Anda di halaman 1dari 15

PRESENTASI KASUS

DISPEPSIA

Disusun Sebagai Syarat Mengikuti Ujian Stase Ilmu Penyakit Dalam


Di RSUD Tidar Magelang

Diajukan Kepada :
dr. Wartoto Sp.PD

Disusun Oleh :
Lutfia Putri Bastian
Nim : 2006.031.0168

SMF BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD TIDAR MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH YOGYAKARTA
2011

PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Sdr. F

Umur

: 15 th

Jenis kelamin : Laki-laki


Pekerjaan

: Pelajar

Agama

: Islam

Alamat

: Krajan Balerejo Kaliangkrik

RM

: 136177

Tgl masuk

: 13 Januari 2011

II. ANAMNESIS (14 Januari 2011 WIB)


A. Keluhan Utama

: nyeri di ulu hati

B. Keluhan Tambahan: mual & muntah


C. Riwayat Penyakit Sekarang :
8 HSMRS pasien mengeluh nyeri ulu hati. Demam (-), pusing (-),
batuk/pilek (-), nyeri telan (-). Nyeri perut kambuh-kambuhan dan tidak membaik
dengan pemberian makan. Mual dan muntah setelah makan. Perut terasa penuh
dan kembung. Nafsu makan/minum . Gangguan atau nyeri BAB/BAK disangkal.
Riwayat penggunaan obat anti nyeri jangka panjang disangkal.
HMRS keluhan pasien masih menetap dan dirasa semakin mengganggu,
sebelumnya pasien sudah memeriksakan diri ke puskesmas tetapi tidak ada
perbaikan lalu pasien ke RSU Tidar dan disarankan untuk dirawat inap.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah menderita penyakit serupa
Penyakit hipertensi disangkal
Penyakit DM disangkal
Penyakit hati disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami penyakit serupa
Penyakit hipertensi disangkal
Penyakit DM disangkal
Penyakit hati disangkal
III.PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan umum

: cukup

B. Kesadaran

: compos mentis

C. Vital sign

: Tekanan darah

: 120/75 mmHg

Nadi

: 88 x/menit, reguler

Suhu

: 36,5 oc

Frekuensi pernafasan : 24 x/menit


D. Status Umum
1. Pemeriksaan Kepala
- Kepala

: Mesochepal, simetris, distribusi merata, tidak mudah


dicabut

- Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

- Telinga : Discharge (-), Deformitas (-)

- Hidung : Discharge (-), Perdarahan (-)


- Mulut

: bibir sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor bagian tengah

(-), tepi hiperemis (-), tremor (-), faring hiperemis (-), tonsil dbn
2. Pemeriksaan leher
Deviasi trakhea (-), pembesaran limfonodi (-),pembesaran kelenjar
thyroid (-), , JVP tidak meningkat.
3. Pemeriksaan thoraks

Pulmo
- inspeksi

: bentuk dada normal, kedua hemithoraks simetris,


tidak ada bekas luka, ketinggalan gerak (-), retraksi
(-)

- palpasi

: vokal fremitus kanan kiri sama

- perkusi

: sonor kedua lapangan paru

- auskultasi

: suara dasar

: vesikuler

suara tambahan

: wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Cor
- inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

- perkusi

Kanan atas

: SIC II LPS Sinistra

Kiri atas

: SIC II LPS Dextra

Kanan bawah : SIC IV LPS Dextra


Kiri bawah

: SIC V 1 jari medial LMC Sinistra

- palpasi

: Ictus cordis tidak kuat angkat

- auskultasi

: S1 > S2 reguler, bising (-)

4. Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi

: flat, tidak ada luka/sikatrik

- Auskultasi

: bising usus (+) normal

- Palpasi

: supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien


tidak
teraba

- Perkusi

: timpani

5. Pemeriksaan Ekstremitas
- Udem (-/-) , ekstremitas hangat (-)
- gerakan

- kekuatan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


PEMERIKSAAN 13/01/2011

NILAI

NORMAL SATUAN

(MALE)
Darah rutin
WBC
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
PLT
RDW-CV
RDW-SD
PDW

9.15
5.42
16.2
48.4
89.3
29.9
33.5
306
12.8
41.8
10.6

4.8 10.8
4.2 5.4
12 16
37 47
79 99
27 31
33 37
150 450
11.5 14.5
35 47
9.0 13.0

103/uL
106/uL
g/dL
%
fL
Pg
g/dL
103/dL
%
fL
fL

MPV
P-LCR
Differential
EO#
BASO#
NEUT#
LYMPH#
MONO#
EO%
BASO%
NEUT%
LYMPH%
MONO%

9.5
21.1

7.2 11.1
15.0 25.0

fL
%

0.13
0.00
7.25
1.24
0.53
1.4
0.0
79.2
13.6
5.8

0.045 0.44
0 0.2
1.8 8
0.9 5.2
0.16 1
24
01
50 70
25 40
28

103/dL
103/dL
103/dL
103/dL
103/dL
%
%
%
%
%

Kimia Darah

14/01/2011

NILAI NORMAL

SATUAN

UREUM
CREATININ
SGOT / ASAT
SGPT / ALAT

25.0
0.56
17.8
16.7

10 50
0.60 1.20
< 38
< 42

mg/dl
mg/dl
U/L
U/L

URINALISA

14/01/2011

NILAI NORMAL

SATUAN

Warna
Kekeruhan
Berat Jenis
pH
Glukosa
Protein
Bilirubin
Urobilin
Keton
Nitrit

Kuning
1.005
7.5
Normal
Normal
-

Kuning Muda
Jernih
1,010 1,025
6,0 7,0
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl

Blood

+/-

Negatif

Leukosit

Negatif

Leu/ul

IV.

KESIMPULAN PEMERIKSAAN
1. Anamnesis

Keluhan Utama : Nyeri ulu hati

Keluhan Tambahan : Mual dan muntah terutama setelah makan. Perut


terasa penuh dan kembung. Nafsu makan/ minum . Sudah berobat ke
puskesmas keluhan menetap.

BAB normal, BAK normal

Riwayat mengkonsumsi obat penghilang nyeri jangka lama (-)

RPD & RPK : Disangkal

2. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Kepala dalam batas normal
2. Pemeriksaan leher dalam batas normal
3. Pemeriksaan thoraks

Pulmo
- inspeksi

: bentuk dada normal, kedua hemithoraks simetris,


tidak
ada bekas luka, ketinggalan gerak (-), retraksi

- palpasi

: vokal fremitus kanan kiri sama

- perkusi

: sonor kedua lapangan paru

- auskultasi

: suara dasar
suara tambahan

: vesikuler
: wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Cor dalam batas normal

4. Pemeriksaan Abdomen : nyeri tekan epigastrium (+), hepar/lien tak


teraba
5. Pemeriksaan Ekstremitas dalam batas normal

3. Pemeriksaan Laboratorium
V.

Lab darah dan urin dalam batas normal

DIAGNOSIS BANDING
1. Dyspepsia dd
i. Gastritis
ii. Tukak Gaster
iii. Ulkus Gaster

VI.

DIAGNOSIS KERJA
Dispepsia

VII.

TERAPI
Non-farmakologis
-

Bed Rest

farmakologis
Inf RL ~ 16 tpm
Inj. Ranitidin 2x1
Inj. Sotatic 3x1
P.o Dexanta 3x1
Amoxicilin 3x1
Ulsidek 3x1
VIII. PROGNOSIS
-

Baik dengan penatalaksanaan yang tepat

PEMBAHASAN

Definisi
Dispepsia merupakan suatu kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau
rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut
penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Dan di dalam
konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa definisi dispepsia sebagai dyspepsia
refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen. Secara garis besar, penyebab
sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit organik
(seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll) dan kelompok di mana sarana
penunjang diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi, endoskopi, laboratorium)
tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural atau biokimiawi, atau
dengan kata lain, kelompok terakhir ini disebut sebagai gangguan fungsional.
Penyebab Dispepsia
Esofago-gastro-duodenal

Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID, keganasan

Obat-obatan

Antiinflamasi non-steroid,teofilin, digitalis, antibiotik

Hepato-bilier

Hepatitis, kolesistitis, kolelitiasis, keganasan, disfungsi


sfingter Odii

Pankreas

Pankreatitis, keganasan

Penyakit sistemik lain

Diabetes melitus, penyakit tiroid, gagal ginjal, kehamilan,


penyakit jantung koroner/iskemik

Gangguan fungsional

Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome

Dalam Konsensus Roma II yang khusus membicarakan tentang kelainan


gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai dispepsia yang
berlangsung At least 12 weeks, which need not be consecutive, in the preceding 12 month
of : 1.) Persistent or recurrent dyspepsia (pain or discomfort centered in the upper
abdomen); 2.) No evidence of organic disease (including at upper endoscopy) that is likely
to explain the symptoms, and; 3.) No evidence that dyspepsia is exclusively relieved by

defecation or associated with the onset of a change in stool frequency or stool form (i.e.
not irritable bowel). Jadi ada batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasikan
kemungkinan adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia,
bahwa bila ada alarm symptoms seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia,
melena, muntah yang prominen, maka merupakan petunjuk awal akan kemungkinan
adanya penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik secara
lebih intensif endoskopi dan sebagainya.
Dispepsia fungsional dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Dispepsia tipe seperti ulkus, yang lebih dominan adalah nyeri epigastrik
2. Dispepsia tipe seperti dismotilitas, yang lebih dominan adalah keluhan kembung,
mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang
3. Dispepsia tipe non-spesifik, tidak ada keluhan yang dominan
Sebelum era konsensus Roma II, ada dispepsia tipe refluks dalam alur penanganan
dispepsia, tapi saat ini kasus dengan keluhan tipikal refluks, seperti adanya heartburn atau
regurgitasi, langsung dimasukkan dalam alur/algoritme penyakit gastroesofageal refluks.
Hal ini disebabkan tingginya sensitivitas dan spesivitas keluhan itu untuk adanya proses
refluks gastroesofageal.
Patofisiologi
Proses patofisiologis yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan
dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter
pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.
1. Sekresi asam lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi
asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin yang
rata-rata normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.

2. Helicobacter Pylori (Hp)

Peran infeksi Helicobacter Pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya


dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan, kekerapan Hp pada dispepsia
fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan
Hp pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk melakukan
eradikasi Hp pada dispepsia fungsional dengan Hp positif yang gagal dengan
pengobatan konservatif baku.
3. Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi
perlambatan pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas antrum (sampai
50% kasus), tapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal
merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan
lambung tidak dapat mutlak mewakili hal tersebut.
4. Ambang rangsang persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi,
reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi, tampaknya kasus
dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di
gaster atau duodenum. Bagaimana mekanismenya, masih belum dipahami.
Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik mendapatkan hasil pada
50% populasi dengan dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau tidak
nyaman di perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah
dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol.
5. Disfungsi autonom
Disfungsi

persarafan

vagal

diduga

berperan

dalam

hipersensitivitas

gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga


diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung waktu
menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung
dan rasa cepat kenyang.

6. Aktivitas mioelektrik lambung

Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi


dilaporkan terjadi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tapi hal ini
bersifat inkonsisten.
7. Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional.
Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan
gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron,
estradiol, dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan
memperlambat waktu transit gastrointestinal.
8. Diet dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus
dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.
9. Psikologis
Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres
sentral. Kolerasi antara faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom
masih, dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan kepribadian
yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini dibandingkan
kelompok kontrol, walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya gangguan
psikiatrik pada kasus dispepsia fungsional.
Penunjang Diagnostik
Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk
mengeksklusi gangguan organik atau biokimiawi. Pemeriksaan laboratorium (gula darah,
fungsi tiroid, fungsi pankreas, dsb), radiologi (barium meal, USG) dan endoskopi
merupakan langkah yang paling penting untuk eksklusi penyebab organik ataupun
biokimiawi. Untuk menilai patofisiologinya, dalam rangka mencari dasar terapi yang lebih
kausatif, berbagai pemeriksaan dapat dilakukan, walaupun aplikasi klinisnya tidak jarang
dinilai masih kontroversial. Misalnya pemeriksaan pH-metri untuk menilai adanya

gangguan fase III migrating motor complex, elektrogastrografi, skintigrafi atau


penggunaan pellet radioopak untuk mengukur waktu pengosongan lambung, helicobacter
pylori, dsb.
Terapi
Luasnya lingkup manajemen pada kasus dispepsia fungsional menggambarkan
adanya ketidakpastian dalam patogenesisnya. Adanya respon plasebo yang tinggi
mempersulit untuk mencari regimen pengobatan yang lebih pasti, sehingga pengobatan
lebih ke arah hanya untuk menurunkan/menghilangkan gejala.
Diet
Prinsip dasar menghindari makanan pencetus serangan merupakan pegangan yang lebih
bermanfaat. Makanan yang merangsang, seperti pedas, asam, tinggi lemak, sebaiknya
dipakai

sebagai

pegangan

umum

secara

proporsional

dan

jangan

sampai

menurunkan/mempengaruhi kualitas hidup pasien.


Medikamentosa
a. Antasida
Antasida merupakan obat yang paling umum dikonsumsi oleh pasien dispepsia,
tapi dalam studi metaanalisis, obat ini tidak lebih unggul dibandingkan plasebo.
b. Penyekat H2 reseptor
Obat ini juga umum diberikan pada pasien dispepsia. Dari data studi acak ganda
tersamar, didapatkan hasil yang kontroversial. Sebagian gagal memperlihatkan
manfaatnya pada dispepsia fungsional, dan sebagian lagi berhasil. Secara metaanalisis diperkirakan manfaat terapinya 20% di atas plasebo. Masalah pokok
adalah kriteria inklusi padaa berbagai penelitian, dan juga kemungkinan masuknya
kasus GERD. Umumnya manfaatnya ditujukan untuk menghilangkan rasa nyeri
ulu hati.

c. Penghambat pompa proton


Obat ini tampaknya cukup superior dibandingkan plasebo pada dispepsia
fungsional, walaupun pada banyak studi secara tidak sengaja terlibat kasus GERD
yang tidak terdeteksi. Respon terbaik terlihat pada kelompok dispepsia fungsional
tipe ulkus.
d. Sitoproteksi
Tidak banyak studi untuk memperoleh manfaat yang dapat dinilai dari obat ini
(misalnya misoprostol, dan sukralfat).
e. Metoklopramid
Merupakan antagonis reseptor dopamin D2 dan antagonis reseptor serotonin (5HT3) yang tampaknya cukup bermanfaat pada dispepsia fungsional, tapi terbatas
studinya dan hambatan efek samping ekstrapiramidalnya.
f. Domperidon
Termasuk antagonis dopamin D2 yang tidak melewati sawar otak sehingga tidak
ada efek ekstrapiramidal. Obat ini lebih unggul dibanding plasebo dalam
menurunkan keluhan.
g. Cisapride
Tergolong agonis reseptor 5-HT4 dan antagonis 5-HT3, yang secara metaanalisis
memperlihatkan angka keberhasilan dua kali lipat dibandingkan plasebo. Beraksi
pada pengosongan lambung dan disritmia lambung. Masalah saat ini adalah setelah
diketauinya efek samping aritmia jantung, terutama perpanjangan Q-T, sehingga
pemakaiannya berada dlm pengawasan.
h. Agonis motilin
Obat yg termasuk golongan ini adalah eritromisisn, yang dapat meningkatkan
pengosongan lambung pada gastroparesis. Tapi aplikasi klinisnya tidak praktis.

Psikoterapi
Dalam beberapa studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan manfaatnya
pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan terapi baku.
Prognosis
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang
yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.

Anda mungkin juga menyukai