. Smelt AHM. Triglycerides and gallstone formation. Clin Chim Acta.
2010;411(21-22):1625-1631.

42. Njeze GE. Gallstones. Niger J Surg : Official Publication of the Nigerian
Surgical Research Society. 2013; 19(2):49-55.

43. Maclure KM, Hayes KC, Colditz GA, et al.Weight, diet, and the risk of
symptomatic gallstones in middle-aged women. N Engl J Med
1989;321(9):563-9.

44. Acalovschi M. Cholesterol gallstones: From epidemiology to


prevention. Postgrad Med J. 2001;77:221–9.

45. Kono S, Todoroki I. Original Paper : Biliary Disorders Cigarette Smoking ,


Alcohol Use , and Gallstone Risk in Japanese Men. 2002; 8582:177-183.

46. Van Erpecum KJ. Pathogenesis of cholesterol and pigment gallstones: An


update. Clin Res Hepatol Gastroenterol. 2011;35(4):281-287.

47. Fitzgerald JE, Fitzgerald LA, Maxwell-Armstrong CA, Brooks AJ.


Recurrent gallstone ileus: Time to change our surgery? J Dig
Dis. 2009;10:149–51.

48. Johnston DE, Kaplan MM. Pathogenesis and treatment of gallstones. N


Engl J Med. 1993;328:412–21.

49. Fitzgerald JE, Fitzgerald LA, Maxwell-Armstrong CA, Brooks AJ.


Recurrent gallstone ileus: Time to change our surgery? J Dig
Dis. 2009;10:149–51.

50. Johnson LW, Sehon JK, Lee WC, Zibari GB, McDonald JC. Mirizzi's
syndrome: Experience from a multi-institutional review. Am
Surg. 2001;67:11–4.

51. Trotman BW, Petrella EJ, Soloway RD, Sanchez HM, Morris TA, 3rd,
Miller WT. Evaluation of radiographic lucency or opaqueness of gallstones
as a means of identifying cholesterol or pigment stones. Correlation of
lucency or opaqueness with calcium and
mineral. Gastroenterology. 1975;68:1563–6.

52. Sanders G, Kingsnorth AN. Gallstones. BMJ. 2007;335:295–9.

53. Hayes N, Saha S. Recurrent gallstone ileus. Clin Med Res. 2012;10:236–9.

54. Wibowo S, Kanadihardja W, Sjamsuhidajat R, Syukur A, Editors. Buku


Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat De Jong. Saluran empedu dan hati. 3th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.

46
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
55. Doherty GM, Way LW. Liver and portal venous system. In : Doherty GM,
Way LW. Current surgical diagnosis and treatment, 11th edition. Singapore:
Mc Graw Hill. 2003:565-94.

56. Nurman A. Buku ajar ilmu penyakit hati. Batu empedu. 1th ed. Jakarta:
Jayabadi; 2007.

57. Kumar A, Deed JS, Bhasin B, Kumar A, Thomas S. Comparison of the


effect of diclofenac with hyoscine-N-butylbromide in the symptomatic
treatment of acute biliary colic. ANZ J Surg. 2004;74(7):573-576.

58. Vetrhus M, Søreide O, Solhaug JH, Nesvik I, Søndenaa K. Symptomatic,


non-complicated gallbladder stone disease. Operation or observation? A
randomized clinical study. Scand J Gastroenterol. 2002;37(7): 834-839.

59. Chari RS, Shah SA. Townsend Ed, Sabiston Textbook of Surgery. Biliary
System. 18th ed. USA: Saunders ; 2007.

60. Brunicardi FC. Swartz’s Principle of Surgery. Gallblader and the


Extrahepatic Biliary System. 9th ed. USA: McGraw-Hill; 2010.

61. Litwin DEM, Cahan MA. Laparoscopic Cholecystectomy. 2008. Available


from: www.surgical.theclinics.com -Diakses 8 oktober 2018.

62. Soonawala Z, 2012. About Cholecystetomy : Surgical Removal of the


Gallblader. Available from:
http://www.ouh.nhs.uk/patientguide/leaflets/files%5Ccholecystectomy.pdf
-Diakses 8 oktober 2018.

63. Turner PL, Malangoni M, 2009. Cholecystectomy: Surgical Removal of the


Gallbladder. Available from: http://www.facs.org/public_info/operatio
n/brochures/cholecystectomy.pdf -Diakses 8 oktober 2018.

64. Zhu L, Aili A, Zhang C, Saiding A, Abudureyimu K. Prevalence of and risk


factors for gallstones in Uighur and Han Chinese. World J Gastroenterol.
2014;20(40):14942-9.

65. Ginting S. A description characteristic risk factor of the cholelithiasis


disease in Colombia Asian Medan Hospital. JDA. 2011;38-44.

66. Tuuk, Andreyne LZ, Panelewen, Jimmy, Noersangsoko A. Djarot. Profil


kasus batu empedu di RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado periode Oktober
2015-Oktober 2016. e-CliniC.2016; 4(2).

67. Taher M. Descriptive study of chelelithiasis with chemical conatituents


analysis of gallstone from patients living in Baghdad, Iraq. IJMMS.
2013;5(2):19-23.

47
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
68. Dani, Susilo L. Karakteristik pasien kolelitiasis di rumah sakit Immanuel
Bandung periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2012. Repository
maranatha edu. 2013.

69. Sueta, Made AD, Warsinggih.Faktor Risiko Terjadinya Batu Empedu di


RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jurnal Bedah Nasional.
2014;1(1):20-6.

70. Ali S, Ahamad ST, Talpur AS, Parajuli S, Farooq J. Prevalence of Non-
insulin-dependent Diabetes Mellitus Among Patients with Cholelithiasis: A
Single-centered, Cross-sectional Study.Cureus.2018; 10(4).

71. Hendrik, Krisantus. Pola Distribusi Pasien Kolelitiasis di RSU Dr. Soedarso
Pontianak Periode Januari 2010 Periode Januari 2010-desember
2011. Jurnal Mahasiswa PSPD FK Universitas Tanjungpura, 1.1.

72. Saha M, Nahar K, Hosen MA, Khan MH, Saha SK, Shil BC, et al.
Prevalence and Risk Factors of Asymptomatic Gallstone Disease in North-
East Part of Bangladesh. Euroasian journal of hepato-
gastroenterology.2015;5(1):1.

73. Stampfer MJ, Maclure KM, Colditz GA, Manson JE, Willett WC. Risk of
symptomatic gallstones in women with severe obesity . American Journal
of Clinical Nutrition.1992; 55(3): 652 – 658 .

74. Panpimanmas, Sukij, Manmee, Charuwan. Risk factors for gallstone disease
in a Thai population. Journal of epidemiology. 2009; 19.3: 116-121.

75. Laakso M, Suhonen M, Julkunen R, Pyörälä K. Plasma insulin, serum lipids


and lipoproteins in gall stone disease in non-insulin dependent diabetic
subjects: a case control study. Gut.1990; 31(3): 344-347.

76. Chang Y, Sung E, Ryu S, Park YW, Jang YM, Park M. Insulin resistance
is associated with gallstones even in non-obese, non-diabetic Korean
men. Journal of Korean medical science.2008; 23(4): 644-650.

77. Hazari MAH, Taskeen S, Arifuddin MS. Observational study on the


prevalence of diabetes mellitus among ultrasonographically diagnosed
cholelithiasis patients. International Journal of Clinical and Experimental
Physiology.2016; 3(2): 77.

78. Renner O, Harsch S, Strohmeyer A, Schimmel S, Stange EF. Reduced ileal


expression of OSTα-OSTβ in non-obese gallstone disease. Journal of lipid
research.2008; 49(9): 2045-2054.

79. Jorgensen T. Gall stones in a Danish population. Relation to weight,


physical activity, smoking, coffee consumption, and diabetes mellitus. Gut.
1989; 30.4: 528-534.

48
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
80. Herrington, David M, Parks, John S. Estrogen and HDL. Arterioscler
Thromb Vasc Biol. 2004; 24: 164-167.

49
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian RSUP Dr M Djamil Padang

50
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Lampiran 2. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik

51
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Lampiran 3. Mater Tabel

Nama umur JK BB TB BMI Status BMI Status GD Status Merokok


D 71 L 70 165 25.71 overweight tidak DM perokok
USS 44 P 65 159 25.71 overweight tidak DM bukan perokok
ER 51 P 49 150 21.78 normal Tidak DM bukan perokok
U 44 P 50 158 20.03 normal tidak DM bukan perokok
H 56 L 85 165 31.22 obesitas tidak DM Perokok
YM 40 P 57 150 25.33 overweight DM bukan perokok
N 58 L 67 162 25.53 overweight tidak DM Perokok
DA 53 L 77 160 30.08 obesitas tidak DM Perokok
J 49 L 70 165 25.71 overweight tidak DM perokok
S 74 L 50 157 20.28 normal tidak DM bukan perokok
N 59 P 50 160 19.53 normal DM bukan perokok
RY 43 P 60 154 25.30 overweight tidak DM bukan perokok
SDA 20 P 80 156 32.87 obesitas Tidak Dm bukan perokok
YY 44 P 73 153 31.18 obesitas Tidak Dm bukan perokok
E 57 P 65 160 25.39 overweight tidak DM bukan perokok
SH 72 P 45 145 21.40 normal DM bukan perokok
R 64 P 38 153 16.23 normal tidak DM bukan perokok
J 62 L 60 165 22.04 normal DM perokok
BD 39 P 62 156 25.48 overweight tidak DM bukan perokok
RJS 44 L 81 158 32.45 obesitas DM perokok
ET 59 P 63 158 25.24 overweight tidak DM bukan perokok
ZR 61 L 72 168 25.51 overweight DM perokok
R 67 P 50 155 20.81 normal DM bukan perokok
OY 23 P 53 165 19.47 normal tidak DM bukan perokok
HR 60 L 57 165 20.94 normal tidak DM perokok
LS 44 P 82 158 32.85 obesitas tidak DM bukan perokok
SA 67 L 64 160 25.00 overweight tidak DM bukan perokok
IR 72 P 49 155 20.40 normal tidak DM bukan perokok
A 59 P 63 150 28.00 obesitas tidak DM bukan perokok
L 31 P 48 158 19.23 normal DM bukan perokok
J 45 L 66 155 27.47 obesitas DM perokok
RH 35 L 71 165 26.08 overweight tidak DM bukan perokok
S 25 L 61 165 22.41 normal tidak DM perokok
DY 34 P 68 155 28.30 obesitas tidak DM bukan perokok
M 27 P 45 150 20.00 normal DM bukan perokok
N 48 P 47 149 21.17 normal tidak DM bukan perokok
NI 53 P 42 154 17.71 normal tidak DM bukan perokok
R 47 P 62 157 25.15 overweight tidak DM bukan perokok
RN 64 P 45 151 19.74 normal DM bukan perokok
JS 40 L 65 160 25.39 overweight tidak DM bukan perokok
M 50 P 30 150 13.33 normal DM bukan perokok
A 38 P 66 155 27.47 obesitas tidak DM bukan perokok

52
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
AU 48 L 47 162 17.91 normal tidak DM perokok
SM 60 P 73 160 28.52 obesitas DM perokok
R 76 P 46 164 17.10 normal DM bukan perokok
M 54 P 50 150 22.22 normal tidak DM bukan perokok
ZB 58 L 63 171 21.55 normal tidak DM bukan perokok
HH 59 P 58 150 25.78 overweight DM bukan perokok
FM 34 P 56 165 20.57 normal DM bukan perokok
MAB 31 L 144 169 50.42 obesitas tidak DM perokok
KG 26 L 88 170 30.45 obesitas DM perokok
RW 51 L 82 160 32.03 obesitas tidak DM bukan perokok
HP 55 P 66 154 27.83 obesitas tidak DM bukan perokok
D 60 P 46 150 20.44 normal DM bukan perokok
J 54 L 50 155 20.81 normal tidak DM perokok
K 37 P 63 158 25.24 overweight tidak DM bukan perokok
W 72 P 50 151 21.93 normal tidak DM bukan perokok
SM 68 P 50 160 19.53 normal DM bukan perokok
RP 66 P 50 150 22.22 normal tidak DM bukan perokok
H 50 L 75 165 27.55 obesitas DM perokok
SS 64 L 67 157 27.18 obesitas DM perokok
SL 64 L 55 156 22.60 normal tidak DM perokok
NB 34 P 62 150 27.56 obesitas tidak DM bukan perokok
M 47 L 65 160 25.39 overweight DM perokok
FM 36 L 49 152 21.21 normal Tidak DM perokok
Z 49 L 61 163 22.96 normal DM perokok
M 64 P 64 153 27.34 obesitas DM bukan perokok
AAJ 39 L 78 165 28.65 obesitas tidak DM perokok
K 51 P 64 150 28.44 obesitas tidak DM bukan perokok
A 45 L 70 161 27.01 obesitas DM perokok
IH 42 L 60 165 22.04 normal DM bukan perokok
HF 45 P 56 158 22.43 normal tidak DM bukan perokok
D 34 L 67 165 24.61 normal DM perokok
D 64 P 62 165 22.77 normal DM bukan perokok
MH 37 P 48 159 18.99 normal DM bukan perokok
Y 71 P 55 157 22.31 normal tidak DM bukan perokok
N 45 P 69 150 30.67 obesitas tidak DM bukan perokok
RP 66 P 50 150 22.22 normal tidak DM bukan perokok
BNA 14 L 52 161 20.06 normal DM bukan perokok
A 57 P 70 152 30.30 obesitas DM bukan perokok
WEF 24 L 83 175 27.10 obesitas Tidak Dm perokok
I 40 P 55 144 26.52 overweight tidak DM bukan perokok
ER 52 L 63 160 24.61 normal tidak DM bukan perokok
DSR 40 P 60 148 27.39 obesitas tidak DM bukan perokok
ZMZ 63 L 62 170 21.45 normal tidak DM perokok
SA 68 L 80 157 32.46 obesitas tidak DM perokok
Y 59 P 70 155 29.14 obesitas DM bukan perokok

53
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Z 53 p 45 150 20.00 normal tidak DM bukan perokok
M 68 p 55 150 24.44 normal DM bukan perokok

54
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Anda mungkin juga menyukai